Pekan lalu isu perpajakan yang mengisi ruang media antara lain seputar terbitnya PP Nomor 36 Tahun 2017 tentang pengenaan pajak final atas harta yang belum diungkap WP dalam SPT maupun SPH Tax Amnesty. Selain itu, wacana kenaikan batas nilai minimum barang bawaan penumpang kena bea masuk juga jadi perbincangan, selain munculnya RUU Konsultan Pajak dan shortfall pajak.
1. VOL. 3/ September 2017 weekly update
MUC Weekly Update merupakan
ringkasan informasi dan berita
perpajakan mingguan yang dirilis
MUC Consulting Group. Materi ini
terbatas hanya untuk memberikan
informasi dan tidak untuk
dipersamakan sebagai pendapat
profesional yang bisa dijadikan
rujukan dalam memformulasi strategi
bisnis.
MUC Building 3rd
, Jl. TB
Simatupang 15, Jakarta
Selatan
publishing@mucglobal.com.
021-78837111
ISU MINGGU INI
• Pemerintah Kenakan
Pajak Final Atas Harta
Tambahan Peserta
Amnesti Pajak
• Batas Nilai Barang
Bawaan Kena Bea
Masuk akan Diubah
• RUU Konsultan Pajak
Masuk Prolegnas 2017
• Kejar Setoran 2017, DJP
Minta Kuasa Anggaran
Negara Bayar Pajak di
Muka
• Pemerintah Janjikan
Insentif Bagi Kontraktor
Migas Pengguna
Skema Gross Split
PEMERINTAH KENAKAN PAJAK FINAL ATAS HARTA
TAMBAHAN PESERTA AMNESTI PAJAK
Pemerintah mempertegas pengenaan sanksi pajak atas penghasilan tambahan,
dari harta yang tidak atau belum dilaporkan Wajib Pajak dalam program
pengampunan pajak (tax amnesty). Sanksi tersebut berlaku pula bagi Wajib
Pajak yang tidak mengikut program amnesti pajak.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017, yang
merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 13 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Kedua pasal dalam UU Tax Amnesty itu pada intinya menegaskan mengenai konsekuensi dari
ketidakpatuhan Wajib Pajak terhadap ketentuan. Setidaknya ada dua kondisi dan
konsekuensi yang membayangi pelaksanaan program pengampunan pajak.
Pertama, terkait kepesertaan amnesti pajak yakni menyangkut ketentuan repatriasi asset dan
kewajiban Wajib Pajak untuk menginvestasikan hartanya di Indonesia selama 3 (tiga) tahun.
Kedua, mengenai harta lain—periode perolehan 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015—
yang tidak diungkapkan Wajib Pajak dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) atau nilai harta
yang diungkapkan lebih rendah dari nilai sebenarnya.
Konsekuensi dari permasalahan ini adalah
harta yang ditemukan dianggap sebagai
penghasilan saat ditemukan dan dikenai
PPh sesuai ketentuan perundang-
undangan, serta diganjar sanksi sebesar
200%. Adapun, menurut beleid ini atas
harta-harta tersebut harus dikenakan pajak
yang bersifat final dengan tarif yang
bervariasi, tergantung jenis wajib pajak.
WEEKLY UPDATE
Jenis Wajib Pajak Tarif
Wajib Pajak Badan 25%
Wajib Pajak Orang
Pribadi
30%
Wajib Pajak tertentu 12,5%
Sumber: PP Nomor 36 Tahun 2017
2. VOL. 3/ September 2017 weekly update
BATASAN NILAI BARANG BAWAAN KENA
BEA MASUK AKAN DIUBAH
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan,
berencana menaikkan batasan nilai minimum (threshold) barang bawaan
penumpang yang menjadi objek bea masuk.
Saat ini threshold barang bawaan yang dikategorikan impor dan dikenai
bea masuk paling sedikit US$ 250 per orang atau US$ 1.000 per
keluarga. Ketentuan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 188/PMK.04/2010.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengungkapkan rencana
penyesuaian batas minimum nilang barang bawaan kena bea masuk masih
dalam kajian.
Ada beberapa usulan penyesuaian threshold yang dipertimbangkan
pemerintah, yakni mulai dari naik dua kali lipat hingga sepuluh kali lipat
dari nilai saat ini. Pemerintah menilai, batasan yang berlaku saat ini
dianggap terlalu moderat dibandingkan aturan yang berlaku di negara lain.
Selain itu, pemerintah menilai jenis barang bawaan penumpang yang
bebas bea masuk juga harus dibatasi guna mengendalikan serbuan produk
impor ke dalam negeri.
Intinya, DJBC menyatakan revisi ketentuan barang bawaan penumpang
bertujuan untuk simplifikasi agar memudahkan masyararakat yang
membawa barang bawaan melalui bandara atau pintu masuk kedatangan
lainnya.
RUU KONSULTAN PAJAK MASUK
PROLEGNAS 2017
Dewan Perwakilan Rakyat berinisiatif menyusun Rancangan Undang-
Undang tentang Konsultan Pajak. Beleid ini nantinya akan mengatur
aktifitas para konsultan dan badan hukum lain yang menaunginya.
Selama ini, payung hukum yang mengatur kegiatan konsultan pajak
tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK
No.111/PMK.03/2014 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen).
Beberapa hal yang diatur dalam rancangan beleid itu misalnya, syarat izin
praktik untuk setiap konsultan. Sedangkan mengenai bentuk usaha yang
diperbolehkan untuk setiap kantor konsultan pajak adalah perseorangan
dan/atau persekutuan perdata.
Selain itu, diatur juga mengenai hak dan kewajiban konsultan pajak.
Antara lain mengenai kewajiban mematuhi kode etik profesi hingga
larangan merangkap sebagai pejabat negara.
RUU Konsultan pajak ini sudah masuk dalam program legislasi nasional
(Prolegnas) Perubahan 2017. Rencananya, beleid ini akan menjadi salah
satu paket kebijakan perpajakan yang akan dibahas oleh DPR seperti
RUU Pajak Penghasilan (PPh), RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan
RUU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP).
KEJAR SETORAN 2017, DJP MINTA
KUASA ANGGARAN NEGARA BAYAR
PAJAK DI MUKA
Direktorat Jenderal Pajak meminta Kementerian/Lembaga (K/L) dan
seluruh pemerintah daerah untuk membayar pajak di muka atas
pelaksanaan anggaran tahun 2017.
Direktur Jenderal Pajak, Ken Dwijugiastediadi menuturkan, pemotongan
pajak lebih awal sebelum eksekusi APBN dan APBD diperlukan untuk
menutupi kekurangan penerimaan pajak tahun 2017. Sebab, porsi pajak
dari pelaksanaan APBN dan APBD cukup besar, yaitu antara 7,5% hingga
15% dari total penerimaan pajak.
Apabila dikemudian hari terjadi selisih lebih antara pajak yang dibayarkan
dengan utang pajak, pemerintah daerah dan K/L dapat mengajukan
pengembalian atau restitusi.
Adapun, beberapa jenis pajak yang biasanya disetor dari pelaksanaan
APBN dan APBD antara lain Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas gaji
Pegawai Negeri Sipil (PNS), PPh Pasal 22 dan Pasal 23, serta Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang muncul dari kegiatan belanja barang dan
belanja modal.
PEMERINTAH JANJIKAN INSENTIF PAJAK
BAGI KONTRAKTOR MIGAS PENGGUNA
SKEMA GROSS SPLIT
Perusahaan minyak dan gas bumi yang menerapkan skema bagi hasil gross
split berpeluang mendapatkan relaksasi di bidang perpajakan.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini membuka peluang
memberikan insentif pajak kepada pelaku industri tersebut.
Kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara
menjelaskan, pemberian insentif dipertimbangkan karena industri migas
memiliki risiko tinggi. Dengan demikian diharapkan investasi di sektor
migas menjadi lebih menarik sehingga dapat mendongkrak produksi
migas.
Namun, lanjut Suahasil, pemerintah tidak akan buru-buru mengeluarkan
kebijakan insentif tersebut karena masih perlu dirundingkan terlebih
dahulu dengan pelaku industri. Salah satunya, adalah Indonesian
Petroleum Association (IPA). Karenanya, pertemuan dengan pengusaha
migas diperlukan guna menyerap aspirasi pelaku industri.
Sementara itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra
Tahar pernah mengatakan IPA menginginkan mekanisme pajak untuk
kontrak bagi hasil gross split sebanding dengan yang sudah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2017.
Aturan ini merupakan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun
2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan
Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas.