pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
ANALISA HAKIM DALAM MENGGALI KEBENARAN ATAS KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN AKIBAT NUSYUZ
1. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi….. 94
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 74-93
ANALISA HAKIM DALAM MENGGALI KEBENARAN ATAS
KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENYELESAIKAN
PERKARA PERCERAIAN AKIBAT NUSYUZ
M. Indra Gunawan
IAI Hamzanwadi NW Pancor Lombok Timur NTB
Email: indra.iaih@gmail.com
Abstract: "Nusyuz" means an act of the wife which can be interpreted as
opposing the will of her husband with no reason that can be accepted
according to syara law. But when a husband sues his wife on the pretext
of "nusyuz" in front of the court, it must be proven and there must be a
witness as one proof, the judge will analyze the truth of the witness's
testimony as proof. This requirement is because justice, which is one of
the objectives to be realized in case examinations and termination before
a religious court, will depend on evidence.
Keyword: Judging Analysis, Witness Testimony,Nusuz
A. PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk biologis yang diciptakan oleh
Allah swt. begitu sempurna. Disamping kesempurnaan itu manusia
juga memiliki banyak kekurangan serta berbagai macam karakter,
sifat dan ciri khas yang berbeda-beda. Manusia juga telah diberi
dorongan atau watak ketertarikan dan keserasian baik secara fisik
maupun kejiwaan dengan lain jenisnya yang tidak mungkin dapat
dihindari. Untuk merealisasikan hubungan tersebut harus sesuai
dengan syari’at yang ditetapkan yaitu melalui perkawinan.
Perkawinan adalah rahmat dan nikmat dari Allah swt. karena
dengan perkawinan itu manusia merasakan kasih sayang, kedamaian,
kelembutan dan nikmatnya kehidupan. Selain itu, pernikahan yang
dilakukan oleh manusia mempunyai tiga tujuan, yaitu :
i) kepuasan syahwat yang suci, mendapatkan keturunan dengan cara
yang dibenarkan, ii) kecendrungan jiwa untuk memberikan kasih
sayang, ketenangan,1 dan iii) menurut Yahya Harahap yaitu saling
1
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan. (Jakarta : Kencana, 2006). hal : 46-47
2. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
95
tolong menolong atas segala kesulitan dan permasalahan-
permasalahan hidup.2
Perkawinan bukan suatu bentuk kerjasama bisnis yang
bertujuan mendapatkan keuntungan semata dan seringkali tidak
peduli terhadap kerugian yang diderita oleh pasangannya, tetapi
perkawinan adalah perjanjian yang mengikat di bawah persaksian dan
sumpah antara suami-isteri untuk saling berbuat demi kebahagiaan
pasangannya dan saling menolong untuk meraih kebahagiaan
bersama,3 sebagaimana dijelaskan Allah swt. dalam al-Qur’an surat al-
A’raf ayat 189, yang artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari diri
yang satu dan padanya, dan dia menciptakan isterinya, agar dia
merasa tenang, kepadanya”4
Secara tidak langsung ayat di atas telah menjelaskan bahwa
terjadinya ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan
memiliki tujuan mulia dan demi kebahagian mereka. Mulianya tujuan
yang ingin dicapai dalam ikatan perkawinan juga digambarkan oleh
Allah dalam al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21, yang artinya: “Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menjadikan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung kepadanya,
dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir”5
Sudah menjadi hukum alam bahwa apabila ada kebaikan maka
ada pula keburukan, demikian juga halnya dalam ikatan perkawinan.
Ikatan perkawinan tidak selamanya berjalan mulus seperti yang
dicita-citakan oleh pasangan suami-isteri dalam rumah tangga. Hal ini
disebabkan karena tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami-
isteri, seperti misalnya seorang isteri tidak mau melaksanakan
kewajiban layaknya seorang isteri, berbakti lahir dan batin kepada
suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam yaitu
2
Yahya Harahap dalam Amir Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di
Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No.1 / 1974 sampai
KHI. (Jakarta : Kencana, 2004). hal : 51
3
Irwani. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Nusyuz dan Penyelesaiannya di Pengadilan
Agama Selong Lombok Tengah. (Syariah. STAIN Mataram : 2003).
4
Depag RI. Al-Quran dan Terjemahan. (Depag : 1997). hal : 253
5
Depag RI. Ibid. hal. 644
3. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
96
menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya.6
Pada keadaan seperti di atas, seringkali dapat mengakibatkan
pertengkaran dan percecokan yang tidak ada habisnya. Sikap seperti
ini dalam hukum perkawinan Islam disebut sebagai nusyuz7
(durhaka).
Berkaitan dengan perkara nusyuz, Islam tidak membiarkan
sampai terjadi pembangkangan dan pendurhakaan. Sejak munculnya
tanda-tanda nusyuz, Islam telah menentukan beberapa tindakan
antisipasi yang harus diambil secara bertahap. Sebagaimana firman
Allah swt. dalam surat An-Nisa ayat 34 yang artinya : “Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan kedurhakaannya, nasihatilah dan
pisahkanlah dirimu dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka
(dengan pukulan yang tidak membahayakan), kemudian jika mereka
mentaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan
mereka.8
Ayat tersebut di atas memberikan gambaran bahwa ada
beberapa upaya yang mesti dilakukan oleh suami seandainya istri
benar-benar terbukti melakukan nusyuz. Upaya tersebut merupakan
tindakan preventif yang secara berurutan dapat diuraikan sebagai
berikut : 1). Memberikan nasehat; 2). Memisahkan diri dari tempat
tidur dengan sikap berpaling; 3). Boleh memukul, asal pukulan itu
tidak menyakitkan atau melukai.9
Jika dalam hubungan yang masih mengalami keretakan
tersebut sudah tidak bisa diusahakan penyelesaiannya secara damai
karena masing-masing pihak masih mempertahankan egonya dan
6
Depag RI. Bahan Penyuluhan Hukum, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam. (Jakarta : 2001). hal 183
7
Nusyuz (durhaka) adalah apabila isteri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan
yang dapat diterima menurut hukum syara’, tindakan ini dipandang durhaka seperti misalnya :
(1) Suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak
mau pindah ke rumah itu; atau isteri meninggalkan rumah tangga tanpa izin suami. (2)
Apabila suami-isteri tinggal di rumah kepunyaan isteri dengan izin isteri, kemudian pada suatu
waktu isteri mengusir (melarang) suami masuk rumah itu, dan bukan karena minta pindah ke
rumah yang disediakan oleh suami. (3) Apabila isteri bepergian dengan tidak beserta suami
atau mahramnya, walaupun perjalanan itu wajib, seperti haji; karena perjalanan perempuan
yang tidak beserta suami atau mahram terhitung maksiat. (4) Umpamanya isteri menetap di
tempat yang disediakan oleh perusahaannya, sedangkan suami minta supaya isteri menetap di
rumah yang disediakannya, tetapi isteri berkeberatan dengan tidak ada alasan yang pantas.
Nusyuz bisa saja terjadi karena tidak mau memberikan hak dan menunaikan kewajiban
layaknya suami-isteri. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Sinar Baru Algesindo, Bandung : 1994)
8
Depag RI. hal : 111
9
Amir Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. hlm : 209
4. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
97
menganggap diri benar serta makin jauhnya tanda-tanda akan
terciptanya perdamaian di antara mereka, barulah kemudian
perceraian adalah jalan terbaik untuk menyelesaikannya. Hal ini telah
diatur dalam Pasal 65 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
peradilan agama jo Undang-undang No. 3 Tahun 2006 yang berbunyi
sebagai berikut :
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”.
Erat kaitannya dengan perkara perceraian sebagaimana yang
dinyatakan dalam pasal di atas, tentu pengadilan tidak secepat itu
akan memutuskan suatu perkara atau sengketa perceraian akan tetapi
harus melalui proses demi proses pemeriksaan dan salah satu proses
tersebut adalah pembuktian tentang dalil-dalil yang diajukan oleh
pemohon dan termohon atau dari bukti-bukti lain yang erat kaitannya
dengan permohonan perceraian para pihak.
Untuk melaksanakan pembuktian, hakim memerlukan dasar-
dasar hukum dalam rangka menentukan suatu putusan yang nantinya
akan memiliki kekuatan hukum tetap. Dilaksanakan pembuktian
dalam sengketa perceraian adalah suatu cara yang dilakukan oleh
pihak berperkara atau bersengketa untuk memberikan dasar kepada
hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang telah
didalilkan.10 Usaha tersebut kemudian memberikan peluang atau
ruang kepada yang berperkara untuk menghadirkan alat-alat bukti
sebagai penguat tuntutan atau permohonan yang telah disampaikan
kepada pengadilan.
Dijelaskan dalam Pasal 163 Herziene Indonesische Reglement
(HIR) dan Reglement Voor de Buitengewestern (RBg.) bahwa : “Barang
siapa yang mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan suatu
perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak
orang itu harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu”.11
Begitu juga halnya dalam gugatan perceraian perkawinan
dengan alasan nusyuz, syiqaq, alasan salah satu pihak mendapat
pidana penjara, alasan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau juga alasan
mengenai permohonan cerai thalak, dan jika dalam hal ini terjadi
10
Gatot Supramono. Hukum Pembuktian di Pengadilan Agama. (Bandung : Alumni, 1993).
hal : 16
11
Taufik Makarao. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. (Rineka Cipta. Jakarta : 2004) hal :
95
5. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
98
sangkalan-sangkalan, maka harus dibuktikan dan tentunya atas
perintah hakim karena jabatannya itu. Dalam keadaan seperti ini
hakim dituntut mencermati dan memeriksa alat-alat bukti yang
diajukan dan ditunjukkan oleh pihak yang berperkara atau yang
bersengketa secara efektif sesuai dengan Undang-undang atau hukum
pembuktian yang berlaku.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum
pembuktian (law of evidence) dalam perkara merupakan bagian yang
kompleks dalam proses legitimasi. Menurut John, J. Cound, : tujuan
pembuktian adalah untuk mencari kebenaran yang hakiki dari
peristiwa-peristiwa masa lalu yang diperkarakan di muka pengadilan,
meskipun kebenaran yang dicari dapat diwujudkan dari proses
peradilan, kebenaran yang dicari di pengadilan tidak bersifat absolut
tetapi kebenaran yang bersifat relatif atau bahkan cukup hanya
bersifat kemungkinan saja.12
Hukum acara peradilan agama mengenal beberapa jenis alat
bukti, salah satu diantaranya adalah alat bukti saksi, dalam hukum
Islam disebut syahid (saksi laki-laki) atau syahidah (saksi perempuan)
yang terambil dari kata musyahadah yang artinya : menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, dan saksi adalah manusia hidup.
Syahadah berarti keterangan orang yang dapat dipercaya di depan
sidang pengadilan dengan lafaz kesaksian untuk menetapkan hak atas
orang lain.13
Dari pengertian tentang saksi di atas dapat diketahui bahwa
saksi haruslah orang yang jujur, mengetahui serta dapat
mengungkapkan kebenaran dalil gugat yang diajukan. Oleh karena itu
saksi haruslah dapat meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang
dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan, tetapi
kadang-kadang para pihak yang berperkara di pengadilan agama
Selong tidak memahami bagaimana kriteria saksi yang harus
diajukan, walaupun hakim sudah memberitahukan terlebih dahulu,
sehingga hal tersebut bisa memperlambat jalannya persidangan.
Pembuktian dimaksudkan untuk mencari kebenaran, artinya
dari proses pembuktian ini nantinya akan ditarik suatu kesimpulan
tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Meskipun kebenaran
12
John J. Cound dalam Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. (Sinar Grafika Offset.
Jakarta : 2004) hal : 496
13
Abdul Manan. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
(Jakarta : Kencana, 2006) hal : 369
6. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
99
yang diperoleh dari hasil pembuktian ini masih mengandung unsur-
unsur ketidakpastian walaupun sedikit namun itulah kebenaran yang
harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Kebenaran yang diperoleh
dari hasil pembuktian itu sudah mempunyai ketetapan hukum tetap,
karena kebenaran itu adalah usaha maksimal dari hakim untuk
menyentuh rasa keadilan para pencari keadilan.
Dari uraian latar belakang di atas, terutama tentang
pembuktian dengan persaksian dalam proses pemeriksaan perkara
perceraian akibat nusyuz, penulis tergugah untuk menyusun sebuah
karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul : Analisa Hakim
Dalam Menggali Kebenaran Atas Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti
Dalam Menyelesaikan Perkara Perceraian Akibat Nusyuz.
B. PENGERTIAN NUSYUZ
Nusyuz berasal dari kata nasyaza, nasyasha, nasyazat,
memiliki arti yang sama, yaitu meninggikan diri dan nusyuuzu al-
zawjain yang berarti “saling membenci dan saling berlaku jahat
antara suami-isteri”.14 Pengertian menurut pandangan hukum islam
“nusyuz” berarti suatu tindakan isteri yang dapat diartikan
menentang kehendak suaminya dengan tidak ada alasan yang dapat
diterima menurut hukum syara’. Pendapat lain menyatakan bahwa
nusyuz adalah meninggalkan kewajiban bersuami-isteri seperti
nusyuz dari isteri yang telah meninggalkan rumah tangga tanpa izin
dari suami. Sedangkan nusyuz dari suami ialah tidak mau menggauli
isteri dan tidak mau memberikan hak-hak isteri. Dalam arti luas
nusyuz adalah suami atau isteri yang meninggalkan kewajiban
bersuami-isteri yang membawa kerenggangan hubungan diantara
keduanya.15
Secara etimologis nusyuz berarti meninggi atau terangkat.
Dikatakan isteri nusyuz terhadap suaminya berarti isteri merasa
dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia
tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara defenisi nusyuz
diartikan dengan “kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal
menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya”.16
Para ahli tafsir mendefinisikan nusyuz sebagai usaha
menumpukkan kekerasan dalam ucapan, perbuatan, atau keduanya
14
Shaleh Ghanim. Jika Suami Isteri Berselisih. (Gema Insani. Jakarta : 1998) hal. 24
15
Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. (Sinar Baru Al-Gesindo. Bandung : 1997) hal 297
16
Amir Syarifuddin. Op. Cit. hal. 190
7. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
100
yang dilakukan oleh suami-isteri karena kebencian kepada pasangan
hidupnya. Dengan demikian, isteri yang nusyuz kepada suaminya
berarti isteri yang ingkar, membangkang dan menentang suaminya.17
Dalam penyelesaiannya menurut hukum Islam yakni Islam
telah menentukan beberapa tindakan antisipasi yang harus diambil
secara bertahap, tindakan ini bukan untuk menindas, memaksa atau
menghinakan akan tetapi justru untuk meluruskan penyimpangan
yang mungkin bisa mengancam kelangsungan perkawinan
sebagaimana firman Allah swt. Surat An-nisa ayat 34 yang artinya
:“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan kedurhakaannya,
nasihatilah dan pisahkanlah dirimu dari tempat tidur mereka dan
pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membahayakan),
kemudian jika mereka mentaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkan mereka18.
Dari ayat di atas, diterangkan upaya-upaya yang harus
dilakukan oleh suami apabila isterinya secara terang-terangan
melakukan nusyuz.
Diantara kewajiban suami terhadap isterinya adalah
membimbing dan mengarahkannya kearah yang positif dengan
memberikan nasehat yang baik. Rasulullah dalam sebuah hadits
mengingatkan kepada para suami untuk selalu memberikan nasehat
kepada isterinya, hadits yang dimaksud adalah :
ا ْوُص َْوتْسا َوِءَاسِالنِبْرايَخَّنُهَّنِإَفَنْقِلُخْنِمعَل ِضِإ َوَّنَْوعَاَجَيئشيِفِعَل ِالضَاُهَالْعْنِإَفََبتهَذ
ُهُمْيِقَتُهَتَْرسَكْنِإ َوُهَتكََرتْمَلْل َزَيَج َْوعَا.
Artinya : Dan terimalah pesanan-Ku (untuk berbuat) kebaikan
kepada perempuan-perempuan, karena mereka itu
dijadikan dari tulang rusuk, sedang tulang rusuk yang
paling bengkok ialah yang paling atas. Jika engkau hendak
luruskan dia, niscaya engkau patahkan dia; dan jika
engkau biarkan dia maka tetaplah ia bengkok.
Adapun langkah-langkah yang diambil isteri apabila melihat
tanda-tanda suaminya melakukan nusyuz yaitu sebagaimana firman
Allah swt. surat An-Nisa’ ayat 128.
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa langkah yang bisa
ditempuh isteri dalam menghadapi suaminya yang nusyuz berbeda
17
Suheri Sidik Ismail. Ketentraman Suami Isteri. (Dunia Ilmu. Surabaya : 1999) hal. 107
18
Depag RI.
8. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
101
dengan langkah suami yang ditetapkan dalam memperbaiki nusyuz
isterinya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Nusyuz adalah
ketidak akraban, perselisihan, hubungan yang tidak harmonis antara
suami-isteri, yang dapat mendatangkan keresahan dan kegelisahan
yang sangat menyakitkan.
C. PROSEDUR PERCERAIAN DALAM PERSFEKTIF UNDANG-UNDANG
NO. 7 TAHUN 1989 JO. UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006
Dengan berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang
telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, maka
prosedur cerai thalak dan cerai gugat adalah sebagai berikut :
Cerai Thalak, : seorang suami yang akan menalak istrinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat termohon. Dalam permohonan tersebut
dimuat identitas para pihak, yaitu pemohon (suami) dan termohon
(isteri) yang meliputi : nama, umur dan tempat kediaman serta alasan
yang menjadi dasar cerai thalak.
Cerai Gugat, : gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau
kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat disertai alasan yang menjadi dasar
gugatannya.
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian secara etimologi berasal dari kata “bukti” yang
berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata
“bukti” jika mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” maka berarti
“proses”, “perbuatan, “cara membuktikan”, secara terminologi
pembuktian berarti usaha menunjukkan benar atau salahnya si
terdakwa dalam sidang pengadilan.19
Dalam arti yang luas pembuktian adalah kemampuan
penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk
mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-
peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan
hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit,
pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang
dibantah atau hal yang masih disengketakan atau hanya sepanjang
19
Hari Sasangka. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata Untuk Mahasiswa dan
Praktisi. (Mandar Maju. Bandung : 2005) hal : 52
9. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
102
yang menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang
berperkara.20
2. Jenis-jenis Alat Bukti
Alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284
R.Bg, dan Pasal 1866 KUH Perdata, sebagai berikut :
Alat bukti surat (tulisan)
Alat bukti saksi
Persangkaan (dugaan)
Pengakuan
Sumpah.21
a. Alat Bukti Surat atau Tulisan
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa alat bukti surat
atau tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian.22
b. Alat Bukti Saksi
Pembuktian dengan saksi-saksi diatur dalam Pasal 168
sampai 172 HIR dan Pasal 306 sampai 309 RBG serta Pasal
1985 sampai 1912 KUH Perdata.
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa keterangan saksi
atau suatu kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada
hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan
dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang
dipanggil di persidangan.23
c. Alat Bukti Persangkaan (dugaan)
Secara rinci alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal
1915 sampai 1922 KUH Perdata yaitu :
“Persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh
undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang
20
Yahya Harahap dalam Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama. (Kencana. Jakarta : 2006) hal : 227
21
Abdul Manan. Ibid. hal : 239
22
Ibid. hal : 240
23
Sudikno Mertokusumo dalam Hari Sasangka. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata
Untuk Mahasiswa dan Praktisi. (Mandar Maju. Bandung : 2005) hal : 60
10. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
103
terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang
kenyataannya”.
d. Alat Bukti Pengakuan
Dasar hukum pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam
Pasal 174 HIR dan Pasal 311 R.Bg serta Pasal 1923-1928 KUH
Perdata.yaitu :
“Pengakuan yang diucapkan dihadapan hakim adalah
merupakan bukti yang sempurna memberatkan orang
yang mengucapkannya, baik sendiri, maupun dengan
bantuan orang lain yang khusus dikuasakan untuk itu”.
“Pengakuan yang dikemukakan terhadap suatu pihak ada
yang dilakukan dimuka hakim dan ada yang dilakukan di
luar sidang pengadilan”
e. Alat Bukti Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai 185
dan 314 R.Bg, Pasal 155 sampai 158 dan 177 HIR serta Pasal
1929 sampai 1945 KUH Perdata.
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa sumpah pada
umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang
diberikan atau diucapkan pada waktu memberikan janji atau
keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa dari pada
Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan
atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi pada
hakikatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius
yang digunakan dalam peradilan.24
3. Pembuktian dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Pembuktian dalam proses pemeriksaan perkara adalah
merupakan suatu keharusan. Keharusan ini disebabkan karena
keadilan yang merupakan salah satu tujuan yang hendak
direalisasikan dalam pemeriksaan perkara dan pemutusannya di
muka pengadilan agama akan sangat bergantung pada adanya
pembuktian.
Ketentuan di atas dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi :
24
Sudikno Mertokusumo dalam Taufik Makarao. Ibid. hal : 115
11. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
104
ْوَلىَطْعُيَاسَّنالْمُها َْوعَدِبَعىَدَالََاسنِاءَمِدُلاَج ِرَا َوْمِهِلا َوْم,َل َوْنِكالبينةَعىَلىِعَّدُمال
ِْنيِمَيال َوىَلَعْنَمََركْنَا(رواهمسلم)
Artinya : “Sekiranya diberikan kepada manusia apa saja
yang digugatnya, tentulah manusia akan
menggugat apa yang ia kehendaki, baik jiwa
maupun harta. Akan tetapi keterangan (bukti)
dimintakan kepada si penggugat dan sumpah itu
dibebankan kepada tergugat”25
Dari hadits di atas dapat ditarik suatu definisi mengenai
pembuktian, yaitu suatu proses yang menjadi keharusan dalam
rangka menjaga dan menjamin tegaknya suatu keadilan, baik
mengenai jiwa maupun hak kepemilikan sesuatu oleh seseorang
apabila terjadi persengketaan. Jika pembuktian tidak diharuskan
maka setiap orang dengan sesuka hatinya akan menggugat hak
milik orang lain, maka terjadilah perampasan hak milik yang
bertentangan dengan prinsip keadilan yang menjadi salah satu
cita-cita peradilan.
Menurut H. Taufiq bahwa peristiwa yang harus dibuktikan
di muka sidang pengadilan harus memenuhi beberapa persyaratan
yaitu :
a. Peristiwa atau kejadian tersebut harus merupakan
peristiwa atau kejadian yang disengketakan, sebab
pembuktian itu merupakan cara untuk menyelesaikan
sengketa. Jadi seandainya peristiwa atau kejadian yang
menjadi dasar gugatan itu tidak disengketakan, maka
tidak perlu dibuktikan.
b. Peristiwa atau kejadian tersebut harus dapat diukur,
terikat dengan ruang dan waktu. Hal ini logis, sebab
peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang tidak
dapat diukur tidak dapat dibuktikan.
c. Peristiwa atau kejadian tersebut harus berkaitan dengan
hak yang disengketakan, karena pembuktian itu tidak
mengenal hak yang disengketakan itu sendiri. Tetapi
yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian
yang menjadi sumber hak yang disengketakan.
25
Abu Husein bin Hajjaz Al-Qusyairi An-Naisaburi. Shahih Muslim. Juz III (Semarang, Asy-
Syifa, 1993)
12. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
105
d. Peristiwa atau kejadian itu efektif untuk dibuktikan.
Maksudnya bahwa sering untuk membuktikan suatu hak
terdiri dari rangkaian beberapa peristiwa atau kejadian,
maka peristiwa dan kejadian itu merupakan salah satu
mata rangkaian peristiwa atau kejadian tersebut.
e. Peristiwa atau kejadian tersebut tidak dilarang oleh
hukum dan kesusilaan.26
4. Pembuktian Dengan Saksi Dalam Proses Pemeriksaan
Perkara Perceraian dalam Hukum Acara Paradilan Agama
Alat bukti saksi, atau dalam hukum acara peradilan Islam
dikenal dengan istilah Syahid yang terambil dari kata Musyahadah,
yang diartikan menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 169 sampai 172 HIR
dan Pasal 306 sampai 309 R.Bg. Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara,
yang dipanggil di persidangan.
Hukum Islam telah menetapkan batas minimal saksi
sebagai alat bukti adalah dua orang saksi laki-laki atau satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan sebagaimana tersebut dalam
surat Al-Baqarah ayat 282.
Menurut ayat di atas, keharusan adanya dua orang saksi
karena sifat manusia yang cenderung lupa, dan jika salah seorang
lupa maka yang lainnya akan mengingatkan.
Dalam hukum acara peradilan agama, khususnya dalam
proses pemeriksaan perkara perceraian, tidak semua orang bisa
didengar keterangannya sebagai saksi, oleh karena itu syarat
diterimanya suatu kesaksian menurut hukum Islam yaitu :
a. Islam (dalam hal-hal tertentu ada pengecualian)
b. Adil (bahwa kebaikan mereka harus mengalahkan
keburukannya serta tidak pendusta)
c. Baligh
d. Berakal (tidak gila atau mabuk)
e. Berbicara (tidak bisu)
f. Hafal dan cermat dan
g. Bersih dari tuduhan27
26
H. Taufiq dalam Abdul Manan… hal : 230
13. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
106
D. PROSES ANALISA HAKIM DALAM MENGGALI KEBENARAN ATAS
KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN AKIBAT NUSYUZ
Dalam menganalisa dan menggali kebenaran atas keterangan
saksi hakim di Pengadilan Agama mempunyai kiat-kiat atau langkah-
langkah dalam pemeriksaan alat bukti saksi, langkah-langkah yang
dimaksud yaitu : Setiap proses pemeriksaan alat bukti saksi hakim di
pengadilan agama , dengan cara memanggil saksi satu persatu ke
ruang persidangan, hal ini sesuai berdasarkan pasal 144 ayat (1) HIR
dan pasal 171 ayat (1) R.Bg, pada hari yang telah ditetapkan saksi
dipanggil masuk ke dalam ruang sidang satu demi satu tidak boleh
dilakukan secara bersama-sama, maksudnya tidak lain adalah agar
saksi-saksi tersebut tidak menyesuaikan keterangan mereka satu
sama lain.28 Langkah hakim dalam proses pemeriksaan saksi dengan
memanggil satu persatu untuk dimintai keterangannya di muka
pengadilan adalah tepat, karena dalam hal menimbang kualitas
kesaksian tersebut, hakim harus memperhatikan benar-benar
kecocokan satu saksi dengan yang lainnya.
Biasanya, hakim di pengadilan agama sebelum mendengarkan
keterangan saksi, hakim menanyakan terlebih dahulu apakah saksi
sudah makan sebelum berangkat ke pengadilan dan menanyakan
tentang keadaan saksi apakah mereka sehat dan bersedia
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya menurut
pengetahuannya sendiri. Langkah ini sangat penting bagi hakim
karena dengan menanyakan hal tersebut hakim dapat mengetahui
pada saat itu saksi benar-benar sehat dan dapat memberikan
keterangan dengan baik, sehingga menjawab pertanyaan hakim tidak
bertele-tele yang mengakibatkan terhambatnya jalan persidangan. Di
samping itu, untuk dapat didengar keterangannya saksi harus
memenuhi syarat formil maupun materil, yang mana di dalamnya
menyebutkan bahwa saksi harus sehat akalnya, tidak gila serta
keterangannya harus logis dan tidak bertentangan dengan akal sehat.
Hakim di pengadilan agama menanyakan kepada saksi tentang
identitas, baik mengenai nama, umur, pekerjaan, pendidikan dan
umur saksi, karena dengan mengetahui identitas saksi, hakim dapat
27
Sulaikin Lubis, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. (Kencana.
Jakarta : 2006) hal. 140
28
Taufik Makarao. …… hal : 105
14. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
107
mengetahui dan menimbang kualitas kesaksian para saksi. Seperti
contoh, seorang saksi yang diyakini sebagai seorang yang suka
mabuk-mabukan, tentunya akan berbeda pola hidup dan tingkah
lakunya dengan seorang saksi yang mempunyai latar belakang agama
yang baik, begitupun halnya ketika memberikan keterangan di muka
sidang pengadilan, maka hakim di pengadilan agama menggunakan
langkah ini sangat tepat mengingat di dalam Pasal 172 HIR dan 309
RBg serta Pasal 1908 KUH Perdata menyebutkan bahwa : hakim
dalam menganalisa dan menggali kebenaran atas keterangan saksi
harus memperhatikan benar-benar kecocokan satu saksi dengan yang
lainnya, kesesuaian kesaksian dengan keterangan yang diketahui dari
tempat lain tentang perkara yang dipersengketakan, segala sebab
yang mungkin ada pada saksi untuk mengemukakan perkara tersebut,
perikehidupan, adat dan martabat saksi, dan pada umumnya semua
hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercayai atau kurang
dipercayai.29
Selanjutnya, langkah yang paling penting dilakukan oleh hakim
di pengadilan agama yaitu menanyakan kepada saksi tentang
kesediaannya memberikan kesaksian dan apakah ia sanggup untuk
disumpah dan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya.
Langkah ini digunakan oleh hakim agar para saksi tidak memberikan
keterangan palsu, hal ini sesuai dengan Pasal 175 R.Bg dan Pasal 147
HIR serta Pasal 1911 KUH Perdata yang menyatakan bahwa apabila
orang tidak minta dibebaskan dari memberikan kesaksian atau jika
permintaan untuk dibebaskan tidak beralasan, maka sebelum saksi itu
memberikan keterangan lebih dahulu haruslah dia disumpah menurut
agamanya30. Di dalam sumpah berisi janji untuk memberikan
keterangan tentang apa-apa yang diketahui saksi dan tidak lain dari
apa yang diketahui oleh saksi, sehingga dengan demikian keterangan
saksi akan terjaga dari hal-hal yang bersifat menyimpang dari apa
yang seharusnya dia ketahui. Adapun kata-kata sumpah menurut
ajaran Islam yaitu “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan
menerangkan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya.
Sehingga dimungkinkan secara moral dan keyakinan agamanya bahwa
tidak akan berani untuk berbohong atau memberikan keterangan
palsu, karena implikasi dari perbuatan tersebut akan berakibat yang
29
Ibid.
30
Ibid. hal. 107
15. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
108
sangat berbahaya bagi keselamatan diri dan keluarganya di dunia
maupun di akhirat.
Setelah saksi bersedia di sumpah, hakim kemudian akan
meminta keterangan saksi tentang apa-apa saja yang ia ketahui, ia
lihat, dan ia dengar sendiri tentang dalil-dalil yang diajukan oleh para
pihak bukan berasalkan dari keterangan yang saksi dengar dari orang
lain kemudian saksi simpulkan sendiri. Langkah ini sangat tepat
dilakukan mengingat Pasal 171 HIR dan Pasal 308 R.Bg yang
menyatakan bahwa : Pendapat dan kesimpulan yang diperoleh dengan
jalan menggunakan buah pikiran bukanlah kesaksian31. Jadi saksi
adalah orang-orang yang mengalami, mendengar, merasakan, dan
melihat sendiri suatu peristiwa atau kejadian dalam perkara yang
sedang dipersengketakan.
Saksi dalam memberikan keterangannya, tidak dibenarkan
untuk meminta persetujuan dari para pihak, sebab tidak jarang saksi
meminta persetujuan para pihak di dalam memberikan keterangan.
Disamping itu juga pertanyaan yang diajukan kepada saksi harus
disampaikan melalui Ketua Majelis Hakim, jadi yang berkepentingan
atau para pihak tidak boleh langsung melakukan tanya jawab kepada
saksi, melainkan melalui Ketua Majelis Hakim. Apabila keterangan
yang ingin diperoleh dari saksi dirasa sudah mencukupi dan setelah
keterangan saksi dikonfirmasikan kepada para pihak, saksi kemudian
dipersilahkan untuk meninggalkan ruang sidang32.
E. KENDALA DAN UPAYA HAKIM DALAM MENGANALISA
KETERANGAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN AKIBAT NUSYUZ DI
PENGADILAN AGAMA
Dalam upaya mendengarkan dan mencermati keterangan saksi
tentunya ada kendala-kendala yang dihadapi oleh hakim khususnya di
pengadilan agama , karena para hakim kebanyakan berasal dari luar
daerah dan sebagian besar masyarakat yang diadili adalah masyarakat
yang tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga hal ini dapat
memperlambat jalannya persidangan. Oleh karena itu, apabila dalam
suatu persidangan terjadi kejanggalan atau keterangan yang kurang
jelas pada tahap tanya jawab antara hakim dengan saksi maka upaya
hakim yaitu memberikan pertanyaan sejelas mungkin dengan
menggunakan bahasa yang dipahami oleh saksi walaupun hakim tidak
31
Abdul Manan. ……. hal. 249
32
Ibid. hal. 253
16. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
109
fasih berbahasa daerah, hakim anggota yang lain akan ikut
memperjelas pertanyaan tersebut sampai dapat dipahami oleh saksi.
Upaya ini tidak patut dilakukan karena bisa saja hakim yang tidak bisa
berbahasa daerah akan kesulitan memahami alur pembicaraan
tersebut. Untuk mengatasi hal di atas, dalam Pasal 177 KUHAP
dijelaskan bahwa : jika saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim
ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau
berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus
diterjemahkan. Secara formil dan yang sah dipakai dalam proses
pemeriksaan perkara adalah bahasa Indonesia, jadi kalau saksi tidak
mengerti bahasa tersebut maka harus diangkat juru bahasa.
Kendala lain yang timbul dalam proses persidangan perceraian
akibat nusyuz seringkali para keluarga kedua belah pihak tidak mau
diangkat menjadi hakim atau penengah untuk mendamaikan kedua
belah pihak karena mereka merasa tidak sanggup untuk
mendamaikan mereka, walaupun upaya untuk mendamaikan sudah
dilakukan secara maksimal tetapi tidak berhasil dan menurut mereka
jalan keluar satu-satunya adalah diceraikan saja, maka dalam hal ini
hakim memeriksa keluarga tersebut sebagai saksi untuk dimintai
keterangannya untuk menyusun keyakinan atas dalil gugatan
penggugat dan kemudian perkara tersebut diputus. Langkah ini
ditempuh hakim sesuai dengan Pasal 76 Undang-undang No. 7 Tahun
1989 tentang peradilan agama bahwa dalam perkara perceraian
berdasarkan alasan pertengkaran atau perselisihan yang terus
menurus sehingga menyebabkan salah satu pihak meninggalkan pihak
lain, maka diperkenankan mempergunakan saksi dari keluarga
terdekat dari kedua belah pihak33.
Selain kendala di atas, pada tahap pemeriksaan perkara akibat
nusyuz seringkali tidak dihadiri oleh tergugat/termohon karena sebab
mereka tidak diketahui keberadaannya, tidak mau kembali atau rukun
kembali menjalin rumah tangga karena sebab sudah tidak kuat
menahan penderitaan dalam rumah tangga yang dijalaninya. Oleh
karena itu, penyelesaian perkara nusyuz di pengadilan agama tidak
secara lengkap dilakukan, karena suatu dalil yang dibuktikan oleh
pemohon/penggugat tidak bisa dibantah atau disangkal oleh
tergugat/termohon sehingga oleh hakim semua pembuktian
dibenarkan. Sehingga upaya yang dilakukan yaitu mengikutsertakan
keluarga dekat dengan kedua belah pihak untuk menyaksikkan,
33
Abdul Manan,……... hal : 254
17. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
110
mendengarkan atau memberikan keterangan yang mungkin menurut
hakim sangat diperlukan mulai dari awal pemeriksaan sampai akhir.
Langkah di atas, sesuai dalam penjelasan Pasal 27 ayat (4)
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 yang menyatakan : dalam hal
dijatuhkan putusan verstek dengan tidak hadirnya tergugat setelah
dipanggil secara patut, maka segala peristiwa yang didalilkan oleh
penggugat harus dianggap benar. Dalam hal ini hakim cukup meneliti
apakah panggilan telah dilaksanakan secara resmi dan patut, jika telah
dilaksanakan secara resmi dan patut, jika telah dilaksanakan secara
resmi dan patut, maka dapat dijatuhkan putusan tanpa hadirnya
tergugat, dan dalil gugat penggugat tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam
perkara perceraian, sebaiknya tetap dilaksanakan pembuktian tentang
kebenaran dalil gugatan penggugat, dan perlu dipanggil pihak
keluarga masing-masing pihak atau orang dekat dengan penggugat
atau tergugat guna didengar keterangannya dalam rangka usaha
perdamaian secara maksimal34.
F. KESIMPULAN
Berdasarkan berdasarkan paparan di atas, dalam hal ini bisa
dilihat bahwa analisa hakim dalam menggali kebenaran atas
keterangan saksi sebagai alat bukti dalam menyelesaikan perkara
perceraian akibat nusyuz di pengadilan agama , maka peneliti dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Hakim dalam menganalisa dan menggali kebenaran atas
keterangan saksi melalui beberapa langkah yaitu :
a. Hakim dalam memeriksa saksi dipanggil masuk secara satu
persatu, langkah ini dilakukan agar tidak terjadi kompromi
antara saksi yang satu dengan yang lain.
b. Di samping hakim menanyakan peristiwa yang disengketakan
hakim juga harus menanyakan darimana keterangan saksi itu
didapatkan, karena sumber keterangan saksi tersebut harus
melalui apa yang saksi alami sendiri tentang peristiwa yang
disengketakan.
c. Hakim terlebih dahulu menanyakan kepada saksi apakah
mereka sehat atau tidak, karena untuk dapat diterimanya
keterangan saksi di muka persidangan khususnya pengadilan
agama Selong, saksi harus sehat jasmani maupun rohani, selain
34
Ibid. hal : 236-237
18. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
111
itu saksi juga harus memenuhi beberapa syarat baik formil
maupun materil, dan disumpah.
2. Kendala-kendala yang dihadapi hakim di Pengadilan Agama Selong
dalam memeriksa dan mencermati keterangan saksi khususnya
dalam pemeriksaan perkara nusyuz :
a) Para pihak mengajukan saksi dari orang tua, yang sudah lanjut
usia karena bertambah umur dan usia dan sifat manusia yang
pelupa, sehingga persepsi saksi tentang peristiwa tersebut bisa
jadi bukan sebenarnya.
b) Para saksi kurang faham atas pertanyaan majelis hakim karena
mereka kurang memahami bahasa Indonesia.
c) Para keluarga kedua belah pihak tidak mau diangkat menjadi
hakim/penengah, karena tidak mau ikut campur dalam
kehidupan rumah tangga keluarganya.
d) Dalam setiap proses persidangan perceraian akibat nusyuz
sering kali tidak dihadiri oleh tergugat atau termohon
3. Adapun upaya hakim untuk mengatasi kendala tersebut di atas
adalah :
a) Menanyakan kondisi atau keadaan saksi apakah mereka sehat
atau tidak, dan bersedia memberikan kesaksian, apabila saksi
memberikan kesaksian yang terlalu jauh dari apa yang
seharusnya sedangkan keyakinan hakim belum cukup maka
hakim akan memerintahkan para pihak untuk mengajukan
saksi lagi dari keluarga yang lain.
b) Memberikan pertanyaan sejelas mungkin dengan
menggunakan bahasa yang dipahami oleh saksi walaupun
hakim tidak fasih berbahasa daerah, hakim anggota yang lain
akan ikut memperjelas pertanyaan tersebut sampai dapat
dipahami oleh saksi.
c) Apabila keluarga kedua belah pihak tidak mau diangkat
menjadi hakam/penengah, maka hakim mengikutsertakan
keluarga dekat dengan kedua belah pihak untuk
mendengarkan atau memberikan keterangan yang mungkin
menurut hakim sangat diperlukan untuk menyusun keyakinan.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. (Jakarta :
Kencana, 2006).
19. Analisa Hakim dalam Menggali Kebenaran atas Keterangan Saksi…..
USRATUNÂ Vol. 1, No. 2, Juli 2018 | 94-112
112
Yahya Harahap dalam Amir Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. Hukum
Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fiqih, UU No.1 / 1974 sampai KHI. (Jakarta :
Kencana, 2004).
Depag RI. Al-Quran dan Terjemahan. (Depag : 1997).
Depag RI. Bahan Penyuluhan Hukum, UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
(Jakarta : 2001).
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Sinar Baru Algesindo, Bandung : 1994)
Gatot Supramono. Hukum Pembuktian di Pengadilan Agama. (Bandung
: Alumni, 1993).
Taufik Makarao. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. (Rineka Cipta.
Jakarta : 2004).
John J. Cound dalam Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata, Tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan. (Sinar Grafika Offset. Jakarta : 2004) .
Abdul Manan. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama. (Jakarta : Kencana, 2006) .
Shaleh Ghanim. Jika Suami Isteri Berselisih. (Gema Insani. Jakarta :
1998) .
Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. (Sinar Baru Al-Gesindo. Bandung : 1997) .
Suheri Sidik Ismail. Ketentraman Suami Isteri. (Dunia Ilmu. Surabaya :
1999) hal. 107
Hari Sasangka. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata Untuk
Mahasiswa dan Praktisi. (Mandar Maju. Bandung : 2005) .
Yahya Harahap dalam Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata
di Lingkungan Peradilan Agama. (Kencana. Jakarta : 2006) .
Sudikno Mertokusumo dalam Hari Sasangka. Hukum Pembuktian dalam
Perkara Perdata Untuk Mahasiswa dan Praktisi. (Mandar
Maju. Bandung : 2005) .
Abu Husein bin Hajjaz Al-Qusyairi An-Naisaburi. Shahih Muslim. Juz III
(Semarang, Asy-Syifa, 1993)
Sulaikin Lubis, dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di
Indonesia. (Kencana. Jakarta : 2006) .