SlideShare a Scribd company logo
1 of 85
Download to read offline
HUKUM TATA PEMERINTAHAN
Oleh:
Tri Widodo W. Utomo, SH
Tri Widodo W. Utomo, SH
Tri Widodo W. Utomo, SH
Tri Widodo W. Utomo, SH., MA
., MA
., MA
., MA
PROGRAM STUDI S-1 PIN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA, 2007
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ………………………………………………………… 1
Deskripsi Singkat, TIU, dan TIK Mata Kuliah HAN / HTP ................. 3
BAGIAN I : ETIKA ADMINISTRASI PEMERINTAHAN …….. 4
Pengertian …………………………………………………… 5
Sumber (Proses Pembentukan) dan Implementasi Etika ……. 6
Aliran Dalam Etika …………………………………………. 7
Arti Penting Etika Bagi Administrasi Negara / Pemerintahan . 8
BAGIAN II : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA / HUKUM
TATA PEMERINTAHAN …………………...................... 17
Pengertian ………………………………………………….. 18
Batasan HAN / HAP / HTP …………………………………. 20
Polemik HTN – HAP ……………………………………….. 21
Sumber HAN / HAP / HTP ………………………………… 22
Perbuatan Pemerintah ……………………………………….. 23
Keputusan / Penetapan dan Peraturan ………………………. 24
Macam Keputusan ………………………………………….. 25
Keputusan Menurut UU Nomor 5 tahun 1986 ……………… 26
Ada 3 Macam Ketidakwenangan (onbevoegheid) ………….. 28
Bentuk Cacat / Kekurangan Yuridis ………………………… 29
Kasus / Kuis …………………………………………………. 30
BAGIAN III : AKTUALISASI ETIKA BAGI ADMINISTRASI
PUBLIK …………………………………………………… 31
Sistem Pemerintahan Negara ………………………………. 32
HAN / HTP Tertulis ............................................................... 35
Perkembangan Tugas / Peranan Pemerintah ……………….. 36
Implikasi Freies Ermessen …………………………………. 39
Kewenangan Bertindak Secara Bebas ……………………… 40
Asas-Asas HAP ……………………………………………… 41
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 2
Asas-Asas Lainnya ………………………………………….. 48
Perbandingan Asas Pemerintahan yang Baik ……………….. 49
Menuju Terwujudnya Good Government …………………… 50
BAGIAN IV : PERADILAN TATA USAHA NEGARA ………… 51
Sejarah ……………………………………………………… 54
Beberapa Pengertian …………………………………………. 56
Kompetensi PTUN ………………………………………….. 57
Keputusan …………………………………………………… 58
Gugatan ……………………………………………………… 60
Bagan Alur Perkara Melalui PTUN …………………………. 61
Tenggang Waktu Gugatan ………………………………….. 62
Biaya Perkara ………………………………………………. 64
Putusan Pengadilan ………………………………………….. 65
Putusan PTUN ………………………………………………. 66
Syarat Formal Putusan ……………………………………… 67
Pemeriksaan Pendahuluan ………………………………….. 68
Intervensi ……………………………………………………. 71
Pembuktian ………………………………………………….. 72
Alat-Alat Bukti ………………………………………………. 73
Teori Pembuktian …………………………………………… 74
Pemeriksaan Dengan Acara Luar Biasa …………………….. 76
Pemeriksaan Tingkat Banding ………………………………. 77
Pemeriksaan Kasasi …………………………………………. 78
Pemeriksaan Peninjauan Kembali ………………………….. 79
Kasus / Kuis ………………………………………………… 80
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 82
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 3
 Deskripsi Singkat:
Mata Pelajaran ini bertujuan untuk memberikan kemampuan
peserta dalam memahami Hukum Administrasi Negara (HAN),
atau Hukum Administrasi Publik (HAP), atau Hukum Tata
Pemerintahan (HTP), yang mencakup asas-asas umum
administrasi negara, hukum tentang organisasi dan kegiatan
administrasi negara, kekuatan hukum, serta sumber-sumber HAN /
HAP / HTP.
 Tujuan Instruksional Umum (TIU):
Setelah mengikuti mata pelajaran ini, para peserta diharapkan
mampu menjelaskan konsep HAN / HAP / HTP yang menyangkut
asas-asas dan lingkup HAN / HAP / HTP, tindakan HAN / HAP /
HTP baik pejabat ataupun organisasinya serta penerapan dan
permasalahannya dalam praktek.
 Tujuan Instruksional Khusus (TIK):
Setelah mengikuti mata pelajaran ini, para peserta diharapkan
mampu:
1. Menjelaskan Batasan dan Lingkup HAN / HAP / HTP.
2. Menjelaskan Asas-asas HAN / HAP / HTP.
3. Menjelaskan Tindakan Hukum dan Kekuatan Hukum HAN.
4. Menjelaskan Organisasi dan Pejabat serta Obyek Hukumnya.
5. Memecahkan Masalah-masalah yang timbul pada bidang HAN.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 4
BAGIAN I
ETIKA ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 5
PENGERTIAN ETIKA
Dalam Ensiklopedi Indonesia, Etika disebut sebagai “Ilmu tentang
kesusilaan yang menentukan bagaimana PATUTnya manusia hidup dalam
masyarakat ; apa yang BAIK dan apa yang BURUK”. Sedangkan secara
etimologis, Etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
KEBIASAAN atau WATAK.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah Etika selalu
berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau
dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan atau watak yang BAIK maupun
kebiasaan atau watak BURUK. Watak baik yang termanifestasikan dalam
kelakuan baik, sering dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau sepatutnya.
Sedangkan watak buruk yang termanifestasikan dalam kelakuan buruk,
sering dikatakan sebagai sesuatu yang tidak patut patut atau tidak
sepatutnya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah Etika sering dipersamakan atau
dipergunakan secara bergantian dengan istilah Moral, Norma dan Etiket.
Beberapa pakar / kalangan tidak membedakannya secara prinsip, sedangkan
sebagian lain memberikan pembedaan-pembedaan sebagai berikut :
1. Prof. Judistira K. Garna, (Materi Kuliah Etika Kebijakan Publik, LAN-
UNPAD, 1997) dan Wahyudi Kumorotomo (Etika Administrasi Negara,
Rajawali, 1994 : 9)
Moral menyatakan tindakan / perbuatan lahiriah seseorang, atau daya
dorong internal untuk mengarah kepada perbuatan baik dan menghindari
perbuatan buruk. Sedangkan Etika tidak hanya menyangkut tindakan
lahiriah, tetapi juga nilai mengapa dia bertindak demikian. Etika tumbuh
dari pengetahuan seseorang yang diberi makna kesepakatan sosial, dan
dijadikan acuan / tolok ukur moralitas masyarakat.
2. Robert C. Solomon (Etika : Suatu Pengantar, Erlangga : 1987 : 2-18)
Moral menekankan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang khusus
(misalnya rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa), diluar ketaatan
pada peraturan. Sedangkan Etika berkenaan dengan dua hal : 1) disiplin
ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut manusia beserta
pembenarannya, dan 2) hukum yang mengatur tingkah laku manusia.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 6
3. William K. Frankena dalam Kumorotomo (1994 : 7)
Etika mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis.
Moralitas merupakan instrumen kemasyarakatan yang berfungsi sebagai
penuntun tindakan (action guide) untuk segala pola tingkah laku yang
disebut bermoral. Dengan demikian, moralitas akan serupa dengan
hukum disatu pihak dan dengan etiket dipihak lain. Bedanya dengan
etiket, moralitas memiliki pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang
‘kebenaran’ dan ‘keharusan’. Disamping itu, moralitas juga dapat
dibedakan dengan hukum, sebab ia tidak dapat diubah melalui tindakan
legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Demikian pula sanksi dalam
moralitas tidak melinatkan paksaan fisik atau ancaman, melainkan lebih
bersifat internal misalnya berwujud rasa bersalah, malu, dan sejenisnya.
SUMBER (PROSES PEMBENTUKAN) & IMPLEMENTASI
ETIKA
Munculnya Etika sebagai suatu pedoman bertingkah laku dapat terbentuk
dalam dua macam proses, yaitu :
1. Secara alamiah terbentuk dari dalam (internal) diri manusia karena
pemahaman dan keyakinan terhadap suatu nilai-nilai tertentu (khususnya
agama / religi).
2. Diciptakan oleh aturan-aturan eksternal yang disepakati secara kolektif,
misalnya sumpah jabatan, disiplin, dan sebagainya. Sumpah jabatan dan
peraturan disiplin PNS, pada gilirannya akan membentuk etika birokrasi.
Sedangkan kasus Singapura menunjukkan bahwa etika berdisiplin (antri,
membuang sampah) dibentuk oleh denda yang sangat besar bagi
pelanggarnya.
Sementara itu, implementasi Etika sebagai suatu pedoman bertingkah laku
juga dapat dikelompokkan menjadi dua aspek, yakni internal (kedalam) dan
eksternal (keluar). Dari aspek ‘kedalam’, seseorang akan selalu bertingkah
laku baik meskipun tidak ada orang lain disekitarnya. Dalam hal ini, etika
lebih dimaknakan sebagai moral. Sedangkan dalam aspek ‘keluar’,
implementasi Etika akan berbentuk sikap / perbuatan / perilaku yang baik
dalam kaitan interaksi dengan orang / pihak lain.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 7
ALIRAN DALAM ETIKA
1. Teologisme
Prinsip atau asas etika menurut aliran ini, sesuatu yang baik, susila atau
etik, adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dan sebaliknya.
2. Naturalisme
Perbuatan yang dianggap baik adalah yang sesuai dengan hukum alam.
3. Hedonisme (Hedone = perasaan akan kesenangan)
Perbuatan yang dianggap baik adalah yang mendatangkan kesenangan,
kenikmatan atau rasa puas kepada manusia. Sempalan dari ajaran ini
adalah aliran Materialisme yang mengajarkan bahwa alat pokok untuk
memenuhi kepuasan manusia adalah materi.
4. Eudaemonisme (Eudaemonismos = bahagia)
Perbuatan yang dianggap baik adalah yang mendatangkan kebahagiaan
kepada manusia. Bedanya dengan hedonisme, kebahagiaan lebih bersifat
kejiwaan. Dengan kata lain, kebahagiaan merupakan kebaikan tertinggi
(prima facie). Sempalan dari ajaran ini adalah aliran Stoisisme yang
mengemukakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia harus
menggunakan akal pikirannya ; bukan mencari “kebijaksanaan” dengan
cara menyendiri atau mengendapkan perasaan seperti seorang pengecut.
5. Utilitarianisme
Perbuatan yang dianggap baik secara susila ialah “guna / manfaat”.
Penganjut utamanya adalah Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa
the greatest happiness of the greatest number, dan John Stuart Mill.
Sempalan dari ajaran ini antara lain adalah aliran pragmatisme,
empirisme, positivisme, dan neo positivisme (scientisme).
6. Vitalistis
Norma perbuatan baik adalah yang mempunyai kekuatan paling besar.
Jadi, orang / kelompok yang paling kuat dan dapat menguasai orang /
kelompok lain dianggap sebagai orang / kelompok yang baik. Atau
menurut Nietzsche, perilaku yang baik adalah yang menambah daya
hidup, sedangkan perilaku yang buruk adalah yang merusak daya hidup.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 8
7. Idealisme
Pusat pengertian aliran ini ialah kebebasan atau penghormatan kepada
pribadi manusia. Ajaran ini terdiri dari 3 komponen, yaitu idealisme
rasionalistik (akal pikiran sebagai penuntun tingkah laku), idealisme
estetik (kehidupan manusia dilihat dari perspektif karya seni), dan
idealisme etik (menentukan ukuran moral dan kesusilaan terhadap
kehidupan manusia).
Poedjawijatna
Bayu
Surianingrat
H. De Vos
Wahyudi
Kumorotomo
Religiosisme Teologisme - -
Hedonisme Hedonistis Hedonisme Hedonisme
- Eudaemonisme Eudemonisme Eudaemonisme
Utilitarisme Utilistis Utilisme Utilitarianisme
Vitalisme Vitalistis Vitalisme -
- Naturalistis - Naturalisme
- Idealistis Idealisme Idealisme
Sosialisme - Marxisme -
Humanisme - Stoisisme Individualisme
ARTI PENTING ETIKA BAGI ADMINISTRASI PUBLIK
Sebagaimana diketahui, Birokrasi atau Administrasi Publik memiliki
kewenangan bebas untuk bertindak (discretionary power atau freies
ermessen) dalam rangka memberikan pelayanan umum (public service) serta
menciptakan kesejahteraan masyarakat (bestuurzorg). Untuk itu, kepada
birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah
untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut
kebijakan publik (public policy).
Perumusan (formulation) dan penerapan (implementation) kebijakan publik
ini harus dilakukan sebaik mungkin, sebab suatu kebijakan pemerintah tidak
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 9
hanya mengandung konsekuensi yuridis semata, tetapi juga konsekuensi
etis atau moral.
Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan)
atau larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan
perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu
pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain,
pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek
dampak dan / atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya,
sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak oleh
masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan dimensi etis dan
moral dalam masyarakat. Beberapa contoh konkrit kebijakan yang tidak
populer dimata masyarakat adalah : pembangunan waduk, pengurangan /
penghapusan subsidi BBM / TDL, peningkatan tunjangan struktural pejabat
tinggi, pembentukan lembaga-lembaga ekstra struktural yang membebani
anggaran, dan sebagainya.
Dikaitkan dengan definisi etika sebagaimana disebutkan diatas, maka suatu
kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai BENAR –
SALAH, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai
BAIK – BURUK. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum
tentu baik secara moral dan etis. Sebagai contoh dapat ditunjukkan kasus-
kasus sebagai berikut :
1. Kasus perijinan HPH. Secara yuridis, penebangan hutan secara besar-
besaran dengan alasan untuk menghasilkan devisa dapat dibenarkan
karena perusahaan yang bersangkutan telah memiliki ijin yang legal.
Namun secara etis tindakan tersebut sangat tidak dibenarkan (dan
karenanya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan baik), sebab
menimbulkan kerusakan alam yang sangat hebat serta menggusur
kepentingan penduduk asli.
2. Kasus Korupsi. Dengan menggunakan pendekatan yuridis, setiap
pertanggungjawaban keuangan yang dapat dibuktikan secara formal
tidak dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana korupsi, meskipun
secara materiil tindak pidana tersebut telah terjadi. Konkritnya, jika
pembangunan suatu mega proyek secara riil menghabiskan biaya 10
trilyun, tetapi dalam kuitansi maupun nota-nota keuangan lainnya
tercantum 15 trilyun, maka sesungguhnya telah terjadi korupsi sebesar
5 trilyun, meskipun secara hukum tidak terjadi. Tindakan
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 10
memanipulasi angka ini jelas tidak etis dan tidak bermoral. Itulah
sebabnya kemudian muncul anekdot bahwa Indonesia merupakan
negara dengan tingkat korupsi terbesar di dunia, namun dengan
jumlah koruptor terkecil di dunia.
Mengingat kelemahan dalam pendekatan yuridis yang selama ini diterapkan,
maka perlu dikembangkan pendekatan baru dalam perumusan kebijakan
publik, yakni pendekatan etika / moral. Konsekuensi dari pendekatan baru
ini adalah bahwa suatu kebijakan publik harus mempertimbangkan hal-hal
sebagai berikut :
1. Keterikatannya untuk menjamin terselenggaranya kepentingan /
kesejahteraan rakyat banyak.
2. Keterikatannya dengan upaya untuk memajukan daerah / tanah air
dimana kebijakan tersebut dirumuskan.
Gambaran diatas mengindikasikan bahwa sempurnanya suatu tugas atau
fungsi aparatur pemerintah (baik individu maupun organisasi) ditentukan
oleh tingkat profesionalisme dan kualifikasi manusia pendukungnya.
Namun, kemampuan teknis (skill) dan keluasan wawasan (knowledge) saja
belum cukup memadai untuk menumbuhkan kepercayaan dan rasa kepuasan
dihati masyarakat. Mau tidak mau, birokrasi mestilah memiliki pula moral,
etika maupun sikap dan perilaku yang terpuji dan patut di contoh (attitude).
Adapun perilaku birokrasi atau pejabat publik, paling tidak dibentuk oleh 5
(lima) norma, yaitu norma jabatan, norma sosial, norma profesi, norma
keluarga, serta norma-norma lainnya (hukum, kesopanan, kesusilaan).
Norma atau etika jabatan mempelajari perbuatan pegawai negeri yang
memegang jabatan tertentu dan berwenang untuk berbuat atau bertindak
dalam kedudukannya sebagai unsur pemerintah (Bayu Suryaningrat, 1984 :
94). Norma sosial adalah seperangkat kaidah atau nilai-nilai yang harus
ditaati oleh seorang pejabat sebagai anggota suatu komunitas sosial. Norma
profesi adalah peraturan-peraturan baku yang diperuntukkan bagi anggota
suatu organisasi profesi dalam rangka berinteraksi dengan anggota interrn
organisasi maupun antar organisasi. Sedangkan norma keluarga merupakan
suatu kondisi mental seseorang untuk menjunjung tinggi martabat dan
kehormatan keluarga.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 11
Keseluruhan norma diatas harus benar-benar dipahami oleh aparatur
pemerintah, dengan tidak memberikan bobot yang lebih dominan kepada
salah satunya. Manakala terdapat keseimbangan antar norma-norma tersebut,
diharapkan praktek pelayanan publik-pun tidak akan bersifat pilih kasih atau
pandang bulu. Semua lapisan masyarakat membutuhkan pelayanan birokrasi
(public service), tetapi yang lebih dibutuhkan adalah sikap keadilan (equity)
dari para birokrat.
Political will pemerintah untuk menciptakan sosok birokrasi yang memiliki
perilaku terpuji ini sebenarnya telah dilaksanakan secara sistematis, seperti
terlihat pada upaya implementasi Sapta Prasetya KORPRI, penegakan
peraturan disiplin pegawai (PP Nomor 30 tahun 1980), pemberian Santi Aji
secara berkesinambungan dan sebagainya. Hanya saja, dalam implementasi
di lapangan masih sering ditemui oknum-oknum yang melanggar kode etik
PNS yang justru mengakibatkan rusaknya kredibilitas dan akuntabilitas
aparat dimata masyarakat. Inilah tantangan berat bagi pemerintah dari
struktur teratas sampai dengan struktur terendah, yang harus segera
diperbaiki pada masa-masa mendatang.
Secara skematis, pengaruh berbagai norma yang membentuk kepribadian
seorang pejabat publik dalam fungsi pelayanan, dapat dilihat pada Gambar
dibawah ini.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 12
PENGARUH BERBAGAI NORMA YANG MEMBENTUK
KEPRIBADIAN SEORANG PEJABAT PUBLIK
DALAM FUNGSI PELAYANAN
NORMA
JABATAN
NORMA
SOSIAL
NORMA
PROFESI
NORMA
KELUARGA
NORMA
LAIN
INDIVIDU
PEJABAT PUBLIK
PELAYANAN
PUBLIK
KESEIMBANGAN SIKAP DAN
PERILAKU BIROKRASI
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 13
Ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana PATUTnya
manusia hidup dalam masyarakat ; apa yang BAIK dan apa yang
BURUK.
(Ensiklopedi Indonesia)
• Menyatakan perbuatan
lahiriah seseorang, atau
daya dorong internal untuk
mengarah kepada
perbuatan baik dan
sebaliknya.
• Menekankan kepada
karakter dan sifat individu
yang khusus (rasa kasih,
murah hati, jiwa besar),
diluar ketaatan pada
peraturan.
• Instrumen kemasyarakatan
yang berfungsi sebagai
penuntun tindakan (action
guide) untuk segala pola
tingkah laku yang disebut
bermoral. Dengan
demikian, moralitas serupa
dengan hukum disatu
pihak dan dengan etiket
dipihak lain.
• Tidak hanya menyangkut tindakan lahiriah, tetapi
juga nilai mengapa dia bertindak demikian. Etika
tumbuh dari pengetahuan seseorang yang diberi
makna kesepakatan sosial, dan dijadikan acuan /
tolok ukur moralitas masyarakat.
• Berkenaan dengan disiplin ilmu yang
mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut
manusia beserta pembenarannya ; serta hukum
yang mengatur tingkah laku manusia.
• Mencakup filsafat moral atau pembenaran-
pembenaran filosofis.
MORAL ETIKA
BEDA
• Moralitas memiliki pertimbangan yang
jauh lebih tinggi tentang ‘kebenaran’ dan
‘keharusan’ dibanding Etiket.
• Moralitas bukan Hukum, sebab tidak
dapat diubah melalui tindakan legislatif,
eksekutif maupun yudikatif. Demikian
pula sanksi dalam moralitas tidak
melibatkan paksaan fisik atau ancaman,
melainkan lebih bersifat internal
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 14
PEMBENTUKAN & IMPLEMENTASI ETIKA
PEMBEN-
TUKAN
IMPLE-
MENTASI
INTERNAL
EKSTERNAL
Terbentuk karena pemahaman dan
keyakinan terhadap suatu nilai-nilai
tertentu (khususnya agama / religi).
Diciptakan oleh aturan-aturan
eksternal yang disepakati secara
kolektif.
INTERNAL
EKSTERNAL
Seseorang akan selalu bertingkah
laku baik meskipun tidak ada orang
lain disekitarnya.
Berbentuk sikap / perbuatan /
perilaku yang baik dalam kaitan
interaksi dengan orang / pihak lain.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 15
TEOLOGISME : Sesuatu yang baik, susila atau etik,
adalah yang sesuai dengan kehendak
Tuhan, dan sebaliknya.
NATURALISME : sesuai dengan hukum alam.
HEDONISME : (Hedone = perasaan akan kesenangan):
mendatangkan kesenangan, kenikmatan
atau rasa puas kepada manusia.
(berkembang kearah Materialisme).
EUDAEMONISME : (Eudaemonismos = bahagia):
mendatangkan kebahagiaan kepada
manusia. Bedanya dengan hedonisme,
kebahagiaan lebih bersifat kejiwaan.
UTILITARIANISME : berguna / bermanfaat”.
VITALISTIS : kekuatan paling besar.
IDEALISME : kebebasan atau penghormatan kepada
pribadi manusia.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 16
NEGARA
KESEJAHTERAAN
REGULASI
KEBIJAKAN PUBLIK
DISCRETIONARY POWER
/ FREIES ERMESSEN
KONSEKUENSI YURIDIS
• Berisi perintah (keharusan) atau
larangan. Barangsiapa yang
melanggar perintah atau
melaksanakan perbuatan tertentu yang
dilarang, maka ia akan dikenakan
sanksi tertentu pula.
• Kurang memperhatikan aspek dampak
dan / atau kemanfaatan dari kebijakan.
• Sering ditolak oleh masyarakat (public
veto) karena kurang mempertimbang-
kan dimensi etis dan moral
KONSEKUENSI ETIS ATAU
MORAL
• Tidak hanya menonjolkan nilai-
nilai BENAR – SALAH, tetapi
harus lebih dikembangkan kepada
sosialisasi nilai-nilai BAIK –
BURUK.
• Memiliki keterikatan untuk
:menjamin terselenggaranya
kepentingan / kesejahteraan rakyat
banyak, serta untuk memajukan
daerah / tanah air dimana
CONTOH?
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 17
BAGIAN II
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA /
HUKUM TATA PEMERINTAHAN
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 18
PEMAHAMAN HUKUM TATA PEMERINTAHAN
Pemahaman HAN / HTP, melalui Pendekatan :
Hukum Administrasi Publik / Tata
Pemerintahan
Mengatur kepastian hukum masyarakat
dalam hubungannya dengan negara
sebagai badan hukum
Mengatur birokrasi dan masyarakat
Mencari kebenaran dan keadilan Mencari keseimbangan dan keselarasan
kepentingan negara dan masyarakat
Negara tidak akan merugikan
masyarakat sekalipun untuk kepentingan
umum
Sama-sama menguntungkan negara dan
masyarakat
Tujuan akhir ketertiban dan
ketenteraman masyarakat (security
approach)
Tujuan akhir kemakmuran masyarakat
(prosperity approach)
Hakim yang memutuskan suatu sengketa Atasan birokrasi yang memutuskan
kepentingan birokrat atau masyarakat
(delivery of service / public accessibility)
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 19
Hukum Administrasi Negara
• W.F. Prins
• S. Prajudi Atmosudirdjo
• E. Utrecht
• SK Mendikbud No. 31/DJ/Kep/1983
• UGM, UII
Hukum Tata Usaha Negara
• Wirjono Prodjodikoro
• UU No. 14 / 1970
• GBHN Tahun 1983
• UU No. 5 / 1986
• Unpad, Unsri
Hukum Tata Pemerintahan
• SK Mendikbud No. 0198/U/1972
• S1-PIN FISIP Universitas Mulawarman
Perbedaan Interpretasi terhadap Istilah: Administratief Recht
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 20
HAN / HTP adalah perubahan hukum khusus yang
diadakan sehingga memungkinkan para pejabat melakukan
tugasnya yang khusus. Termasuk dalam pengertian HAN /
HTP adalah kekuasaan khusus yang dimiliki oleh
administrasi negara.
(Soerjono, 1998 : 11)
HAN / HTP adalah segala sesuatu mengenai
pemerintahan, yakni seluruh aktivitas pemerintah yang
tidak termasuk pengundangan dan peradilan.
(Rochmat Soemitro, 1987)
• Hukum mengenai Hubungan Hukum antara Alat
Perlengkapan Negara yang satu dengan Alat
Perlengkapan Negara yang lain.
• Hukum mengenai Hubungan Hukum antara Alat
Perlengkapan Negara dengan perseorangan privat.
(E. Utrecht)
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 21
POLEMIK HTN – HAN / HTP
Ada Perbedaan Prinsip Tidak Ada Perbedaan
Oppenheim :
Oppenheim :
Oppenheim :
Oppenheim :
HTN mempersoalkan negara dalam
keadaan diam / berhenti, HAN /
HTP merupakan aturan mengenai
negara dalam keadaan bergerak
Kranenburg :
Kranenburg :
Kranenburg :
Kranenburg :
Hubungan HTN dan HAN /
HTP seperti BW dan WvK,
yakni hubungan umum dan
khusus.
van Vollenhoven :
van Vollenhoven :
van Vollenhoven :
van Vollenhoven :
HAN / HTP adalah sisa dari semua
peraturan hukum nasional sesudah
dikurangi HTN Materiil, Hukum
Perdata Materiil, dan Hukum
Pidana Materiil (Teori Residu).
Prins, Vegting :
Prins, Vegting :
Prins, Vegting :
Prins, Vegting :
Diluar Hubungan Kompetensi,
masih ada hal lain yang masuk
lapangan studi HTN, misalnya
kewarganegaraan, masalah
wilayah negara, dan sebagainya.
Logemann :
Logemann :
Logemann :
Logemann :
HTN adalah pelajaran tentang
Hubungan Kompetensi, HAN /
HTP adalah pelajaran tentang
Hubungan Istimewa.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 22
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 23
Segala sesuatu yang dapat
menimbulkan aturan hukum / tempat
diketemukannya aturan hukum
Sumber Hukum Material
(Faktor yang ikut
mempengaruhi isi dari aturan
hukum)
• Historis = UU / sistem hukum
tertulis dimasa lampau
• Filosofis = ukuran yang
menentukan sifat adil ; faktor
yang mendorong seseorang
tunduk pada aturan
• Sosiologis / Antropologis =
faktor dalam masyarakat
(pandangan ekonomis, agamis,
psikologis)
Sumber Hukum Formal
(Bentuk aturan hukum
yang ada)
• UU (HAN / HTP Tertulis)
• Konvensi (Praktek
administrasi negara)
• Yurisprudensi
• Doktrin (Anggapan ahli
hukum)
SUMBER HAN / HTP
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 24
• Perbuatan Hukum Bersegi Satu (eenzijdige
publiekrechtelijke handelingen)
Sybenga : “tidak ada perbuatan hukum publik bersegi dua ; tidak
ada perjanjian yang diatur oleh hukum publik”. Setiap hubungan
hukum merupakan kehendak satu pihak, yakni pemerintah.
• Perbuatan Hukum Bersegi Dua (tweezijdige
publiekrechtelijke handelingen)
Van der Pot, Kranenburg, Donner : mengakui adanya perjanjian
menurut hukum publik. Contoh : kortverband contract (perjanjian
kerja jangka pendek).
Scholten : Tidak dapat, sebab mengatur
hub. hukum yang merupakan kehendak 2
pihak, sedang HAN merupakan hukum
publik yang bersifat sepihak.
Krabbe, Kranenburg, Donner :
Bisa, tetapi untuk menyelesaikan suatu
persoalan tetap harus menggunakan
hukum publik.
Perbuatan Hukum
(Rechts Handelingen)
Bukan Perbuatan Hukum
(Feitelijke Handelingen)
Perbuatan Hukum
menurut Hukum Privat
Perbuatan Hukum
menurut Hukum Publik
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 25
KEPUTUSAN / PENETAPAN &
PERATURAN
Keputusan / Beschikking (Bld) / Acte
Administratief (Prc) / Verwaltungsakt (Jrm)
1. Perbuatan hukum publik bersegi satu (perbuatan sepihak
dari pemerintah), dan bukan merupakan hasil persetujuan
dua belah pihak.
2. Sifat hukum publik diperoleh dari / berdasarkan wewenang
/ kekuasaan istimewa.
3. Dengan maksud terjadinya perubahan dalam lapangan
hubungan hukum.
4 Syarat Sahnya Keputusan :
• DIBUAT OLEH ALAT PERLENGKAPAN YANG BERWENANG
• TIDAK MENGANDUNG CACAT (KEKURANGAN YURIDIS)
• DIBERI BENTUK TERTENTU
• ISI DAN TUJUANNYA HARUS SESUAI DENGAN ISI DAN TUJUAN
PERATURAN DASARNYA.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 26
Berdasarkan SIFAT
1. Keputusan Kilat (vluchtige beschikking), ada 4 kategori :
• Merubah redaksi keputusan terdahulu / lama.
• Hanya memuat suatu maksud untuk tidak mengadakan suatu
tindakan.
• Penarikan kembali / pembatalan suatu keputusan.
• Pernyataan suatu keputusan “dapat dilaksanakan”.
2. Keputusan Tetap (blijvend)
Berdasarkan AKIBAT
1. Keputusan Positif, yakni menimbulkan hak, kewajiban dan
atau keadaan hukum baru.
2. Keputusan Negatif, tidak terjadi perubahan dalam suatu
keadaan hukum tertentu. Biasanya terdiri dari tiga macam :
pernyataan tidak berwenang (onbevoegdheid verklaring),
pernyataan tidak diterima (niet ontvankelijke verklaring), serta
pernyataan penolakan (afwijzing).
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 27
Berdasarkan TUJUAN
1. Keputusan Konstitutif, yakni keputusan yang menentukan
suatu hal tertentu dan tidak memerlukan ketetapan lain untuk
dapat menyelesaikan suatu masalah konkrit.
2. Keputusan Deklaratoir, yakni keputusan yang mengandung
pernyataan bahwa seseorang dapat diberikan hak-haknya
karena telah memenuhi syarat tertentu.
Berdasarkan KEABSAHAN
1. Keputusan yang sah (rechtsgeldig beschikking)
2. Keputusan yang tidak sah (niet rechtsgeldig beschikking)
• Keputusan yang batal karena hukum (nietig)
• Keputusan yang batal mutlak (absolut nietig), apabila
pembatalannya dapat dituntut oleh setiap orang.
• Keputusan yang batal nisbi (relatief nietig), apabila
pembatalannya hanya dapat dituntut oleh orang tertentu.
• Keputusan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar)
• Keputusan yang dapat dibatalkan mutlak (absolut
vernietigbaar)
• Keputusan yang dapat dibatalkan nisbi (relatief
vernietigbaar)
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 28
Tidak Termasuk:
Tidak Termasuk:
Tidak Termasuk:
Tidak Termasuk:
KEPUTUSAN Menurut UU No. 5 Tahun 1986
1. PENETAPAN TERTULIS YANG DIKELUARKAN OLEH BADAN /
PEJABAT TATA USAHA NEGARA
2. BERISI TINDAKAN HUKUM DALAM BIDANG TATA USAHA
NEGARA (DECISION OF ADMINISTRATION LAW).
3. BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANGAN YANG BERLAKU
4. BERSIFAT KONKRET, INDIVIDUAL, FINAL
5. MENIMBULKAN AKIBAT HUKUM BAGI SESEORANG / BADAN
HUKUM PERDATA
• KTUN yang merupakan perbuatan Hukum Perdata
• KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
• KTUN yang masih memerlukan persetujuan
• KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUH Perdata /
Pidana
• KTUN yang dikeluarkan atas hasil pemeriksaan Badan
peradilan
• KTUN mengenai Tata Usaha ABRI
• Keputusan Panitia Pemilihan Umum
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 29
ADA 3 MACAM KETIDAKWENANGAN
(ONBEVOEGDHEID)
1. Onbevoegdheid ratione materiale,
ketidakwenangan yang menyangkut isi
keputusan. Keputusan yang demikian dapat
mengakibatkan batal / batal demi hukum (nietig),
atau dapat dibatalkan (vernietigbaar). Untuk
keputusan yang batal, akibat hukum yang
ditimbulkan dianggap tidak pernah ada sejak
semula (ex-tunc). Sedang untuk keputusan yang
dibatalkan, akibat hukum yang timbul dianggap
ada sampai saat keputusan dibatalkan (ex-
nunc).
2. Onbevoegdheid ratione loci,
ketidakwenangan yang menyangkut wilayah
dikeluarkannya keputusan. Keputusan inipun
dapat batal atau dibatalkan.
3. Onbevoegdheid ratione temporis,
ketidakwenangan yang menyangkut waktu
dikeluarkannya keputusan. Keputusan ini batal
demi hukum.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 30
BENTUK CACAT / KEKURANGAN YURIDIS
SYARAT FORMAL KEPUTUSAN
 Penipuan (bedrog)
 PAKSAAN (DWANG) ATAU SOGOKAN
(OMKOPING)
 Kesesatan (dwaling) atau
kekeliruan / khilaf
Dapat Batal atau
Dibatalkan
 Prosedur / cara pembentukan
 Bentuk Keputusan
 Pemberitahuan pada yang
bersangkutan.
Batal jika tidak
mentaati prosedur
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 31
KASUS / KUIS
Coba Saudara pahami kedudukan PNS (Pegawai Negeri Sipil) berdasarkan
kaidah-kaidah Hukum Administrasi Negara, kemudian jawablah pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
1. Menurut Saudara, apakah pengangkatan seorang PNS termasuk
perbuatan hukum publik yang Bersegi Satu atau Bersegi Dua ?
Atau, dapatkah pengangkatan PNS tersebut dianggap sebagai “perjanjian
kerja” ?
2. Dilihat dari kaidah HAN, apakah seorang PNS memiliki kewajiban untuk
mendukung pemerintah dalam Pemilu dengan cara memilih tanda gambar
tertentu ?
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 32
BAGIAN III
AKTUALISASI ETIKA
BAGI ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 33
1. INDONESIA ADALAH NEGARA YANG BERDASAR
ATAS HUKUM (RECHTSTAAT)
2. SISTEM KONSTITUSIONAL
3. KEKUASAAN NEGARA YANG TERTINGGI ADA DI TANGAN
MPR
4. PRESIDEN ADALAH PENYELENGGARA PEMERINTAH YANG
TERTINGGI DIBAWAH MAJELIS
5. PRESIDEN TIDAK BERTANGGUNGJAWAB KEPADA DPR
6. MENTERI NEGARA IALAH PEMBANTU PRESIDEN : MENTERI
NEGARA TIDAK BERTANGGUNGJAWAB KEPADA DPR
7. KEKUASAAN KEPALA NEGARA TIDAK TAK TERBATAS
(7 Kunci Pokok – Penjelasan UUD 1945)
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 34
BEBERAPA PENJELASAN
INDONESIA ADALAH NEGARA BERDASAR ATAS HUKUM, TIDAK
SEMATA-MATA BERDASARKAN ATAS KEKUASAAN (MACHTSTAAT)
• Segala perbuatan pemerintah dan atau warga negara harus
memiliki dasar yuridis normatif. Atau, pemerintah perlu menyusun
perangkat hukum (regulasi) yang mendasari suatu perbuatan
tertentu.
• Kualitas Negara Hukum dapat dilihat dari ciri-cirinya :
1. Legal Supremacy
2. Pengakuan terhadap HAM
3. Peradilan yang Bebas dan Mandiri
4. Keberfungsian PTUN
SISTEM KONSTITUSIONAL
• Konstitusi (Hukum Dasar) terdiri dari dua macam : Tertulis (UUD)
dan Tidak Tertulis (Konvensi)
• Konstitusi harus diartikan luas, tidak hanya berarti UUD saja,
tetapi juga seluruh Peraturan Perundangan sebagaimana diatur
dalam Tap. MPRS/XX/1966 yaitu :
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU
4. Peraturan Pemerintah Pengganti UU
5. PP
6. Keputusan Presiden (instruksi Presiden)
7. Peraturan / Keputusan Menteri
Meskipun tidak dicantumkan, Peraturan Daerah harus pula
ditafsirkan sebagai unsur dari Konstitusi.
• Jika diantara peraturan perundangan tersebut terdapat perbedaan /
pertentangan, maka penyelesaiannya menerapkan prinsip sebagai
berikut :
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 35
1. Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (hukum / aturan yang
lebih tinggi mengecualikan aturan / hukum yang lebih rendah).
2. Lex Specialis Derogat Legi Generalis (hukum / aturan yang
khusus mengecualikan aturan / hukum yang umum).
3. Lex Posteriori Derogat Legi Anteriori (hukum / aturan yang
baru mengecualikan aturan / hukum yang lama).
PRESIDEN ADALAH PENYELENGGARA PEMERINTAH YANG TERTINGGI
DIBAWAH MAJELIS
• Dari gambar / matriks hubungan antar negara, terlihat bahwa
kedudukan dan peran Presiden cenderung dominan. Hal ini dapat
dibenarkan karena UUD 1945 menganut paham Executive Heavy.
• Yang penting adalah menjaga bagaimana agar kekuasaan Presiden
yang besar tidak disalahgunakan (onrechtmatige overheidsdaad).
Sebab, Lord Acton mengatakan bahwa : Power tends to corrupt,
but absolute power corrupt absolutely.
• Dalam kaitan ini, fungsi kontrol DPR perlu dioptimalkan. Namun
kenyataannya, fungsi ini belum banyak berfungsi karena beberapa
hal tertentu seperti sistem rekrutmen politik, mekanisme recall, dan
sebagainya. Disamping itu, sistem dan mekanisme pertanggung
jawaban Presiden perlu diubah berdasarkan pasal 2 (2) UUD 1945.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 36
UU harus diartikan luas, tidak hanya secara formal / cara
pembentukannya saja, tetapi juga kekuatan mengikatnya
secara material. Ini sering disebut Peraturan Perundang-
Undangan (Tap. MPRS/XX/1966) yaitu:
Tata Urutan Peraturan Perundangan Menurut
3 Sumber Hukum:
Tap MPRS / XX / 1966 Tap MPR / III / 2000 UU No. 10 / 2004
UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945
Ketetapan MPR Ketetapan MPR UU / Perpu
UU UU PP
Perpu Perpu Peraturan Presiden
PP PP Perda
Keppres / Inpres Keppres / Inpres –
Permen / Inmen dll Perda –
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 37
PERKEMBANGAN TUGAS / PERANAN
PEMERINTAH
erbentuknya suatu negara atau pemerintahan (aparat
penyelenggara negara), secara filosifis, antara lain memang
ditujukan untuk mencegah dan menghindari, setidak-tidaknya
mengurangi kerusuhan-kerusuhan yang terjadi didalam masyarakat.
Beberapa teori menyebutkan bahwa negara bertujuan untuk memelihara dan
menjamin hak-hak alamiah manusia, yaitu hak hidup, hak merdeka dan hak
atas harta sendiri (John Locke), untuk mencapai the greatest happines of the
greatest number (John Stuart Mill), menciptakan perdamaian dunia dengan
jalan menciptakan undang-undang bagi seluruh umat manusia (Dante).
Sedangkan James Wilford Garner membagi tujuan negara menjadi 3
(tiga), yaitu tujuan asli ialah pemeliharaan perdamaian, ketertiban,
keamanan dan keadilan, tujuan sekunder ialah kesejahteraan warga negara,
dan tujuan memajukan peradaban.
Pakar lain menyebutkan bahwa fungsi negara adalah melaksanakan
penertiban, menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran, fungsi pertahanan,
dan menegakkan keadilan. Ini berarti pula bahwa fungsi negara dan
pemerintah adalah memberikan perlindungan bagi warganya, baik dibidang
politik maupun sosial ekonomi. Oleh karenanya tugas pemerintah diperluas
dengan maksud untuk menjamin kepentingan umum sehingga lapangan
tugasnya mencakup berbagai aspek seperti kesehatan rakyat, pendidikan,
perumahan, distribusi tanah, dan sebagainya.
Tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurzorg) ini merupakan
tugas dari negara yang berbentuk Welfare State atau Negara Hukum yang
Baru dan Dinamis, atau Negara Hukum Material atau Negara Administratif.
Sebelum konsep Negara Kesejahteraan dikenal, yang muncul dalam praktek
kenegaraan adalah konsep Political State (Negara Politik) dan Legal State
(Negara Hukum yang Statis).
T
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 38
Menurut Siagian, pada tahap political state, suatu pemerintah dianggap
sebagai "tuan" dari rakyat dan hanya mempunyai empat fungsi pokok (the
classical functions of government) yaitu fungsi memelihara ketenangan dan
ketertiban, (maintenance of piece and order), fungsi diplomatik atau
internasional, fungsi pertahanan kemanan, dan fungsi perpajakan.
Pada tahap berikutnya yaitu Legal State, kekuasaan absolut ditangan para
raja sudah mulai dibatasi. Pelopor tentang pembatasan kekuasaan atau
pemisahan kekuasaan adalah John Locke (1632 - 1704) yang menganjurkan
agar kekuasaan dalam suatu negara diserahkan kepada tiga badan, yaitu
eksekutif, legislatif, dan federatif (bidang keamanan dan hubungan luar
negeri). Tokoh lain yang sangat berpengaruh adalah Montesquieu (1689 -
1755) yang dengan Teori Trias Politika-nya memisahkan kekuasaan
kedalam tiga badan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dalam konsep Negara Hukum yang Lama dan Statis ini pemerintah bersifat
pasif, artinya negara hanya menjadi wasit dan melaksanakan berbagai
keinginan masyarakat yang telah disepakati bersama melalui pemilihan atas
berbagai alternatif yang diputuskan secara demokratis liberal. Pemerintah
lebih bersifat sebagai "penjaga malam" atau penjamin keamanan yang hanya
bertindak jika ada gangguan terhadap keamanan. Ciri-ciri legal state ini
adalah:
1. perlindungan hak-hak asasi manusia,
2. pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia
itu,
3. pemerintah berdasarkan peraturan (the rule of law), dan
4. peradilan administrasi negara dalam perselisihan.
Dampak penting dari bentuk Legal State ini adalah terjadinya kesenjangan
sosial ekonomi diantara masyarakat sebagai akibat berlakunya hukum the
survival of the fittest atau homo homini lupus. Disamping itu, kaum borjuis
(ekonomi kuat) dapat mempengaruhi parlemen untuk menghasilkan produk
legislatif yang menguntungkan mereka.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 39
Oleh karena itu, muncullah tuntutan kepada pemerintah untuk meningkatkan
perannya dalam memberikan perlindungan bagi seluruh warganya di segala
bidang. Dengan kata lain, pemerintah diserahi tugas penyelenggaraan
kesejahteraan umum. Untuk menyelenggarakan tugasnya ini, pemerintah
diberikan freies ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur
dalam kegiatan . kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya membuat
peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya tanpa persetujuan
lebih dulu dari legislatif.
Dari sini dapat diketahui bahwa penyelenggaraan fungsi kesejahteraan pada
Welfare State dilakukan melalui regulasi (pengaturan). Namun ada satu
ekses yang muncul dari hal ini, yakni kecenderungan pemerintah untuk
mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat secara terperinci (over
regulated). Akibat selanjutnya, kehidupan masyarakat lama kelamaan
menjadi sumpek, sempit, kaku, bahkan cenderung otoriter. Jika hal ini
berlangsung terus, tidak tertutup lemungkinan munculnya cipratan, desakan,
atau bahkan ledakan yang tidak tertahankan. Keadaan ini menurut Afan
Gaffar disebut sebagai water type society.
Dalam kondisi seperti tersebut diatas, fenomena yang mengemuka adalah
tuntutan deregulasi, debirokratisasi, desentralisasi, serta demokratisasi.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 40
IMPLIKASI FREIES ERMESSEN
1. Kewenangan atas inisiatif sendiri, untuk membuat
peraturan perundangan yang setingkat dengan UU tanpa
meminta persetujuan parlemen lebih dulu.
Dasar filosofisnya adalah salus populi suprema lex
(keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi). Contohnya
Pasal 22 UUD 1945 : “Dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu”.
2. Kewenangan karena delegasi perundangan dari UUD,
untuk membuat peraturan perundangan yang derajatnya lebih
rendah dari UU.
Pasal 5 (2) UUD 1945 : “Presiden menetapkan PP untuk
menjalankan UU sebagaimana mestinya”.
3. Droit function, yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik
memperluas maupun mempersempit) sendiri peraturan
perundangan yang bersifat enunsiatif / enumeratif.
Pasal 1 (1) Hinder Ordonantie : “larangan pendirian berbagai
obyek tanpa ijin pemerintah ….. dan semua bangunan lain yang
dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau gangguan”.
Inpres No. 9 tahun 1973 : “Presiden dapat menentukan bentuk-
bentuk kegiatan pembangunan lainnya ….. yang menurut
pertimbangan perlu bagi kepentingan umum”.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 41
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN
YANG BAIK
( Asas HAN / HTP )
KEWENANGAN BERTINDAK SECARA BEBAS
Implikasinya :
Implikasinya :
Implikasinya :
Implikasinya :
Administrasi Negara / Pejabat Tata Usaha Negara
kemungkinan melakukan perbuatan yang menyimpang dari
peraturan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat
Mempertinggi perlindungan hukum
Mempertinggi perlindungan hukum
Mempertinggi perlindungan hukum
Mempertinggi perlindungan hukum
bagi masyarakat
bagi masyarakat
bagi masyarakat
bagi masyarakat
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 42
_______________________ υ KEPASTIAN HUKUM
Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh
seseorang berdasarkan keputusan badan / pejabat administrasi
negara. Dengan kata lain, suatu keputusan harus mengandung
kepastian dan tidak akan dicabut kembali, bahkan sekalipun
keputusan itu mengandung kekurangan.
Putusan Dewan Banding Pusat (Centrale Raad van Beroep),
23 Januari 1956, yang menyatakan bahwa Keputusan
pemecatan seorang PNS tidak boleh berlaku surut.
Putusan Dewan Banding Perdagangan dan Industri, 26 Juni
1957, yang menyatakan bahwa suatu ijin tidak boleh ditarik
kembali, walaupun kemudian diketahui bahwa ijin itu
mengandung kesalahan / kekeliruan yang dilakukan sendiri
oleh instansi yang mengeluarkan ijin tersebut.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 43
___________________________ υ KESEIMBANGAN
Asas ini menghendaki proporsi yang wajar dalam penjatuhan
hukum terhadap pegawai yang melakukan kesalahan.
Putusan Dewan Banding Pusat, 13 Nopember 1963, yang
menyatakan bahwa harus ada keseimbangan antara hukuman
yang dijatuhkan dengan kelalaian / kesalahan yang dilakukan
pegawai. Untuk itu, kepada pegawai yang bersangkutan
diberikan kesempatan untuk membela diri, dan badan yang
menjatuhkan hukuman tidak memihak.
υ KESAMAAN DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN
Asas ini menghendaki agar dalam menghadapi kasus / fakta yang
sama, badan / pejabat administrasi negara dapat mengambil
tindakan yang sama.
Putusan Dewan Banding Perdagangan dan Industri, 23
Nopember 1956, yang membatalkan Keputusan instansi yang
menolak untuk memberikan ijin bagi suatu perusahaan.
Sebab, pada waktu itu ada peraturan yang mengharuskan
perusahaan tertentu mempunyai ijin.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 44
_______________________ υ BERTINDAK CERMAT
Asas ini menghendaki administrasi negara senantiasa bertindak
secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Putusan Hoge Raad, 9 Januari 1942, yang memutuskan bahwa
terhadap jalan yang rusak atau berlubang, pemerintah wajib memberi
tanda peringatan sehingga dapat diketahui oleh para pemakai jalan.
Putusan Mahkota, 14 Agustus 1970 : dengan maksud mencegah
kerusakan dan penyakit gigi, pemerintah mengeluarkan perintah agar
memasukkan bahan flouride ke dalam air minum. Ternyata, tidak
semua orang tahan dengan bahaan ini, sehingga mereka menuntut
diberi kesempatan yang sama untuk memperoleh air yang tidak
dicampur flouride. Perintah itu kemudian dinyatakan Batal.
_____ υ MOTIVASI DALAM SETIAP KEPUTUSAN
Asas ini menghendaki agar keputusan badan / pejabat administrasi
negara didasarkan pada alasan / motivasi yang adil dan jelas.
Putusan Mahkota, 15 Nopember 1958, yang membatalkan Keputusan
Dewan Kota yang menolak permohonan sebuah LSM untuk
mengadakan usaha pengumpulan dana tanpa disertai dengan alasan-
alasan penolakannya.
Putusan Mahkota, 6 Agustus 1966, yang membatalkan Keputusan
Menteri Kehakiman yang menolak permohonan untuk mengganti
nama dari seseorang tanpa disertai dengan alasan-alasan
penolakannya.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 45
υ TIDAK MENCAMPURADUKKAN KEWENANGAN
Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan, badan /
pejabat administrasi negara tidak menggunakan kewenangan diluar
maksud pemberian wewenang tersebut (detournement de pouvoir).
Putusan Mahkota, 8 Juni 1965 : Seseorang yang telah memiliki ijin
penggalian tanah bertengkar dengan si pemilik tanah. Dengan alasan
untuk mengakhiri sengketa itu, Dewan Propinsi menarik kembali ijin
yang telah diberikan. Hal ini oleh Mahkota dinilai sebagai
detournement de pouvoir, sebab sengketa itu harus diselesaikan
melalui peradilan perdata.
__________________ υ PERMAINAN YANG LAYAK
Asas ini menghendaki agar badan / pejabat administrasi negara
memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang benar dan adil.
Putusan Mahkota, 17 Oktober 1970 : Seorang pemilik tanah
mengajukan keberatan kepada Dewan Kota terhadap rencana
pembangunan kota, karena dikhawatirkan ia tidak dapat mendirikan
bangunan diatas tanahnya. Oleh Dewan Kota, keberatan tersebut
dianggap tidak beralasan karena tidak ada larangan mendirikan
bangunan. Beberapa waktu kemudian si pemilik tanah baru tahu
bahwa rencana pembangunan kota meliputi lahan miliknya. Ia
langsung melakukan banding kepada Mahkota meskipun batas waktu
yang ditentukan telah lewat, yang dikabulkan oleh Mahkota.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 46
______________ υ KEADILAN ATAU KEWAJARAN
Asas ini menghendaki agar dalam melakukan tindakannya, badan /
pejabat administrasi negara tidak berlaku sewenang-wenang.
Putusan Kroon, 29 Juni 1966 : Permohonan seorang gadis
Indonesia untuk bertempat tinggal di Nederland, ditolak oleh
Menteri Kehakiman dengan alasan akan mengalami kesulitan
asimilasi. Keputusan ini dibatalkan karena ternyata gadis tadi
mahir bahasa Belanda dan sudah lama tinggal disana.
υ MENANGGAPI PENGHARAPAN YANG WAJAR
Asas ini menghendaki agar tindakan badan / pejabat administrasi
negara dapat menimbulkan dan atau memenuhi harapan-harapan
yang wajar.
Putusan Centrale Raad van Beroep, 13 Januari 1959 :
Seorang PNS yang dinas luar kota dengan menggunakan
mobil pribadi meminta penggatian biaya atas pemakaian
mobil tersebut. Beberapa waktu kemudian diketahui bahwa
hal itu tidak diperbolehkan, sehingga kantor meminta
kembali uang yang telah dibayarkan. Keputusan ini
dibatalkan oleh Centrale Raad van Beroep.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 47
MENIADAKAN AKIBAT KEPUTUSAN YANG BATAL
Asas ini menghendaki agar jika terjadi pembatalan atas keputusan
badan / pejabat administrasi negara, maka akibat dari keputusan
yang dibatalkan itu harus dihilangkan dan yang bersangkutan
diberi ganti rugi.
Putusan Centrale Raad van Beroep, 20 September 1920 : Seorang
pegawai yang dipecat, tetapi setelah melalui proses pemeriksaan
pengadilan ternyata tidak melakukan kesalahan, ia berhak atas
kedudukan semula pada instansinya, rehabilitasi nama baik, serta
ganti rugi yang timbul karena pemecatannya.
________ υ PERLINDUNGAN ATAS CARA HIDUP
Asas ini menghendaki agar setiap pegawai negeri diberi kebebasan
/ hak untuk mengatur kehidupan pribadinya sesuai dengan
pandangan hidup yang dianutnya.
Putusan Centrale Raad van Beroep, 29 Mei 1951 : Seorang pegawai
yang sudah kawin selingkuh dengan wanita teman satu kantor. Oleh
pimpinannya diambil tindakan berupa pemotongan gaji setiap bulan.
Keputusan ini dibatalkan oleh Centrale Raad van Beroep dengan
alasan bahwa setiap pegawai mempunyai hak untuk hidup sesuai
dengan pandangan / cara hidupnya.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 48
___________________________ υ KEBIJAKSANAAN
Asas ini menghendaki agar dalam melaksanakan tugasnya, badan /
pejabat administrasi negara diberi kebebasan untuk menentukan
kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi.
Berbeda dengan freies ermessen : Pemerintah dalam segala
tindakannya harus berpandangan luas dan dapat
menghubungkan tugasnya dengan gejala-gejala dalam
masyarakat, serta memperhitungkan dampak lingkungan dari
setiap tindakan yang diputuskan.
____ υ PENYELENGGARAAN PELAYANAN UMUM
Asas ini menghendaki agar dalam menyelenggarakan tugasnya,
badan / pejabat administrasi negara selalu mengutamakan
pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 49
ASAS LAINNYA (SOERJONO, 1998)
• Legalitas
Setiap tindakan pejabat administrasi negara harus berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku.
• Kontinuitas
Jaminan terus berlakunya suatu keputusan meskipun telah terjadi
pergantian pejabat administrasi negara.
• Adaptasi
Bila terjadi kekeliruan dalam suatu keputusan, pejabat dapat segera
merubah atau memperbaiki sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
• Moralitas
Keputusan pejabat harus dilandasi oleh moral dan etika yang baik.
• Efektivitas dan Efisiensi
Tindakan / keputusan pejabat harus dimaksudkan untuk
menciptakan daya guna dan hasil guna.
• Legitimasi
Keputusan pejabat jangan sampai menimbulkan keresahan bagi
masyarakat dan lingkungannya. Disamping itu, keputusan hanya
“benar” jika membawa manfaat bagi dan diakui oleh masyarakat.
• Kebersamaan dalam Keputusan
Keputusan pejabat hendaknya merupakan hasil kompromi /
kesepakatan dengan berbagai pihak yang diputuskan secara
musyawarah (group decision).
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 50
PERBANDINGAN ASAS PEMERINTAHAN YANG BAIK
THE LIANG GIE SOERJONO MUCHSAN, MARBUN
PERTANGGUNG-
JAWABAN
LEGALITAS KEPASTIAN HUKUM
PENGABDIAN KONTINUITAS KESEIMBANGAN
KESETIAAN ADAPTASI
KESAMAAN DALAM
MENGAMBIL KEPUTUSAN
KEPEKAAN MORALITAS BERTINDAK CERMAT
PERSAMAAN
EFEKTIVITAS DAN
EFISIENSI
MOTIVASI UNTUK SETIAP
KEPUTUSAN
KEPANTASAN LEGITIMASI
TIDAK MENCAMPUR-
ADUKKAN KEWENANGAN
KEBERSAMAAN
DLM KEPUTUSAN
PERMAINAN YANG LAYAK
KEADILAN / KEWAJARAN
MENANGGAPI PENGHARAPAN
YANG WAJAR
MENIADAKAN AKIBAT
KEPUTUSAN YANG BATAL
PERLINDUNGAN ATAS CARA
HIDUP PRIBADI
KEBIJAKSANAAN
PENYELENGGARAAN
KEPENTINGAN UMUM
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 51
Menuju Terwujudnya Good Government
Suatu pemerintahan yang : 1) menegakkan kaidah-kaidah hukum sekaligus
2) menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam praktek bernegara, diyakini akan
mampu mewujudkan cita-cita tertinggi, yakni pemerintahan yang bersih dan
bebas dari KKN (good governance). Kedua hal ini harus dijalankan secara
bersama-sama dan saling menunjang.
Dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan good governance tersebut,
pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Secara umum governance mengandung unsur-unsur utama yang terdiri dari
akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), keterbukaan
(openness), dan aturan hukum (rule of law) (Bhatta, 1996 : 2) Terhadap
keempat unsur tersebut, Adamolekun dan Bryant (1994) menambahkan
dua unsur lainnya yaitu kompetensi manajemen (management competence)
dan hak-hak asasi manusia (human rights). Hak-hak asasi manusia pada
dasarnya merupakan bagian dari unsur governance (meskipun pada
tingkatan pengertian umum atau global). Sedangkan kompetensi manajemen
lebih cenderung merupakan akibat atau symptom dari adanya good
governance, daripada sebagai bagian dari unsur utamanya. Berikut ini adalah
rincian dari keempat unsur utama yang dapat memberikan gambaran
bagaimana seharusnya administrasi publik yang bercirikan good governance
tersebut.
1. Akuntabilitas
Akuntabilitas artinya adalah kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk
bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala
tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan
inti dari pemerintahan yang baik (good governance).
Akuntabilitas aparatur pemerintahan ini terdiri dari tiga jenis, yaitu
akuntabilitas politik, keuangan dan hukum (Brautigam, 1991:13).
Akuntabilitas politik berkaitan dengan sistem politik dan sistem pemilu.
Sistem politik multipartai dinilai lebih mampu menjamin akuntabilitas
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 52
politik pemerintah terhadap rakyatnya daripada pemerintahan dengan
sistem politik satu partai. Akuntabilitas keuangan artinya adalah bahwa
aparatur pemerintah wajib mempertanggungjawabkan setiap rupiah uang
rakyat dalam anggaran belanjanya yang bersumber dari penerimaan pajak
dan retribusi. Sedangkan akuntabilitas hukum mengandung arti bahwa
rakyat harus memiliki keyakinan bahwa unit-unit pemerintahan dapat
bertanggung jawab secara hukum atas segala tindakannya. Organisasi
pemerintahan yang pada prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat
(onrechtmatige overheidsdaad), dengan demikian harus mampu
mempertanggungjawabkannya dan menerima tuntutan hukum atas
tindakan tersebut.
2. Transparansi
Pemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik
di tingkat pusat maupun di daerah. Rakyat secara pribadi dapat
mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi tentang proses
perumusan kebijaksanaan publik dan tindakan pelaksanaannya
(implementasinya). Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijaksanaan
pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, harus selalu dilaksanakan
secara terbuka dan diketahui umum.
3. Keterbukaan
Keterbukaan disini mengacu kepada terbukanya kesempatan bagi rakyat
untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang
dinilainya tidak transparan. Pemerintah yang baik, yang bersifat
transparan dan terbuka, akan memberikan informasi data yang memadai
bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya
pemerintahan. Dalam praktek, dewasa ini kita masih melihat kenyataan
bahwa prosedur tender kompetitif suatu proyek pembangunan hingga
penetapan keputusan pemenangnya, masih sering bersifat tertutup.
Rakyat atau bahkan para pelaku tender dengan pemerintah sering tidak
memperoleh kejelasan informasi tentang hasil atau kriteria penetapan
pemenang tender proyek yang bersangkutan.
Tentang keterbukaan ini Brautigam (1991: 21) mengidentifikasi dua
jenis keterbukaan, yaitu ekonomi dan politik. Keterbukaan ekonomi
tercermin dari sistem persaingan pasar dengan sedikit mungkin
pembatasan (regulasi) oleh pemerintah, serta dilaksanakannya rejim
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 53
perdagangan bebas dengan sistem tarif (tariff barrier) yang bersifat
terbuka kepada publik. Sedangkan keterbukaan politik mengacu kepada
pola persaingan dan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam
proses pengambilan keputusan. Permufakatan yang terjadi dalam setiap
musyawarah untuk pengambilan keputusan tidak terjadi melalui proses
pemaksaan kehendak atau intimidasi, tetapi melalui tahapan argumentasi
yang efektif terhadap setiap perbedaan pendapat yang muncul.
Pengambilan suara (voting) untuk menetapkan suatu keputusan akibat
terjadinya perbedaan pendapat bukanlah hal yang tabu sepanjang
keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat kepada siapapun yang
terlibat, dan tidak ada pemboikotan atas pelaksanaan keputusan hasil
pemungutan suara tersebut. Disinilah letak persaingan positif dan
toleransi atas perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan.
4. Aturan Hukum (Rule of Law)
Prinsip rule of law disini diartikan bahwa good governance mempunyai
karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Oleh karena
itu, setiap kebijaksanaan dan peraturan perundang-undangan harus selalu
dirumuskan, ditetapkan dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku
yang sudah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta
memiliki kesempatan untuk mengevaluasinya. Masyarakat membutuhkan
dan harus dapat diyakinkan tentang tersedianya suatu proses pemecahan
masalah perbedaan pendapat (conflict resolution), dan terdapat prosedur
umum untuk membatalkan sesuatu peraturan atau perundang-undangan
tertentu. Hal ini penting untuk dikemukakan, mengingat bahwa pada
kenyataannya sektor swasta dewasa ini telah semakin terlibat dalam
perekonomian nasional maupun internasional, dan karenanya, terdapat
kebutuhan untuk memiliki kejelasan tentang kerangka hukum yang
mampu melindungi hak-hak kepemilikan seseorang (property rights) dan
yang mampu menghormati nilai-nilai perjanjian dalam kontrak bisnis.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 54
BAGIAN IV
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
(P.T.U.N)
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 55
KEWENANGAN MEMERIKSA DAN
MEMUTUS SUATU PERKARA /
SENGKETA ADMINISTRASI BERADA
PADA INSTANSI YANG SECARA
HIERARKHIS LEBIH TINGGI
ISI KEWENANGAN MENCAKUP
ASPEK RECHTMATIGHEID DAN
DOELMATIGHEID.
KONSEKUENSINYA, INSTANSI TADI
DAPAT MENGGANTI ATAU
MERUBAH KEPUTUSAN
KEWENANGAN MEMERIKSA DAN
MEMUTUS SUATU PERKARA /
SENGKETA ADMINISTRASI BERADA
PADA HAKIM
ISI KEWENANGAN MENCAKUP
ASPEK RECHTMATIGHEID SAJA.
KONSEKUENSINYA, INSTANSI TADI
DAPAT MEMBATALKAN DAN
MEMBERI HUKUMAN, TETAPI
TIDAK DAPAT MENGGANTI /
MERUBAH KEPUTUSAN
Pada Masa Penjajahan, tidak terdapat Badan Peradilan yang secara khusus
/ mandiri memeriksa dan menyelesaikan sengketa Administrasi / Tata Usaha
Negara. Hal ini sesuai dengan pasal 134 ayat 1 Indische Staatsregeling (IS) :
a. Perselisihan Perdata diputus oleh Hakim biasa menurut UU
b. Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi
wewenang Lembaga Administrasi itu sendiri.
Dengan demikian, sistem yang dipakai adalah :
ADMINISTRATIEF BUKAN ADMINISTRATIEF
BEROEP RECHTSPRAAK
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 56
PADA MASA KEMERDEKAAN
UUDS 1950 memberikan kemungkinan 3 macam cara
penyelesaian sengketa TUN :
1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata.
2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara Istimewa.
3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN, yang
penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata
atau Badan Khusus.
UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 10 disebutkan: Bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara.
Mendorong lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara : kewenangan memeriksa, memutus dan
menyelesaikan suatu perkara / sengketa administrasi berada pada
Hakim / Peradilan Tata Usaha Negara, SETELAH DITEMPUH
upaya administratif.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 57
1. Tata Usaha Negara : Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi
untuk menyelenggarakan urusan pemerintah baik di Pusat
maupun di Daerah.
2. Badan atau Pejabat TUN : badan atau pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku.
3. Keputusan TUN : penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan /
Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
4. Sengketa TUN : sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN,
baik di tingkat Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan TUN, termasuk sengketa
kepegawaian
5. Gugatan : permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat
TUN dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan.
6. Tergugat : badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan
hukum perdata.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 58
1. Kompetensi RELATIF
(kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan
wilayah / daerah hukumnya)
PTUN Wilayah Kotamadya / Kabupaten
PT TUN Wilayah Propinsi
• Gugatan diajukan kepada Pengadilan di wilayah hukum tempat
kedudukan Tergugat.
• Jika tergugat lebih dari 1, dipilih tempat kedudukan salah satu
Tergugat.
• Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa yang diatur dengan
PP, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan di wilayah hukum tempat
kedudukan Penggugat.
2. Kompetensi ABSOLUT
(kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai menurut
obyek / materi / pokok sengketa)
Perbuatan Pemerintah yang mengeluarkan Keputusan / Beschikking,
BUKAN :
• Perbuatan Pemerintah mengeluarkan Peraturan / Regeling
• Perbuatan Pemerintah melakukan tindakan material (materiele daad)
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 59
Pasal 1 ayat 3 – Pasal 2 + Pasal 3 – Pasal 49 –
Penjelasan Umum angka 1
Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan / pejabat tata usaha
negara, berisi tindakan hukum dalam bidang tata usaha negara,
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, bersifat konkret,
individual, final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang / badan
hukum perdata
–
KTUN yang merupakan perbuatan Hukum Perdata, merupakan pengaturan
yang bersifat umum, masih memerlukan persetujuan, yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan KUH Perdata / Pidana, yang dikeluarkan atas hasil
pemeriksaan Badan peradilan, mengenai Tata Usaha ABRI, Keputusan
Panitia Pemilihan Umum
+
Jika Pejabat / Badan TUN tidak mengeluarkan keputusan sedang hal itu
menjadi kewajibannya, hal tersebut disamakan dengan Keputusan
Jika Pejabat / Badan TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon
sedang jangka waktu yang ditentukan telah lewat, Pejabat / Badan TUN
tadi dianggap menolak mengeluarkan keputusan
Dalam hal jangka waktu tidak ditentukan, maka setelah lewat 4 bulan
sejak diterimanya permohonan, Pejabat / Badan TUN tadi dianggap telah
mengeluarkan keputusan
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 60
–
KTUN berdasarkan peraturan perundangan yang dikeluarkan :
• Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau
keadaan luar biasa yang membahayakan.
• Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum.
–
Sengketa administrasi di lingkungan Angkatan Bersenjata dan dalam soal-
soal militer yang menurut UU Nomor 16 Tahun 1953 dan UU Nomor 19
Tahun 1958, diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha
Militer.
Pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum angka 1, pada dasarnya adalah
PEMBATASAN LANGSUNG
Sedang PEMBATASAN TIDAK LANGSUNG diatur dalam Pasal 48 :
Dalam hal suatu Badan / Pejabat TUN diberi wewenang oleh peraturan
perundangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa TUN
tertentu, maka sengketa tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif.
Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa tadi, jika seluruh upaya administratif telah digunakan.
JIKA ADMINISTRATIF BEROEP TELAH DITEMPUH NAMUN MASIH
BELUM SELESAI, MAKA SENGKETA LANGSUNG DIAJUKAN
PADA TINGKAT PT TUN
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 61
1. Dapat diajukan jika Keputusan TUN MERUGIKAN KEPENTINGAN
seseorang / badan hukum tertentu. Kepentingan harus bersifat
LANGSUNG TERKENA, tidak terselubung dibalik kepentingan orang
lain.
2. Harus diajukan secara TERTULIS, yang berisi :
• Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat /
kuasanya.
• Nama, jabatan dan domisili tergugat.
• Isi gugatan.
• Dasar / alasan menggugat.
3. Isi gugatan :
• Tuntutan untuk menyatakan BATAL ATAU TIDAK SAH
• Dengan atau tanpa disertai tuntutan GANTI RUGI dan / atau
REHABILITASI.
4. Dasar / alasan menggugat :
• Keputusan TUN BERTENTANGAN dengan peraturan perundangan,
baik secara prosedural / formal maupun secara material /
substansial.
• Badan atau pejabat TUN TIDAK BERWENANG mengeluarkan
keputusan, baik secara materiale, temporis, maupun loci.
• Badan atau pejabat TUN menggunakan wewenangnya UNTUK
TUJUAN LAIN dari maksud diberikannya wewenang tersebut.
Artinya, telah terjadi penyalahgunaan wewenang.
• Badan atau pejabat TUN seharusnya TIDAK SAMPAI KEPADA
PENGAMBILAN KEPUTUSAN tersebut. Artinya, Badan / Pejabat
TUN berbuat sewenang-wenang.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 62
KTUN
Individu / Badan Hukum Perdata
sebagai Penggugat
Pasal 1 (3), 3
PTUN
(Tingkat I)
Upaya
Administratif
Pasal 53
Pasal 50 Pasal 48
PT TUN
(Banding)
PT TUN
(Tingkat I)
Pasal 51 (1) Pasal 51 (3)
M.A Pasal 5 (2)
BAGAN ALUR PERKARA MELALUI PTUN
Ada 2 macam Upaya Administratif :
1. BANDING ADMINISTRATIF, jika penyelesaian sengketa dilakukan
oleh instansi atasan / instansi lain.
2. KEBERATAN, jika penyelesaian sengketa dilakukan oleh instansi yang
sama / yang mengeluarkan KTUN.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 63
TENGGANG WAKTU GUGATAN
• PROSES PENGAJUAN GUGATAN SANGAT PENDEK.
• SETELAH TENGGANG WAKTU LEWAT, MAKA KEPUTUSAN TUN
AKAN MEMILIKI KEPASTIAN HUKUM.
• BATAS TANGGAL PENGESAHAN / PENGUNDANGAN BIASANYA
DIJADIKAN TITIK TOLAK PERHITUNGAN.
1. VERZENDTHEORIE (Teori Pengiriman)
SK dihitung sejak hari disampaikannya keputusan kepada yang
bersangkutan. Patokannya adalah stempel pos.
2. ONTVANGTSTHEORIE (Teori Penerimaan)
SK dihitung sejak hari diterimanya keputusan atau sepatutnya
dianggap telah menerima.
kedua teori ini saling berkaitan, dimana beberapa hari setelah
pengiriman, keputusan tersebut dianggap telah diterima.
PTUN DI INDONESIA MENGANUT TEORI PENERIMAAN
Pasal 55 UU PTUN : gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu
SEMBILAN PULUH HARI terhitung sejak saat
DITERIMANYA atau DIUMUMKANYA keputusan
Badan atau Pejabat TUN
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 64
VEILIGHEIDSCLAUSULE SEBAIKNYA
DITIADAKAN
(Apabila dikemudian hari ternyata ada
kekeliruan dalam Surat Keputusan ini, akan
ditinjau kembali sebagaimana mestinya)
TIDAK
MENUNDA
PELAKSANAAN
KEPUTUSAN
pasal 67 (1)
PENGGUGAT DAPAT
MENGAJUKAN PERMOHONAN
PENUNDAAN, YANG AKAN
DIKABULKAN OLEH PENGADILAN
JIKA MEMENUHI SYARAT :
1. TERDAPAT KEADAAN YANG
SANGAT MENDESAK, YAITU
JIKA KERUGIAN YANG AKAN
DIDERITA PENGGUGAT TIDAK
SEIMBANG DENGAN MANFAAT
BAGI KEPENTINGAN YANG
DITIMBULKAN
2. PELAKSANAAN KTUN TIDAK
ADA SANGKUT PAUTNYA
DENGAN KEPENTINGAN UMUM
Berdasarkan asas PRADUGA RECHTMATIG (vermoeden van
rechtmatigheid = praesumption iustae causa), setiap tindakan dan
/ atau keputusan Badan / Pejabat TUN harus diangap
rechtmatig (menurut hukum), selama belum dibuktikan
sebaliknya.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 65
BIAYA PERKARA
1. Prinsip pengenaan biaya : harus serendah mungkin (pasal 4
UU 14 / 1970).
2. Penggugat diwajibkan membayar uang muka biaya perkara
(pasal 59), yang besarnya ditaksir oleh panitera.
3. Jika penggugat tidak mampu, dapat mengajukan permohonan
berperkara secara gratis atau prodeo (pasal 60 – 61), dengan
disertai surat keterangan dari lurah / kepala desa.
4. Biaya perkara terdiri dari unsur-unsur : biaya kepaniteraan,
materai, saksi, alih bahasa, pemeriksaan di tempat lain dari
ruang sidang (pasal 111).
5. Jika penggugat diputuskan menang, uang muka yang sudah
dibayarkan dikembalikan seluruhnya.
6. Dalam hal penggugat diputuskan kalah, uang muka dapat
dikembalikan ila ada kelebihan, atau menambah biaya bila tidak
mencukupi.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 66
Putusan Akhir : Putusan yang sifatnya mengakhiri suatu
sengketa dalam tingkat Peradilan tertentu
1. CONDEMNATOIR : Putusan Yang Bersifat Menghukum
2. CONSTITUTIEF : Putusan Yang Bersifat Menciptakan
3. DECLARATION : Putusan Yang Menerangkan
Putusan Sela : Putusan yang dikeluarkan Hakim sebelum
memutus perkara akhir, untuk memudahkan
pemeriksaan perkara selanjutnya.
1. PREPARATOIR, misal : putusan untuk menggabungkan dua perkara
menjadi satu, atau putusan untuk menetapkan
tenggang waktu.
2. INTERLOCUTOIR, misal : putusan yang berisi perintah kepada salah
satu pihak untuk membuktikan suatu hal.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 67
Putusan yang dikeluarkan SEBELUM POKOK SENGKETA
DIPERIKSA, yaitu dalam hal :
• Penggugat mengajukan permohonan untuk bersengketa
dengan cuma-cuma.
• Jika gugatan kurang lengkap atau kurang jelas, Hakim wajib
mengadakan pemeriksaan persiapan dan memberi nasihat
kepada penggugat untuk melengkapi gugatan dalam jangka
waktu 30 hari. Jika dalam jangka waktu tersebut penggugat
belum menyempurnakan gugatannya, maka Hakim dapat
menyatakan dengan Putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima.
• Gugatan yang tidak diterima atau tidak beralasan, karena
ketentuan pasal 2, pasal 49 dan pasal 56.
Putusan yang dikeluarkan pada saat PEMERIKSAAN POKOK
DIMULAI, berisi 4 macam putusan :
• Gugatan ditolak.
Keputusan TUN dikuatkan dan tidak dapat diajukan
kembali
• Gugatan dikabulkan.
Membebankan kewajiban kepada badan / Pejabat TUN untuk
mencabut / menerbitkan Keputusan baru, dan/atau
pemberian ganti rugi dan rehabilitasi.
• Gugatan tidak diterima.
Setelah diperbaiki dapat diajukan kembali dalam bentuk
gugatan baru.
• Gugatan gugur.
Jika penggugat / kuasanya tidak hadir pada waktu yang telah
ditentukan 2 kali berturut-turut tanpa alasan jelas. Dapat
diajukan sekali lagi setelah membayar uang muka biaya
perkara.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 68
SYARAT FORMAL PUTUSAN
1. KEPALA PUTUSAN
• Berdasarkan pasal 4 UU No. 14 Tahun 1970, setiap putusan harus
didahului oleh kalimat : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”
• Kepala putusan ini mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya jika
tidak dicantumkan maka putusan tidak dapat dilaksanakan.
2. IDENTITAS PARA PIHAK
• Para pihak harus didengar audi alteram partem, yang berarti minimal
terdapat 2 pihak dalam suatu perkara.
• Identitas yang perlu dimuat : nama, kewarganegaraan, tempat tinggal,
dan pekerjaan. Bila tidak dimuat, dapat menyebabkan putusan batal.
3. RINGKASAN
• Berisi ringkasan gugatan dan jawaban, bila tidak putusan dapat
menjadi batal.
4. PERTIMBANGAN / KONSIDERANS
• Merupakan dasar dari putusan, agar memiliki nilai obyektif.
• Memuat alasan hakim secara lengkap dan rinci, termasuk penilaian
terhadap setiap bukti yang diajukan dan hal-hal yang terjadi selama
persidangan.
5. ALASAN HUKUM
• Pertimbangan yuridis sebagai dasar putusan yang berisi peraturan-
peraturan maupun hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
6. AMAR PUTUSAN dan BIAYA PERKARA
• Jawaban terhadap petitum (tuntutan). Biasanya, pihak yang kalah
diwajibkan embayar biaya perkara.
7. WAKTU, NAMA HAKIM, PANITERA dan keterangan lain.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 69
RAPAT
PERMUSYAWARATAN
PEMERIKSAAN
PERSIAPAN
PEMERIKSAAN PENDAHULUAN
RAPAT PERMUSYAWARATAN
1. Dilakukan sendiri oleh Ketua Pengadilan sebelum penunjukan Majelis
Hakim
2. Ketua Pengadilan dapat menetapkan bahwa gugatan yang diajukan
tidak diterima atau tidak beralasan, atas dasar bahwa :
• Pokok gugatan tidak termasuk dalam wewenang / kompetensi
PTUN, baik secara absolut maupun relatif (pasal 2 dan 49).
• Upaya administratif belum dilakukan (pasal 48).
• Syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi (pasal 56).
• Gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
• Hal yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
keputusan Badan / Pejabat TUN yang digugat.
• Tenggang waktu gugatan telah lewat.
3. Penetapan hasil Rapat Permusyawaratan diucapkan / disampaikan
kepada para pihak.
4. Jika penggugat tidak puas, ia dapat mengajukan perlawanan kepada
Pengadilan yang memeriksa, selambat-lambatnya 14 hari setelah
penetapan hasil rapat.
5. Perlawanan ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara
singkat / cepat dengan Hakim Tunggal dalam tenggang waktu tidak
lebih dari 28 hari.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 70
PEMERIKSAAN PERSIAPAN
1. Hakim yang telah ditetapkan wajib mengadakan pemeriksaan untuk
melengkapi gugatan yang kurang jelas (pasal 63). Dalam hal ini, tugas
Hakim adalah :
• Memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan /
melengkapi data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari.
• Dapat meminta penjelasan kepada Badan / Pejabat TUN yang
bersangkutan.
2. Gugatan dapat dinyatakan tidak dapat diterima bila dalam 30 hari
gugatan tidak diperbaiki.
3. Terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun gugatan
dapat diajukan kembali dengan membayar biaya perkara dan akan diberi
nomor register baru.
TERDAPAT PERSAMAAN ANTARA
RAPAT PERMUSYAWARATAN DENGAN
PEMERIKSAAN PERSIAPAN
PERLU DISEDERHANA-
KAN DENGAN CARA
DISATUKAN
ALASAN
1. Keduanya termasuk dalam Pemeriksaan Pendahuluan
2. Mempersingkat prosedur beracara demi tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 71
PEMERIKSAAN PENDAHULUAN
• Penetapan Waktu dan Tempat Sidang
• Pemanggilan para Pihak
PEMBUKAAN SIDANG
• Pernyataan “Sidang Terbuka Untuk Umum”
• Pembacaan Isi Gugatan oleh Hakim
• Pembacaan Jawaban Atas Gugatan oleh Hakim (jika sudah ada)
atau oleh Tergugat
• Penjelasan Para Pihak terhadap Gugatan dan Jawaban
PERUBAHAN ALASAN / DASAR GUGATAN DAN JAWABAN
• Tidak boleh merugikan pihak lawan
• Tidak boleh merubah / menambah pokok gugatan / petitum
• Hanya diperbolehkan sampai tingkat replik dan duplik
PEMBUKTIAN (Pemeriksaan Alat Bukti)
Musyawarah Majelis Hakim
PUTUSAN PENGADILAN
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 72
ikut sertanya pihak lain (orang / badan hukum perdata)
kedalam sengketa, baik pada waktu pemeriksaan maupun
dalam pelaksanaan putusan, baik atas prakarsa sendiri,
Hakim, maupun atas permintaan penggugat / tergugat.
1. SENDIRI
• Harus mengajukan permohonan
• Alasan : memiliki kepentingan yang akan terganggu / dirugikan jika
tidak ikut campur dalam proses pemeriksaan.
• Dapat mempertahankan haknya dalam proses tersendiri, namun
intervensi akan berjalan lebih mudah dan mencegah putusan yang
bertentangan.
• Pemohon berkedudukan sebagai pihak mandiri yang disebut
penggugat intervensi.
• Jika permohonan ditolak, tidak dapat dimintakan banding secara
tersendiri, harus bersama-sama dengan permohonan banding atas
putusan akhir dalam pokok perkara.
2. HAKIM
Atas pertimbangannya dapat memanggil Badan / Pejabat TUN atau orang
seseorang / badan perdata sebagai intervenient.
3. PIHAK BERSENGKETA
• Dimaksudkan agar pihak ketiga bergabung dan memperkuat posisi
hukum pihak yang meminta.
• Jika penggugat yang meminta, pihak ketiga tadi menjadi penggugat
II – intervensi.
• Jika tergugat yang meminta, pihak ketiga tadi menjadi tergugat II –
intervensi.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 73
Untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan
keyakinan hakim (pasal 107)
TUJUAN : menunjukkan alat-alat bukti tertentu, sehingga
memberikan kepastian bagi hakim akan adanya
fakta-fakta hukum yang disengketakan untuk
kemudian dijadikan dasar pertimbangan penetapan
putusan.
AJARAN PEMBUKTIAN BEBAS
1. Beban pembuktian dapat diwajibkan kepada para pihak, namun
hakim bersifat aktif, dalam arti dapat mencari dan menentukan
fakta sendiri.
2. Alat-alat bukti tidak perlu dibuktikan.
HAL LAIN YANG TIDAK PERLU DIBUKTIKAN
1. Tuntutan atau gugatan yang tidak dibantah
2. Hal-hal yang diketahui secara umum
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 74
2. KETERANGAN AHLI
• Pendapat orang yang diberikan dibawah sumpah dalam persidangan,
tentang hal yang diketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya.
• Dapat diberikan secara lisan atau tertulis.
3. KETERANGAN SAKSI
• Dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan
hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh sakasi sendiri.
4. PENGAKUAN PARA PIHAK
• Tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan
dapat diterima Hakim.
5. PENGETAHUAN HAKIM
• Hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
ALAT-ALAT BUKTI
1. SURAT atau TULISAN, terdiri dari 3 jenis :
• Akta Otentik : surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat yang berwenang membuat surat itu. Akta ini tidak
memerlukan pengakuan dari para pihak.
• Akta Dibawah Tangan : surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Jika salah satu pihak menyangkal /
membantah, diperlukan pengakuan dan / atau pembuktian.
• Surat-surat lain yang bukan akta.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 75
TEORI PEMBUKTIAN
Pembuktian Berdasarkan KEYAKINAN HAKIM
(conviction intime)
1. Teori ini sangat menekakan pada keyakinan hati nurani
hakim dalam memutuskan suatu perkara.
2. Hakim dapat menjatuhkan putusan tanpa didasarkan pada alat-
alat bukti lainnya.
3. Kelemahan : obyektivitas hakim diragukan ; serta sulitnya
memberikan pengawasan kepada hakim, terutama yang kurang
jujur.
Pembuktian Berdasarkan KEYAKINAN HAKIM ATAS
ALASAN YANG LOGIS (la conviction raisonnee)
1. Hakim diberi kewenangan memutus suatu perkara atas dasar
keyakinannya sampai pada batas tertentu.
2. Keyakinan hakim akan timbul setelah memeriksa bukti-bukti.
3. PTUN : untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 76
BEBERAPA PENJELASAN
AKTA OTENTIK mempunyai 3 macam Kekuatan Pembuktian :
1. Kekuatan Pembuktian Formil, menerangkan bahwa para pihak sudah
menerangkan apa yang tertulis dalam ata tersebut.
2. Kekuatan Pembuktian Materiil, menerangkan bahwa peristiwa yang
tersebut dalam akta itu benar-benar telah terjadi.
3. Kekuatan Pembuktian Keluar, dalam arti menyangkut pihak ketiga
(pejabat umum yang mengeluarkan akta).
PEMBATASAN bagi Ahli dan Saksi untuk Tidak Boleh Didengar
Kesaksiannya :
1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus keatas
atau kebawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang
bersengketa.
2. Istri atau suami salah satu pihak yang bersengketa, meskipun sudah
bercerai.
3. Belum berusia 17 tahun.
4. Sakit ingatan.
Saksi yang dapat Mengundurkan Diri :
1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-aki dan perempuan salah satu
pihak yang bersengketa
2. Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat,
pekerjaan atau jabatannya itu.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 77
PEMERIKSAAN DENGAN ACARA
LUAR BIASA
ACARA CEPAT ACARA SINGKAT
• Timbul dari permintaan penggugat karena
kepentingan yang mendesak.
• Dalam tenggang waktu 14 hari Ketua PTUN
mengeluarkan penetapan pengabulan / penolakan.
• Tidak ada upaya hukum terhadap penetapan
tersebut.
• Jika dikabulkan, dalam jangka waktu 7 hari
ditetapkan waktu dan tempat sidang, tanpa
prosedur pemeriksaan persiapan.
• Pemeriksaan dilakukan oleh Hakim Tunggal.
• Para pihak yang berperkara diberi waktu 14 hari
untuk memberikan jawaban dan pembuktian.
• Timbul karena 2 hal :
1) ada perlawanan
dan 2) terdapat
kepentingan sangat
mendesak.
• Perlawanan
merupakan reaksi atas
hasil rapat
permusyawaratan
yang berupa
penolakan.
• Prosesnya sama
dengan Acara Cepat.
ACARA CEPAT DIPERSEPSI
SAMA DENGAN ACARA
SINGKAT
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 78
PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING
1. Pemeriksaan oleh instansi tingkat kedua (pengadilan atasan = PT TUN)
yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik mengenai fakta-faktanya,
maupun penerapan hukum / UU.
2. Diminta oleh penggugat / tergugat karena tidak puas dengan putusan
akhir PTUN (tingkat pertama)
3. Prosedur yang harus dilalui :
• Pengajuan permohonan banding secara tertulis kepada PTUN yang
memutus, paling lambat 14 hari setelah putusan dikeluarkan.
• Membayar uang muka biaya perkara.
• Panitera mencatat permohonan dalam daftar perkara, selanjutnya
memberitahukan kepada terbanding.
• Para pihak dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori
banding kepada panitera PT TUN dengan salinan kepada pihak lawan
dengan perantaraan panitera PTUN.
• Salinan putusan, berita acara dan surat-surat lain yang bersangkutan
harus sudah dikirimkan kepada panitera PT TUN paling lambat 60
hari setelah permohonan banding.
4. Permohonan banding dapat dicabut selama hal itu belum diputus, dengan
konsekuensi pemohon tidak boleh mengajukan lagi.
Pemeriksaan Banding :
1. Jika putusan PTUN menyatakan tidak berwenang sedangkan PT TUN
berpendapat lain, maka PT TUN dapat bertindak :
• Memeriksa dan memutus perkaranya
• Memerintahkan PTUN memeriksa dan memutus kembali perkara
tersebut.
2. Jika PT TUN berpendapat bahwa pemeriksaan PTUN kurang lengkap,
maka PT TUN dapat bertindak :
• Sidang untuk mengadakan pemeriksaan tambahan.
• Memerintahkan PTUN melakukan pemeriksaan tambahan.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 79
PEMERIKSAAN KASASI
Pasal 30 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena :
1. Tidak berwenang atau melampaui wewenang.
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundangan.
Hanya dapat diajukan 1 kali dengan cara sbb :
1. Permohonan kasasi secara tertulis atau lisan, paling lambat 14 hari
setelah putusan PT TUN.
2. Pemohon membayar biaya pemeriksaan kasasi.
3. Panitera mendaftarkan permohonan 7 hari setelah diajukan, kemudian
memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan.
4. 14 hari setelah permohonan diajukan, pemohon wajib menyampaikan
memori kasasi yang memuat alasan-alasannya (pada umumnya mengacu
pasal 30 UU No. 14 tahun 1985). Salinannya disampaikan kepada pihak
lawan paling lambat 30 hari.
5. 30 hari setelah menerima memori kasasi, panitera PTUN mengirimkan
seluruh berkas perkara ke MA.
6. Panitera MA bertindak : a) mencatat permohonan kasasi ; b) membuat
catatan singkat tentang isinya ; c) melaporkan kepada MA.
7. MA melakukan pemeriksaan berdasarkan surat-surat (berkas), namun
jika dipandang perlu dapat dilakukan hal-hal :
• Mendengar sendiri para pihak (memeriksa sendiri perkara)
• Memerintahkan PTUN atau PT TUN untuk mendengar para pihak /
saksi (memeriksa kembali).
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 80
PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI
1. PK hanya dapat diajukan satu kali, dan permohonan diajukan kepada
Ketua MA melalui Ketua TUN
2. PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan PTUN
3. Permohonan PK dapat dicabut kembali selama belum diputus, dan jika
telah dicabut tidak dapat diajukan kembali.
4. MA memutus permohonan PK untuk tingkat pertama dan terakhir.
5. Permohonan PK harus menyebtkan alasan-alasan yang jelas.
6. MA tidak berwenang mengadakan pemeriksaan tambahan.
7. Tenggang waktu pengajuan PK adalah 180 hari.
ALASAN PENGAJUAN PK
1. Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus.
2. Ditemukan surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu
diperiksa tidak dapat ditemukan.
3. Apabila telah dikabulkan oleh PT TUN sesuatu hal yang tidak dituntut
atau lebih dari yang dituntut.
4. Apabila suatu bagian dari tuntutan belum diputus oleh PT TUN tanpa
mempertimbangkan sebab-sebab / alasannya.
5. Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan Hakim.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 81
KUIS / KASUS
Berikut ini adalah contoh bentuk dan atau isi Keputusan Badan / Pejabat
TUN tentang perintah pembongkaran:
Alternatif I:
Yang tersebut namanya dalam daftar lampiran ini diperintahkan untuk
membongkar bangunan yang terletak di jalan ……. nomor …….. kota
…... Pelaksanaan pembongkaran selambat-lambatnya tanggal ……….
Alternatif II:
Semua bangunan yang terletak di sepanjang jalan ……. kota …...
diberi batas waktu pembongkaran selambat-lambatnya tanggal ………
Pertanyaan:
• Bentuk dan atau isi Keputusan mana yang dapat digugat kedepan
PTUN ?
• Apa alasannya ?
• Apa kaitannya dengan kompetensi PTUN ?
ν
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 82
RECHTSTAAT RULE OF LAW
Jaminan Hak-Hak Asasi Manusia Supremasi Aturan Hukum (supremacy of
law) Dan Tidak Ada Kekuasaan Yang
Sewenang-Wenang (absence of arbitrary
power)
Pemisahan Atau Pembagian Kekuasaan
Pemerintahan Berdasarkan Peraturan
Kedudukan Yang Sama Di Depan Hukum
(equality before the law)
Peradilan Administrasi Dalam
Perselisihan
Jaminan Hak-Hak Asasi Manusia
Dalam konteks pembatasan kekuasaan pemerintahan melalui sistem
konstitusional, sejak abad 19 dan permulaan abad 20 telah menjadi
pemikiran para ahli. Ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant
dan Friederich Julius Stahl menggunakan istilah rechtstaat, sedangkan ahli
hukum Anglo Saxon seperti AV. Dicey memakai istilah rule of law.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 83
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Adamolekun, Ladipo dan Coralie Bryant, 1996, Governance Progress
Report : The Africa Region Experience; Capacity Building and
Implementation Division Study Paper, Africa Technical Paper
(Washington DC: World Bank).
Ali, Faried, 1996, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif
Indonesia, Jakarta : Rajawali
Bautigam, Deborah, 1991, Governance and Economy: A Review; Policy
Research Working Papers, (Washington DC: World Bank)
Bhatta, Gambhir, 1996, Capacity Building At The Local Level For Effective
Governance: Empowerment Without Capacity Is Meaningless;
Paper presented in The International Conference On Governance
Innovation: Building the Government - Citizen - Business
Partnership; October 20-23 , Manila, Philippines
Gie, The Liang, 1987, Materi Pokok Etika Administrasi Pemerintahan,
Modul Universitas Terbuka, Jakarta : Karunika
Hadjon, Philipus M., et.al., 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction to the Indonesia Administrative Law), Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Jilid 1 dan 2, Jakarta : Sinar Harapan
LAN RI, 1996, Sistem Administrasi Negara RI, Jilid II, Jakarta : Haji
Masagung
Marbun, S.F., Dan Moh. Mahfud, MD., 1987, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, Yogyakarta : Liberty.
Marbun, S.F., 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta : Liberty.
Situmorang, Victor, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara,
Jakarta : Bina Aksara.
Wahyono, Padmo, et.al., 1989, Pejabat Sebagai Calon Tergugat dalam
Peradian Tata Usaha Negara, Jilid I dan II, Jakarta : Sri Rahayu.
“Hukum Tata Pemerintahan”
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 84
Peraturan Perundangan:
UUD 1945
UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Pemerintahan yang Bersih
dan Bebas dari KKN

More Related Content

What's hot

Modul 3 mengenal ilmu pemerintahan
Modul 3 mengenal ilmu pemerintahanModul 3 mengenal ilmu pemerintahan
Modul 3 mengenal ilmu pemerintahanSri Suwanti
 
Etika Administrasi Publik
Etika Administrasi PublikEtika Administrasi Publik
Etika Administrasi PublikSiti Sahati
 
Sistem pemerintahan desa revisi
Sistem pemerintahan desa revisiSistem pemerintahan desa revisi
Sistem pemerintahan desa revisiari saridjo
 
AKTOR DALAM GOOD GOVERNANCE SERTA PERANNYA
AKTOR DALAM GOOD GOVERNANCE SERTA PERANNYAAKTOR DALAM GOOD GOVERNANCE SERTA PERANNYA
AKTOR DALAM GOOD GOVERNANCE SERTA PERANNYAFajar Dolly
 
LANDASAN SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LANDASAN SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIALANDASAN SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LANDASAN SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIASiti Sahati
 
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politik
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politikKekuasaan, kewenangan dan legitimasi politik
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politikWandi Suhardi
 
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu PolitikHubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu PolitikShelly Selviana
 
Sistem & sistem politik menurut david easton
Sistem & sistem politik menurut david eastonSistem & sistem politik menurut david easton
Sistem & sistem politik menurut david eastondinnianggra
 
SRI SUWANTI - PERBANDINGAN PEMERINTAHAN
SRI SUWANTI - PERBANDINGAN PEMERINTAHAN SRI SUWANTI - PERBANDINGAN PEMERINTAHAN
SRI SUWANTI - PERBANDINGAN PEMERINTAHAN Sri Suwanti
 
PPT Sistem Pemerintahan Indonesia
PPT Sistem Pemerintahan IndonesiaPPT Sistem Pemerintahan Indonesia
PPT Sistem Pemerintahan Indonesiaworodyah
 
SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)
SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)
SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)Tri Widodo W. UTOMO
 
Etika Administrasi Negara
Etika Administrasi NegaraEtika Administrasi Negara
Etika Administrasi NegaraSiti Sahati
 
Sistem Politik Indonesia: Sebuah Pengantar
Sistem Politik Indonesia: Sebuah Pengantar Sistem Politik Indonesia: Sebuah Pengantar
Sistem Politik Indonesia: Sebuah Pengantar Tri Widodo W. UTOMO
 
SISTEM ADMINISTRASI NEGARA
SISTEM ADMINISTRASI NEGARASISTEM ADMINISTRASI NEGARA
SISTEM ADMINISTRASI NEGARAPLUR
 
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Ian Setiawan
 
Debirokrasi dan Deregulasi
Debirokrasi dan DeregulasiDebirokrasi dan Deregulasi
Debirokrasi dan DeregulasiGrahat Nagara
 

What's hot (20)

Modul 3 mengenal ilmu pemerintahan
Modul 3 mengenal ilmu pemerintahanModul 3 mengenal ilmu pemerintahan
Modul 3 mengenal ilmu pemerintahan
 
Etika Administrasi Publik
Etika Administrasi PublikEtika Administrasi Publik
Etika Administrasi Publik
 
Sistem pemerintahan desa revisi
Sistem pemerintahan desa revisiSistem pemerintahan desa revisi
Sistem pemerintahan desa revisi
 
Analisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publikAnalisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publik
 
AKTOR DALAM GOOD GOVERNANCE SERTA PERANNYA
AKTOR DALAM GOOD GOVERNANCE SERTA PERANNYAAKTOR DALAM GOOD GOVERNANCE SERTA PERANNYA
AKTOR DALAM GOOD GOVERNANCE SERTA PERANNYA
 
LANDASAN SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LANDASAN SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIALANDASAN SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
LANDASAN SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA
 
Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi NegaraHukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara
 
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politik
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politikKekuasaan, kewenangan dan legitimasi politik
Kekuasaan, kewenangan dan legitimasi politik
 
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu PolitikHubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik
 
Sistem & sistem politik menurut david easton
Sistem & sistem politik menurut david eastonSistem & sistem politik menurut david easton
Sistem & sistem politik menurut david easton
 
SRI SUWANTI - PERBANDINGAN PEMERINTAHAN
SRI SUWANTI - PERBANDINGAN PEMERINTAHAN SRI SUWANTI - PERBANDINGAN PEMERINTAHAN
SRI SUWANTI - PERBANDINGAN PEMERINTAHAN
 
Materi Kebijakan publik
Materi Kebijakan publikMateri Kebijakan publik
Materi Kebijakan publik
 
PPT Sistem Pemerintahan Indonesia
PPT Sistem Pemerintahan IndonesiaPPT Sistem Pemerintahan Indonesia
PPT Sistem Pemerintahan Indonesia
 
SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)
SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)
SANKRI (Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI)
 
Etika Administrasi Negara
Etika Administrasi NegaraEtika Administrasi Negara
Etika Administrasi Negara
 
Sistem Politik Indonesia: Sebuah Pengantar
Sistem Politik Indonesia: Sebuah Pengantar Sistem Politik Indonesia: Sebuah Pengantar
Sistem Politik Indonesia: Sebuah Pengantar
 
Sistem perwakilan
Sistem perwakilanSistem perwakilan
Sistem perwakilan
 
SISTEM ADMINISTRASI NEGARA
SISTEM ADMINISTRASI NEGARASISTEM ADMINISTRASI NEGARA
SISTEM ADMINISTRASI NEGARA
 
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
Pengertian perbandingan administrasi negara dan ilmu perbandingan administras...
 
Debirokrasi dan Deregulasi
Debirokrasi dan DeregulasiDebirokrasi dan Deregulasi
Debirokrasi dan Deregulasi
 

Similar to HUKUM TATA PEMERINTAHAN

Etika dan Hukum Administrasi Publik
Etika dan Hukum Administrasi PublikEtika dan Hukum Administrasi Publik
Etika dan Hukum Administrasi PublikTri Widodo W. UTOMO
 
Pancasila sebagai etika politik
Pancasila sebagai etika politikPancasila sebagai etika politik
Pancasila sebagai etika politikSyifa Syifa
 
Shb makalah (etika dan sistem etika)
Shb makalah (etika dan sistem etika)Shb makalah (etika dan sistem etika)
Shb makalah (etika dan sistem etika)Yabniel Lit Jingga
 
siskom etika-profesi
siskom etika-profesisiskom etika-profesi
siskom etika-profesihilma_alley
 
55118120067_SAMROTUL JANIAH_BE&GG
55118120067_SAMROTUL JANIAH_BE&GG55118120067_SAMROTUL JANIAH_BE&GG
55118120067_SAMROTUL JANIAH_BE&GGsamrotulzaniah
 
TUGAS ETIKA PROF WASPODO.pptx
TUGAS ETIKA PROF WASPODO.pptxTUGAS ETIKA PROF WASPODO.pptx
TUGAS ETIKA PROF WASPODO.pptxadi setianegara
 
PENGANTAR BIOETIK.pptx
PENGANTAR BIOETIK.pptxPENGANTAR BIOETIK.pptx
PENGANTAR BIOETIK.pptxRestu48
 
Prinsip etika etikolegal kebidanan
Prinsip etika etikolegal kebidananPrinsip etika etikolegal kebidanan
Prinsip etika etikolegal kebidananaulia rahmah
 
PANCASILA (makalah pancasila sebagai etika politik)
PANCASILA (makalah pancasila sebagai etika politik) PANCASILA (makalah pancasila sebagai etika politik)
PANCASILA (makalah pancasila sebagai etika politik) tita_chubie
 
147b2 bab-vi-manusia,-nilai-moral-dan-hukum
147b2 bab-vi-manusia,-nilai-moral-dan-hukum147b2 bab-vi-manusia,-nilai-moral-dan-hukum
147b2 bab-vi-manusia,-nilai-moral-dan-hukumtasinit
 
FILSAFAT YOVIE
FILSAFAT YOVIEFILSAFAT YOVIE
FILSAFAT YOVIEyoovie
 
Be & gg, david oktario s, hapzi ali, implementasi philosophical ethics and bu...
Be & gg, david oktario s, hapzi ali, implementasi philosophical ethics and bu...Be & gg, david oktario s, hapzi ali, implementasi philosophical ethics and bu...
Be & gg, david oktario s, hapzi ali, implementasi philosophical ethics and bu...DavidOktarioSidharta
 
Professional ethics versi melayu
Professional ethics   versi melayuProfessional ethics   versi melayu
Professional ethics versi melayuSiti Zuraida Nasal
 
kupdf.net_pedoman-dilema-etik.pdf
kupdf.net_pedoman-dilema-etik.pdfkupdf.net_pedoman-dilema-etik.pdf
kupdf.net_pedoman-dilema-etik.pdfNurbaitiskep
 

Similar to HUKUM TATA PEMERINTAHAN (20)

Etika dan Hukum Administrasi Publik
Etika dan Hukum Administrasi PublikEtika dan Hukum Administrasi Publik
Etika dan Hukum Administrasi Publik
 
Diktat etika lagi
Diktat etika lagiDiktat etika lagi
Diktat etika lagi
 
Etika profes1
Etika profes1Etika profes1
Etika profes1
 
etika profesi d4 2019.pdf
etika profesi d4 2019.pdfetika profesi d4 2019.pdf
etika profesi d4 2019.pdf
 
Pancasila sebagai etika politik
Pancasila sebagai etika politikPancasila sebagai etika politik
Pancasila sebagai etika politik
 
Shb makalah (etika dan sistem etika)
Shb makalah (etika dan sistem etika)Shb makalah (etika dan sistem etika)
Shb makalah (etika dan sistem etika)
 
siskom etika-profesi
siskom etika-profesisiskom etika-profesi
siskom etika-profesi
 
55118120067_SAMROTUL JANIAH_BE&GG
55118120067_SAMROTUL JANIAH_BE&GG55118120067_SAMROTUL JANIAH_BE&GG
55118120067_SAMROTUL JANIAH_BE&GG
 
TUGAS ETIKA PROF WASPODO.pptx
TUGAS ETIKA PROF WASPODO.pptxTUGAS ETIKA PROF WASPODO.pptx
TUGAS ETIKA PROF WASPODO.pptx
 
PENGANTAR BIOETIK.pptx
PENGANTAR BIOETIK.pptxPENGANTAR BIOETIK.pptx
PENGANTAR BIOETIK.pptx
 
Prinsip etika etikolegal kebidanan
Prinsip etika etikolegal kebidananPrinsip etika etikolegal kebidanan
Prinsip etika etikolegal kebidanan
 
3 a teori etika
3 a  teori etika3 a  teori etika
3 a teori etika
 
3 a teori etika
3 a  teori etika3 a  teori etika
3 a teori etika
 
PANCASILA (makalah pancasila sebagai etika politik)
PANCASILA (makalah pancasila sebagai etika politik) PANCASILA (makalah pancasila sebagai etika politik)
PANCASILA (makalah pancasila sebagai etika politik)
 
Teori teori etika bisnis
Teori teori etika bisnis Teori teori etika bisnis
Teori teori etika bisnis
 
147b2 bab-vi-manusia,-nilai-moral-dan-hukum
147b2 bab-vi-manusia,-nilai-moral-dan-hukum147b2 bab-vi-manusia,-nilai-moral-dan-hukum
147b2 bab-vi-manusia,-nilai-moral-dan-hukum
 
FILSAFAT YOVIE
FILSAFAT YOVIEFILSAFAT YOVIE
FILSAFAT YOVIE
 
Be & gg, david oktario s, hapzi ali, implementasi philosophical ethics and bu...
Be & gg, david oktario s, hapzi ali, implementasi philosophical ethics and bu...Be & gg, david oktario s, hapzi ali, implementasi philosophical ethics and bu...
Be & gg, david oktario s, hapzi ali, implementasi philosophical ethics and bu...
 
Professional ethics versi melayu
Professional ethics   versi melayuProfessional ethics   versi melayu
Professional ethics versi melayu
 
kupdf.net_pedoman-dilema-etik.pdf
kupdf.net_pedoman-dilema-etik.pdfkupdf.net_pedoman-dilema-etik.pdf
kupdf.net_pedoman-dilema-etik.pdf
 

More from Tri Widodo W. UTOMO

Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian KesehatanBeyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian KesehatanTri Widodo W. UTOMO
 
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanStrategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanTri Widodo W. UTOMO
 
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiInovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTransformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTri Widodo W. UTOMO
 
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluStrategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluTri Widodo W. UTOMO
 
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNPengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNTri Widodo W. UTOMO
 
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTri Widodo W. UTOMO
 
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikManajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikTri Widodo W. UTOMO
 
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarProspek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarTri Widodo W. UTOMO
 
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightGamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightTri Widodo W. UTOMO
 
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahSignifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahTri Widodo W. UTOMO
 
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaPeta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaTri Widodo W. UTOMO
 
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiKab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiTri Widodo W. UTOMO
 
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanPerumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Recharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangRecharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTransformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTransformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTri Widodo W. UTOMO
 
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaKorpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaTri Widodo W. UTOMO
 
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakInovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakTri Widodo W. UTOMO
 

More from Tri Widodo W. UTOMO (20)

Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian KesehatanBeyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
 
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanStrategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
 
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiInovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
 
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTransformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
 
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
 
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluStrategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
 
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNPengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
 
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
 
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikManajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
 
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarProspek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
 
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightGamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
 
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahSignifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
 
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaPeta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
 
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiKab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
 
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanPerumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
 
Recharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangRecharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang Panjang
 
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTransformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
 
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTransformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
 
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaKorpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
 
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakInovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
 

Recently uploaded

Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggeraksupriadi611
 
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarantugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarankeicapmaniez
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfCandraMegawati
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxIgitNuryana13
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDmawan5982
 
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatArfiGraphy
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikaAtiAnggiSupriyati
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxIrfanAudah1
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxsukmakarim1998
 
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxsdn3jatiblora
 
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxLK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxPurmiasih
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5ssuserd52993
 

Recently uploaded (20)

Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru PenggerakAksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
Aksi Nyata Modul 1.1 Calon Guru Penggerak
 
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajarantugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
tugas karya ilmiah 1 universitas terbuka pembelajaran
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
 
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptxPaparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
Paparan Refleksi Lokakarya program sekolah penggerak.pptx
 
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SDtugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
tugas 1 tutorial online anak berkebutuhan khusus di SD
 
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajatLatihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
Latihan Soal bahasa Indonesia untuk anak sekolah sekelas SMP atau pun sederajat
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptxRefleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
Refleksi Mandiri Modul 1.3 - KANVAS BAGJA.pptx.pptx
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
 
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
 
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docxLK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
LK.01._LK_Peta_Pikir modul 1.3_Kel1_NURYANTI_101.docx
 
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
JAWAPAN BAB 1 DAN BAB 2 SAINS TINGKATAN 5
 

HUKUM TATA PEMERINTAHAN

  • 1. HUKUM TATA PEMERINTAHAN Oleh: Tri Widodo W. Utomo, SH Tri Widodo W. Utomo, SH Tri Widodo W. Utomo, SH Tri Widodo W. Utomo, SH., MA ., MA ., MA ., MA PROGRAM STUDI S-1 PIN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA, 2007
  • 2. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 1 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ………………………………………………………… 1 Deskripsi Singkat, TIU, dan TIK Mata Kuliah HAN / HTP ................. 3 BAGIAN I : ETIKA ADMINISTRASI PEMERINTAHAN …….. 4 Pengertian …………………………………………………… 5 Sumber (Proses Pembentukan) dan Implementasi Etika ……. 6 Aliran Dalam Etika …………………………………………. 7 Arti Penting Etika Bagi Administrasi Negara / Pemerintahan . 8 BAGIAN II : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA / HUKUM TATA PEMERINTAHAN …………………...................... 17 Pengertian ………………………………………………….. 18 Batasan HAN / HAP / HTP …………………………………. 20 Polemik HTN – HAP ……………………………………….. 21 Sumber HAN / HAP / HTP ………………………………… 22 Perbuatan Pemerintah ……………………………………….. 23 Keputusan / Penetapan dan Peraturan ………………………. 24 Macam Keputusan ………………………………………….. 25 Keputusan Menurut UU Nomor 5 tahun 1986 ……………… 26 Ada 3 Macam Ketidakwenangan (onbevoegheid) ………….. 28 Bentuk Cacat / Kekurangan Yuridis ………………………… 29 Kasus / Kuis …………………………………………………. 30 BAGIAN III : AKTUALISASI ETIKA BAGI ADMINISTRASI PUBLIK …………………………………………………… 31 Sistem Pemerintahan Negara ………………………………. 32 HAN / HTP Tertulis ............................................................... 35 Perkembangan Tugas / Peranan Pemerintah ……………….. 36 Implikasi Freies Ermessen …………………………………. 39 Kewenangan Bertindak Secara Bebas ……………………… 40 Asas-Asas HAP ……………………………………………… 41
  • 3. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 2 Asas-Asas Lainnya ………………………………………….. 48 Perbandingan Asas Pemerintahan yang Baik ……………….. 49 Menuju Terwujudnya Good Government …………………… 50 BAGIAN IV : PERADILAN TATA USAHA NEGARA ………… 51 Sejarah ……………………………………………………… 54 Beberapa Pengertian …………………………………………. 56 Kompetensi PTUN ………………………………………….. 57 Keputusan …………………………………………………… 58 Gugatan ……………………………………………………… 60 Bagan Alur Perkara Melalui PTUN …………………………. 61 Tenggang Waktu Gugatan ………………………………….. 62 Biaya Perkara ………………………………………………. 64 Putusan Pengadilan ………………………………………….. 65 Putusan PTUN ………………………………………………. 66 Syarat Formal Putusan ……………………………………… 67 Pemeriksaan Pendahuluan ………………………………….. 68 Intervensi ……………………………………………………. 71 Pembuktian ………………………………………………….. 72 Alat-Alat Bukti ………………………………………………. 73 Teori Pembuktian …………………………………………… 74 Pemeriksaan Dengan Acara Luar Biasa …………………….. 76 Pemeriksaan Tingkat Banding ………………………………. 77 Pemeriksaan Kasasi …………………………………………. 78 Pemeriksaan Peninjauan Kembali ………………………….. 79 Kasus / Kuis ………………………………………………… 80 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 82
  • 4. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 3  Deskripsi Singkat: Mata Pelajaran ini bertujuan untuk memberikan kemampuan peserta dalam memahami Hukum Administrasi Negara (HAN), atau Hukum Administrasi Publik (HAP), atau Hukum Tata Pemerintahan (HTP), yang mencakup asas-asas umum administrasi negara, hukum tentang organisasi dan kegiatan administrasi negara, kekuatan hukum, serta sumber-sumber HAN / HAP / HTP.  Tujuan Instruksional Umum (TIU): Setelah mengikuti mata pelajaran ini, para peserta diharapkan mampu menjelaskan konsep HAN / HAP / HTP yang menyangkut asas-asas dan lingkup HAN / HAP / HTP, tindakan HAN / HAP / HTP baik pejabat ataupun organisasinya serta penerapan dan permasalahannya dalam praktek.  Tujuan Instruksional Khusus (TIK): Setelah mengikuti mata pelajaran ini, para peserta diharapkan mampu: 1. Menjelaskan Batasan dan Lingkup HAN / HAP / HTP. 2. Menjelaskan Asas-asas HAN / HAP / HTP. 3. Menjelaskan Tindakan Hukum dan Kekuatan Hukum HAN. 4. Menjelaskan Organisasi dan Pejabat serta Obyek Hukumnya. 5. Memecahkan Masalah-masalah yang timbul pada bidang HAN.
  • 5. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 4 BAGIAN I ETIKA ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
  • 6. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 5 PENGERTIAN ETIKA Dalam Ensiklopedi Indonesia, Etika disebut sebagai “Ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana PATUTnya manusia hidup dalam masyarakat ; apa yang BAIK dan apa yang BURUK”. Sedangkan secara etimologis, Etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti KEBIASAAN atau WATAK. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah Etika selalu berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan atau watak yang BAIK maupun kebiasaan atau watak BURUK. Watak baik yang termanifestasikan dalam kelakuan baik, sering dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau sepatutnya. Sedangkan watak buruk yang termanifestasikan dalam kelakuan buruk, sering dikatakan sebagai sesuatu yang tidak patut patut atau tidak sepatutnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah Etika sering dipersamakan atau dipergunakan secara bergantian dengan istilah Moral, Norma dan Etiket. Beberapa pakar / kalangan tidak membedakannya secara prinsip, sedangkan sebagian lain memberikan pembedaan-pembedaan sebagai berikut : 1. Prof. Judistira K. Garna, (Materi Kuliah Etika Kebijakan Publik, LAN- UNPAD, 1997) dan Wahyudi Kumorotomo (Etika Administrasi Negara, Rajawali, 1994 : 9) Moral menyatakan tindakan / perbuatan lahiriah seseorang, atau daya dorong internal untuk mengarah kepada perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk. Sedangkan Etika tidak hanya menyangkut tindakan lahiriah, tetapi juga nilai mengapa dia bertindak demikian. Etika tumbuh dari pengetahuan seseorang yang diberi makna kesepakatan sosial, dan dijadikan acuan / tolok ukur moralitas masyarakat. 2. Robert C. Solomon (Etika : Suatu Pengantar, Erlangga : 1987 : 2-18) Moral menekankan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang khusus (misalnya rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa), diluar ketaatan pada peraturan. Sedangkan Etika berkenaan dengan dua hal : 1) disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut manusia beserta pembenarannya, dan 2) hukum yang mengatur tingkah laku manusia.
  • 7. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 6 3. William K. Frankena dalam Kumorotomo (1994 : 7) Etika mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis. Moralitas merupakan instrumen kemasyarakatan yang berfungsi sebagai penuntun tindakan (action guide) untuk segala pola tingkah laku yang disebut bermoral. Dengan demikian, moralitas akan serupa dengan hukum disatu pihak dan dengan etiket dipihak lain. Bedanya dengan etiket, moralitas memiliki pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang ‘kebenaran’ dan ‘keharusan’. Disamping itu, moralitas juga dapat dibedakan dengan hukum, sebab ia tidak dapat diubah melalui tindakan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Demikian pula sanksi dalam moralitas tidak melinatkan paksaan fisik atau ancaman, melainkan lebih bersifat internal misalnya berwujud rasa bersalah, malu, dan sejenisnya. SUMBER (PROSES PEMBENTUKAN) & IMPLEMENTASI ETIKA Munculnya Etika sebagai suatu pedoman bertingkah laku dapat terbentuk dalam dua macam proses, yaitu : 1. Secara alamiah terbentuk dari dalam (internal) diri manusia karena pemahaman dan keyakinan terhadap suatu nilai-nilai tertentu (khususnya agama / religi). 2. Diciptakan oleh aturan-aturan eksternal yang disepakati secara kolektif, misalnya sumpah jabatan, disiplin, dan sebagainya. Sumpah jabatan dan peraturan disiplin PNS, pada gilirannya akan membentuk etika birokrasi. Sedangkan kasus Singapura menunjukkan bahwa etika berdisiplin (antri, membuang sampah) dibentuk oleh denda yang sangat besar bagi pelanggarnya. Sementara itu, implementasi Etika sebagai suatu pedoman bertingkah laku juga dapat dikelompokkan menjadi dua aspek, yakni internal (kedalam) dan eksternal (keluar). Dari aspek ‘kedalam’, seseorang akan selalu bertingkah laku baik meskipun tidak ada orang lain disekitarnya. Dalam hal ini, etika lebih dimaknakan sebagai moral. Sedangkan dalam aspek ‘keluar’, implementasi Etika akan berbentuk sikap / perbuatan / perilaku yang baik dalam kaitan interaksi dengan orang / pihak lain.
  • 8. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 7 ALIRAN DALAM ETIKA 1. Teologisme Prinsip atau asas etika menurut aliran ini, sesuatu yang baik, susila atau etik, adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dan sebaliknya. 2. Naturalisme Perbuatan yang dianggap baik adalah yang sesuai dengan hukum alam. 3. Hedonisme (Hedone = perasaan akan kesenangan) Perbuatan yang dianggap baik adalah yang mendatangkan kesenangan, kenikmatan atau rasa puas kepada manusia. Sempalan dari ajaran ini adalah aliran Materialisme yang mengajarkan bahwa alat pokok untuk memenuhi kepuasan manusia adalah materi. 4. Eudaemonisme (Eudaemonismos = bahagia) Perbuatan yang dianggap baik adalah yang mendatangkan kebahagiaan kepada manusia. Bedanya dengan hedonisme, kebahagiaan lebih bersifat kejiwaan. Dengan kata lain, kebahagiaan merupakan kebaikan tertinggi (prima facie). Sempalan dari ajaran ini adalah aliran Stoisisme yang mengemukakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia harus menggunakan akal pikirannya ; bukan mencari “kebijaksanaan” dengan cara menyendiri atau mengendapkan perasaan seperti seorang pengecut. 5. Utilitarianisme Perbuatan yang dianggap baik secara susila ialah “guna / manfaat”. Penganjut utamanya adalah Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa the greatest happiness of the greatest number, dan John Stuart Mill. Sempalan dari ajaran ini antara lain adalah aliran pragmatisme, empirisme, positivisme, dan neo positivisme (scientisme). 6. Vitalistis Norma perbuatan baik adalah yang mempunyai kekuatan paling besar. Jadi, orang / kelompok yang paling kuat dan dapat menguasai orang / kelompok lain dianggap sebagai orang / kelompok yang baik. Atau menurut Nietzsche, perilaku yang baik adalah yang menambah daya hidup, sedangkan perilaku yang buruk adalah yang merusak daya hidup.
  • 9. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 8 7. Idealisme Pusat pengertian aliran ini ialah kebebasan atau penghormatan kepada pribadi manusia. Ajaran ini terdiri dari 3 komponen, yaitu idealisme rasionalistik (akal pikiran sebagai penuntun tingkah laku), idealisme estetik (kehidupan manusia dilihat dari perspektif karya seni), dan idealisme etik (menentukan ukuran moral dan kesusilaan terhadap kehidupan manusia). Poedjawijatna Bayu Surianingrat H. De Vos Wahyudi Kumorotomo Religiosisme Teologisme - - Hedonisme Hedonistis Hedonisme Hedonisme - Eudaemonisme Eudemonisme Eudaemonisme Utilitarisme Utilistis Utilisme Utilitarianisme Vitalisme Vitalistis Vitalisme - - Naturalistis - Naturalisme - Idealistis Idealisme Idealisme Sosialisme - Marxisme - Humanisme - Stoisisme Individualisme ARTI PENTING ETIKA BAGI ADMINISTRASI PUBLIK Sebagaimana diketahui, Birokrasi atau Administrasi Publik memiliki kewenangan bebas untuk bertindak (discretionary power atau freies ermessen) dalam rangka memberikan pelayanan umum (public service) serta menciptakan kesejahteraan masyarakat (bestuurzorg). Untuk itu, kepada birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik (public policy). Perumusan (formulation) dan penerapan (implementation) kebijakan publik ini harus dilakukan sebaik mungkin, sebab suatu kebijakan pemerintah tidak
  • 10. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 9 hanya mengandung konsekuensi yuridis semata, tetapi juga konsekuensi etis atau moral. Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan) atau larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek dampak dan / atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Beberapa contoh konkrit kebijakan yang tidak populer dimata masyarakat adalah : pembangunan waduk, pengurangan / penghapusan subsidi BBM / TDL, peningkatan tunjangan struktural pejabat tinggi, pembentukan lembaga-lembaga ekstra struktural yang membebani anggaran, dan sebagainya. Dikaitkan dengan definisi etika sebagaimana disebutkan diatas, maka suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai BENAR – SALAH, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai BAIK – BURUK. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum tentu baik secara moral dan etis. Sebagai contoh dapat ditunjukkan kasus- kasus sebagai berikut : 1. Kasus perijinan HPH. Secara yuridis, penebangan hutan secara besar- besaran dengan alasan untuk menghasilkan devisa dapat dibenarkan karena perusahaan yang bersangkutan telah memiliki ijin yang legal. Namun secara etis tindakan tersebut sangat tidak dibenarkan (dan karenanya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan baik), sebab menimbulkan kerusakan alam yang sangat hebat serta menggusur kepentingan penduduk asli. 2. Kasus Korupsi. Dengan menggunakan pendekatan yuridis, setiap pertanggungjawaban keuangan yang dapat dibuktikan secara formal tidak dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana korupsi, meskipun secara materiil tindak pidana tersebut telah terjadi. Konkritnya, jika pembangunan suatu mega proyek secara riil menghabiskan biaya 10 trilyun, tetapi dalam kuitansi maupun nota-nota keuangan lainnya tercantum 15 trilyun, maka sesungguhnya telah terjadi korupsi sebesar 5 trilyun, meskipun secara hukum tidak terjadi. Tindakan
  • 11. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 10 memanipulasi angka ini jelas tidak etis dan tidak bermoral. Itulah sebabnya kemudian muncul anekdot bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat korupsi terbesar di dunia, namun dengan jumlah koruptor terkecil di dunia. Mengingat kelemahan dalam pendekatan yuridis yang selama ini diterapkan, maka perlu dikembangkan pendekatan baru dalam perumusan kebijakan publik, yakni pendekatan etika / moral. Konsekuensi dari pendekatan baru ini adalah bahwa suatu kebijakan publik harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Keterikatannya untuk menjamin terselenggaranya kepentingan / kesejahteraan rakyat banyak. 2. Keterikatannya dengan upaya untuk memajukan daerah / tanah air dimana kebijakan tersebut dirumuskan. Gambaran diatas mengindikasikan bahwa sempurnanya suatu tugas atau fungsi aparatur pemerintah (baik individu maupun organisasi) ditentukan oleh tingkat profesionalisme dan kualifikasi manusia pendukungnya. Namun, kemampuan teknis (skill) dan keluasan wawasan (knowledge) saja belum cukup memadai untuk menumbuhkan kepercayaan dan rasa kepuasan dihati masyarakat. Mau tidak mau, birokrasi mestilah memiliki pula moral, etika maupun sikap dan perilaku yang terpuji dan patut di contoh (attitude). Adapun perilaku birokrasi atau pejabat publik, paling tidak dibentuk oleh 5 (lima) norma, yaitu norma jabatan, norma sosial, norma profesi, norma keluarga, serta norma-norma lainnya (hukum, kesopanan, kesusilaan). Norma atau etika jabatan mempelajari perbuatan pegawai negeri yang memegang jabatan tertentu dan berwenang untuk berbuat atau bertindak dalam kedudukannya sebagai unsur pemerintah (Bayu Suryaningrat, 1984 : 94). Norma sosial adalah seperangkat kaidah atau nilai-nilai yang harus ditaati oleh seorang pejabat sebagai anggota suatu komunitas sosial. Norma profesi adalah peraturan-peraturan baku yang diperuntukkan bagi anggota suatu organisasi profesi dalam rangka berinteraksi dengan anggota interrn organisasi maupun antar organisasi. Sedangkan norma keluarga merupakan suatu kondisi mental seseorang untuk menjunjung tinggi martabat dan kehormatan keluarga.
  • 12. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 11 Keseluruhan norma diatas harus benar-benar dipahami oleh aparatur pemerintah, dengan tidak memberikan bobot yang lebih dominan kepada salah satunya. Manakala terdapat keseimbangan antar norma-norma tersebut, diharapkan praktek pelayanan publik-pun tidak akan bersifat pilih kasih atau pandang bulu. Semua lapisan masyarakat membutuhkan pelayanan birokrasi (public service), tetapi yang lebih dibutuhkan adalah sikap keadilan (equity) dari para birokrat. Political will pemerintah untuk menciptakan sosok birokrasi yang memiliki perilaku terpuji ini sebenarnya telah dilaksanakan secara sistematis, seperti terlihat pada upaya implementasi Sapta Prasetya KORPRI, penegakan peraturan disiplin pegawai (PP Nomor 30 tahun 1980), pemberian Santi Aji secara berkesinambungan dan sebagainya. Hanya saja, dalam implementasi di lapangan masih sering ditemui oknum-oknum yang melanggar kode etik PNS yang justru mengakibatkan rusaknya kredibilitas dan akuntabilitas aparat dimata masyarakat. Inilah tantangan berat bagi pemerintah dari struktur teratas sampai dengan struktur terendah, yang harus segera diperbaiki pada masa-masa mendatang. Secara skematis, pengaruh berbagai norma yang membentuk kepribadian seorang pejabat publik dalam fungsi pelayanan, dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
  • 13. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 12 PENGARUH BERBAGAI NORMA YANG MEMBENTUK KEPRIBADIAN SEORANG PEJABAT PUBLIK DALAM FUNGSI PELAYANAN NORMA JABATAN NORMA SOSIAL NORMA PROFESI NORMA KELUARGA NORMA LAIN INDIVIDU PEJABAT PUBLIK PELAYANAN PUBLIK KESEIMBANGAN SIKAP DAN PERILAKU BIROKRASI
  • 14. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 13 Ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana PATUTnya manusia hidup dalam masyarakat ; apa yang BAIK dan apa yang BURUK. (Ensiklopedi Indonesia) • Menyatakan perbuatan lahiriah seseorang, atau daya dorong internal untuk mengarah kepada perbuatan baik dan sebaliknya. • Menekankan kepada karakter dan sifat individu yang khusus (rasa kasih, murah hati, jiwa besar), diluar ketaatan pada peraturan. • Instrumen kemasyarakatan yang berfungsi sebagai penuntun tindakan (action guide) untuk segala pola tingkah laku yang disebut bermoral. Dengan demikian, moralitas serupa dengan hukum disatu pihak dan dengan etiket dipihak lain. • Tidak hanya menyangkut tindakan lahiriah, tetapi juga nilai mengapa dia bertindak demikian. Etika tumbuh dari pengetahuan seseorang yang diberi makna kesepakatan sosial, dan dijadikan acuan / tolok ukur moralitas masyarakat. • Berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut manusia beserta pembenarannya ; serta hukum yang mengatur tingkah laku manusia. • Mencakup filsafat moral atau pembenaran- pembenaran filosofis. MORAL ETIKA BEDA • Moralitas memiliki pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang ‘kebenaran’ dan ‘keharusan’ dibanding Etiket. • Moralitas bukan Hukum, sebab tidak dapat diubah melalui tindakan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Demikian pula sanksi dalam moralitas tidak melibatkan paksaan fisik atau ancaman, melainkan lebih bersifat internal
  • 15. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 14 PEMBENTUKAN & IMPLEMENTASI ETIKA PEMBEN- TUKAN IMPLE- MENTASI INTERNAL EKSTERNAL Terbentuk karena pemahaman dan keyakinan terhadap suatu nilai-nilai tertentu (khususnya agama / religi). Diciptakan oleh aturan-aturan eksternal yang disepakati secara kolektif. INTERNAL EKSTERNAL Seseorang akan selalu bertingkah laku baik meskipun tidak ada orang lain disekitarnya. Berbentuk sikap / perbuatan / perilaku yang baik dalam kaitan interaksi dengan orang / pihak lain.
  • 16. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 15 TEOLOGISME : Sesuatu yang baik, susila atau etik, adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dan sebaliknya. NATURALISME : sesuai dengan hukum alam. HEDONISME : (Hedone = perasaan akan kesenangan): mendatangkan kesenangan, kenikmatan atau rasa puas kepada manusia. (berkembang kearah Materialisme). EUDAEMONISME : (Eudaemonismos = bahagia): mendatangkan kebahagiaan kepada manusia. Bedanya dengan hedonisme, kebahagiaan lebih bersifat kejiwaan. UTILITARIANISME : berguna / bermanfaat”. VITALISTIS : kekuatan paling besar. IDEALISME : kebebasan atau penghormatan kepada pribadi manusia.
  • 17. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 16 NEGARA KESEJAHTERAAN REGULASI KEBIJAKAN PUBLIK DISCRETIONARY POWER / FREIES ERMESSEN KONSEKUENSI YURIDIS • Berisi perintah (keharusan) atau larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula. • Kurang memperhatikan aspek dampak dan / atau kemanfaatan dari kebijakan. • Sering ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbang- kan dimensi etis dan moral KONSEKUENSI ETIS ATAU MORAL • Tidak hanya menonjolkan nilai- nilai BENAR – SALAH, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai BAIK – BURUK. • Memiliki keterikatan untuk :menjamin terselenggaranya kepentingan / kesejahteraan rakyat banyak, serta untuk memajukan daerah / tanah air dimana CONTOH?
  • 18. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 17 BAGIAN II HUKUM ADMINISTRASI NEGARA / HUKUM TATA PEMERINTAHAN
  • 19. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 18 PEMAHAMAN HUKUM TATA PEMERINTAHAN Pemahaman HAN / HTP, melalui Pendekatan : Hukum Administrasi Publik / Tata Pemerintahan Mengatur kepastian hukum masyarakat dalam hubungannya dengan negara sebagai badan hukum Mengatur birokrasi dan masyarakat Mencari kebenaran dan keadilan Mencari keseimbangan dan keselarasan kepentingan negara dan masyarakat Negara tidak akan merugikan masyarakat sekalipun untuk kepentingan umum Sama-sama menguntungkan negara dan masyarakat Tujuan akhir ketertiban dan ketenteraman masyarakat (security approach) Tujuan akhir kemakmuran masyarakat (prosperity approach) Hakim yang memutuskan suatu sengketa Atasan birokrasi yang memutuskan kepentingan birokrat atau masyarakat (delivery of service / public accessibility)
  • 20. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 19 Hukum Administrasi Negara • W.F. Prins • S. Prajudi Atmosudirdjo • E. Utrecht • SK Mendikbud No. 31/DJ/Kep/1983 • UGM, UII Hukum Tata Usaha Negara • Wirjono Prodjodikoro • UU No. 14 / 1970 • GBHN Tahun 1983 • UU No. 5 / 1986 • Unpad, Unsri Hukum Tata Pemerintahan • SK Mendikbud No. 0198/U/1972 • S1-PIN FISIP Universitas Mulawarman Perbedaan Interpretasi terhadap Istilah: Administratief Recht
  • 21. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 20 HAN / HTP adalah perubahan hukum khusus yang diadakan sehingga memungkinkan para pejabat melakukan tugasnya yang khusus. Termasuk dalam pengertian HAN / HTP adalah kekuasaan khusus yang dimiliki oleh administrasi negara. (Soerjono, 1998 : 11) HAN / HTP adalah segala sesuatu mengenai pemerintahan, yakni seluruh aktivitas pemerintah yang tidak termasuk pengundangan dan peradilan. (Rochmat Soemitro, 1987) • Hukum mengenai Hubungan Hukum antara Alat Perlengkapan Negara yang satu dengan Alat Perlengkapan Negara yang lain. • Hukum mengenai Hubungan Hukum antara Alat Perlengkapan Negara dengan perseorangan privat. (E. Utrecht)
  • 22. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 21 POLEMIK HTN – HAN / HTP Ada Perbedaan Prinsip Tidak Ada Perbedaan Oppenheim : Oppenheim : Oppenheim : Oppenheim : HTN mempersoalkan negara dalam keadaan diam / berhenti, HAN / HTP merupakan aturan mengenai negara dalam keadaan bergerak Kranenburg : Kranenburg : Kranenburg : Kranenburg : Hubungan HTN dan HAN / HTP seperti BW dan WvK, yakni hubungan umum dan khusus. van Vollenhoven : van Vollenhoven : van Vollenhoven : van Vollenhoven : HAN / HTP adalah sisa dari semua peraturan hukum nasional sesudah dikurangi HTN Materiil, Hukum Perdata Materiil, dan Hukum Pidana Materiil (Teori Residu). Prins, Vegting : Prins, Vegting : Prins, Vegting : Prins, Vegting : Diluar Hubungan Kompetensi, masih ada hal lain yang masuk lapangan studi HTN, misalnya kewarganegaraan, masalah wilayah negara, dan sebagainya. Logemann : Logemann : Logemann : Logemann : HTN adalah pelajaran tentang Hubungan Kompetensi, HAN / HTP adalah pelajaran tentang Hubungan Istimewa.
  • 23. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 22
  • 24. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 23 Segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum / tempat diketemukannya aturan hukum Sumber Hukum Material (Faktor yang ikut mempengaruhi isi dari aturan hukum) • Historis = UU / sistem hukum tertulis dimasa lampau • Filosofis = ukuran yang menentukan sifat adil ; faktor yang mendorong seseorang tunduk pada aturan • Sosiologis / Antropologis = faktor dalam masyarakat (pandangan ekonomis, agamis, psikologis) Sumber Hukum Formal (Bentuk aturan hukum yang ada) • UU (HAN / HTP Tertulis) • Konvensi (Praktek administrasi negara) • Yurisprudensi • Doktrin (Anggapan ahli hukum) SUMBER HAN / HTP
  • 25. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 24 • Perbuatan Hukum Bersegi Satu (eenzijdige publiekrechtelijke handelingen) Sybenga : “tidak ada perbuatan hukum publik bersegi dua ; tidak ada perjanjian yang diatur oleh hukum publik”. Setiap hubungan hukum merupakan kehendak satu pihak, yakni pemerintah. • Perbuatan Hukum Bersegi Dua (tweezijdige publiekrechtelijke handelingen) Van der Pot, Kranenburg, Donner : mengakui adanya perjanjian menurut hukum publik. Contoh : kortverband contract (perjanjian kerja jangka pendek). Scholten : Tidak dapat, sebab mengatur hub. hukum yang merupakan kehendak 2 pihak, sedang HAN merupakan hukum publik yang bersifat sepihak. Krabbe, Kranenburg, Donner : Bisa, tetapi untuk menyelesaikan suatu persoalan tetap harus menggunakan hukum publik. Perbuatan Hukum (Rechts Handelingen) Bukan Perbuatan Hukum (Feitelijke Handelingen) Perbuatan Hukum menurut Hukum Privat Perbuatan Hukum menurut Hukum Publik
  • 26. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 25 KEPUTUSAN / PENETAPAN & PERATURAN Keputusan / Beschikking (Bld) / Acte Administratief (Prc) / Verwaltungsakt (Jrm) 1. Perbuatan hukum publik bersegi satu (perbuatan sepihak dari pemerintah), dan bukan merupakan hasil persetujuan dua belah pihak. 2. Sifat hukum publik diperoleh dari / berdasarkan wewenang / kekuasaan istimewa. 3. Dengan maksud terjadinya perubahan dalam lapangan hubungan hukum. 4 Syarat Sahnya Keputusan : • DIBUAT OLEH ALAT PERLENGKAPAN YANG BERWENANG • TIDAK MENGANDUNG CACAT (KEKURANGAN YURIDIS) • DIBERI BENTUK TERTENTU • ISI DAN TUJUANNYA HARUS SESUAI DENGAN ISI DAN TUJUAN PERATURAN DASARNYA.
  • 27. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 26 Berdasarkan SIFAT 1. Keputusan Kilat (vluchtige beschikking), ada 4 kategori : • Merubah redaksi keputusan terdahulu / lama. • Hanya memuat suatu maksud untuk tidak mengadakan suatu tindakan. • Penarikan kembali / pembatalan suatu keputusan. • Pernyataan suatu keputusan “dapat dilaksanakan”. 2. Keputusan Tetap (blijvend) Berdasarkan AKIBAT 1. Keputusan Positif, yakni menimbulkan hak, kewajiban dan atau keadaan hukum baru. 2. Keputusan Negatif, tidak terjadi perubahan dalam suatu keadaan hukum tertentu. Biasanya terdiri dari tiga macam : pernyataan tidak berwenang (onbevoegdheid verklaring), pernyataan tidak diterima (niet ontvankelijke verklaring), serta pernyataan penolakan (afwijzing).
  • 28. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 27 Berdasarkan TUJUAN 1. Keputusan Konstitutif, yakni keputusan yang menentukan suatu hal tertentu dan tidak memerlukan ketetapan lain untuk dapat menyelesaikan suatu masalah konkrit. 2. Keputusan Deklaratoir, yakni keputusan yang mengandung pernyataan bahwa seseorang dapat diberikan hak-haknya karena telah memenuhi syarat tertentu. Berdasarkan KEABSAHAN 1. Keputusan yang sah (rechtsgeldig beschikking) 2. Keputusan yang tidak sah (niet rechtsgeldig beschikking) • Keputusan yang batal karena hukum (nietig) • Keputusan yang batal mutlak (absolut nietig), apabila pembatalannya dapat dituntut oleh setiap orang. • Keputusan yang batal nisbi (relatief nietig), apabila pembatalannya hanya dapat dituntut oleh orang tertentu. • Keputusan yang dapat dibatalkan (vernietigbaar) • Keputusan yang dapat dibatalkan mutlak (absolut vernietigbaar) • Keputusan yang dapat dibatalkan nisbi (relatief vernietigbaar)
  • 29. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 28 Tidak Termasuk: Tidak Termasuk: Tidak Termasuk: Tidak Termasuk: KEPUTUSAN Menurut UU No. 5 Tahun 1986 1. PENETAPAN TERTULIS YANG DIKELUARKAN OLEH BADAN / PEJABAT TATA USAHA NEGARA 2. BERISI TINDAKAN HUKUM DALAM BIDANG TATA USAHA NEGARA (DECISION OF ADMINISTRATION LAW). 3. BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANGAN YANG BERLAKU 4. BERSIFAT KONKRET, INDIVIDUAL, FINAL 5. MENIMBULKAN AKIBAT HUKUM BAGI SESEORANG / BADAN HUKUM PERDATA • KTUN yang merupakan perbuatan Hukum Perdata • KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum • KTUN yang masih memerlukan persetujuan • KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUH Perdata / Pidana • KTUN yang dikeluarkan atas hasil pemeriksaan Badan peradilan • KTUN mengenai Tata Usaha ABRI • Keputusan Panitia Pemilihan Umum
  • 30. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 29 ADA 3 MACAM KETIDAKWENANGAN (ONBEVOEGDHEID) 1. Onbevoegdheid ratione materiale, ketidakwenangan yang menyangkut isi keputusan. Keputusan yang demikian dapat mengakibatkan batal / batal demi hukum (nietig), atau dapat dibatalkan (vernietigbaar). Untuk keputusan yang batal, akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada sejak semula (ex-tunc). Sedang untuk keputusan yang dibatalkan, akibat hukum yang timbul dianggap ada sampai saat keputusan dibatalkan (ex- nunc). 2. Onbevoegdheid ratione loci, ketidakwenangan yang menyangkut wilayah dikeluarkannya keputusan. Keputusan inipun dapat batal atau dibatalkan. 3. Onbevoegdheid ratione temporis, ketidakwenangan yang menyangkut waktu dikeluarkannya keputusan. Keputusan ini batal demi hukum.
  • 31. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 30 BENTUK CACAT / KEKURANGAN YURIDIS SYARAT FORMAL KEPUTUSAN  Penipuan (bedrog)  PAKSAAN (DWANG) ATAU SOGOKAN (OMKOPING)  Kesesatan (dwaling) atau kekeliruan / khilaf Dapat Batal atau Dibatalkan  Prosedur / cara pembentukan  Bentuk Keputusan  Pemberitahuan pada yang bersangkutan. Batal jika tidak mentaati prosedur
  • 32. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 31 KASUS / KUIS Coba Saudara pahami kedudukan PNS (Pegawai Negeri Sipil) berdasarkan kaidah-kaidah Hukum Administrasi Negara, kemudian jawablah pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut: 1. Menurut Saudara, apakah pengangkatan seorang PNS termasuk perbuatan hukum publik yang Bersegi Satu atau Bersegi Dua ? Atau, dapatkah pengangkatan PNS tersebut dianggap sebagai “perjanjian kerja” ? 2. Dilihat dari kaidah HAN, apakah seorang PNS memiliki kewajiban untuk mendukung pemerintah dalam Pemilu dengan cara memilih tanda gambar tertentu ?
  • 33. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 32 BAGIAN III AKTUALISASI ETIKA BAGI ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
  • 34. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 33 1. INDONESIA ADALAH NEGARA YANG BERDASAR ATAS HUKUM (RECHTSTAAT) 2. SISTEM KONSTITUSIONAL 3. KEKUASAAN NEGARA YANG TERTINGGI ADA DI TANGAN MPR 4. PRESIDEN ADALAH PENYELENGGARA PEMERINTAH YANG TERTINGGI DIBAWAH MAJELIS 5. PRESIDEN TIDAK BERTANGGUNGJAWAB KEPADA DPR 6. MENTERI NEGARA IALAH PEMBANTU PRESIDEN : MENTERI NEGARA TIDAK BERTANGGUNGJAWAB KEPADA DPR 7. KEKUASAAN KEPALA NEGARA TIDAK TAK TERBATAS (7 Kunci Pokok – Penjelasan UUD 1945)
  • 35. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 34 BEBERAPA PENJELASAN INDONESIA ADALAH NEGARA BERDASAR ATAS HUKUM, TIDAK SEMATA-MATA BERDASARKAN ATAS KEKUASAAN (MACHTSTAAT) • Segala perbuatan pemerintah dan atau warga negara harus memiliki dasar yuridis normatif. Atau, pemerintah perlu menyusun perangkat hukum (regulasi) yang mendasari suatu perbuatan tertentu. • Kualitas Negara Hukum dapat dilihat dari ciri-cirinya : 1. Legal Supremacy 2. Pengakuan terhadap HAM 3. Peradilan yang Bebas dan Mandiri 4. Keberfungsian PTUN SISTEM KONSTITUSIONAL • Konstitusi (Hukum Dasar) terdiri dari dua macam : Tertulis (UUD) dan Tidak Tertulis (Konvensi) • Konstitusi harus diartikan luas, tidak hanya berarti UUD saja, tetapi juga seluruh Peraturan Perundangan sebagaimana diatur dalam Tap. MPRS/XX/1966 yaitu : 1. UUD 1945 2. Ketetapan MPR 3. UU 4. Peraturan Pemerintah Pengganti UU 5. PP 6. Keputusan Presiden (instruksi Presiden) 7. Peraturan / Keputusan Menteri Meskipun tidak dicantumkan, Peraturan Daerah harus pula ditafsirkan sebagai unsur dari Konstitusi. • Jika diantara peraturan perundangan tersebut terdapat perbedaan / pertentangan, maka penyelesaiannya menerapkan prinsip sebagai berikut :
  • 36. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 35 1. Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (hukum / aturan yang lebih tinggi mengecualikan aturan / hukum yang lebih rendah). 2. Lex Specialis Derogat Legi Generalis (hukum / aturan yang khusus mengecualikan aturan / hukum yang umum). 3. Lex Posteriori Derogat Legi Anteriori (hukum / aturan yang baru mengecualikan aturan / hukum yang lama). PRESIDEN ADALAH PENYELENGGARA PEMERINTAH YANG TERTINGGI DIBAWAH MAJELIS • Dari gambar / matriks hubungan antar negara, terlihat bahwa kedudukan dan peran Presiden cenderung dominan. Hal ini dapat dibenarkan karena UUD 1945 menganut paham Executive Heavy. • Yang penting adalah menjaga bagaimana agar kekuasaan Presiden yang besar tidak disalahgunakan (onrechtmatige overheidsdaad). Sebab, Lord Acton mengatakan bahwa : Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely. • Dalam kaitan ini, fungsi kontrol DPR perlu dioptimalkan. Namun kenyataannya, fungsi ini belum banyak berfungsi karena beberapa hal tertentu seperti sistem rekrutmen politik, mekanisme recall, dan sebagainya. Disamping itu, sistem dan mekanisme pertanggung jawaban Presiden perlu diubah berdasarkan pasal 2 (2) UUD 1945.
  • 37. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 36 UU harus diartikan luas, tidak hanya secara formal / cara pembentukannya saja, tetapi juga kekuatan mengikatnya secara material. Ini sering disebut Peraturan Perundang- Undangan (Tap. MPRS/XX/1966) yaitu: Tata Urutan Peraturan Perundangan Menurut 3 Sumber Hukum: Tap MPRS / XX / 1966 Tap MPR / III / 2000 UU No. 10 / 2004 UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945 Ketetapan MPR Ketetapan MPR UU / Perpu UU UU PP Perpu Perpu Peraturan Presiden PP PP Perda Keppres / Inpres Keppres / Inpres – Permen / Inmen dll Perda –
  • 38. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 37 PERKEMBANGAN TUGAS / PERANAN PEMERINTAH erbentuknya suatu negara atau pemerintahan (aparat penyelenggara negara), secara filosifis, antara lain memang ditujukan untuk mencegah dan menghindari, setidak-tidaknya mengurangi kerusuhan-kerusuhan yang terjadi didalam masyarakat. Beberapa teori menyebutkan bahwa negara bertujuan untuk memelihara dan menjamin hak-hak alamiah manusia, yaitu hak hidup, hak merdeka dan hak atas harta sendiri (John Locke), untuk mencapai the greatest happines of the greatest number (John Stuart Mill), menciptakan perdamaian dunia dengan jalan menciptakan undang-undang bagi seluruh umat manusia (Dante). Sedangkan James Wilford Garner membagi tujuan negara menjadi 3 (tiga), yaitu tujuan asli ialah pemeliharaan perdamaian, ketertiban, keamanan dan keadilan, tujuan sekunder ialah kesejahteraan warga negara, dan tujuan memajukan peradaban. Pakar lain menyebutkan bahwa fungsi negara adalah melaksanakan penertiban, menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran, fungsi pertahanan, dan menegakkan keadilan. Ini berarti pula bahwa fungsi negara dan pemerintah adalah memberikan perlindungan bagi warganya, baik dibidang politik maupun sosial ekonomi. Oleh karenanya tugas pemerintah diperluas dengan maksud untuk menjamin kepentingan umum sehingga lapangan tugasnya mencakup berbagai aspek seperti kesehatan rakyat, pendidikan, perumahan, distribusi tanah, dan sebagainya. Tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurzorg) ini merupakan tugas dari negara yang berbentuk Welfare State atau Negara Hukum yang Baru dan Dinamis, atau Negara Hukum Material atau Negara Administratif. Sebelum konsep Negara Kesejahteraan dikenal, yang muncul dalam praktek kenegaraan adalah konsep Political State (Negara Politik) dan Legal State (Negara Hukum yang Statis). T
  • 39. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 38 Menurut Siagian, pada tahap political state, suatu pemerintah dianggap sebagai "tuan" dari rakyat dan hanya mempunyai empat fungsi pokok (the classical functions of government) yaitu fungsi memelihara ketenangan dan ketertiban, (maintenance of piece and order), fungsi diplomatik atau internasional, fungsi pertahanan kemanan, dan fungsi perpajakan. Pada tahap berikutnya yaitu Legal State, kekuasaan absolut ditangan para raja sudah mulai dibatasi. Pelopor tentang pembatasan kekuasaan atau pemisahan kekuasaan adalah John Locke (1632 - 1704) yang menganjurkan agar kekuasaan dalam suatu negara diserahkan kepada tiga badan, yaitu eksekutif, legislatif, dan federatif (bidang keamanan dan hubungan luar negeri). Tokoh lain yang sangat berpengaruh adalah Montesquieu (1689 - 1755) yang dengan Teori Trias Politika-nya memisahkan kekuasaan kedalam tiga badan yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam konsep Negara Hukum yang Lama dan Statis ini pemerintah bersifat pasif, artinya negara hanya menjadi wasit dan melaksanakan berbagai keinginan masyarakat yang telah disepakati bersama melalui pemilihan atas berbagai alternatif yang diputuskan secara demokratis liberal. Pemerintah lebih bersifat sebagai "penjaga malam" atau penjamin keamanan yang hanya bertindak jika ada gangguan terhadap keamanan. Ciri-ciri legal state ini adalah: 1. perlindungan hak-hak asasi manusia, 2. pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia itu, 3. pemerintah berdasarkan peraturan (the rule of law), dan 4. peradilan administrasi negara dalam perselisihan. Dampak penting dari bentuk Legal State ini adalah terjadinya kesenjangan sosial ekonomi diantara masyarakat sebagai akibat berlakunya hukum the survival of the fittest atau homo homini lupus. Disamping itu, kaum borjuis (ekonomi kuat) dapat mempengaruhi parlemen untuk menghasilkan produk legislatif yang menguntungkan mereka.
  • 40. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 39 Oleh karena itu, muncullah tuntutan kepada pemerintah untuk meningkatkan perannya dalam memberikan perlindungan bagi seluruh warganya di segala bidang. Dengan kata lain, pemerintah diserahi tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum. Untuk menyelenggarakan tugasnya ini, pemerintah diberikan freies ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan . kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya tanpa persetujuan lebih dulu dari legislatif. Dari sini dapat diketahui bahwa penyelenggaraan fungsi kesejahteraan pada Welfare State dilakukan melalui regulasi (pengaturan). Namun ada satu ekses yang muncul dari hal ini, yakni kecenderungan pemerintah untuk mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat secara terperinci (over regulated). Akibat selanjutnya, kehidupan masyarakat lama kelamaan menjadi sumpek, sempit, kaku, bahkan cenderung otoriter. Jika hal ini berlangsung terus, tidak tertutup lemungkinan munculnya cipratan, desakan, atau bahkan ledakan yang tidak tertahankan. Keadaan ini menurut Afan Gaffar disebut sebagai water type society. Dalam kondisi seperti tersebut diatas, fenomena yang mengemuka adalah tuntutan deregulasi, debirokratisasi, desentralisasi, serta demokratisasi.
  • 41. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 40 IMPLIKASI FREIES ERMESSEN 1. Kewenangan atas inisiatif sendiri, untuk membuat peraturan perundangan yang setingkat dengan UU tanpa meminta persetujuan parlemen lebih dulu. Dasar filosofisnya adalah salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi). Contohnya Pasal 22 UUD 1945 : “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu”. 2. Kewenangan karena delegasi perundangan dari UUD, untuk membuat peraturan perundangan yang derajatnya lebih rendah dari UU. Pasal 5 (2) UUD 1945 : “Presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya”. 3. Droit function, yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun mempersempit) sendiri peraturan perundangan yang bersifat enunsiatif / enumeratif. Pasal 1 (1) Hinder Ordonantie : “larangan pendirian berbagai obyek tanpa ijin pemerintah ….. dan semua bangunan lain yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau gangguan”. Inpres No. 9 tahun 1973 : “Presiden dapat menentukan bentuk- bentuk kegiatan pembangunan lainnya ….. yang menurut pertimbangan perlu bagi kepentingan umum”.
  • 42. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 41 ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK ( Asas HAN / HTP ) KEWENANGAN BERTINDAK SECARA BEBAS Implikasinya : Implikasinya : Implikasinya : Implikasinya : Administrasi Negara / Pejabat Tata Usaha Negara kemungkinan melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat Mempertinggi perlindungan hukum Mempertinggi perlindungan hukum Mempertinggi perlindungan hukum Mempertinggi perlindungan hukum bagi masyarakat bagi masyarakat bagi masyarakat bagi masyarakat
  • 43. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 42 _______________________ υ KEPASTIAN HUKUM Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan keputusan badan / pejabat administrasi negara. Dengan kata lain, suatu keputusan harus mengandung kepastian dan tidak akan dicabut kembali, bahkan sekalipun keputusan itu mengandung kekurangan. Putusan Dewan Banding Pusat (Centrale Raad van Beroep), 23 Januari 1956, yang menyatakan bahwa Keputusan pemecatan seorang PNS tidak boleh berlaku surut. Putusan Dewan Banding Perdagangan dan Industri, 26 Juni 1957, yang menyatakan bahwa suatu ijin tidak boleh ditarik kembali, walaupun kemudian diketahui bahwa ijin itu mengandung kesalahan / kekeliruan yang dilakukan sendiri oleh instansi yang mengeluarkan ijin tersebut.
  • 44. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 43 ___________________________ υ KESEIMBANGAN Asas ini menghendaki proporsi yang wajar dalam penjatuhan hukum terhadap pegawai yang melakukan kesalahan. Putusan Dewan Banding Pusat, 13 Nopember 1963, yang menyatakan bahwa harus ada keseimbangan antara hukuman yang dijatuhkan dengan kelalaian / kesalahan yang dilakukan pegawai. Untuk itu, kepada pegawai yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membela diri, dan badan yang menjatuhkan hukuman tidak memihak. υ KESAMAAN DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN Asas ini menghendaki agar dalam menghadapi kasus / fakta yang sama, badan / pejabat administrasi negara dapat mengambil tindakan yang sama. Putusan Dewan Banding Perdagangan dan Industri, 23 Nopember 1956, yang membatalkan Keputusan instansi yang menolak untuk memberikan ijin bagi suatu perusahaan. Sebab, pada waktu itu ada peraturan yang mengharuskan perusahaan tertentu mempunyai ijin.
  • 45. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 44 _______________________ υ BERTINDAK CERMAT Asas ini menghendaki administrasi negara senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Putusan Hoge Raad, 9 Januari 1942, yang memutuskan bahwa terhadap jalan yang rusak atau berlubang, pemerintah wajib memberi tanda peringatan sehingga dapat diketahui oleh para pemakai jalan. Putusan Mahkota, 14 Agustus 1970 : dengan maksud mencegah kerusakan dan penyakit gigi, pemerintah mengeluarkan perintah agar memasukkan bahan flouride ke dalam air minum. Ternyata, tidak semua orang tahan dengan bahaan ini, sehingga mereka menuntut diberi kesempatan yang sama untuk memperoleh air yang tidak dicampur flouride. Perintah itu kemudian dinyatakan Batal. _____ υ MOTIVASI DALAM SETIAP KEPUTUSAN Asas ini menghendaki agar keputusan badan / pejabat administrasi negara didasarkan pada alasan / motivasi yang adil dan jelas. Putusan Mahkota, 15 Nopember 1958, yang membatalkan Keputusan Dewan Kota yang menolak permohonan sebuah LSM untuk mengadakan usaha pengumpulan dana tanpa disertai dengan alasan- alasan penolakannya. Putusan Mahkota, 6 Agustus 1966, yang membatalkan Keputusan Menteri Kehakiman yang menolak permohonan untuk mengganti nama dari seseorang tanpa disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
  • 46. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 45 υ TIDAK MENCAMPURADUKKAN KEWENANGAN Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan, badan / pejabat administrasi negara tidak menggunakan kewenangan diluar maksud pemberian wewenang tersebut (detournement de pouvoir). Putusan Mahkota, 8 Juni 1965 : Seseorang yang telah memiliki ijin penggalian tanah bertengkar dengan si pemilik tanah. Dengan alasan untuk mengakhiri sengketa itu, Dewan Propinsi menarik kembali ijin yang telah diberikan. Hal ini oleh Mahkota dinilai sebagai detournement de pouvoir, sebab sengketa itu harus diselesaikan melalui peradilan perdata. __________________ υ PERMAINAN YANG LAYAK Asas ini menghendaki agar badan / pejabat administrasi negara memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil. Putusan Mahkota, 17 Oktober 1970 : Seorang pemilik tanah mengajukan keberatan kepada Dewan Kota terhadap rencana pembangunan kota, karena dikhawatirkan ia tidak dapat mendirikan bangunan diatas tanahnya. Oleh Dewan Kota, keberatan tersebut dianggap tidak beralasan karena tidak ada larangan mendirikan bangunan. Beberapa waktu kemudian si pemilik tanah baru tahu bahwa rencana pembangunan kota meliputi lahan miliknya. Ia langsung melakukan banding kepada Mahkota meskipun batas waktu yang ditentukan telah lewat, yang dikabulkan oleh Mahkota.
  • 47. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 46 ______________ υ KEADILAN ATAU KEWAJARAN Asas ini menghendaki agar dalam melakukan tindakannya, badan / pejabat administrasi negara tidak berlaku sewenang-wenang. Putusan Kroon, 29 Juni 1966 : Permohonan seorang gadis Indonesia untuk bertempat tinggal di Nederland, ditolak oleh Menteri Kehakiman dengan alasan akan mengalami kesulitan asimilasi. Keputusan ini dibatalkan karena ternyata gadis tadi mahir bahasa Belanda dan sudah lama tinggal disana. υ MENANGGAPI PENGHARAPAN YANG WAJAR Asas ini menghendaki agar tindakan badan / pejabat administrasi negara dapat menimbulkan dan atau memenuhi harapan-harapan yang wajar. Putusan Centrale Raad van Beroep, 13 Januari 1959 : Seorang PNS yang dinas luar kota dengan menggunakan mobil pribadi meminta penggatian biaya atas pemakaian mobil tersebut. Beberapa waktu kemudian diketahui bahwa hal itu tidak diperbolehkan, sehingga kantor meminta kembali uang yang telah dibayarkan. Keputusan ini dibatalkan oleh Centrale Raad van Beroep.
  • 48. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 47 MENIADAKAN AKIBAT KEPUTUSAN YANG BATAL Asas ini menghendaki agar jika terjadi pembatalan atas keputusan badan / pejabat administrasi negara, maka akibat dari keputusan yang dibatalkan itu harus dihilangkan dan yang bersangkutan diberi ganti rugi. Putusan Centrale Raad van Beroep, 20 September 1920 : Seorang pegawai yang dipecat, tetapi setelah melalui proses pemeriksaan pengadilan ternyata tidak melakukan kesalahan, ia berhak atas kedudukan semula pada instansinya, rehabilitasi nama baik, serta ganti rugi yang timbul karena pemecatannya. ________ υ PERLINDUNGAN ATAS CARA HIDUP Asas ini menghendaki agar setiap pegawai negeri diberi kebebasan / hak untuk mengatur kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan hidup yang dianutnya. Putusan Centrale Raad van Beroep, 29 Mei 1951 : Seorang pegawai yang sudah kawin selingkuh dengan wanita teman satu kantor. Oleh pimpinannya diambil tindakan berupa pemotongan gaji setiap bulan. Keputusan ini dibatalkan oleh Centrale Raad van Beroep dengan alasan bahwa setiap pegawai mempunyai hak untuk hidup sesuai dengan pandangan / cara hidupnya.
  • 49. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 48 ___________________________ υ KEBIJAKSANAAN Asas ini menghendaki agar dalam melaksanakan tugasnya, badan / pejabat administrasi negara diberi kebebasan untuk menentukan kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi. Berbeda dengan freies ermessen : Pemerintah dalam segala tindakannya harus berpandangan luas dan dapat menghubungkan tugasnya dengan gejala-gejala dalam masyarakat, serta memperhitungkan dampak lingkungan dari setiap tindakan yang diputuskan. ____ υ PENYELENGGARAAN PELAYANAN UMUM Asas ini menghendaki agar dalam menyelenggarakan tugasnya, badan / pejabat administrasi negara selalu mengutamakan pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
  • 50. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 49 ASAS LAINNYA (SOERJONO, 1998) • Legalitas Setiap tindakan pejabat administrasi negara harus berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. • Kontinuitas Jaminan terus berlakunya suatu keputusan meskipun telah terjadi pergantian pejabat administrasi negara. • Adaptasi Bila terjadi kekeliruan dalam suatu keputusan, pejabat dapat segera merubah atau memperbaiki sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. • Moralitas Keputusan pejabat harus dilandasi oleh moral dan etika yang baik. • Efektivitas dan Efisiensi Tindakan / keputusan pejabat harus dimaksudkan untuk menciptakan daya guna dan hasil guna. • Legitimasi Keputusan pejabat jangan sampai menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan lingkungannya. Disamping itu, keputusan hanya “benar” jika membawa manfaat bagi dan diakui oleh masyarakat. • Kebersamaan dalam Keputusan Keputusan pejabat hendaknya merupakan hasil kompromi / kesepakatan dengan berbagai pihak yang diputuskan secara musyawarah (group decision).
  • 51. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 50 PERBANDINGAN ASAS PEMERINTAHAN YANG BAIK THE LIANG GIE SOERJONO MUCHSAN, MARBUN PERTANGGUNG- JAWABAN LEGALITAS KEPASTIAN HUKUM PENGABDIAN KONTINUITAS KESEIMBANGAN KESETIAAN ADAPTASI KESAMAAN DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN KEPEKAAN MORALITAS BERTINDAK CERMAT PERSAMAAN EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI MOTIVASI UNTUK SETIAP KEPUTUSAN KEPANTASAN LEGITIMASI TIDAK MENCAMPUR- ADUKKAN KEWENANGAN KEBERSAMAAN DLM KEPUTUSAN PERMAINAN YANG LAYAK KEADILAN / KEWAJARAN MENANGGAPI PENGHARAPAN YANG WAJAR MENIADAKAN AKIBAT KEPUTUSAN YANG BATAL PERLINDUNGAN ATAS CARA HIDUP PRIBADI KEBIJAKSANAAN PENYELENGGARAAN KEPENTINGAN UMUM
  • 52. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 51 Menuju Terwujudnya Good Government Suatu pemerintahan yang : 1) menegakkan kaidah-kaidah hukum sekaligus 2) menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam praktek bernegara, diyakini akan mampu mewujudkan cita-cita tertinggi, yakni pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN (good governance). Kedua hal ini harus dijalankan secara bersama-sama dan saling menunjang. Dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan good governance tersebut, pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN. Secara umum governance mengandung unsur-unsur utama yang terdiri dari akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), keterbukaan (openness), dan aturan hukum (rule of law) (Bhatta, 1996 : 2) Terhadap keempat unsur tersebut, Adamolekun dan Bryant (1994) menambahkan dua unsur lainnya yaitu kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak asasi manusia (human rights). Hak-hak asasi manusia pada dasarnya merupakan bagian dari unsur governance (meskipun pada tingkatan pengertian umum atau global). Sedangkan kompetensi manajemen lebih cenderung merupakan akibat atau symptom dari adanya good governance, daripada sebagai bagian dari unsur utamanya. Berikut ini adalah rincian dari keempat unsur utama yang dapat memberikan gambaran bagaimana seharusnya administrasi publik yang bercirikan good governance tersebut. 1. Akuntabilitas Akuntabilitas artinya adalah kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari pemerintahan yang baik (good governance). Akuntabilitas aparatur pemerintahan ini terdiri dari tiga jenis, yaitu akuntabilitas politik, keuangan dan hukum (Brautigam, 1991:13). Akuntabilitas politik berkaitan dengan sistem politik dan sistem pemilu. Sistem politik multipartai dinilai lebih mampu menjamin akuntabilitas
  • 53. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 52 politik pemerintah terhadap rakyatnya daripada pemerintahan dengan sistem politik satu partai. Akuntabilitas keuangan artinya adalah bahwa aparatur pemerintah wajib mempertanggungjawabkan setiap rupiah uang rakyat dalam anggaran belanjanya yang bersumber dari penerimaan pajak dan retribusi. Sedangkan akuntabilitas hukum mengandung arti bahwa rakyat harus memiliki keyakinan bahwa unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara hukum atas segala tindakannya. Organisasi pemerintahan yang pada prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat (onrechtmatige overheidsdaad), dengan demikian harus mampu mempertanggungjawabkannya dan menerima tuntutan hukum atas tindakan tersebut. 2. Transparansi Pemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi tentang proses perumusan kebijaksanaan publik dan tindakan pelaksanaannya (implementasinya). Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum. 3. Keterbukaan Keterbukaan disini mengacu kepada terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan. Pemerintah yang baik, yang bersifat transparan dan terbuka, akan memberikan informasi data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan. Dalam praktek, dewasa ini kita masih melihat kenyataan bahwa prosedur tender kompetitif suatu proyek pembangunan hingga penetapan keputusan pemenangnya, masih sering bersifat tertutup. Rakyat atau bahkan para pelaku tender dengan pemerintah sering tidak memperoleh kejelasan informasi tentang hasil atau kriteria penetapan pemenang tender proyek yang bersangkutan. Tentang keterbukaan ini Brautigam (1991: 21) mengidentifikasi dua jenis keterbukaan, yaitu ekonomi dan politik. Keterbukaan ekonomi tercermin dari sistem persaingan pasar dengan sedikit mungkin pembatasan (regulasi) oleh pemerintah, serta dilaksanakannya rejim
  • 54. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 53 perdagangan bebas dengan sistem tarif (tariff barrier) yang bersifat terbuka kepada publik. Sedangkan keterbukaan politik mengacu kepada pola persaingan dan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan dalam proses pengambilan keputusan. Permufakatan yang terjadi dalam setiap musyawarah untuk pengambilan keputusan tidak terjadi melalui proses pemaksaan kehendak atau intimidasi, tetapi melalui tahapan argumentasi yang efektif terhadap setiap perbedaan pendapat yang muncul. Pengambilan suara (voting) untuk menetapkan suatu keputusan akibat terjadinya perbedaan pendapat bukanlah hal yang tabu sepanjang keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat kepada siapapun yang terlibat, dan tidak ada pemboikotan atas pelaksanaan keputusan hasil pemungutan suara tersebut. Disinilah letak persaingan positif dan toleransi atas perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan. 4. Aturan Hukum (Rule of Law) Prinsip rule of law disini diartikan bahwa good governance mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Oleh karena itu, setiap kebijaksanaan dan peraturan perundang-undangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang sudah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta memiliki kesempatan untuk mengevaluasinya. Masyarakat membutuhkan dan harus dapat diyakinkan tentang tersedianya suatu proses pemecahan masalah perbedaan pendapat (conflict resolution), dan terdapat prosedur umum untuk membatalkan sesuatu peraturan atau perundang-undangan tertentu. Hal ini penting untuk dikemukakan, mengingat bahwa pada kenyataannya sektor swasta dewasa ini telah semakin terlibat dalam perekonomian nasional maupun internasional, dan karenanya, terdapat kebutuhan untuk memiliki kejelasan tentang kerangka hukum yang mampu melindungi hak-hak kepemilikan seseorang (property rights) dan yang mampu menghormati nilai-nilai perjanjian dalam kontrak bisnis.
  • 55. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 54 BAGIAN IV PERADILAN TATA USAHA NEGARA (P.T.U.N)
  • 56. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 55 KEWENANGAN MEMERIKSA DAN MEMUTUS SUATU PERKARA / SENGKETA ADMINISTRASI BERADA PADA INSTANSI YANG SECARA HIERARKHIS LEBIH TINGGI ISI KEWENANGAN MENCAKUP ASPEK RECHTMATIGHEID DAN DOELMATIGHEID. KONSEKUENSINYA, INSTANSI TADI DAPAT MENGGANTI ATAU MERUBAH KEPUTUSAN KEWENANGAN MEMERIKSA DAN MEMUTUS SUATU PERKARA / SENGKETA ADMINISTRASI BERADA PADA HAKIM ISI KEWENANGAN MENCAKUP ASPEK RECHTMATIGHEID SAJA. KONSEKUENSINYA, INSTANSI TADI DAPAT MEMBATALKAN DAN MEMBERI HUKUMAN, TETAPI TIDAK DAPAT MENGGANTI / MERUBAH KEPUTUSAN Pada Masa Penjajahan, tidak terdapat Badan Peradilan yang secara khusus / mandiri memeriksa dan menyelesaikan sengketa Administrasi / Tata Usaha Negara. Hal ini sesuai dengan pasal 134 ayat 1 Indische Staatsregeling (IS) : a. Perselisihan Perdata diputus oleh Hakim biasa menurut UU b. Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang Lembaga Administrasi itu sendiri. Dengan demikian, sistem yang dipakai adalah : ADMINISTRATIEF BUKAN ADMINISTRATIEF BEROEP RECHTSPRAAK
  • 57. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 56 PADA MASA KEMERDEKAAN UUDS 1950 memberikan kemungkinan 3 macam cara penyelesaian sengketa TUN : 1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata. 2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara Istimewa. 3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN, yang penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus. UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 10 disebutkan: Bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Mendorong lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara : kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara / sengketa administrasi berada pada Hakim / Peradilan Tata Usaha Negara, SETELAH DITEMPUH upaya administratif.
  • 58. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 57 1. Tata Usaha Negara : Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah. 2. Badan atau Pejabat TUN : badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. 3. Keputusan TUN : penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan / Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 4. Sengketa TUN : sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian 5. Gugatan : permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan. 6. Tergugat : badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
  • 59. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 58 1. Kompetensi RELATIF (kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah / daerah hukumnya) PTUN Wilayah Kotamadya / Kabupaten PT TUN Wilayah Propinsi • Gugatan diajukan kepada Pengadilan di wilayah hukum tempat kedudukan Tergugat. • Jika tergugat lebih dari 1, dipilih tempat kedudukan salah satu Tergugat. • Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa yang diatur dengan PP, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan di wilayah hukum tempat kedudukan Penggugat. 2. Kompetensi ABSOLUT (kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai menurut obyek / materi / pokok sengketa) Perbuatan Pemerintah yang mengeluarkan Keputusan / Beschikking, BUKAN : • Perbuatan Pemerintah mengeluarkan Peraturan / Regeling • Perbuatan Pemerintah melakukan tindakan material (materiele daad)
  • 60. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 59 Pasal 1 ayat 3 – Pasal 2 + Pasal 3 – Pasal 49 – Penjelasan Umum angka 1 Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan / pejabat tata usaha negara, berisi tindakan hukum dalam bidang tata usaha negara, berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, bersifat konkret, individual, final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang / badan hukum perdata – KTUN yang merupakan perbuatan Hukum Perdata, merupakan pengaturan yang bersifat umum, masih memerlukan persetujuan, yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUH Perdata / Pidana, yang dikeluarkan atas hasil pemeriksaan Badan peradilan, mengenai Tata Usaha ABRI, Keputusan Panitia Pemilihan Umum + Jika Pejabat / Badan TUN tidak mengeluarkan keputusan sedang hal itu menjadi kewajibannya, hal tersebut disamakan dengan Keputusan Jika Pejabat / Badan TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon sedang jangka waktu yang ditentukan telah lewat, Pejabat / Badan TUN tadi dianggap menolak mengeluarkan keputusan Dalam hal jangka waktu tidak ditentukan, maka setelah lewat 4 bulan sejak diterimanya permohonan, Pejabat / Badan TUN tadi dianggap telah mengeluarkan keputusan
  • 61. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 60 – KTUN berdasarkan peraturan perundangan yang dikeluarkan : • Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan. • Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. – Sengketa administrasi di lingkungan Angkatan Bersenjata dan dalam soal- soal militer yang menurut UU Nomor 16 Tahun 1953 dan UU Nomor 19 Tahun 1958, diperiksa, diputus dan diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Militer. Pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum angka 1, pada dasarnya adalah PEMBATASAN LANGSUNG Sedang PEMBATASAN TIDAK LANGSUNG diatur dalam Pasal 48 : Dalam hal suatu Badan / Pejabat TUN diberi wewenang oleh peraturan perundangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa TUN tertentu, maka sengketa tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tadi, jika seluruh upaya administratif telah digunakan. JIKA ADMINISTRATIF BEROEP TELAH DITEMPUH NAMUN MASIH BELUM SELESAI, MAKA SENGKETA LANGSUNG DIAJUKAN PADA TINGKAT PT TUN
  • 62. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 61 1. Dapat diajukan jika Keputusan TUN MERUGIKAN KEPENTINGAN seseorang / badan hukum tertentu. Kepentingan harus bersifat LANGSUNG TERKENA, tidak terselubung dibalik kepentingan orang lain. 2. Harus diajukan secara TERTULIS, yang berisi : • Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat / kuasanya. • Nama, jabatan dan domisili tergugat. • Isi gugatan. • Dasar / alasan menggugat. 3. Isi gugatan : • Tuntutan untuk menyatakan BATAL ATAU TIDAK SAH • Dengan atau tanpa disertai tuntutan GANTI RUGI dan / atau REHABILITASI. 4. Dasar / alasan menggugat : • Keputusan TUN BERTENTANGAN dengan peraturan perundangan, baik secara prosedural / formal maupun secara material / substansial. • Badan atau pejabat TUN TIDAK BERWENANG mengeluarkan keputusan, baik secara materiale, temporis, maupun loci. • Badan atau pejabat TUN menggunakan wewenangnya UNTUK TUJUAN LAIN dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Artinya, telah terjadi penyalahgunaan wewenang. • Badan atau pejabat TUN seharusnya TIDAK SAMPAI KEPADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN tersebut. Artinya, Badan / Pejabat TUN berbuat sewenang-wenang.
  • 63. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 62 KTUN Individu / Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat Pasal 1 (3), 3 PTUN (Tingkat I) Upaya Administratif Pasal 53 Pasal 50 Pasal 48 PT TUN (Banding) PT TUN (Tingkat I) Pasal 51 (1) Pasal 51 (3) M.A Pasal 5 (2) BAGAN ALUR PERKARA MELALUI PTUN Ada 2 macam Upaya Administratif : 1. BANDING ADMINISTRATIF, jika penyelesaian sengketa dilakukan oleh instansi atasan / instansi lain. 2. KEBERATAN, jika penyelesaian sengketa dilakukan oleh instansi yang sama / yang mengeluarkan KTUN.
  • 64. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 63 TENGGANG WAKTU GUGATAN • PROSES PENGAJUAN GUGATAN SANGAT PENDEK. • SETELAH TENGGANG WAKTU LEWAT, MAKA KEPUTUSAN TUN AKAN MEMILIKI KEPASTIAN HUKUM. • BATAS TANGGAL PENGESAHAN / PENGUNDANGAN BIASANYA DIJADIKAN TITIK TOLAK PERHITUNGAN. 1. VERZENDTHEORIE (Teori Pengiriman) SK dihitung sejak hari disampaikannya keputusan kepada yang bersangkutan. Patokannya adalah stempel pos. 2. ONTVANGTSTHEORIE (Teori Penerimaan) SK dihitung sejak hari diterimanya keputusan atau sepatutnya dianggap telah menerima. kedua teori ini saling berkaitan, dimana beberapa hari setelah pengiriman, keputusan tersebut dianggap telah diterima. PTUN DI INDONESIA MENGANUT TEORI PENERIMAAN Pasal 55 UU PTUN : gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu SEMBILAN PULUH HARI terhitung sejak saat DITERIMANYA atau DIUMUMKANYA keputusan Badan atau Pejabat TUN
  • 65. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 64 VEILIGHEIDSCLAUSULE SEBAIKNYA DITIADAKAN (Apabila dikemudian hari ternyata ada kekeliruan dalam Surat Keputusan ini, akan ditinjau kembali sebagaimana mestinya) TIDAK MENUNDA PELAKSANAAN KEPUTUSAN pasal 67 (1) PENGGUGAT DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PENUNDAAN, YANG AKAN DIKABULKAN OLEH PENGADILAN JIKA MEMENUHI SYARAT : 1. TERDAPAT KEADAAN YANG SANGAT MENDESAK, YAITU JIKA KERUGIAN YANG AKAN DIDERITA PENGGUGAT TIDAK SEIMBANG DENGAN MANFAAT BAGI KEPENTINGAN YANG DITIMBULKAN 2. PELAKSANAAN KTUN TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN KEPENTINGAN UMUM Berdasarkan asas PRADUGA RECHTMATIG (vermoeden van rechtmatigheid = praesumption iustae causa), setiap tindakan dan / atau keputusan Badan / Pejabat TUN harus diangap rechtmatig (menurut hukum), selama belum dibuktikan sebaliknya.
  • 66. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 65 BIAYA PERKARA 1. Prinsip pengenaan biaya : harus serendah mungkin (pasal 4 UU 14 / 1970). 2. Penggugat diwajibkan membayar uang muka biaya perkara (pasal 59), yang besarnya ditaksir oleh panitera. 3. Jika penggugat tidak mampu, dapat mengajukan permohonan berperkara secara gratis atau prodeo (pasal 60 – 61), dengan disertai surat keterangan dari lurah / kepala desa. 4. Biaya perkara terdiri dari unsur-unsur : biaya kepaniteraan, materai, saksi, alih bahasa, pemeriksaan di tempat lain dari ruang sidang (pasal 111). 5. Jika penggugat diputuskan menang, uang muka yang sudah dibayarkan dikembalikan seluruhnya. 6. Dalam hal penggugat diputuskan kalah, uang muka dapat dikembalikan ila ada kelebihan, atau menambah biaya bila tidak mencukupi.
  • 67. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 66 Putusan Akhir : Putusan yang sifatnya mengakhiri suatu sengketa dalam tingkat Peradilan tertentu 1. CONDEMNATOIR : Putusan Yang Bersifat Menghukum 2. CONSTITUTIEF : Putusan Yang Bersifat Menciptakan 3. DECLARATION : Putusan Yang Menerangkan Putusan Sela : Putusan yang dikeluarkan Hakim sebelum memutus perkara akhir, untuk memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya. 1. PREPARATOIR, misal : putusan untuk menggabungkan dua perkara menjadi satu, atau putusan untuk menetapkan tenggang waktu. 2. INTERLOCUTOIR, misal : putusan yang berisi perintah kepada salah satu pihak untuk membuktikan suatu hal.
  • 68. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 67 Putusan yang dikeluarkan SEBELUM POKOK SENGKETA DIPERIKSA, yaitu dalam hal : • Penggugat mengajukan permohonan untuk bersengketa dengan cuma-cuma. • Jika gugatan kurang lengkap atau kurang jelas, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan dan memberi nasihat kepada penggugat untuk melengkapi gugatan dalam jangka waktu 30 hari. Jika dalam jangka waktu tersebut penggugat belum menyempurnakan gugatannya, maka Hakim dapat menyatakan dengan Putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. • Gugatan yang tidak diterima atau tidak beralasan, karena ketentuan pasal 2, pasal 49 dan pasal 56. Putusan yang dikeluarkan pada saat PEMERIKSAAN POKOK DIMULAI, berisi 4 macam putusan : • Gugatan ditolak. Keputusan TUN dikuatkan dan tidak dapat diajukan kembali • Gugatan dikabulkan. Membebankan kewajiban kepada badan / Pejabat TUN untuk mencabut / menerbitkan Keputusan baru, dan/atau pemberian ganti rugi dan rehabilitasi. • Gugatan tidak diterima. Setelah diperbaiki dapat diajukan kembali dalam bentuk gugatan baru. • Gugatan gugur. Jika penggugat / kuasanya tidak hadir pada waktu yang telah ditentukan 2 kali berturut-turut tanpa alasan jelas. Dapat diajukan sekali lagi setelah membayar uang muka biaya perkara.
  • 69. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 68 SYARAT FORMAL PUTUSAN 1. KEPALA PUTUSAN • Berdasarkan pasal 4 UU No. 14 Tahun 1970, setiap putusan harus didahului oleh kalimat : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” • Kepala putusan ini mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya jika tidak dicantumkan maka putusan tidak dapat dilaksanakan. 2. IDENTITAS PARA PIHAK • Para pihak harus didengar audi alteram partem, yang berarti minimal terdapat 2 pihak dalam suatu perkara. • Identitas yang perlu dimuat : nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan. Bila tidak dimuat, dapat menyebabkan putusan batal. 3. RINGKASAN • Berisi ringkasan gugatan dan jawaban, bila tidak putusan dapat menjadi batal. 4. PERTIMBANGAN / KONSIDERANS • Merupakan dasar dari putusan, agar memiliki nilai obyektif. • Memuat alasan hakim secara lengkap dan rinci, termasuk penilaian terhadap setiap bukti yang diajukan dan hal-hal yang terjadi selama persidangan. 5. ALASAN HUKUM • Pertimbangan yuridis sebagai dasar putusan yang berisi peraturan- peraturan maupun hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 6. AMAR PUTUSAN dan BIAYA PERKARA • Jawaban terhadap petitum (tuntutan). Biasanya, pihak yang kalah diwajibkan embayar biaya perkara. 7. WAKTU, NAMA HAKIM, PANITERA dan keterangan lain.
  • 70. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 69 RAPAT PERMUSYAWARATAN PEMERIKSAAN PERSIAPAN PEMERIKSAAN PENDAHULUAN RAPAT PERMUSYAWARATAN 1. Dilakukan sendiri oleh Ketua Pengadilan sebelum penunjukan Majelis Hakim 2. Ketua Pengadilan dapat menetapkan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak beralasan, atas dasar bahwa : • Pokok gugatan tidak termasuk dalam wewenang / kompetensi PTUN, baik secara absolut maupun relatif (pasal 2 dan 49). • Upaya administratif belum dilakukan (pasal 48). • Syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi (pasal 56). • Gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak. • Hal yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh keputusan Badan / Pejabat TUN yang digugat. • Tenggang waktu gugatan telah lewat. 3. Penetapan hasil Rapat Permusyawaratan diucapkan / disampaikan kepada para pihak. 4. Jika penggugat tidak puas, ia dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan yang memeriksa, selambat-lambatnya 14 hari setelah penetapan hasil rapat. 5. Perlawanan ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat / cepat dengan Hakim Tunggal dalam tenggang waktu tidak lebih dari 28 hari.
  • 71. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 70 PEMERIKSAAN PERSIAPAN 1. Hakim yang telah ditetapkan wajib mengadakan pemeriksaan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas (pasal 63). Dalam hal ini, tugas Hakim adalah : • Memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan / melengkapi data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari. • Dapat meminta penjelasan kepada Badan / Pejabat TUN yang bersangkutan. 2. Gugatan dapat dinyatakan tidak dapat diterima bila dalam 30 hari gugatan tidak diperbaiki. 3. Terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun gugatan dapat diajukan kembali dengan membayar biaya perkara dan akan diberi nomor register baru. TERDAPAT PERSAMAAN ANTARA RAPAT PERMUSYAWARATAN DENGAN PEMERIKSAAN PERSIAPAN PERLU DISEDERHANA- KAN DENGAN CARA DISATUKAN ALASAN 1. Keduanya termasuk dalam Pemeriksaan Pendahuluan 2. Mempersingkat prosedur beracara demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
  • 72. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 71 PEMERIKSAAN PENDAHULUAN • Penetapan Waktu dan Tempat Sidang • Pemanggilan para Pihak PEMBUKAAN SIDANG • Pernyataan “Sidang Terbuka Untuk Umum” • Pembacaan Isi Gugatan oleh Hakim • Pembacaan Jawaban Atas Gugatan oleh Hakim (jika sudah ada) atau oleh Tergugat • Penjelasan Para Pihak terhadap Gugatan dan Jawaban PERUBAHAN ALASAN / DASAR GUGATAN DAN JAWABAN • Tidak boleh merugikan pihak lawan • Tidak boleh merubah / menambah pokok gugatan / petitum • Hanya diperbolehkan sampai tingkat replik dan duplik PEMBUKTIAN (Pemeriksaan Alat Bukti) Musyawarah Majelis Hakim PUTUSAN PENGADILAN
  • 73. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 72 ikut sertanya pihak lain (orang / badan hukum perdata) kedalam sengketa, baik pada waktu pemeriksaan maupun dalam pelaksanaan putusan, baik atas prakarsa sendiri, Hakim, maupun atas permintaan penggugat / tergugat. 1. SENDIRI • Harus mengajukan permohonan • Alasan : memiliki kepentingan yang akan terganggu / dirugikan jika tidak ikut campur dalam proses pemeriksaan. • Dapat mempertahankan haknya dalam proses tersendiri, namun intervensi akan berjalan lebih mudah dan mencegah putusan yang bertentangan. • Pemohon berkedudukan sebagai pihak mandiri yang disebut penggugat intervensi. • Jika permohonan ditolak, tidak dapat dimintakan banding secara tersendiri, harus bersama-sama dengan permohonan banding atas putusan akhir dalam pokok perkara. 2. HAKIM Atas pertimbangannya dapat memanggil Badan / Pejabat TUN atau orang seseorang / badan perdata sebagai intervenient. 3. PIHAK BERSENGKETA • Dimaksudkan agar pihak ketiga bergabung dan memperkuat posisi hukum pihak yang meminta. • Jika penggugat yang meminta, pihak ketiga tadi menjadi penggugat II – intervensi. • Jika tergugat yang meminta, pihak ketiga tadi menjadi tergugat II – intervensi.
  • 74. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 73 Untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang- kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim (pasal 107) TUJUAN : menunjukkan alat-alat bukti tertentu, sehingga memberikan kepastian bagi hakim akan adanya fakta-fakta hukum yang disengketakan untuk kemudian dijadikan dasar pertimbangan penetapan putusan. AJARAN PEMBUKTIAN BEBAS 1. Beban pembuktian dapat diwajibkan kepada para pihak, namun hakim bersifat aktif, dalam arti dapat mencari dan menentukan fakta sendiri. 2. Alat-alat bukti tidak perlu dibuktikan. HAL LAIN YANG TIDAK PERLU DIBUKTIKAN 1. Tuntutan atau gugatan yang tidak dibantah 2. Hal-hal yang diketahui secara umum
  • 75. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 74 2. KETERANGAN AHLI • Pendapat orang yang diberikan dibawah sumpah dalam persidangan, tentang hal yang diketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. • Dapat diberikan secara lisan atau tertulis. 3. KETERANGAN SAKSI • Dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh sakasi sendiri. 4. PENGAKUAN PARA PIHAK • Tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima Hakim. 5. PENGETAHUAN HAKIM • Hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. ALAT-ALAT BUKTI 1. SURAT atau TULISAN, terdiri dari 3 jenis : • Akta Otentik : surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat yang berwenang membuat surat itu. Akta ini tidak memerlukan pengakuan dari para pihak. • Akta Dibawah Tangan : surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Jika salah satu pihak menyangkal / membantah, diperlukan pengakuan dan / atau pembuktian. • Surat-surat lain yang bukan akta.
  • 76. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 75 TEORI PEMBUKTIAN Pembuktian Berdasarkan KEYAKINAN HAKIM (conviction intime) 1. Teori ini sangat menekakan pada keyakinan hati nurani hakim dalam memutuskan suatu perkara. 2. Hakim dapat menjatuhkan putusan tanpa didasarkan pada alat- alat bukti lainnya. 3. Kelemahan : obyektivitas hakim diragukan ; serta sulitnya memberikan pengawasan kepada hakim, terutama yang kurang jujur. Pembuktian Berdasarkan KEYAKINAN HAKIM ATAS ALASAN YANG LOGIS (la conviction raisonnee) 1. Hakim diberi kewenangan memutus suatu perkara atas dasar keyakinannya sampai pada batas tertentu. 2. Keyakinan hakim akan timbul setelah memeriksa bukti-bukti. 3. PTUN : untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang- kurangnya dua alat bukti.
  • 77. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 76 BEBERAPA PENJELASAN AKTA OTENTIK mempunyai 3 macam Kekuatan Pembuktian : 1. Kekuatan Pembuktian Formil, menerangkan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang tertulis dalam ata tersebut. 2. Kekuatan Pembuktian Materiil, menerangkan bahwa peristiwa yang tersebut dalam akta itu benar-benar telah terjadi. 3. Kekuatan Pembuktian Keluar, dalam arti menyangkut pihak ketiga (pejabat umum yang mengeluarkan akta). PEMBATASAN bagi Ahli dan Saksi untuk Tidak Boleh Didengar Kesaksiannya : 1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus keatas atau kebawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa. 2. Istri atau suami salah satu pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai. 3. Belum berusia 17 tahun. 4. Sakit ingatan. Saksi yang dapat Mengundurkan Diri : 1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-aki dan perempuan salah satu pihak yang bersengketa 2. Orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.
  • 78. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 77 PEMERIKSAAN DENGAN ACARA LUAR BIASA ACARA CEPAT ACARA SINGKAT • Timbul dari permintaan penggugat karena kepentingan yang mendesak. • Dalam tenggang waktu 14 hari Ketua PTUN mengeluarkan penetapan pengabulan / penolakan. • Tidak ada upaya hukum terhadap penetapan tersebut. • Jika dikabulkan, dalam jangka waktu 7 hari ditetapkan waktu dan tempat sidang, tanpa prosedur pemeriksaan persiapan. • Pemeriksaan dilakukan oleh Hakim Tunggal. • Para pihak yang berperkara diberi waktu 14 hari untuk memberikan jawaban dan pembuktian. • Timbul karena 2 hal : 1) ada perlawanan dan 2) terdapat kepentingan sangat mendesak. • Perlawanan merupakan reaksi atas hasil rapat permusyawaratan yang berupa penolakan. • Prosesnya sama dengan Acara Cepat. ACARA CEPAT DIPERSEPSI SAMA DENGAN ACARA SINGKAT
  • 79. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 78 PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING 1. Pemeriksaan oleh instansi tingkat kedua (pengadilan atasan = PT TUN) yang mengulangi seluruh pemeriksaan, baik mengenai fakta-faktanya, maupun penerapan hukum / UU. 2. Diminta oleh penggugat / tergugat karena tidak puas dengan putusan akhir PTUN (tingkat pertama) 3. Prosedur yang harus dilalui : • Pengajuan permohonan banding secara tertulis kepada PTUN yang memutus, paling lambat 14 hari setelah putusan dikeluarkan. • Membayar uang muka biaya perkara. • Panitera mencatat permohonan dalam daftar perkara, selanjutnya memberitahukan kepada terbanding. • Para pihak dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada panitera PT TUN dengan salinan kepada pihak lawan dengan perantaraan panitera PTUN. • Salinan putusan, berita acara dan surat-surat lain yang bersangkutan harus sudah dikirimkan kepada panitera PT TUN paling lambat 60 hari setelah permohonan banding. 4. Permohonan banding dapat dicabut selama hal itu belum diputus, dengan konsekuensi pemohon tidak boleh mengajukan lagi. Pemeriksaan Banding : 1. Jika putusan PTUN menyatakan tidak berwenang sedangkan PT TUN berpendapat lain, maka PT TUN dapat bertindak : • Memeriksa dan memutus perkaranya • Memerintahkan PTUN memeriksa dan memutus kembali perkara tersebut. 2. Jika PT TUN berpendapat bahwa pemeriksaan PTUN kurang lengkap, maka PT TUN dapat bertindak : • Sidang untuk mengadakan pemeriksaan tambahan. • Memerintahkan PTUN melakukan pemeriksaan tambahan.
  • 80. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 79 PEMERIKSAAN KASASI Pasal 30 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena : 1. Tidak berwenang atau melampaui wewenang. 2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. 3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangan. Hanya dapat diajukan 1 kali dengan cara sbb : 1. Permohonan kasasi secara tertulis atau lisan, paling lambat 14 hari setelah putusan PT TUN. 2. Pemohon membayar biaya pemeriksaan kasasi. 3. Panitera mendaftarkan permohonan 7 hari setelah diajukan, kemudian memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan. 4. 14 hari setelah permohonan diajukan, pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya (pada umumnya mengacu pasal 30 UU No. 14 tahun 1985). Salinannya disampaikan kepada pihak lawan paling lambat 30 hari. 5. 30 hari setelah menerima memori kasasi, panitera PTUN mengirimkan seluruh berkas perkara ke MA. 6. Panitera MA bertindak : a) mencatat permohonan kasasi ; b) membuat catatan singkat tentang isinya ; c) melaporkan kepada MA. 7. MA melakukan pemeriksaan berdasarkan surat-surat (berkas), namun jika dipandang perlu dapat dilakukan hal-hal : • Mendengar sendiri para pihak (memeriksa sendiri perkara) • Memerintahkan PTUN atau PT TUN untuk mendengar para pihak / saksi (memeriksa kembali).
  • 81. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 80 PEMERIKSAAN PENINJAUAN KEMBALI 1. PK hanya dapat diajukan satu kali, dan permohonan diajukan kepada Ketua MA melalui Ketua TUN 2. PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan PTUN 3. Permohonan PK dapat dicabut kembali selama belum diputus, dan jika telah dicabut tidak dapat diajukan kembali. 4. MA memutus permohonan PK untuk tingkat pertama dan terakhir. 5. Permohonan PK harus menyebtkan alasan-alasan yang jelas. 6. MA tidak berwenang mengadakan pemeriksaan tambahan. 7. Tenggang waktu pengajuan PK adalah 180 hari. ALASAN PENGAJUAN PK 1. Putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus. 2. Ditemukan surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu diperiksa tidak dapat ditemukan. 3. Apabila telah dikabulkan oleh PT TUN sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut. 4. Apabila suatu bagian dari tuntutan belum diputus oleh PT TUN tanpa mempertimbangkan sebab-sebab / alasannya. 5. Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan Hakim.
  • 82. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 81 KUIS / KASUS Berikut ini adalah contoh bentuk dan atau isi Keputusan Badan / Pejabat TUN tentang perintah pembongkaran: Alternatif I: Yang tersebut namanya dalam daftar lampiran ini diperintahkan untuk membongkar bangunan yang terletak di jalan ……. nomor …….. kota …... Pelaksanaan pembongkaran selambat-lambatnya tanggal ………. Alternatif II: Semua bangunan yang terletak di sepanjang jalan ……. kota …... diberi batas waktu pembongkaran selambat-lambatnya tanggal ……… Pertanyaan: • Bentuk dan atau isi Keputusan mana yang dapat digugat kedepan PTUN ? • Apa alasannya ? • Apa kaitannya dengan kompetensi PTUN ? ν
  • 83. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 82 RECHTSTAAT RULE OF LAW Jaminan Hak-Hak Asasi Manusia Supremasi Aturan Hukum (supremacy of law) Dan Tidak Ada Kekuasaan Yang Sewenang-Wenang (absence of arbitrary power) Pemisahan Atau Pembagian Kekuasaan Pemerintahan Berdasarkan Peraturan Kedudukan Yang Sama Di Depan Hukum (equality before the law) Peradilan Administrasi Dalam Perselisihan Jaminan Hak-Hak Asasi Manusia Dalam konteks pembatasan kekuasaan pemerintahan melalui sistem konstitusional, sejak abad 19 dan permulaan abad 20 telah menjadi pemikiran para ahli. Ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friederich Julius Stahl menggunakan istilah rechtstaat, sedangkan ahli hukum Anglo Saxon seperti AV. Dicey memakai istilah rule of law.
  • 84. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 83 DAFTAR PUSTAKA Buku : Adamolekun, Ladipo dan Coralie Bryant, 1996, Governance Progress Report : The Africa Region Experience; Capacity Building and Implementation Division Study Paper, Africa Technical Paper (Washington DC: World Bank). Ali, Faried, 1996, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta : Rajawali Bautigam, Deborah, 1991, Governance and Economy: A Review; Policy Research Working Papers, (Washington DC: World Bank) Bhatta, Gambhir, 1996, Capacity Building At The Local Level For Effective Governance: Empowerment Without Capacity Is Meaningless; Paper presented in The International Conference On Governance Innovation: Building the Government - Citizen - Business Partnership; October 20-23 , Manila, Philippines Gie, The Liang, 1987, Materi Pokok Etika Administrasi Pemerintahan, Modul Universitas Terbuka, Jakarta : Karunika Hadjon, Philipus M., et.al., 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jilid 1 dan 2, Jakarta : Sinar Harapan LAN RI, 1996, Sistem Administrasi Negara RI, Jilid II, Jakarta : Haji Masagung Marbun, S.F., Dan Moh. Mahfud, MD., 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Liberty. Marbun, S.F., 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta : Liberty. Situmorang, Victor, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Bina Aksara. Wahyono, Padmo, et.al., 1989, Pejabat Sebagai Calon Tergugat dalam Peradian Tata Usaha Negara, Jilid I dan II, Jakarta : Sri Rahayu.
  • 85. “Hukum Tata Pemerintahan” Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ∨ 84 Peraturan Perundangan: UUD 1945 UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN