SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
1
DISOLUSI PARTIKULAT
1. Tujuan Percobaan
Mempelajari pengaruh keadaan bahan baku obat yakni Teofilin Anhidrat,
Teofilin Monohidrate, Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol terhadap
kecepatan disolusi partikulatnya sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya.
2. Prinsip Percobaan
Pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut
berdasarkan pada kecepatan disolusi yang berbanding lurus dengan luas
permukaan bahan obat dan kelarutannya.
3. Teori
3.1 Definisi Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke
dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Dalam sistem biologik pelarutan obat
dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorbsi
sistemik. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari
bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering
mengendalikan laju absorpsi sistemik obat (Shargel dan Andrew, 1998).
Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut
menghasilkan suatu larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna
merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat.
Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu
sendiri. Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas (Sutriyo dkk, 2005).
Uji disolusi merupakan hal yang harus dilakukan untuk merancang suatu
sediaan tablet agar laju pelepasan obat dari tablet tersebut dapat diketahui. Obat
yang memiliki disolusi yang baik akan memberikan bioavailabilitas yang baik
pula sehingga semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi secara utuh oleh
tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Laju disolusi dapat berhubungan
1
2
langsung dengan kemanjuran suatu obat dan merupakan suatu karakteristik mutu
yang penting dalam menilai mutu obat yang digunakan peroral untuk
mendapatkan efek sistemik. Selain itu uji disolusi merupakan salah satu parameter
penting dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu obat (Gunawi,
2011).
Ketika suatu tablet atau sediaan padat masuk ke dalam saluran cerna, obat
tersebut mulai bergerak dari padatan utuh ke dalam larutan. Kecuali tablet tersebut
merupakan bahan polimerik yang bergandengan, matriks padat uga berdisintegrasi
menjadi granul-granul. Granul-granul yang dihasilkan selanjutnya berdeagregasi
menjadi partikel-partikel halus. Disentegrasi, deagregasi dan disolusi dapat dapat
terjadi bersamaa dengan pelepasan obat dari bentuk penghantarannya.
Keefektifan suatu tablet melepaskan kandungan obatnya untuk absorpsi
sistemik sedikit banyak bergantung pada kecepatan disintegrasi bentuk sediaan
dan deagregasi granul. Namun biasanya yang lebih berpengaruh adalah kecepatan
disolusi sediaan padat tersebut. Disolusi sering kali merupakan tahap penentu atau
pengendali kecepatan pada absorpsi obat berkelarutan rendah karena disolusi
kerap kali menjadi tahap paling lambat diantara berbagai tahap yang terlibat
dalam pelepasan obat dari bentuk sediaan dan pergerakan ke dalam sirkulasi
sistemik. Kecepatan suatu padatan melarut dalam suatu pelarut dinyatakan secara
kuantitatif oleh Noyes dan Whitney, kemudian diuraikan dengan persamaan :
𝑑𝑀
𝑑𝑡
=
𝐷𝑠
ℎ
(𝐶𝑠 − 𝐶)
M adalah massa zat terlarut yang terlarut selama waktu t; dM/dt adalah
kecepatan disolusi massa (massa/waktu); D adalah koefisien difusi zat terlarut
dalam larutan; S adalah luas permukaan padatan; h adalah tebal lapisan difusi; Cs
adalah kelarutan padatan (yakni konsentrasi ssenyawa dalam larutan jenuh pada
permukaan padatan dan pada temperatur percobaan); dan C adalah konsentrasi zat
terlarut dalam larutan bulk pada waktu t. Kuantitas dC/dt adalah kecepatan
disolusi dan V adalah volume larutan.
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika
obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju
obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus
pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat,
3
misalnya karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses
disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses
absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu
laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam
beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian oral, karena batasan
waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus
(Sinko, 2006).
3.2 Macam-Macam Disolusi
Adapun macam-macam disolusi antara lain:
A. Disolusi intrinsik
Didefinisikan sebagai suatu kecepatan disolusi zak aktif murni
dibawah kondisi luas permukaan yang konstan. Kaplan dan wood
menyarankan bahwa absorbsi dengan kecepatan disolusi intrinsik
kurang lebih 1 mg/menit/cm2 akan sangatmungkin bebas dari masalah
kecepatan disolusi.
B. Disolusi partikulat
Luas permukaan solida tidak dibuat konstan. Disolusi partikulat
digunakan untuk mempelajari pengaruh ukuran partikel terhadap
kecepatan disolusi.
3.3 Metode Uji Disolusi
Menurut USP XXI uji pelarutan dapat digunakan dengan beberapa
cara, yaitu:
A. Metode Keranjang (Basket)
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan
oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam
suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu
tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37°. Kecepatan
berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat
khusus dalam USP yang terakhir beredar.Tersedia standar kalibrasi
pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat
operasi telah dipenuhi (Agoes, 2008).
4
B. Metode Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus,
yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh
pengaduk an. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang
berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul
diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga
berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat
ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada
metode basket dipertahankan pada 37°C. Posisi dan kesejajaran
dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap
kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung
yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil
pelarutan.Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk
memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Agoes, 2008).
3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat
A. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika
disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan
memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena
kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga
mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya
lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas.
Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa
kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia
yang identik. Obat bentuk kristal secara termodinamik lebih stabil
daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf
lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal (Shargel dan Andrew,
1998).
B. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada
sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan
mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut
5
dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan
obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti
magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat
dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat
membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat
dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks dengan bahan obat,
misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk
kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah
obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap
jumlah obat yang terabsorpsi (Shargel dan Andrew, 1998).
C. Faktor Alat Uji Disolusi dan Parameter Uji
Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama
percobaan yang meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH
medium dan metode uji yang dipakai.Pengadukan mempengaruhi
penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga
memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut.Suhu
medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang
kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi
tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada
percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada
lokasi obat di sepanjang saliran cerna sehingga akan mempengaruhi
kelarutan dan laju disolusi obat. Metode penentuan laju disolusi yang
berbeda dapat menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda
tergantung pada metode uji yang digunakan (Syukri, 2002).
4. Bahan dan Alat Percobaan
4.1. Alat
Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, tabung disolusi, thermostat
dengan penangas air, alat uji disolusi tipe dayung, timbangan analitik, spuit
5 cc, mikro filter, kompor listrik, stopwatch, spektrofotometer UV, dan
kuvet.
6
4.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah Teofilin Monohidrat, Teofilin Anhidrat,
Kloramfenikol, Metanol, medium disolusi dapar HCl 0,1 N dan air.
5. Prosedur
Ditimbang masing-masing 50 mg serbuk Teofilin Monohidrat, Teofilin
Anhidrat, Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol. Disiapkan alat disolusi
dengan cara dituang 500 ml medium dapar HCl 0,1 N kedalam tabung disolusi,
suhu diatur pada suhu 37 ± 0,5oC. Diatur ketinggian jarak antara permukaan
dayung dengan dasar tabung disolusi 2 cm, dimasukan pada labu disolusi serbuk
teofilin monohidrat, teofilin anhidrat, kloramfenikol dan kloramfenikol metanol
dan diatur kecepatan 50 rpm, dilakukan sampling sebanyak 5 cm pada menit ke-5,
10, 15, 20 dan 30 selanjutnya diukur masing-masing absorbansi pada panjang
gelombang 269 nm untuk teofilin dan pada panjang gelombang 275 nm untuk
kloramfenikol dengan menggunakan spektrofotometri UV.
6. Data Percobaan, Perhitungan dan Grafik
6.1 Data Percobaan
Tabel 1. Data kurva baku standar teofilin
No. X (ppm) Y (Absorban)
1. 14 0,6935
2. 12 0,6376
3. 11 0,5865
4. 9 0,4889
5. 6 0,3871
7
Tabel 2. Data kurva baku standar kloramfenikol
No. X (ppm) Y (Absorbansi)
1. 100 0,6444
2. 95 0,6064
3. 90 0,5561
4. 85 0,5104
5. 80 0,4504
6.2.Perhitungan
Tabel 3. Absorbansi disolusi teofilin anhidrat
Waktu Absorbansi
5 0,270
10 0,334
15 0,348
20 0,358
30 0,379
Tabel 4. Absorbansi disolusi teofilin monohidrat
Waktu Absorbansi
0 0
5 0.431
10 0.533
15 0.604
20 0.467
30 0.422
Tabel 5. Absorbansi disolusi kloramfenikol
Waktu Absorbansi
0 0
5 0.227
10 0.341
15 0.456
20 0.476
30 0.541
8
Tabel 6. Absorbansi disolusi kloramfenikol metanol
Waktu Absorbansi
0 0
5 0.257
10 0.313
15 0.387
20 0.401
30 0.505
6.3.Grafik
Gambar 1. Kurva Baku Standar Teofilin
Gambar 2. Kurva Baku Standar Kloramfenikol
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0 5 10 15
%disolusi
Waktu
Kurva Baku Standar Teofilin
absorbansi
y = 0.0097x - 0.3177
R² = 0.9945
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0 20 40 60 80 100 120
absorbansi
konsentrasi
Kurva Baku Kloramfenikol
9
7. Diskusi dan Pembahasan
Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut menghasilkan suatu larutan secara sederhana. Disolusi terbagi menjadi
tiga, yaitu disolusi intrinsik, disolusi partikulat dan adisolusi terbanding.
Praktikum kali ini membahas tentang disolusi partikulat, yaitu disolusi yang
menggunakan sampel dalam bentuk serbuk untuk mengetahui laju disolusi dari
suatu zat aktif yang memiliki perbedaan sifat fisikokimia
Pengujian disolusi dilakukan terhadap bahan baku obat yaitu Teofilin
Anhidrat, Teofilin Monohidrat, Kloramfenikol dan Kloramfenikol metanol
dipelajari pengaruh keadaan bahan baku obat (polimorfi, hidrat, solvate) terhadap
kecepatan disolusi kemudian hasilnya dibandingkan yang bertujuan sebagai
preformulasi untuk bentuk sediaan.
Sebelum melakukan pengujian disolusi dilakukan pembuatan kurva baku
terlebih dahulu. Untuk teofilin pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang
gelombang 269 nm sehingga diperoleh konsentrasi larutan standar yaitu 6, 9, 11,
12, dan 14 ppm dengan nilai absorbansi yang berada dalam range 0,2-0,8. Dari
nilai absorbansi yang dihasilkan diperoleh persamaan linier yaitu y = 0,0398x +
0,1447 dengan nilai regresi 0,9911. Sedangkan untuk kloramfenikol pengukuran
absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 275 nm dengan konsentrasi kurva
baku yaitu 80, 85, 90, 95 dan 100 ppm diperoleh nilai regresi 0,9945 dengan
persamaan linear y = 0,0097 + (-0,3177). Persamaan garis tersebut digunakan
untuk menghitung kadar sampel Teofilin Anhidrat, Teofilin Monohidrat,
Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol pada uji disolusi.
Alat yang digunakan untuk uji disolusi partikulat ini yaitu dissolution
tester tipe II (tipe dayung) dengan posisi paddle dengan dasar labu 2,5 ± 0,2 cm
hal ini dilakukan karena pada posisi sampling tersebut terjadi pengadukan paling
baik sehingga dapat mempresentasikan jumlah disolusi obat.
Medium disolusi yang digunakan adalah HCl 0,1 N sebanyak 500 ml
dengan suhu 37 ± 0,5oC disesuaikan dengan sugu tubuh manusia. Penggunaan
medium HCl 0,1 N untuk menyesuaikan keadaan fisiologis di dalam lambung
dengan kecepatan pengadukan 50 rpm menggambarkan gerakan peristaltik
lambung. Hal ini disesuaikan dengan tubuh manusia karena pengujian disolusi ini
10
untuk meramalkan pelarutan obat dalam cairan tubuh. Setelah 5 menit larutan
dalam tabung 1 diambil sebanyak 5 ml dengan menggunakan spuit yang sudah
terpasang membran filter, penggunaan membran filter bertujuan untuk menyaring
pengotor yang mungkin ada dalam larutan dan dimasukkan ke dalam vial yang
telah dicuci dan dibersihkan. Dalam waktu yang bersamaan media dalam tabung 2
diambil 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung 1. Penggantian volume media
yang diambil ini dilakukan agar volume media dalam tabung 1 tetap 500 ml,
karena media dianalogikan sebagai cairan tubuh. Kemudian dilakukan hal yang
sama pada menit ke 10, 15, 20 dan 30. Sebaiknya tempat pengambilan cuplikan di
tempat yang sama, agar kondisi cuplikan dari menit awal hingga menit akhir
diharapkan tetap sama karena jika diambil di tempat yang berbeda kemungkinan
akan menghasilkan konsentrasi yang berbeda pula sehingga pada pengukuran
hasil yang diperoleh tidak akurat.
Hasil pengambilan cuplikan selanjutnya diuji absorbansinya mennggunakan
instrument spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 269 nm untuk
teofilin dan pada panjang gelombang 275 nm untuk kloraamfenikol karena
panjang gelombang tersebut merupakan panjang gelombang maksimal dari
Teofilin.
Pada pengukuran ini diperoleh absorbansi dari masing-masing cuplikan
yang diambil, dengan demikian dari absorbansi ini dapat dihitung konsentrasi dari
masing-masing cuplikan berdasarkan pada persamaan regresi linier.
Dari hasil perhitungan yang diperoleh diketahui persen disolusi cuplikan
terdapat perbedaan untuk teofilin monohidrat, teofilin anhidrat, kloramfenikol dan
kloramfenikol metanol. % disolusi teofilin monohidrat pada menit ke-5, 10, 15,
20, 30 berturut turut adalah 57,548 %; 78,626 %; 93,678 %; 67,063 % dan
58,666%. Sedangkan untuk teofilin anhidrat % disolusi berturut-turut adalah
62,9648 %; 95,7552 %; 103,7417 %; 109,7884% dan 121,4130 %.
Bahan baku Teofilin Monohidrat dan Teofilin Anhidrat terdapat perbedaan
dalam strukturnya. Teofilin Monohidrat mengandung kristal air didalamnya
sedangkan Teofilin Anhidrat tidak mempunyai struktur air di dalamnya. Dengan
bentuk monohidrat biasanya dapat membantu meningkatkan kecepatan disolusi
karena dengan adanya kandungan air maka dapat memperluas permukaannya
11
ketika kontak dengan medium disolusi. Luas permukaan yang besar maka porinya
banyak sehingga mempermudah proses kelarutannya.
Setelah dibandingkan dengan hasil persen disolusi antara teofilin anhidrat
dengan teofilin monohidrat didapatkan hasil yang tidak sesuai dengan literatur
dimana pada hasil praktikum diketahui teofilin anhidrat memiliki persen disolusi
yang lebih baik dari teofilin monohidrat dengan kadar melebihi 100% dan untuk
teofilin monohidrat % disolusi dari menit ke 5-30 mengalami kenaikan dan
penurunan persen disolusi, hal tersebut dapat terjadi dengan adanya banyak faktor
salah satunya adalah suhu disolusi tidak sesuai dimana suhu dalam pengujian
mempengaruhi cepat lambatnya disolusi suatu obat semakin tinggi suhu semakin
cepat proses disolusinya, cara sampling yang kurang tepat sehingga berpengaruh
pada besarnya % disolusi.
Hasil perhitungan % disolusi kloramfenikol didapatkan kloramfenikol
biasa mempunyai % disolusi menit ke 5, 10, 15, 20 dan 30 secara berturut-turut
adalah 56,155%; 68,469%; 81,004%; 83,863%; dan 91,382% sedangkan
kloramfenikol yang direndam dalam metanol mempunyai % disolusi berturur-
turut adalah 59,246 %; 65,6124%; 73,8906%;76,0611% dan 87,5244%.
Pada pengujian disolusi partikulat kloramfenikol dan kloramfenikol
metanol didapatkan hasil disolusi kloramfenikol lebih baik dibanding
kloramfenikol dengan metanol dikarenakan kloramfenikol dengan metanol
berbentuk kristal, obat yang berbentuk kristal secara umum lebih keras, kaku, dan
secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan
obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dari pada bentuk kristal.
Dari hasil praktikum tersebut dapat dibuktikan bahwa ukuran partikel,
polimorfisme, sifat permukaan zat, faktor alat, pengadukan, kondisi lingkungan
berpengaruh pada disolusi suatu obat, faktor lainnya yang mempengaruhi disolusi
adalah suhu, viskositas, pH, kesalahan operator, formulasi sediaan dan sifat fisika
kimia obat.
8. Kesimpulan
12
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, persen disolusi pada
pengujian ini diketahui teofilin anhidrat memiliki disolusi yang lebih baik
daripada teofilin monohidrat dengan % disolusi melebihi 100% tidak sesuai
dengan literature yang ada.
Pada hasil pengujian kloramfenikol dan kloramfenikol metanol disolusi
yang paling baik yaitu kloramfenikol dikarenakan adanya perbedaan bentuk
partikel, bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dibandingkan dengan bentuk
kristal.
9. Daftar Pustaka
Agoes, G. 2008. Pengembangan Sediaan Farmasi, Edisi Revisi & Pelunasan.
ITB: Bandung
Gunawi, dkk. 2011. “ Peningkatan Laju Disolusi Tablet Piroksikam menggunakan
polisorbat 80”. Jurnal Acta Pharmaciae Indonesia. Volume 1. Nomor 1.
Shargel, L dan Andrew. 1998. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan. Edisi II.
Surabaya: Airlangga University Press.
Sinko, P. J. 2006. Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical Science:
Physical Chemical and Biopharmaceutical Principle in the
Pharmaceutical Sciences, 5 th edition. Lippicott William and Wilkins,
Philadelpia.
Sutriyo dkk. 2005. “Pengaruh Polivinil Pirolidon Terhadap Laju Disolusi
Furosemid Dalam Sistem Dispersi Padat”. Majalah Ilmu Kefarmasian,
Vol. II, No.1, April 2005, 30 – 42
Syukri. 2002. Biofarmasetika, Yogyakarta: UII Press
13
LAMPIRAN
1. Teofilin Anhidrat
Tabel 7. Perhitungan Profil Persen Disolusi Teofilin Anhidrat
waktu faktor
pengenceran
absorbansi konsentrasi
(ppm)
mg
terdisolusi
faktor
koreksi
mg
terkoreksi
%
terdisolusi
0 20 X 0 0 0 0 0 0
5 20 X 0.27 62.9648 31.4824 0 31.4824 62.9648
10 20 X 0.334 95.1256 47.5628 0.3148 47.8776 95.7552
15 20 X 0.348 102.1608 51.0804 0.4756 51.8708 103.7417
20 20 X 0.358 107.1859 53.5929 0.5108 54.8942 109.7884
30 20 X 0.379 117.7386 58.8693 0.5359 60.7065 121.4130
Gambar 3. Profil Persen Disolusi Teofilin Anhidrat
0
20
40
60
80
100
120
140
0 10 20 30 40
%disolusi
Waktu
Profil Persen Disolusi Teofilin Anhidrat
% terdisolusi
14
2. Teofilin Monohidrat
Tabel 8. Perhitungan Profil Persen Disolusi Teofilin Monohidrat
Waktu faktor
pengenceran
absorbansi kosentrasi
(ppm)
mg
terdisolusi
faktor
koreksi
mg
terkoreksi
%disolusi
0 8 x 0 0 0 0.0000 0 0
5 8 x 0.431 57.548 28.774 0.0000 28.774 57.548
10 8 x 0.533 78.050 39.025 0.2877 39.313 78.626
15 8 x 0.604 92.322 46.161 0.3902 46.839 93.678
20 8 x 0.467 64.784 32.392 0.4616 33.532 67.063
30 8 x 0.422 55.739 27.869 0.3239 29.333 58.666
Gambar 4. Profil Persen Disolusi Teofilin Monohidrat
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
%Disolusi
Waktu
Profil PersenDisolusiTeofilinMonohidrat
15
3. Perbandingan Disolusi Teofilin Anhidrat dan Teofilin Monohidrat
Gambar 5. Perbandingan Persen Disolusi Teofilin Anhidrat dan Teofilin
Monohidrat
4. Kloramfenikol
Tabel 9. Perhitungan Profil Persen Disolusi Kloramfenikol
waktu absorbansi kosentrasi
(ppm)
mg
terdisolusi
faktor
koreksi
mg
terkoreksi
%
disolusi
0 0 0 0 0 0 0
5 0.227 56.155 28.077 0.000 28.077 56.155
10 0.341 67.907 33.954 0.281 34.234 68.469
15 0.456 79.763 39.881 0.340 40.502 81.004
20 0.476 81.825 40.912 0.399 41.931 83.863
30 0.541 88.526 44.263 0.409 45.691 91.382
0
20
40
60
80
100
120
140
0 5 10 15 20 30
%Disolusi
Waktu
% Disolusi theofilin
anhidrat
% Disolusi theofilin
monohidrat
16
Gambar 6. Profil Persen Disolusi Kloramfenikol
5. Kloramfenikol Metanol
Tabel 10. Perhitungan Profil Persen Disolusi Kloramfenikol Metanol
waktu absorbansi
konsentrasi
(ppm)
mg
terdisolusi
faktor
koreksi
mg
terkoreksi
%
terdisolusi
0 0 0 0 0 0 0
5 0.257 59.247 29.623 0 29.623 59.246
10 0.313 65.02 32.51 0.2962 32.8062 65.6124
15 0.387 72.649 36.324 0.3251 36.9453 73.8906
20 0.401 74.092 37.046 0.3632 38.0305 76.0611
30 0.505 84.8144 42.4072 0.3704 43.7622 87.5244
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 25 30 35
%Disolusi
Waktu
Profil PersenDisolusi Kloramfenikol
17
Gambar 7. Profil Disolusi Kloramfenikol Metanol
6. Perbandingan Disolusi Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol
Gambar 8. Perbandingan Persen Disolusi Kloramfenikol dan Kloramfenikol
Metanol
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40
%Disolusi
Waktu
Profil PersenDisolusi Kloramfenikol Metanol
% terdisolusi
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 5 10 15 20 30
%DIsolusi
Waktu
% terdisolusi KM
% terdisolusi
kloramfenikol

More Related Content

What's hot

High performance liquid chromatography (hplc)
High performance liquid chromatography (hplc)High performance liquid chromatography (hplc)
High performance liquid chromatography (hplc)muhlisun_azim
 
Laporan resmi elixir paracetamol
Laporan resmi elixir paracetamolLaporan resmi elixir paracetamol
Laporan resmi elixir paracetamolKezia Hani Novita
 
Teknologi formulasi iii infus dekstrosa
Teknologi formulasi iii infus dekstrosaTeknologi formulasi iii infus dekstrosa
Teknologi formulasi iii infus dekstrosawulannsftri
 
Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
Bioavailabilitas dan BioekivalensiBioavailabilitas dan Bioekivalensi
Bioavailabilitas dan BioekivalensiSurya Amal
 
Laporan Praktikum Pembuatan Tablet Vitamin-C
Laporan Praktikum Pembuatan Tablet Vitamin-CLaporan Praktikum Pembuatan Tablet Vitamin-C
Laporan Praktikum Pembuatan Tablet Vitamin-CNovi Fachrunnisa
 
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap  Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap  Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...Surya Amal
 
Laporan sirup
Laporan sirupLaporan sirup
Laporan sirupsisabihi
 
LAPORAN DISOLUSI OBAT FARMASI FISIKA
LAPORAN DISOLUSI OBAT FARMASI FISIKALAPORAN DISOLUSI OBAT FARMASI FISIKA
LAPORAN DISOLUSI OBAT FARMASI FISIKARezkyNurAziz
 
FARMASETIKA – PEMBAHASAN SOAL RESEP det, iter, did, det orig
FARMASETIKA – PEMBAHASAN SOAL RESEP det, iter, did, det origFARMASETIKA – PEMBAHASAN SOAL RESEP det, iter, did, det orig
FARMASETIKA – PEMBAHASAN SOAL RESEP det, iter, did, det origNesha Mutiara
 

What's hot (20)

Evaluasi Granul
Evaluasi GranulEvaluasi Granul
Evaluasi Granul
 
Rheologi
RheologiRheologi
Rheologi
 
Uji Mutu Sediaan Suspensi
Uji Mutu Sediaan SuspensiUji Mutu Sediaan Suspensi
Uji Mutu Sediaan Suspensi
 
High performance liquid chromatography (hplc)
High performance liquid chromatography (hplc)High performance liquid chromatography (hplc)
High performance liquid chromatography (hplc)
 
Laporan resmi elixir paracetamol
Laporan resmi elixir paracetamolLaporan resmi elixir paracetamol
Laporan resmi elixir paracetamol
 
Teknologi formulasi iii infus dekstrosa
Teknologi formulasi iii infus dekstrosaTeknologi formulasi iii infus dekstrosa
Teknologi formulasi iii infus dekstrosa
 
keuntungan kerugian sediaan farmasi
keuntungan kerugian sediaan farmasikeuntungan kerugian sediaan farmasi
keuntungan kerugian sediaan farmasi
 
Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
Bioavailabilitas dan BioekivalensiBioavailabilitas dan Bioekivalensi
Bioavailabilitas dan Bioekivalensi
 
Gel
GelGel
Gel
 
Laporan Praktikum Pembuatan Tablet Vitamin-C
Laporan Praktikum Pembuatan Tablet Vitamin-CLaporan Praktikum Pembuatan Tablet Vitamin-C
Laporan Praktikum Pembuatan Tablet Vitamin-C
 
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap  Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap  Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Abso...
 
Laporan sirup
Laporan sirupLaporan sirup
Laporan sirup
 
Enzim
EnzimEnzim
Enzim
 
Basic pharmacokinetics
Basic pharmacokineticsBasic pharmacokinetics
Basic pharmacokinetics
 
Reaksi Kimia dalam Metabolisme Obat
Reaksi Kimia dalam Metabolisme ObatReaksi Kimia dalam Metabolisme Obat
Reaksi Kimia dalam Metabolisme Obat
 
Kelompok 12(1)
Kelompok 12(1)Kelompok 12(1)
Kelompok 12(1)
 
mikromiretik
mikromiretikmikromiretik
mikromiretik
 
Sediaan krim
Sediaan krimSediaan krim
Sediaan krim
 
LAPORAN DISOLUSI OBAT FARMASI FISIKA
LAPORAN DISOLUSI OBAT FARMASI FISIKALAPORAN DISOLUSI OBAT FARMASI FISIKA
LAPORAN DISOLUSI OBAT FARMASI FISIKA
 
FARMASETIKA – PEMBAHASAN SOAL RESEP det, iter, did, det orig
FARMASETIKA – PEMBAHASAN SOAL RESEP det, iter, did, det origFARMASETIKA – PEMBAHASAN SOAL RESEP det, iter, did, det orig
FARMASETIKA – PEMBAHASAN SOAL RESEP det, iter, did, det orig
 

Similar to DISOLUSI OBAT

PPT-UEU-Farmasi-Fisika-10.pptx
PPT-UEU-Farmasi-Fisika-10.pptxPPT-UEU-Farmasi-Fisika-10.pptx
PPT-UEU-Farmasi-Fisika-10.pptxwindsar1010
 
Farmasi Fisik dan Desain Produk Obat.pdf
Farmasi Fisik dan Desain Produk Obat.pdfFarmasi Fisik dan Desain Produk Obat.pdf
Farmasi Fisik dan Desain Produk Obat.pdfdewi306100
 
uji disolusi obat Disolusi I dan II .pptx
uji disolusi obat Disolusi I dan II .pptxuji disolusi obat Disolusi I dan II .pptx
uji disolusi obat Disolusi I dan II .pptxbelatikodr4t
 
Laporan_Praktikum_Farmasi_Fisika_Disolus.docx
Laporan_Praktikum_Farmasi_Fisika_Disolus.docxLaporan_Praktikum_Farmasi_Fisika_Disolus.docx
Laporan_Praktikum_Farmasi_Fisika_Disolus.docxagusgunawan08091984
 
Biofarmasetika (Pendahuluan)
Biofarmasetika (Pendahuluan)Biofarmasetika (Pendahuluan)
Biofarmasetika (Pendahuluan)Taofik Rusdiana
 
Mula Kerja, Puncak Efek dan Lama Kerja Obat Analgetik pada Pemberian Per Oral...
Mula Kerja, Puncak Efek dan Lama Kerja Obat Analgetik pada Pemberian Per Oral...Mula Kerja, Puncak Efek dan Lama Kerja Obat Analgetik pada Pemberian Per Oral...
Mula Kerja, Puncak Efek dan Lama Kerja Obat Analgetik pada Pemberian Per Oral...Novi Fachrunnisa
 
Makalah farmakologi
Makalah farmakologi Makalah farmakologi
Makalah farmakologi dinana88
 
BIOFARMASI SEDIAAN OBAT FARMASI 2024 fix
BIOFARMASI SEDIAAN OBAT FARMASI 2024 fixBIOFARMASI SEDIAAN OBAT FARMASI 2024 fix
BIOFARMASI SEDIAAN OBAT FARMASI 2024 fixRISMIFARMASI
 
Ppt farmasi fisika - MERANCANG DESAIN PRODUK OBAT BERDASARKAN SIFAT FISIKA KI...
Ppt farmasi fisika - MERANCANG DESAIN PRODUK OBAT BERDASARKAN SIFAT FISIKA KI...Ppt farmasi fisika - MERANCANG DESAIN PRODUK OBAT BERDASARKAN SIFAT FISIKA KI...
Ppt farmasi fisika - MERANCANG DESAIN PRODUK OBAT BERDASARKAN SIFAT FISIKA KI...ALLKuliah
 
FARMAKOLOGI 1 - kuliah 1,2 ok.pptx
FARMAKOLOGI 1 - kuliah 1,2 ok.pptxFARMAKOLOGI 1 - kuliah 1,2 ok.pptx
FARMAKOLOGI 1 - kuliah 1,2 ok.pptxWahyuRaizHo
 
Farmakokinetika
FarmakokinetikaFarmakokinetika
Farmakokinetika4nakmans4
 
Farmakokinetika
FarmakokinetikaFarmakokinetika
Farmakokinetika4nakmans4
 
Farmakokinetika
FarmakokinetikaFarmakokinetika
Farmakokinetika4nakmans4
 
Farmakokinetika
FarmakokinetikaFarmakokinetika
Farmakokinetika4nakmans4
 
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul e
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul eAbsorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul e
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul easepkurniawan12
 
chronoterapeutics oral : future of drug delivery
chronoterapeutics oral : future of drug deliverychronoterapeutics oral : future of drug delivery
chronoterapeutics oral : future of drug deliveryanna maria manullang
 
Materi farmakologi kelas xi bab 1
Materi farmakologi kelas xi  bab 1Materi farmakologi kelas xi  bab 1
Materi farmakologi kelas xi bab 1apotek agam farma
 

Similar to DISOLUSI OBAT (20)

PPT-UEU-Farmasi-Fisika-10.pptx
PPT-UEU-Farmasi-Fisika-10.pptxPPT-UEU-Farmasi-Fisika-10.pptx
PPT-UEU-Farmasi-Fisika-10.pptx
 
Farmasi Fisik dan Desain Produk Obat.pdf
Farmasi Fisik dan Desain Produk Obat.pdfFarmasi Fisik dan Desain Produk Obat.pdf
Farmasi Fisik dan Desain Produk Obat.pdf
 
uji disolusi obat Disolusi I dan II .pptx
uji disolusi obat Disolusi I dan II .pptxuji disolusi obat Disolusi I dan II .pptx
uji disolusi obat Disolusi I dan II .pptx
 
Laporan_Praktikum_Farmasi_Fisika_Disolus.docx
Laporan_Praktikum_Farmasi_Fisika_Disolus.docxLaporan_Praktikum_Farmasi_Fisika_Disolus.docx
Laporan_Praktikum_Farmasi_Fisika_Disolus.docx
 
Biofarmasetika (Pendahuluan)
Biofarmasetika (Pendahuluan)Biofarmasetika (Pendahuluan)
Biofarmasetika (Pendahuluan)
 
Mula Kerja, Puncak Efek dan Lama Kerja Obat Analgetik pada Pemberian Per Oral...
Mula Kerja, Puncak Efek dan Lama Kerja Obat Analgetik pada Pemberian Per Oral...Mula Kerja, Puncak Efek dan Lama Kerja Obat Analgetik pada Pemberian Per Oral...
Mula Kerja, Puncak Efek dan Lama Kerja Obat Analgetik pada Pemberian Per Oral...
 
Makalah farmakologi
Makalah farmakologi Makalah farmakologi
Makalah farmakologi
 
UJI DISOLUSI.ppt
UJI DISOLUSI.pptUJI DISOLUSI.ppt
UJI DISOLUSI.ppt
 
Disolusi.pptx
Disolusi.pptxDisolusi.pptx
Disolusi.pptx
 
BIOFARMASI SEDIAAN OBAT FARMASI 2024 fix
BIOFARMASI SEDIAAN OBAT FARMASI 2024 fixBIOFARMASI SEDIAAN OBAT FARMASI 2024 fix
BIOFARMASI SEDIAAN OBAT FARMASI 2024 fix
 
Ppt farmasi fisika - MERANCANG DESAIN PRODUK OBAT BERDASARKAN SIFAT FISIKA KI...
Ppt farmasi fisika - MERANCANG DESAIN PRODUK OBAT BERDASARKAN SIFAT FISIKA KI...Ppt farmasi fisika - MERANCANG DESAIN PRODUK OBAT BERDASARKAN SIFAT FISIKA KI...
Ppt farmasi fisika - MERANCANG DESAIN PRODUK OBAT BERDASARKAN SIFAT FISIKA KI...
 
FARMAKOLOGI 1 - kuliah 1,2 ok.pptx
FARMAKOLOGI 1 - kuliah 1,2 ok.pptxFARMAKOLOGI 1 - kuliah 1,2 ok.pptx
FARMAKOLOGI 1 - kuliah 1,2 ok.pptx
 
Makalah farmakologi
Makalah farmakologiMakalah farmakologi
Makalah farmakologi
 
Farmakokinetika
FarmakokinetikaFarmakokinetika
Farmakokinetika
 
Farmakokinetika
FarmakokinetikaFarmakokinetika
Farmakokinetika
 
Farmakokinetika
FarmakokinetikaFarmakokinetika
Farmakokinetika
 
Farmakokinetika
FarmakokinetikaFarmakokinetika
Farmakokinetika
 
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul e
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul eAbsorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul e
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul e
 
chronoterapeutics oral : future of drug delivery
chronoterapeutics oral : future of drug deliverychronoterapeutics oral : future of drug delivery
chronoterapeutics oral : future of drug delivery
 
Materi farmakologi kelas xi bab 1
Materi farmakologi kelas xi  bab 1Materi farmakologi kelas xi  bab 1
Materi farmakologi kelas xi bab 1
 

Recently uploaded

Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannPelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannandyyusrizal2
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasmufida16
 
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxLaporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxkaiba5
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptbekamalayniasinta
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANDianFitriyani15
 
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatFARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatSyarifahNurulMaulida1
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTriNurmiyati
 
05. PPT Pelayanan Kefarmasian Penggunanan Obat Bimbingan.pptx
05. PPT Pelayanan Kefarmasian Penggunanan Obat Bimbingan.pptx05. PPT Pelayanan Kefarmasian Penggunanan Obat Bimbingan.pptx
05. PPT Pelayanan Kefarmasian Penggunanan Obat Bimbingan.pptxssuser1f6caf1
 
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptxKeperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptxrachmatpawelloi
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdfMeboix
 
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptxrachmatpawelloi
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar KeperawatanHaslianiBaharuddin
 
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfLaporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfHilalSunu
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinanDwiNormaR
 
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxSediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxwisanggeni19
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabayaajongshopp
 
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfStrategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfhsetraining040
 
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptSOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptDwiBhaktiPertiwi1
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptRoniAlfaqih2
 
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptxILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptxfania35
 

Recently uploaded (20)

Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinannPelajaran Distosia Bahu pada persalinann
Pelajaran Distosia Bahu pada persalinann
 
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmasserbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
serbuk terbagi dan serbuk tabur yang gunakan untuk farmas
 
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptxLaporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
Laporan Kasus - Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut.pptx
 
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.pptPERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
PERAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KELOMPOK 4.ppt
 
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANANETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN SERTA KEBIDANAN
 
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obatFARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
FARMAKOLOGI OBAT PERSALINAN farmakologi obat
 
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptxTUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
TUMBUH KEMBANG KELUARGAaaaaaaaaaaaa.pptx
 
05. PPT Pelayanan Kefarmasian Penggunanan Obat Bimbingan.pptx
05. PPT Pelayanan Kefarmasian Penggunanan Obat Bimbingan.pptx05. PPT Pelayanan Kefarmasian Penggunanan Obat Bimbingan.pptx
05. PPT Pelayanan Kefarmasian Penggunanan Obat Bimbingan.pptx
 
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptxKeperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
Keperawatan Anatomi Fisiologi Laktasi.pptx
 
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
2. Kebijakan ILP di Posyandu-1234567.pdf
 
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
414325562-Ppt- Keperawatan GawatDarurat Trauma-Abdomen.pptx
 
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
1 Konsep Patologi dan Patofisologi.pptx Ilmu Dasar Keperawatan
 
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdfLaporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
Laporan kasus restorasi kelas 2 komposit.pdf
 
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
3. HEACTING LASERASI.ppt pada persalinan
 
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptxSediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
Sediaan Kream semisolid farmasi Industri.pptx
 
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod SurabayaToko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
 
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdfStrategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
Strategi_Pengendalian_RisikoZSFADXSCFQ.pdf
 
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.pptSOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
SOSIALISASI MATERI DEMAM BERDARAH DENGUE.ppt
 
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.pptanatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
anatomi fisiologi sistem penginderaan.ppt
 
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptxILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
 

DISOLUSI OBAT

  • 1. 1 DISOLUSI PARTIKULAT 1. Tujuan Percobaan Mempelajari pengaruh keadaan bahan baku obat yakni Teofilin Anhidrat, Teofilin Monohidrate, Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol terhadap kecepatan disolusi partikulatnya sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya. 2. Prinsip Percobaan Pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut berdasarkan pada kecepatan disolusi yang berbanding lurus dengan luas permukaan bahan obat dan kelarutannya. 3. Teori 3.1 Definisi Disolusi Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorpsi sistemik obat (Shargel dan Andrew, 1998). Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat. Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu sendiri. Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas (Sutriyo dkk, 2005). Uji disolusi merupakan hal yang harus dilakukan untuk merancang suatu sediaan tablet agar laju pelepasan obat dari tablet tersebut dapat diketahui. Obat yang memiliki disolusi yang baik akan memberikan bioavailabilitas yang baik pula sehingga semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Laju disolusi dapat berhubungan 1
  • 2. 2 langsung dengan kemanjuran suatu obat dan merupakan suatu karakteristik mutu yang penting dalam menilai mutu obat yang digunakan peroral untuk mendapatkan efek sistemik. Selain itu uji disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu obat (Gunawi, 2011). Ketika suatu tablet atau sediaan padat masuk ke dalam saluran cerna, obat tersebut mulai bergerak dari padatan utuh ke dalam larutan. Kecuali tablet tersebut merupakan bahan polimerik yang bergandengan, matriks padat uga berdisintegrasi menjadi granul-granul. Granul-granul yang dihasilkan selanjutnya berdeagregasi menjadi partikel-partikel halus. Disentegrasi, deagregasi dan disolusi dapat dapat terjadi bersamaa dengan pelepasan obat dari bentuk penghantarannya. Keefektifan suatu tablet melepaskan kandungan obatnya untuk absorpsi sistemik sedikit banyak bergantung pada kecepatan disintegrasi bentuk sediaan dan deagregasi granul. Namun biasanya yang lebih berpengaruh adalah kecepatan disolusi sediaan padat tersebut. Disolusi sering kali merupakan tahap penentu atau pengendali kecepatan pada absorpsi obat berkelarutan rendah karena disolusi kerap kali menjadi tahap paling lambat diantara berbagai tahap yang terlibat dalam pelepasan obat dari bentuk sediaan dan pergerakan ke dalam sirkulasi sistemik. Kecepatan suatu padatan melarut dalam suatu pelarut dinyatakan secara kuantitatif oleh Noyes dan Whitney, kemudian diuraikan dengan persamaan : 𝑑𝑀 𝑑𝑡 = 𝐷𝑠 ℎ (𝐶𝑠 − 𝐶) M adalah massa zat terlarut yang terlarut selama waktu t; dM/dt adalah kecepatan disolusi massa (massa/waktu); D adalah koefisien difusi zat terlarut dalam larutan; S adalah luas permukaan padatan; h adalah tebal lapisan difusi; Cs adalah kelarutan padatan (yakni konsentrasi ssenyawa dalam larutan jenuh pada permukaan padatan dan pada temperatur percobaan); dan C adalah konsentrasi zat terlarut dalam larutan bulk pada waktu t. Kuantitas dC/dt adalah kecepatan disolusi dan V adalah volume larutan. Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat,
  • 3. 3 misalnya karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian oral, karena batasan waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus (Sinko, 2006). 3.2 Macam-Macam Disolusi Adapun macam-macam disolusi antara lain: A. Disolusi intrinsik Didefinisikan sebagai suatu kecepatan disolusi zak aktif murni dibawah kondisi luas permukaan yang konstan. Kaplan dan wood menyarankan bahwa absorbsi dengan kecepatan disolusi intrinsik kurang lebih 1 mg/menit/cm2 akan sangatmungkin bebas dari masalah kecepatan disolusi. B. Disolusi partikulat Luas permukaan solida tidak dibuat konstan. Disolusi partikulat digunakan untuk mempelajari pengaruh ukuran partikel terhadap kecepatan disolusi. 3.3 Metode Uji Disolusi Menurut USP XXI uji pelarutan dapat digunakan dengan beberapa cara, yaitu: A. Metode Keranjang (Basket) Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37°. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar.Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi (Agoes, 2008).
  • 4. 4 B. Metode Dayung (Paddle) Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengaduk an. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada 37°C. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan.Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Agoes, 2008). 3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat A. Sifat fisika kimia obat Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal (Shargel dan Andrew, 1998). B. Faktor formulasi Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut
  • 5. 5 dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang terabsorpsi (Shargel dan Andrew, 1998). C. Faktor Alat Uji Disolusi dan Parameter Uji Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang dipakai.Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut.Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang saliran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat. Metode penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda tergantung pada metode uji yang digunakan (Syukri, 2002). 4. Bahan dan Alat Percobaan 4.1. Alat Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, tabung disolusi, thermostat dengan penangas air, alat uji disolusi tipe dayung, timbangan analitik, spuit 5 cc, mikro filter, kompor listrik, stopwatch, spektrofotometer UV, dan kuvet.
  • 6. 6 4.2. Bahan Bahan yang digunakan adalah Teofilin Monohidrat, Teofilin Anhidrat, Kloramfenikol, Metanol, medium disolusi dapar HCl 0,1 N dan air. 5. Prosedur Ditimbang masing-masing 50 mg serbuk Teofilin Monohidrat, Teofilin Anhidrat, Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol. Disiapkan alat disolusi dengan cara dituang 500 ml medium dapar HCl 0,1 N kedalam tabung disolusi, suhu diatur pada suhu 37 ± 0,5oC. Diatur ketinggian jarak antara permukaan dayung dengan dasar tabung disolusi 2 cm, dimasukan pada labu disolusi serbuk teofilin monohidrat, teofilin anhidrat, kloramfenikol dan kloramfenikol metanol dan diatur kecepatan 50 rpm, dilakukan sampling sebanyak 5 cm pada menit ke-5, 10, 15, 20 dan 30 selanjutnya diukur masing-masing absorbansi pada panjang gelombang 269 nm untuk teofilin dan pada panjang gelombang 275 nm untuk kloramfenikol dengan menggunakan spektrofotometri UV. 6. Data Percobaan, Perhitungan dan Grafik 6.1 Data Percobaan Tabel 1. Data kurva baku standar teofilin No. X (ppm) Y (Absorban) 1. 14 0,6935 2. 12 0,6376 3. 11 0,5865 4. 9 0,4889 5. 6 0,3871
  • 7. 7 Tabel 2. Data kurva baku standar kloramfenikol No. X (ppm) Y (Absorbansi) 1. 100 0,6444 2. 95 0,6064 3. 90 0,5561 4. 85 0,5104 5. 80 0,4504 6.2.Perhitungan Tabel 3. Absorbansi disolusi teofilin anhidrat Waktu Absorbansi 5 0,270 10 0,334 15 0,348 20 0,358 30 0,379 Tabel 4. Absorbansi disolusi teofilin monohidrat Waktu Absorbansi 0 0 5 0.431 10 0.533 15 0.604 20 0.467 30 0.422 Tabel 5. Absorbansi disolusi kloramfenikol Waktu Absorbansi 0 0 5 0.227 10 0.341 15 0.456 20 0.476 30 0.541
  • 8. 8 Tabel 6. Absorbansi disolusi kloramfenikol metanol Waktu Absorbansi 0 0 5 0.257 10 0.313 15 0.387 20 0.401 30 0.505 6.3.Grafik Gambar 1. Kurva Baku Standar Teofilin Gambar 2. Kurva Baku Standar Kloramfenikol 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0 5 10 15 %disolusi Waktu Kurva Baku Standar Teofilin absorbansi y = 0.0097x - 0.3177 R² = 0.9945 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0 20 40 60 80 100 120 absorbansi konsentrasi Kurva Baku Kloramfenikol
  • 9. 9 7. Diskusi dan Pembahasan Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan secara sederhana. Disolusi terbagi menjadi tiga, yaitu disolusi intrinsik, disolusi partikulat dan adisolusi terbanding. Praktikum kali ini membahas tentang disolusi partikulat, yaitu disolusi yang menggunakan sampel dalam bentuk serbuk untuk mengetahui laju disolusi dari suatu zat aktif yang memiliki perbedaan sifat fisikokimia Pengujian disolusi dilakukan terhadap bahan baku obat yaitu Teofilin Anhidrat, Teofilin Monohidrat, Kloramfenikol dan Kloramfenikol metanol dipelajari pengaruh keadaan bahan baku obat (polimorfi, hidrat, solvate) terhadap kecepatan disolusi kemudian hasilnya dibandingkan yang bertujuan sebagai preformulasi untuk bentuk sediaan. Sebelum melakukan pengujian disolusi dilakukan pembuatan kurva baku terlebih dahulu. Untuk teofilin pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 269 nm sehingga diperoleh konsentrasi larutan standar yaitu 6, 9, 11, 12, dan 14 ppm dengan nilai absorbansi yang berada dalam range 0,2-0,8. Dari nilai absorbansi yang dihasilkan diperoleh persamaan linier yaitu y = 0,0398x + 0,1447 dengan nilai regresi 0,9911. Sedangkan untuk kloramfenikol pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 275 nm dengan konsentrasi kurva baku yaitu 80, 85, 90, 95 dan 100 ppm diperoleh nilai regresi 0,9945 dengan persamaan linear y = 0,0097 + (-0,3177). Persamaan garis tersebut digunakan untuk menghitung kadar sampel Teofilin Anhidrat, Teofilin Monohidrat, Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol pada uji disolusi. Alat yang digunakan untuk uji disolusi partikulat ini yaitu dissolution tester tipe II (tipe dayung) dengan posisi paddle dengan dasar labu 2,5 ± 0,2 cm hal ini dilakukan karena pada posisi sampling tersebut terjadi pengadukan paling baik sehingga dapat mempresentasikan jumlah disolusi obat. Medium disolusi yang digunakan adalah HCl 0,1 N sebanyak 500 ml dengan suhu 37 ± 0,5oC disesuaikan dengan sugu tubuh manusia. Penggunaan medium HCl 0,1 N untuk menyesuaikan keadaan fisiologis di dalam lambung dengan kecepatan pengadukan 50 rpm menggambarkan gerakan peristaltik lambung. Hal ini disesuaikan dengan tubuh manusia karena pengujian disolusi ini
  • 10. 10 untuk meramalkan pelarutan obat dalam cairan tubuh. Setelah 5 menit larutan dalam tabung 1 diambil sebanyak 5 ml dengan menggunakan spuit yang sudah terpasang membran filter, penggunaan membran filter bertujuan untuk menyaring pengotor yang mungkin ada dalam larutan dan dimasukkan ke dalam vial yang telah dicuci dan dibersihkan. Dalam waktu yang bersamaan media dalam tabung 2 diambil 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung 1. Penggantian volume media yang diambil ini dilakukan agar volume media dalam tabung 1 tetap 500 ml, karena media dianalogikan sebagai cairan tubuh. Kemudian dilakukan hal yang sama pada menit ke 10, 15, 20 dan 30. Sebaiknya tempat pengambilan cuplikan di tempat yang sama, agar kondisi cuplikan dari menit awal hingga menit akhir diharapkan tetap sama karena jika diambil di tempat yang berbeda kemungkinan akan menghasilkan konsentrasi yang berbeda pula sehingga pada pengukuran hasil yang diperoleh tidak akurat. Hasil pengambilan cuplikan selanjutnya diuji absorbansinya mennggunakan instrument spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 269 nm untuk teofilin dan pada panjang gelombang 275 nm untuk kloraamfenikol karena panjang gelombang tersebut merupakan panjang gelombang maksimal dari Teofilin. Pada pengukuran ini diperoleh absorbansi dari masing-masing cuplikan yang diambil, dengan demikian dari absorbansi ini dapat dihitung konsentrasi dari masing-masing cuplikan berdasarkan pada persamaan regresi linier. Dari hasil perhitungan yang diperoleh diketahui persen disolusi cuplikan terdapat perbedaan untuk teofilin monohidrat, teofilin anhidrat, kloramfenikol dan kloramfenikol metanol. % disolusi teofilin monohidrat pada menit ke-5, 10, 15, 20, 30 berturut turut adalah 57,548 %; 78,626 %; 93,678 %; 67,063 % dan 58,666%. Sedangkan untuk teofilin anhidrat % disolusi berturut-turut adalah 62,9648 %; 95,7552 %; 103,7417 %; 109,7884% dan 121,4130 %. Bahan baku Teofilin Monohidrat dan Teofilin Anhidrat terdapat perbedaan dalam strukturnya. Teofilin Monohidrat mengandung kristal air didalamnya sedangkan Teofilin Anhidrat tidak mempunyai struktur air di dalamnya. Dengan bentuk monohidrat biasanya dapat membantu meningkatkan kecepatan disolusi karena dengan adanya kandungan air maka dapat memperluas permukaannya
  • 11. 11 ketika kontak dengan medium disolusi. Luas permukaan yang besar maka porinya banyak sehingga mempermudah proses kelarutannya. Setelah dibandingkan dengan hasil persen disolusi antara teofilin anhidrat dengan teofilin monohidrat didapatkan hasil yang tidak sesuai dengan literatur dimana pada hasil praktikum diketahui teofilin anhidrat memiliki persen disolusi yang lebih baik dari teofilin monohidrat dengan kadar melebihi 100% dan untuk teofilin monohidrat % disolusi dari menit ke 5-30 mengalami kenaikan dan penurunan persen disolusi, hal tersebut dapat terjadi dengan adanya banyak faktor salah satunya adalah suhu disolusi tidak sesuai dimana suhu dalam pengujian mempengaruhi cepat lambatnya disolusi suatu obat semakin tinggi suhu semakin cepat proses disolusinya, cara sampling yang kurang tepat sehingga berpengaruh pada besarnya % disolusi. Hasil perhitungan % disolusi kloramfenikol didapatkan kloramfenikol biasa mempunyai % disolusi menit ke 5, 10, 15, 20 dan 30 secara berturut-turut adalah 56,155%; 68,469%; 81,004%; 83,863%; dan 91,382% sedangkan kloramfenikol yang direndam dalam metanol mempunyai % disolusi berturur- turut adalah 59,246 %; 65,6124%; 73,8906%;76,0611% dan 87,5244%. Pada pengujian disolusi partikulat kloramfenikol dan kloramfenikol metanol didapatkan hasil disolusi kloramfenikol lebih baik dibanding kloramfenikol dengan metanol dikarenakan kloramfenikol dengan metanol berbentuk kristal, obat yang berbentuk kristal secara umum lebih keras, kaku, dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dari pada bentuk kristal. Dari hasil praktikum tersebut dapat dibuktikan bahwa ukuran partikel, polimorfisme, sifat permukaan zat, faktor alat, pengadukan, kondisi lingkungan berpengaruh pada disolusi suatu obat, faktor lainnya yang mempengaruhi disolusi adalah suhu, viskositas, pH, kesalahan operator, formulasi sediaan dan sifat fisika kimia obat. 8. Kesimpulan
  • 12. 12 Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, persen disolusi pada pengujian ini diketahui teofilin anhidrat memiliki disolusi yang lebih baik daripada teofilin monohidrat dengan % disolusi melebihi 100% tidak sesuai dengan literature yang ada. Pada hasil pengujian kloramfenikol dan kloramfenikol metanol disolusi yang paling baik yaitu kloramfenikol dikarenakan adanya perbedaan bentuk partikel, bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dibandingkan dengan bentuk kristal. 9. Daftar Pustaka Agoes, G. 2008. Pengembangan Sediaan Farmasi, Edisi Revisi & Pelunasan. ITB: Bandung Gunawi, dkk. 2011. “ Peningkatan Laju Disolusi Tablet Piroksikam menggunakan polisorbat 80”. Jurnal Acta Pharmaciae Indonesia. Volume 1. Nomor 1. Shargel, L dan Andrew. 1998. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan. Edisi II. Surabaya: Airlangga University Press. Sinko, P. J. 2006. Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical Science: Physical Chemical and Biopharmaceutical Principle in the Pharmaceutical Sciences, 5 th edition. Lippicott William and Wilkins, Philadelpia. Sutriyo dkk. 2005. “Pengaruh Polivinil Pirolidon Terhadap Laju Disolusi Furosemid Dalam Sistem Dispersi Padat”. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.1, April 2005, 30 – 42 Syukri. 2002. Biofarmasetika, Yogyakarta: UII Press
  • 13. 13 LAMPIRAN 1. Teofilin Anhidrat Tabel 7. Perhitungan Profil Persen Disolusi Teofilin Anhidrat waktu faktor pengenceran absorbansi konsentrasi (ppm) mg terdisolusi faktor koreksi mg terkoreksi % terdisolusi 0 20 X 0 0 0 0 0 0 5 20 X 0.27 62.9648 31.4824 0 31.4824 62.9648 10 20 X 0.334 95.1256 47.5628 0.3148 47.8776 95.7552 15 20 X 0.348 102.1608 51.0804 0.4756 51.8708 103.7417 20 20 X 0.358 107.1859 53.5929 0.5108 54.8942 109.7884 30 20 X 0.379 117.7386 58.8693 0.5359 60.7065 121.4130 Gambar 3. Profil Persen Disolusi Teofilin Anhidrat 0 20 40 60 80 100 120 140 0 10 20 30 40 %disolusi Waktu Profil Persen Disolusi Teofilin Anhidrat % terdisolusi
  • 14. 14 2. Teofilin Monohidrat Tabel 8. Perhitungan Profil Persen Disolusi Teofilin Monohidrat Waktu faktor pengenceran absorbansi kosentrasi (ppm) mg terdisolusi faktor koreksi mg terkoreksi %disolusi 0 8 x 0 0 0 0.0000 0 0 5 8 x 0.431 57.548 28.774 0.0000 28.774 57.548 10 8 x 0.533 78.050 39.025 0.2877 39.313 78.626 15 8 x 0.604 92.322 46.161 0.3902 46.839 93.678 20 8 x 0.467 64.784 32.392 0.4616 33.532 67.063 30 8 x 0.422 55.739 27.869 0.3239 29.333 58.666 Gambar 4. Profil Persen Disolusi Teofilin Monohidrat 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5 10 15 20 25 30 35 %Disolusi Waktu Profil PersenDisolusiTeofilinMonohidrat
  • 15. 15 3. Perbandingan Disolusi Teofilin Anhidrat dan Teofilin Monohidrat Gambar 5. Perbandingan Persen Disolusi Teofilin Anhidrat dan Teofilin Monohidrat 4. Kloramfenikol Tabel 9. Perhitungan Profil Persen Disolusi Kloramfenikol waktu absorbansi kosentrasi (ppm) mg terdisolusi faktor koreksi mg terkoreksi % disolusi 0 0 0 0 0 0 0 5 0.227 56.155 28.077 0.000 28.077 56.155 10 0.341 67.907 33.954 0.281 34.234 68.469 15 0.456 79.763 39.881 0.340 40.502 81.004 20 0.476 81.825 40.912 0.399 41.931 83.863 30 0.541 88.526 44.263 0.409 45.691 91.382 0 20 40 60 80 100 120 140 0 5 10 15 20 30 %Disolusi Waktu % Disolusi theofilin anhidrat % Disolusi theofilin monohidrat
  • 16. 16 Gambar 6. Profil Persen Disolusi Kloramfenikol 5. Kloramfenikol Metanol Tabel 10. Perhitungan Profil Persen Disolusi Kloramfenikol Metanol waktu absorbansi konsentrasi (ppm) mg terdisolusi faktor koreksi mg terkoreksi % terdisolusi 0 0 0 0 0 0 0 5 0.257 59.247 29.623 0 29.623 59.246 10 0.313 65.02 32.51 0.2962 32.8062 65.6124 15 0.387 72.649 36.324 0.3251 36.9453 73.8906 20 0.401 74.092 37.046 0.3632 38.0305 76.0611 30 0.505 84.8144 42.4072 0.3704 43.7622 87.5244 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5 10 15 20 25 30 35 %Disolusi Waktu Profil PersenDisolusi Kloramfenikol
  • 17. 17 Gambar 7. Profil Disolusi Kloramfenikol Metanol 6. Perbandingan Disolusi Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol Gambar 8. Perbandingan Persen Disolusi Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 10 20 30 40 %Disolusi Waktu Profil PersenDisolusi Kloramfenikol Metanol % terdisolusi 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 5 10 15 20 30 %DIsolusi Waktu % terdisolusi KM % terdisolusi kloramfenikol