Dokumen tersebut membahas tentang ungkapan tabu dan penggantian kata-kata yang dianggap tidak pantas digunakan dengan kata-kata lain yang lebih halus maknanya (eufeumisme). Terdapat berbagai contoh kata tabu dalam bidang keagamaan, sopan santun, dan sosial beserta penjelasan strategi menghindarinya. Dokumen ini juga menyinggung pergeseran makna kata akibat pertimbangan psikologis untuk menghind
3. Pengertian Ungkapan Tabu
Ungkapan adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk
menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan Tarigan dalam
(Prawirasumantri, 1998:212)
Menurut Prawirasumantri (1998:212) Ungkapan tabu adalah
ungkapan yang tidak boleh digunakan dalam suasana tertentu,
terutama dalam hubungannya dengan kepercayaan. Larangan itu
disebabkan anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan
percaya bahwa ungkapan yang dimaksud dapat menimbulkan
bahaya. Oleh karena itu, ungkapan- ungkapan itu dihindari
sedemikian rupa. Akibatnya masyarakat mencoba untuk mencari
ungkapan- ungkapan pengganti atau mengubah bunyi ungkapan-
ungkapan bersangkutan.
4. Contoh
Kata ‘kuli’ pada zaman sekarang, misalnya kuli
bangunan, kuli pabrik merupakan sebuatan biasa namun
pada zaman perang dunia ke II, pemakaian kata ‘kuli’
akan menimbulkan kemarahan karena kata tersebut
dipandang kasar. Kekasaran pada kata jongos atau kuli
bukan disebabkan bunyinya, melainkan asosiasi yang
ditimbulkannya, yakni kedudukan yang rendah.
5. Jenis Ungkapan Tabu
Menurut Slametmuljana dalam (Prawirasumantri,
1998:212) dalam bahasa Indonesia ada dua jenis
pengganti ungkapan tabu, yaitu eufeumisme (eufeumia)
dan disfemia.
6. Eufeumisme
Pengertian
Eufeumisme bersal dari bahasa
Yunani : Eufeumia yang artinya
penggunaan kata yang baik. Eufeumia
dalam masyarakat semata-mata
berhubungan dengan kehidupan
keagamaan atau kepercayaan, yaitu
penggantian kata-kata dalam upacara
keagamaan yang dianggap
mempunyai daya untuk
membangkitkan bahaya.
Jenis-jenis
Eufeumisme dibagi menjadi 3:
1. Eufeumisme dalam bidang
kepercayaan
2. Eufeumisme dalam bidang
sopan santun
3. Eufeumisme dalam bidang
sosial
7. Eufeumisme dalam bidang kepercayaan
Kata-kata atau ungkapan yang dapat menimbulkan bahaya disebut
kata tabu atau ungkapan tabu. Sebenernya ketabuan kata atau
ungkapan itu tergantung pada situasi pemakaian. Situasi-situasi
tertentu tidak mengijinkan untuk menggunakan kata-kata atau
ungkapan-ungkapan tertentu dalam lingkungan masyarakat bahasa
tertentu. Dengan demikian kita dapat mengumpulkan kata-kata atau
ungkapan-ungkapan tabu dalam setiap lingkungan masyarakat
menurut situasi pemakaiannya.
8. Contoh
Di lingkungan petani, terdapat banyak tikus di sawah
mereka, namun untuk membujuk tikus supaya tidak
merusak tanaman padi, petani menyebutnya dengan
‘den bagus’.
9. Eufeumisme dalam bidang sopan santun
Sopan santun adalah pengungkapan bahasa yang sesuai dengan
keinginan lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Segala kata
atau ungkapan yang dapat menyinggung atau melukai perasaan
orang lain harus dihindari atau dihilangkan. Misalnya kata cacat
dalam pemakaian bahasa tertentu perlu dihindari karena dapat
melukai perasaan orang lain yang menderita cacatnya. Seperti orang
yang menderita cacat mata disebut tunanetra.
10. Eufeumisme dalam bidang sosial
Dalam pemakaian bahasa di masyarakat nilai rasa sosial yang
diungkapkan melalui kata-kata memegang peranan penting.
Situasi zaman merupakan faktor penting yang turut
menetapkan nilai rasa sosial kata yang bersangkutan
dipandang tidak sesuai lagi
11. Contoh
Misalnya, ungkapan peremajaan dapat dipakai untuk
mengganti pengertian bagi tenaga-tenaga tua yang
mengundurkan diri untuk memberi kesempatan kepada
tenaga-tenaga muda. Oleh karena itu, apabila kita bermaksud
mengganti tenaga-tenaga tual oleh tenaga-tenaga muda dapat
dipakai ungkapan peremajaan, dilarang memakai ungkapan
pengehentian atau apalagi pemecatan karena kata
penghentian dan pemecatan dapat melukai perasaaan orang
yang bersangkutan.
12. Kesimpulan
Bahwa betapa besar pengaruh ungkapan halus yang
sesuai dengan zamannya terhadap jiwa manusia.
Walaupun pada dasarnyaperbuatan yang dilakukan itu
sama saja, namun perbedaan sebutan dapat
menimbulkan perbedaan pandangan dan nilai rasa yang
ada pada diri manusia.
13. Disfemia
Disfemia adalah ungkapan atau nilai rasa yang sifatnya
memperkasar perasaaan. Ungkapan ini dilakukan untuk
mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa
dengan kata yang bermakna kasar. Hal ini biasanya terjadi
pada situasi yang tidak menyenangkan atau dalam keadaan
marah.
14. Contoh
Misalnya,kata mati mempunyai makna kata netral berbeda
dengan mampus yang mengandung nilai rasa yang kasar. Kata
mampus dapat digunakan untuk manusia ang bersifat seperti
binatang atau orang jahat.
“Mampus kamu!” kalimat tersebut menggambarkan bahwa
orang yang berbicara tersebut sedang marah.
Jelaslah dengan memperhatikan contoh diatas, kata tersebut
tidak boleh dipergunakan di dalam masyarakat karena
mengandung nilai rasa yang kasar dan hina. Oleh karena itu,
masyarakat menyebut kata-kata kasar itu ‘kasarism’ sebagai
olok-olok. (Slametmuljana dalam Prawirasumantri, 1998:219)
15. Strategi Penghindaran Kata Tabu
Menurut Slametmuljana dalam (Prawirasumantri, 1998:219-
220) Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh
masyarakat bahasa untuk menghindari pemakaian kata-kata
atau ungkapan-ungkapan tabu, dengan jalan sebagai berikut:
16. 1. Mengganti bunyi kata atau ungkapan tabu, misalnya kata asu
menjadi asem
2. Menyebut kata atau ungkapan tabu dengan singkatan, misalnya
wanita pelacur menjadi wanita P
3. Menggunakan gaya bahasa metafora atau kiasan, misalnya ular
disebut akar
4. Menggunakan kata lain berdasarkan kata yang sudah ada, misalnya
dihentikan ari pekerjaan menjadi peremajaan
5. Menyebut kata atau ungkapan tabu dengan kata asing, misalnya
kakus menjadi toilet
6. Menciptakan kata baru untuk mengganti kata atau ungkapan tabu
yang dipandang tidak sesuai, misalnya tunanetra untuk menggantikan
kata buta
7. Menggunakan kata lain yang dianggap lebih sesuai dengan suasana
zaman, misalnya pekerja untuk mengganti kuli
8. Menggunakan ungkapan lain yang memberikan kesan dan pandangan
yang baik, misalnya kembali ke pangkuan ibu pertiwi untuk
mengganti kata menyerah
17. Menurut Achmad(2012:96) mengemukakan bahwa pergeseran
makna terjadi pada kata-kata frase bahasa Indonesia yang disebut
eufeumisme (melemahkan makna). Caranya dapat dengan
mengganti simbolnya (kata frase) dengan yang baru dan maknanya
bergeser. Biasanya terjadi pada kata-kata yang dianggap memiliki
makna yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya.
Menurut Djajasudarma dalam (Ahcmad, 2012:96-97), perhatikanlah
contoh berikut:
1. Bui, tahanan atau tempat orang ditahan atau dipenjara
setelah mendapat putusan hakim untuk menjalani hukuman.
Sekarang muncul lemabaga pemasyarakatan dan maknanya
bergeser selain tempat untuk menahan terpidana menjadi
tempat untuk mengubah tingkah laku terpidana agar
kelakdapat diterima kembali oleh masyarakat
2. Dipecat menjadi dipensiunkan atau diberhentikan dengan
hormat
3. Ditahan menjadi dirumahkan
4. Sogok menyogok menjadi menyalahgunakan wewenang, upeti
18. Menurut Achmad(2012:97) pergeseran makna terjadi pada kata
kata atau frase yang bermakna terlalu menyinggung perasaaan
orang lain yang mengalaminya, oleh karena itu kita tidak
mengatakan orang yang sudah tua di depan mereka yang sudah
tua bila dirasakan menyinggung perasaan orang yang
bersangkutan seperti halnya tunanetra (buta) tunarungu (tuli)
tunawisma (gelandangan) dan lain sebagainya.
Penggunaan bahasa dalam hal ini selalu memanfaatkan potensinya
untuk memakai semua unsur yang terdapat di dalam bahasanya.
Pengguna bahasa berusaha agar lawan bicara tidak terganggu
secara psikologis. Oleh karena itu, muncul pergeseran makna.
Dikatakan pergeseran makna dan bukan pembatasan makna,
karena dengan penggantin lambang (simbol makna semual masih
berkaitan erat tetapi ada makna tambahan (eufeumisme) yang
menghaluskan (pertimbangan akibat psikologis bagi lawan bicara
atau orang yang mengalami makna yang diungkapkan kata atau
frase yang disebutkan).
19. Menurut Parera (2002;115-116)
Tabu Sebagai Faktor Psikologis Pergeseran Dan Perubahan
Makna.
Tabu adalah sebuah kata yang bersal dari bahasa-bahasa
Pollinesia diserap ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Eropa
yang lain sebagai sebuah istilah. Tabu memang menafaatkan
bahasa sebagai sarana. Sebagai akibatnya pasti muncul
pergeseran dan perubahan makna.
Tabu pada satu pihak berarti “sesuatu yang suci dan perlu
dihormati”, tatapi pada pihak yang lain berarti “larangan,
pembatasan, berbahaya, tidak bersih, aneh, ghaib, luar biasa”.
Tabu memang penting dalam analisis makna karena dengan tabu
terdapat pergeseran dan perubahan makna. Tabu dikaitkan
dengan larangan untuk menyebutkan persone tertentu, binatang
dan benda tertentu tetapi juga tabu untuk beberapa nama. Pada
peristiwa tertentu kata tabu akan digantikan dengan entuk yang
disebut eufeumisme atau penghalusan bahasa.
20. Menurut Parera (2002;116-117) Tabu-tabu dapat
dikelompokkan berdasarkan motivasi psikologis yang berada
dibelakangnya:
1. Tabu bersumber pada ketakutan,
2. Tabu yang berhubungan dengan sesuatu yang genting dan
tidak mengenakan,
3. Tabu yang bersumber pada rasa kesopanan, dan
4. Tabu yang berhubungan dengan masalah kesusilaan
21. Tabu Bersumber Pada Ketakutan
Berhubungan dengan subjek dan objek yang bersifat supernatural
telah menyebabkan larangan untuk menyebutkan nama secara
langsung. Untuk menyebutkan nama Tuhan atau Allah orang Inggris
menyapa dengan Lord, orang Perancis dengan Seigneur, orang Jawa
dengan Gusti, orang Sikka dengan Amapu (Bapak Sang Pemilik) atau
‘Yang Di Atas’.
22. Tabu Untuk Persoalan Yang Genting
Dan Tidak Mengenakkan
Pada umumnya terdapat kecenderungan yang manusiawi untuk
menghindarkan rujukan langsung dengan peristiwa-peristiwa yang
kurang menyenangkan dan genting. Masyarakat sering
menciptakan eufeumisme untuk menyebutkan penyakit dan
kematian. Untuk menyebutka seorang yang telah meninggal,
misalnya, seorang anak, dalam bahasa Sikka dikatakan ‘me potat’
(anak yang telah hilang, tidak ada lagi). Dalam bahasa Indonesia
dikatakan telah ‘telah mendahului kita’ untuk orang yang
meninggal. Untuk menyebutkan kekurangan-kekurangan fisik dan
mental yang berhubungan dengan manusia, dalam bahasa
Indonesia diciptakan atau dikatakan dengan kata-kata arkhaik
atau kata-kata yang bersumber pada bahasa yang sudah mati
(biasanya bahasa Jawa Kuna dan Sanskrit), misalnya tunagrahita,
tunarungu, tunanetra.
23. Tabu Berhubungan Dengan Masalah
Kesusilaan
Ada 3 bidang yang berhubungan dengan tabu kesusilaan, yakni
tabu yang langsung berhubungan dengan seks, beberapa fungsi
dari organ tubuh, dan sumpah serapah. Misalnya, untuk
menyebutkan kelamin produksi pria disebut ‘burung’, untuk
menyebutkan bagian tubuh wanita yang menonjol di dada
disebut ‘buah dada’ atau diganti dengan kata ‘payudara’. Untuk
menyebutkan peristiwa yang sering dialami oleh wanita setiap
bulan dikatakn dengan ‘datang bulan’ atau dalam bahasa
sehari-hari dikatakan ‘ada halangan’ atau pula dikatakan
‘sedang mens’ (untuk menstruasi)
24. Daftar Pustaka
Prawirasumantri, Abud. 1997/1998. Semantik Bahasa Indonesia.
Jakarta. Departemen Pendidikan dan kebudayaan Bagian Proyek
Penataran Guru SLTP setara D-III
Achmad. 2012. Linguistik Umum. Jakarta. Penerbit Erlangga
Parera. 2004. Teori Semantik. Jakarta. Penerbit Erlangga