Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2009 dilakukan untuk menilai relevansi dan efektivitas pembangunan di Provinsi Riau dari 2004-2008. Evaluasi ini menggunakan kerangka kerja yang terdiri dari penentuan indikator hasil, pemilihan pendekatan evaluasi, dan pelaksanaan evaluasi serta penyusunan rekomendasi. Hasil evaluasi meliputi analisis capaian indikator pembangunan di lima bidang yaitu pelayanan publik, S
2. L P A A HI
A OR N K R
E au sK n r P mb n u a D ea
v lai iej e a g n n a rh
a
P o isR a
rvn i iu
K RA A
E J S MA
D P T B D N E A U S K N R AP MB N U A
E U I IA G V L A I IE J E A G N N
K ME T R A N G R P N/ A P N S
E N E IN E A A P B P E A
DN A
EG N
U I E ST S I U
N V R IA R A
3.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, pada
hakekatnya pembangunan daerah adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas daerah
dalam mewujudkan masa depan daerah yang lebih baik dan kesejahteraan bagi semua masyarakat.
Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 32 tahun 2004 yang menegaskan bahwa Pemerintah Daerah
diberikan kewenangan secara luas untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan di
daerah masing-masing.
Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2009 dilaksanakan untuk menilai relevansi
dan efektivitas kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004-2008. Evaluasi ini juga
dilakukan untuk melihat apakah pembangunan daerah telah mencapai tujuan/sasaran yang
diharapkan dan apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari pembangunan daerah tersebut.
Secara kuantitatif, evaluasi ini akan memberikan informasi penting yang berguna sebagai alat untuk
membantu pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan pembangunan dalam memahami,
mengelola dan memperbaiki apa yang telah dilakukan sebelumnya.
Hasil evaluasi digunakan sebagai rekomendasi yang spesifik sesuai kondisi lokal guna
mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan pusat dan daerah periode berikutnya,
termasuk untuk penentuan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Dekonsentrasi (DEKON).
1.2. Keluaran yang diharapkan dari pelaksanaan EKPD 2009 meliputi:
• Terhimpunnya data dan informasi evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi Riau.
• Tersusunnya hasil analisa evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi Riau.
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 1
4.
1.3. Metodologi Evaluasi
1.3.1. Kerangka Kerja EKPD 2009
Kerangka kerja EKPD 2009 meliputi beberapa tahapan kegiatan utama yaitu: (1) Penentuan
indikator hasil (outcomes) yang memiliki pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan pembangunan
daerah; (2) Pemilihan pendekatan dalam melakukan evaluasi; dan (3) Pelaksanaan evaluasi serta
penyusunan rekomendasi kebijakan, sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Ketiga tahapan tersebut
diuraikan sebagai berikut:
(1) Penentuan Indikator Hasil (outcomes)
Indikator kinerja dari tujuan/sasaran pembangunan daerah merupakan indikator dampak
(impacts) yang didukung melalui pencapaian 5 kategori indikator hasil (outcomes) terpilih.
Pengelompokan indikator hasil serta pemilihan indikator pendukungnya, dilakukan dengan
memperhatikan kaidah-kaidah sebagai berikut:
• Specific, atau indikator dapat diidentifikasi dengan jelas;
• Relevant: mencerminkan keterkaitan secara langsung dan logis antara target output dalam
rangka mencapai target outcome yang ditetapkan; serta antara target outcomes dalam
rangka mencapai target impact yang ditetapkan;
• Measurable : jelas dan dapat diukur dengan skala penilaian tertentu yang disepakati, dapat
berupa pengukuran secara kuantitas, kualitas dan biaya;
• Reliable: indikator yang digunakan akurat dan dapat mengikuti perubahan tingkatan kinerja;
• Verifiable: memungkinkan proses validasi dalam sistem yang digunakan untuk
menghasilkan indikator;
• Cost-effective: kegunaan indikator sebanding dengan biaya pengumpulan data.
Pengelompokan 5 kategori indikator hasil (outcomes) yang mencerminkan tujuan/sasaran
pembangunan daerah meliputi:
A. Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi.
B. Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia.
C. Tingkat Pembangunan Ekonomi.
D. Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam.
E. Tingkat Kesejahteraan sosial.
2 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
5.
Gambar 1. Kerangka Kerja EKPD 2009
(2) Pemilihan Pendekatan Dalam Melakukan Evaluasi
Hubungan antar tingkat indikator dengan pendekatan pengukuran kinerja dapat dilihat dalam
Gambar 2 yaitu:
• Relevansi untuk menilai sejauh mana pembangunan yang dijalankan relevan terhadap
sasaran atau kebutuhan daerah dalam menjawab permasalahannya.
• Efektivitas, untuk melihat apakah pembangunan yang dilakukan berkontribusi terhadap
pencapaian baik tujuan spesifik maupun umum pembangunan daerah.
• Efisiensi, untuk mengetahui bagaimana masukan (inputs) dirubah menjadi keluaran
(outputs).
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 3
6.
• Efektivitas Biaya, untuk menggambarkan hubungan antara input dengan outcomes
pembangunan.
• Kualitas, yaitu pengukuran derajat kesesuaian antara hasil-hasil pembangunan dengan
kebutuhan dan harapan masyarakat.
• Waktu, yaitu ketepatan waktu/periode pencapaian kinerja yang ditetapkan.
• Produktivitas, untuk melihat nilai tambah dari setiap tahapan proses pembangunan
dibandingkan dengan sumber daya yang digunakan.
Mengingat keterbatasan waktu dan sumber daya dalam pelaksanaan EKPD 2009, maka
pendekatan dalam melakukan evaluasi hanya meliputi relevansi dan efektivitas pencapaian.
Gambar 2 . Hubungan antara Indikator dan Pendekatan Dalam Melakukan Evaluasi
(3) Pelaksanaan evaluasi serta penyusunan rekomendasi kebijakan
Tahapan evaluasi dimulai dengan mengidentifikasi permasalahan dan tantangan utama
pembangunan daerah serta mengidentifikasi tujuan pembangunan daerah. Tahap kedua
adalah melengkapi dan mengoreksi Tabel Capaian yang dilanjutkan dengan tahap ketiga yaitu
melakukan penilaian berkaitan dengan relevansi dan efektivitas pencapaian. Tahap keempat
adalah melakukan identifikasi berbagai alasan atau isu yang menyebabkan capaian
pembangunan daerah (tidak) relevan dan (tidak) efektif. Tim Evaluasi Provinsi menjelaskan
4 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
7.
“How and Why” berkaitan dengan capaian pembangunan daerah. Tahap kelima adalah
menyusun rekomendasi untuk mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan
periode berikutnya. Tahap keenam, Bappenas melakukan perbandingan kinerja terkait hasil
evaluasi di atas berupa review dan pemetaan berdasarkan capaian tertinggi sampai terendah.
1.3.2. Metodologi
Metode yang digunakan untuk menentukan capaian 5 kelompok indikator hasil adalah sebagai
berikut:
(1) Indikator hasil (outcomes) disusun dari beberapa indikator pendukung terpilih yang memberikan
kontribusi besar untuk pencapaian indikator hasil (outcomes).
(2) Pencapaian indikator hasil (outcomes) dihitung dari nilai rata-rata indikator pendukung dengan
nilai satuan yang digunakan adalah persentase.
(3) Indikator pendukung yang satuannya bukan berupa persentase maka tidak dimasukkan dalam
rata-rata, melainkan ditampilkan tersendiri.
(4) Apabila indikator hasil (outcomes) dalam satuan persentase memiliki makna negatif, maka
sebelum dirata-ratakan nilainya harus diubah atau dikonversikan terlebih dahulu menjadi
(100%) – (persentase pendukung indikator negatif).
Sebagai contoh adalah nilai indikator pendukung persentase kemiskinan semakin tinggi,
maka kesejahteraan sosialnya semakin rendah.
(5) Pencapaian indikator hasil adalah jumlah nilai dari penyusun indikator hasil dibagi jumlah dari
penyusun indikator hasil (indicator pendukungnya). Contoh untuk indikator Tingkat
Kesejahteraan Sosial disusun oleh:
• persentase penduduk miskin
• tingkat pengangguran terbuka
• persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak
• presentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia
• presentase pelayanan dan rehabilitasi sosial
Semua penyusun komponen indikator hasil ini bermakna negatif (Lihat No.4).
Sehingga:
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 5
8.
Indikator kesejahteraan sosial = {(100% - persentase penduduk miskin) + (100% - tingkat
pengangguran terbuka) + (100% - persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak) +
(100%- persentase pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia) + (100% - persentase
pelayanan dan rehabilitasi sosial}/5
Daftar indikator keluaran (outputs) yang menjadi komponen pendukung untuk masing-masing
kategori indikator hasil (outcomes) dapat dilihat pada Lampiran 1.
Untuk menilai kinerja pembangunan daerah, pendekatan yang digunakan adalah Relevansi
dan Efektivitas.
Relevansi digunakan untuk menganalisa sejauh mana tujuan/sasaran pembangunan yang
direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan. Dalam hal ini, relevansi
pembangunan daerah dilihat apakah tren capaian pembangunan daerah sejalan atau lebih
baik dari capaian pembangunan nasional.
Sedangkan efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara hasil dan
dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas pembangunan dapat
dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah membaik dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
Dalam mengumpulkan data dan informasi, teknik yang digunakan dapat melalui:
Pengamatan langsung
Pengamatan langsung kepada masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan di daerah,
diantaranya dalam bidang sosial, ekonomi, pemerintahan, politik, lingkungan hidup dan
permasalahan lainnya yang terjadi di wilayah provinsi terkait.
Pengumpulan Data Primer
Data diperoleh melalui FGD dengan pemangku kepentingan pembangunan daerah. Tim
Evaluasi Provinsi menjadi fasilitator rapat/diskusi dalam menggali masukan dan tanggapan
peserta diskusi.
6 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
9.
Pengumpulan Data Sekunder
Data dan informasi yang telah tersedia pada instansi pemerintah seperti BPS daerah, Bappeda
dan Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait.
1.4. SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Tujuan
1.2 Keluaran
1.3 Metodologi
1.4 Sistematika Penulisan Laporan
BAB II HASIL EVALUASI
Deskripsi permasalahan dan tantangan utama pembangunan daerah serta identifikasi tujuan
pembangunan daerah.
2.1 TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI
2.1.1. Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian
indikator outcomes nasional dan analisa
Analisis Relevansi
Analisis efektifitas
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung penunjang outcomes yang
spesifik dan menonjol
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA
2.2.1. Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian
indikator outcomes nasional dan analisa
Analisis Relevansi
Analisis efektifitas
2.2.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 7
10.
Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang spesifik dan
menonjol
2.2.3. Rekomendasi Kebijakan
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI
2.3.1. Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian
indikator outcomes nasional dan analisa
Analisis Relevansi
Analisis efektifitas
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang spesifik dan
menonjol
2.3.3. Rekomendasi Kebijakan
2.4 KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
2.4.1 Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian
indikator outcomes nasional dan analisa
Analisis Relevansi
Analisis efektifitas
2.4.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung penunjang outcomes yang
spesifik dan menonjol
2.4.3 Rekomendasi Kebijakan
BAB III. KESIMPULAN
Menyimpulkan apakah capaian tujuan/sasaran pembangunan daerah telah relevan dan efektif
terhadap tujuan/sasaran pembangunan nasional
8 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
11.
BAB II
HASIL EVALUASI
Provinsi Riau secara geografis, geoekonomi dan geopolitik terletak pada jalur yang sangat strategis
baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang karena terletak pada jalur perdagangan
Regional dan Internasional di kawasan ASEAN melalui kerjasama IMT-GT dan IMS-GT. Setelah
terjadi pemekaranan wilayah, Provinsi Riau yang dulunya terdiri dari 16 Kabupaten/Kota, sekarang
hanya tinggal 11 Kabupaten/Kota setelah Kepulauan Riau resmi menjadi provinsi ke 32 di terhitung
1 Juli 2004.
Meskipun Administratif pemerintahan daerahnya terpisah, namun kami tetap bersebati dalam rekat
tamadun Melayu seperti semula. Nilai-nilai luhur kebudayaan Melayu sebagai kawasan lintas
budaya telah menjadi jati diri masyarakat Riau yang terungkap dari ucapan “Tuah Sakti Hamba
Negeri, Esa Hilang Dua Terbilang, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Tak Melayu Hilang di Bumi”.
Nilai-luhur kebudayaan Melayu itulah yang menjadi filosofi Visi Pembangunan Provinsi Riau
(Pemerintah Provinsi Riau, 2004).
Komitmen Provinsi terhadap peningkatan pendidikan dapat disimak melalui Visi Riau 2020 yang
telah dimulai perumusannya pada periode pembangunan Provinsi Riau 2000-2003. Impian kejayaan
Riau 13 tahun ke depan ini merupakan kristalisasi komitmen seluruh lapisan masyarakat Riau yang
telah disepakati dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor: 36 Tahun 2001
tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Provinsi Riau tahun 2001-2005 yaitu: “Terwujudnya
Provinsi Riau sebagai Pusat Perekonomian dan Kebudayaan Melayu dalam Lingkungan
Masyarakat yang Agamis, Sejahtera Lahir dan Batin di Asia Tenggara Tahun 2020”.
Agar setiap tahap pembangunan jangka menengah tersebut dapat dicapai sesuai dengan kondisi,
kemampuan dan harapan yang ditetapkan berdasarkan ukuran-ukuran kinerja pembangunan, telah
pula dirumuskan visi antara 5 tahun ke depan (2004-2008) yaitu: “Terwujudnya pembangunan
ekonomi yang mengentaskan kemiskinan, pembangunan pendidikan yang menjamin
kehidupan Masyarakat agamis dan kemudahan aksesibilitas, dan pengembangan kebudayaan
yang menempatkan kebudayaan Melayu secara proporsional dalam kerangka
pemberdayaan”.
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 9
12.
Merujuk kepada Visi Riau 2020, Provinsi Riau melalui Dinas Pendidikan Provinsi Riau sebagai
leading sector kemajuan pendidikan di daerah telah merumuskan Visi: ”Terwujudnya lembaga
pendidikan di Provinsi Riau yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas, beriman dan bertaqwa, berbudaya Melayu serta memiliki daya saing tahun 2020”.
Untuk mewujudkan visi tersebut misi yang akan dijalankan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Riau
adalah : (1) meningkatkan mutu pendidikan, (2) meningkatkan akses pendidikan, (3)
mengembangkan pendidikan yang berwawasan keunggulan dan teknologi, (4) meningkatkan
manajemen pendidikan, (5) Meningkatkan jaringan kerjsama pendidikan secara regional, nasional
maupun internasional, dan (6) Meningkatkan monitoring dan evaluasi.
Menyiasati Visi Riau 16 tahun ke depan yang diperkuat dengan pemekaran wilayah kabupaten/kota,
secara bertahap dan konsisten telah dimulai melalui RENSTRA Tahap Pertama tahun 2001-2003
yang memberi perioritas pada 5 (lima) pilar pembangunan. Sedangkan Tahap Kedua, Pemerintah
Provinsi Riau telah menyusun RENSTRA tahun 2004-2008 dengan prioritas pengengentasan
Kebodohan, Kemiskinan dan Infrastruktur yang lebih populer dengan sebutan Program K2I.
Dokumen perencanaan pembangunan yang bersifat taktis dan strategis tersebut merupakan
kelanjutan serta bagian yang tak terpisahkan dari Pola Dasar Pembangunan Daerah (POLDAS) dan
Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Provinsi Riau.
2.2 TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI
2.1.4 Aspek Politik, Hukum dan Keamanan
Sebagai daerah penghasil terutama dari minyak dan gas bumi, hasil hutan, dan industri
besar pulp and paper, serta perkebunan sawit yang terus berkembang saat ini. Riau
termasuk daerah yang paling merasakan betapa buruknya sistem sentralisasi. Sumberdaya
alam yang melimpah ternyata tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat Riau khususnya dan Indonesia umumnya. Dampaknya, pasca
reformasi resistensi masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan besar di Riau semakin
mengkristal. Hal ini sebagai akibat marjinalisasi masyarakat tempatan oleh kapital.
• Secara umum pilkada di Riau relatif aman. Sebagaimana fenomena di Indonesia yakni
banyaknya pengangguran, pilkada menjadi ajang untuk menambah penghasilan dengan
melibatkan diri sebagai tim sukses. Selain itu, pilkada juga memunculkan pendukung
10 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
13.
fanatis. Hal ini jelas membuat proses demokrasi menjadi kontraproduktif. Dampaknya
terhadap politik adalah munculnya fanatisme sempit; putra daerah dan non-putra daerah;
• Momen pilkada cenderung dijadikan ajang untuk menjatuhkan lawan secara tidak fair bukan
sebagai pencerahan politik. Hampir sebagian besar yang mencalonkan diri dan dianggap
dapat mempengaruhi suara secara signifikan maka kasus-kasus masa lalunya (jika ada)
akan dipublikasikan (black campaign);
• Fenomena apatisme masyarakat terhadap pilkada di Riau mencemaskan karena tidak
kurang dari 30-40 persen masyarakat yang tidak menggunakan hal pilihnya. Hal ini dapat
disebabkan antara lain karena tidak terdaftar, apatisme secara sadar karena pergantian
pemimpin tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat secara
umum;
• Pilkada di Riau banyak didominasi oleh calon dari birokrasi. Hal ini karena ketidaksiapan
kader parpol. Ini berakibat jika kalah maka calon merasa terancam/tidak nyaman untuk
berkarier di daerah tersebut. Dampaknya adalah banyak si calon berusaha pindah ke
Pemerintah Provinsi. Tidak kurang 200 orang PNS yang menyatakan ingin pindah ke
Pemprov;
• Terbukanya kran politik yang diiringi oleh banyaknya berdiri partai politik telah membuka
peluang besar bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan diri. Ini berpengaruh terhadap
sumberdaya politisi di legislatif daerah. Masih banyak politisi yang belum memahami peran
dan fungsi parpol dengan baik. Parpol dianggap sebagai jalur untuk mencapai kekayaan
secara cepat. Hal ini sebagai akibat dari dampak besarnya penghasilan anggota legislatif di
Riau periode 1999-2004 sebelum keluar PP yang mengatur kedudukan keuangan dan
protokoler DRPD. Input parpol yang lemah terefleksikan pada output ketika mereka duduk
sebagai anggota legislatif;
• Sebagai isu sentral reformasi yakni pemberantasan kolusi, korupsi, dan nepotisme, hingga
saat ini belum menunjukkan hasil maksimal. Secara internal, aparat penegak hukum;
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan belum satu visi dalam hal penegakan hukum. Banyak
kasus korupsi di Riau tapi hanya segelintir koruptor yang divonis. Terkesan pemberantasan
korupsi tebang pilih. Penegakan hukum belum sistemik karena masih bergantung kepada
figur pimpinan pada lembaga penegak hukum. Jika pimpinannya tidak kompromi terhadap
kasus KKN maka pelakunya dengan cepat akan menjadi terdakwa;
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 11
14.
• Sebagai daerah yang terkenal kaya sumberdaya alam, Riau menjadi daerah yang menarik
bagi investasi baik PMDN maupun PMA. Perkebunan sawit tersebar hampir di setiap
kabupaten di Riau. Hal ini merupakan lahan bagi kejahatan antarprovinsi. Kasus-kasus
perampokan uang gaji karyawan perkebunan acapkali terjadi karena relatif sepi dan tidak
terpantau oleh aparat kepolisian;
• Adanya kebijakan pemberantasan judi oleh Kapolri, membawa dampak pada banyaknya
pengangguran khususnya di Riau. Selama ini, Riau termasuk daerah yang menjadi basis
judi. Akibatnya, para karyawan yang menggantungkan hidupnya menjadi pengangguran.
Premanisme pun tidak terelakkan. Mereka bekerja menjadi backing proyek-proyek
pemerintah dengan alasan mencari makan. Untuk pekerjaan tersebut mereka memperoleh
fee yang besarnya tergantung pada kesepakatan. Kasus bom molotov sempat marak terjadi
di Pekanbaru khususnya;
• Kasus kriminalitas yang sempat menghebohkan Kota Pekanbaru khususnya adalah sodomi
dengan korban utama adalah pelajar Sekolah Dasar. Selain itu, kasus jambret juga sangat
meresahkan masyarakat Kota Pekanbaru khususnya.
2.1.5. Aspek Pemerintahan dan Pengembangan Otonomi Daerah
• Akses Masyarakat Terhadap Informasi Kebijakan
10 tahun berlangsungnya reformasi politik di Indonesia, menyisakan banyak pekerjaan elite.
Salah satu agenda besar yang harus sungguh-sungguh di implementisir adalah terbukanya
akses informasi terhadap arus kebijakan yang dilahirkan oleh negara. Semangat tertutupnya
arus informasi, menyuburkan sejumlah varian kemacetan. Semangat ketertutupan ini,
secara eksplisit dapat dilihat pada minimnya unsur pemahaman massa terhadap semua
informasi kebijakan Pemerintah Daerah.
• Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Penyelenggaraan tanggungjawab pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Riau dalam
rangka desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah telah diwujudkan melalui keberadaan 11
(sebelas) daerah otonom setingkat Kabupaten/Kota. Demikian pula sesuai dengan
12 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
15.
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2002 kelembagaan Pemerintah Provinsi didukung
oleh 2 (dua) Sekretariat, 12 (duabelas) Badan, 33 (tigapuluh tiga) Dinas, dan 2 (dua) Kantor.
Namun kinerja penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Provinsi
Riau masih menghadapi berbagai kendala terkait dengan belum optimalnya (i) koordinasi
internal dan antar instansi pada pemerintah daerah, sehingga terjadi duplikasi atau
kesenjangan dalam implementasi kebijakan daerah; (ii) transformasi birokrasi secara
kultural sebagai bagian dari reformasi pelayanan publik; (iii) kinerja aparatur dalam
menyelenggarakan pelayanan umum; dan (iv) pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan kewenangan.
Tanggungjawab pelayanan kepada masyarakat mensyaratkan dukungan kelembagaan yang
kuat, pembagian kewenangan dan kewajiban yang tepat, dan kebijakan yang terarah dan
sesuai dengan kepentingan masyarakat. Berbagai kelemahan masih dihadapi oleh
Pemerintah Provinsi Riau dalam rangka menanggapi tuntutan tersebut, terutama berkaitan
dengan usia pengaturan struktur kelembagaan pemerintah daerah yang relatif masih muda.
Untuk itu dibutuhkan upaya penataan dan perkuatan kelembagaan Pemerintah Provinsi
Riau dari aspek organisasi beserta aparaturnya.
Walaupun jumlah aparatur pemerintahan cukup memadai guna melaksanakan
tanggungjawab pelayanan kepada masyarakat, namun masih dihadapi kendala dari segi
kualifikasi, kompetensi, profesionalitas, dan integritas, sehingga belum menghasilkan kinerja
yang prima. Kelemahan aparatur pemerintahan dalam penguasaan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi maju menghambat perencanaan kegiatan satuan kerja; kurang
responsif terhadap tuntutan keadaan yang membutuhkan penanganan cepat dan seketika;
dan menurunkan sensitifitas dalam membangun perspektif perubahan ke masa depan.
Selain kelemahan dari segi kapasitas intelektual, kinerja aparatur pemerintahan juga
menghadapi kendala dari segi integritas yang diindikasikan oleh masih melekatnya budaya
KKN. Hal tersebut menyebabkan menurunnya citra aparatur dan wibawa pemerintah.
Dalam menyelenggarakan tanggungjawab pelayanan umum belum seluruhnya ditunjang
oleh prasarana dan sarana yang memadai, terutama di kawasan perdesaan. Hal ini
berkaitan dengan skala prioritas dalam pemrograman kegiatan pembangunan prasarana
dan sarana pelayanan umum, kesiapan lembaga pemerintahan dalam menyelenggarakan
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 13
16.
pelayanan umum berbasis manajemen modern, dan kemampuan dan kompetensi aparatur
dalam melaksanakan tanggungjawabnya.
Walaupun belum tercapai kinerja yang optimal, namun upaya menuju pelayanan
masyarakat yang prima telah diupayakan melalui partisipasi masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan; perkuatan struktur
kelembagaan pemerintah provinsi; serta pembinaan dan peningkatan kemampuan aparatur
pemerintah terutama dalam kegiatan pembangunan.
Era globalisasi dan meningkatnya kesadaran masyarakat merupakan tantangan ke depan
yang dihadapi pemerintah daerah dalam pembangunan. Selain menyiapkan pranata
perijinan dan berbagai bentuk insentif yang memberikan peluang bagi dunia usaha untuk
berinvestasi di Provinsi Riau, maka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi;
penumbuhan budaya birokrasi yang transparan dan akuntabel; serta pelibatan seluruh
pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan
menjadi prasyarat utama dalam menghadapi perkembangan pada jangka panjang.
Menuju pembangunan di masa depan, diupayakan pemantapan dan penataan kelembagaan
Pemerintah Provinsi Riau sesuai kewenangan, urusan, dan fungsi sesuai peraturan-
perundangan yang berlaku; peningkatan kualifikasi dan kompetensi aparatur pemerintah;
perbaikan dan penyempurnaan pelayanan administrasi umum yang dibutuhkan masyarakat
luas; dan penegakan supremasi hukum dan HAM dalam pelayanan umum.
Pembangunan jangka panjang di bidang pemerintahan dapat mewujudkan kualitas
pelayanan masyarakat yang prima dan sekaligus membantu terwujudnya masyarakat yang
madani. Keberhasilan tersebut akan terwujud dalam bentuk penyelengaraan pemerintahan
dan pelayanan umum yang akuntabel, berwibawa, dan berkeadilan; terselenggaranya
birokrasi yang efektif, bersih, dan berwibawa; terbangunnya sistem pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan yang modern; terciptanya aparatur pemerintahan yang
profesional, disiplin, bertanggungjawab, dan memiliki integritas; peningkatan kesejahteraan
pegawai; peranserta wakil rakyat pada lembaga legislatif dan lembaga yudikatif dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat luas dan penegakan
hukum; kemitraan yang konstruktif antara pemerintah daerah, masyarakat, dan swasta
14 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
17.
dalam pembangunan daerah; serta penyelenggaraan pemerintahan yang kuat dan
pelayanan masyarakat yang prima di kawasan perdesaan.
• Pengaturan Urusan Disetiap Tingkatan Pemerintahan.
Sekalipun kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengelola dan
menyelenggarakan pemerintahan telah diatur dalam pasal 13 dan pasal 14 Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 25 Tahun 2000, namun dalam prakteknya persepsi tentang
kewenangan ini selalu menjadi substansi permasalahan yang rumit. Paling tidak ada
sejumlah masalah yang berhubungan dengan kewenangan tersebut antara lain: a).
Perbedaan persepsi mengenai Kewenangan Pusat dan Daerah serta antar Provinsi dan
Kabupaten/Kota, diterbitkannya PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom tetap saja mengalami kesulitan untuk
menangkap isi dari kerangka regulasi yang mengatur tentang itu.
• Mekanisme Musrenbang
Secara umum, pelaksanaan musrenbang adalah sebagai berikut: 1) Musrenbang
Desa/Kelurahan 2) Musrenbang Kecamatan 3) Rapat Koordinasi Pusat (RKP) 4)
Musrenbang Provinsi 5) Musrenbang Nasional (Musrenbangnas). Aktifitas Musrenbang di
Provinsi Riau selalu dilaksanakan pada tingkat elit pemerintahan saja. Maksudnya,
membangun sebuah musyawarah warga untuk melakukan pemetaan kepentingan warga,
selalu gagal dilakukan. Pemetaan kepentingan dan kebutuhan selalu dipotret dari atas.
Sehingga kedekatan kebutuhan masyarakat selalu tidak terakomodir dalam mesin
Musrenbang.
• Partisipasi Masyarakat
Apresiasi pemerintah daerah terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat masih perlu
ditingkatkan. Sebagai langkah awal yang baik, pada saat ini telah diambil kebijakan
pelayanan umum melalui partisipasi masyarakat. Pada jangka panjang, kebijakan
community charter based tersebut perlu dimantapkan dalam rangka menyongsong
terwujudnya masyarakat Riau yang madani dengan kemajuan di seluruh aspek kehidupan
dan tuntutan peranserta yang demokratis dalam pembangunan daerah, sehingga pada
masa mendatang terbangun kemitraan yang konstruktif antara pemerintah daerah dengan
masyarakatnya.
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 15
18.
2.1.4. Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian indikator
outcomes nasional dan analisanya sebagai berikut:
Analisis Relevansi
Relevansi digunakan untuk menganalisis sejauhmana tujuan/sasaran pembangunan
yang direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan. Dalam hal ini
pembangunan daerah Provinsi Riau pada tahun 2005-2006 termasuk kategori relevan,
hal ini dilihat dari tren capaian pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari
capaian pembangunan nasional.
Analisis efektifitas
Efektifitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara hasil dan dampak
pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Pembangunan Provinsi Riau dapat
dikategorikan efektif. Hal ini dapat dilihat dari capaian pembangunan daerah membaik
dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
2.1.5. Rekomendasi Kebijakan
Beberapa rekomendasi kebijakan yang rumuskan:
• Harus ada keberanian aparat untuk penegakan hukum.
16 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
19.
• Harus ada sinkronisasi tahapan renstra Riau s/d 2010 dengan Rencana Induk Otonomi Daerah.
• Adanya kejelasan kebijakan, proram dan kegiatan serta pembiayaan dalam mencapai visi
otonomi yang diharapkan.
• Memberikan kejelasan nilai-nilai sebagai kriteria dalam Sistem Politik, Hukum Otonomi Daerah.
2.4. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA
2.1.9 Aspek Sumberdaya manusia, sosial dan kebudayaan
Ada 14 isu strategis pembangunan SDM di Propinsi Riau melalui pendidikan: (1) Masih
tingginya angka kemiskinan di Propinsi Riau, (2) Banyaknya anak usia sekolah atau putus sekolah
terutama dipedesaan, (3) Masih rendahnya peningkatan kualifikasi dan kompensasi guru, (4) Masih
terbatasnya infrastruktur pendidikan, (5) Masih rendahnya relefansi hasil pendidikan bila diabnding
tingginya kebutuhan pendidikan masyarakat menuju Riau Cerdas 2020, 96) Masih rendahnya mutu
pendidikan di Provinsi Riau, (7) Belum oktimalnya pengawasan pendidikan sebagai wujud
akuntabilitas pendidikan, (8) 60 % sekolah (SD, SMP dan SMA) belum memiliki sarana pendidikan
yang memadai sesuai kebutuhan pendidikan bermutu, (8) Masih terdpat guru SD/MI (23%), SMP/
MTs (16%) dan SM/MA/SMK (80%) yang belum memiliki kualifikasi pendidikan sesuai stndar (SPM),
(9) Masih lemahnya koordinasi, integrasi, singkronnisasi, pengawasan dibidang pendidikan antara
Pemerinah Pusat, Provinsi dan kab/ kota dan (10) Belum optimalnya peran Dewan Pendidikan,
Komite Sekolah, Dunia Usaha dan Dunia Industri sebagai mitra menuju pendidikan bermutu, (11)
Masih belum seimbangnya keberadaan sekolah kejuruan dengan sekolah umum yang dapat
memberikan life skill dalam memasuki pasar kerja, (12) Belum masksimalnya pendidikan Lur
Sekolah untuk mewujudkan konsep relevansi dan pemerataan pendidikan, (13) Keterbatasan
tegnologi informasi dalam rangka percepatan data dan informasi pendidikan, (14) Masih terbatasnya
kualitas pendidikan tinggi di Proinsi Riau yang memenuhi standar Nasionl da Internasional yang
dapat menghasilkan lulusan sesuai kebutuhan pasar.
Hasil observasi dan analisis situasi pelaksanaan pembangunan daerah Provinsi Riau
membawa kepada pengenalan isu-isu kunci dalam bidang pembangunan SDM, Sosial dan
kebudayaan di Provinsi Riau sebagai berikut:
1) Masih tingginya angka kemiskinan di Provinsi Riau,
2) Banyak anak usia sekolah SD, SMP dan SMA yang belum bersekolah atau putus sekolah
terutama dipedesaan,
3) Masih rendahnya peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru,
4) Masih terbatasnya infrastruktur pendidikan,
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 17
20.
5) Masih rendahnya relevansi hasil pendidikan bila dibanding tingginya kebutuhan pendidikan
masyarakat menuju Riau Cerdas 2020,
6) Masih rendahnya mutu pendidikan di Provinsi Riau,
7) belum optimalnya pengawasan pendidikana sebagai wujud akuntabilitas pendidikan,
8) 60% sekolah (SD, SMP dan SMA) belum memiliki sarana pendidikan yang memadai sesuai
kebutuhan pendidikan bermutu, Masih terdapat Guru SD/MI (23%), SMP/MTs (16%) dan
SMA/MA/SMK (8%) yang belum memiliki kualifikasi pendidikan sesuai standar (SPM),
9) Masih lemahnya Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan pengawasan dibidang pendidikan
antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kab/Kota dan
10) Belum optimalnya peran Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Dunia Usaha dan Dunia
Industri sebagai mitra menuju pendidikan bermutu,
11) Masih belum seimbangnya keberadaan sekolah kejuruan dengan sekolah umum yang dapat
memberikan life skill dalam memasuki pasar kerja,
12) Belum maksimalnya fungsi Pendidikan Luar Sekolah untuk mewujudkan konsep relevansi
dan pemerataan pendidikan,
13) Keterbatasan teknologi informasi dalam rangka percepatan data dan informasi pendidikan,
14) Masih terbatasnya kualitas pendidikan tinggi di Provinsi Riau yang memenuhi Standar
Nasional dan Internasional yang dapat menghasilkan lulusan sesuai kebutuhan pasar.
2.4.1. Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian indikator outcomes
nasional sebagai berikut:
18 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
21.
Analisis Relevansi
Relevansi digunakan untuk menganalisis sejauhmana tujuan/sasaran pembangunan yang
direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan. Dalam hal ini pembanguNan
daerah Provinsi Riau di bidang sumberdaya manusia termasuk kategori relevan, dilihat dari tren
capaian pembangunan daerah pada tahun 2008-2009 sejalan atau lebih baik dari capaian
pembangunan nasional.
Analisis efektifitas
Efektifitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara hasil dan dampak
pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Pembangunan Provinsi Riau dapat dikategorikan
efektif. Hal ini dapat dilihat dari capaian pembangunan daerah membaik dibandingkan dengan tahun
sebelumnya.
2.4.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang spesifik dan menonjol sebagai
berikut:
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa IPM provinsi Riau berada di atas IPM Nasional.
Hal ini disebabkan adanya program pemerintah Provinsi Riau terkait dengan K2I yang dilaksanakan
Dinas Pendidikan Provinsi Riau seperti: (1) meningkatkan mutu pendidikan, (2) meningkatkan akses
pendidikan, (3) mengembngkan pendidikan yang berwawasan keunggulan dan teknologi, (4)
meningkatkan manajemen pendidikan, (5) Meningkatkan jaringan kerjasama pendidikan secara
regional, nasional maupun internasional, da (6) Meningktkan monitoring dan evaluasi.
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 19
22.
2.4.3. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis tingkat kualitas sumberdaya manusia dapat dirumuskan rekomendasi
kebijakan sebagai berikut:
• Mengupayakan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan bagi seluruh masyarakat.
• Mengupayakan pembinaan dan pengembangan lembaga pendidikan usia dini dengan
melaksanakan wajib belajar 9 tahun.
• Meningkatkan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan.
• Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat.
• Memantapkan pembinaan pendidikan berdasarkan asas desentralisasi, otonomi, keilmuan dan
manajemen.
• Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta kesejahteraan tenaga pendidik dan
kependidikan.
• Meningkatkan dan membantu pendidikan tinggi.
• Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sesuai dengan nilai agama dan kebudayaan Melayu.
• Memberdayakan lembaga pendidikan dalam dan luar sekolah sebagai pusat kegiatan belajar.
• Melakukan pembaharuan pengembangan sistem pendidikan, termasuk kurikulum muatan lokal
yang lebih menekankan pada pendidikan sains yang bernuansa religius.
• Meningkatkan hubungan dengan dunia usaha dan industri serta menggalakkan partisipasi
masyarakat dalam pendidikan.
2.5. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI
• PDRB
Permasalahan yang terkait dengan PDRB Riau adalah masih tergantung kepada komoditas
migas, walaupun kontribusinya cenderungan menurun sekitar 64 persen tahun 2000
menjadi sekitar 42 persen pada tahun 2006. Namun penurunan itu diimbangi peningkatan
komoditas lain yang memiliki arah positif dan menggembirakan seperti peran subsektor
perkebunan, dan sektor industri pengolahan yang mulai meningkat. Bila sektor migas
diabaikan dari perekonomian Riau, maka sektor pertanian dan sektor industri pengolahan
(kertas dan minyak kelapa sawit) sangat mendominasi perekonomian Riau sekitar 47 persen
ditahun 2000 menjadi sekitar 62 persen di tahun 2006
20 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
23.
• Investasi dan aktivitas ekspor-impor
Permasalahan ekspor Riau adalah masih rendahnya kontribusi ekspor non migas terhadap
ekspor nasional yakni 5,36 persen pada tahun 2006. Pertumbuhan nilai ekspor Riau selama
tiga tahun terkhir didorong oleh peningkatan ekspor non migas, dimana pertumbuhan ekspor
non migas Riau tahun 2006 sebesar 35,70 persen, sedangkan pertumbuhan ekspor migas
sebesar 14,12 persen dibanding tahun sebelumnya. Ekspor non migas Riau utamanya
didorong oleh ekspor minyak kelapa sawit, bubur kertas serta barang dari kertas.
2.1.7 Aspek Keuangan Daerah
• Pengelolaan Keuangan Daerah
Permasalahan yang terkait dengan aspek perencanaan dalam pengelolaan keuangan
daerah adalah masih belum sinkronnya antara kebijakan, perencanaan,dan penganggaran.
Apa yang sudah ditetapkan dalam kebijakan pemerintahandaerah belum tentu sama dengan
yang tertuang dokumen perencanaan (RPJPD,RPJMD, dan RKPD). Selanjutnya pada saat
dilakukan pengganggaran, apa yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan
seringkali diterjemahkan berbedadalam dokumen penganggaran. Akibatnya tidak dapat
dilihat hubungan keterkaitan antara dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran.
Permasalahan ini tidak terlepas dari adanya ketidakkonsistenan peraturan yangmengatur
mengenai perencanaan dan penganggaran ini.
• Pendapatan Asli Daerah
Permasalahan Pendapatan Asli daerah masih skecilnya kontribusi PAD terhadap total
pendapatan daerah. Hal disebabkan oleh masih belum tergarapnya secara maksimal
potensi pajak dan retribusi, bagian penerimaan kekeyaan daerah yang dipisahkan. Kondisi
ini terlihat dari masih banyak pos-pos tersebut yang tidak memenuhi target yang ditetapkan
kecual Pajak Kendaraan Bermotor
• Dana Perimbangan
Permasalahan umum yang sering dikeluhkan Daerah berkaitan dengan dana perimbangan
(Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus) adalah kurangnya
transparansi dan akuntabilitas dalam alokasi dan pengelolaan dana perimbangan, yang
tidak jarang pula menimbulkan rasaketidakadilan di daerah, khususnya di daerah-daerah
yang merasa dirugikan dengan sistem pendistribusian yang ada saat ini. Disamping itu
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 21
24.
menyangkut Bagi hasil Pajak PBB masih belum tergarap secara maksimal. Hal ini
terkendala pada kebijakan terhadap pajak ini masih dalam kendali pemerintah pusat.
• Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan
Salah satu masalah pokok yang berkaitan dengan dana dekonsentrasi adalah masih banyak
ditemuinya dana dekonsentrasi yang dialokasikan untuk membiayai urusan yang
sebenarnya sudah menjadi urusan daerah, bukan urusan Pusat yang dilimpahkan kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah. Salah satu penyebabnya adalah masih
belum jelasnya pembagian urusan antara pusat dan daerah serta belum adanya peraturan
pelaksanaan dari UU tentang perimbangan keuangan diantaranya termasuk PP tentang
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Disamping itu disisi yang lain pembagian
urusan wajib dan urusan pilihan mulai dari UU No. 32 tahun 2004, Permendagri No. 13
tahun 2006 dan PP No. 3 tahun 2007 tidak sinkron satu sama lainnya, sehingga
membingungkan pemerintah daerah. Pada sisi yang lain dalam konteks tugas pembantuan
dan dekonsentrasi adalah terbatasnya kendali Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di
daerah terhadap dana tugas pembantuan dan dekonsentrasi, karena transper dana tersebut
langsung kepada dinas dan pemerintah daerah. Sehingga tidak jarang Gubernur tidak
mengetahui secara persis proyek-proyek yang didanai tugas pembantuan dan
dekonsentrasi.
• Pengelolaan Aset Daerah
Aset daerah yang ada belum terinterventarisir dengan baik , sehingga aset daerah ini belum
dapat memberikan kontrbusi yang maksimal bagi pendapatan daerah.
• Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD)
Dalam menjalankan fungsinya untuk menyusun data keuangan daerah secara nasional
yang bermanfaat bagi penetapan kebijakan fiskal daerah terdapat beberapa permasalahan
yang dihadapi. Permasalahan tersebut, antara lain, ketidakseragaman input data dari
daerah, keterlambatan penyampaian data dari daerah, dan kesenjangan penguasaan
teknologi informasi.
22 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
25.
2.5.1. Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian
indikator outcomes nasional dan analisa
Analisis Relevansi
Relevansi digunakan untuk menganalisis sejauhmana tujuan/sasaran pembangunan yang
direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan. Dalam hal ini pembangunan
daerah Provinsi Riau dibidang ekonomi termasuk kategori relevan, dilihat dari tren capaian
pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.
Analisis efektifitas
Efektifitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara hasil dan dampak
pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Pembangunan Provinsi Riau dapat dikategorikan
kurang efektif. Hal ini dapat dilihat dari capaian pembangunan daerah menurun dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal sebegai berikut:
• Masih kecilnya kontribusi sektor non migas terhadap PDRB dibandingkan sektor migas.
• Masih rendahnya ekspor non migas terhadap ekspor nasional yakni hanya 5,36 %
• Rendahnya kontribusi PAD terhadap total penerimaan pendapatan karena belum optimalnya
pemanfaatan potensi daerah.
• Asset Daerah belum memberikan kontribusi maksimal bagi pendapatan daerah.
• Belum terkoordinasinya dengan baik pelaksanaan tugas pembantuan dan dekonsentasi.
• Belum optimalnya penerimaan bagi hasil pajak maupun bagi hasil migas.
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 23
26.
2.5.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang spesifik dan menonjol
sebagai berikut
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa pendapatan perkapita Provinsi Riau
berada di atas pendapatan perkapita Nasional.
2.5.3. Rekomendasi Kebijakan
Berdasakan analisis dibidang pembangunan ekonomi dapat dirumuskan rekomendasi
kebijakan sebagai berikut:
• Perlu dukungan kebijakan yang lebih fokus dalam peningkatan investasi pengolahan industri hilir
kelapa sawit di Provinsi Riau,
• Mendorong perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk mengembangkan industri hilir di
Provinsi Riau,
• Perlu evaluasi perda-perda tentang pajak dan retribusi daerah yang tidak efektif.
• Pajak Bumi dan Bangunan sebaiknya diserahkan kewenangan kepada pemerintah daerah.
• Perlu inventarisasi asset daerah.
• Transper dana tugas pembantuan perlu diketahui Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di
daeah.
• Pemberian akses yang seluas-luasnya bagi daerah penghasil migas terhadap informasi listing.
24 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
27.
2.5 KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
• Di Riau saat ini terjadi perubahan fungsi lahan besar-besaran untuk pembukaan perkebunan
kelapa sawit yang menyebabkan kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan.
Daerah yang dulunya kawasan hutan (termasuk hutan ulayat, hutan lindung, dan hutan
rawa/gambut) oleh masyarakat diubah menjadi daerah perkebunan kelapa sawit karena
prospeknya cukup menjanjikan seiring dengan meningkatnya harga sawit di pasaran. Akan
tetapi dari sisi lingkungan hidup, perkebunan kelapa sawit dalam skala besar mengakibatkan
penurunan kualitas lingkungan karena akan menyebabkan: cadangan air tanah menjadi lebih
sedikit karena tanaman sawit memerlukan volume air yang lebih besar untuk tumbuh, sehingga
daerah-daerah di sekitar perkebunan sawit menjadi kesulitan air. Akar sawit yang dangkal (akar
serabut) hanya bisa menahan sedikit air, hal ini berbeda dengan akar pohon lainnya yang berupa
akat tunggang yang menghunjam jauh ke dalam tanah dan menahan lebih banyak air. Kejadian
sebaliknya terjadi ketika musim hujan tiba, akibat tanaman sawit tidak bisa menahan air lebih
banyak, maka air akan menggelontor cepat di atas tanah dan melaju dengan cepat menuju anak
sungai sehingga menyebabkan volume air membesar dalam waktu singkat, jadilah banjir.
• Banjir yang semakin besar. Dalam waktu 10 tahun terakhir debit banjir di Riau semakin besar,
semakin luas, dan semakin sering. Sedimentasi pada sungai yang diakibatkan oleh erosi lahan
akibat perubahan fungsi lahan membuat aliran air melambat melambat dan pada akhirnya
menyebabkan banjir yang lebih besar di bagian hulu. Fenomena ini terjadi di merata tempat di
DAS di Provinsi Riau dan menjadi masalah rutin pada musim hujan.
• Illegal logging yang legal. Istilah ini lebih sesuai untuk dipakai karena secara administrasi dan
perizinan semuanya sesuai dengan prosedur. Yang menjadi permasalahan adalah pada proses
pemberian izin. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Polda Riau ke lapangan,
ditemukan bahwa banyak izin HPH dan penebangan lainnya diberikan pada daerah-daerah yang
tidak diperbolehkan untuk ditebang seperti daerah hutan lindung, hutan bertanah rawa/gambut,
dan hutan tanah ulayat. Sementara itu, luas yang diizinkan untuk ditebang pun kurang
pengawasan, akibatnya daerah yang ditebang menjadi luas sekali tanpa ada pengawasan yang
serius dari pihak yang terkait. Juga tidak ada data yang resmi tentang luas hutan. Bahkan di
dalam RPJP Provinsi Riau pun tidak ada data berapa sesungguhnya luas hutan Riau sekarang,
berapa luas HTI, berapa luas lahan terbengkalai, dan berapa luas lahan tandus.
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 25
28.
• Kebakaran hutan di lahan gambut. Kebakaran hutan erat kaitannya dengan penebangan di
lahan gambut yang semestinya tidak boleh ditebangi. Lahan gambut/rawa sifatnya harus terus
menerus terendam atau lembab. Pada penebangan hutan di lahan bergambut/rawa, biasanya
penebang membuat kanal-kanal untuk mempermudah mengeluarkan kayu dari tengah hutan.
Dengan dibuatnya parit/kanal tersebut, maka lahan gambut yang tadinya basah/terendam
menjadi kering karena airnya mengalir ke dalam kanal. Lahan gambut yang kering akan
menyebabkannya rentan terhadap bahaya kebakaran, karena sifatnya yang seperti sabut,
berongga, dan mudah terbakar. Ketika terbakar, tanah gambut susah dipadamkan karena
kebakarannya juga terjadi menjalar dibawah permukaan tanah. Umumnya hotspot terjadi
didaerah yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki HPH. Hanya sebagian kecil
hotspot ditemukan di daerah milik masyarakat.
• Ketergantungan perekonomian dan PDRB pada produksi minyak bumi paling tinggi (44%)
dari total keseluruhan sektor. Sementara itu, perkembangan sektor-sektor lain yang menonjol
hanya pada sektor kehutanan dan perkebunan. Sektor kehutanan didominasi oleh perusahaan
besar yakni PT RAPP dan PT IKPP, sedangkan sektor perkebunan didominasi oleh PTP V dan
swasta lainnya yang umumnya sawit. Di lain pihak, perkembangan usaha ekonomi masyarakat
tidak signifikan besarnya di dalam struktur perekonomian daerah. Trickle down effect yang
diharapkan dari perusahaan-perusahaan besar ini tidak signifikan karena penggunaan tenaga
kerja, tenaga ahli, material, dan kebutuhan keseharian tidak banyak menggunakan sumberdaya
yang ada dari Riau.
• Pada penataan ruang di Riau terdapat inkonsistensi antara perencanaan dengan implementasi di
lapangan. Kelemahan terletak pada pengawasan untuk menyesuaikan antara peruntukan yang
direncanakan dengan kenyataan yang dilakukan di lapangan. Ketidakjelasan pengawasan
terlihat mulai dari ketidakjelasan institusi yang mengawas, sanksi yang diberikan, dan kepedulian
yang kurang dari stake holder.
• Jalan-jalan negara (dibiayai oleh APBN) banyak yang rusak dan dinilai paling parah dibandingkan
provinsi-provinsi lain di Indonesia. Jalan-jalan di Riau, khususnya jalan Nasional banyak yang
rusak sebagai akibat lalu lalangnya truk pengangkut kayu, truk sawit, dan aktivitas
pertambangan. Tetapi biaya perbaikan jalan di Riau tidak signifikan besarnya. Seharusnya
karena jalannya dibebani dengan beban lebih berat dan frekuensinya lebih tinggi, biaya
perbaikan jalan pun sebagai kompensasinya harus lebih besar.
26 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
29.
• Pemerintah Provinsi pun tidak melakukan cukup pemeliharaan pada jalan provinsi. Kualitas
jalannya sangat rendah sehingga cepat rusak. Pengawasan pembangunan jalan sangat lemah
dan terkesan asal-asalan saja. Jalan Provinsi di Provinsi Riau termasuk yang terburuk
dibandingkan dengan di Provinsi-provinsi lain di Indonesia.
• Kebutuhan listrik masyarakat masih belum terpenuhi. Rasio elektrifikasi hanya sebesar 38% atau
lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 57%. Energi listrik disediakan oleh sistem
interkoneksi Sumatera Barat – Riau. Dari transmisi ini Gardu induk di Bangkinang hanya
berkapasitas 1x10 MW dan Pekanbaru berkapasitas 2x50 MW. Sisanya hanya menggunakan
sistem terpisah dengan PLTD pada beberapa daerah di Provinsi Riau. Pemerintah pusat
seharusnya membangun prasarana kelistrikan yang lebih memadai khususnya di Provinsi Riau
untuk memenuhi kebutuhan ini.
• Faktor prioritas, efisiensi, dan efektifitas penggunaan anggaran untuk sarana dan prasarana
sangat kurang. Banyak sarana dan prasarana yang dibangun tidak berdasarkan skala prioritas
dan menelan banyak dana, tetapi tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Contohnya adalah
pembangunan Bandara Tempuling di Indragiri Hilir yang dibangun di lahan gambut dengan biaya
tinggi, tetapi akses udaranya sepi. Selanjutnya dibangun pula Gedung Perkantoran Pemda 9
tingkat, Kantor Perpustakaan, Kantor DPRD, dan bangunan megah lainnya dengan biaya yang
jauh diatas standar harga tertinggi bangunan pemerintah yang telah ditetapkan oleh pemerintah
sendiri.
2.5.1 Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes provinsi dibandingkan dengan capaian
indikator outcomes nasional dan analisa
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 27
30.
Analisis Relevansi
Relevansi digunakan untuk menganalisis sejauhmana tujuan/sasaran pembangunan yang
direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan. Dalam hal ini pembangunan
daerah Provinsi Riau dibidang pengelolaan sumberdaya alam termasuk kategori relevan, dilihat dari
tren capaian pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.
Analisis efektifitas
Efektifitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara hasil dan dampak
pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Pembangunan Provinsi Riau dibidang pengelolaan
sumberdaya alam dapat dikategorikan kurang efektif. Hal ini dapat dilihat dari capaian pembangunan
daerah berfluktuasi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
2.5.2 Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis data dibidang pengelolaan sumberdaya alam dapat dirumuskan
rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
• Pengetatan berlakunya standar harga bangunan pemerintah tertinggi untuk menjadi acuan
wajib bagi pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan fisik. Jika tidak, maka
banyak sekali anggaran yang diboroskan untuk kemewahan bangunan yang tidak perlu
ditengah-tengah usaha untuk memberantas kemiskinan dan kebodohan. Pemerintah
melalui mekanisme regulasinya harus memberikan sanksi/hukuman terhadap instansi yang
membangun bangunan dengan harga lebih tinggi dari standar.
• Pemerintah pusat harus membuat skenario penghitungan anggaran pembangunan dan
pemeliharaan jalan untuk daerah-daerah yang kegiatan ekonominya cukup tinggi seperti
Riau. Anggaran untuk infrastruktur ini disamping sebagai biaya pemeliharaan terhadap
pemakaian infrastruktur yang sangat intensif, juga untuk biaya recovery lingkungan.
Besarnya anggaran pemeliharaan dan pembangunan jalan bisa diambil dari besarnya
setoran/pajak dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah ini. Biaya
pemeliharaan jalan negara di Riau harus lebih tinggi sebagai kompensasi dari lebih
besarnya beban jalan dan frekuensi yang lebih tinggi. Jika tidak, maka jalan-jalan di Riau
akan lebih cepat hancur dan kegiatan perekonomian menjadi terhalang dan mengakibatkan
ekonomi biaya tinggi di Riau.
28 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
31.
• Hendaknya dibuat pembatasan berapa kali dalam setahun seorang pejabat daerah boleh
melakukan perjalanan dinas, baik ke Jakarta, ataupun ke tempat lainnya.
• Dalam kasus penanganan illegal logging dan semua isu lain yang terkait dengan hal itu,
masalah sebenarnya terletak pada keseriusan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam
penanganannya. Pemainnya adalah pengusaha besar, pejabat daerah dan pusat, serta
aparat hukum.Ketika ini masih belum duduk, maka penanganan illegal logging hanya
sebatas lip service belaka.
2.6 TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT
Jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau (Riau Daratan dengan 11 Kabupaten/Kota) masih
cukup tinggi yaitu tahun 2000: 438.568 jiwa (11,7%), tahun 2002: 634.896 jiwa (15,4% ), dan
tahun 2003: 661.677 jiwa (15,6%). Pada tahun 2004, hasil pendataan Balitbang Provinsi Riau
bekerjasama dengan BPS diperoleh jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau sebanyak
1.008.321 jiwa (22,19%) atau 231.508 rumah tangga (22,68%). Hasil Pendataan Sosial
Ekonomi/PSE untuk penyaluran Bantuan Langsung Tunai/BLT (kondisi Agustus 2006) yaitu
sebanyak 290.213 rumah tangga (25,15%).
Terbatasnya akses pangan penduduk, dimana tingkat konsumsi energi masih rendah (2.037
kal/kap/hari). Mutu konsumsi pangan di Provinsi Riau menurut Badan Ketahanan Pangan
Provinsi Riau, hanya 26,01% penduduk Riau yang mampu mengkonsumsi pangan 2.200
kalori/kapita/hari, 49,21% mengkonsumsi antara 1.500 – 2.000 kalori/kapita/hari, dan 24,74%
lainnya hanya mampu mengkonsumsi kurang dari 1.500 kalori/kapita/hari. Persediaan pangan
Riau tergantungan pasokan dari daerah lain (baik impor beras maupun provinsi tetangga).
Pasokan dari luar daerah untuk beras berkisar 13,98%, jagung 8,93%, kedelai 6,44%, sayuran
4,36%, daging 19,98%, dan telur 25,00% (Riau Pos, 23 Desember 2004). Data Balitbang
Provinsi Riau tahun 2004 menunjukkan bahwa 5,3% rumah tangga miskin tidak mengkonsumsi
pangan cukup, dan 39,7% tidak mengkonsumsi protein cukup,
Rendahnya kepemilikan aset penduduk miskin. Lapangan usaha yang banyak dikerjakan oleh
penduduk miskin di pedesaan mayoritas adalah sektor pertanian/perkebunan. Penduduk miskin
yang bergerak di lapangan usaha pertanian/perkebunan rata-rata sebanyak 50,7%, usaha jasa
sebanyak 10,1%, usaha perdagangan 4,1%, dan industri pengolahan 2,6%. Kepemilikan aset
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 29
32.
produktif yang rendah dalam usaha pertanian menjadi salah satu sebab tingginya jumlah
penduduk miskin pedesaan Luas lahan sawah yang dimiliki rumah tangga petani masih
tergolong sempit, dengan luasan penguasaan 0,01 – 0,25 hektar. Namun disisi lain, masih
banyak rumah tangga petani miskin yang memiliki lahan tidur. Rumah tangga petani miskin yang
memiliki lahan tidur lebih dari 0,25 hektar. Kepemilikan aset tanaman karet dan kelapa sawit,
rumah tangga miskin dibawah batas minimum usaha. Pada umumnya rumah rumah tangga
miskin memiliki tanaman karet dan kelapa sawit dengan jumlah dibawah batas minimum usaha
(1-150 pohon), sedangkan tanaman kelapa (< 26 pohon). Hal ini mengindikasikan bahwa
perkebunan karet yang dimiliki rumah tangga miskin belum dapat dikategorikan sebagai usaha
perkebunan karet, sehingga tidak dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kepemilikan aset yang rendah telah menyebabkan
tingginya jumlah penduduk miskin tidak bekerja yaitu 28,6%.
Rumah tangga miskin masih tinggi yang memiliki kondisi atap rumah tidak layak (58,9%), rumah
tangga miskin masih tinggi yang memiliki kondisi dinding rumah tidak layak (54,8%), sebanyak
73,9% rumah tangga miskin tidak akses sumber penerangan lisktirk PLN, dan sebanyak 79,1%
rumah tangga miskin tidak akses sumber air bersih.
2.6.1 Capaian Indikator
Grafik capaian indikator Tingkat Kesejahteraan Sosial Provinsi Riau dibandingkan dengan
capaian indikator Tingkat Kesejahteraan Sosial nasional dapat dilihat sebagai berikut:
30 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
33.
Analisis Relevansi
Relevansi digunakan untuk menganalisis sejauhmana tujuan/sasaran pembangunan yang
direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan. Dalam hal ini pembangunan
daerah Provinsi Riau dibidang kesejahteraan sosial termasuk kategori relevan, dilihat dari tren
capaian pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional, kecuali
pada tahun 2009.
Analisis Efektivitas
Efektifitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara hasil dan dampak
pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Pembangunan Provinsi Riau dapat dikategorikan
kurang efektif. Hal ini dapat dilihat dari capaian pembangunan daerah berfluktuasi dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.
2.6.2 Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis terhadap tingkat kesejehteraan sosial, dapat dirumuskan
rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
• Peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas tanaman pangan utamanya
padi perlu dilakukan melalui subsidi output oleh pemerintah daerah. Selain itu upaya
pengembangan diversifikasi pangan, dan meningkatkan partisipasi pemerintah Provinsi Riau
maupun pemerintah Kabupaten/Kota se Riau dalam program Raskin dan meninjau kembali
mekanisme penetapan alokasi/plafon serta penyaluran Raskin juga diperlukan perhatian
khususnya pemenuhan Raskin sampai 12 bulan.
• Untuk menjamin hak atas pekerjaan bagi penduduk miskin adalah meningkatkan akses
masyarakat miskin terhadap kesempatan kerja dan kesempatan untuk mengembangan usaha
melalui langkah terpadu untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin dengan
meningkatkan investasi yang padat karya, peningkatan akses terhadap permodalan, faktor
produksi, informasi, teknologi dan pasar serta pengembangan lembaga keuangan mikro dan
perlindungan bagi koperasi, usaha mikro dan kecil. Upaya-upaya pelatihan tenaga kerja lebih
diprioritaskan kepada angkatan kerja usia muda dari kalangan berpendapatan rendah yang
berpotensi dapat diserap oleh pasar tenaga kerja.
• Peningkatan kapasitas keswadayaan masyarakat dalam penyediaan perumahan yang layak dan
sehat perlu dilakukan melalui pengembangan skema pembiayaan pembangunan rumah yang
dapat meningkatkan keterjangkauan keluarga miskin produktif terhadap fasilitas perumahan
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 31
34.
yang layak dan meningkatkan jumlah unit rumah layak huni yang dibangun melalui program
pembangunan rumah layak huni yang dikhususkan bagi keluarga miskin tidak produktif.
• Dalam upaya penanggulangan kemiskinan secara komprehensif diperlukan pendekatan
pembangunan terpadu antar satuan kerja, karena permasalahan penduduk/rumah tangga miskin
cukup kompleks, dan merupakan karakteristik rumah tangga miskin pedesaan dengan segala
keterbatasannya.
32 Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009
35.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Riau dalam hal relevansi dan
efektifitas capaian tujuan/sasaran pembangunan daerah terhadap tujuan/sasaran pembangunan
nasional dapat disimpulkan sebagai berikut:
INDIKATOR OUTCOMES RELEVAN EFEKTIF
1. Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi RELEVAN EFEKTIF
2. Tingkat Kualitas SDM RELEVAN EFEKTIF
3. Tingkat Pembangunan Ekonomi RELEVAN KURANG EFEKTIF
4. Tingkat Pengelolaan SDA RELEVAN KURANG EFEKTIF
5. Tingkat Kesejahteraan Sosial RELEVAN KURANG EFEKTIF
Laporan Akhir EKPD Provinsi Riau 2009 33