Poligami dan Poliandri Dalam Perspektif Masail Fiqhiyah
1. RESUME MASAIL FIQHIYAH
POLIGAMI DAN POLIANDRI
Resume Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Dr. Isnawati Rais, M.A
Disusun Oleh :
Ahmad Zulfi Aufar 11150440000003
Hukum Keluarga 5B
FAKULTAS SYARIAH dan HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
2. 2
1. POLIGAMI
A. Pengertian
Secara etimologi poligami dalam bahasa Inggris “poligamy” dan dalam
bahasa arab disebut الزوجات تعدد yang artinya beristri lebih dari seorang wanita.1
Poligami berasal dari bahasa yunani terdiri dari dua pokok kata, yaitu Polu dan
Gamein. Polu berarti banyak, Gamein berarti kawin. Jadi Poligami berarti
perkawinan yang banyak.2
Secara terminologi, Drs. Sidi Ghazalba mendefinisikan poligami adalah
perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari satu orang.
Sebenarnya istilah poligami mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi
karena poligami yang banyak terdapat di Indonesia dan negara-negara yang
memakai Hukum Islam maka tanggapan tentang poligini adalah poligami.3
B. Sejarah Poligami
Poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali hampir
seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami.
Misalnya sejak dahulu kala poligami sudah dikenal orang-orang Hindu, bangsa
Israel, Persia, arab Romawi, Babilonia, Tunisia, dan lain-lain.4
Banyak orang salah
faham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam.
Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan
secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak dikenal
dalam sejarah manusia. Sebenarnya sejak zaman sebelum Nabi Muhammad,
poligami telah banyak dilakukan.5
1
Mahjuddin, Masail Fiqhiyah: Kasus-kasus Aktual Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2012), hlm. 64.
2
Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami (Yogyakarta: Al Kautsar, 1990), hlm. 11
3
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung:
Angkasa, 2005), hlm. 147.
4
Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.352
5
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2007), hlm. 44.
3. 3
C. Tujuan Poligami
Adapun tujuan poligami adalah :
1. Kebebasan individual: setiap orang bebas dan bertanggungjawab untuk
menentukan pasangan hidupnya sendiri, entah jumlah pasangannya nol,
satu, dua atau pun tiga.
2. Cinta; kalau seorang pria jatuh cinta pada seorang perempuan dan
demikian juga sebaliknya, maka pasangan ini berhak untuk kawin
kendatipun ini bukan perkawinan pertama mereka dan juga bukan dengan
pasangan pertama.
3. Ekonomis: kalau seorang laki-laki bisa menghidupi ekonomi sekian istri
dengan semua anak mereka, ia memiliki modal ekonomi kuat untuk
berpoligami.
4. Dukungan psikologis: jika istri-istri tua rela menerima kehadiran istri-istri
muda, si suami tidak mengalami kendala internal untuk ia berpoligami.
5. Berpoligami bukanlah tindakan kriminal (sekalipun ada UU Perkawinan),
apalagi jika poligami dilakukan karena alasan cinta.
6. Poligami tidak otomatis akan membuahkan ketidakadilan gender, jika si
suami sungguh-sungguh dapat memperlakukan semua istrinya dengan
respek, cinta dan keadilan.
7. Poligami tidak otomatis menghina dan merendahkan kaum perempuan,
malah bisa terjadi hal sebaliknya.
8. Poligami tidak otomatis menodai atau merendahkan agama apapun, sejauh
orang yang berpoligami tetap bisa menjalankan ibadahnya dengan setia.
9. Poligami paralel dengan tindakan membentuk masyarakat yang jumlah
anggotanya lebih besar.
10. Poligami adalah seni yang lebih advanced membangun rumah tangga; dan
tidak ada satu karya senipun yang harus dimusuhi. 6
6
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta UII Press, 2007), hlm 76.
4. 4
D. Prosedur Poligami di Indonesia
Aturan-aturan dalam melakukan poligami telah diatur dalam Pasal 40
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa apabila
seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.7
Hal ini diatur
lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan 58 Kompilasi Hukum Islam sebagai
berikut:
Pasal 56 KHI
1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin
dari Pengadilan Agama.
2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau ke empat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Kalau Pengadilan Agama sudah menerima permohonan izin poligami,
kemudian ia memeriksa berdasarkan Pasal 57 KHI :
a) Ada atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang suami kawin
lagi;
7
Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hlm. 46.
5. 5
b) Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan
maupun tulisan, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan;
c) Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hiduo istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan, atau
iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Pasal 58 KHI
Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
istri pada sidang Pengadilan Agama.
Adapun tata cara teknis pemeriksaan menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun
1975 adalah sebagai berikut:
1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan
41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang
bersangkutan.
2) Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya.8
E. Hukum Poligami
Menurtu Mahmud Syaltut, hukum poligami adalah mubah. Poligami
dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para istri.
Jika terdapat kekhawatiran terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari
8
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), hlm.
126.
6. 6
kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan agar mencukupkan beristri
satu orang saja.9
Menurut Zamakhsyari dalam kitabnya al-Kasyaf mengatakan bahwa
poligami menurut syariat Islam adalah rukhsoh sama halnya dengan rukhshah bagi
musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa. Darurat yang dimaksud
adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul
lebih dari seorang istri.10
Dasar hukum pendapat tersebut yaitu, firman Allah SWT:
ِإَونمُتفِخِِف
ْ
وا ُطِسق
ُ
ت
ا
َّل
َ
أَٰ َمَٰ َ
تَٱۡل
َ
ف
ْ
واُحِكٱنَِنم م
ُ
ك
َ
ل َاب َط اَمِء
ٓ
ا َسِٱلنَمَٰ ََۡث
ٰٓ َ
َند
َ
أ
َ
ِكلََٰ
ذ ۡۚم
ُ
كُنَٰ َمي
َ
أ ت
َ
ك
َ
لَم اَم و
َ
أ
ً
ةَدِحَٰ َو
َ
ف
ْ
وا
ُ
لِدع
َ
ت
ا
َّل
َ
أ مُتفِخ نِإ
َ
ف َۖ
َعَٰ َبُرَو
َ
ثَٰ َ
ل
ُ
ثَو
ْ
وا
ُ
ولُع
َ
ت
ا
َّل
َ
أ٣
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
Menurut pandangan Jumhur Ulama’, ayat 3 pada surat An-Nisa’ turun
setelah perang Uhud, ketika banyak pejuang Islam (mujahidin) yang gugur di
medan perang. Sebagai konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang
ditinggal mati oleh ayah dan suaminya. Akibatnya banyak anak yatim yang
terabaikan dalam kehidupan, pendidikan, dan masa depannya.11
Menurut pandangan Quraisy Shihab menjelaskan sebagaimana ayat di atas
tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang
bolehnya poligami itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh
9
Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, (Kairo: Dar al-Qolam, 1996), hlm. 269.
10
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, hlm. 149.
11
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Academia, 1996), hlm.85
7. 7
orang yang amat sangat membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan.
Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan Al-Quran
hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal, atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat
dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.12
2. POLIANDRI
Pengertian
Secara etimologi, poliandri berasal dari kata Yunani yaitu polus yang
artinya banyak, aner yang artinya negatif dan andros yang artinya laki-laki. Dalam
bahasa inggris poliandri disebut polyandri dan dalam baha Arab disebut البعول تعدد
yang berarti bersuami lebih dari seorang pria.13
Secara terminologi, Menurut Musfir al-Jahrani, perkawinan poliandri
adalah perkawinan seorang wanita pada waktu yang sama mempunyai suami lebih
dari satu. Sebenarnya dalam hal ini beberapa orang yang menyukai kelezatan
biologis lebih menyukai bentuk ini.14
Hukum Poliandri
Sepakat Ulama Hukum Islam menetapkan bahwa perkawinan dengan
wanita yang sudah mempunyai suami tidak sah dan dituntut hukuman rajam, bila
terbukti sudah pernah berkumpul. Oleh karena itu, perkawinan tersebut hukumny
haram, karena berdasarkan firman Allah SWT:
َ۞وُتَٰ َن َصحُمٱلَِنمِء
ٓ
ا َسِٱلنَبَٰ َ
ِتك َۖم
ُ
كُنَٰ َمي
َ
أ ت
َ
ك
َ
لَم اَم
ا
َّلِإِ
ا
ٱّللم
ُ
ك
َ
ل
ا
ِلح
ُ
أَو ۡۚم
ُ
كي
َ
ل
َ
ع
اَم
َ
ف ۡۚ
َنيِحِفَٰ َ
سُم َۡي
َ
غ َِنين ِص
ح
ُّم م
ُ
ِكلَٰ َوم
َ
أِب
ْ
وا
ُ
غَتب
َ
ت ن
َ
أ م
ُ
ِكلََٰ
ذ َء
ٓ
اَرَو ااممُتعَتمَتٱسِبِهۦانُهِنم
12
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid 3, hlm. 410
13
Mahjuddin, Masail Fiqhiyah: Kasus-kasus Aktual Dalam Hukum Islam, hlm. 64.
14
Musfir al-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997)
hlm. 32
8. 8
َ
فان
ُ
ون
ُ
اتان
ُ
نَورُج
ُ
أِهِب مُتي
َ
ضَٰ َر
َ
ت اَِيمف م
ُ
كي
َ
ل
َ
ع َاحَنُج
َ
َّلَوۡۚة
َ
يضِر
َ
فۦِدعَب ۢنِمِة
َ
يضِر
َ
فٱلِإ
ا
ن
َ ا
ٱّللاِيمكَح اًِيمل
َ
ع
َ
ن
َ
َك٢٤
24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-
Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri
yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi
kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan juga hadis Nabi SAW:
َ
َّل
ح
ِل
َ
َيئِر
ْ
م َِّلُِنم
ْ
ؤُيِّللااِبِمْوَ ْ
اۡلَوِِرخ
َ ْ
اَّل
ْ
ن
َ
أَ ِق ْسَيُهَاءَم
َ
عْرَزِهِ
ْ
ۡي
َ
غ
“Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir
menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain).
(H.R. Abu Dawud [2158] 15
).16
15
Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2011). Juz 2,
hlm. 113.
16
Mahjuddin, Masail Fiqhiyah: Kasus-kasus Aktual Dalam Hukum Islam, hlm. 70..
9. 9
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2010. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo.
Basyir, Ahmad Azhar. 2007. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta UII Press.
Jahrani, al, Musfir. 1997. Poligami dari Berbagai Persepsi. Jakarta: Gema Insani
Press.
Mahjuddin. 2012. Masail Fiqhiyah: Kasus-kasus Aktual Dalam Hukum Islam.
Jakarta: Kalam Mulia.
Mulia, Siti Musdah. 2007. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Nasution, Khoiruddin. 1996. Riba dan Poligami. Yogyakarta: Academia.
Redaksi Sinar Grafika. 2006. Undang-undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar
Grafika.
Shihab, M. Quraisy. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Sulaiman, Abi Dawud. 2011. Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Suprapto, Bibit. 1990. Liku-Liku Poligami. Yogyakarta: Al Kautsar.
Syaltut, Mahmud. 1996. Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah. Kairo: Dar al-Qolam.
Tihami, Fikih Munakahat. 2010. Jakarta: Rajawali Pers.
Yanggo, Huzaimah Tahido. 2005. Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam
Kontemporer. Bandung: Angkasa.