Pernikahan melalui teknologi seperti telepon dinilai tidak sah menurut pandangan kalangan ulama Syafi'iyah. Persyaratan bersatu majelis yang melibatkan kehadiran fisik kedua mempelai dan saksi tidak terpenuhi dalam pernikahan jarak jauh melalui telepon. Selain itu, tugas saksi untuk memastikan ijab kabul melalui penglihatan dan pendengaran juga menjadi kendala. Oleh karena itu, pernik
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Nikah Melalui Teknologi Dalam Perspektif Masail Fiqhiyah
1. RESUME MASAIL FIQHIYAH
PERNIKAHAN MELALUI TEKNOLOGI
Resume Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Dr. Isnawati Rais, M.A
Disusun Oleh :
Ahmad Zulfi Aufar 11150440000003
Hukum Keluarga 5B
FAKULTAS SYARIAH dan HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
2. A. Pengertian Pernikahan Melalui Teknologi
Secara etimologi, arti kata nikah berarti “bergabung”, arti “hubungan
kelamin”, dan juga berarti “akad”. Adanya kemungkinan ketiga arti ini karena kata
nikah yang terdapat dalam AlQur’an memang mengindikasikan adanya arti-arti
tersebut.1
Golongan ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad
dalam arti yang sebenarnya (hakiki). Dalam arti yang tidak sebenarnya (majazi)
kata nikah berarti hubungan kelamin. Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat
bahwa kata nikah itu mengandung arti secara haqiqi untuk hubungan kelamin.
Sedangkan mengandung makna akad jika dilihat dari pemahaman arti secara
majazi.2
Karena kedua pendapat diatas menerangkan bahwa nikah adalah akad baik
secara haqiqi maupun majazi, maka pernikahan melalui teknologi adalah
pernikahan yang akadnya menggunakan teknologi baik telepon atau semacamnya
dengan jarak yang jauh dan tidak satu majelis antara mempelai lakilaki dengan
mempelai wanita.
B. Persyaratan Bersatu Majelis Dalam Aqad
Menurut pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI), rukun perkawinan terdiri
atas calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali nikah, dua orang
saksi lelaki, dan ijab kabul. Jika kelima unsur atau rukun perkawinan tersebut
terpenuhi, maka perkawinan adalah sah. Akan tetapi sebaliknya, jika salah satu atau
beberapa unsur atau rukun dari kelima unsur atau rukun perkawinan tidak
terpenuhi, maka perkawinan dinyatakan tidak sah.3
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm.
36.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 37.
3
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), 107.
3. 3
Dari kelima unsur atau rukun perkawinan tersebut yang paling penting ialah
Ijab kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad. Pelaksanaan ijab
kabul dalam akad nikah, dalam pasal pasal 27 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menentukan bahwa pelaksanaan ijab dan kabul antara wali (dari pihak calon
mempelai perempuan) dengan calon mempelai laki-laki harus jelas beruntun dan
tidak berselang waktu. Akad nikah (dalam hal ijab) dilaksanakan sendiri secara
pribadi oleh wali nikah. Pelaksanaan ucapan ijab kabul yang semestinya dilakukan
oleh wali nikah dapat diwakilkan kepada orang lain yang memenuhi syarat (Pasal
28 KHI). Sementara kabul diucapkan oleh calon mempelai laki-laki secara pribadi.
Akan tetapi dalam kondisi tertentu, ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada
lelaki lain, dengan ketentuan bahwa calon mempelai lelaki yang bersangkutan
memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah
(kabul) itu adalah untuk mempelai lelaki. Hal ini sesuai dengan pasal 29 KHI.4
Oleh karena demikian penting arti ijab dan kabul bagi keabsahan akad
nikah, maka banyak persyaratan secara ketat yang harus dipenuhi untuk
keabsahannya. Di antaranya adalah ittihadul-majlis (bersatu majelis) dalam
melakukan akad.5
Pertama, yang dimaksud dengan ittihad al- majelis adalah bahwa ijab dan
kabul harus dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad
nikah, bukan dilakukan dalam dua jarak waktu secara terpisah. Dengan demikian
adanya persyaratan bersatu majlis adalah menyangkut keharusan kesinambungan
waktu antara ijab dan kabul, bukan menyangkut kesatuan tempat. Said sabiq dalam
kitabnya fiqh al-sunnah dalam menjelaskan arti bersatu majelis bagi ijab qobul,
menekankan kepada pengertian tidak boleh terputusnya antara ijab dan qobul. Satu
contoh di kemukakan oleh al-jaziri pengertian bersatu majelis dalam mazhab
Hanafi adalah seorang lelaki berkirim surat kepada perempuan yang
dikehendakinya, setelah surat itu sampai, surat itu di bacakan didepan wali wanita
4
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, 116.
5
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2010), hlm. 3.
4. 4
dan para saksi, setelah surat tersebut di bacakan wali perempuan langsung
mengucapkan penerimaannya(kabulnya). Praktik akad nikah tersebut oleh kalangan
Hanafiyah di anggap sah. Dengan alasan bahwa pembacaan ijab yang terdapat
dalam surat calon suami dan pengucapan qobul dari pihak wali wanita, sama-sama
di dengar oleh dua orang saksi dalam majelis yang sama, bukan dalam dua upacara
berturut-turut secara terpisah dan segi waktunya.6
Kedua, ialah pendapat yang mengatakan bahwa bersatu majelis disyaratkan,
bukan saja untuk menjamin kesinambungan antara ijab dan kabul, tetapi sangat erat
hubungannya dengan tugas dua orang saksi yang menurut pendapat ini, harus dapat
melihat dengan mata kepalanya bahwa ijab dan kabul itu betul-betul diucapkan oleh
kedua orang yang melakukan akad. Seperti diketahui bahwa diantara syarat syah
suatu akad nikah, dihadiri oleh dua orang saksi. Tugas dua orang saksi itu, seperti
disepakati para ulama, terutama untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan
kabul, baik dari segi redaksinya, maupun dari segi kepastiann bahwa ijab dan kabul
itu adalah diucapkan oleh kedua belah pihak.
Dimaklumi bahwa keabsahan suatu redaksi dapat dipastikan dengan cara
mendengarkannya. Akan tetapi bahwa redaksi itu benar-benar asli diucapkan oleh
kedua orang yang sedang berakad, kepastiannya hanya dapat dijamin dengan jalan
melihat para pihak yang mengucapkan itu dengan mata kepala. Pendapat ini lah
yang dipegangi dikalangan ulama-ulama mujtahid, terutama kalangan syafi’iyah.7
Oleh karena kesaksian harus didasarkan atas pendengaran dan pengelihatan,
menurut pandangan ijab dan kabul melalui surat tanpa mewakilkan, tidak sah. Oleh
karena itu pula mengapa Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ menjelaskan,
apabila salah seorang dari dua pihak yang melakukan akad nikah mengucapkan
ijabnya dengan jaln berteriak dari tempat yang tidak dapat dilihat, dan teriakan itu
didengar oleh pihak lain, dan pihak yang terahir ini langsung mengucapkan
kabulnya, akad nikah seperti ini tidak sah.
6
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, hlm. 3-5.
7
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, hlm. 6-7.
5. 5
Dari pemahaman diatas secara tegas dapat diketahui bahwa, adanya persyaratan
satu majelis, bukan hanya untuk menjaga kesinambungan waktu, tetapi juga
mengandung persyaratan lain, yaitu al-mu’ayanah, yaitu kedua belah pihak sama-
sama hadir dalam satu tempat, karena dengan itu persyaratan dapat melihat secara
nyata pengucapan ijab dan kabul dapat diwujudkan.8
C. Analisis Terhadap Hukum Pernikahan Melalui Telepon
Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan no. No. 1751/P/1989 bila di
cocokkan dengan tafsiran pendapat pertama maka telah absah. Dalam perkara ini,
para saksi formal yang ada di Indonesia dapat memastikanterjadinya akad nikah
dengan cara melihat wali calon istri mengucapkanijabnya. Begitu pula para saksi
nonformal di Amerika yang memastikanterjadinya akad nikah dengan melihat calon
suami mengucapkan kabulnyasecara langsung. Dengan demikian, persyaratan
kesinambungan waktu dan persyaratan para saksi harus secara yakin dan melihat
pelaku akad telahterpenuhi. Walaupun terdapat dua kelompok saksi di tempat yang
berbeda.Adanya kekhawatiran pemalsuan suara sudah menjadi tidak berarti, ketika
para saksi formal yang ada di Indonesia dan para saksi non formal yang diamerika
sama-sama dapat dihadirkan oleh pengadilan agama jakarta selatan,dan serentak
memastikan terjadinya ijab dan kabul antara kedua belah pihak,dan kedua belah
pihak pun tidak mengingkari kesaksian tersebut.9
Bila dilihat dari pandangan pendapat kedua, maka jelas praktik akad
nikahmelalui telepon itu tidak sah. Berikut perbandingan antara praktik akad
nikahmelalui telepon dengan pokok-pokok pedoman kalangan syafi'iyah sebagai
berikut:
POKOK-POKOK PEDOMAN
KALANGAN SYAFI'IYAH
PRAKTIK AKAD NIKAH YANG
TERJADI
Para saksi harus dapat melihat
pelakuakad nikah, (al-mu'ayanah)
Para saksi di Indonesia hanya
mendengar suara calon suami di
8
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, hlm. 7-8.
9
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, hlm. 8-9.
6. 6
dalam arti berhadap-hadapan secara
fisik.
Amerika tanpa dapat melihatnya,
begitu juga sebaliknya.
Persyaratan bersatu majelis harus
dengan cara bersatu tempat untuk
mencapai al-mu'ayanah
Syarat al-mu'ayanah tidak tercapai
kecuali menggabungkan kesaksian dua
kelompok saksi Indonesia-Amerika
Masalah akad nikah berunsur ta'abbud,
karena itu harus sesuai dengan contoh
Nabi Saw
Praktik penyaksian akad dengan dua
kelompok saksi yang berbeda tidak
pernah terjadi pada zaman Nabi Saw
Bila mengikuti pendapat Syafi'iyah, maka bila ada peristiwa akad nikah
jarak jauh di kemudian hari, dapat para pihak dapat didengar suaranya
sekaligusgambarnya, tentu tetap dinyatakan tidak sah. Sebab syarat al-mu'ayanah
atau berhadap-hadapan secara fisik tidak terpenuhi. Karena pada permisalan
iniyang dilihat hanyalah gambarnya, bukan fisik jasmani.10
Untuk menghasilkan analisis kritis tentang hukum akad nikah melalui
telepon, Satria Effendi M. Zein mendasarkan pendapatnya pada satu hadits riwayat
muslim yakni: Rasulullah bersabda: “Takutlah kalian kepada Allah dalam hal
wanita. Mereka (perempuan) di tangan kalian sebagai amanah dari Allah, dan
dihalalkan bagi kalian dengan kalimat Allah”.
Beliau juga dua hadits riwayat Abu Daud tentang tawkil. Yang pertama dari
Uqbah bin Amir yakni: “Bahwa Rasulullah pernah berkata kepada seorang lelaki,
“Apakah engkau rela untuk saya kawinkan dengan perempuan fulanah?” Lelaki itu
menjawab, “Bersedia”. Kemudian Rasulullah berkata pula kepada perempuan yang
dimaksudkan, “Apakah kamu bersedia untuk saya kawinkandengan lelaki fulan?
Perempuan itu menjawab, “Bersedia”. Kemudian Rasulullah menikahkan
keduanya” (HR. Abu Daud No. 2117).11
10
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, hlm. 8-9.
11
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, hlm. 10-11.
7. 7
DAFTAR PUSTAKA
Djubaedah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat.
Jakarta: Sinar Grafika.
Syarifuddin, Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Zein, Satria Effendi M. 2010. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer.
Jakarta: Kencana.