SlideShare a Scribd company logo
1 of 14
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Apabila dilihat dari perkembangannya, makna konstitusi sering mengalami
perubahan makna. Hal tersebut tentu saja dilatarbelakangi oleh situasi pada masa itu.
Luasnya makna serta ruang lingkup konstitusi, khususnya jika dikaitkan dengan
paham konstitusionalisme, menjadikan beragamnya bentuk-bentuk konstitusi dalam
kehidupan politik dan bernegara modern.
Konstitusi sendiri telah dikenal sejak Yunani kuno, pada masa itu pemahaman
tentang konstitusi hanyalah suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan
semata-mata. Sejalan dengan perjalanan waktu, pada masa Romawi kuno konstitusi
mengalami perubahan makna; ia merupakan suatu kumpulan ketentuan serta
peraturan yang dibuat oleh para kaisar, pernyataan dan pendapat ahli hukum,
negarawan, serta adat kebiasaan setempat selain undang-undang. Selanjutnya pada
abad VII lahirlah Piagam Madinah yang mana dianggap sebagai konstitusi modern
yang dianggap revolusioner. Dari beberapa penjelasan di ataslah yang
melatarbelakangi pembuatan makalah ini untuk mengetahui sejarah konstitusi yang
lebih rinci.
2. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang permasalahan itu, kami menyusun beberapa rumusan
masalah, di antaranya:
1. Bagaimana sejarah konstitusi pada masa Yunani Kuno?
2. Bagaimana sejarah konstitusi pada masa Romawi Kuno?
3. Bagaimana sejarah konstitusi pada Piagam Madinah?
4. Bagaimana konstitusi dalam pengertian modern?
3. TUJUAN PENULISAN
Dari beberapa rumusan masalah di atas, kami menyusun beberapa tujuan
penulisan, di antaranya:
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Konstitusi
2. Untuk mengetahui sejarah konstitusi dari Yunani Kuno hingga Modern
3. Untuk mengetahui pengertian konstitusi dalam pengertian modern
4. MANFAAT PENULISAN
Dari beberapa rumusan masalah di atas, kami menyusun beberapa tujuan
penulisan, di antaranya:
1. Mengetahui sejarah konstitusi dari zaman Yunani Kuno hingga modern
2. Mengetahui pengertian konstitusi dalam pengertian modern
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Konstitusi Yunani Kuno
Awal muncul istilah konstitusi, dalam catatan sejarah klasik terdapat dua
perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian sekarang tentang konstitusi, yaitu
dalam perkataan Yunani kuno ‘politeia’ dan perkataan bahasa Latin ‘constitutio’
yang juga berkaitan dengan kata ‘jus’. Dalam kedua perkataan ‘politeia’ dan
‘constitutio’ itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat
manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah. Jika kedua
istilah tersebut dibandingkan, dapat dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah
kata ‘politeia’ yang berasal dari kebudayaan Yunani.1
Pada masa Yunani Kuno, pengertian konstitusi masih bersifat materiil, dalam
arti belum berbentuk seperti yang dapat dimengerti di zaman modern. Namun,
perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan
yang dilakukan oleh Aristoteles terhadap pengertian politeia dan nomoi. Pengertian
politeia dapat disepadankan dengan arti konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-
undang biasa. Politeia cenderung mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada
nomoi karena politeia mempunyai kekuasaan pembentuk sedangkan nomoi tidak ada
karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk. Dalam kebudayaan Yunani,
istilah konstitusi berhubungan erat dengan ucapan Republica Constituere yang
melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Suprema Lex, yang artinya,
‘Rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi Negara karena dialah satu-
satunya pembuat undang-undang.’2
Menurut Sir Paul Vinogradoff
“The Greeks recognized a close analogy between the organization of the
State and the organism of the individual human being. They thought that the
1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011) h. 1
2 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015) h.
71
two elements of body and mind, the former guided and governed by the latter,
had a parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the
ruled.”
Pengaitan yang bersifat analogis antara organisasi negara dan organisme
manusia tersebut, menurut W.L. Newman, memang merupakan pusat perhatian
(center of inquity) dalam pemikiran politik di kalangan para filosof Yunani kuno.
Dalam bukunya The Laws (Nomoi), Plato menyebutkan bahwa “Our whole state is
an imitation of the best and noblest life”. Socrates dalam bukunya Panathenaicus
ataupun dalam Areopagiticus menyebut bahwa “the politeia is the ‘soul of the polis’
with power over it like that of the mind over the body”. Keduanya sama-sama
menunjuk kepada pengertian konstitusi. Demikian pula Aristoteles dalam bukunya
Politics mengaitkan pengertian kita tentang konstitusi dalam frase “in a sense the life
of the city”3
Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada: (i) the end persued
by states, dan (ii) the kind of authority exercise by their government. Tujuan tertinggi
Negara adalah a good life, dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga
masyarakat. Oleh karena itu, Aristoteles membedakan antara right constitution dan
wrong constitution. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan
bersama, maka disebut sebagai konstitusi yang benar. Jika sebaliknya, konstitusi
tersebut merupakan konstitusi yang salah (prevent constitution). Konstitusi yang
terakhir ini diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang tamak.
Ukuran baik buruknya atau normal-tidaknya konstitusi terletak pada prinsip bahwa,
‘political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the
ruled.’4
Konstitusionalisme Yunani sendiri dapat dimaknai dari tulisan-tulisan dari
Plato dan Aristoteles. Menurut filosuf ini, ujian atas kewarganegaraan yang baik
adalah kepatuhannya terhadap undang-undang atau konstitusi. Dengan pernyataan
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, h. 5
4 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, h. 77
tersebut tersirat bahwa pada waktu itu telah berkembang suatu pemikiran tentang
kehidupan bernegara yang baik yaitu warga negaranya dituntut untuk mematuhi
konstitusi. Upaya untuk membangun suatu kehidupan negara konstitusional
dapat diketahui dari penjelasannya mengenai konstitusi ideal yang menekankan
pentingnya pendidikan politik, sebab melalui warga yang terdidik negara dapat
dilindungi dari timbulnya anarki.5
Di antara karya Plato seperti Republic dan Nomoi, terdapat pula dialog-dialog
Plato yang berjudul ‘Politicus’ atau statesman’ yang memuat tema-tema yang
berkaitan erat dengan gagasan konstitualisme. Jika dalam Republic, Plato
menguraikan gagasan the best possible state, maka dalam buku ‘Politicus’
(statesman) sebelum ia menyelesaikan karya monumental berjudul ‘nomoi’. Dalam
buku tersebut Plato mengakui kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi oleh Negara
sehingga ia menerima Negara dalam bentuknya sebagai the second best dengan
menekankan pentingnya hokum yang bersifat membatasi.
Aristoteles sendiri membayangkan keberadaan seorang pemimpin Negara
yang ideal yang kuat dan berbudi luhur. Pada masa Yunani kuno ini, dapat dikatakan
bahwa belum ada mekanisme yang tersedia untuk merespon keadaan atau tindakan-
tindakan revolusioner yang dalam pengertian sekarang disebut sebagai
inkostitusional. Selain itu, revolusi-revolusi semacam itu tidak hanya mengubah
corak public law, tetapi juga mengubah segala institusi secara besar-besaran, bahkan
juga terhadap segala tatanan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Yang terakhir
yaitu, bahwa revolusi yang demikian itulah yang selalu dianggap diiringi dengan
kekerasan.6
Selanjutnya, Aristoteles juga menyatakah bahwa, ‘seorang tiran gemar
berperang sebagai cara untuk memelihara agar anak buahnya terus mengabdi dan
melayani kebutuhannya sebagai seorang komandan.’ Namun demikian, harus juga
5 Syafnil Effendi, "Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif Sejarah". Fakultas Ilmu
Sosial Vol. X No.1 Th. 2011,h. 76
6 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, h. 79
dimengerti bahwa sebelum munculnya pengaruh kaum Stoics7, orang Yunani Kuno
memmang belum membedakan sama sekali antara konsep Negara (state) dan
masyarakat (society), maupun antara civil dan social. Oleh karena itu, para filosof
Yunani cenderung melihat hokum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam
pembicaraan mereka tentang polity, tentang Negara. Pemikiran filosof pada masa ini
juga tidak atau belum membayangkan hokum sebagai sesuatu yang berada di luar
pengertian polity (Negara) atau sesuatu yang terpisah dari Negara di mana Negara
harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan aturan yang telah ditentukan.8
2. Sejarah Konstitusi Romawi Kuno
Konstitusionalisme Romawi sendiri muncul dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan
bahwa Romawi juga merupakan negara kota seperti juga di Yunani, tetapi sejak
tahun pertama keberadaannya telah dikelilingi dan terancam oleh negara-negara
yang memusuhinya, mendorong munculnya politik ekspansi yang tidak pernah
lenyap sampai kekaisaran Romawi terkalahkan oleh dunia beradab. Pentingnya
Romawi dalam sejarah konstitusinalisme menurut CF.Strong adalah terletak pada
fakta bahwa peranan konstitusinya dalam dunia kuno dapat diperbandingkan dengan
peranan konstitusi Inggris dalam dunia modern.
Tentang konstitusi Romawi pada awalnya merupakan sebuah instrument
pemerintahan yang sangat mantap, walaupun tidak ditemukan dalam bentuk tertulis.
Ia merupakan sekumpulan preseden yang dibawa dalam ingatan seseorang atau
tercatat secara tertulis, kumpulan keputusan pengacara atau negarawan, kumpulan
adat istiadat, kebiasaan, pengertian, dan keyakinan yang berhubungan dengan metode
pemerintahaan, disatukan sejumlah tertentu undang-undang. Ide konstitusionalisme
dapat ditangkap ditangkap dari perubahan pemerintahan Romawi yang semula
sebuah monarki, tetapi kemudian raja-rajanya diturunkan dengan paksa. Dijelaskan,
7 Kelompok penganut pahamstoicism yang sangat cocok dengan karakteristik budaya di Romawi
8 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, h. 80
sekitar 500 S.M, bentuk republik mulai muncul secara jelas, disusul dengan
perebutan kekuasaan antar golongan.9
Gagasan mengenai konstitusionalisme pada masa Romawi Kuno diawali dari
seorang filsuf, yakni Cicero. Karyanya yaitu, ‘De Re Republica’ dan ‘De Legibus’
adalah pemikiran tentang hokum yang sangat berbeda sekali dengan pemikiran pada
masa Yunani Kuno. Pada abad ke-6, konstitusi mulai dipahami sebagai sesuatu yang
berada di luar dan bahkan di atas Negara. Tidak seperti pada masa sebelumnya,
konstitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana bangunan
kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip the higher law. Prinsip
hierarki hokum juga semakin dipahami secara tegas kegunaannya dalam praktik
penyelenggaraan kekuasaan.10
Di samping itu, para filososf Romawi jugalah yang secara tegas membedakan
dan memisahkan antara pengertian hokum public dan hokum privat, sesuatu hal yang
baru yang belum dikembangkan sebelumnya. Biasanya keduanya dibedakan dari
sudut kepentingan yang dipertahankan. Hokum public membela kepentingan umum
yang tercermin dalam kepentingan Negara, the civitas, sedangkan hokum privat
menyangkut kepentingan per orang.
Kemudian, Cicero juga menegaskan bahwa Tuhan tak ubahnya bagaikan Tuan
dan Penguasa semua manusia, serta merupakan pengarang atau penulis, Penafsir, dan
Sponsor Hukum. Oleh karena itu, Cicero sangat mengutamakan peranan hokum
dalam pemahamannya tentang persamaan antarmanusia. Baginya konsepsi tentang
manusia tidak bias dipandang hanya sebagai political animal atau insane politik.
Melainkan yang lebih utama adalah kedudukannya sebagai legal animal atau insane
hukum.
Untuk itu dapat disimpulkan bahwa pengalaman sejarah konstitusi Romawi
Kuno, yaitu ilmu hokum haruslah dipandang penting atau sekurang-kurangnya sama
9 Syafnil Effendi, "Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif Sejarah".Fakultas Ilmu
Sosial U. Vol. 3 No. 2, Summer 1991, 157
10 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, h. 82
pentingnya dibandingkan hanya dengan pembicaraan materi hokum semata.
Selanjutnya, bahwa ilmu pengetahuan mengenai hokum dibedakan dari asal corak
Romawi yang sesuai dengan pertumbuhannya juga sebagai pusat perhatian dan
prinsip pokok yang dikembangkan dalam ilmu hokum romawi bukanlah absolute,
melainkan terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa rakyat merupakan sumber
dari semua legitimasi kewenangan politik dalam suatu Negara. 11
3. Sejarah Konstitusi Islam: Piagam Madinah
Piagam Madinah merupakan surat perjanjian yang dibuat pada masa
Rasulullah SAW bersama dengan orang-orang Islam dan pihak lain (Yahudi) yang
tinggal di Yasrib (Madinah). Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari
sudut tinjauan modern dinilai mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama
kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern, seperti
kebebasan beragama, keberagaman, multikulturalism, humanism dan hak setiap
kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan
hubungan ekonomi, dan lain-lain. Selain itu juga ditegaskan adanya suatu kewajiban
umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari
luar, dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanis.12
Para ahli ilmu pengetahuan , khususnya ahli sejarah menyebut naskah politik
yang dibuat oleh Muhammad SAW. itu dengan sebutan yang bermacam-macam. W.
Montgomery Watt menakanannya dengan ‘The Constitution of Medina’, R.A.
Nicholson ‘charter’, Majid Khadduri ‘treaty’, Phillip K. Hitti ‘agreement’, Zainal
Abidin Ahmad ‘piagam’. Sedangkan al-Shahifah adalah nama yang disebut dalam
naskah itu sendiri. Yang menurut Ahmad Sukardja, shahifah semakna dengan carter
dan piagam lebih menunjuk kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang suatu
hal.
11 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, h. 83
12 Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 55
Dalam berbagai tulisan yang disusun oleh para ilmuwan muslim maupun non-
muslim, adanya piagam madinah tersebut tampak telah diakui. Montgomery
menyatakan, bahwa dokumen ini secara umum diakui otentik. Ia menambahkan
dokumen tersebut merupakan sumber ide yang mendasari Negara Islam pada awal
pembentukannya.13
Mengenai penyebutan konstitusi bagi Piagam Madinah, apakah Piagam
Madinah termasuk konstitusi atau bukan, dapat dikatakan bahwa Piagam Madinah
tidak dapat memenuhinya secara paripurna. Sebab di dalamnya tidak ditemukan
mengenai pembagian kekuasaan antara badan legislative, eksekutif, dan yudikatif.
Tetapi ia menetapkan adanya pemegang hokum tertinggi. Namun demikian, Piagam
Madinah dapat dikatakan sebagai konstitusi karena memiliki cirri-ciri yang terpenuhi,
di antaranya di dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan
masyarakat Madinah sebagai suatu umat, adanya kedaulatan Negara yang dipegang
oleh Muhammad SAW., dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang
bersifat fundamental yang mengakui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah,
mengakui hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka. Sebagai
himpunan peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat, Piagam Madinah bercita-
cita mewujudkan persatuan dan kesatuan semua golongan menjadi satu umat dan
hidup berdampingan.14
Prinsip-prinsip Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai ide revolusioner
pada saat itu. Dari sudut tinjauan modern, Piagam Madinah dapat diterima sebagai
sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk. Dalam kaitan ini
Nurcholis menyatakan bahwa bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik. Piagam
madinah memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut pandang tinjauan modern pun
mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide
yang kini menjadi pandangan hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan
hubungan ekonomi dan lain-lain. Tetapi juga tegaskan adanya suatu kewajiban
13 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014) h. 133
14 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,h. 14
umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari
luar.15
4. Konstitusi Modern
Pada paruh kedua abad ke-17, kaum bangsawan Inggris yang menang di
dalam revolusi istana (The Glorious Revolution) telah mengakhiri absolutisme
kekuasaan raja dan menggantikannya dengan sistem parlemen sebagai suatu
pemegang kedaulatan. Akhir dari revolusi ini adalah deklarasi kemerdekaan 12
negara koloni Inggris pada tahun 1776, yang menetapkan konstitusi sebagai dasar
negara yang berdaulat.
Kemudian, pada 1789 meletus revolusi di Perancis, ditandai oleh ketegangan
di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Kekacauan sosial di
Perancis ini yang memunculkan akan perlunya konstitusi. Maka, pada 14 September
1791 dicatat sebagai peristiwa diterimanya konstitusi Eropa pertama oleh Louis ke
16. Sejak peristiwa inilah sebagian besar negara-negara di dunia, baik monarki
maupun republik, negara kesatuan maupun negara federal, yang sama sama
mendasarkan prinsip ketatanegaraannya pada sandaran konstitusi. Di Perancis J. J.
Rousseau dengan karyanya Du Contract Social, yang mengatakan bahwa manusia
terlahir dalam keadaan bebas dan sederajat di dalam hak haknya, sedangkan hukum
merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Pandangan Rousseau ini sangat
menjiwai hak hak dan kemerdekaan rakyat (De Declaratioan des Droit d I’Homme et
Du Citoyen). Deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan Konstitusi Perancis
pada tahun 1791, khususnya yang menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia). Setelah
peristiwa ini, maka muncul kontitusi di dalam bentuk tertulis yang dipelopori oleh
Amerika.16
Dalam pengertian modern, Negara pertama yang dapat dikatakan menyusun
konstitusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah Amerika Serikat
15 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014) h. 136
16 A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila,Demokrasi Dan
Pencegahan Korupsi,(Jakarta: Prenada Media Group, 2015) h.
pada tahun 1787. Kemudian, konstitusi tertulis model Amerika tersebut diikuti oleh
berbagai negara di Eropa, seperti Spanyol (1812), Norwegia (1814) dan Belanda
(1815). Perlu dicatat bahwa konstitusi pada waktu itu belum menjadi hukum dasar
yang penting. Konstitusi sebagai UUD sering kali disebut dengan “Konstitusi
Modern” baru muncul bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi
perwakilan. Demokrasi perwakilan muncul sebagai pemenuhan atas kebutuhan rakyat
akan lembaga perwakilan (legislatif). Lembaga ini dibutuhkan sebagai pembuat UU
untuk membatasi dan mengurangi dominasi para raja. Alasan inilah yang
menempatkan konstitusi tertulis sebagai hukum dasar yang memiliki posisi lebih
tinggi daripada raja.17
Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks
hokum tata Negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood dan
Jackson sebagai:
Suatu bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan
susunan dan kekuasaan organ-organ Negara dan yang mengatur hubungan-
hubungan di antara berbagai organ Negara itu satu sama lain, serta
hubungan organ-organ Negara itu dengan warga Negara.
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu juga tercakup pengertian
peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensikonvensi kenegaraan (ketatanegaraan)
yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ Negara tersebut dengan warga
Negara.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hokum dasar yang mengikat didasarkan
atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu Negara. Jika
Negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi
adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang
menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut dengan
constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di
17 Jimly Asshiddiqie,PengantarIlmu Hukum Tata Negara,h. 93
atas system yang diaturnya. Untuk itu, di lingkungan Negara-negara demokrasi
liberal, rakyatlah yang menentukan berlakunya suatu konstitusi.18
Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat misalnya melalui
referendum, seperti yang dilakukan oleh Irlandia (1937) atau dengan cara tidak
langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Cara tidak langsung ini juga dilakukan
di Amerika Serikat dengan cara menambahkan naskah perubahan undang-undang
dasar secara terpisah dengan naskah aslinya.
Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh lembaga
legislative yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi
kedudukannya. Jika norma hokum yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan
norma hokum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan undang-undang
dasar itulah yang berlaku, sedang undang-undang harus memberikan jalan untuk itu.19
18 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara,h. 94
19 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara,h. 94
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
1. Pada masa Yunani Kuno belum dapat membedakan antara konsep Negara dan
masyarakat, maupun antara civil dan social. Para filosof Yunani cenderung melihat
hokum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam pembicaraan mereka tentang
polity, tentang Negara. Mereka belum membayangkan hokum sebagai sesuatu
yang berada di luar pengertian polity atau sesuatu yang terpisah dari Negara.
2. Pada masa Romawi Kuno, bahwa ilmu pengetahuan mengenai hokum dibedakan
dari asal corak Romawi yang sesuai dengan pertumbuhannya juga sebagai pusat
perhatian dan prinsip pokok yang dikembangkan dalam ilmu hokum romawi
bukanlah absolute, melainkan terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa rakyat
merupakan sumber dari semua legitimasi kewenangan politik dalam suatu Negara.
3. Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai konstitusi karena memiliki cirri-ciri
yang terpenuhi, di antaranya di dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi
pemerintahan masyarakat Madinah sebagai suatu umat, adanya kedaulatan Negara
yang dipegang oleh Muhammad SAW., dan adanya ketetapan prinsip-prinsip
pemerintahan yang bersifat fundamental yang mengakui kebiasaan-kebiasaan
masyarakat Madinah.
4. Konstitusi memiliki kedudukan yang tinggi yang ditetapkan oleh badan yang lebih
khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hokum yang terkandung di
dalamnya bertentangan dengan norma hokum yang terdapat dalam undang-
undang, maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedang
undang-undang harus memberikan jalan untuk itu.
SARAN
Diharapkan dengan adanya penulisan makalah ini saya berharap agar pembaca
mampu mengambil manfaat mengenai sejarah konstitusi. Untuk pemakalah
selanjutnya agar lebih lengkap dalam penulisan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. 2011
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2015
Effendi, Syafnil. "Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif
Sejarah". Fakultas Ilmu Sosial Vol. X No.1 Th. 2011
Hasymy. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975
Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2014
Ubaedillah, A. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila,
Demokrasi Dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Prenada Media Group, 2015

More Related Content

What's hot

Hierarki peraturan perundang undangan
Hierarki peraturan perundang undanganHierarki peraturan perundang undangan
Hierarki peraturan perundang undanganNailuredha Hermanto
 
Pengakuan dalam Hukum Internasional
Pengakuan dalam Hukum InternasionalPengakuan dalam Hukum Internasional
Pengakuan dalam Hukum InternasionalVallen Hoven
 
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumBenda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumrabu12
 
4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undangan4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undanganHIMA KS FISIP UNPAD
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnDella Mega Alfionita
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...Oswar Mungkasa
 
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Idik Saeful Bahri
 
Power point konstitusi
Power point  konstitusiPower point  konstitusi
Power point konstitusibyunbella
 
UUD 1945 Sebagai Konstitusi Negara
UUD 1945 Sebagai Konstitusi NegaraUUD 1945 Sebagai Konstitusi Negara
UUD 1945 Sebagai Konstitusi NegaraRizza Magfira
 
3. instrumen dasar pemerintahan
3. instrumen dasar pemerintahan3. instrumen dasar pemerintahan
3. instrumen dasar pemerintahanDian Oktavia
 
Sistem hukum dunia
Sistem hukum duniaSistem hukum dunia
Sistem hukum duniaVallen Hoven
 
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...Idik Saeful Bahri
 
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional Fenti Anita Sari
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional  Fenti Anita SariTugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional  Fenti Anita Sari
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional Fenti Anita SariFenti Anita Sari
 
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintahAbid Zamzami
 

What's hot (20)

Hierarki peraturan perundang undangan
Hierarki peraturan perundang undanganHierarki peraturan perundang undangan
Hierarki peraturan perundang undangan
 
Pengakuan dalam Hukum Internasional
Pengakuan dalam Hukum InternasionalPengakuan dalam Hukum Internasional
Pengakuan dalam Hukum Internasional
 
Hukum agraria
Hukum agraria   Hukum agraria
Hukum agraria
 
Negara dan Konstitusi
Negara dan KonstitusiNegara dan Konstitusi
Negara dan Konstitusi
 
hukum Adat
hukum Adathukum Adat
hukum Adat
 
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukumBenda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
Benda berwujud dan tidak berwujud sebagai objek hukum
 
4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undangan4. proses pembuatan perundang undangan
4. proses pembuatan perundang undangan
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
 
Hukum agraria nasional pert ke 2
Hukum agraria nasional pert ke 2Hukum agraria nasional pert ke 2
Hukum agraria nasional pert ke 2
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
 
Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha NegaraKeputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara
 
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
 
Power point konstitusi
Power point  konstitusiPower point  konstitusi
Power point konstitusi
 
UUD 1945 Sebagai Konstitusi Negara
UUD 1945 Sebagai Konstitusi NegaraUUD 1945 Sebagai Konstitusi Negara
UUD 1945 Sebagai Konstitusi Negara
 
3. instrumen dasar pemerintahan
3. instrumen dasar pemerintahan3. instrumen dasar pemerintahan
3. instrumen dasar pemerintahan
 
Sistem hukum dunia
Sistem hukum duniaSistem hukum dunia
Sistem hukum dunia
 
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
Hukum perdata internasional - Menentukan titik taut dalam hukum perdata inter...
 
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional Fenti Anita Sari
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional  Fenti Anita SariTugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional  Fenti Anita Sari
Tugas Suksesi Negara dan Kapasitas Internasional Fenti Anita Sari
 
Hukum perdata
Hukum perdataHukum perdata
Hukum perdata
 
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
 

Similar to Sejarah Konstitusi: Yunani - Modern

Similar to Sejarah Konstitusi: Yunani - Modern (20)

2.-Perkembangan-Urgensi-dan-Fungsi-Konstitusi.pdf
2.-Perkembangan-Urgensi-dan-Fungsi-Konstitusi.pdf2.-Perkembangan-Urgensi-dan-Fungsi-Konstitusi.pdf
2.-Perkembangan-Urgensi-dan-Fungsi-Konstitusi.pdf
 
Negara dan konstitusi
Negara dan konstitusiNegara dan konstitusi
Negara dan konstitusi
 
Negara dan konstitusi AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Negara dan konstitusi AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA Negara dan konstitusi AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
Negara dan konstitusi AKBID PARAMATA KABUPATEN MUNA
 
UTS Fil 3 Politik.pdf
UTS Fil 3 Politik.pdfUTS Fil 3 Politik.pdf
UTS Fil 3 Politik.pdf
 
Ilmu negara
Ilmu negaraIlmu negara
Ilmu negara
 
Makalah Sospol (Project Unfinished)
Makalah Sospol (Project Unfinished)Makalah Sospol (Project Unfinished)
Makalah Sospol (Project Unfinished)
 
2 politik & negara
2  politik & negara2  politik & negara
2 politik & negara
 
Pkn
PknPkn
Pkn
 
Tugas makalah
Tugas makalahTugas makalah
Tugas makalah
 
Legitimasi kekuasaan
Legitimasi kekuasaanLegitimasi kekuasaan
Legitimasi kekuasaan
 
DOC-20230403-WA0010..pptx
DOC-20230403-WA0010..pptxDOC-20230403-WA0010..pptx
DOC-20230403-WA0010..pptx
 
Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis
Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik DemokratisPemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis
Pemikiran Politik Plato Ditinjau dari Filsafat Politik Demokratis
 
KELOMPOK 3 - KONSTITUSI.pptx
KELOMPOK 3 - KONSTITUSI.pptxKELOMPOK 3 - KONSTITUSI.pptx
KELOMPOK 3 - KONSTITUSI.pptx
 
Makalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negaraMakalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negara
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Makalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negaraMakalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negara
 
Makalah hukum tata negara (2)
Makalah hukum tata negara (2)Makalah hukum tata negara (2)
Makalah hukum tata negara (2)
 
Makalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negaraMakalah hukum tata negara
Makalah hukum tata negara
 
In mc. word
In mc. wordIn mc. word
In mc. word
 
Makalah: UUD 1945 Sebagai Konstitusi Negara
Makalah: UUD 1945 Sebagai Konstitusi NegaraMakalah: UUD 1945 Sebagai Konstitusi Negara
Makalah: UUD 1945 Sebagai Konstitusi Negara
 

More from Izzatul Ulya

Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah (Perda)Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah (Perda)Izzatul Ulya
 
Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana
Surat Dakwaan dalam Hukum Acara PidanaSurat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana
Surat Dakwaan dalam Hukum Acara PidanaIzzatul Ulya
 
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur RasyidinSistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur RasyidinIzzatul Ulya
 
Locus Delictie dalam Hukum Pidana
Locus Delictie dalam Hukum PidanaLocus Delictie dalam Hukum Pidana
Locus Delictie dalam Hukum PidanaIzzatul Ulya
 
Paradigma Sekularistik dan Pengaruh Terhadap Islam
Paradigma Sekularistik dan Pengaruh Terhadap IslamParadigma Sekularistik dan Pengaruh Terhadap Islam
Paradigma Sekularistik dan Pengaruh Terhadap IslamIzzatul Ulya
 
Tarikh Tasyri Zaman Rasulullah Hingga Muqollidun
Tarikh Tasyri Zaman Rasulullah Hingga MuqollidunTarikh Tasyri Zaman Rasulullah Hingga Muqollidun
Tarikh Tasyri Zaman Rasulullah Hingga MuqollidunIzzatul Ulya
 
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)Izzatul Ulya
 
Imam ahmad bin hambal
Imam ahmad bin hambalImam ahmad bin hambal
Imam ahmad bin hambalIzzatul Ulya
 
Lembaga Perwakilan Rakyat Menurut UUD 1945
Lembaga Perwakilan Rakyat Menurut UUD 1945Lembaga Perwakilan Rakyat Menurut UUD 1945
Lembaga Perwakilan Rakyat Menurut UUD 1945Izzatul Ulya
 
Belajar Bahasa Turki
Belajar Bahasa TurkiBelajar Bahasa Turki
Belajar Bahasa TurkiIzzatul Ulya
 

More from Izzatul Ulya (10)

Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah (Perda)Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah (Perda)
 
Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana
Surat Dakwaan dalam Hukum Acara PidanaSurat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana
Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana
 
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur RasyidinSistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
Sistem Pemerintahan Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin
 
Locus Delictie dalam Hukum Pidana
Locus Delictie dalam Hukum PidanaLocus Delictie dalam Hukum Pidana
Locus Delictie dalam Hukum Pidana
 
Paradigma Sekularistik dan Pengaruh Terhadap Islam
Paradigma Sekularistik dan Pengaruh Terhadap IslamParadigma Sekularistik dan Pengaruh Terhadap Islam
Paradigma Sekularistik dan Pengaruh Terhadap Islam
 
Tarikh Tasyri Zaman Rasulullah Hingga Muqollidun
Tarikh Tasyri Zaman Rasulullah Hingga MuqollidunTarikh Tasyri Zaman Rasulullah Hingga Muqollidun
Tarikh Tasyri Zaman Rasulullah Hingga Muqollidun
 
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
Fiqh Muamalah - Pinjam Meminjam ('Ariyah)
 
Imam ahmad bin hambal
Imam ahmad bin hambalImam ahmad bin hambal
Imam ahmad bin hambal
 
Lembaga Perwakilan Rakyat Menurut UUD 1945
Lembaga Perwakilan Rakyat Menurut UUD 1945Lembaga Perwakilan Rakyat Menurut UUD 1945
Lembaga Perwakilan Rakyat Menurut UUD 1945
 
Belajar Bahasa Turki
Belajar Bahasa TurkiBelajar Bahasa Turki
Belajar Bahasa Turki
 

Sejarah Konstitusi: Yunani - Modern

  • 1. BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Apabila dilihat dari perkembangannya, makna konstitusi sering mengalami perubahan makna. Hal tersebut tentu saja dilatarbelakangi oleh situasi pada masa itu. Luasnya makna serta ruang lingkup konstitusi, khususnya jika dikaitkan dengan paham konstitusionalisme, menjadikan beragamnya bentuk-bentuk konstitusi dalam kehidupan politik dan bernegara modern. Konstitusi sendiri telah dikenal sejak Yunani kuno, pada masa itu pemahaman tentang konstitusi hanyalah suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Sejalan dengan perjalanan waktu, pada masa Romawi kuno konstitusi mengalami perubahan makna; ia merupakan suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar, pernyataan dan pendapat ahli hukum, negarawan, serta adat kebiasaan setempat selain undang-undang. Selanjutnya pada abad VII lahirlah Piagam Madinah yang mana dianggap sebagai konstitusi modern yang dianggap revolusioner. Dari beberapa penjelasan di ataslah yang melatarbelakangi pembuatan makalah ini untuk mengetahui sejarah konstitusi yang lebih rinci. 2. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang permasalahan itu, kami menyusun beberapa rumusan masalah, di antaranya: 1. Bagaimana sejarah konstitusi pada masa Yunani Kuno? 2. Bagaimana sejarah konstitusi pada masa Romawi Kuno? 3. Bagaimana sejarah konstitusi pada Piagam Madinah? 4. Bagaimana konstitusi dalam pengertian modern? 3. TUJUAN PENULISAN
  • 2. Dari beberapa rumusan masalah di atas, kami menyusun beberapa tujuan penulisan, di antaranya: 1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Konstitusi 2. Untuk mengetahui sejarah konstitusi dari Yunani Kuno hingga Modern 3. Untuk mengetahui pengertian konstitusi dalam pengertian modern 4. MANFAAT PENULISAN Dari beberapa rumusan masalah di atas, kami menyusun beberapa tujuan penulisan, di antaranya: 1. Mengetahui sejarah konstitusi dari zaman Yunani Kuno hingga modern 2. Mengetahui pengertian konstitusi dalam pengertian modern
  • 3. BAB II PEMBAHASAN 1. Sejarah Konstitusi Yunani Kuno Awal muncul istilah konstitusi, dalam catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani kuno ‘politeia’ dan perkataan bahasa Latin ‘constitutio’ yang juga berkaitan dengan kata ‘jus’. Dalam kedua perkataan ‘politeia’ dan ‘constitutio’ itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, dapat dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah kata ‘politeia’ yang berasal dari kebudayaan Yunani.1 Pada masa Yunani Kuno, pengertian konstitusi masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk seperti yang dapat dimengerti di zaman modern. Namun, perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan yang dilakukan oleh Aristoteles terhadap pengertian politeia dan nomoi. Pengertian politeia dapat disepadankan dengan arti konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang- undang biasa. Politeia cenderung mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada nomoi karena politeia mempunyai kekuasaan pembentuk sedangkan nomoi tidak ada karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk. Dalam kebudayaan Yunani, istilah konstitusi berhubungan erat dengan ucapan Republica Constituere yang melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Suprema Lex, yang artinya, ‘Rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi Negara karena dialah satu- satunya pembuat undang-undang.’2 Menurut Sir Paul Vinogradoff “The Greeks recognized a close analogy between the organization of the State and the organism of the individual human being. They thought that the 1 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011) h. 1 2 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015) h. 71
  • 4. two elements of body and mind, the former guided and governed by the latter, had a parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the ruled.” Pengaitan yang bersifat analogis antara organisasi negara dan organisme manusia tersebut, menurut W.L. Newman, memang merupakan pusat perhatian (center of inquity) dalam pemikiran politik di kalangan para filosof Yunani kuno. Dalam bukunya The Laws (Nomoi), Plato menyebutkan bahwa “Our whole state is an imitation of the best and noblest life”. Socrates dalam bukunya Panathenaicus ataupun dalam Areopagiticus menyebut bahwa “the politeia is the ‘soul of the polis’ with power over it like that of the mind over the body”. Keduanya sama-sama menunjuk kepada pengertian konstitusi. Demikian pula Aristoteles dalam bukunya Politics mengaitkan pengertian kita tentang konstitusi dalam frase “in a sense the life of the city”3 Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada: (i) the end persued by states, dan (ii) the kind of authority exercise by their government. Tujuan tertinggi Negara adalah a good life, dan hal ini merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Oleh karena itu, Aristoteles membedakan antara right constitution dan wrong constitution. Jika konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka disebut sebagai konstitusi yang benar. Jika sebaliknya, konstitusi tersebut merupakan konstitusi yang salah (prevent constitution). Konstitusi yang terakhir ini diarahkan untuk memenuhi kepentingan para penguasa yang tamak. Ukuran baik buruknya atau normal-tidaknya konstitusi terletak pada prinsip bahwa, ‘political rule, by virtue of its specific nature, is essentially for the benefit of the ruled.’4 Konstitusionalisme Yunani sendiri dapat dimaknai dari tulisan-tulisan dari Plato dan Aristoteles. Menurut filosuf ini, ujian atas kewarganegaraan yang baik adalah kepatuhannya terhadap undang-undang atau konstitusi. Dengan pernyataan 3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, h. 5 4 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, h. 77
  • 5. tersebut tersirat bahwa pada waktu itu telah berkembang suatu pemikiran tentang kehidupan bernegara yang baik yaitu warga negaranya dituntut untuk mematuhi konstitusi. Upaya untuk membangun suatu kehidupan negara konstitusional dapat diketahui dari penjelasannya mengenai konstitusi ideal yang menekankan pentingnya pendidikan politik, sebab melalui warga yang terdidik negara dapat dilindungi dari timbulnya anarki.5 Di antara karya Plato seperti Republic dan Nomoi, terdapat pula dialog-dialog Plato yang berjudul ‘Politicus’ atau statesman’ yang memuat tema-tema yang berkaitan erat dengan gagasan konstitualisme. Jika dalam Republic, Plato menguraikan gagasan the best possible state, maka dalam buku ‘Politicus’ (statesman) sebelum ia menyelesaikan karya monumental berjudul ‘nomoi’. Dalam buku tersebut Plato mengakui kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi oleh Negara sehingga ia menerima Negara dalam bentuknya sebagai the second best dengan menekankan pentingnya hokum yang bersifat membatasi. Aristoteles sendiri membayangkan keberadaan seorang pemimpin Negara yang ideal yang kuat dan berbudi luhur. Pada masa Yunani kuno ini, dapat dikatakan bahwa belum ada mekanisme yang tersedia untuk merespon keadaan atau tindakan- tindakan revolusioner yang dalam pengertian sekarang disebut sebagai inkostitusional. Selain itu, revolusi-revolusi semacam itu tidak hanya mengubah corak public law, tetapi juga mengubah segala institusi secara besar-besaran, bahkan juga terhadap segala tatanan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Yang terakhir yaitu, bahwa revolusi yang demikian itulah yang selalu dianggap diiringi dengan kekerasan.6 Selanjutnya, Aristoteles juga menyatakah bahwa, ‘seorang tiran gemar berperang sebagai cara untuk memelihara agar anak buahnya terus mengabdi dan melayani kebutuhannya sebagai seorang komandan.’ Namun demikian, harus juga 5 Syafnil Effendi, "Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif Sejarah". Fakultas Ilmu Sosial Vol. X No.1 Th. 2011,h. 76 6 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, h. 79
  • 6. dimengerti bahwa sebelum munculnya pengaruh kaum Stoics7, orang Yunani Kuno memmang belum membedakan sama sekali antara konsep Negara (state) dan masyarakat (society), maupun antara civil dan social. Oleh karena itu, para filosof Yunani cenderung melihat hokum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam pembicaraan mereka tentang polity, tentang Negara. Pemikiran filosof pada masa ini juga tidak atau belum membayangkan hokum sebagai sesuatu yang berada di luar pengertian polity (Negara) atau sesuatu yang terpisah dari Negara di mana Negara harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan aturan yang telah ditentukan.8 2. Sejarah Konstitusi Romawi Kuno Konstitusionalisme Romawi sendiri muncul dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa Romawi juga merupakan negara kota seperti juga di Yunani, tetapi sejak tahun pertama keberadaannya telah dikelilingi dan terancam oleh negara-negara yang memusuhinya, mendorong munculnya politik ekspansi yang tidak pernah lenyap sampai kekaisaran Romawi terkalahkan oleh dunia beradab. Pentingnya Romawi dalam sejarah konstitusinalisme menurut CF.Strong adalah terletak pada fakta bahwa peranan konstitusinya dalam dunia kuno dapat diperbandingkan dengan peranan konstitusi Inggris dalam dunia modern. Tentang konstitusi Romawi pada awalnya merupakan sebuah instrument pemerintahan yang sangat mantap, walaupun tidak ditemukan dalam bentuk tertulis. Ia merupakan sekumpulan preseden yang dibawa dalam ingatan seseorang atau tercatat secara tertulis, kumpulan keputusan pengacara atau negarawan, kumpulan adat istiadat, kebiasaan, pengertian, dan keyakinan yang berhubungan dengan metode pemerintahaan, disatukan sejumlah tertentu undang-undang. Ide konstitusionalisme dapat ditangkap ditangkap dari perubahan pemerintahan Romawi yang semula sebuah monarki, tetapi kemudian raja-rajanya diturunkan dengan paksa. Dijelaskan, 7 Kelompok penganut pahamstoicism yang sangat cocok dengan karakteristik budaya di Romawi 8 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, h. 80
  • 7. sekitar 500 S.M, bentuk republik mulai muncul secara jelas, disusul dengan perebutan kekuasaan antar golongan.9 Gagasan mengenai konstitusionalisme pada masa Romawi Kuno diawali dari seorang filsuf, yakni Cicero. Karyanya yaitu, ‘De Re Republica’ dan ‘De Legibus’ adalah pemikiran tentang hokum yang sangat berbeda sekali dengan pemikiran pada masa Yunani Kuno. Pada abad ke-6, konstitusi mulai dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar dan bahkan di atas Negara. Tidak seperti pada masa sebelumnya, konstitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip the higher law. Prinsip hierarki hokum juga semakin dipahami secara tegas kegunaannya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan.10 Di samping itu, para filososf Romawi jugalah yang secara tegas membedakan dan memisahkan antara pengertian hokum public dan hokum privat, sesuatu hal yang baru yang belum dikembangkan sebelumnya. Biasanya keduanya dibedakan dari sudut kepentingan yang dipertahankan. Hokum public membela kepentingan umum yang tercermin dalam kepentingan Negara, the civitas, sedangkan hokum privat menyangkut kepentingan per orang. Kemudian, Cicero juga menegaskan bahwa Tuhan tak ubahnya bagaikan Tuan dan Penguasa semua manusia, serta merupakan pengarang atau penulis, Penafsir, dan Sponsor Hukum. Oleh karena itu, Cicero sangat mengutamakan peranan hokum dalam pemahamannya tentang persamaan antarmanusia. Baginya konsepsi tentang manusia tidak bias dipandang hanya sebagai political animal atau insane politik. Melainkan yang lebih utama adalah kedudukannya sebagai legal animal atau insane hukum. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa pengalaman sejarah konstitusi Romawi Kuno, yaitu ilmu hokum haruslah dipandang penting atau sekurang-kurangnya sama 9 Syafnil Effendi, "Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif Sejarah".Fakultas Ilmu Sosial U. Vol. 3 No. 2, Summer 1991, 157 10 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, h. 82
  • 8. pentingnya dibandingkan hanya dengan pembicaraan materi hokum semata. Selanjutnya, bahwa ilmu pengetahuan mengenai hokum dibedakan dari asal corak Romawi yang sesuai dengan pertumbuhannya juga sebagai pusat perhatian dan prinsip pokok yang dikembangkan dalam ilmu hokum romawi bukanlah absolute, melainkan terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa rakyat merupakan sumber dari semua legitimasi kewenangan politik dalam suatu Negara. 11 3. Sejarah Konstitusi Islam: Piagam Madinah Piagam Madinah merupakan surat perjanjian yang dibuat pada masa Rasulullah SAW bersama dengan orang-orang Islam dan pihak lain (Yahudi) yang tinggal di Yasrib (Madinah). Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern dinilai mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern, seperti kebebasan beragama, keberagaman, multikulturalism, humanism dan hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi, dan lain-lain. Selain itu juga ditegaskan adanya suatu kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar, dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanis.12 Para ahli ilmu pengetahuan , khususnya ahli sejarah menyebut naskah politik yang dibuat oleh Muhammad SAW. itu dengan sebutan yang bermacam-macam. W. Montgomery Watt menakanannya dengan ‘The Constitution of Medina’, R.A. Nicholson ‘charter’, Majid Khadduri ‘treaty’, Phillip K. Hitti ‘agreement’, Zainal Abidin Ahmad ‘piagam’. Sedangkan al-Shahifah adalah nama yang disebut dalam naskah itu sendiri. Yang menurut Ahmad Sukardja, shahifah semakna dengan carter dan piagam lebih menunjuk kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang suatu hal. 11 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara, h. 83 12 Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 55
  • 9. Dalam berbagai tulisan yang disusun oleh para ilmuwan muslim maupun non- muslim, adanya piagam madinah tersebut tampak telah diakui. Montgomery menyatakan, bahwa dokumen ini secara umum diakui otentik. Ia menambahkan dokumen tersebut merupakan sumber ide yang mendasari Negara Islam pada awal pembentukannya.13 Mengenai penyebutan konstitusi bagi Piagam Madinah, apakah Piagam Madinah termasuk konstitusi atau bukan, dapat dikatakan bahwa Piagam Madinah tidak dapat memenuhinya secara paripurna. Sebab di dalamnya tidak ditemukan mengenai pembagian kekuasaan antara badan legislative, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi ia menetapkan adanya pemegang hokum tertinggi. Namun demikian, Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai konstitusi karena memiliki cirri-ciri yang terpenuhi, di antaranya di dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan masyarakat Madinah sebagai suatu umat, adanya kedaulatan Negara yang dipegang oleh Muhammad SAW., dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental yang mengakui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah, mengakui hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka. Sebagai himpunan peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat, Piagam Madinah bercita- cita mewujudkan persatuan dan kesatuan semua golongan menjadi satu umat dan hidup berdampingan.14 Prinsip-prinsip Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai ide revolusioner pada saat itu. Dari sudut tinjauan modern, Piagam Madinah dapat diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk. Dalam kaitan ini Nurcholis menyatakan bahwa bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik. Piagam madinah memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut pandang tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi dan lain-lain. Tetapi juga tegaskan adanya suatu kewajiban 13 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014) h. 133 14 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,h. 14
  • 10. umum, yaitu partisipasi dalam usaha pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar.15 4. Konstitusi Modern Pada paruh kedua abad ke-17, kaum bangsawan Inggris yang menang di dalam revolusi istana (The Glorious Revolution) telah mengakhiri absolutisme kekuasaan raja dan menggantikannya dengan sistem parlemen sebagai suatu pemegang kedaulatan. Akhir dari revolusi ini adalah deklarasi kemerdekaan 12 negara koloni Inggris pada tahun 1776, yang menetapkan konstitusi sebagai dasar negara yang berdaulat. Kemudian, pada 1789 meletus revolusi di Perancis, ditandai oleh ketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Kekacauan sosial di Perancis ini yang memunculkan akan perlunya konstitusi. Maka, pada 14 September 1791 dicatat sebagai peristiwa diterimanya konstitusi Eropa pertama oleh Louis ke 16. Sejak peristiwa inilah sebagian besar negara-negara di dunia, baik monarki maupun republik, negara kesatuan maupun negara federal, yang sama sama mendasarkan prinsip ketatanegaraannya pada sandaran konstitusi. Di Perancis J. J. Rousseau dengan karyanya Du Contract Social, yang mengatakan bahwa manusia terlahir dalam keadaan bebas dan sederajat di dalam hak haknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Pandangan Rousseau ini sangat menjiwai hak hak dan kemerdekaan rakyat (De Declaratioan des Droit d I’Homme et Du Citoyen). Deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan Konstitusi Perancis pada tahun 1791, khususnya yang menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia). Setelah peristiwa ini, maka muncul kontitusi di dalam bentuk tertulis yang dipelopori oleh Amerika.16 Dalam pengertian modern, Negara pertama yang dapat dikatakan menyusun konstitusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah Amerika Serikat 15 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014) h. 136 16 A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila,Demokrasi Dan Pencegahan Korupsi,(Jakarta: Prenada Media Group, 2015) h.
  • 11. pada tahun 1787. Kemudian, konstitusi tertulis model Amerika tersebut diikuti oleh berbagai negara di Eropa, seperti Spanyol (1812), Norwegia (1814) dan Belanda (1815). Perlu dicatat bahwa konstitusi pada waktu itu belum menjadi hukum dasar yang penting. Konstitusi sebagai UUD sering kali disebut dengan “Konstitusi Modern” baru muncul bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan muncul sebagai pemenuhan atas kebutuhan rakyat akan lembaga perwakilan (legislatif). Lembaga ini dibutuhkan sebagai pembuat UU untuk membatasi dan mengurangi dominasi para raja. Alasan inilah yang menempatkan konstitusi tertulis sebagai hukum dasar yang memiliki posisi lebih tinggi daripada raja.17 Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hokum tata Negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Phillips Hood dan Jackson sebagai: Suatu bentuk aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan organ-organ Negara dan yang mengatur hubungan- hubungan di antara berbagai organ Negara itu satu sama lain, serta hubungan organ-organ Negara itu dengan warga Negara. Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu juga tercakup pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, dan konvensikonvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ Negara tersebut dengan warga Negara. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hokum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu Negara. Jika Negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut dengan constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di 17 Jimly Asshiddiqie,PengantarIlmu Hukum Tata Negara,h. 93
  • 12. atas system yang diaturnya. Untuk itu, di lingkungan Negara-negara demokrasi liberal, rakyatlah yang menentukan berlakunya suatu konstitusi.18 Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan oleh Irlandia (1937) atau dengan cara tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat. Cara tidak langsung ini juga dilakukan di Amerika Serikat dengan cara menambahkan naskah perubahan undang-undang dasar secara terpisah dengan naskah aslinya. Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh lembaga legislative yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hokum yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan norma hokum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedang undang-undang harus memberikan jalan untuk itu.19 18 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara,h. 94 19 Jimly Asshiddiqie, PengantarIlmu Hukum Tata Negara,h. 94
  • 13. BAB III KESIMPULAN KESIMPULAN 1. Pada masa Yunani Kuno belum dapat membedakan antara konsep Negara dan masyarakat, maupun antara civil dan social. Para filosof Yunani cenderung melihat hokum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam pembicaraan mereka tentang polity, tentang Negara. Mereka belum membayangkan hokum sebagai sesuatu yang berada di luar pengertian polity atau sesuatu yang terpisah dari Negara. 2. Pada masa Romawi Kuno, bahwa ilmu pengetahuan mengenai hokum dibedakan dari asal corak Romawi yang sesuai dengan pertumbuhannya juga sebagai pusat perhatian dan prinsip pokok yang dikembangkan dalam ilmu hokum romawi bukanlah absolute, melainkan terletak pada doktrin kerakyatan, yaitu bahwa rakyat merupakan sumber dari semua legitimasi kewenangan politik dalam suatu Negara. 3. Piagam Madinah dapat dikatakan sebagai konstitusi karena memiliki cirri-ciri yang terpenuhi, di antaranya di dalam bentuk tertulis, menjadi dasar organisasi pemerintahan masyarakat Madinah sebagai suatu umat, adanya kedaulatan Negara yang dipegang oleh Muhammad SAW., dan adanya ketetapan prinsip-prinsip pemerintahan yang bersifat fundamental yang mengakui kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madinah. 4. Konstitusi memiliki kedudukan yang tinggi yang ditetapkan oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hokum yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan norma hokum yang terdapat dalam undang- undang, maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedang undang-undang harus memberikan jalan untuk itu. SARAN Diharapkan dengan adanya penulisan makalah ini saya berharap agar pembaca mampu mengambil manfaat mengenai sejarah konstitusi. Untuk pemakalah selanjutnya agar lebih lengkap dalam penulisan makalah.
  • 14. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2011 Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015 Effendi, Syafnil. "Konstitusionalisme dan Konstitusi Ditinjau dari Perspektif Sejarah". Fakultas Ilmu Sosial Vol. X No.1 Th. 2011 Hasymy. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975 Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2014 Ubaedillah, A. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pancasila, Demokrasi Dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Prenada Media Group, 2015