1. BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu proses dimana terjadinya pertalian antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan suatu pengikatan.
Perkawinan juga merupakan kebutuhan masing-masing individu untuk
membentuk suatu keluarga dan untuk memenuhi kebutuhan batiniah. Di
Indonesia perkawinan itu diatur di dalam Hukum Negara dan Hukum Agama.
Perkawinan dapat dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun perkawinan yang
sudah ditentukan oleh Hukum Negara dan Hukum Agama masing-masing.
Perkembangan zaman yang sangat pesat serta perkembangan teknologi
yang sangat maju, menimbulkan cara-cara pernikahan yang dilakukan secara tidak
langsung, salah satunya perkawinan melalui telepon atau teleconference. Karena
itulah kami mengambil tema tentang perkawinan melalui telepon atau
teleconference. Tujuan kami adalah untuk mengetahui hukum sah atau tidaknya
perkawinan melaui telpon atau teleconference. Kami mengambil judul “hokum
perkawinan melalui telepon atau teleconference”.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian perkawinan itu ?
b. Mengapa umat muslim harus melakukan perkawinan ?
c. Apa yang dimaksud perkawinan melalui telepon atau teleconference ?
d. Bagaimana hukum perkawinan melalui telepon atau teleconference ?
e. Bagaimana prosedur perkawinan melalui telepon atau teleconference
dikaitkan dengan perundang-undangan?
2. 1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk dapat memahami tentang latar belakang perkawinan melalui telepon
atau teleconference
2. Untuk mengetahui prosedur perkawinan melalui telepon atau
teleconference yang dikaitkan dengan perundang-undangan
3. Untuk memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai perkawinan
melalui telepon atau teleconference
4. Untuk memastikan sah atau tidaknya perkawinan melalui telepon atau
teleconference
1.4 Manfaat Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah hokum islam dengan pengampu ibu
Rof’ah , S.H, M.Hum, PhD
2. Untuk mengetahui pengertian perkawinan itu sendiri
3. Untuk mempelajari perkawinan umat muslim
4. Untuk mempelajari prosedur perkawinan secara hukum islam
5. Untuk mengetahui pengertian perkawinan melalui telepon atau
teleconference
6. Untuk mengetahui bagaimana hokum perkawinan melalui telepon atau
teleconference
3. BAB 2
ISI
2.1 Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan sebenarnya dapat dilihat dari hukum positif,
hukum adat, hukum islam, hukum pidana, hukum perdata, namun disini kami
memfokuskan pengertian perkawinan menurut hukum positif yang ada di
Indonesia dan hukum islam, yaitu :
a. Menurut Hukum Positif di Indonesia
Perkawinan merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria
dan wanita untuk hidup bersama dan kekal yang diakui oleh Negara
(Pendapat Scholten dalam menerjemahkan pengertian menurut BW).1
Walaupun terdapat perbedaan akan tetapi semuanya memuat materi yang
sama dalam satu pengertian perkawinan . Materi muatan yang
mengandung kesamaan tersebut adalah dalam hal :
1. Subyek nya harus antara pria dengan wanita
2. Timbulnya suatu ikatan
3. Dalam proses pengikatannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam setiap system hukum
b. Menurut Hukum Islam
Perkawinan Hukum Islam itu sendiri adalah suatu proses akad atau
ikatan lahir batin diantara seorang pria dengan wanita . Yang menjamin
halalnya pergaulan sebagai suami-isteri dan sahnya hidup berumah tangga,
dengan tujuan membentuk keluarga sejahtera2
, serta atas dasar suatu
1
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,
1982. hlm. 31.
2
Almukafi, Abdurahman, Op. cit.
4. kerelaan dan kesukaan keduabelah pihak dan dilakukan oleh wali pihak
wanita menurut ketentuan-ketenuan yang sudah diatur oleh agama3
.
2.2 Mempelajari Perkawinan Umat Muslim
Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu
untuk segera melaksanakannya, karena dengan perkawinan dapat mengurangi
maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu bagi
mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara perbekalan untuk memasuki
perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa, diharapkan dapat
membentengin diri dari perbuatan tercela yang sangat keji yaitu perzinahan.
Dinyatakan dalam hadist riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW,
bersabda yang artinya: Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya: “hai
pemuda, barangsiapa diantara kamu serta berkeinginan hendak nikah (kawin)
hendaklah ia itu nikah (kawin), karena sesungguhnya perkawinan itu akan
menjauhkan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan akan
memeliharanya dari godaan syahwat”.4
Perkawinan merupakan wadah penyaluran biologis manusia yang wajar,
dan dalam ajaran nabi, perkawinan ditradisikannya menjadi sunnah beliau. Hadist
riwayat Anas Ibnu Malik, bahwa “Sayalah yang paling bertaqwa kepada Tuhan,
namun saya ini salat, tidur, puasa, berbuka, dan aku menikah, itulah sunnahku
barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku bukanlah umatku”.5
2.3 Perkawinan Melalui Telepon atau Teleconference
Perkembangan jaman yang sangat pesat menyebabkan cara lama untuk
berkomunikasi yaitu dengan surat menyurat dsb sekarang telah ditinggalkan.
3
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di
Indonesia, Airlangga University Press. 1988. Hlm. 27-33.
4
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatun Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, 1996,hal. 11.
5
Ibid., hal.13.
5. Apabila dahulu diperlukan biaya dan waktu yang sangat besar untuk berbicara
tatap muka, karena harga tiket dan waktu perjalan pesawat atau alat tranportasi
yang lain membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Maka sekarang
dalam hal tersebut manusia dapat melakukannya melalui internet, dengan
cara chatting memakai webcam ataupun melalui media teleconference sehingga
kedua belah pihak dapat saling mendengar suara sekaligus melihat wajah secara
langsung.
Dengan banyaknya cara untuk berkomunikasi ini pula, membuat banyak
orang memakai sarana telepon dan lain sebagainya ini selain dipakai
berkomunikasi dengan teman dan keluarga tetapi juga untuk melakukan bisnis
jual beli, bahkan melakukan pernikahan atau biasa disebut perkawinan.
Melakukan perkawinan memakai sarana telepon pun sampai sekarang masih
dianggap aneh oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap tidak
wajar. Bahkan dapat menimbulkan perdebatan di antara para pakar atau aparat
hukum dalam hubungannya untuk menetapkan keabsahan perkawinan memakai
media telepon ataupun teleconference. Tetapi meskipun begitu, perkawinan yang
dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference ini sudah mulai sering
dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Selama ini, perkawinan biasanya dilangsungkan dalam satu majelis atau satu
tempat. Namun seiring dengan perkembangan tekhnologi komunikasi, terdapat
kemungkinan dilangsungkannya perkawinan tidak dalam satu majelis. Salah satu
kasus menarik serta merupakan terobosan pertama dalam mengatasi permasalahan
ketidakmungkinan perkawinan satu majelis, adalah perkawinan yang pada saat
pengucapan ijab dan kabul antara mempelai pria dan mempelai wanita dilakukan
melalui telepon atau teleconference.
2.4 Hukum Perkawinan Melalui Telepon Atau Teleconference
Permasalahan yang muncul apabila membicarakan keabsahan perkawinan
melalui media telekomunikasi, tidak lain oleh karena menurut Hukum Islam,
sebaiknya perkawinan dilakukan apabila dilaksanakan dalam satu majelis,
sehingga menunjang berkesinambungan waktu pengucapan ijab dan kabul yang
6. merupakan penentu sah atau tidaknya suatu perkawinan. Hal ini juga salah satu
kebiasaan warga Indonesia yang bermayoritas agama Islam dalam melangsungkan
perkawinan. Persoalan “satu majelis” diatas bukan merupakan suatu syarat sahnya
perkawinan, tetapi hanya sekedar tata cara dan atau suatu kebiasaan yang telah
lama dilakukan di Indonesia. Tata cara perkawinan melalui media telepon dan
atau teleconference tidak diatur dalam Undang-undang, artinya diserahkan
sepenuhnya kepada mereka yang hendak melaksanakan perkawinan tersebut.
Hanya bagi sebagian orang ketentuan satu majelis dan kesinambungan waktu
dapat menimbulkan keraguan sah atau tidaknya perkawinan yang dilaksanakan
melalui media telekomunikasi. Keterkaitan antara kesinambungan waktu dan satu
majelis sangat erat, oleh karena itulah terdapat 2 (dua) golongan besar fuquhua
yang menafsirkan pengertian keterkaitan ini[52]
:
Golongan fuquha pertama, dikemukakan oleh Syafi’i, Hanafi dan
Hambali, menafsirkan keterkaitan antara kesinambungan waktu dan kesatuan
majelis. Menurut golongan pertama ini, “berkesinambungan waktu” itu tidak lain
pelaksanaan ijab dan kabul yang masih saling berkait dan tidak ada jarak yang
memisahkan keduanya, oleh sebab itu perlu disaksikan secara langsung oleh para
saksi karena tugasnya untuk memastikan secara yakin keabsahan ijab dan kabul
tersebut secara redaksional maupun kepastiannya. Secara jelas terlihat bahwa
dengan adanya kesinambungan waktu antara pengucapan ijab dan kabul, maka
diperlukan adanya kesatuan majelis.
Golongan fuquha kedua, dikemukanan oleh Maliki, menafsirkan
“berkesinambungan waktu” itu dapat diartikan ijab kabul tidak menjadi rusak
dengan adanya pemisahan sesaat. Misal dengan adanya khutbah sebentar. Jadi
dalam hal ini, pihak-pihak yang terlibat harus dalam satu majelis tidak menjadi
persyaratan perkawinan.
Di dalam dunia yang semakin maju dan modern maka alangkah lebih
baiknya apabila kita mengikuti golongan fuquha kedua yang dikemukakan oleh
Maliki yang intinya di dalam ijab kabul tidak diharuskan di dalam satu majelis,
mengingat dunia saat ini semakin global. Dan lagi pula di dalam agama Islam
7. mengenal dengan adanya surat Taukil sebagai surat mewakilkan dari pihak
mempelai yang tidak dapat menghadiri pernikahan.
Mengenai pertentangan yang ditimbulkan dengan adanya dua masalah
perihal “satu majelis” dan “kesinambungan waktu” seperti tersebut di atas, justru
dapat dikatakan bahwa kesinambungan waktu pengucapan ijab dan kabul itu tetap
terjaga dalam hal perkawinan melalui media telekomunikasi. Hal ini didasarkan
dan bisa dilihat pada kenyataan yang dapat ditemukan sehari-hari bahwa media
telekomunikasi (dikaitkan dengan kasus perkawinan melalui telepon dan
teleconference) memberikan fasilitas sambungan langsung, sehingga
menghasilkan percakapan berupa suatu dialog seperti halnya percakapan tanpa
media. Apalagi bila dikaitkan dengan pemanfaatan media teleconference, selain
kita dapat mendengarkan suara lawan bicara, kita dapat pula melihat secara
langsung secara kasat mata yang menjadi lawan bicara kita.
Kemampuan telepon dan atau teleconference sebagai sarana penghubung
langsung jarak jauh, mempermudah untuk menilik hakekat satu majelis, seperti
yang dikemukakan oleh Pasal 10 ayat (3) PP No.9/1975, melalui pendeskripsian
suasana satu majelis dengan kalimat “dihadapan” dan “dihadiri”. Dari uraian
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hakekat satu majelis tetaplah ada dalam
perkawinan yang memanfaatkan media telekomunikasi (telepon dan atau
teleconference) atau perkawinan jarak jauh ini. Hal ini dapat terjadi apabila
pemikiran mengenai “dihadapan” dan “dihadiri” dikembangkan dengan
menterjemahkannya secara luas (umum), yaitu dengan mengartikannya sebagai :
di bawah pengawasan, baik oleh Pegawai pencatat perkawinan maupun oleh
saksi-saksi. Jadi dengan demikian kata “dihadapan” dan “dihadiri” di dalam Pasal
10 ayat (3) PP No.9/1975 tidak diartikan sempit, yaitu bahwa dalam tatacara
perkawinan harus dilaksanakan dihadapan dan dihadiri oleh dua orang saksi di
dalam satu majelis.
Melalui perluasan pengertian ini, maka tatacara dan keabsahan perkawinan
jarak jauh atau dengan memanfaatkan media telekomunikasi dapat tetap dianggap
sah, karena perkawinan yang demikian itu dapat diketahui dan diawasi secara
langsung, sehingga akan dapat pula dicatatkan.
8. Sehingga dapat ditarik kesimpulan perkawinan yang ijab-kabulnya
dilakukan melalui media telepon dan atau teleconference adalah sah, apabila
semua syarat formil dan materiil perkawinan yang diatur di dalam Undang-
undang Perkawinan telah terpenuhi. Karena hal ini cukup memperhatikan
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bila telah dipenuhi
persyaratan secara agama, maka sah pulalah di mata undang-undang[53]
.
Perkawinan yang demikian itu tampaknya sudah pernah dilakukan oleh beberapa
orang yang saling berjauhan tempat tinggalnya yaitu perkawinan yang dilakukan
melalui telepon sebagaimana penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor
1751/P/1989 tanggal 20 April 1990 yang menyatakan bahwa penikahan melalui
telepon antara calon suami dan calon istri yang berjauhan tempat tinggalnya
adalah sah[54]
.
2.5 Prosedur Perkwinan Melalui Telepon Atau Teleconference Dikaitkan Dengan
Perundang-undangan
Prosedur perkawinan melalui telepon atau teleconfrence, harus tetap
memenuhi syarat dan rukunnya perkawinan, hanya saja tidak dilakukan dalam
satu. Misalkan hal itu terjadi, maka pertama-tama yang dilakukan misalnya adalah
di Indonesia (pihak wanitanya misalnya), maka yang harus dipersiapkan adalah
wali, saksi dan pegawai pencatat perkawinan yang bertugas mencatat perkawinan
melalui telpun tersebut. Kemudian dipihak pria (misalnya di Amerika) yang harus
dipersiapkan adalah saksi, guna menyaksikan bahwa benar yang akan
mengucapkan akad nikah itu adalah calon suami (bukan orang lain). Kemudian
dari mempelai wanita harus meyakini dan mempercayai benar yang akan
mengucapkan akad nikah tersebut adalah mempelai pria. Dalam pelaksanaan akad
nikah yang dilakukan melalui telepon, meskipun tempatnya terpisah, namun
dalam mengucapkan akad nikah tetap dilaksanakan berkesinambungan ucapan
antara wali (mempelai wanita) dengan mempelai pria.
Lebih rinci dapat dikemukakan bahwa, untuk memastikan kebenaran suara
dari calon mempelai pria yang berada di Amerika, adalah saluran telepon
9. (perkawinan melalui telepon) ataupun kebenaran gambar dan suara dari calon
mempelai yang berada di Amerika saluran telepon (perkawinan melalui
teleconference), sehingga tidak terjadi keraguan keabsahan perkawinan yang tidak
dilaksanakan dalam satu majelis, maka dalam hal ini diperlukan[55]
:
a. Kedua belah pihak sudah mengenal sebelumnya dalam kurun waktu yang
lama, guna memastikan kebenaran suara dan gambar.
b. Diadakan pengujian
Pengujian ini dimaksudkan untuk menguji apakah suara atau
gambar yang ada di telepon/televisi merupakan sebuah rekaman atau
langsung. pengujian ini bisa dilakukan dengan cara melakukan percakapan
berupa dialog dari kedua pihak yang berjauhan. Apabila terjadi dialog
yang tidak saling bersambung maka patut untuk dicurigai
kebenaran/keaslian bahwa suara ataupun gambarnya tidak langsung. Atau
ada orang yang mengaku sebagai pasangan dari mempelai.
c. Peranan saksi
Peranan saksi dalam suatu perkawinan selain sebagai seorang yang
menyiarkan telah terjadinya suatu perkawinan, seorang saksi juga sangat
berperan dalam membuktikan atau sebagai alat bukti jika terjadi
pengingkaran terhadap perkawinan yang dilangsungkan. Oleh karena saksi
menjadi penting dalam suatu perkawinan, terutama bagi perkawinan yang
dilangsungkan secara jarak jauh.
Oleh karena perkawinan (melalui teleconfrence) telah dicatat oleh pegawai
pencatat perkawinan pada waktu pelaksanaan ijab qabul atau akad nikah, namun
hanya dalam hal penandatanganan Akta Nikah yang belum dilaksanakan secara
sempurna. Hal ini akan dapat dilakukan penandatanganan oleh mempelai pria
setelah kemudian ia pulang ke Indonesia, agar dapat dijadikan bukti yang sah
menurut hukum positif, meskipun Akta Nikah tersebut hanya sebagai bukti
administratif.