1. Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh bentuk kimia dan bahan tambahan terhadap kecepatan disolusi beberapa zat aktif obat, yaitu teofilin anhidrat, teofilin monohidrat, kloramfenikol, dan kloramfenikol metanol.
2. Metode yang digunakan adalah metode dayung dengan mengukur absorbansi larutan obat setiap 5 menit selama 30 menit untuk menentukan laju disolusinya.
ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT PEMERIKSAAN SUBJEKTIF.pptx
DISOLUSI OBAT
1. 1
DISOLUSI PARTIKULAT
1. Tujuan Percobaan
Mempelajari pengaruh keadaan bahan baku obat yakni Teofilin Anhidrat,
Teofilin Monohidrate, Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol terhadap
kecepatan disolusi partikulatnya sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya.
2. Prinsip Percobaan
Pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut
berdasarkan pada kecepatan disolusi yang berbanding lurus dengan luas
permukaan bahan obat dan kelarutannya.
3. Teori
3.1 Definisi Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke
dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Dalam sistem biologik pelarutan obat
dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorbsi
sistemik. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari
bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering
mengendalikan laju absorpsi sistemik obat (Shargel dan Andrew, 1998).
Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut
menghasilkan suatu larutan. Laju pelarutan obat dalam cairan saluran cerna
merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat.
Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu
sendiri. Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas (Sutriyo dkk, 2005).
Uji disolusi merupakan hal yang harus dilakukan untuk merancang suatu
sediaan tablet agar laju pelepasan obat dari tablet tersebut dapat diketahui. Obat
yang memiliki disolusi yang baik akan memberikan bioavailabilitas yang baik
pula sehingga semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi secara utuh oleh
tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Laju disolusi dapat berhubungan
1
2. 2
langsung dengan kemanjuran suatu obat dan merupakan suatu karakteristik mutu
yang penting dalam menilai mutu obat yang digunakan peroral untuk
mendapatkan efek sistemik. Selain itu uji disolusi merupakan salah satu parameter
penting dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu obat (Gunawi,
2011).
Ketika suatu tablet atau sediaan padat masuk ke dalam saluran cerna, obat
tersebut mulai bergerak dari padatan utuh ke dalam larutan. Kecuali tablet tersebut
merupakan bahan polimerik yang bergandengan, matriks padat uga berdisintegrasi
menjadi granul-granul. Granul-granul yang dihasilkan selanjutnya berdeagregasi
menjadi partikel-partikel halus. Disentegrasi, deagregasi dan disolusi dapat dapat
terjadi bersamaa dengan pelepasan obat dari bentuk penghantarannya.
Keefektifan suatu tablet melepaskan kandungan obatnya untuk absorpsi
sistemik sedikit banyak bergantung pada kecepatan disintegrasi bentuk sediaan
dan deagregasi granul. Namun biasanya yang lebih berpengaruh adalah kecepatan
disolusi sediaan padat tersebut. Disolusi sering kali merupakan tahap penentu atau
pengendali kecepatan pada absorpsi obat berkelarutan rendah karena disolusi
kerap kali menjadi tahap paling lambat diantara berbagai tahap yang terlibat
dalam pelepasan obat dari bentuk sediaan dan pergerakan ke dalam sirkulasi
sistemik. Kecepatan suatu padatan melarut dalam suatu pelarut dinyatakan secara
kuantitatif oleh Noyes dan Whitney, kemudian diuraikan dengan persamaan :
𝑑𝑀
𝑑𝑡
=
𝐷𝑠
ℎ
(𝐶𝑠 − 𝐶)
M adalah massa zat terlarut yang terlarut selama waktu t; dM/dt adalah
kecepatan disolusi massa (massa/waktu); D adalah koefisien difusi zat terlarut
dalam larutan; S adalah luas permukaan padatan; h adalah tebal lapisan difusi; Cs
adalah kelarutan padatan (yakni konsentrasi ssenyawa dalam larutan jenuh pada
permukaan padatan dan pada temperatur percobaan); dan C adalah konsentrasi zat
terlarut dalam larutan bulk pada waktu t. Kuantitas dC/dt adalah kecepatan
disolusi dan V adalah volume larutan.
Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika
obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju
obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus
pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat,
3. 3
misalnya karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses
disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses
absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu
laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam
beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian oral, karena batasan
waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus
(Sinko, 2006).
3.2 Macam-Macam Disolusi
Adapun macam-macam disolusi antara lain:
A. Disolusi intrinsik
Didefinisikan sebagai suatu kecepatan disolusi zak aktif murni
dibawah kondisi luas permukaan yang konstan. Kaplan dan wood
menyarankan bahwa absorbsi dengan kecepatan disolusi intrinsik
kurang lebih 1 mg/menit/cm2 akan sangatmungkin bebas dari masalah
kecepatan disolusi.
B. Disolusi partikulat
Luas permukaan solida tidak dibuat konstan. Disolusi partikulat
digunakan untuk mempelajari pengaruh ukuran partikel terhadap
kecepatan disolusi.
3.3 Metode Uji Disolusi
Menurut USP XXI uji pelarutan dapat digunakan dengan beberapa
cara, yaitu:
A. Metode Keranjang (Basket)
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan
oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam
suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu
tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37°. Kecepatan
berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat
khusus dalam USP yang terakhir beredar.Tersedia standar kalibrasi
pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat
operasi telah dipenuhi (Agoes, 2008).
4. 4
B. Metode Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus,
yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh
pengaduk an. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang
berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul
diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga
berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat
ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada
metode basket dipertahankan pada 37°C. Posisi dan kesejajaran
dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap
kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung
yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil
pelarutan.Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk
memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Agoes, 2008).
3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat
A. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika
disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan
memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena
kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga
mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya
lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas.
Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa
kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia
yang identik. Obat bentuk kristal secara termodinamik lebih stabil
daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf
lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal (Shargel dan Andrew,
1998).
B. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada
sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan
mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut
5. 5
dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan
obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti
magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat
dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat
membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat
dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks dengan bahan obat,
misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk
kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah
obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap
jumlah obat yang terabsorpsi (Shargel dan Andrew, 1998).
C. Faktor Alat Uji Disolusi dan Parameter Uji
Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama
percobaan yang meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH
medium dan metode uji yang dipakai.Pengadukan mempengaruhi
penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga
memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut.Suhu
medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang
kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi
tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada
percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada
lokasi obat di sepanjang saliran cerna sehingga akan mempengaruhi
kelarutan dan laju disolusi obat. Metode penentuan laju disolusi yang
berbeda dapat menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda
tergantung pada metode uji yang digunakan (Syukri, 2002).
4. Bahan dan Alat Percobaan
4.1. Alat
Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, tabung disolusi, thermostat
dengan penangas air, alat uji disolusi tipe dayung, timbangan analitik, spuit
5 cc, mikro filter, kompor listrik, stopwatch, spektrofotometer UV, dan
kuvet.
6. 6
4.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah Teofilin Monohidrat, Teofilin Anhidrat,
Kloramfenikol, Metanol, medium disolusi dapar HCl 0,1 N dan air.
5. Prosedur
Ditimbang masing-masing 50 mg serbuk Teofilin Monohidrat, Teofilin
Anhidrat, Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol. Disiapkan alat disolusi
dengan cara dituang 500 ml medium dapar HCl 0,1 N kedalam tabung disolusi,
suhu diatur pada suhu 37 ± 0,5oC. Diatur ketinggian jarak antara permukaan
dayung dengan dasar tabung disolusi 2 cm, dimasukan pada labu disolusi serbuk
teofilin monohidrat, teofilin anhidrat, kloramfenikol dan kloramfenikol metanol
dan diatur kecepatan 50 rpm, dilakukan sampling sebanyak 5 cm pada menit ke-5,
10, 15, 20 dan 30 selanjutnya diukur masing-masing absorbansi pada panjang
gelombang 269 nm untuk teofilin dan pada panjang gelombang 275 nm untuk
kloramfenikol dengan menggunakan spektrofotometri UV.
6. Data Percobaan, Perhitungan dan Grafik
6.1 Data Percobaan
Tabel 1. Data kurva baku standar teofilin
No. X (ppm) Y (Absorban)
1. 14 0,6935
2. 12 0,6376
3. 11 0,5865
4. 9 0,4889
5. 6 0,3871
8. 8
Tabel 6. Absorbansi disolusi kloramfenikol metanol
Waktu Absorbansi
0 0
5 0.257
10 0.313
15 0.387
20 0.401
30 0.505
6.3.Grafik
Gambar 1. Kurva Baku Standar Teofilin
Gambar 2. Kurva Baku Standar Kloramfenikol
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0 5 10 15
%disolusi
Waktu
Kurva Baku Standar Teofilin
absorbansi
y = 0.0097x - 0.3177
R² = 0.9945
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0 20 40 60 80 100 120
absorbansi
konsentrasi
Kurva Baku Kloramfenikol
9. 9
7. Diskusi dan Pembahasan
Disolusi merupakan suatu proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut menghasilkan suatu larutan secara sederhana. Disolusi terbagi menjadi
tiga, yaitu disolusi intrinsik, disolusi partikulat dan adisolusi terbanding.
Praktikum kali ini membahas tentang disolusi partikulat, yaitu disolusi yang
menggunakan sampel dalam bentuk serbuk untuk mengetahui laju disolusi dari
suatu zat aktif yang memiliki perbedaan sifat fisikokimia
Pengujian disolusi dilakukan terhadap bahan baku obat yaitu Teofilin
Anhidrat, Teofilin Monohidrat, Kloramfenikol dan Kloramfenikol metanol
dipelajari pengaruh keadaan bahan baku obat (polimorfi, hidrat, solvate) terhadap
kecepatan disolusi kemudian hasilnya dibandingkan yang bertujuan sebagai
preformulasi untuk bentuk sediaan.
Sebelum melakukan pengujian disolusi dilakukan pembuatan kurva baku
terlebih dahulu. Untuk teofilin pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang
gelombang 269 nm sehingga diperoleh konsentrasi larutan standar yaitu 6, 9, 11,
12, dan 14 ppm dengan nilai absorbansi yang berada dalam range 0,2-0,8. Dari
nilai absorbansi yang dihasilkan diperoleh persamaan linier yaitu y = 0,0398x +
0,1447 dengan nilai regresi 0,9911. Sedangkan untuk kloramfenikol pengukuran
absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 275 nm dengan konsentrasi kurva
baku yaitu 80, 85, 90, 95 dan 100 ppm diperoleh nilai regresi 0,9945 dengan
persamaan linear y = 0,0097 + (-0,3177). Persamaan garis tersebut digunakan
untuk menghitung kadar sampel Teofilin Anhidrat, Teofilin Monohidrat,
Kloramfenikol dan Kloramfenikol Metanol pada uji disolusi.
Alat yang digunakan untuk uji disolusi partikulat ini yaitu dissolution
tester tipe II (tipe dayung) dengan posisi paddle dengan dasar labu 2,5 ± 0,2 cm
hal ini dilakukan karena pada posisi sampling tersebut terjadi pengadukan paling
baik sehingga dapat mempresentasikan jumlah disolusi obat.
Medium disolusi yang digunakan adalah HCl 0,1 N sebanyak 500 ml
dengan suhu 37 ± 0,5oC disesuaikan dengan sugu tubuh manusia. Penggunaan
medium HCl 0,1 N untuk menyesuaikan keadaan fisiologis di dalam lambung
dengan kecepatan pengadukan 50 rpm menggambarkan gerakan peristaltik
lambung. Hal ini disesuaikan dengan tubuh manusia karena pengujian disolusi ini
10. 10
untuk meramalkan pelarutan obat dalam cairan tubuh. Setelah 5 menit larutan
dalam tabung 1 diambil sebanyak 5 ml dengan menggunakan spuit yang sudah
terpasang membran filter, penggunaan membran filter bertujuan untuk menyaring
pengotor yang mungkin ada dalam larutan dan dimasukkan ke dalam vial yang
telah dicuci dan dibersihkan. Dalam waktu yang bersamaan media dalam tabung 2
diambil 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung 1. Penggantian volume media
yang diambil ini dilakukan agar volume media dalam tabung 1 tetap 500 ml,
karena media dianalogikan sebagai cairan tubuh. Kemudian dilakukan hal yang
sama pada menit ke 10, 15, 20 dan 30. Sebaiknya tempat pengambilan cuplikan di
tempat yang sama, agar kondisi cuplikan dari menit awal hingga menit akhir
diharapkan tetap sama karena jika diambil di tempat yang berbeda kemungkinan
akan menghasilkan konsentrasi yang berbeda pula sehingga pada pengukuran
hasil yang diperoleh tidak akurat.
Hasil pengambilan cuplikan selanjutnya diuji absorbansinya mennggunakan
instrument spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 269 nm untuk
teofilin dan pada panjang gelombang 275 nm untuk kloraamfenikol karena
panjang gelombang tersebut merupakan panjang gelombang maksimal dari
Teofilin.
Pada pengukuran ini diperoleh absorbansi dari masing-masing cuplikan
yang diambil, dengan demikian dari absorbansi ini dapat dihitung konsentrasi dari
masing-masing cuplikan berdasarkan pada persamaan regresi linier.
Dari hasil perhitungan yang diperoleh diketahui persen disolusi cuplikan
terdapat perbedaan untuk teofilin monohidrat, teofilin anhidrat, kloramfenikol dan
kloramfenikol metanol. % disolusi teofilin monohidrat pada menit ke-5, 10, 15,
20, 30 berturut turut adalah 57,548 %; 78,626 %; 93,678 %; 67,063 % dan
58,666%. Sedangkan untuk teofilin anhidrat % disolusi berturut-turut adalah
62,9648 %; 95,7552 %; 103,7417 %; 109,7884% dan 121,4130 %.
Bahan baku Teofilin Monohidrat dan Teofilin Anhidrat terdapat perbedaan
dalam strukturnya. Teofilin Monohidrat mengandung kristal air didalamnya
sedangkan Teofilin Anhidrat tidak mempunyai struktur air di dalamnya. Dengan
bentuk monohidrat biasanya dapat membantu meningkatkan kecepatan disolusi
karena dengan adanya kandungan air maka dapat memperluas permukaannya
11. 11
ketika kontak dengan medium disolusi. Luas permukaan yang besar maka porinya
banyak sehingga mempermudah proses kelarutannya.
Setelah dibandingkan dengan hasil persen disolusi antara teofilin anhidrat
dengan teofilin monohidrat didapatkan hasil yang tidak sesuai dengan literatur
dimana pada hasil praktikum diketahui teofilin anhidrat memiliki persen disolusi
yang lebih baik dari teofilin monohidrat dengan kadar melebihi 100% dan untuk
teofilin monohidrat % disolusi dari menit ke 5-30 mengalami kenaikan dan
penurunan persen disolusi, hal tersebut dapat terjadi dengan adanya banyak faktor
salah satunya adalah suhu disolusi tidak sesuai dimana suhu dalam pengujian
mempengaruhi cepat lambatnya disolusi suatu obat semakin tinggi suhu semakin
cepat proses disolusinya, cara sampling yang kurang tepat sehingga berpengaruh
pada besarnya % disolusi.
Hasil perhitungan % disolusi kloramfenikol didapatkan kloramfenikol
biasa mempunyai % disolusi menit ke 5, 10, 15, 20 dan 30 secara berturut-turut
adalah 56,155%; 68,469%; 81,004%; 83,863%; dan 91,382% sedangkan
kloramfenikol yang direndam dalam metanol mempunyai % disolusi berturur-
turut adalah 59,246 %; 65,6124%; 73,8906%;76,0611% dan 87,5244%.
Pada pengujian disolusi partikulat kloramfenikol dan kloramfenikol
metanol didapatkan hasil disolusi kloramfenikol lebih baik dibanding
kloramfenikol dengan metanol dikarenakan kloramfenikol dengan metanol
berbentuk kristal, obat yang berbentuk kristal secara umum lebih keras, kaku, dan
secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan
obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dari pada bentuk kristal.
Dari hasil praktikum tersebut dapat dibuktikan bahwa ukuran partikel,
polimorfisme, sifat permukaan zat, faktor alat, pengadukan, kondisi lingkungan
berpengaruh pada disolusi suatu obat, faktor lainnya yang mempengaruhi disolusi
adalah suhu, viskositas, pH, kesalahan operator, formulasi sediaan dan sifat fisika
kimia obat.
8. Kesimpulan
12. 12
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, persen disolusi pada
pengujian ini diketahui teofilin anhidrat memiliki disolusi yang lebih baik
daripada teofilin monohidrat dengan % disolusi melebihi 100% tidak sesuai
dengan literature yang ada.
Pada hasil pengujian kloramfenikol dan kloramfenikol metanol disolusi
yang paling baik yaitu kloramfenikol dikarenakan adanya perbedaan bentuk
partikel, bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dibandingkan dengan bentuk
kristal.
9. Daftar Pustaka
Agoes, G. 2008. Pengembangan Sediaan Farmasi, Edisi Revisi & Pelunasan.
ITB: Bandung
Gunawi, dkk. 2011. “ Peningkatan Laju Disolusi Tablet Piroksikam menggunakan
polisorbat 80”. Jurnal Acta Pharmaciae Indonesia. Volume 1. Nomor 1.
Shargel, L dan Andrew. 1998. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan. Edisi II.
Surabaya: Airlangga University Press.
Sinko, P. J. 2006. Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical Science:
Physical Chemical and Biopharmaceutical Principle in the
Pharmaceutical Sciences, 5 th edition. Lippicott William and Wilkins,
Philadelpia.
Sutriyo dkk. 2005. “Pengaruh Polivinil Pirolidon Terhadap Laju Disolusi
Furosemid Dalam Sistem Dispersi Padat”. Majalah Ilmu Kefarmasian,
Vol. II, No.1, April 2005, 30 – 42
Syukri. 2002. Biofarmasetika, Yogyakarta: UII Press