Paragraf tersebut membahas tentang struktur komunitas Hymenoptera parasitoid yang berhubungan dengan hama utama tanaman Cruciferae dan tumbuhan liar pada berbagai tipe lanskap pertanian. Tipe dan kualitas habitat serta hubungan antar habitat dalam suatu lanskap dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem termasuk interaksi antara tanaman, hama, dan musuh alami. Tumbuhan liar dapat mendukung musuh alami den
Prakarsa Perubahan ATAP (Awal - Tantangan - Aksi - Perubahan)
SERANGGA
1. MAKALAH LAPORAN AKHIR TEKNOLOGI PERLINDUNGAN TANAMAN
“PENGARUH MUSUH ALAMI TERHADAP KEANEKARAGAMAN SERANGGA”
Disusun untuk memenuhi mata kuliah Teknologi Perlindungan Tanaman III
Semester Genap Tahun 2010
Kelompok 5
Martha Christy 150110080209
Muthia Syafika Haq 150110080083
Raden Bondan E B 150110080162
Viktor Sukarya 150110080167
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI F
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
JATINANGOR
2. 2 | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
a. Definisi dan Keanekaragaman Serangga
Menurut Strong et al.(1984), Serangga sebagai salah satu komponen keanekaragaman hayati juga
memiliki peranan penting dalam jaring makanan yaitu sebagai herbivor, karnivor, dan detrivor.
Serangga herbivore merupakan faktor penyebab utama dalam kehilangan hasil, baik secara langsung
memakan jaringan tanaman atau sebagai vektor dari patogen tanaman (Kirk-Spriggs 1990).
Keaneka-ragaman serangga telah terdapat pada periode Carboniferous (sekitar 300 juta tahun yang
lalu).[1]
Pada periode Permian (270 juta tahun yang lalu) beberapa kelompok serangga telah
menyerupai bentuk yang dijumpai sekarang. [1]
Sayap pada serangga mungkin pada awalnya
berevolusi sebagai perluasan kutikula yang membantu tubuh serangga itu menyerap panas, kemudian
baru menjadi organ untuk terbang [1]
Pandangan lain menyarankan bahwa sayap memungkinkan
hewan itu meluncur dari vegetasi ke tanah, atau bahkan berfungsi sebagai insang dalam serangga
akuatik. [1]
Hipotesis lain menyatakan bahwa sayap serangga berfungsi untuk berenang sebelum
mereka berfungsi untuk terbang .Salah satu alasan mengapa serangga memiliki keanekaragaman dan
kelimpahan yang tinggi adalah kemampuan reproduksinya yang tinggi, serangga bereproduksi dalam
jumlah yang sangat besar, dan pada beberapa spesies bahkan mampu menghasilkan beberapa generasi
dalam satu tahun. Kemampuan serangga lainnya yang dipercaya telah mampu menjaga eksistensi
serangga hingga kini adalah kemampuan terbangnya.[1]
Hewan yang dapat terbang dapat menghindari
banyak predator, menemukan makanan dan pasangan kawin, dan menyebar ke habitat baru jauh lebih
cepat dibandingkan dengan hewan yang harus merangkak di atas permukaan tanah.Umumnya
serangga mengalami metamorfosis sempurna, yaitu siklus hidup dengan beberapa tahapan yang
berbeda: telur, larva, pupa, dan imago [2]
. Beberapa ordo yang mengalami metamorfosis sempurna
adalah Lepidoptera, Diptera, Coleoptera, dan Hymenoptera. [2]
Metamorfosis tidak sempurna
merupakan siklus hidup dengan tahapan : telur, nimfa, dan imago.[2]
Peristiwa larva meniggalkan telur
disebut dengan eclosion. Setelah eclosion, serangga yang baru ini dapat serupa atau beberapa sama
sekali dengan induknya [2]
. Tahapan belum dewasa ini biasanya mempunyai ciri perilaku makan yang
banyak.
Pertumbuhan tubuh dikendalikan dengan menggunakan acuan pertambahan berat badan, biasanya
dalam bentuk tangga dimana pada setiap tangga digambarkan oleh lepasnya kulit lama (exuvium),
dimana proses ini disebut molting. Karena itu pada setiap tahapan, serangga tumbuh sampai dimana
pembungkus luar menjadi terbatas, setelah ditinggalkan lagi dan seterusnya sampai sempurna Lebih
3. 3 | P a g e
dari 800.000 spesies insekta sudah ditemukan. Terdapat 5.000 spesies bangsa capung (Odonata),
20.000 spesies bangsa belalang (Orthoptera), 170.000 spesies bangsa kupu-kupu dan ngengat
(Lepidoptera), 120.000 bangsa lalat dan kerabatnya (Diptera), 82.000 spesies bangsa kepik
(Hemiptera), 360.000 spesies bangsa kumbang (Coleoptera), dan 110.000 spesies bangsa semut dan
lebah (Hymenoptera).[2]
. Ordo Lepidoptera ketika fase larva memiliki tipe mulut pengunyah,
sedangkan ketika imago memiliki tipe mulut penghisap. Adapun habitat dapat dijumpai di pepohonan
[2]
. Ordo Collembola memiliki ciri khas yaitu memiliki collophore, bagian yang mirip tabung yang
terdapat pada bagian ventral di sisi pertama segmen abdomen [2]
. Ada beberapa dari jenis ini yang
merupakan karnivora dan penghisap cairan [2]
. Umumnya Collembolla merupakan scavenger yang
memakan sayuran dan jamur yang busuk, serta bakteri, selain itu ada dari jenis ini yang memakan
feses Artropoda, serbuk sari, ganggang, dan material lainnya [2]
. Ordo Coleoptera memliki tipe mulut
pengunyah dan termasuk herbivore [2]
. Habitatnya adalah di permukaan tanah, dengan membuat
lubang, selain itu juga membuat lubang pada kulit pohon, dan ada beberapa yang membuat sarang
pada dedaunan .[2]
. Ordo Othoptera termasuk herbivora, namun ada beberapa spesies sebagai predator.
[2]
.Tipe mulut dari ordo ini adalah tipe pengunyah. Ciri khas yang dapat dijumpai yaitu sayap depan
lebih keras dari sayap belakang [2]
. Ordo Dermaptera mempunyai sepasang antenna, tubuhnya
bersegmen terdiri atas toraks dan abdomen [3]
. Abdomennya terdapat bagian seperti garpu [3]
. Ordo
Diplura memiliki mata majemuk, tidak terdapat ocelli, dan tarsinya terdiri atas satu segmen.
Habitatnya di daerah terrestrial, dapat ditemukan di bawah batu, di atas tanah, tumpukan kayu, di
perakaran pohon, dan di gua. Ordo ini merupakan pemakan humus [3]
. Ordo Hemiptera memiliki tipe
mulut penusuk dan penghisap. Ada beberapa yang menghisap darah dan sebagian sebagai penghisap
cairan pada tumbuhan. Sebagian besar bersifat parasit bagi hewan, tumbuhan, maupun manusia. Ordo
ini banyak ditemukan di bagian bunga dan daun dari tumbuhan, kulit pohon, serta pada jamur yang
busuk [3]
. Ordo Odonata memiliki tipe mulut pengunyah. Umumnya Ordo ini termasuk karnivora
yang memakan serangga kecil dan sebagian bersifat kanibal atau suka memakan sejenis. Habitatnya
adalah di dekat perairan. Biasanya ditemukan di sekitar air terjun, di sekitar danau, dan pada daerah
bebatuan [3]
. Sub kelas Diplopoda memiliki ciri tubuh yang panjang seperti cacing dengan beberapa
kaki, beberapa memiliki kaki berjumlah tiga puluh atau lebih, dan segmen tubuhnya menopang dua
bagian dari tubuhnya [2]
. Hewan jenis ini memiliki kepala cembung dengan daerah epistoma yang
besar dan datar pada bagian bawahnya [2]
. Habitatnya adalah di lingkungan yang basah, seperti di
bawah bebatuan, menempel pada lumut, di perakaran pohon, dan di dalam tanah. Tipe mulutnya
adalah pengunyah [2]
. Beberapa dari jenis ini merupakan scavenger dan memakan tumbuhan yang
busuk, selain itu ada beberapa yang merupakan hama bagi tanaman.
4. 4 | P a g e
Serangga merupakan hewan beruas dengan tingkat adaptasi yang sangat tinggi. Fosil-fosilnya dapat
dirunut hingga ke masa Ordovicius. Fosil kecoa dan capung raksasa primitif telah ditemukan.
Sejumlah anggota Diptera seperti lalat dan nyamuk yang terperangkap pada getah juga ditemukan.
Hewan ini juga merupakan contoh klasik metamorfosis. Setiap serangga mengalami proses perubahan
bentuk dari telur hingga ke bentuk dewasa yang siap melakukan reproduksi. Pergantian tahap bentuk
tubuh ini seringkali sangat dramatis. Di dalam tiap tahap juga terjadi proses "pergantian kulit" yang
biasa disebut proses pelungsungan. Tahap-tahap ini disebut instar. Ordo-ordo serangga seringkali
dicirikan oleh tipe metamorfosisnya.
Secara morfologi, tubuh serangga dewasa dapat dibedakan menjadi tiga bagian utama, sementara
bentuk pradewasa biasanya menyerupai moyangnya, hewan lunak beruas mirip cacing. Ketiga bagian
tubuh serangga dewasa adalah kepala (caput), dada (thorax), dan perut (abdomen).
Banyak serangga yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, diantaranya yaitu sebagai organisme
pembusuk dan pengurai termasuk limbah, sebagai objek estetika dan wisata, bermanfaan pada proses
penyerbukan maupun sebagai musuh alami hama tanaman, pakan hewan (burung) yang bernilai
ekonomi tinggi [4]
, penghasil madu (dari genus Apis) dll
b. Parasitoid
Parasitoid adalah serangga yang memparasitisasi serangga atau arhtropoda lainnya. Biasanya bersifat
parasitic pada fase immature dan hidup bebas ketika memasuki fase dewasa,. Pada umumnya,
parasitoid membunuh inang, namun dalam beberapa keadaan, inang bisa hidup dulu sebelum
mengalami kematian. Parasitoid umumnya digunakan sebagai agen biocontrol, karena memiliki
keuntungan sebagai berikut daya survivalnya cukup baik, hanya memerlukan satu (atau beberapa
inang) untuk melengkapi perkembangan parasitoid, populasi parasitoid bisa sustain pada jumlah
inang yang sedikit, kebanyakan parasitoid memiliki kisaran inang yang sempit, seringkali
menghasilkan respon numeric yang baik terhadap kepadatan inang.
Beberapa kekurangan penggunaan parasitoid, adalah sebagai berikut : kapasitas pencarian inang dapat
berkurang dengan cepat karena sangat dipengaruhi oleh suhu atau factor lainnya., hanya betina
melakukan pencarian, dan seringkali pencari yang baik hanya menghasilkan sedikit telur.
5. 5 | P a g e
Beberapa jenis parasitoid :
Parasitoid lalat Tachinid ( Diptera : Tachinidae)
Karakteristik : imago mirip dengan lalat rumah, pupa berwarna merah hingga cokelat, larva
masuk ke dalam inang, telur berwarna putih.
Aktivitas parasit : tergolong endoparasitoid , imago sering terlihat di bunga, mencari telur untuk
dimasukkan ke dalam inang.
Parasitoid terbesar Wasps ( Hymenoptera : Ichneumonidae, Braconidae)
Telur dalam
inang
Letak pupa
berdekatan
dengan inang
Ischinus
inquisitorus
Ichineumoid
Wasps
Macrocentrus
iridescens
Apanteles
aristoteliae
Braconoid
Wasps
6. 6 | P a g e
c. Predator
Beberapa jenis predator
Kumbang Carabid (Coleoptera : Carabidae)
Karakteristik : imago berwarna gelap dan metalik, aktif di malam hari, larva biasanya berada di
permukaan tanah
Tahap predasi : mangsa pada umumnya merupakan organism tanah, berada di benih.
Scapinotus
marginatus
larva Pterostichus
scitulus
7. 7 | P a g e
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Struktur Komunitas Hymenoptera Parasitoid Yang Beasosiasi Dengan Hama Utama Tanaman
Cruciferae Dan Tumbuhan Liar Pada Tipe Lanskap Pertanian Berbeda
Hymenoptera parasitoid merupakan musuh alami yang sangat penting karena keanekaragamannya yang
tinggi dan keefektifannya sebagai agens pengendali hayati. van Emden (1991) mengatakan peningkatan
keanekaragaman habitat dalam lanskap pertanian dapat meningkatkan keanekaragaman serangga hama
dan serangga bermanfaat (musuh alami) dan seringkali kerusakan tanaman oleh hama berkurang.
Selanjutnya Kruss dan Tscharntke (2000) menambahkan bahwa tipe dan kualitas habitat, susunan
spasial dan keterhubungan (connectivity) antar habitat di dalam suatu lanskap dapat mempengaruhi
keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Hipotesis tersebut didukung oleh Yaherwandi et al.
(2007) yang mengemukakan bahwa keanekaragaman struktur lanskap pertanian tidak hanya
mempengaruhi keanekaragaman musuh alami (Hymenoptera parasitoid) di dalam pertanaman, tetapi
juga kelimpahan dan keefektifannya. Memahami pengaruh tipe atau struktur lanskap terhadap interaksi
antara tanaman, hama dan musuh alami merupakan masalah yang kompleks dan pada gilirannya
mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan pengendalian hayati.
Disamping itu, tumbuhan liar merupakan komponen agroekosistem yang penting, karena secara positif
dapat mempengaruhi biologi dan dinamika musuh alami (Altieri dan Nicholls 2004). Tumbuhan liar yang
tumbuh di sekitar pertanaman tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung (shelter) dan
pengungsian musuh alami ketika kondisi lingkungan tidak sesuai (van Emden 1991), tetapi juga
menyediakan inang alternatif dan makanan tambahan bagi imago parasitoid seperti tepung sari dan
nektar dari tumbuhan berbunga serta embun madu yang dihasilkan oleh ordo Homoptera (Altieri dan
Nicholls 2004). Banyak penelitian memperlihatkan bahwa manipulasi tumbuhan liar dapat
meningkatkan kelimpahan dan keanekaragaman musuh alami, termasuk Hymenoptera parasitoid
(Yaherwandi et al. 2005).
2.2 Keanekaragaman spesies Hymenoptera Parasitoid yang Berasosiasi dengan Tanaman Cruciferae
Keanekaragaman spesies sangat ditentukan oleh kekayaan spesies dan kelimpahan relatifnya
(kemerataan spesies) dalam suatu komunitas (Magurran, 1988). Pada Tabel 2 terlihat bahwa jumlah
individu Hymenoptera parasitoid di Aie Batumbuak lebih tinggi daripada Batu Palano dan Cingkariang.
8. 8 | P a g e
Namur, kekayaan spesies dan kemerataan spesiesnya relatif lebih tinggi, sehingga keanekaragaman
spesies Hymenoptera parasitoid juga lebih tinggi.
Menurut Magurran (1988), Ludwig dan Reynolds (1988), dan Krebs (1999) kemerataa spesies
dalam suatu komunitas ditentukan oleh dominasi suatu spesies. Rendahnya kemerataan spesies di Batu
Palano dan Cingkariang disebabkan oleh komunitas Hymenoptera parasitoid didominasi oleh Deadegma
semiclausum, parasitoid larva P. xylostella (Tabel 5 dan 6). Hasil yang mirip juga pernah ditemukan oleh
Yaherwandi et al. (2006) tentang keanekaragaman Hymenoptera parasitoid pada pertanaman padi di
Naylindung, Gasol, dan Selajambe, Cianjur Jawa Barat dan Yaherwandi dan Syam (2007) tentang
keanekaragaman parsasitoid wereng batang coklat di Sungai Sapih dan Kayu Tanduak, Sumatera Barat.
Tabel 2. Kekayaan spesies, jumlah individu, keanekaragaman spesies dan kemerataan spesies
hymenoptera parasitoid yang berasosiasi dengan tanaman Cruciferae pada tiga lokasi
penelitian
Lokasi
Kekayaan
spesies
Jumlah
individu
Keanekaragaman
spesies
Kemerataan
spesies
Aie Batumbuak
29 369 1.60 0.58
Batu Palano 26 656 0.78 0.26
Cingkariang 29 657 1.06 0.36
2.3 `Komunitas Hymenoptera parasitoid pada Hama Utama Tanaman Crucifera
Kekayaan spesies parasitoid yang beasosiasi dengan hama utama tanaman Cruciferae pada ketiga
lokasi penelitian adalah sembilan spesies yaitu terdiri atas delapan spesies termasuk ordo
Hymenoptera dan satu spesies ordo Diptera yaitu Stumia sp (Tabel 5 dan 6). Kekayaan spesies
Hymenoptera yang beasosiasi dengan P. xylostella dan C. pavonana berturut-turut adalah lima dan
tiga spesies (Tabel 5). Jika dilihat dari lokasi penelitian, kekayaan spesies Hymenoptera parasitoid
yang berasosiasi dengan kedua hama tersebut adalah tujuh spesies untuk Aie Batumbuak dan enam
spesies untuk Batu Palano dan Cingkariang (Tabel 6). Hasil ini mirip dengan yang ditemukan oleh
Alam (1990) di Jamaica yaitu enam spesies Hymenoptera parasitoid, tetapi jauh lebih rendah
9. 9 | P a g e
daripada yang ditemukan oleh Mustata dan Mustata (2007) di Moldovia, Rumania yaitu 19 spesies
parasitoid. Hal ini disebabkan oleh lokasi pengumpulan data Hymenoptera parasitoid pada
penelitian ini dan penelitian Alam (1990) jauh lebih sedikit yaitu tiga lokasi jika dibanding penelitian
Mustata dan Mustata (2007) yaitu 60 lokasi.
Dari Tabel 5 dan 6 terlihat bahwa Hymenoptera parasitoid yang dominan yang berasosiasi dengan
hama utama tanaman Cruciferae pada ketiga lokasi adalah Deadegma semiclausum. Hasil yang sama
juga ditemukan oleh Alam (1990) di Jamaica dan Mustata dan Mustata (2007) Moldavia, Romania.
Jika dilihat lebih jauh terbukti bahwa tumbuhan liar berbunga dapat mendukung kehidupan
Hymenoptera parasitoid, termasuk D. semiclausum (Tabel 5 dan 6). Dengan demikian dapat
disimpulkan bawa tumbuhan liar pada ekosistem sayuran di ketiga lokasi dapat digunakan untuk
habitat konservasi D. semiclausum jika pertanaman Cruciferae tidak layak huni yaitu ketika aplikasi
pestisida dan pada saat panen. Hal ini sebelumnya juga dikemukan oleh Yaherwandi et al. (2007)
pada tanaman padi.
Tabel 5. Kelimpahan Hymenoptera parasitoid yang berasosiasi dengan Plutella xylostella dan
Crocidolomia pavonana pada tanaman Cruciferae dan tumbuhan liar
Jenis Hama Spesies
Jenis tanaman
Kubis
bulat
Kubis
bunga
Tumb.
Liar
P. xylostella
D. semiclausum 234 1087 57
sp 2 3 16 7
Sp 4 0 1 3
sp16 1 0 0
sp17 1 0 0
C. pavonana
E. argentipilosus 5 2 0
sp 1 0 1 20
10. 10 | P a g e
Sp 3 1 3 27
Sturmia sp 14 15 0
Tabel 6. Komunitas parasitoid yang beasosiasi dengan Plutella xylostella dan Crocidolomia pavonana
hama utama tanaman Criciferae dan tumbuhan liar pada ketiga lokasi penelitian
Lokasi Spesies
Kubis
bulat
Kubis
bunga
Tumb.
liar
Aie Batumbuak
D. semiclausum 234 0 24
sp1 0 0 11
sp3 1 0 22
E. argentipilosus 5 0 0
sp16 1 0 0
sp17 1 0 0
sp2 3 0 2
Sturmia sp 14 0 0
Batu Palano
D. semiclausum 0 563 0
sp1 0 0 9
sp3 0 1 5
sp4 0 0 3
E. argentipilosus 0 1 0
sp2 0 12 5
Sturmia sp 0 5 0
Cingkariang D. semiclausum 0 524 33
sp1 0 1 0
11. 11 | P a g e
E. argentipilosus 0 1 0
sp2 0 4 0
sp3 0 2 0
sp4 0 1 0
Sturmia sp 0 10 0
13. 13 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Borror et al. 2004. Study of Insect.Ed-7. Amerika: Thomson Brook/ Cole.
Borror et al. 2005. Study of Insect.Ed-7. Amerika: Thomson Brook/ Cole.
Campbell, N.A,J.B. Reece, dan L.G. Mitchell, 2003. Biologi Edisi Kelima Jilid 2. ISBN : 979-688-469-0.
Jakarta: Erlangga.
Gandjar. 1997. Prosiding Seminar Nasional Biologi XV, Universitas Lampung, ISBN :9798287177.
Lampung: Perhimpunan Biologi Indonesia.
Suranto A. 2004. Khasiat & Manfaat Madu Herbal. ISBN: 9793702028. Jakarta: AgroMedia. Diakses
tanggal 28 Mei 2010
Bab IX : Natural Enemies of Insect. Larry P. Pedigo. Entomology and Pest Management. Diakses tanggal
29 Mei 2010
Altieri MA, Nicholls CI. 2004. Biodiversity and Pest management in Agroecosystem. Second Edition.
New York: Food Product Press.
Alam, M. M. 1990. Diamondback moth and its natural enemies in Jamaica and some other Caribean
Islands. 233 - 243
Barrion A.T. dan J.A. Litsinger. 1992. Taxonomy of rice pest and their arthropod parasites and predators.
Dalam Heinrichs, E.A., editor. New Delhi: Willey Eastern Limited.
Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through extrapolation.
Philosophical Transactions of Royal Society London 345: 101-118.
Colwell RK. 2000. EstimateS: Statistical estimate of spesies richness and shared spesies from samples.
Version 6.0b1 [serial online]. http://www.viceroy.eeb.uconn.edu/estimates [16 Dsember 2003].
Garcia, M.C., S.H. Gage dan D.A. Landis. 1997. Respon of an Assemblage of Coccinellidae (Coleoptera)
to a Diverse agricultural landscape. Environ. Entomol. 26 (4): 792 – 804
Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of The world: An Identification Guide to Families. Ottawa:
Research Branch Agruculture Canada Publication.
Kartosuwondo, K dan D. Buchori. 2003. Kompatibilitas parasitoid E. argenteopilosus Cameron
(Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Inangnya: Faktor-faktor yang mempengaruhi effektifitas
14. 14 | P a g e
Eriborus argenteopilosus dalam mengendalikan Crocidolomia pavanana Zell (Lepidoptera:
Pyralidae). Laporan Penelitian Hibah Bersaing X. Dirjen Dikti, Depdiknas.
Krebs CJ. 1999. Ecological Metodology. Second Edition. New York: An imprint of Addison Wesley
Longman, Inc.
Krebs CJ. 2000. Program for ecological methodology [software]. Second Edition. New York: An imprint of
Addison Wesley Longman, Inc.
Kruess A, Tscharntke T. 2000. Spesies richness and parasitism in a fragmented landscape: experiments
and field studies with insects on Vicia sepium. Oecologia 122: 129-137.
Landis, D.A. dan P.C. Marino. 1999. Landscape structure and extra-field proses: impact on management
of pests and beneficials. In. Ruberson, R.R. (Ed.) Handbook of Pest Management, pp 79 – 104
Landis, D.A. dan A. C. Costamagna. 2004. Influence of agricultural landscape conplexcity in parasitoid
abundance and diversity in Michigan. http://www. entomology.wisc.edu [Download 20 februari
2005).
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. New York: John Wiley & Sons.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Chapman and Hall.
Marino, P.C. dan D. A. Landis. 1996. Effect of landscape structure on parasitoid diversity and parasitism
in agroecosystems. Ecological Application, 6 (1), pp 276 – 284
Menalled, F.D., P.C. marino, S.H. Gage dan D.A. Landis. 1999. Does agricultural landscape structure
affect parasitism and parasitoid diversity?. Ecological Application 9(2), 634 – 641
Mustata, G and M. Mustata. 2007. Plutella xylostella (Lepidoptera: plutellidae) and its natural biological
control in the region of Moldovia, Romania. Biologi Animala, III: 149 - 158
Novrinelly dan Yaherwandi. 2006. Struktur Populasi Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera:
Ichneumonidae) Parasitoid Crocidolomia pavonana Fabricius (Lepidoptera: Pyralidae) Pada
Beberapa Tipe Lansekap: Implikasinya Terhadap Keefektifan Parasitoid Sebagai Agens
Pengendalian Hayati di Lapangan. Laporan Hibah Bersaing (telah disummit ke Jurnal Akta
Agrosia Jurusan Agronomi Univ. Bengkulu).
Ratna, E. S., D. Buchori dan T. Santoso. 1999. Pemanfaatan Virus dari beberapa Spesies Parasitoid untuk
Meningkatkan Kinerja Eriborus argenteopilosus Cameron (Hymenoptera: Ichneumonidae) dalam
Mengendalikan Crocidolomia pavonana Zell. (Lepidoptera: Pyralidae). Laporan Riset Unggulan
Terpadu IV. Kantor Mentri Negara Riset dan Teknologi.
15. 15 | P a g e
Reflinaldon, Yaherwandi dan Hidrayani. 2005. Fragmentasi habitat dan keanekaragaman parasitoid
Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae) pada berbagai struktur lansekap.
Manggaro 6 (2): 1 – 7
Sastrosiswojo S dan Sastrodihardjo S. 1986. Status of biological control of diamondback moth by
introduction of parasitoid Diadegma eucerophaga in Indonesia. Di dalam: Talekar NS (ed).
Diamondback Moth Management: Proceeding of Firts International Workshop.
http://www.avrdc.org [download 20 Januari 2006]
Sathe, T. V. 1990. The biology of Diadegma argenteopilosus (Cameron) (Hyemenoptera: Ichneumonidae) an
internal parasitoid of spodoptera litura (Fab.). Entomologist 109: 2 – 7. Diakses tanggal 29 Mei 2010