Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Masail Fiqhiyah
1. RESUME MASAIL FIQHIYAH
NIKAH BEDA AGAMA DAN AKIBATNYA
TERHADAP PERWALIAN DAN KEWARISAN
Resume Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Dr. Isnawati Rais, M.A
Disusun Oleh :
Ahmad Zulfi Aufar 11150440000003
Hukum Keluarga 5B
FAKULTAS SYARIAH dan HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
2. 1. Pengertian Pernikahan Beda Agama
Secara bahasa kata nikah berarti mengumpulkan, saling memasukkan,
bersetubuh, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad
sekaligus, yang didalam syariat dikenal dengan akad nikah.1
Pernikahan, atau tepatnya “keberpasangan” merupakan ketetapan Ilahi atas
segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain
dengan firman-Nya:
ِنمَو
َ
ونُر
َّ
ك
َ
ذ
َ
ت ۡم
ُ
ك
َّ
لَع
َ
ل ِ
ۡ
ۡيَجۡوَز اَن
ۡ
ق
َ
ل
َ
خ ٍء ۡ َ
َش ِ
ل ُ
ك٤٩
49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah. (Q,S Adz-Dzariyat [51]: 49).
َنَٰ َحۡبُسِي
َّ
ٱَّلَق
َ
ل
َ
خَجَٰ َوۡز
َ ۡ
ٱۡلُتِبۢن
ُ
ت اَِّمم اَه
َّ ُ
ُك
ُ
ۡرض
َ ۡ
ٱۡل
َ
ونُم
َ
لۡعَي
َ
َل اَِّممَو ۡمِهِس
ُ
نف
َ
أ ِۡنمَو٣٦
36. Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik
dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang
tidak mereka ketahui. (Q,S Ya Sin [36]: 36). 2
Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan
bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhuhbungan intim, menyentuh,
mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk
mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.3
Dalam UU RI No 01 tahun 1974 tentang perkawinan BAB I pasal 1 yang
berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
1
Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, (Depok:
Gema Insani, 2007), jilid 9, h.20. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta:
Kencana, 2012), h.7.
2
M. Quraisy Shihab, Wawasan Al Quran, (Bandung: Mizan, 2004) h. 253
3
Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, jilid 9,
h.20.
3. 3
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.4
Ada tiga macam golongan yang dikatakan beda agama, yaitu:
1. Golongan yang tidak memiliki kitab samawi tidak pula yang serupa dengan
kitab. Mereka adalah kalangan yang menyembah arca. Yaitu semacam
patung yag diapahat dari kayu, batu, perak, permata, atau semacamnya.
Adapun berhala, yaitu gambar yang tidak berfisik, seperti gambar yang
dicetak pada kertas dan semacamnya. Ada yang berpendapat bahwasanya
tidak ada perbedaan antara berhala dengan patung, karena keduanya
merupakan sebutan bagi sesuatu yang dianggap tuhan selain Allah.
Termasuk didalamnya matahari, bulan, bintang dan gambar-gambar yang
mereka pandang baik. Mereka ini serupa dengan kaum yang murtad yang
memungkiri hal-hal yang sudah lazim diketahui dalam agama Islam. Seperti
kaum Rafidhah yang meyakini bahwa Jibril melakukan kekeliruan terkait
wahyu, karena dia menyampaikan wahyu kepada Muhammad padahal Allah
menyuruhnya agar menyampaikan kepada Ali. Atau meyakini bahwa Ali
adalah tuhan, atau mendustakan sebagian ayat al-Qur’an hingga
menyampaikan tuduhan keji terhadap Aisyah. Diantara para penyembah
berhala ini adalah kaum Shabiah. Kaum Shabiah adalah kaum yang
menyembah bintang-bintang.
2. Golongan yang memiliki semacam kitab. Mereka adalah kaum Majusi yang
menyembah api, maksud dari mereka memiliki semacam kitab
bahwasannya ada kitab yang diturunkan kepada nabi mereka –Nabi
Zaradash- namun kemudian mereka menyimpangkannya dan membunuh
nabi mereka. Lalu Allah mengangkat kitab tersebut dari mereka. Mereka
tidak boleh dinikahi berdasarkan pendapat 4 Imam Mazhab.
3. Golongan yang memiliki kitab yang telah ditegaskan keberadaannya dan
diimani. Seperti kaum Yahudi yang mengimani Taurat dan kaum Nasrani
4
Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
h. 01
4. 4
yang mengimani Taurat dan Injil. Mereka boleh dinikahi dalam arti bahwa
orang beriman boleh menikahi wanita Ahli Kitab namun wanita muslimah
tidak boleh menikah dengan laki-laki Ahli Kitab, sebagaimana wanita
muslimah tidak boleh menikah dengan selain laki-laki muslim. 5
2. Dasar Hukum Pernikahan Beda Agama
Dalilnya adalah firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [02]: 221:
(
َ
َلَو
ْ
واُِحكن
َ
تِتَٰ َ
كِ
ۡ
ۡشُم
ۡ
ٱلَِّنم
ۡ
ؤُي َٰ ََّّتَح)(
ْ
واُِحكن
ُ
ت
َ
َلَوَِۡيكِ
ۡ
ۡشُم
ۡ
ٱل
ْ
واُِنم
ۡ
ؤُي َٰ ََّّتَح)
Dua ayat ini merupakan dalil bahwasannya laki-laki muslim tidak boleh
menikahi wanita musyrik dalam kondisi apapun, sebagaimana wanita muslimah
tidak boleh menikah dengan laki-laki musyrik dalam kondisi apapun, kecuali
setelah orang-orang musyrik itu beriman dan masuk Islam bersama umat Islam.
Namun Allah memberikan pengkhususan diantara mereka, yaitu wanita Ahli
Kitab bagi laki-laki muslim, dalam firman-Nya:
َمۡوَ ۡ
ٱۡلَو
َّ
ِلح
ُ
أُتَٰ َن َصۡحُم
ۡ
ٱلَِنمِتَٰ َِنم
ۡ
ؤُم
ۡ
ٱلَوُتَٰ َن َصۡحُم
ۡ
ٱلَِنمَِين
َّ
ٱَّل
ْ
وا
ُ
وت
ُ
أَبَٰ َ
ِتك
ۡ
ٱلِنم
م
ُ
ِكلۡب
َ
ق
Ayat ini bermakna bahwa wanita Ahli Kitab boleh dinikahi laki-laki muslim
berdasarkan ketetapan syariat, meskipun wanita Ahli Kitab mengatakan bahwa Al-
Masih adalah tuhan, atau meyakini konsep trinitas, dan ini adalah syirik yang jelas,
namun Allah memperkenankan pernikahan dengan mereka karena memiliki kitab
samawi.6
Seorang muslim tidak boleh kawin dengan seorang perempuan musyrik. Yaitu
perempuan yang menyembah Allah bersama tuhan yang lain seperti berhala, atau
binatang-binatang atau api.
Dan juga memiliki kondisi ini adalah perempuan atheis atau matrealis yaitu
orang yang mempercai materi sebagai tuhan. Serta dia mengingkari keberadaan
5
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Kairo: Dar al-Taufiqiyah al-
Tursi, 2015), Jilid 4, hlm. 67.
6
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid 4, hlm. 67.
5. 5
Allah dia juga tidak mengakui berbagai agama samawi. Penyebab bagi
pengharaman mengawini perempuan musyrik dan perempuan yang sepertinya
adalah tidak adanya keharmonisan, ketenangan, dan kerjasama diantara suami istri,
karena perbedaan adalah akidah menimbulkan rasa gelisah dan ketidak tenangan,
sehingga kehidupan rumah tangga yang seharusnya berdri dengan rasa sayang,kasih
dan cinta tidak akan tercapai tujuannya.
Kemudian ketiadaan rasa keimanan terhadap suatu agama membuat seseorang
perempuan mudah untuk melakukan pengkhianatan rumah tangga, kerusakan, dan
keburukan. Serta membuat hilang rasa amanah, ketulusan dan kebaikan dari dalam
dirinya karena dia mempercayai takhayyul atau imajinasi serta dia terpengaruh
dengan hawa nafsu, dan tabiat diri yang tidak etis. Karena tidak ada agama yang
mengekangnya dan tidak ada yg mendorong dia untuk beriman kepada Allah, hari
kiamat, hisab, dan kepada kebangkitan.7
3. Hukum Nikah Beda Agama
Mazhab Hanafi
Mereka mengatakan, bahwasannya pernikahan dengan wanita Ahli Kitab
dilarang jika dia berada di negeri perang (Darul Harbi) yang tidak tunduk kepada
hukum-hukum umat Islam, karena itu berarti membuka pintu bagi timbulnya fitnah.
Sebab, wanita Ahli Kitab tersebut dapat mempengaruhi suaminya yang muslim
hingga berperilaku sebagaimana perilakunya yang tidak dapat diterima Islam dan
dapat memalingkan anaknya hingga memeluk agama selain agamanya, serta
membuat dirinya tertekan hingga berakibat pada prahara yang tiada taranya, yaitu
kehilangan pengaruhnya untuk menjaga kehormatan istrinya, dan kerusakan-
kerusakan lainnya. Maka, meskipun akadnya dinyatakan sah, hanya saja melakukan
pernikahan dengan wanita Ahli Kitab baginya merupakan tindakan-tindakan yang
makruh tahrim (harus dihindari) karena berakibat pada berbagai kerusakan di
kemudian hari.
7
Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, jilid 9,
h.147
6. 6
Adapun jika wanita Ahli Kitab tersebut berada di negeri Islam (Dzimmiyah)
dan tunduk terhadap perundang-undangan Islam, maka hukum pernikahannya
adalah makruh tanzih (sebaiknya dihindari).
Mazhab Maliki
Diantara mereka ada 2 pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama menyatakan, bahwa menikahi wanita ahli kitab hukumnya
makruh secara mutlak,baik wanita tersebut berada di negeri islam( Dzimmiyah)
maupun berada di negeri perang (Darul Harbi). Akan tetapi hukum makruh dinegeri
perang lebih berat. Pendapat kedua menyatakan hukumnya tidak makruh secara
mutlak, sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit ayat, karena ayat
memperkenankan wanita ahli kitab untuk dinikahi secara mutlak. Mereka berhujah
atas hukum makruhnya di negeri islam karena wanita ahli kitab tidak dilarang
minum khamer tidak pula makan babi dan dilarang pergi ke gereja, padahal dia
sebagai suaminya yang muslim tidak boleh melakukan itu semua, sementara wanita
ahli kitab yang menjadi istrinya memberi makan anak-anak dengan santapan seperti
itu hingga mereka tumbuh dalam pelanggaran terhadap ajaran agama.
Barangkali ada yang mengatakan, bahwa larangan-larangan ini adalah berarti
di haramkan. Bagi madzhab maliki mendasarkan hal itu pada alasan sadu Dzara’I
(langkah antisipasi untuk menutup pintu bahaya yang lebih besar). Jika pernikahan
dengan wanita ahli kitab menimbulkan kerusakan-kerusakan, atau dikhawatirkan
menimbulkan kerusakan-kerusakan, maka melaksanakan akad dengan haram
hukumnya.
Pendapat ini dapat disanggah, bahwa hal tersebut dapat dibenarkan jikalau
tidak ada ketentuan berdasarkan teks syari’at (yang membolehkan). Adapun jikalau
nyatanya Allah mempernekan pernikahan dengan wanita ahli kitab, maka tentunya
dibalik semua itu ada maslahat terkait pembolehannya. Sebab bisa saja lantaran
hubungan pernikahan dengan ahli kitab membawa maslahat bagi agama dan
memuliakannya, atau menghindarkan berbagai permasalahan serta menghilangkan
berbagai kebencian dan kedengkian.
Wanita muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab tidak lain
karena wanita muslim meski bagaimanapun keadaan dirinya namun pada umumnya
7. 7
tidak berani menentang suaminya, akibatnya dia terancam pindah agama dan tidak
mustahil anak-anaknya akan mengikuti bapak mereka, meskipun toleran terhadap
hal-hal yang memperbaharui ikatan-ikatan sosial, islam tidak mungkin dapat
mentolerir hal-hal yang mengakibatkaan seorang muslim keluar dari agamanya,
atau menjadikan keturunannya memeluk agama selain islam. Namun sebenarnya
Islam telah memperkenankan wanita ahli kitab untuk dinikahi laki-laki muslim, dan
melarang laki-laki muslim memaksanya agar keluar dari agamanya.
Mazhab Asy-Syafi’i
Mereka mengatakan, makruh hukumnya pernikahan dengan wanita ahli kitab
jika dia berada di negeri Islam, dan hukum makruh ini semkain ditekankan jika dia
berada dinegeri perang.
Syarat pertama: laki-laki Muslim yang hendak menikahi tidak mengharapkan
keislaman wanita ahli kitab yang hendak dinikahinya. Syarat kedua: ia bisa
mendapatkan wanita muslim yang layak baginya. Syarat ketiga: jika tidak menikah
dengan wanita ahli kitab tersebut maka dikhawatirkan ia akan berbuat zina.
Jadi, jika laki-laki tersebut mengharapkan keislaman wanita ahli kitab yang
dinikahinya, dan ia tidak mendapatkan wanita muslimah yang layak baginya, maka
hukum baginya adalah sunnah untuk menikahinya. Demikian pula disunnahkan
kepadanya untuk menikahi wanita ahli kitab yang layak baginya.sebagai
pendamping hidupnya dalam rumah tangga yang diridhai, jika dia tidak menikahi
ahli kitab tersebut dikhawatirkan dia akan melakukan perbuatan zina, sebagai
antisipasi dari terjadinya perbuatan terlarang. Dari ulasan ini jelaslah bahwa
masalahnya berkisar di balik maslahat dan mufsadat (kerusakan). Jika pernikahan
dengannya memberikan maslahat maka pernikahannya terpuji. Dan jika
menimbulkan mafsadat maka pernikahannya makruh.
Mazhab Hambali
Mereka mengatakan, bahwa wanita ahli kitab boleh dinikahi tanpa hukum
makruh berdasarkan keumuman firman Allah. “Dan (dihalalkan bagimu menikahi)
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantar perempuan-perempuan
yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara
orang-orang yang diberi kitab (ahli kitab) sebelum kamu”. (al- maidah : 5) yang
8. 8
dimaksud dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan adalah
perempuan-perempuan merdeka.
Terkait wanita ahli kitab, tidak ada syarat yang menetapkan bahwa kedua orang
tuanya harus juga ahli kitab akan tetapi pernikahannya tetap dinyatakan sah
meskipun bapaknya atau ibunya sebagai penyembah berhala, selama dia sendiri
sebagai wanita ahli kitab.8
Sebagian Ulama
Sebgaian ulama berpendapat bahwa kata al-musyrikat meliputi semua wanita
musyrik, baik ia penyembah berhala, beragama Yahudi, maupun Nashrani.9
Riwayat dari Syahr bin Hawasyib bahwasannya dia mendengar Abdullah bin
Abbas berkata: “Rasulullah SAW melarang menikhai berbagai macam wanita
kecuali wanita yang mu’minah dan yang berhijrah dan Rasulullah SAW melarang
untuk menikahi wanita yang beragaman selain Islam.10
4. Perwalian Terhadap Nikah Beda Agama
Salah satu syarat wili dalam pernikahan adalah kesamaan agama. Maka, tidak
ada perwalian bagi non-muslim terhadap orang muslim, juga bagi orang muslim
terhadap orang non-muslim. Maksudnya, menurut mazhab Hambali dan Hanafi,
seorang kafir tidak mengawini perempuan Muslimah, dan begitu juga sebaliknya.
Mazhab Syafi’i dan yang lain berpendapat, orang kafir laki-laki dapat
mengawinkan orang kafir perempuan, baik suami perempuan yang kafir tersebut
orang kafir ataupun orang Islam. Mazhab Maliki berpendapat, orang kafir
perempuan dapat mengawinkan perempuan Ahli Kitab dengan orang muslim.
Tidak ada hak perwalian terhadap salah seorang Muslim atau orang kafir.
Berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. at-Taubah [09]: 71:
َ
ونُِنم
ۡ
ؤُم
ۡ
ٱلَوَوُتَٰ َِنم
ۡ
ؤُم
ۡ
ٱلضۡعَب ُء
ٓ
اَ ِۡلۡو
َ
أ ۡمُه
ُ
ضۡعَب
8
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, ilid 4, hlm. 67-68.
9
Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, (Beirut:
Dar al-Fikr, 2003), Jilid 1, hlm 664
10
‘Imaduddin Abil Fada’ Islma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Beirut:
Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2012), Jilid 1, hlm. 236.
9. 9
71. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. (Q.S. at-Taubah [09]: 71).
Juga firman-Nya:
َِين
َّ
ٱَّلَوٍضۡعَب ُء
ٓ
اَ ِۡلۡو
َ
أ ۡمُه
ُ
ضۡعَب
ْ
واُر
َ
ف
َ
ك
73. Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi
sebagian yang lain. (Q.S. al-Anfal [08]: 73)
Firman-Nya yang lain:
….
َ
لَع
ۡ َ
َي ن
َ
لَوُ َّ
ٱّلل
َ َ
لَع َينِرِفَٰ َ
ك
ۡ
ِللَِۡينِم
ۡ
ؤُم
ۡ
ٱل
ا
يًلِبَس١٤١
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman. (Q.S. an-Nisaa [04]: 141).
Juga berdasarkan hadis Nabi SAW:
يعيل َل و يعلو اإلسًلم
“Agama Islam tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi diatasnya”.
Sebab dalam persyaratan adanya kesamaan agama adalah adanya kesamaan
sudut pandang dalam mewujudkan maslahat. Juga karena penetapan perwalian
bagiorang kafir terhadap orang Muslim dapat membuat orang kafir memandang
secara hina orang Muslim. Dikecualikan dari hal itu seorang imam atau wakilnya
karena dia memiliki perwalian umum terhadap semua orang Muslim.11
5. Kewarisan Dalam Nikah Beda Agama
Perbedaan agama antara muwarrits dan orang yang mewarisi karena Islam dan
lainnya menghalangi warisan sebagaimana kesepakatan ulama Mazhab Empat.
Orang Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir, orang kafir tidak bisa mewarisi
orang Muslim, baik disebabkan kekerabatan atau hubungan suami-istri, karena
sabda Nabi Muhammad SAW:
11
Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, jilid 9,
h.185-186.
10. 10
المسلم الاكفر َل و الاكفر المسلم يرث َل
“Orang Muslim tidak mewarisi orang kafir, orang kafir tidak mewarisi orang
Muslim”.
Juga sabda Nabi Muhammad SAW:
لشَّت تۡي
ل
مل اهل يتوارث َل
“Dua orang yang berlainan agama tidak bisa saling mewarisi”.
Ini adalah pendapat yang unggul, sbeab walayah (melindungi yang lain)
menjadi terputus antara orang Muslim dan orang kafir.
Mu’adz, Mu’awiyah, Ibnul Hanafiyyah, Muhammad bin Ali bin al-Husein
dan Masruq berpendapat bahwa orang Muslim mewarisi orang kafir, orang kafir
tidak mewarisi orang Muslim, karena hadis Nabi Muhammad SAW:
يعيل َل و يعلو اإلسًلم
“Agama Islam tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi diatasnya”.
Pendapat mereka ini ditolak bahwa yang dimaksud dengan tinggi adalah
dari segi argumentasi atau dari segi kekuasaan dan kemenangan. Artinya
kemenangan pada akhirnya untuk umat Islam.
Ahmad mengatakan bahwa orang Muslim mewarisi orang kafir yang
dimerdekakan, karena keumuman hadis al-Wala’ adalah bagi orang yang
memerdekakan.12
6. Hukum Nikah Beda Agama di Indonesia
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 poin c dikatakan bahwa:
“Dilarang melangsungkann perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu yaitu: c. wanita yang tidak beragama Islam.13
12
Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, jilid 10,
h.358-359.
13
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), hlm. 122.
11. 11
Di Indonesia berdasarkan FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA,
meneteapkan dan memutuskan bahwa:
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad,
adalah haram dan tidak sah.14
Maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia adalah
haram/dilarang.
14
Asrorun Ni’an Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008), hlm. 60.
12. 12
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2010. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo.
Ibnu Katsir, Imaduddin Abil Fada’ Islma’il bin Umar. 2013. Tafsir al-Qur’an al-
‘Adzim. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Jaziri, Al, Abdurrahman. 2015. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Kairo: Dar al-
Taufiqiyah al-Tursi.
Redaksi Sinar Grafika. 2006. Undang-undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar
Grafika.
Shihab, M. Quraisy. 2004. Wawasan Al Quran. Bandung: Mizan.
Sholeh, Asrorun Ni’am. 2008. Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga.
Jakarta: Elsas.
Zuhaili, Al, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-
Kattani dkk. Depok: Gema Insani.
Zuhaily, Al, Wahbah. 2003. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-
Minhaj. Beirut: Dar al-Fikr.