Teks tersebut membahas tentang eksistensi teori sosiologi Max Weber mengenai perkembangan kewarganegaraan dari zaman ke zaman. Max Weber membagi perkembangan kewarganegaraan menjadi tiga zaman yaitu zaman antik, abad pertengahan, dan zaman modern. Teori Weber menyatakan bahwa militer dan pedagang memiliki peran penting dalam pembentukan kewarganegaraan pada zaman-zaman tersebut. Teori ini memiliki relevansi den
EKSISTENSI TEORI SOSIOLOGI DALAM PEMIKIRAN MAX WEBER BAGI KEWARGANEGARAAN INDONESIA
1. EKSISTENSI TEORI SOSIOLOGI DALAM PEMIKIRAN MAX WEBER BAGI
KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Englin Sianturi
Fakultas Ilmu Sosial , Universitas Negeri Medan
englinsianturi312@gmail.com
Siti Almunawaroh
Fakultas Ilmu Sosial , Universitas Negeri Semarang
sitialmunawaroh2002@students.unnes.ac.id
ABSTRAK
Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam kontrol satuan politik tertentu
yang mana dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. seseorang
dengan keanggotaan yang demikian disebut dengan warga negara. jadi kewarganegaraan ini
menunjukkan adanya hubungan atau keterikatan antara negara dengan warga negara. seperti
halnya dengan antara Pemerintah dengan yang diperintah. dimana yang di warga negara (rakyat)
harus menaati dan melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, begitu juga pemerintah
harus memenuhi hak-hak yang diperintahnya. salah satunya dengan memberikan kebebasan bagi
rakyat atau warga yang di perintahnya. kebebasan yang dimaksud disini bukan kebebasan tanpa
batas melainkan kebebasan yang harus sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan.selain itu
(citizenship) merupakan suatu bentuk dari identitas sosial politik seseorang yang keberadaannya
beraitan dengan waktu yang berkembang (Derek Heater, 2004). jurnal ini bertujuan untuk
mendeskripsikan tentang perkembangan kewargaan dari zaman ke zaman menurut Max Weber,
dan menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai bagaimana eksistensi dan
implmentasi Eksistensi Teori Sosiologi Dalam Pemikiran Max Weber Bagi Kewarganegaraan
Indonesia.
Kata Kunci : Kewarganegaran Zaman Antik, Zaman Abad Pertengahan, Zaman Modern, Kesetaraan
dalam Hak Pilih
2. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kewarganegaraan merupakan
keanggotaan seseorang dalam kontrol satuan
politik tertentu yang mana dengannya
membawa hak untuk berpartisipasi dalam
kegiatan politik. seseorang dengan
keanggotaan yang demikian disebut dengan
warga negara(Winarno, 2015).
Prinsip kewarganegaraan merupakan hal
yang penting dimiliki oleh setiap negara demi
keberlangsungan kehidupan berbangsa dan
bernegara, banyaknya tokoh ahli yang
mengemukakan teori mengenai
kewarganegaraan sejak dahulu, menjadi
inspirasi bagi negara lain didunia untuk
menerapkan teori yang sudah digagas oleh
para tokoh tersebut, tidak terkecuali
Indonesia.
Perkembangan kewarganegaraan di
Indonesia selalu dinamis dari waktu kewaktu
dan tidak luput dari kota Yunani yang
menjadi awal dari sejarah kewarganegaraan
Indonesia. Perkembangan kewarganegaraan
Indonesia yang ada dari masa kemasa tidak
luput dari adanya eksistensi salah satu teori
sosiologi kewarganegaraan yang
dikemukakan oleh Max Weber.
Dalam mengemukaan pemikirannya,
Weber jauh lebih teliti dalam melakukan
pengamatan terhadap perkembangan
terbentuknya kewarganegaraan
dibandingkan dengan Karl Marx, melalui
sejarah tumbuhnya kota dan pasar dari era
masa klasik, pertengahan dan modern. Status
kewarganegaraan pertama muncul seiring
dengan adanya kota yang berfungsi sebagai
benteng pertahanan dan pasar sebagai areana
pertukaran. Melalui konteks ini, masyarakat
yang berperan dalam mendirikan dan
membela benteng menjadi warga negara
yang memiliki kedudukan penting di
masyarakat, hal tersebut uang menjadikan
militer dijadikan Weber sebagai unsur
penting kota dan dasar kewarganegaraan.
Pemikiran dari Max Weber memiliki
keterkaitan dengan kewargananegaraan di
Indonesia, dimana dalam perkembangan
kewarganegaraan di Indonesia juga
mengalami perubahan dari masa kemasa, dari
Yunani Kuno hingga di era modern seperti
sekarang ini. Pembagian pemikiran Max
Weber yang mengelompokkan
perkembangan kewarganegaraan menjadi
Zaman Antik, Abad Pertengahan dan Zaman
Modern masing masing masih memiliki
eksistensi terhadap kewarganegaraan yang
ada di Indonesia. Pemikiran Weber yang
menyatakan bahwa militer dan warga yang
memiliki peran dalam memajukan negara
menduduki posisi penting dalam negara,
diterapkan di Indonesia didalam bentuk
pejabat negara yang duduk dipemerintahan
maupun menjadi tokoh penting yang ikut
memantau berjalannya pemerintahan.
Banyak teori sosiologi kewarganegaraan
Max Weber yang masih memiliki eksistensi
tinggi ditengah masyarakat Indonesia dan
berkaitan dengan kewarganegaraan
Indonesia. Oleh karena itu, dalam tulisan ini
akan membahas seberapa jauh dan
bagaimana eksistensi teori Max Weber dalam
perkembangan kewarganegaraan Indonesia.
KERANGKA TEORETIS
3. Tiga pengertian kewarganegaraan: Pertama,
kewarganegaraan sebagai bagian dari
demokrasi yang dinyatakan dalam bidang
politik bahwa semua warga negara setara di
hadapan negara. Kedua, kewarganegaraan
dimengerti sebagai subjek hukum yang
memiliki hak dan kewajiban. Ketiga,
kewarganegaraan sebagai keberanggotaan
dari komunitas yang khas dan hubungan-
hubungan sosialnya yang khas pula.
Ditinjau dari teori-teori sosiologi,
kewarganegaraan disebutkan Brian S. Tunner
sebagai gejala yang beciri sosiologis. Dari
teori-teori sosiologi klasik, dua pemikir
sosiologi awal, yakni Karl Marx dan Max
Weber, secara tersirat sudah membahas
kewarganegaraan melalui tulisan-tulisan
mereka. Marx misalnya, seperti yang
dikemukakan dalam buku ini, memunculkan
konsep kewarganegaraan yang khas melalui
pemikirannya setelah sebelumnya
mengajukan kritik terhadap Bauer yang
mengulas peristiwa orang-orang Yahudi
Jerman yang berjuang mendapatkan status
kewarganegaraan di negara Jerman.
Kritik Marx terhadap tulisan Bauer
menyangkut dua hal, yang pertama, berkaitan
dengan agama sebagai sumber masalah
alienasi manusia yang dilihat melalui relasi
agama dan negara, dan yang kedua kritik
fondasionalnya terhadap kapitalisme yang
dinyatakannya sebagai sumber dari
keterasingan manusia yang sebenarnya.
Menurut Marx, berbeda dengan
Bauer, agama bukanlah sebab utama
keterasingan, toh jika disebut agama yang
menjadi dasar keterasingan dalam negara,
Marx mengambil contoh Amerika yang
mengambil bentuk negara yang tidak
memihak kepada satu agama sebagai fondasi
kenegaraannya adalah negara yang
dinyatakan “baik” walaupun masyarakatnya
banyak menganut agama tertentu. Berbeda
dari Jerman atau Prussia waktu itu di mana
kristen menjadi “agama resmi” negara,
sehingga dinyatakan Bauer sebagai sumber
keterasingan rakyat Jerman.
Dengan menunjukkan kelemahan
analisa Bauer, Marx mengemukakan
pemilahan dua konsep masyarakat
berdasarkan apa yang ia sebut political
community dan civil society dalam konteks
masyarakat kapitalis. Menurut Marx dalam
dimensi political community, manusia dilihat
dan menyatakan diri sebagai mahluk
komunal. Dalam dimensi ini, manusia
memperlakukan manusia yang lain dengan
cara yang sederajat dalam negara.
Sementara dalam civil society,
manusia dimaknai sebagai mahluk privat.
Akibatnya, dalam civil society, manusia
melihat manusia lainnya sebagai alat. Dalam
civil society, menurut Marx, kaum borjuasi
memiliki keleluasan untuk menguasai
segelintir orang demi mencapai kepentingan
mereka. Artinya, tidak ada kesetaraan dalam
konteks civil society diakibatkan munculnya
manusia satu yang memperlakukan manusia
lainnya sebagai alat pemenuhan kepentingan
pribadi.
Singkatnya, menurut Marx,
kesetaraan yang ada dalam political
community hanyalah semu semata akibat
adanya penjajahan manusia atas manusia
lainnya di wilayah civil society. Bagi Marx,
kewarganegaraan yang sebenarnya harus
diperjuangkan dalam wilayah civil society
dengan mengusulkan suatu model
4. masyarakat baru yang dikenal sebagai
masyarakat komunis.
Menurut pendakuannya, Weber
melihat status kewarganegaraan pertama-
tama muncul seiring dengan fungsi kota
sebagai benteng pertahanan dan pasar
sebagai arena pertukaran. Kota-kota di masa
peradaban klasik dibangun dengan maksud
mempertahankan diri dari serangan bangsa
lain berupa didirikannya tembok-tembok
tinggi hingga disebut benteng. Melalui
konteks ini, masyarakat yang ikut mendirikan
dan mempertahankan benteng dari serangan
bangsa luar menjadi warga negara yang
memiliki kedudukan penting dimasyarakat.
Itulah sebabnya menurut Weber, di kemudian
hari militer menjadi unsur penting dari
sebuah kota yang sekaligus menjadi dasar
kewarganegaraan.
Di sisi lain, Weber juga menyoroti
perkembangan selanjutnya yang ditandai
dengan kehadiran gilda-gilda yang lahir dan
berkembang dari bengkel-bengkel kerja dan
para tuan-tuan tanah. Dua unsur baru
masyarakat ini memiliki posisi penting di
kemudian hari, setelah melalui pertentangan
di antara mereka ketika memperebutkan
tenaga-tenaga kerja yang dipekerjakan.
Melalui aktivitas perekonomian, dua jenis
kelas masyarakat ini juga turut memberikan
dasar pengertian kewarganegaraan yang
dikemukakan Weber (prajurit dan pedagang).
Melalui khazanah sosiologi
kontemporer, kewarganegaraan sedikit
banyak dapat diterangkan dari perspektif
Antony Giddens dalam memandang posisi
subjek yang mengandaikan kebersatuan
lokus struktur dan tindakan. Dengan kata
lain, kewarganegaraan berarti pengukuhan
individu melalui tindakannya tanpa
meninggalkan konteks sosial tempatnya
terbentuk dan bertindak. Artinya,
kewarganegaraan menghilangkan dualisme
tindakan aktor dan determinasi struktur yang
selama ini menjadi masalah dalam teori ilmu-
ilmu sosiologi.
Diri sebagai konsep dari proyek yang
berkelanjutan Giddens juga menjadi
sumbangsih bagi teori kewarganegaraan.
Menurutnya, identitas dalam diri adalah
suatu proses kemampuan untuk
mempertahankan narasi mengenai diri.
Dengan pengertian yang lebih sederhana, diri
adalah identitas yang bukan final. Diri
bukanlah tujuan akhir, melainkan gerak yang
dinamis dan terbuka terhadap segala
kemungkinan yang dihadapinya.
Sementara di sisi lain, Turner
berpendapat teori sosiologi masa kini sudah
mengembangkan konsep yang lebih maju
yang melampaui dikotomi antara alam-
kebudayaan, pikiran-tubuh, dan individu-
masyarakat. Upaya memahami relasi di
antara keduanya yang dalam kajian teori
sosiologi mutakhir, menurut Turner dapat
diajukan melalui konsep yang ia sebut
“emboided personhood”. Artinya, menurut
Turner setiap kali kewarganegaraan
dibincangkan maka itu berarti ikut
membicarakan suatu model subjek yang
terikat dengan relasi-relasi sosial yang
menjadi dasar kenyataannya.
Turner sendiri mendefenisikan
kewarganegaraan sebagai seperangkat
tindakan baik itu yuridis, politis, ekonomi,
maupun kebudayaan, yang darinya sesorang
diartikan sebagai anggota kompeten dari
suatu masyarakat yang berakibat kepada
5. mengalirnya sumber daya ke individu ke
kelompok-kelompok sosial.
Dua hal yang patut diperhatikan dari
defenisi kewarganegaraan Turner di atas
adalah pertama, kewarganegaraan adalah
seperangkat tindakan, bukan sekadar
kumpulan hak dan kewajiban yang pasif.
Dengan pemahaman demikian,
kewarganegaraan adalah rangkaian proses
yang dibentuk dan bergerak melalui
kontruksi sosial dan sejarah. Kedua, dengan
melihat implikasi aliran sumber daya
individu ke kelompok, maka
kewarganegaraan juga mesti memerhatikan
soal-soal mengenai dsitribusi kekuasaan,
ketaksetaraan, dan perbedaan dalam kelas-
kelas sosial di masyarakat(Robertus Robert,
2014).
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode kualitatif deskriptif, yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang diamati
secara holistik atau utuh (Bogdan dan Taylor
dalam Moleong 2004: 4). Kekualitatifan
penelitian ini berkaitan dengan data
penelitian yang disajikan dalam bentuk kata
verbal, bukan dalam bentuk angka. Melalui
metode ini, semua hasil penelitian akan
dideskripsikan dalam hubungannya dengan
kaidah bahasa indonesia yang berlaku.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut Weber, secara umum ada tiga
kategori kewarga an. Pertama, kewargaan
sebagai kategori ekonomi. Dalam kate gori
pertama ini, kewargaan dilihat dari
kepentingan ekonomi dari masing-masing
kelas. Kedua, kewargaan sebagai kategori
politik. Kewargaan menggolongkan
seseorang dalam suatu ne gara. Ketiga,
kewargaan sebagai kategori sosial.
Kewarganegaraan di Zaman Antik
Pada zaman antik, kota-kota di Yunani
Kuno, terutama Sparta dan Athena, terancam
oleh bangsa Persia yang dipimpin oleh raja
Xerxes. Ancaman tersebut menyebabkan
kota-kota itu harus mempersiapkan diri agar
tidak dihancurkan oleh bangsa Persia. Sejak
usia dini semua warga kota dilatih dalam
keteram pilan militer.
Menurut Weber, kewargaan pada masa
antik berpusat pada urusan warga kota di
Yunani Kuno dalam melatih diri dan
berperang untuk mempertahankan kota dari
ancaman luar. Karena pentingnya pertahanan
kota, maka otomatis para pahlawan perang
mempunyai status kewargaan yang terhormat
di masyarakat.
selain itu Pada masa antik, perekonomian
terpusat pada ekonomi rumah tangga (oikos)
dan pasar Di pasar, pedagang adalah kelas
terpenting dalam
menghubungkan proses produksi dan
konsumsi. Selain perdagangan dan oikos,
pada zaman antik berkembang cikal bakal
industri yaitu bengkel-bengkel kerja.
Meski telah berdiri sejumlah bengkel
kerja, tetapi kedu dukan para pengrajin dalam
kewargaan belum mendapat tempat yang
tinggi karena bengkel pada zaman antik
bukanlah suatu organisasi kerja yang
otonom, tetapi dimiliki oleh para bangsawan.
Skala kerja mereka yang masih kecil dan
6. terbatas menjadi hambatan bagi para
pengrajin bengkel untuk menaik kan posisi
tawar mereka di masyarakat.
Seiring dengan makin majunya
perekonomian, kebanyak an warga jadi lebih
konsentrasi dalam bidang ekonomi dan
mengurangi kehadiran mereka di forum-
forum politik. Mereka yang terlibat dalam
politik perwakilan adalah mereka yang punya
banyak waktu luang dari aktivitas ekonomi
mereka.15 Warga dari kelas bangsawan
merupakan pihak yang paling aktif terlibat
dalam kegiatan-kegiatan di parlámento
karena mereka tidak terjun langsung dalam
aktivitas perekonomian, dan mendapatkan
penghasilannya dari pajak yang dibayarkan
oleh kelas-kelas lain yang terlibat aktif dalam
perekonomian kota. Meski kehidupan politik
lebih didominasi oleh suara kaum
bangsawan, tetapi kaum miskin Roma punya
tribun yang menjadi wadah aspirasi mereka
berhadapan dengan kaum bang sawan. Selain
itu, ada popolo yang mewadahi aspirasi war
ga biasa, khususnya para pedagang dan
pelaku ekonomi lainnya.
Kewarganegaraan di Abad
Pertengahan
Yang khas dari masa ini adalah tidak
adanya suatu pasukan militer yang terpusat.
Ada banyak penguasa wilayah di suatu
kerajaan yang mempunyai pasukannya
masing-masing. Hal ini bisa terjadi karena
situasi keamanan pada masa itu menuntut
biaya perang yang besar.
Menurut Weber, organisasi pertahanan
diri pada Abad Pertengahan punya makna
penting dalam menjaga properti se perti tanah
(estate) dan keseluruhan perekonomian kota
yang sedang menggeliat pada masa itu.
Aktivitas perekonomian masyarakat
berkembang pesat pada Abad Pertengahan.
Bengkel-bengkel kerja yang telah muncul
sejak zaman antik kini berkembang menjadi
gilda. Gilda adalah organisasi kerja dari
kelompok pengrajin tertentu sesuai
bidangnya.Semakin majunya perekonomian
membuat gilda bertumbuh di kota-kota.
Naiknya permintaan barang dagangan
mendorong para pemilik untuk
meningkatkan intensitas kerja.
Menjelang akhir Abad Pertengahan,
peran gilda yang se belumnya begitu
dominan mulai menurun seiring dengan
kompetisi yang begitu hebat antara gilda
yang satu dengan gilda yang lain. Harga
bahan-bahan mentah makin meroket
menyebabkan tingkat keuntungan gilda juga
menurun.
Pesatnya perkembangan ekonomi
akhirnya menimbulkan gesekan kepentingan
antar kelas, khususnya antara para pedagang
dan industriawan (yang mulai berpengaruh
pada masa akhir feodalisme) melawan para
bangsawan dan pemimpin Gereja.
Kewarganegaraan Modern
Pada masa modern, ketika negara-bangsa
berdiri, fungsi pertahanan diri diambil oleh
negara. Berbeda dengan organisasi
pertahanan pada Abad Pertengahan yang
terdesentralisasi, organi sasi pertahanan pada
masa modern tersentralisasi di tangan negara.
Menurut Weber, monopoli pertahanan diri
atau mono poli penggunaan kekerasan adalah
hal yang esensial dalam politik. Tanpa
7. monopoli penggunaan kekerasan, maka suatu
negara akan terancam lenyap oleh anarki.
Perihal monopoli kekerasan ini juga
berkait dengan pandangan Weber mengenai
otoritas. Menurut Weber, ada tiga bentuk
otoritas, yaitu otoritas rasional, tradisional,
dan karismatik.otoritas rasional bersumber
pada aturan legal formal. otoritas tradisional
ber sumber pada kebenaran tradisi yang
sudah lampau. Sedangkan otoritas karismatik
bersumber pada faktor karakter yang “luar
biasa” dari seorang pemimpin. Warga
percaya pada seorang pemimpin yang
mempesona mereka karena sang pemimpin
mempu nyai kelebihan-kelebihan khusus.
Menurut Weber, kewarganegaraan pada
zaman modern tidak punya ikatan kelas yang
sekuat seperti kewarganegaraan pada masa
antik dan Abad Pertengahan. Peran politik
seorang warga tidak terikat pada afiliasi
kelasnya. Misalnya, seseorang yang berasal
dari kelas buruh tidak serta merta harus
memainkan peran politik kelas buruh.
Weber secara khusus menyoroti hak pilih
sebagai salah satu contoh adanya kebebasan
politik bagi setiap warga. Setiap warga punya
hak yang sama untuk memilih, tanpa terikat
pada afiliasi kerja atau latar belakang
keluarganya. Tidak juga terikat pada
perbedaan situasi-situasi material dan
sosialnya, tetapi secara murni dan sederhana
sebagai warga.
Padangan Weber mengenai kesetaraan
hak pilih yang melampaui ketidaksetaraan
sosial berlatar belakang dari pemikirannya
mengenai apa itu politik. Bagi Weber, politik
adalah usaha untuk mencapai
ketidakmungkinan. Dengan berpolitik,
seseorang bisa keluar dari rutinitas yang
memperbudak kehidupan mereka. Karena
itu, bagi Weber, lewat kesetaraan hak pilih,
setiap warga negara bisa menentang otoritas
yang ada, yang mereka rasakan tidak
memenuhi keinginan mereka.
Berdasarkan pemaparan diatas dalam hal
ini penulis memfokuskan teori yang
dikemukakan oleh Max Weber, yaitu
kewarganegaraan modern yang mana
membahas mengenai Kesetaraan dalam Hak
Pilih. sebagaimana seperti yang kita ketahui
bahwasannya negara indonesia merupakan
negara yang dengan bentuk Pemerintahan
Republik yang menganut sistem Demokrasi.
dimana Menurut Abraham Lincoln
Demokrasi merupakan pemerintahan yang
berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat(Silaban Jane Thresia, 2013).
demokrasi adalah bentuk pemerintahan di
mana semua warga negaranya memiliki hak
yang sama pengambilan keputusan yang
dapat mengubah hidup mereka.artinya
kedaulatan sepenuhnya merupakan milik
rakyat, dalam sistem demokrasi rakyat bebas
dan memiliki hak penuh untuk memilih dan
menentukan siapa sosok yang akan
memimpinnya. Demokrasi merupakan salah
salah yang dianggab paling terbaik dalam
sistem pemerintahan di Indonesia, karena
memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada
Rakyat (warga negara), maka dari itu sebagai
wujud dari sistem demokrasi ini adalah
Pemilihan Umum atau yang biasa disingkat
dengan PEMILU. tentu PEMILU sudah
menjadi hal yang tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia, dimana PEMILU
merupakan proses memilih seseorang untuk
mengisi posisi jabatan tertentu. jabatan
tersebut beranekaragam, misalnya Presiden/
8. Eksekutif, Wakil Rakyat/ Legislatif dan
diberbagai tingkat pemerintahan sampai
dengan Kepala Desa.
Dalam melaksanaan pemilu ini rakyat
diberikan kebebasan penuh untuk
menentukan siapa pilihannya tanpa dibawah
tekanan dan tanpa unsur paksaan dari pihak-
pihak tertentu. jika kita perhatian defenisi
Demokrasi samapai pada defenisi Pemilu, hal
ini memiliki kaitan dengan Teori yang di
Kemukakan oleh seorang Pemikir / Ahli
Politik yang bernama MaxWeber yaitu
adanya kebebasan politik bagi setiap warga
artinya Setiap warga Negara ( Rakyat) punya
hak yang sama untuk memilih, tanpa terikat
pada afiliasi kerja atau latar belakang
keluarganya. Tidak juga terikat pada
perbedaan situasi-situasi material dan
sosialnya, tetapi secara murni dan sederhana
sebagai warga.
Lalu bagaimana Esistensi Teori yang Di
Kemukakan oleh Max Weber khususnya
mengenai Kesetaraan dalam Hak Pilih ? sejak
awal kemunculan konsep kewarganegaraan
di Indonesia hingga saat ini,
kewarganegaraan Indonesia memiliki tiga
poin utama yaitu politik, ekonomi , dan
sosial, seperti yang diungkapkan oleh Max
Weber pada masa lampau. Kepentingan
politik, ekonomi dan sosial warga negara
yang ada pada zaman dulu masih sama dan
teori yang diungkapkan oleh Weber masih
relevan dan eksis hingga masa kini, hal ini
dibuktikan dengan adanya undang undang
khusus di Indonesia yang memang mengatur
mengenai hak hak dan kewajiban warga
negara berkaitan politik, ekonomi dan sosial.
Dengan adanya undang undang yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban
warga negara terutama dalam bidang
politik,muncullah sebuah hak dan kewajiban
mengenai hak pilih. Dimasa
kewarganegaraan modern, kesetaraan hak
pilih dijunjung tinggi oleh Weber dan kini
benar diterapkan di Indonesia, menurut
Weber kewarganegaraan dimasa modern
tidak memiliki ikatan sekuat
kewarganegaraan dimasa antic dan
pertengahan, prinsip ini masih eksis di masa
sekarang dengan adanya kesetaraan hak
politik yang tidak lagi memandang status
sosial dari warga negara, semua memiliki hak
pilih yang sama dalam pemilu. Kebebasan
politik yang membawa pada warga negara
yang bebas memilih tanpa terikat pada
afiliasi, latar belakang, status sosial ekonomi
juga menjadi bukti bahwa teori Weber
mengenai kewarganegaraan di masa modern
masih memiliki eksistensi tinggi di Indonesia
saat ini.
Berangkat dari teori Max Weber dalam
kewarganegaraan modern memicu
munculnya prinsip demokrasi yang hingga
saat ini menjadi dasar dalam kehidupan
politik di Indonesia, dalam demokrasi negara
memberikan kepercayaan penuh keada
rakyat untuk mengelola pemerintahan
dengan prinsip “ dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat “ yang dibarengi dengan praktik
praktik pemilihan umum dalam setiap
periode untuk menentukan wakil takyat yang
akan duduk di pemerintahan. Dengan begitu
kewarganegaraan mdern menurut Max
Weber yang menjunjung tingggi kesetaraan
politik, menjadi dasar dalam proses
kewarganegaraan di Indonesia dan memiliki
eksistensi tinggi di Indonesia terutama dalam
hal kesetaraan hak pilih.
9. KESIMPULAN DAN SARAN
Kewarganegaraan adalah control
keanggotaan seseoran dalam control satual
politik tertentu dimana dengan membawa hak
untuk berpartisispasi dalam kegiatan politik,
seseorang dengan keanggotaan yang
demikian disebut dengan warga negara.
Perkembangan kewarganegaraan di
Indonesia dinamis dari masa kemasa, seperti
halnya dengan teori Max Weber yang
menggolongkan kewarganegaraan sesuai
dengan perkembangan zamannya yaitu masa
antic, abad pertengahan hingga
kewarganegaraan modern.
Kewarganegaraan modern dalam
pemikiran Weber hingga saat ini masih
diterapkan dan eksis di kalangan masyarakat
Indonesia, terutama dalam bidang
politik.kewarganegaraan modern yang sudah
tidak lagi membeda bedakan status sosial
ekonomi dalam memberikan hak pilih
terhada[ warga negaranya membua t
munculnya sebuah kesetaraan hak pilih.
Kesetaraan hak tersebut, diwujudkan di
Indonesia dengan adanya pemilu yang
berasas kan LUBER, dan JURDIL
Demikian tulisan yang kami buat,
semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada saran dan kritk yang ingin
disampaikan, silahkan sampaikan kepada
kami.
DAFTAR PUSTAKA
Demokrasi. (n.d.).
https://id.m.wikipedia.org/wiki/demokrasi
Robertus Robert. (2014). Pengantar Sosiologi
Kewarganegaraan.
Silaban Jane Thresia, D. (2013). Persespsi
Mahasiswa FISIP UNDIP Terhadap
Demokratisasi Di Indonesia. Jurnal Ilmu
Pemerintahan.
Winarno. (2015). Pemikiran Aristoteles Tentang
Kewarganegaraan Dan Konstitusi.
Humanika, 21.