Buku ini membahas tentang pentingnya tidur yang baik dan kualitas hidup. Tidur yang baik mempengaruhi kesehatan jasmani dan rohani. Gangguan tidur seperti insomnia dan sleep apnea dapat menurunkan kualitas hidup. Buku ini juga membahas fisiologi tidur, sirkadian clock, dan pengaruhnya terhadap kualitas tidur."
3. BUKU AJAR
SLEEP MEDICINE
Oleh
Kelompok Studi Gangguan Tidur Perdossi
Penyusun
Nushrotul Lailiyya, dr., Sp.S., Sp.Akp
Universitas Padjadjaran
Dr. Uni Gamayani, dr., Sp.S(K)
Universitas Padjadjaran
www.inasleep.org
4. BUKU AJAR
SLEEP MEDICINE
Copyright @2019, Kelompok Studi Gangguan Tidur Perdossi
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau meperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Cetakan 1, September 2021
Diterbitkan oleh Unpad Press
Grha Kandaga, Gedung Perpustakaan Unpad Jatinangor, Lt. I
Jl. Raya Bandung - Sumedang (Ir. Soekarno) KM 21,
Jatinangor - Sumedang 45363 - Jawa Barat-Indonesia
Telp. (022) 84288888 ext 3806, Situs: http://press.unpad.ac.id
E-mail:press@unpad.ac.id/pressunpad@gmail.com/ pressunpad@yahoo.co.id
Anggota IKAPI dan APPTI
Editor:
Nushrotul Lailiyya, dr., Sp.S., SpAkp
Editor Ahli/Reviewer:
Dr. Uni Gamayani, dr., Sp.S(K); Fathul Huda, dr., Ph.D.
Editor Bahasa:
Nushrotul Lailiyya, dr., Sp.S., Sp.Akp; Fathul Huda, dr., Ph.D.
Tata Letak & Disain Sampul:
Traveland Convex
ISBN : 978-602-439-055-3
5. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org iii
PRAKATA
Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh.
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan pencipta alam
semestaAllahSWTdanshalawat serta salam kami sampaikan kepada Rasulullah
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau. Pada akhirnya
cita cita penggiat Indonesia Sleep Medicine Sociaty terwujud dalam 2ⁿd Indonesia
Sleep Medicine Meeting dan kegiatan tersebut kami wujudkan dalam sebuah
buku Proceding 2nd
Indonesia Sleep Medicine Meeting dengan tema “Better Sleep
andQualityofLife“dalambentukBukuAjar.
Para penggiat sleep Indonesia berkumpul dan berbagi ilmu dalam
bidang gangguan tidur yang meliputi gangguan tidur insomnia, parasomnia,
obstructive sleep apnea, gangguan irama sirkadian, gangguan tidur yang
berhubungan dengan gangguan gerak, dan gangguan tidur yang terkait dengan
penyakit lain seperti stroke, tumor, nyeri, aritmia, diabetes, sindroma geriatrik,
kehamilan dan lain sebagainya. Pada buku ini dibahas tentang epidemiologi,
patomekanisme, gejala klinis, diagnosis, beberapa pemeriksaan atau alat
penapisan untuk membantu menegakkan diagnosis, dan penatalaksanaan atau
tindakanpadagangguantiduryangdipaparkansecararincidansistematis.
Tidak ada gading yang tak retak, kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dalam penyusunan buku kumpulan abstrak ini, namun besar
harapan kami buku ini bermanfaat dan menjadi perangsang agar kita mau
belajar lebih banyak lagi melalui buku buku gangguan tidur yang lain untuk
menambah ilmu dan wawasan sejawat sehingga dapat meningkatkan pelayanan
kesehatankhususnyadibidanggangguantidur.
Salam sejahtera dan selamat membaca.
Wassalamu’alaikum warahmatullahiwabarakatuh.
6.
7. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org v
DAFTARISI
PRAKATA
DAFTARISI
1. BetterSleepandQualityofLife
Oleh:Moh.HasanMachfoed
iii
v
3
2. ApproachtoThePatientwithExcessiveDaytimeSleepiness 16
Oleh: ZamroniAfif
3. NarcolepsyPostInfectionandVaccination 20
Oleh:DesakKetutIndrasariUtami
4. DisruptionofSleepandCircadian-TiminginParkinsonDisease 24
Oleh:RadenAjengDwiPujiastuti
5. Is CBT The Best Choice for Insomnia Treatment?
(Apakah CBT Merupakan Pilihan Terbaik untuk Tatalaksana
Insomnia?) 30
Oleh:RimawatiTedjasukmana
6. Snoring and Hypertension in Indonesia
(MendengkurdanHipertensidiIndonesia) 38
Oleh:RimawatiTedjasukmana
7. DelayedPhaseSleepDisorder:What,Why,andHow? 49
Oleh:Fidiana
8. Non-RemParasomnia:DiagnosisandTreatment 53
Oleh:WardahRahmatulIslamiyah
9. PeranCPAPpadaPPOKdenganOSA(OverlapSyndrome) 62
Oleh:BudhiAntariksa
10. PeriodicLimbMovementDisorderaClinicalUpdate 70
Oleh:HariPurnomo
8. Buku Ajar Sleep Medicine
11. ChallengeinDiagnosingandTreatingNarcolapsy 85
Oleh:HerlinaSuryawati
12. Peran Inflamasi Rhinitis Allergica dan Non Rhinitis Allergica
padaObstructiveSleepApneaSyndrome 90
Oleh:KantiYunika
13. Anatomi dan Fisiologi Tidur 101
Oleh :Nushrotul Lailiyya, Ari Septiani
14. Gangguan Hipersomnolen Sentral 120
Oleh :Nushrotul Lailiyya, Sofia Imaculata
INDEX 145
vi www.inasleep.org
11. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 3
Better Sleep and Quality of Life
Oleh: Moh. Hasan Machfoed
Department of Neurology, Medical Faculty of Airlangga Unversity/ Dr. Soetomo
Hospital, Surabaya
Abstract:
Sleepisanaturallyrecurringstateofmindand body,characterized by altered
consciousness, relatively inhibited sensory activity, inhibition of nearly all
voluntarymuscles,andreducedinteractionswithsurroundings.
Better sleep or sleeping well directly affects mental and physical health. Fall
short and it can take a serious toll on daytime energy, productivity, emotional
balance,andevenweight.
Quality of life (QOL) is an overarching term for the quality of the various
domains in life. It is a standard level that consists of the expectations of an
individual or society for a good life. These expectations are guided by the values,
goals and socio-cultural context in which an individual lives. It is a subjective,
multidimensional concept that defines a standard level for emotional, physical,
materialandsocialwell-being.
Disorders of sleep like insomnia, obstructive sleep apnea (OSA) and other
disorders,willsignificantlyreduceQOL.
Keyword: BetterSleep.QualityOfLife.
Pendahuluan
Tidur adalah keadaan dimana terjadi pertukaran pikiran dan tubuh yang
berulang secara alami. Hal ini ditandai oleh adanya kesadaran yang berubah,
aktivitas sensorik yang relatif terhambat, penghambatan hampir semua otot
tubuhdanberkurangnyainteraksidenganlingkungan(BrainBasics,2013).
Selama tidur, sebagian besar sistem tubuh dalam keadaan anabolik,
membantu memulihkan sistem kekebalan, saraf, kerangka, dan otot. Ini adalah
prosespentingyangmempertahankan suasana hati,memori,danfungsikognitif,
dan memainkan peran besar dalam fungsi sistem endokrin dan kekebalan tubuh
(Sleep-wakecycle.2017).
Manusia dapat menderita berbagai gangguan tidur, termasuk dissomnia
seperti insomnia, hipersomnia, narkolepsi, dan sleep apnea; parasomnia seperti
sleep walking dan gangguan perilaku REM; bruxism; dan gangguan tidur ritme
12. Buku Ajar Sleep Medicine
4 www.inasleep.org
sirkadian. Munculnya cahaya buatan telah secara substansial mengubah waktu
tidurdinegara-negaraindustri(Randall,2012).
FisiologiTidur
Perubahan fisiologis yang paling menonjol dalam tidur terjadi di otak
(Maquet et al., 2005). Otak menggunakan energi secara signifikan lebih sedikit
selama tidur daripada yang terjadi ketika bangun, terutama selama tidur non-
REM. Di daerah dengan aktivitas yang berkurang, otak mengembalikan pasokan
adenosin trifosfat (ATP), molekul yang digunakan untuk penyimpanan jangka
pendekdanpengangkutanenergi(Brownetal.,2012).
Tidur meningkatkan ambang sensorik. Dengan kata lain, orang yang tidur
merasakan lebih sedikit rangsangan, tetapi secara umum masih dapat
menanggapi suara keras dan peristiwa sensoris yang menonjol lainnya (Siegel,
2008). Selama tidur gelombang lambat, manusia mengeluarkan semburan
hormon pertumbuhan. Semua tidur, bahkan pada siang hari, dikaitkan dengan
sekresiprolaktin(Cauteretal.,1999).
TidurNon-REMdanREM
Tidur dibagi menjadi dua tipe besar: tidur non-rapid eye movement (non-
REM or NREM) dan rapid eye movement (REM). Tidur Non-REM dan REM sangat
berbeda sehingga ahli fisiologi mengidentifikasi mereka sebagai keadaan
perilaku yangberbeda (Maquet et al., 2005). Tidur non-REM terjadi pertama dan
setelah periode transisi disebut tidur gelombang lambat atau tidur nyenyak.
Selama fase ini, suhu tubuh dan detak jantung turun, dan otak menggunakan
lebihsedikitenergi(Maquetetal.,2005).
Tidur REM, juga dikenal sebagai tidur paradoks, mewakili sebagian kecil
dari total waktu tidur. Ini adalah kesempatan utama untuk bermimpi (atau
mimpi buruk), dan dikaitkan dengan gelombang otak yang tidak sinkron dan
cepat, gerakan mata, kehilangan tonus otot, dan suspensi homeostasis
(Parmeggiani, 2011). Siklus tidur NREM alternatif dan tidur REM membutuhkan
rata-rata90menit,terjadi4-6kalidalamtidurnyenyak(McCarley,2007).
The American Academy of Sleep Medicine (AASM) membagi NREM menjadi
tiga tahap: N1, N2, dan N3, yang terakhir juga disebut tidur delta atau tidur
gelombang lambat (Silber et al., 2007). Seluruh periode biasanya berlangsung
dalam urutan: N1 N2 N3 N2 REM. Tidur REM terjadi ketika seseorang
kembali ke tahap 2 atau 1 dari tidur nyenyak. Ada jumlah yang lebih besar dari
tidur nyenyak (tahap N3) di awal malam, sementara proporsi tidur REM
meningkat dalam dua siklus sesaat sebelum pencerahan alami (Silber et al.,
2007).
13. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 5
CircadianClockdanCircadianRhythm
Waktu tidur sangat tergantung pada sinyal hormon dari the circadian clock,
atau Proses C, sistem neurokimiawi kompleks yang menggunakan sinyal dari
lingkungan organisme untuk menciptakan ritme siang-malam internal. Proses C
menangkal dorongan homeostatis untuk tidur di siang hari (pada hewan
diurnal) dan menambahnya di malam hari (Fuller et al., 2006). The
suprachiasmatic nucleus (SCN), area otak langsung di atas chiasm optik, saat ini
dianggapsebagainexuspaling penting untuk prosesini;Namun,secondaryclock
systemstelahditemukandiseluruhtubuh(Waterhouseetal.,2012).
A circadian clock, atau circadian oscillator, adalah osilator biokimia yang
berputar dengan fase stabil dan disinkronkan dengan waktu matahari. Jam in
vivo semacam itu hampir selalu tepat 24 jam (hari matahari bumi saat ini). Pada
sebagian besar makhluk hidup, jam sirkadian yang disinkronkan secara internal
memungkinkan organisme untuk mengantisipasi perubahan lingkungan sehari-
hari yang sesuai dengan siklus siang-malam dan menyesuaikan biologinya dan
perilakuyangsesuai(Cromie,2015).
Istilah sirkadian berasal dari bahasa Latin circa (sekitar) diem (sehari),
karena ketika diambildari isyarateksternal (seperticahaya lingkungan), mereka
tidak berjalan tepat 24 jam. Jam pada manusia di laboratorium dalam cahaya
rendah yang konstan, misalnya, akan rata-rata sekitar 24,2 jam per hari, bukan
24jamtepat(Cromie,2015).
A circadian rhythm adalah proses internal dan alami yang mengatur siklus
tidurbangundanmengulangikira-kirasetiap24jam(Shriver,2019).
Inidapatmerujuk pada proses biologis yang menampilkan osilasi endogen,
entrainable sekitar 24 jam. Ritme 24 jam ini digerakkan oleh jam sirkadian, dan
mereka telah diamati secara luas pada tanaman, hewan, jamur, dan
cyanobacteria(Edgaretal.,2012).
Jam sirkadian memberikan pengaruh konstan pada tubuh, mempengaruhi
osilasisinusoidalsuhutubuhantarasekitar36,2O
Cdan37,2O
C.Alatpacujantung
sirkadian dalam nukleus suprachiasmatic memiliki koneksi saraf langsung ke
kelenjar pineal, yang melepaskan hormon melatonin pada malam hari
(Zlomanczuketal.,1999).
The circadian rhythm mempengaruhi waktu ideal episode tidur restoratif.
Rasa kantuk meningkat di malam hari. Tidur REM lebih banyak terjadi selama
suhu tubuh minimum dalam siklus sirkadian, sedangkan tidur gelombang
lambat dapat terjadi lebih independen dari waktu sirkadian (Roenneberga et al.,
2007).
14. Buku Ajar Sleep Medicine
6 www.inasleep.org
KualitasTidur
Kualitas tidur dapat dievaluasi dari sudut pandang objektif dan subyektif.
Kualitas tidur yang objektif mengacu pada seberapa sulit seseorang untuk
tertidur dan tetap dalam kondisi tidur, dan berapa kali mereka bangun selama
satu malam. Kualitas tidur yang buruk mengganggu siklus transisi antara
berbagaitahapantidur(Barnesetal.,2015).
Kualitas tidur subyektif pada gilirannya mengacu pada rasa sedang merasa
diistirahatkan dan diregenerasi setelah bangun dari tidur. Sebuah studi oleh A.
Harvey et al. (2002) menemukan fakta bahwa penderita insomnia lebih
menuntut evaluasi tentang kualitas tidur mereka dibandingkan dengan individu
yangtidakmemilikimasalahtidur.
Kecenderungan tidur homeostatik (kebutuhan untuk tidur sebagai fungsi
dari jumlah waktu yang berlalu sejak episode tidur terakhir yang memadai)
harus seimbang terhadap elemen sirkadian untuk tidur yang memuaskan
(Zisapel,2007).
Seiring dengan pesan dari jam sirkadian, yang memberi tahu bahwa tubuh
perlu tidur (Tina et al., 2008). Seseorang yang secara teratur terbangun pada
jam-jam awal umumnya tidak akan bisa tidur lebih lama dari waktu bangun
normalnya,bahkanjikakurangtidur.
Waktunya tepat ketika dua penanda sirkadian berikut terjadi setelah
pertengahanepisode tidurdansebelumbangun konsentrasi maksimum hormon
melatonin,dansuhuintitubuhminimum(Wyattetal.,1999).
Tiduryanglebihbaik
Tidur nyenyak secara langsung memengaruhi kesehatan mental dan fisik.
Bila terjadi kegagalan, itu bisa berdampak serius pada energi siang hari,
produktivitas,keseimbanganemosional,danbahkanberatbadan.Tidurnyenyak
mungkin tampak seperti tujuan yang mustahil ketika Anda bangun pada jam 3
pagi, tetapi Anda memiliki kontrol lebih besar atas kualitas tidur Anda daripada
yangmungkinAndasadari(Smithetal.,2019).
Unhealthydaytimehabitsandlifestylechoices dapatmembuatanda bingung
di malam hari dan memengaruhi suasana hati, otak, jantung, sistem kekebalan
tubuh, kreativitas, vitalitas, dan berat badan. Tetapi dengan melaksanakan kiat-
kiat berikut, anda dapat menikmati tidur yang lebih baik di malam hari,
meningkatkankesehatan,danmeningkatkancaraberpikir(Smithetal.,2019).
Kiat1:Tetapselarasdengansiklustidur-alamiAnda
Menyelaraskan dengan siklus tidur-alami tubuh, atau ritme sirkadian,
adalah salah satu strategi terpenting untuk tidur lebih baik. Jika anda
15. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 7
mempertahankan jadwal tidurbangun yang teratur, anda akan merasa jauh lebih
segar dan berenergi daripada jika anda tidur dengan jumlah jam yang sama di
waktu yang berbeda, bahkan jika anda hanya mengubah jadwal tidur anda satu
atauduajam(Smithetal.,2019).
Kiat2:Kontroleksposurandaterhadapcahaya
Melatonin adalah hormon yang terbentuk secara alami yang dikendalikan
oleh paparan cahaya yang membantu mengatur siklus tidur-bangun. Otak akan
mengeluarkanlebih banyak melatonin ketika gelap . membuat anda mengantuk .
dan lebih sedikit ketika itu terang membuat anda lebih waspada. Namun, banyak
aspek kehidupan modern dapat mengubah produksi melatonin tubuh dan
menggeserritmesirkadian(Smithetal.,2019).
Kiat3:Berolahragadisianghari
Orang yang berolahraga secara teratur tidur lebih baik di malam hari dan
merasa kurang mengantuk di siang hari. Olahraga teratur juga memperbaiki
gejala insomnia dan sleep apnea dan meningkatkan jumlah waktu yang anda
habiskan dalam tahap tidur yang mendalam dan memulihkan (Smith et al.,
2019).
Kiat4:Cerdastentangapayangandamakandanminum
Kebiasaanmakansianghariandaberperandalamseberapa baikandatidur,
terutama pada jam-jam sebelum tidur. Batasi kafein dan nikotin (Smith et al.,
2019).
Kiat5:TurunkanbadandanbersihkankepalaAnda
Apakah anda mendapati diri Anda tidak bisa tidur di malam hari? Adanya
stres, kekhawatiran, dan kemarahan dapat membuat sangat sulit untuk tidur
nyenyak(Smithetal.,2019).
Kiat6:PerbaikilingkungantidurAnda
Rutinitas tidur yang damai akan mengirimkan sinyal yang kuat ke otak,
yang memberi tahu bahwa sudah waktunya untuk beristirahat dan melepaskan
stres hari itu. Kadangkadang bahkan perubahan kecil pada lingkungan, dapat
membuatperbedaanbesarpadakualitastidur(Smithetal.,2019).
Kiat7:Pelajaricarauntukkembalitidur
Adalah normal untuk bangun sebentar di malam hari tetapi jika Anda
16. Buku Ajar Sleep Medicine
8 www.inasleep.org
kesulitantidurkembali,tipsinidapat membantu:JauhipikiranAnda.Meski sulit,
cobalah untuk tidak menekankan ketidakmampuan Anda untuk tertidur lagi,
karena stres itu hanya mendorong tubuh Anda untuk tetap terjaga. Untuk
menjauhi kepala Anda, fokuskan pada perasaan di tubuh Anda atau lakukan
latihan pernapasan. Tarik napas dalam, lalu tarik napas perlahan sambil
mengatakan atau memikirkan kata, gAhhh. h Tarik napas lagi dan ulangi
(Smithetal.,2019).
Gangguan Tidur
Insomnia
Insomnia, juga dikenal sebagai sulit tidur, adalah gangguan tidur di mana
orang mengalami kesulitan tidur (NHLBI, 2011). Mungkin saja mereka
mengalami kesulitantidur,atau tetaptidurselama yang diinginkan (Punnooseet
al.,2012).
Insomnia atau kantuk berlebihan di siang hari, banyak ditemukan didalam
populasi umum (sekitar sepertiga orang menderita) dan karenanya merupakan
masalah klinis yang signifikan (Ohayon et al., 2011). Yang paling sering, adalah
insomnia didefinisikan sebagai kesulitan tidur yang mengakibatkan terlalu
sedikittidurataukualitastiduryangburuk(Rothetal.,2007).
Definisi umum insomnia menurut the third edition of the International
Classification of Sleep Disorders (ICSD-3) yang diterbitkan oleh American
Academy of Sleep Medicine Board of Directors, yang ditandai oleh “kesulitan tidur
yang terus-menerus dengan inisiasi tidur, durasi, konsolidasi, atau kualitas tidur,
dan menghasilkan beberapa bentuk gangguan tidur di siang hari (Sateia et al.,
201), sedangkan kantuk di siang hari yang berlebihan, menurut ICSD, hanya
merupakangejalagangguantidurataupenyakitlainnya(Ohayonetal.,2011).
Insomnia biasanya diikuti oleh kantuk di siang hari, energi rendah, lekas
marah, dan suasana hati yang depresif. Ini dapat mengakibatkan peningkatan
risiko tabrakan kendaraan bermotor, serta masalah fokus dan pembelajaran.
Insomnia dapat bersifat jangka pendek, berlangsung selama berhari-hari atau
berminggu-minggu, atau jangka panjang, berlangsung lebih dari sebulan
(NHLBI,2011).
Insomniadapatterjadisecara independenatausebagaiakibat darimasalah
lain(NHLBI, 2011).Kondisi yang dapat mengakibatkan insomnia termasuk stres
psikologis, nyeri kronis, gagal jantung, hipertiroidisme, mulas, restless leg
syndrome, menopause, obat-obatan tertentu, dan obat-obatan seperti kafein,
nikotin,danalkohol(WHO,2009).
Faktor risiko lain termasuk shift kerja malam dan sleep apnea (Roth, 2007).
17. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 9
Diagnosis didasarkan pada kebiasaan tidur dan pemeriksaan untuk mencari
penyebab yang mendasarinya. Sebuah studi tentang tidur mungkin saja
dilakukan untuk mencari gangguan tidur yang mendasarinya. Skrining dapat
dilakukan dengan dua pertanyaan: "apakah anda mengalami kesulitan tidur?"
dan"apakahandamengalamikesulitanjatuhtertidur?(Roth,2007)
ObstructiveSleepApnea(OSA)
OSA adalah jenis sleep apnea yang paling umum dan disebabkan oleh
penghentian total atau sebagian jalan nafas atas. Ini ditandai dengan episode
berulang dari pernapasan dangkal atau berhenti selama tidur, meskipun upaya
untuk bernapas, dan biasanya dikaitkan dengan pengurangan saturasi oksigen
darah(Berryetal.,2012).
Pada OSA-Hypopnea Syndrome, episode penurunan pernapasan disebut
"hypopnea” dan definisinya membutuhkan penurunan aliran .30% selama 10
detik atau lebih, terkait dengan desaturasi oksigen .3%. Episode penghentian
pernapasan disebut "apnea" (secara harfiah, "tanpa napas") dan harus
didefinisikan, penurunan .90% dalam aliran selama 10 detik atau lebih harus
dinilaidandikaitkandengandesaturasioksigen3%(Berryetal.,2012).
GangguanLainnya
Gangguan tidur lainnya termasuk narkolepsi, periodic limb movement
disorder (PLMD), restless leg syndrome (RLS), upper airway resistance syndrome
(UARS), dan the circadian rhythm sleep disorders. Fatal familial insomnia (FFI),
adalah penyakit genetik yang sangat langka tanpa pengobatan atau
penyembuhan, ditandai dengan meningkatnya insomnia sebagai salah satu
gejalanya;akhirnyapenderitadapatmeninggal(Max,2010).
Somnambulisme, yang dikenal sebagai tidur berjalan, juga merupakan
gangguan tidur yang umum, terutama di kalangan anak-anak. Dalam
somnambulisme individu bangun dari tidurnya dan berkeliaran di sekitar saat
masihtidur(Dugdale,2011)
QualityofLife(QOL)
QOL adalah istilah umum untuk menerangkan berbagai domain kualitas
dalam kehidupan. Ini adalah tingkat standar yang terdiri dari harapan individu
atau masyarakat untuk kehidupan yang baik. Harapan-harapan ini dipandu oleh
nilai-nilai, tujuan dan konteks sosial-budaya di mana seorang individu hidup. Ini
adalah konsep subjektif, multidimensi yang mendefinisikan tingkat standar
untukkesejahteraanemosional,fisik,materialdansosial(Post,2014).
QOL berfungsi sebagai referensi yang dengannya individu atau masyarakat
18. Buku Ajar Sleep Medicine
10 www.inasleep.org
dapat mengukur berbagai domain kehidupan seseorang. Sejauh mana
kehidupansendiribertepatandengan tingkat standar yang diinginkanini,secara
berbeda, sejauh mana domain ini memberikan kepuasan dan dengan demikian
berkontribusi pada kesejahteraan subjektif seseorang, disebut kepuasan hidup
(Post,2014).
PengukuranKuantitatifQOL
Agak sulit untuk melakukan pengukuran jangka panjang QOL yang dialami
seseorang.
Hal ini dapat dibedakan menjadi 2 aspek, kesejahteraan pribadi dan
kesejahteraan emosional. Disini, responden ditanya tentang kualitas
pengalaman emosional sehari-hari mereka, frekuensi dan intensitas
pengalaman mereka, misalnya, sukacita, stres, kesedihan, kemarahan, dan kasih
sayang. dan evaluasi kehidupan, di mana responden diminta untuk memikirkan
kehidupan mereka secara umum dan mengevaluasinya terhadap skalanya
(Kahnemanetal.,2010).
QOL bisa berarti kebahagiaan, keadaan pikiran subyektif. Dengan
menggunakan mentalitas seperti itu, maka penduduk negara berkembang, lebih
menghargai karena mereka puas dengan kebutuhan dasar tentang perawatan
kesehatan,pendidikandanperlindungananak(Singer,2011).
HumanDevelopmentIndex(HDI)
Perhaps the most commonly used international measure of development is
the Human Development Index (HDI), which combines measures of life expectancy,
education,and standard of living,in an attempt to quantify theoptions available to
individuals within a given society. The HDI is used by the United Nations
DevelopmentProgrammeintheirHumanDevelopmentReport(Elizabeth,2007).
WorldHappinessReport
The World Happiness Report adalah survei tentang keadaan kebahagiaan
global. Ada 156 peringkat negara berdasarkan tingkat kebahagiaan mereka,
mencerminkan meningkatnya minat global dalam menggunakan kebahagiaan
dankesejahteraansubstansialsebagai indikatorkualitaspembangunan manusia
(Helliwelletal.,2016).
Tujuannya yang terus berkembang, telah memungkinkan pemerintah,
masyarakat dan organisasi untuk menggunakan data yang ada untuk merekam
kebahagiaan agar memungkinkan mengambil kebijakan untuk memberikan
kehidupanyanglebihbaik.
Laporan tersebut berisi keadaan yang menilai kebahagiaan di dunia saat
19. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 11
ini, dan menunjukkan bagaimana ilmu tetang kebahagiaan itu menjelaskan
variasikebahagiaanpribadidannasional(Helliwelletal.,2016).
Baru baru ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama dengan HDI, telah
menerbitkan laporan tentang peringkat negara dengan kebahagiaan, yang
dianggap sebagai hasil akhir dari kualitas hidup yang tinggi. Laporan ini
menggunakan survei dari Gallup, tentang PDB per kapita, harapan hidup sehat,
memiliki seseorang yang dapat diandalkan, merasa bebas dalam membuat
pilihan hidup, kebebasan dari korupsi, dan lainnya. Kebahagiaan sudah diakui
sebagaikonseppentingdalamkebijakanpublikglobal.WorldHappinessReport
menunjukkan bahwa beberapa daerah dalam beberapa tahun terakhir telah
mengalami ketidakmerataan kebahagiaan yang progresif. Tanpa kehidupan,
tidakadakebahagiaanuntukdirealisasikan(Helliwelletal.,2016).
GangguanTidurdanNyeriKepala
Kualitas tidur yang buruk ditemukan lebih banyak pada penderita nyeri
kepalakronisdaripaorangnormal(Autho,2011).
Terdapat beberapa hubungan antara gangguan tidur dengan nyeri kepala,
antara lain: tidur memicu nyeri kepala, tidur merupakan faktor yang
memperingan nyeri kepala, gangguan tidur menyebabkan nyeri kepala, kualitas
tiduryangburukmemperberat nyerikepala, gangguan tidur seringditemuipada
penderita nyeri kepala, nyeri kepala malam hari menyebabkan gangguan tidur,
nyeri kepala yang terkait dengan stadium tidur, nyeri kepala terjadi selama atau
sesaat setelah tidur, dan hubungan nyeri kepala dan tidur dimediasi oleh
neurotransmitteryangsama,yaituserotonindandopamine(Dosietal.,2013).
Rowland dkk menyimpulkan bahwa kualitas tidur yang buruk
berhubungan dengangejalakecemasan(Rowlandet al.,2015).Didugafenomena
ini berhubungan dengan kesamaan neurobiologis dan peningkatan respon
inflamasisertafaktorgenetikdanlingkungan(Alvaroetal.,2013).
Kualitas tidur yang buruk menstimulasi hipotalamus. Selanjutnya
hipotalamus menstimulasi periaquaduktal grey matter, rostroventromedular,
dan mensensitisasi Trigeminal Nucleus Caudatus/Trigeminal Cervical Complex,
baik langsung maupun tidak langsung melalui penurunan kadar serotonin.
Sensitisasi ini menstimulasi talamus, persepsi nyeri di korteks sensoris primer
danmeningkatkanintensitasnyeri(Alvaroetal.,2013).
HubunganantaraGangguanTidurdanKualitasHidupPasienHipertensi
Gangguantidur,sepertiinsomniadengandurasitidurpendek yangobjektif,
dikaitkan dengan peningkatan risiko hipertensi. Tujuan dari penelitian yang
20. Buku Ajar Sleep Medicine
12 www.inasleep.org
dilakukan oleh Uchmanowicz adalah untuk mengevaluasi efek insomnia dan
kantuk di siang hari pada kualitas hidup (QOL) di antara pasien hipertensi lansia
(Uchmanowiczetal.,2019).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh pasien mengalami
insomnia dan 39% mengalami kantuk di siang hari. Kantuk di siang hari
dikaitkan secara negatif dengan persepsi kualitas hidup. Itu juga menunjukkan
bahwa insomnia mungkin dipengaruhi oleh usia yang lebih tua, aktivitas
pekerjaan, kelebihan berat badan dan durasi penyakit yang lebih lama di antara
pasienhipertensi(Uchmanowiczetal.,2019).
Kesimpulan: Masalah tidur memiliki dampak negatif yang signifikan pada
kualitas hidup pada pasien dengan hipertensi, terutama dalam domain fisik dari
QOL. Terjadinya masalah tidur pada pasien dengan hipertensi dipengaruhi oleh
usia yang lebih tua, pendidikan dasar, kelebihan berat badan, aktivitas kerja, dan
durasipenyakityanglebihlama(Uchmanowiczetal.,2019).
Kesimpulan
Tidur memiliki arti penting dalam kesehatan individu. Dikala tidur maka
akan terjadi penurunan interaksi yang signifikan antara tubuh dengan
lingkungannya. Itulah saatnya istirahat dan tubuh mengalami re-organisasi dan
recovery.
Tidur yang lebih baik atau tidur nyenyak secara langsung mempengaruhi
kesehatan fisik dan mental. Sebaliknya tidur yang tidak baik bukan hanya
menimbulkan berbagai penyakit, lebih dari itu akan menurunkan QOL. Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tidur yang baik sangat penting bagi
kesehatandanmemperbaikikualitashidupseseorang.
DaftarPustaka:
1. Alvaro PK, Roberts RM and Harris JK. A systematic review assessing
bidirectionality between sleep disturbances, anxiety, and depression.
Sleep.2013.36:1059-68.
2. Autho. Triggers of migraine and tension-type headache. In: Nappi G and
MoskowitzMA,(eds.).Headache.2011.Amsterdam:Elsevier,p.
3. BarnesCM,LucianettiL,BhaveDP,ChristianMS.Youwouldn'tlikemewhen
I'm sleepy: Leaders' sleep, daily abusive supervision, and work unit
engagement.AcademyofManagementJournal.2015.58(5):1419.1437.
4. Berry RB, Budhiraja R, Gottlieb DJ, Gozal D. Rules for the Scoring
Respiratory Events in Sleep: Update of the 2007 AASM Manual for the
Scoring of Sleep and Associated Events. Journal of Clinical Slepp Medicine.
2012.8(5):597.619.
21. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 13
5. Brain Basics: Understanding Sleep". Office of Communications and Public
Liaison, National Institute of Neurological Disorders and Stroke, US
National Institutes of Health, Bethesda, MD. 2017. Archived from the
originalon11October2007.Retrieved10December2013.
6. Brown RE, Basheer R, McKenna JT, Strecker RE, McCarley RW. "Control of
SleepandWakefulness".PhysiologicalReviews.2012.92(3):1087.1187.
7. CauterEV,SpiegelK.CircadianandSleepControlofHormonalSecretions,in
Turek & Zee (eds.), Regulation of Sleep and Circadian Rhythms. 1999. pp.
397.425.
8. Cromie, William (1999-07-15). Human Biological Clock Set Back an Hour.
HarvardGazette.Retrieved2015-07-29.
9. Dosi C, Riccioni A, della Corte M, Novelli L, Ferri R and Bruni O,.
Comorbidities of sleep disorders in childhood and adolescence: focus on
migraine.Natureandscienceofsleep.2013.5:77.
10. Dugdale DC. (22 May 2011). Sleepwalking Archived 5 July 2016 at the
WaybackMachine.USNationalinstitutesofhealth.
11. Edgar RS, Green EW, Zhao Y, van Ooijen G, Olmedo M, Qin X, Xu Y, Pan M,
Valekunja UK, Feeney KA, Maywood ES, Hastings MH, Baliga NS, Merrow M,
Millar AJ, Johnson CH, Kyriacou CP, O'Neill JS, Reddy AB (May).
Peroxiredoxins are conserved markers of circadian rhythms. Nature. 2012.
485(7399):459.64
12. Elizabeth AS. The Human Development Index: A History. PERI Working
Papers. 2007. 14.15. Archived from the original on 28 February 2019.
Retrieved28February2019
13. Fuller PM, Gooley JJ, Saper CB. Neurobiology of the Sleep-Wake Cycle: Sleep
Architecture, Circadian Regulation, and Regulatory Feedback. Journal of
BiologicalRhythms.2006.21(6):482.93.
14. Harvey AG, Payne S. The management of unwanted pre-sleep thoughts in
insomnia: Distraction with imagery versus general distraction. Behaviour
ResearchandTherapy.2002.40(3):267.27720
15. Helliwell J, Layard R, Sachs J. World Happiness Report 2016, Update (Vol. I).
New York: Sustainable Development Solutions Network. 2016. Retrieved
12May2016.
16. Kahneman D, Deaton A. High income improves evaluation of life but not
emotional well-being. Proceedings of the National Academy of Sciences.
2010.107(38):16489.16493.
17. Maquet PAA et al., "Brain Imaging on Passing to Sleep"; Chapter 6 in
Parmeggiani&Velluti(2005).
18. MaxDT.TheSecretsofSleepArchived10May2012attheWaybackMachine
22. Buku Ajar Sleep Medicine
14 www.inasleep.org
NationalGeographicMagazine,May2010.
19. McCarley RW. "Neurobiology of REM and NREM sleep". Sleep
Medicine.2007.8(4):302.330.
20. NHLBI."WhatIsInsomnia?"December13,2011.Archivedfromtheoriginal
on28July2016.Retrieved9August2016.
21. Ohayon MM. Epidemiological overview of sleep disorders in the general
population.SleepMedRes.2011;2(1):1.9.
22. Ohayon MM. Epidemiological overview of sleep disorders in the general
population.SleepMedRes.2011;2(1):1.9.
23. Ohayon MM. Epidemiological overview of sleep disorders in the general
population.SleepMedRes.2011;2(1):1.9.
24. Parmeggiani. Systemic Homeostasis and Poikilostasis in Sleep. 2011., pp.
12.15.
25. Post MWM. Definitions of Quality of Life: What Has Happened and How to
MoveOn.TopSpinalCordInjRehabil2014;20(3):167.180
26. Punnoose AR, Golub RM, Burke AE. JAMA patient page. Insomnia. JAMA.
2012.307(24):2653
27. Randall DK. (19 September 2012). Book excerpt: How the lightbulb
disrupted our sleeping patterns and changed the world. National Post.
2012.Archivedfromtheoriginalon6April2019.
28. Roenneberga T, Kuehnlea T, Judaa M, Kantermanna T, Allebrandta K,
Gordijnb M, Merrow M. Epidemiology of the human circadian clock. Sleep
MedicineReviews.2007.11(6):429.438.
29. Roth T. Insomnia: definition, prevalence, etiology, and consequences.
JournalofClinicalSleepMedicine.2007.3(5Suppl):S7.10.
30. Roth T. Insomnia: definition, prevalence, etiology, and consequences. J Clin
SleepMedJCSMOffPublAmAcadSleepMed.2007;3(5Suppl):S7.S10.
31. RowlandEC,KhimaniL,DrazdowskiTandKliewerW,.Differentiating Sleep
Problems Most Related to Depression and Anxiety in College Students.
2015
32. Sateia MJ. International Classification of sleep disorders-third edition:
highlightsandmodifications.Chest.2014;146(5):1387.1394.
33. Sateia MJ. International Classification of sleep disorders-third edition:
highlightsandmodifications.Chest.2014;146(5):1387.1394.
34. Shriver EK. What makes us sleep?. NICHD - National Institute of Child
HealthandHumanDevelopment.Retrieved6May2019
35. Siegel JM. Do all animals sleep?. Trends in Neurosciences. 2008. 31 (4):
208.213.
23. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 15
36. Silber MH, Ancoli-Israel S, Bonnet MH, Chokroverty S, Grigg-Damberger
MM, Hirshkowitz M, Kapen S, Keenan SA, Kryger MH, Penzel T, Pressman
MR, Iber C. The visual scoring of sleep in adults. Journal of Clinical Sleep
Medicine.2007.3(2):121.131
37. Singer P. "THE BIG QUESTION: Quality of Life: WHAT DOES IT MEAN? HOW
SHOULD WE MEASURE IT?". World Policy Journal. 2011. Retrieved 17 May
2016.
38. Sleep-wake cycle: its physiology and impact on health. National Sleep
Foundation.2006.Archivedfromtheoriginalon30August2017.
39. Smith M, Robinson L, Segal R. How to Sleep Better. 2019 .
https:// www. helpguide. org/ articles/ sleep/ getting- better-
sleep.htm?pdf=13836
40. TinaDB,HeatherL,GinaK,SuzanneB,RobertS.UnderstandingSleep:Sleep
Needs, Cycles, and Stages. Helpguide.org. Archived from the original on 24
January2008.Retrieved25January2008.
41. Uchmanowicz I, Markiewicz K, Uchmanowicz B, Ko.tuniuk A, Rosi.czuk J.
The relationship between sleep disturbances and quality of life in elderly
patients with hypertension. Clinical Interventions in Aging 2019:14
155.165.
42. Waterhouse J, Fukuda Y, Morita T. Daily rhythms of the sleep-wake cycle.
JournalofPhysiologicalAnthropology.2012.31(5):5.
43. WHO. Dyssomnias. pp. 7.11. Archived (PDF) from the original on 2009-03-
18.Retrieved2009-01-25.
44. Wyatt JK, Ritz-De Cecco A, Czeisler CA, Dijk DJ. Circadian temperature and
melatonin rhythms, sleep, and neurobehavioral function in humans living
ona20-hday.AmericanJournalofPhysiology.1999.277(4):R1152.R1163.
45. Zisapel N. Sleep and sleep disturbances: biological basis and clinical
implications. Cellular and Molecular Life Sciences. 2007. 64 (10):
1174.1186
46. Zlomanczuk P, Schwartz WJ. Cellular and Molecular Mechanisms of
Circadian Rhythms in Mammals, in Turek & Zee (eds.), Regulation of Sleep
andCircadianRhythms,1999.pp.309.342.
24. Buku Ajar Sleep Medicine
16 www.inasleep.org
Approachto The Patient with Excessive Day time
Sleepiness
By: Zamroni A/if
Sleep Disorder Division, Neurology Department, Medical Faculty of Universitas
Brawijaya, Malang
INTRODUCTION
Patients with excessive day time sleepiness (EDS) have difficulty for
maintaining wakefulness oral ertness at times during the day. EDS is important to
recognize because it can signal an undiagnosed sleep disorder or other treatable
conditions. It is often associated with impaired alertness, thereby impacting
significantly on an individual’s quality of life, in addition to impairing performance
andpatientsafety.
DEFINITIONS
The International Classification of Sleep Disorders, third edition (ICSD-3)
defines EDS as the inability to maint a in wakefulness and alertness during the
major waking episodes of the day, with sleep occurring unintentionally or at
inappropriatetimesalmostdailyforatleastthreemonths.
The Classification of EDS or Central disorder of Hypersomnolence
accordingtoICSD-3
a. NarcolepsytypeI
b. NarcolepsytypeII
c. Idiopathichypersomnia
d. Kleine-Levinsyndrome
e. Hypersomniaduetoamedicaldisorder
f. Hypersomniaduetoamedicationorsubstance
g. Hypersomniaassociatedwithapsychiatricdisorder
h. Insufficientsleepsyndrome
25. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 17
EPIDEMIOLOGY
EDS is reported by approximately 10 to 25 percent of the general
population.
Most studiess how an equal gender ratio or a female predominance of up to two to
one.
ETIOLOGY
The causes of EDS are numerous, and multiple factors may contribute in any one
patient. Some of the most common causes of EDS are insufficient sleep, depression,
medications,andcomorbidmedicalandpsychiatricdisorders.
EVALUATION
a. History
IntheevaluationofEDS,the history is directed at refining thecomplaintof
sleepiness and identifying potential causes. The clinician should ask
specifically about the propensity to fall a sleep in low stimulus situations,
such as long drives, reading, watching television, talking on the phone,
interacting with friends, and completing desk work. A sleep diary can also
helpfultoknowthepatent’ssleepingpatternoveraperiode.
Bed partner can also give information about overnight behaviour that
disturb normal sleep or other abnormal move mentor sleep disordered
breathing.
b. EpworthSleepinessScale
The Epworth Sleepiness Scale(ESS) is a one-page question naire that asks
respondents to estimate their likelihood in recent times of dozing off or
falling asleep in eight common situations. The total scoreis 24, ESS scores
greaterthan10areconsideredabnormalandindicateEDS.
c. Stanford Sleepiness Scale
Stanford Sleepiness Scale is a quick way to asses how alert patient feeling.
Rate the alertness at different time during the day. If the score 3 or more
thisindicationthepatienthaveaproblemaboutsleepiness.
26. Buku Ajar Sleep Medicine
18 www.inasleep.org
d. Polysomnography
Polysomnography is recommended in the evaluation of EDS when
suspicionisraised for OSA, other sleep-related breathing disorders,
periodiclimb movement disorder (PLMD), narcolepsy, other central
hypersomnias,orseizuresduringsleep.
Polysomnography can also help identify the cause of insomnia in patients
whodonothaveclearreasonsforinsomniabyhistoryandexamination.
e. Multiplesleeplatencytest
The multiple sleep latency test (MSLT) should only be performed
immediately after a PSG. It provides an objective assessment of an
individual's tendency to fall a sleep at different times through out the day.
It is consist of 4 to 5 naps, scheduled at 2 hourly intervls through out the
day starting 2 hours after wakes up (around 9 am). The test terminated
after15minutesof sleep,orafter20minutes ifthepatientremains awake.
A mean sleep latencyless than eight minutes, plus two or more SOREMPs
(REM periods with in 15 minutes of sleep on set) are considered to have a
positiveMSLTthatmaybeconsistentwithEDS,includingnarcolepsy.
f. Maintenance of Wakefullness Test
Maintenanceofwakefulnesstest(MWT)consistoffourtrialsperformedat
two hour intervals, with the first trial beginning about 1.5 to 3 hours after
the patient’s usual wake up time. It may be considered to assess an
individual's ability to remain a wake when the in ability to do so could
constituteapublicorpersonalsafety.
MANAGEMENT
Treatment strategies can be highly variable and might include, for
example:
a. Behavioral counseling about insufficient sleep, poor sleep hygiene, or
acircadianrhythmsleep-wakedisorder.
b. Mechanicaltreatmentwithcontinuouspositive airwaypressure(CPAP)or
anoralapplianceforobstructivesleepapnea.
c. Medicationforrestlesslegssyndrome.
d. Stimulantsforacentraldisorderofhypersomnolence.
27. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 19
e. Changesintypeordoseofmedicationsthatcausehypersomnolence.
f. Ongoing efforts to treat the underlying condition when EDS is due to
medicalorpsychiatricproblems,suchaschronicpainordepression.
REFERENCES
1. American Academy of Sleep Medicine. International Classification of Sleep
Disorders,3rded,AmericanAcademyofSleepMedicine,Darien,IL2014.
2. Boulos MJ, Murray BJ. Current Evaluation and Management of Excessive
DaytimeSleepiness.Can.J.Neurol.Sci.2010;37:167-176.
3. ChervinRD.UseofClinicalToolsandTestsinSleepMedicine.In:Principlesand
Practice of Sleep Medicine, Kryger MH, Roth T, Dement WC (Eds), Elsevier
Saunders,StLouis2011.p.666.
4. Littner MR, et al. Practice Parameters for Clinical Use of the Multiple Sleep
Latency Test and the Maintenance of Wakefulness Test. SLEEP
2005;28(1):113-121.
5. Morrison I, Riha RL. Excessive Daytime and Narcolepsy-An Approach to
Investigation and Management. European Journal of Internal Medicine
23(2012)110-117.
6. Murray BJ. A Practical Approach to Excessive Daytime Sleepiness: A Focused
Review.CanadianRespiratoryJournal,Volume2016.
7. Slater G, Steier J. Excessive Daytime Sleepiness in Sleep Disorder. J Thorac Dis
2012;4(6):608-616.
28. Buku Ajar Sleep Medicine
20 www.inasleep.org
Narcolepsy Post Infection and Vaccination
Oleh: Desak Ketut Indrasari Utami
Departemen Neurologi FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar Bali
2nd
Indonesia Sleep Medicine Congress
Kepulauan Bangka Belitung 12-14 Juli 2019
Pendahuluan
Berdasarkan klasifikasi International Classification of Sleep Disorder (ICSD) 3
narkolepsi dibagi menjadi tipe 1 dan tipe 1. Narkolepsi dapat disertasi katapleksi
atau tanpa katapleksi (Sateia, 2014). Sejak Agustus 2010, setelah penggunaan vaksin
influenza (H1N1)2009 kasus-kasus narkolepsi pada anak dan dewasa telah
dilaporkan terutama dari negara Finland, Sweden, dan Iceland (Committee, 2010;
World Health Organization, 2011). Narkolepsi disebabkan oleh defisiensi dari
hipokretin oleh karena hilangnya neuron hypothalamic orexinergic (Luo et al., 2018;
Liguori et al., 2014). Narkolepsi juga sangat erat berkaitan dengan faktor genetik.
Onset kejadian narkolepsi tipe 1 adalah musiman dan berkaitan dengan influenza A
yangditandaiolehpandemiinfeksiH1N1danvaksinasiH1N1(Pandemrix).
Narkolepsi
DiagnosisnarkolepsiberdasarkanICSD3memenuhikriteriasebagaiberikut.
Narkolepsitipe1:
a. Sleepiness
b. Defisiensi hipokretin pada likuor serebrospinal ( <110 pg/mL atau < 1/3 nilai
standar
c. Latensirata-ratadariMultipleSleepLatencyTest(MSLT)<8menit
d. TerdapatSleepOnsetRapidEyeMovementPeriods(SOREMPs)
e. Katapleksi (hilangnya tonus otot bilateral secara tiba-tiba tanpa hilangnya
kesadaran,yangterjadilebihdari1episode)
Narkolepsitipe2:
a. Rata-ratalatensi<8menit
b. Terdapat2SOREMPs
c. Tidakterdapatkatapleksi
29. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 21
NarcolepsyPostInfectionandVaccination
Adanya pandemi H1N1 influenza di Negara-negara Eropa memicu penggunaan
vaksin influenza. Vaksinasi menggunakan Pandemrix yang merupakan vaksin
influenza monovalent 2009H1N1 dilaporkan meningkatkan risiko terjadinya
narkolepsi pada beberapa negara Eropa. Pandemrix merupakan vaksin yang
diproduksi oleh Glaxo Smith Kline di Eropa dan khusus diproduksi untuk pandemi
influenza2009H1N1.Sebelum tahun 2009 tidak pernah dipergunakan. WHO’s Global
Advisory Committee on Vaccine Safety (GACVS) telah mereview data dari Finland dan
Sweden dan merekomendasikan beberapa hal diantaranya : perlunya penelitian
lebih lanjut tentang narkolepsi dan vaksinasi untuk influenza (H1N1)2009 dengan
Pandemrix dan vaksin pandemi H1N1 lainnya. Tidak ditemukan adanya peningkatan
risiko narkolepsi baik yang berkaitan dengan vaksin influenza maupun vaksin
penyakitlainsebelumnya.
Tidak tampak adanya fenomena global terkait kejadian narkolepsi setelah
vaksinasi (World Health Organization, 2011; CDC, 2014). Sebuah laporan serial kasus
penggunaan vaksin untuk Tick Borne Encephalitis (TBE) menyatakan bahwa
vaksinasi TBE potensial menimbulkan narkolepsi disertai katapleksi dan laporan
tersebut juga menguatkan keterlibatan mekanisme imunologi pada pathogenesis
penyakit tersebut (Hidalgo et al., 2016). Berbeda dengan hal tersebut, sebuah
laporan yang mengevaluasi gangguan tidur pada perempuan yang mendapatkan
vaksin Human Pappiloma Virus (HPV) mendapatkan kesimpulan bahwa tidak ada
kejadian narkolepsi pada 29 orang perempuan yang mendapatkan vaksin HPV
(Torstensenetal.,2018).
Pada tahun 2014 Center for Diseases Control and Prevention (CDC)
mempublikasikan penelitian yang menghubungkan vaksin 2009H1N1, 2010/2011
seasonal influenza vaccine dan narkolepsi menyimpulkan bahwa vaksinasi tidak
berhubungandenganmeningkatnyarisikonarkolepsi(CDC,2014).
Patofisiologi narkolepsi tipe 1 : didapatkan bukti adanya keterlibatan autoimun
dan molecular mimicry dengan antigen flu yang dimodulasi oleh komponen genetik.
Studi genomic menemukan adanya polimorfism pada T-cell loci. Penemuan
signifikan berupa peptide hipokretin (HCRT NH2) merupakan autoantigen pada
narkolepsitipe 1.Proses ini biasanyadidahuluioleh infeksi influenza A.Agen ini akan
memicu respon autoimun yang berakibat hilangnya sel neuron hipokretin. Tidak
didapatkan adanya antibodi spesifik yang teridentifikasi baik secara kausatif
30. Buku Ajar Sleep Medicine
22 www.inasleep.org
maupun sebagai biomarker (Thebault et al., 2015). Gen yang berkaitan dengan
narkolepsiadalahHLA(DQB1*O602).
Laporan beberapa kasus mendapati adanya HLA DQB1*0602 yang positif dan
menguatkan adanya asosiasi antara virus influenza A dengan narkolepsi melalui
mekanisme imun (Kim et al., 2015). Studi yang mendapatkan kadar beta amyloid
likuor serebrospinal yang menurun secara signifikan pada narkolepsi (dibandingkan
dengan orang sehat) mendukung hipotesis keterlibatan autoimun dan inflamasi, di
mana metabolisme beta amiloid diatur oleh mekanisme inflamasi. Stimulasi dari
sistim imun innate akan menimbulkan disposisi beta amiloid (Luo et al., 2018; Abad
& Guilleminault, 2017; Barateau, 2016; Liguori et al., 2014). Adanya faktor yang
multiple termasuk sistim imun dan faktor lingkungan dikatakan juga sebagai faktor
yangberperandalamterjadinyanarkolepsi.
Terapi narkolepsi dapat dibagi menjadi terapi hypocretin-based, non
hypocretin-based, dan imunoterapi. Terapi farmakologi first line pada narkolepsi
adalah Sodium Oxybate (SXB), Modafinil, dan Armodafinil. Second line terapi
diantaranya: Methylphenidate, Pitolisant, sedangkan third line adalah
Amphetamine. Pada narkolepsi tipe 2 kadang-kadang didapatkan gejala yang
menghilangataumembaiksecara spontan.Tidakadaterapi khususpada tipe2(Abad
&Guilleminault,2017;Barateau,2016).
DaftarPustaka
Abad, V.C. & Guilleminault, C. 2017. New developments in the management of
narcolepsy.:39–57.
Barateau, L. 2016. Management of Narcolepsy. : 1–13.
CDC.2014.NarcolepsyFollowingPandemrixInfluenzaVaccinationinEurope.,7(3).
Committee, N.N.S.S. 2010. Investigation of an increase in the incidence of narcolepsy
in children and adolescents in 2009 and Final Report of National Narcolepsy
StudySteeringCommittee.
Hidalgo, H., Kallweit, U., Mathis, J. & Bassetti, C.L. 2016. Post Tick-Borne Encephalitis
VirusVaccinationNarcolepsywithCataplexy.,(March2014):1811–1814.
Kim, T.W., Kim, H.J., Kang, D.W., Kwak, H.J. & Hong, S.C. 2015. Four Narcolepsy Cases
afterH1N1InfectionorVaccination.,6(1):38–41.
Liguori, C., Placidi, F., Albanese, M., Izzi, F. & Marciani, M.G. 2014. Narcolepsy and
inflammation CSF beta-amyloid levels are altered in narcolepsy : a link with the
31. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 23
inflammatoryhypothesis?,42:420–424.
Luo, G., Ambati, A., Lin, L., Bonvalet, M., Partinen, M., Ji, X. & Terry, H. 2018.
Autoimmunity to hypocretin and molecular mimicry to flu in type 1 narcolepsy. ,
115(52):12323–12332.
Sateia, M.J. 2014. International classification of sleep disorders-third edition
highlightsandmodifications.Chest,146(5):1387–1394.
Thebault, S., Waters, P., Snape, M.D., Cottrell, D., Darin, N., Hallböök, T. & Huutoniemi,
A. 2015. Neuronal Antibodies in Children with or without Narcolepsy following
H1N1-AS03Vaccination.
Torstensen, E.W., Brinth, L.S., Mehlsen, J., Kornum, B.R. & Jennum, P.J. 2018. Type 1
narcolepsyisnotpresentin29HPV-vaccinatedindividualswith subjectivesleep
complaints.:1–4.
World Health Organization. 2011. Global Vaccine Safety Statement on narcolepsyand
vaccination21.,(April):2009–2011.
32. Buku Ajar Sleep Medicine
24 www.inasleep.org
Disruption of Sleep and Circadian-Timing
in Parkinson Disease
Oleh: Raden Ajeng Dwi Pujiastuti
LatarBelakang
Penyakit Parkinson (PP) merupakan salah satu kelainan gangguan
gerak neurodegeneratif yang bersifat progresif ditandai dengan parkinsonisme.
Parkinsonisme merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari tremor, rigiditas,
bradikinensia,daninstabilitaspostural.1
Telah terbukti penurunan neurotransmitter dopamin sebagai
pernyebab dari Penyakit Parkinson. Pada awalnya PP diyakini sebagai gangguan
motorik saja. Tetapi ternyata pada sebagian penderita PP menunjukkan gejala
non motorik yang awalnya banyak ditemukan di stadium lanjut. Ternyata
menurut penelitian para ahli, gejala non motorik ini juga dapat terjadi pada awal
perjalanan penyakit. Kemudian disimpulkan bahwa ada 5 gejala non motorik
yang muncul mendahului gejala motorik yaitu: gangguan penciuman, gangguan
obstipasi,gangguantingkahlaku,gangguantidur,dangangguankognisi.2
Kecuali dari REM sleep behavior disorder (RBD), masih belum jelas
apakah gangguan tidur merupakan bagian dari proses awal patologis PP, atau
apakah gangguan tidur berkembang disebabkan karena proses pengobatan dan
neurodegenerasi.3
Dari banyak aspek dari PP, Dr. Parkinson mendeskripsikan gangguan
tidur pada pasiennya dengan shaking palsy. Menurutnya pada fase tersebut
muncul gerakan bergetar selama tidur dan bertambah sampai pasien pun
terbangun diikuti dengan agitasi dan kegelisahan. Gangguan tidur dan bangun
telah menjadi manifestasi non-motoris yang dikenali pada PP, dengan dampak
yang signifikan terhadap kualitas hidup dan keselamatan pada populasi pasien
PP.4
Epidemiologi
Faktor yang berperan dalam gangguan tidur pada PP termasuk: waktu
tidur yang tidak teratur, faktor fisik (nyeri, tidak nyaman, akinesia, diskinesia),
masalahkognitif,efeksampingobat,gangguanbehavior(depresi,ansietas).5
33. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 25
Sebanyak 60% pasien dengan Parkinson melaporkan gangguan tidur
dengan frekuensi gangguan tidur di malam hari pada PP berkisar dari 60 sampai
melebihi 90%. Perbandingan dengan kontrol yang disesuaikan dengan usia
menunjukkan bahwa pada pasien PP memiliki keluhan gangguan tidur yang
terbangun-bangunmeskipunsudahmengkonsumsiobattidur.5,6
Studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa gangguan tidur
berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif, produktifitas, mood, dan
kualitas hidup, dan juga berdampak kepada kehidupan sosial, medis dan
ekonomi.7
Patofisiologi
Gangguan tidur merupakan salah satu gejala non motorik tersering
pada PP yang biasanya muncul pada penyakit yang cukup lama dan dengan
disabilitas yang progresif. Gangguan tidur termasuk manifestasi nokturnal dan
diurnal seperti insomnia, gangguan Rapid Eye Movement (REM) sleep behavior,
dan excessive daytime sleepiness. Penyebab gangguan tidur pada PP beragam,
termasuk proses dari neurodegenerasi itu sendiri, yang mana dapat
mengganggu regulasi jaringan siklus bangun-tidur dan menguras sejumlah
besar lamina di otak yang mungkin berperan dalam inisiasi dan pertahanan
tidur.8
Beberapa neurotransmitter yang terlibat dalam fungsional bangun
tidur adalah: serotonin (nukleus raphe dorsal), asetilkolin (nukleus
pedunkulopontin), dopamin (sistem striatonigral, tegmentum ventral, sistem
mesokortikolimbik), dan lokus koeruleus. Terdapat kehilangan neuronal di
substansianigra,lokuskoeruleus, dankemungkinan dinukleus dorsalraphe dan
dinukleuspedunkulopontinpadaPP.5,6
Patofisiologi dari gangguan tidur-bangun pada PP secara luas belum
diketahui, meskipun etiologi kebanyakan multifaktor. Alterasi dari mekanisme
patofisiologis diperkirakan melalui beberapa proses, termasuk pusat regulator
bangun-tidur, gejala motorik yang muncul malam hari, efek samping dari
pengobatan antiparkinson, gejala psikiatri, dan fragmentasi tidur yang
disebabkanolehbeberapafaktor.
Namun baru-baru ini penelitian genetis dari PP mengidentifikasikan
gen-gen multipel yang berhubungan dengan gangguan tidur. Penelitian genetik
dan loci dari RBD memberikan beberapa wawasan baru bahwa mutasi
glucocerebrosidase dan mikrotubulus yang berhubungan dengan protein tau
34. Buku Ajar Sleep Medicine
26 www.inasleep.org
loci berhubungan dengan prilaku gangguan tidur. Beberapa gen dan loci genetik
yang berhubungan dengan restless leg syndrome (RLS) diantaranya: MEIS1,
BTBD9,PTPRD,MAP2K5/SKOR1,TOX3,danRLS1-8.4
Etiologi dari gangguan tidur pada PP terdiri dari banyak faktor.
Meskipun penyakit yang berhubungan dengan disabilitas fisik mungkin
berkonstribusi terhadap insomnia, bentuk tidur juga berubah pada PP.
Sepertinya hal ini merupakan refleksi dari perubahan neurobiologi di jaringan
saraf yang mengatur siklus bangun-tidur, termasuk sistem sikardian. Pada
pasien PP ditemukan adanya penurunan sekresi melatonin, ekspresi gen core
clock Bma1, dan meningkatnya sekresi kortisol. Kondisi perubahan sirkadian ini
semakin tampak pada PP dengan gejala neuropsikiatri dan mempengaruhi baik
dari temperatur tubuh, tekanan darah dan denyut jantung. Maka sistem
sirkadian sebaiknya menjadi perhatian khusus untuk penatalaksanaan
gangguantidurpadaPP.4
Pengaruh ritme sikardian dalam bentuk bangun-tidur bergantung pada
koneksi kompleks yang beroperasi melalui penyebaran jaringan saraf.
Suprachiasmatic nucleus (SCN) dari hipotalamus memiliki konektivitas besar
dengan nukleus dorsomedial dari hipotalamus (DMH), yang mana berproyeksi
ke area-area yang mendukung baik bangun (hipotalamus lateral) dan tidur
(nukleus ventrolateral preoptik). Berjalan melalui jalur SCN-DMH ini, ritme
sikardian menggunakan sebuah peran modulator yang signifikan pada prilaku
bangun-tidur melalui regulasi keseimbangan antara aktivasi dan inhibisi dengan
sistem arousal ascending. Sistem ini memiliki koneksi yang luas dengan basal
ganglia dan bagian korteks dan mengandung berbagai neurotransmitter. Secara
anatomi sistem ini berdistribusi luas melalui batang otak dan nukleus forebrain,
meliputi pedunculopontine kolinergik dan nukleus tegmental dorsal lateral,
mid-brain raphe serotonergik, lokus koeruleus noradrenergik, bagian
tuberomammillary histaminergik, dan substansia nigra pars kompakta
dopaminergik,sertaareaventraltegmental.
Patofisiologi yang berperan dalam gangguan tidur pada PP mungkin
berhubungan dengan hilangnya sel hipokretin di dalam hipotalamus. Hipokretin
adalah sebuah neurotransmitter di ventral dan hipotalamus dorsal, yang
meregulasitidur,lapardanpenggunaanenergimanusia.9
Diagnosa
Diagnosis gangguan tidur yang disebut sleep related movement
35. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 27
disorders dapat dilakukan bila pasien datang dengan keluhan insomnia,
excessive daytime fatique, atau non-restorative sleep yang disebablan oleh adanya
gerakan-gerakan pada saat tidur atau menjelang onset tidur. Gerakan ini terjadi
secara stereotipik atau berupa gangguan gerak monopasik dan bentuknya
sederhana.10
Gangguan tidur pada PP dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori:
gangguan tidur dan gangguan terjaga. Penyebab paling umum dari gangguan
tidur termasuk insomnia, gangguan prilaku tidur REM, excessive daytime
sleepiness, RLS, sleep-disordered breathing (SDB), dan disrupsi dari ritme
sikardian.4
Diagnosisskalatidurdanpemeriksaantiduryangtidakspesifik padaPP
antaralain:
1. Pittsburgsleepqualityindex(PSQI),
2. theEpworthSleepinessScale(ESS),dan
3. RBDdisorder-screeningquestioner.
SedangkanyangspesifikterhadapPPantaralain:
1. Parkinson’sdiseasesleepscale(PDSS),
2. TheScaleforOutcomesiniParkinson’sDisease(SCOPA),
3. SleepScaleForTheMovementDisorderSociety
4. UnifiedParkinson’sDiseaseRatingScale(MDS-UPDRS).11
Penatalaksanaan
Penelitian evidence based untuk pilihan pengobatan gangguan tidur
masih kurang. Pengobatan dopaminergik merupakan terapi lini pertama pada
RLS idiopatik. Namun, pasien dengan PP secara umum telah diobati atau akan
diobati di waktu kedepan. Pengobatan jangka panjang dengan dopaminergik
untuk RLS masih membingungkan karena risiko bertambahnya gejala
(perburukangejala)danmenurunkankadarserumferitinin.11
Pengobatan yang paling umum pada pengobatan RLS termasuk agonis
dopamin diantaranya pramipexole, rotigotine, ropinirole sebaik gabapentin
enacarbil, pregabalin dan IV iron. Sebelum menentukan pengobatan agen-agen
ini, penting untuk memeriksa kadar ferritin dan pertimbangan pengobatan
dengansuplementasibesijikakadarzatbesidalamdarahrendah.4
Pemberian melatonin dalam penelitian randomized double blind untuk
36. Buku Ajar Sleep Medicine
28 www.inasleep.org
insomnia secara signifikan menunjukkan perbaikan. Melatonin dengan dosis 3
mg atau 5 mg menunjukkan perbaikan dalam kualitas tidur pada pasien PP. Pada
penelitian randomized, dounle-blind, dikontrol dengan plasebo studi crossover,
modafinil200mgmenunjukkanperbaikanuntukEDSpadaPP.
Efektifitas pengobatan insomnia pada PP bergantung pada penilaian
akurat dari insomnia itu sendiri. Adanya parkinsonisme sepanjang malam
mungkin dimanajemen dengan baik dengan penggunaan dari levodopa extended
release, meskipun pasien harus di follow up untuk melihat efek samping negatif
dari levodopa pada saat tidur. Efek dopamin agonis pada tidur telah dinilai pada
beberapa penelitian. Rotigotine transdermal memperbaiki efesiensi tidur ketika
menurunkan latensi onset tidur dan bangun di sepanjang malam. Manfaat ini
mungkin berhubungan dengan perbaikan dalam kontrol disepanjang malam
darigejalamotorisPP,mooddankelelahan.
Fokus terapi pada perbaikan sistem sirkadian menjadi target terbaru
untuk mengatasi gangguan tidur dan bangun pada pasien Parkinson. Intervensi
sirkadian yang sering digunakan dan diterima secara luas adalah light therapy.
Terapi cahaya ini dapat memperbaiki siklus bangun-tidur, mood pasien PP
bahkanjugaperbaikangejalamotorik.4
Pengobatan non farmakologis seperti cognitive behavior therapy (CBT),
mungkin bermanfaat dalam manajemen insomnia terkait PP. Terapi ini pada PP
menunjukkan hasil yang baik dalam perbaikan outcome tidur (sleep diaries),
sama baiknya dengan the insomnia severity index, PDSS, dan physician-reported
clinicalglobalimpressionofchange.4
Gangguan tidur pada PP tidak diinduksi oleh satu penyebab, tetapi hasil
dari campuran yang kompleks dari beberapa faktor. Pasien disarankan
melakukan review pengobatan, rehabilitasi harian, dan menghindari meminum
kopisebelumtidur.PenilaiantidurharusdilakukansecararutinpadapasienPP.11
Referensi:
1. Aninditha T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi. Buku 1. Departemen
NeurologiFakultasKedokteranUniversitasIndonesia.Jakarta.2017.
2. Samsudin T, Subagya, Akbar M. Buku Paduan Tatalaksana Penyakit
Parkinson dan Gangguan Gerak Lainnya. Kelompok Studi Movement
Disorders. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta.
2015.
3. Gan-Or Z, Alcalay R, Rouleau GA, Postuma RB. Sleep Disorders and
37. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 29
Parkinson Disease; Lessons from Genetics. Sleep Medicine Reviews.
2018.
4. Videnovic A. Disturbance of Sleep and Alertness in Parkinson’s Disease.
CurrentNeurologyandNeurosciencereports.2018.18(29):28-32.
5. Okun MS, Fernandez HH. Parkinson’s Disease. Clinician’s Desk
Reference.2009.
6. Factor SA, Weiner WJ. Parkinson’s Disease. Diagnosis and Clinical
Management.2ndEd.Demos.NewYork.2008.
7. Shen Y, Liu CF. Sleep Disorders in Parkinson’s Disease: Present Status
andFutureProspects.ChineseMedicalJournal.2018.131(8):883-885.
8. Loddo G, Buonaura GC, Sambati L, Giannini G, Cecere A, Cortelli P, et al.
The Treatment of Sleep Disorders in Parkinson’s Disease: From
ResearchtoClinicalPractice.FrontiersinNeurology.2017.8(42):1-11
9. Gunn DG, Naismith SL, Lewis SJG. Sleep Disturbance in Parkinson
Disease and Their Potential Role in Heterogeneity. Journal of Geriatric
PsychiatryandNeurology.Australia.2010.23(2):131-137.
10. Islamiyah WR. Paduan Tatalaksana Gangguan Tidur. Kelompok Studi
Gangguan Tidur. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI).SagungSeto.Jakarta.2018.
11. Yoritaka A. Sleep Disturbance in Parkinson’s Disease. Journal of
NeurologicalDisordersandStroke.2014.2(2):1-6.
38. Buku Ajar Sleep Medicine
30 www.inasleep.org
Is CBT The Best Choice for Insomnia Treatment?
(Apakah CBT Merupakan Pilihan Terbaik untuk
Tatalaksana Insomnia?)
By: Rimawati Tedjasukmana
Abstract
Insomnia is a prevalent condition that adversely affects the patients’
health status, quality of live, and productivity. Chronic insomnia is frequently
associated with increased risk of depression and hypnotic drug use. It is widely
acceptedthatahostofcognitiveandbehavioralfactorsplayimportant
roles in perpetuating this condition. Cognitive Behavioral Therapy (CBT) and
hypnotic drugs are the only insomnia treatments with adequate evidence base.
Althoughdrugtreatmentiseffective,therearemanydisadvantageslikesideeffects,
drug dependence and tolerance. Cognitive-Behavioral Therapy for Insomnia (CBT-
I) is a multi-component treatment that addresses patients’ cognitions and
behaviors that interfere with sleep. Several studies suggest that CBT has superior
effectiveness to drug therapyin the longterm. CBT is also more effectivethan single
component behavioral therapy. CBT is the best choice in treating chronic primary
andsecondaryinsomnia.
Keywords: insomnia, primary insomnia, secondary insomnia, cognitive
behavioraltherapy,hypnoticdrugs
Abstrak
Insomnia merupakan masalah kesehatan yang sering ditemukan dan
menyebabkan terganggunya kesehatan, menurunnya kualitas hidup serta
produktivitas penderita. Insomnia kronik juga sering dihubungkan dengan
meningkatnya risiko depresi dan penggunaan obat hipnotik. Telah lama
diketahui bahwa berbagai faktor psikologis dan perilaku berperan pada
patofisiologi insomnia. Tatalaksana insomnia yang saat ini diakui manfaatnya
hanya dua, yaitu Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan farmakoterapi.
Walaupun farmakoterapi cukup efektif, namun banyak kerugiannya seperti efek
samping, ketergantungan dan toleransi obat. CBTI merupakan tatalaksana yang
39. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 31
terdiri dari beberapa komponen untuk memperbaiki kognitif dan perilaku yang
mengganggu tidur. CBTI lebih efektif untuk terapi insomnia dibanding terapi
farmakologis, juga dibanding terapi perilaku dengan komponen tunggal. CBTI
merupakan pilihan terbaik untuk tatalaksana insomnia kronik, baik insomnia
primermaupunsekunder
Katakunci:insomnia,insomniaprimer,insomniasekunder,cognitivebehavioral
therapy,obathipnotik
Pendahuluan
Insomnia merupakan masalah kesehatan yang sering ditemukan dan
menyebabkan terganggunya kesehatan, menurunnya kualitas hidup serta
produktivitas penderita. Insomnia kronik juga sering dihubungkan dengan
meningkatnya risiko depresi dan penggunaan obat hipnotik(1)
. Telah lama
diketahui bahwa berbagai faktor psikologis dan perilaku berperan pada
patofisiologi insomnia(2)
. Insomnia dapat merupakan penyakit primer maupun
sekunder, dimana insomnia merupakan gejala dari penyakit medis atau
psikiatrik,penyalahgunaanzatataupenyakitgangguantidurlain(1).
Tatalaksana insomnia yang saat ini diakui manfaatnya hanya dua, yaitu
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan farmakoterapi (benzodiazepine
receptoragonist)(3)
.Dalammakalah iniakandibahasmanfaat danefektivitasCBT
dalam tatalaksana insomnia primer maupun sekunder, manfaat CBT dibanding
terapi farmakologis, kombinasi CBT dan terapi farmakologis, serta pengalaman
melaksanakanCBTdiIndonesia.
Definisidanepidemiologi
MenurutDSM(DiagnosticandStatisticalManual)5insomniaadalah(4)
:
Rasa tidak puas terhadap kualitas atau kuantitas tidur, dapat berupa
kesulitan mulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur, atau bangun terlalu
pagidansulittidurkembali
Gangguan tidur ini cukup berat sehingga menyebabkan kecemasan atau
gangguan fungsional pada pekerjaan atau kehidupan pribadi penderita, baik
perilakuatauemosi.
Kesulitantidurterjadisedikitnya3kalisemingguselama3bulan
Kesulitantidurterjadiwalaupunterdapatcukupkesempatanuntuktidur
40. Buku Ajar Sleep Medicine
32 www.inasleep.org
Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan fisik, mental atau gangguan
tidurlain
Gangguaninitidakdisebabkanolehpenggunaanzatatauobat
Sedangkan menurut ICSD (International Classification of Sleep
Disorders)-3, insomnia adalah kesulitan untuk mulai tidur, mempertahankan
tidur, atau kualitas tidur buruk. Gejalanya timbul walaupun terdapat cukup
kesempatan dan situasi yang baik untuk tidur, serta menyebabkan disfungsi di
siang hari. Insomnia diklasifikasi sebagai penyakit insomnia kronik, penyakit
insomnia jangka pendek, dan penyakit insomnia lain. Disebut insomnia kronik
bila gangguan terjadi sedikitnya 3 kali seminggu selama 3 bulan terakhir.
Insomnia jangka pendek bila gangguan tidur kurang dari 3 bulan, insomnia lain
bila terdapat kesulitan mulai atau mempertahankan tidur yang tidak memenuhi
kriteriainsomniakronikatauinsomniajangkapendek(5).
Prevalensi insomnia tergantung dari kriteria yang digunakan dan
populasi yang diteliti. Konsensus umum dari penelitian berbasis populasi di
beberapanegara menghasilkan30% populasi dewasa mengalami satu atau lebih
gejalainsomnia(6).
Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari patofisiologi insomnia sampai saat ini
belum sepenuhnya dipahami. Beberapa teori dikembangkan, misalnya
defisiensi melatonin endogen atau reseptor benzodiazepine, hiperaktivitas
neuron yang memproduksi corticotrophin releasing factor, faktor genetik atau
herediter, hyperarousal state (2,7)
. Namun demikian terdapat kesepakatan bahwa
penyakitinidiperberatolehinteraksimekanismekognitifdanperilaku(2).
Seperti terlihat pada Gambar 1, berbagai perubahan kognitif
merupakan dasar dari kesulitan tidur yang berkepanjangan. Termasuk dalam
perubahan koginitif ini antara lain menyalahkan penyebab insomnia,
pemahaman yang salah tentang kebutuhan tidur dan dampak kekurangan tidur,
kecenderungan untuk melebih-lebihkan dampak kurang tidur, dan keyakinan
yang salah tentang cara meningkatkan tidur. Perubahan kognitif tersebut akan
menunjang kebiasaan-kebiasaan yang merusak tidur dan menyebabkan respons
emosional yang terkondisi. Kedua hal ini akan mengganggu dorongan untuk
tidur normal atau mengganggu mekanisme waktu tidur atau berperan sebagai
inhibitorlingkungan/perilakuterhadaptidur(2).
41. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 33
Gambar 1. Patofisiologi insomnia primer. Disunting dari (2)
Jenis-jenis terapi non farmakologis untuk insomnia
Tabel 1. Terapi perlaku untuk insomnia primer (2)
42. Buku Ajar Sleep Medicine
34 www.inasleep.org
Untuk mengatasi performance anxiety dan bedtime arousal yang sering
ditemukan pada penderita insomnia, dapat digunakan berbagai tehnik relaksasi
(lihat Tabel 1). Sedangkan Stimulus Control Therapy dapat digunakan untuk
menghilangkan rasa takut menjelang waktu tidur atau takut dengan
tempat/kamar tidur yang mempersulit tidur. Higiene tidur dapat
menghilangkan faktor lingkungan dan kebiasaan yang mempersulit tidur. Sleep
Restriction Therapy digunakan untuk mengembalikan dorongan homeostatik
untuk tidur. Namun berbagai terapi perilaku tersebut tidak bisa mencakup
semua aspek patofisiologi insomnia, selain itu juga terapi perilaku tidak bisa
menghilangkan faktor kognitif yang mengakibatkan berbagai sikap dan perilaku
yangmengganggutidur.
Selain itu ada beberapa jenis terapi lain seperti paradoxical intention,
biofeedback,edukasihigienetidur,danimagerytraining.(1)
CognitiveBehavioralTherapyforInsomnia(CBTI)
Karena berbagai keterbatasan dari terapi-terapi yang telah disebutkan
di atas, maka dibentuklah terapi hybrid yang disebut Cognitive Behavioral
Therapy for Insomnia. CBTI dibuat untuk mengatasi faktor-faktor yang
mempertahankan insomnia seperti faktor kognitif, homeostasis, sirkadian, dan
faktor yang menginhibisi tidur. Yang termasuk CBT antara lain terapi kognitif
seperti restrukturisasi kognitif, juga Stimulus Control Therapy dan Sleep
Restriction Therapy(2)
. Tujuan Stimulus Control Therapy adalah melatih penderita
insomnia untuk mengembalikan asosiasi antara tempat tidur dan kamar tidur
dengan aktivitas tidur, serta membentuk jadwal tidur-bangun yang konsisten.
Pada Sleep Restriction Therapy waktu pasien di tempat tidur dibatasi hamper
sama dengan lama tidurnya, sehingga terjadi sedikit kekurangan tidur. Dengan
terapi ini pada akhirnya waktu tidur bertambah dengan membaiknya efisiensi
tidur(1).
Pada tatalaksana ini, pasien diberi instruksi untuk: bangun pada waktu
yang sama setiap hari, menghindari berada di tempat tidur waktu tidak tidur,
menghindariperilaku yang berlawanan dengan tidur diranjang dan kamar tidur,
tidak tidur siang, dan membatasi waktu di tempat tidur( 2 )
. CBTI
direkomendasikan oleh AASM (American Academy of Sleep Medicine) sebagai
terapstandaruntukinsomniaprimerkronikdaninsomniasekunder(1).
43. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 35
EfektivitasCBTIpadainsomniaprimer
Metaanalisis efektivitas CBTI pada insomnia primer mendapatkan
bahwa berbagai randomized controlled trial menunjukan keunggulan CBTI
dibanding terapi dengan komponen tunggal seperti stimulus control therapy,
pelatihan relaksasi, dll. Namun karena belum ada standardisasi protokol CBTI,
cara esesmen pasien, dll, maka sulit mengambil kesimpulan dari berbagai
penelitian tersebut(2,8)
. Berbagai studi menemukan bahwa CBTI memperbaiki
berbagai indicator tidur seperti sleep onset latency, wake time after sleep onset,
sleep efficiency dan total sleep time. CBTI juga mengurangi gejala depresi dan
ansietas, memperbaiki keyakinan tentang tidur yang salah, dan menurunkan
penggunaan tidur. Jadi CBTI merupakan terapi yang sangat efektif untuk
insomnia primer. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa perbaikan tidur
akibatCBTIdapatbertahanselamaperiodefollowup3-24bulansetelahterapi(2).
Mitchell dkk melakukan metaanalisis membandingkan CBTI dengan
penggunaan obat golongan benzodiazepin. Mereka mendapatkan bahwa CBTI
lebih efektif dibanding benzodiazepine dalam tatalaksana insomnia, dan
efektivitasnya jangka panjang(9)
. CBTI juga lebih baik dibanding zopiclone dalam
terapi insomnia(10)
. Keuntungan penggunaan obat hipnotik adalah obat mudah
didapat, dan perbaikan klinis cepat terjadi. Kerugian penggunaan obat hipnotik
adalah kemungkinan adanya efek samping, ketergantungan dan toleransi obat
pada penggunaan jangka panjang. Kerugian terpenting dari penggunaan obat
adalah obat biasanya tidak menyembuhkan, bahkan pasien cenderung
menggunakan obat jangka panjang walaupun belum ada data tentang keamanan
danmanfaatpenggunaanobatlebihdari1-2tahun(9)
.
EfektivitasCBTIpadainsomniasekunder
Ternyata CBTI juga merupakan terapi yang efektif pada insomnia
sekunder. Manber dkk menemukan pada penderita dengan komorbiditas major
depressive disorder dan insomnia, penggunaan obat anti depresan dan CBTI
mengurangi gejala depresi maupun insomnia(11)
. Penelitian pada penderita
kanker payudara dengan insomnia, mendapatkan penderita yang menjalankan
CBTI lebihh baik dibanding kelompok kontrol dalam hal indeks tidur subyektif
maupun obyektif (polisomnografi), penggunaan obat tidur, tingkat depresi dan
cemas, serta kualitas hidupnya(12)
. AASM telah memasukan CBTI sebagai terapi
standaruntukinsomniasekunder(1)
44. Buku Ajar Sleep Medicine
36 www.inasleep.org
Kesimpulan
CBTI merupakan tatalaksana yang terdiri dari beberapa komponen
untuk memperbaiki kognitif dan perilaku yang mengganggu tidur. CBTI
merupakan pilihan terbaik untuk tatalaksana insomnia kronik, baik insomnia
primer maupun sekunder. CBTI lebih efektif untuk terapi insomnia dibanding
terapi farmakologis, juga dibanding terapi perilaku dengan komponen tunggal.
Namun kendalanya adalah belum banyak petugas kesehatan yang menguasai
tehnikini.
Kepustakaan
1. Practice parameters for the psychological and behavioral treatment of
insomnia: an update. An American Academy of Sleep Medicine report.
Sleep.2006;29(11):1415–1419.
2. Edinger JD, Means MK. Cognitive–behavioral therapy for primary
insomnia.ClinPsycholRev.2005;25(5):539–558.
3. MorinCM,VallièresA,GuayB,IversH,SavardJ,MéretteC,etal.Cognitive
behavioraltherapy, singly and combined withmedication, for persistent
insomnia: a randomized controlled trial. JAMA. 2009 May
20;301(19):2005–15.
4. Substance Abuse and Mental Health Services Administration. Impact of
the DSM-IV to DSM-5 Changes on the National Survey on Drug Use and
Health [Internet]. Rockville (MD): Substance Abuse and Mental Health
Services Administration (US); 2016 [cited 2019 Jul 2]. (CBHSQ
M e t h o d o l o g y R e p o r t ) . A v a i l a b l e f r o m :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519697/
5. American Academy of Sleep Medicine. International classification of
sleep disorders. 3rd ed. Darien, IL: American Academy of Sleep
Medicine;2014.
6. Ancoli-Israel S, Roth T. Characteristics of insomnia in the United States:
results of the 1991 National Sleep Foundation Survey. I. Sleep. 1999 May
1;22Suppl2:S347-353.
7. Roth T. Insomnia: Definition, Prevalence, Etiology, and Consequences. J
Clin Sleep Med JCSM Off Publ Am Acad Sleep Med. 2007 Aug 15;3(5
Suppl):S7–10.
8. Wang M-Y,Wang S-Y, TsaiP-S.Cognitive behavioural therapy for primary
45. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 37
insomnia:asystematicreview.JAdvNurs.2005;50(5):553–564.
9. Mitchell MD, Gehrman P, Perlis M, Umscheid CA. Comparative
effectiveness of cognitive behavioral therapy for insomnia: a systematic
review.BMCFamPract.2012May25;13:40.
10. Sivertsen B, Omvik S, Pallesen S, Bjorvatn B, Havik OE, Kvale G, et al.
Cognitive behavioral therapy vs zopiclone for treatment of chronic
primary insomnia in older adults: a randomized controlled trial. JAMA.
2006Jun28;295(24):2851–8.
11. Manber R, Edinger JD, Gress JL, San Pedro-Salcedo MG, Kuo TF, Kalista T.
Cognitive Behavioral Therapy for Insomnia Enhances Depression
Outcome in Patients with Comorbid Major Depressive Disorder and
Insomnia.Sleep.2008Apr1;31(4):489–95.
12. Savard J, Simard S, Ivers H, Morin CM. Randomized Study on the Efficacy
of Cognitive-Behavioral Therapy for Insomnia Secondary to Breast
Cancer, Part I: Sleep and Psychological Effects. J Clin Oncol. 2005 Sep
1;23(25):6083–96.
46. Buku Ajar Sleep Medicine
38 www.inasleep.org
Snoring and Hypertension in Indonesia
(Mendengkur dan Hipertensi di Indonesia)
By: Rimawati Tedjasukmana
Abstract
Association between snoring and hypertension has been known for a long
time, a fraction of snorers also suffer from Obstructive Sleep Apnea (OSA). In many
studies a significantly higher prevalence of hypertension has been found among
habitual snorers than among nonsnoring individuals. Study in Indonesia found
prevalence of snorers were 16.18% among men and 17% among women,
prevalence is quite high compared to other Asian countries. This study also found
that 63% of snorers also had hypertension. In moderate to severe OSA with
hypertension, 40% also suffer from primary aldosteronism. Mechanism of primary
aldosteronism in OSA is still unknown, Neuroglobin and Cryptochrome-1 may play
arole.
Keywords: snoring, habitual snorer, hypertension, obstructive sleep apnea (OSA),
primaryaldosteronism
Abstrak
Mendengkurdanhipertensitelahlamadiketahui mempunyai hubungan
yang erat, juga sebagian orang yang mendengkur menderita Obstructive Sleep
Apnea (OSA). Beberapa penelitian mendapatkan tingginya prevalensi hipertesi
pada habitual snorer. Pada penelitian di Indonesia didapatkan prevalensi
mendengkur 16.18% pada laki-laki dan 17% pada perempuan, termasuk tinggi
dibanding negara lain di Asia. Selain itu pada orang yang mendengkur 63%
menderita hipertensi. Pada subyek mendengkur dengan OSA sedang-berat dan
hipertensi 40% menderita hiperaldosteronisme primer. Mekanisme tejadinya
hiperaldosteronisme primer pada OSA belum sepenuhnya terungkap,
kemungkinanNeuroglobindanCryptochrome-1turutberperan.
Kata kunci: mendengkur, habitual snorer, hipertensi, obstructive sleep apnea
(OSA),hiperaldosteronismeprimer
47. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 39
Pendahuluan
Mendengkurdanhipertensitelahlamadiketahui mempunyai hubungan
yang erat, juga sebagian orang yang mendengkur menderita Obstructive Sleep
Apnea (OSA). Selama ini belum ada data prevalensi mendengkur dan hipertensi
di Indonesia. Dalam makalah ini akan dijabarkan hasil penelitian di Jakarta,
Indonesia,dankemungkinanmekanismeterjadinyahipertensipadaOSA.
Mendengkur
Mendengkur adalah suara kasar mendesis yang timbul akibat getaran
soft palate dan pilar orofaring pada saat inspirasi waktu tidur. Habitual snoring
adalahmendengkurkeraspalingsedikit3malam/minggu(1)
.
Prevalensi mendengkur (habitual snoring) di masyarakat dilaporkan
sekitar 11-15% di Eropa (2,3)
, 6-10% di Singapura tergantung etnis(4)
, 12-16% di
Jepang(5)
, dan 26% di India(6)
. Bahkan di Canada dilaporkan prevalensi pada laki-
laki mencapai 86% dan wanita 57%(7)
. Pada penelitian di Jakarta, Indonesia,
didapatkan dari 520 respoden di masyarakat habitual snorer ditemukan pada
16,18% laki-laki dan 17% perempuan. Prevalensi mendengkur di Jakarta
termasuk cukup tinggi untuk orang Asia dan hampir sama prevalensi pada laki-
lakidanperempuan(unpublisheddata).
Sekitar 30-50% orang habitual snorer diperkirakan menderita
Obstructive Sleep Apnea (OSA). Mendengkur (habitual snoring) dihubungkan
denganterjadinyahipertensi,strokedaninfarkmiokarddimasyarakat(8)
.
MendengkurdanHipertensi
Beberapa penelitian telah mencari hubungan antara mendengkur dan
hipertensi, hasilnya menunjukan bahwa prevalensi hipertensi pada habitual
snorer lebih tinggi dibanding pada yang tidak mendengkur. Hal ini menunjukan
bahwa mendengkur merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya
hipertensi(9,10)
. Gislason dkk(11)
menemukan prevalensi hipertensi 10.5% pada
habitual snorer vs 6.5% pada non snorer dalam kelompok berat badan dan usia
yang sama. Pada penelitian di Jakarta, Indonesia, didapatkan pada subyek
habitual snorer ditemukan 63.1% subyek dengan hipertensi sedangkan pada
non habitual snorer hanya 15% menderita hipertensi(12)
. Hipertensi lebih banyak
ditemukan pada subyek habitual snorer dibanding non habitual snorer.
PrevalensihipertensipadahabitualsnorerdiJakartasangattinggi.
48. Buku Ajar Sleep Medicine
40 www.inasleep.org
Tabel 1. Karakteristik subyek habitual snorer
OSAdanHipertensi
Sekitar 30-50% orang habitual snorer diperkirakan menderita
Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA merupakan gangguan tidur yang ditandai
oleh tersumbatnya sebagian atau seluruh saluran napas yang menyebabkan
apnea dan hipopnea pada saat tidur, diikuti desaturasi oksigen dan arousal
(terbangun). Gangguan tidur ini merupakan masalah kesehatan masyarakat
yangcukupbesar,prevalensinyaberkisar2-4%diberbagainegara.
Hubungan erat antara OSA dan hipertensi telah diketahui sejak
dilakukannya Wisconsin Sleep Cohort Study, dimana para peneliti menemukan
hubungan dosis-respons antara derajat beratnya OSA dengan odd’s ratio
terjadinya hipertensi . Setelah itu the Sleep Heart Health study membuktikan
bahwaOSAmerupakanfaktorrisikoindependenterhadaptimbulnya hipertensi.
Sekitar 50% penderita OSA juga menderita hipertensi, sedangkan pada populasi
penderita hipertensi ternyata 30-40% juga menderita OSA . Penelitian di
Indonesiamenemukan40%penderitaOSAjugamenderitahipertensi.
Prevalensi OSA juga sangat tinggi pada penderita hipertensi resisten,
yaitu hipertensi yang baru dapat terkontrol dengan 3 obat atau lebih. Prevalensi
OSA pada penderita hipertensi sekitar 30-40%, namun pada penderita
hipertensi resisten prevalensi OSA mencapai 70-90% . Lavie dkk menemukan
bahwa pasien dengan hipertensi tak terkontrol memiliki AHI lebih tinggi
dibandingpasiendenganhipertensiterkontrol.
49. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 41
(n=40)
Pada penelitian di Indonesia didapatkan penderita OSA sedang-berat
dengan hipertensi sebagian besar laki-laki, usia diatas 50 tahun (median 52,5
tahun),danoverweight(BMImedian27,4kg/m2)(lihatTabel2).
Tabel 2. Karakteristik subyek OSA sedang-berat dengan hipertensi
Keterangan: *semua nilai dalam median (minimum-maksimum)
MekanismehipertensipadaOSA
Mekanisme terjadinya hipertensi pada OSA belum terungkap dengan
jelas. Konsekuensi fisiologis dari OSA adalah hipoksia intermiten kronik,
fragmentasi tidur(arousal)danperubahantekanan intrathorakal. Perubahan ini
menyebabkan stres oksidatif, inflamasi dan aktivasi simpatis: sehingga timbul
disfungsi endotel, pengerasan pembuluh darah, resistensi insulin serta aktivasi
ReninAngiotensinAldosteronSystem(RAAS).LihatGambar1.
50. Buku Ajar Sleep Medicine
42 www.inasleep.org
Gambar 1. Patogenesis gangguan kardiovaskuler pada OSA. Dikutip
dari Arnadotir dkk, 2009(21).
Hipertensi pada OSA biasanya berat dan responsnya terhadap terapi
berbeda dibanding hipertensi pada non-OSA(22)
. Apakah yang membuat
hipertensi pada penderita OSA berbeda? Ternyata pada penderita OSA dengan
hipertensi resisten ditemukan hiperaldosteronisme primer, terjadi peningkatan
kadaraldosteronplasma yangberkorelasidengan AHI tanpa diikutipeningkatan
renin(23).
Hipertensi resisten (resistant hypertension) didefinisikan sebagai
tekanan darah yang tetap di atas target walaupun digunakan 3 atau lebih obat
anti hipertensi dari golongan yang berbeda.Logan dkk adalah peneliti yang
pertama kali mengemukakan tingginya prevalensi OSA (82,9%) pada 41 pasien
obese dengan drug resistant hypertension. Goncalves dkk juga menemukan
bahwa pasien dengan drug resistant hypertension 4,8 kali lebih banyak
menderitaOSAdibandingpasiendenganhipertensiterkontrol.
Pemberian spironolakton sebagai penghambat aldosteron akan
memperbaiki OSA sampai 50%, dilihat dari penurunan AHI total, AHI pada tidur
51. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 43
telentang dan AHI pada tidur REM (Rapid Eye Movement Sleep)(24)
. Hal ini
menunjang hipotesis bahwa kelebihan aldosteron memperberat OSA.
Pertanyaan apakah OSA menyebabkan peningkatan aldosteron belum bisa
dijawab.
Tabel 3. Karakteristik subyek OSA dengan hiperaldosteronisme primer
(HP)dannonhiperaldosteronismeprimer(nonHP)
Keterangan: Semua nilai dalam median (minimum-maksimum), a
Statistik
menggunakan Mann Whitney U test, b
Statistik Chi square test, *p<0.05
(perbedaanbermakna)
ARR=AldosteroneReninRatio
Pada penelitian di Indonesia dari 40 subyek 40% mengalami
hiperaldosteronisme primer dengan ARR>20. Kami membandingkan OSA dan
hiperaldosteronisme primer (HP) dengan kelompok kontrol tanpa
hiperaldosteronisme primer (nonHP) (lihat Tabel 3). Kedua kelompok tidak
berbeda bermakna secara statistik dalam hal umur, jenis kelamin, Body Mass
Index (BMI), Apnea-Hypopnea Index (AHI), desaturasi oksigen terendah (O2
nadir), dan kadar renin serum. Di lain pihak terdapat perbedaan yang besar
kadaraldosteronserumkeduakelompok(p<0.05,MannWhitneyU).
52. Buku Ajar Sleep Medicine
44 www.inasleep.org
MekanismeterjadinyahipertensiresistenpadaOSA
Pada penderita OSA dengan hipertensi resisten, kemungkinan
mekanisme terjadinya hipertensi berbeda dengan OSA dengan hipertensi yang
tidak resisten obat. Pada penderita OSA dengan hipertensi resisten ditemukan
hiperaldosteronisme primer, terjadi peningkatan kadar aldosteron plasma yang
berkorelasidenganAHI(23)
.
Mekanisme terjadinya peningkatan aldosteron pada OSA juga belum
terungkap sampai sekarang. Namun penemuan Doi dkk(25)
bahwa disfungsi gen
Cry (chryptochrome)-1 dan Cry-2 menyebabkan peningkatan aldosteron pada
mencit merupakan salah satu titik terang. Protein Cry bekerja menekan
transkripsi beberapa gen Clock yang mengatur irama sirkadian pada mamalia.
Disfungsi Cry-1/Cry-2 pada manusia diperkirakan menyebabkan peningkatan
enzim HSD3B1 (3β-hydroxyl-steroid dehydrogenase tipe 1), sehingga terjadi
peningkatankadaraldosterone(lihatGambar2).
Gambar 2. Peranan cryptochrome dalam mengatur PAC dan tekanan
darah. Dikutip dari (26)
Pada mencit wild-type Hsd3b6 dikontrol secara ritmik oleh regulator
sirkadian DBP dan E4BP4. Pada mencit Cry-null ekspresi terus menerus DBP
merusak keseimbangan yang biasanya terjadi, sehingga terjadik ekspresi
berlebihan Hsd3b6. Peningkatan aktivitas yang terus menerus 3-HSD pada sel-
sel adrenal menyebabkan peningkatan Plasma Aldosterone Concentration (PAC)
dantimbulnyahipertensiyangsensitifterhadapgaram.
Cryptochrome adalah bagian dari Clock yang mengatur irama sirkadian.
Apakah dapat terjadi perubahan gen Clock pada OSA? Dan apakah penyebab
perubahan Clock pada OSA? Diketahui bahwa terjadi peningkatan neuroglobin
pada OSA(27)
. Neuroglobin adalah globin spesifik pada neuron yang belum
53. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 45
diketahui fungsinya, diperkirakan mempunyai fungsi penting, bersifat
konservasi dan menguntungkan neuron(28)
. Neuroglobin bisa ditemukan antara
lain pada Nukleus Suprakhiasmatik (SCN) yang merupakan master clock pada
mamalia. Hundahl dkk menemukan bahwa defisiensi neuroglobin
mempengaruhi ekspresi gen Per1, yang merupakan sebagian gen Clock. Jadi
neuroglobin berpengaruh terhadap irama sirkadian melalui gen Per1. Belum
diketahuiapakahadapengaruhneuroglobinterhadapCry-1danCry-2.
Penelitian pada manusia membuktikan bahwa Neuroglobin berkorelasi
dengan Cryptochrome-1 pada penderita OSA dengan hiperaldosteronisme
primer(lihat Gambar 3). Namun demikian hubungan antara Cryptochrome-1
maupunCryptochrome-2denganOSAbelumterbukti.
Gambar 3. Korelasi antara kadar Neuroglobin dan Cryptochrome-1 serum
subyek OSA dan hipertensi. Dikutip dari (30)
Neuroglobin berkorelasi dengan Cryptochrome-1 pada kelompok HP
(Spearman’s rho= 0.455, p= 0.038, n=16), tidak berkorelasi pada kelompok
nonHP
54. Buku Ajar Sleep Medicine
46 www.inasleep.org
Kesimpulan
Mendengkur dan hipertensi memiliki hubungan yang erat, sebagian
orang yang mendengkur juga menderita OSA. Mekanisme terjadinya hipertensi
pada orang yang mendengkur dan OSA belum diketahui. Juga fenomena
tingginya prevalensi hipertensi resisten pada OSA, masih sulit dimengerti.
Kemungkinan peranan Neuroglobin dan Cryptochrome pada terjadinya
hipertensiresistenpadaOSAmasihperludigalilebihlanjut.
Kepustakaan
1. Wali SO, Abaalkhail BA. Prevalence and predictors of habitual snoring in
a sample of Saudi middle- aged adults. Saudi Med J. 2015
Aug;36(8):920–7.
2. Fitzpatrick MF, Martin K, Fossey E, Shapiro CM, Elton RA, Douglas NJ.
Snoring, asthma and sleep disturbance in Britain: a community-based
survey.EurRespirJ.1993Apr;6(4):531–5.
3. CirignottaF,D’AlessandroR,PartinenM,ZucconiM,CristinaE,GerardiR,
et al. Prevalence of every night snoring and obstructive sleep apnoeas
among 30-69-year-old men in Bologna, Italy. Acta Neurol Scand. 1989
May;79(5):366–72.
4. Ng TP, Seow A, Tan WC. Prevalence of snoring and sleep breathing-
related disorders in Chinese, Malay and Indian adults in Singapore. Eur
RespirJ.1998Jul;12(1):198–203.
5. Ohta Y, Okada T, Kawakami Y, Suetsugu S, Kuriyama T. Prevalence of risk
factors for sleep apnea in Japan: a preliminary report. Sleep. 1993
Dec;16(8Suppl):S6-7.
6. Udwadia ZF, Doshi AV, Lonkar SG, Singh CI. Prevalence of sleep-
disordered breathing and sleep apnea in middle-aged urban Indian
men.AmJRespirCritCareMed.2004;169(2):168–173.
7. Norton PG, Dunn EV, Haight JS. Snoring in adults: some epidemiologic
aspects.CanMedAssocJ.1983Mar15;128(6):674–5.
8. Koskenvuo M, Kaprio J, Partinen M, Langinvainio H, Sarna S, Heikkilä K.
Snoring as a risk factor for hypertension and angina pectoris. Lancet
LondEngl.1985Apr20;1(8434):893–6.
9. Lindberg E, Taube A, Janson C, Gislason T, Svärdsudd K, Boman G. A 10-
yearfollow-upofsnoringinmen.Chest.1998Oct;114(4):1048–55.
55. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 47
10. Dunai A, Keszei AP, Kopp MS, Shapiro CM, Mucsi I, Novak M.
Cardiovascular disease and health-care utilization in snorers: a
populationsurvey.Sleep.2008Mar;31(3):411–6.
11. Gislason T, Aberg H, Taube A. Snoring and systemic hypertension--an
epidemiologicalstudy.ActaMedScand.1987;222(5):415–21.
12. Tedjasukmana R. Mekanisme Terjadinya Hiperaldosteronisme Primer
Pada Penderita Obstructive Sleep Apnea: Peranan Neuroglobin,
Cryptochrome-1danCryptochrome-2(Disertasi).FKUI;2017.
13. Young T, Peppard PE, Gottlieb DJ. Epidemiology of obstructive sleep
apnea: a population health perspective. Am J Respir Crit Care Med. 2002
May1;165(9):1217–39.
14. Young T, Peppard P, Palta M, Hla KM, Finn L, Morgan B, et al. Population-
based study of sleep-disordered breathing as a risk factor for
hypertension.ArchInternMed.1997Aug11;157(15):1746–52.
15. Nieto FJ, Young TB, Lind BK, Shahar E, Samet JM, Redline S, et al.
Association of sleep-disordered breathing, sleep apnea, and
hypertension in a large community-based study. Sleep Heart Health
Study.JAMA.2000Apr12;283(14):1829–36.
16. WorsnopCJ,NaughtonMT,BarterCE,MorganTO,AndersonAI,PierceRJ.
The Prevalence of Obstructive Sleep Apnea in Hypertensives. Am J
RespirCritCareMed.1998Jan1;157(1):111–5.
17. Tedjasukmana R. Prevalence of hypertension in Indonesian sleep apnea
patients.SleepBiolRhythms.2011;9(4):268.
18. Dudenbostel T, Calhoun DA. Resistant hypertension, obstructive sleep
apnoeaandaldosterone.JHumHypertens.2012May;26(5):281–7.
19. Lavie P, Hoffstein V. Sleep apnea syndrome: a possible contributing
factortoresistant.Sleep.2001;24(6):721–725.
20. Devulapally K, Pongonis R, Khayat R. OSA: the new cardiovascular
disease: Part II: overview of cardiovascular diseases associated with
obstructivesleepapnea.HeartFailRev.2009Sep;14(3):155–64.
21. Arnardottir ES, Mackiewicz M, Gislason T, Teff KL, Pack AI. Molecular
signatures of obstructive sleep apnea in adults: a review and
perspective.Sleep.2009Apr;32(4):447–70.
22. Ziegler MG, Milic M, Elayan H. Cardiovascular Regulation in Obstructive
SleepApnea.DrugDiscovTodayDisModels.2011;8(4):155–60.
56. Buku Ajar Sleep Medicine
48 www.inasleep.org
23. Pratt-Ubunama MN, Nishizaka MK, Boedefeld RL, Cofield SS, Harding
SM, Calhoun DA. Plasma aldosterone is related to severity of obstructive
sleep apnea in subjects with resistant hypertension. Chest. 2007
Feb;131(2):453–9.
24. Gaddam K, Pimenta E, Thomas SJ, Cofield SS, Oparil S, Harding SM, et al.
Spironolactone reduces severity of obstructive sleep apnoea in patients
with resistant hypertension: a preliminary report. J Hum Hypertens.
2010Aug;24(8):532–7.
25. Doi M, Takahashi Y, Komatsu R, Yamazaki F,Yamada H, Haraguchi S, et al.
Salt-sensitive hypertension in circadian clock-deficient Cry-null mice
involvesdysregulatedadrenalHsd3b6.NatMed.2010;16(1):67–74.
26. Doi M. Circadian clock-deficient mice as a tool for exploring disease
etiology.BiolPharmBull.2012;35(9):1385–91.
27. XuM,YangY,ZhangJ.Levelsofneuroglobininserumandneurocognitive
impairments in Chinese patients with obstructive sleep apnea. Sleep
BreathSchlafAtm.2013May;17(2):573–82.
28. Burmester T, Hankeln T. What is the function of neuroglobin? J Exp Biol.
2009May;212(Pt10):1423–8.
29. Hundahl CA, Allen GC, Nyengaard JR, Dewilde S, Carter BD, Kelsen J, et al.
Neuroglobin in the rat brain: localization. Neuroendocrinology.
2008;88(3):173–82.
30. Tedjasukmana R, Purba JS, Wanandi SI, Suyatna FD. Neuroglobin
correlates with cryptochrome-1 in obstructive sleep apnea with
primaryaldosteronism.PLOSONE.2018Sep20;13(9):e0204390.
57. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 49
Delayed Phase Sleep Disorder: What, Why, and
How?
Oleh: Fidiana
Departemen Neurologi Universita Airlangga - RS Dr. Soetomo Surabaya
Definisi
Menurut International Classfification of Sleep Dirorders ke-3 (ICSD-3)
tahun 2014, Delayed Sleep-Wake Phase Disorder, atau disebut juga Delayed Phase
Sleep Disorder (DSPD) termasuk dalam Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorder.
DSPD adalah keadaan dimana episode tidur mengalami keterlambatan secara
abnormal, relatif terhadap fase gelap-terang matahari, dimana pasien sulit
memulai tidur dan bangun pada waktu yang diinginkan. Akibatnya akan terjadi
restriksi tidur untuk menyesuaikan terhadap jadwal pekerjaan yang lazim,
sehingga pada akhir pekan pasien akan cenderung bangun lebih siang. Apabila
dilepaskan dari tekanan untuk bangun pada waktu tertentu, maka durasi dan
kualitas tidur menjadi normal, dan pasien merasa segar saat bangun, hanya saja
episodetidurbergesermenjadilebihlambat.(Nesbitt,2018)
DSPD ini adalah jenis gangguan tidur irama sirkadian yang paling sering
terjadi, gejalanya mirip dengan inisiasi tidur insomnia. biasanya DSPD dialami
olehremaja,dangangguaninidapatmenetaphinggadewasa.(Nesbitt,2018)
Epidemiologi
Prevalensi DSPD pada populasi umum adalah kurang lebih sebesar
0,17%, sedangkan pada remaja prevalensinya lebih tinggi yaitu sekitar
3,3%.(BathgateandEdinger,2019)
Patofisiologi
Ini adalah fisiologi dari siklus bangun tidur yang digambarkan dengan
“2modelprosesregulasitidur” yg dicetuskan oleh Boberly pada tahun 1980. Jadi
menurut boberly, proses tidur-bangun diatur oleh 2 mekanisme biologis, yaitu
proses S (sleep drive) dan proses C (circadian atau wake drive). Proses S, yaitu
proses akumulasi zat penginduksi tidur di otak. Ini adalah system biokimia
58. Buku Ajar Sleep Medicine
50 www.inasleep.org
internal yang beroperasi seperti sebuah “timer” menyebabkan sleep drive atau
keinginan untuk tidur setelah beberapa waktu terjaga. Proses ini mengingatkan
tubuhuntuktidur-jadisemakinlama seseorang terbangun,makadorongan tidur
akan semakin besar. Proses C, adalah regulasi proses biologis internal dan
tingakt keterjagaan (level of alertness). Hal ini yang mengatur waktu tidur dan
koordinasi dengan siklus terang-gelap pagi dan malam hari. Ritme sirkadian in
yang mengatur pola tidur, pola makan, suhu inti tubuh, aktivitas gelombang otak,
dan produksi hormone selama periode 24 jam. Jadi proses S mengatur sleep
drive, dan proses C mengatur time harian tidur. Kedua proses ini bekerja sama
untukmenyeimbangkansiklustidur-bangun.(Borbélyetal.,2016)
Cahaya adalah stimulus eksternal terpenting yang mensinkronisasi
waktu tidur-bangun dengan siklus matahari. Intensitas cahaya diterima oleh sel
ganglion retina yang sensitive terhadap cahaya dan mengandung melanopsin,
diteruskan ke nucleus suprakiasmatik melalui jaras retinohipotalamus. Nukleus
suprakiasmatik lalu mengirim sinyal ke kelenjar pineal melalui ganglion
servikalis superior dan menghambat produksi melatonin. Saat gelap, proses
inhibisi tidak terjadi dan kelenjar pineal mensekresi melatonin. Melatonin
menghambatsinyaldarinucleussuprakiasmatik.
Beberapa faktor turut berkontribusi terhadap patofisiologi DSPD,
termasukfaktorperilaku,kepribadian, emosional, kognitif,genetik, danbiologis.
Perbedaan respon neural terhadap cahaya, genetik, dan homeostasis tidur
secara invidual juga merupakan faktor biologis yang berperan penting. Pada
umumnya, pasien DSPD menerima terlalu banyak cahaya pada sore hari dan
59. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 51
sedikit cahaya pada pagi hari karena mereka tertidur. Hal ini yang menyebabkan
ketidaksinkronan terhadap siklus matahari, sehingga waktu tidur mengalami
keterlambatan.
Riwayat keluarga didapatkan pada 40% penderita DSPD. Polimorfisme
genetik pada gen irama sirkadian hPER3, AA-NAT, dan gen “clock” berhubungan
denganDSPD.
DSPD dapat disebabkan beberapa hal, antara lain adanya “delay” fase
sirkadian, gelombang sirkadian yang lebih lambat (periode lebih lama, tau),
hubungan yang abnormal antara fase sirkadian (proses C) dan fase tidur (proses
S),prosesSyanglebihlambatterjadi,dankurvaresponcahayayangabnormal.
Diagnosa
Diagnosa DSPD biasanya berlangsung 19,2 tahun sejak onset pada
remaja, dan penderita DSPD kronik biasanya masih mengalami keluhan sampai
diatasusia60tahun. (Micicetal.,2015)
Kriteria diagnosa Gangguan Tidur Irama Sirkadian menurut ICSD-3
adalahsebagaiberikut:(ZucconiandFerri,2014)
A. Gangguan pola bangun tidur kronik atau berulang terutama disebabkan
perubahan irama sirkadian endogen atau ketidaksinkronan antara
irama sirkadian endogen dengan jadwal tidur-bangun yang diinginkan
ataudibutuhkanolehlingkungan(sosialataukrnpekerjaan)
B. Gangguan ritme sirkadian ini menyebabkan insomnia, mengantuk
berlebihan siang hari (Excessive Daytime Sleepiness atau EDS), atau
keduanya
C. Gangguan tidur bangun ini menyebabkan distress atau gangguan
mental, fisik, sosial, okupasi, edukasi, atau fungsi lain yang signifikan
secaraklinis
Sedangkan kriteria diagnosa untuk DSPD menurut ICSD-3 adalah
sebagaiberikut:(BerryandWagner,2015)
A. Didapatkan penundaan fase episode tidur mayor yang signifikan
dibandingkan waktu tidur dan bangun yang diinginkan atau
dibutuhkan, dibuktikan dengan keluhan tidak dapat tidur dan bangun
pada waktu yang diinginkan atau dibutuhkan secara kronik atau
berulangbaikdaripasienataukeluarga.
60. Buku Ajar Sleep Medicine
52 www.inasleep.org
B. Gejalatersebutberlangsungsetidaknyaselama3bulan.
C. Apabila pasien dapat memilih jadwalnya sendiri, mereka dapat
meningkatkan kualitas dan durasi tidur menurut umur, dan
mempertahankanpolabangun-tiduryangtertunda.
D. Catatan tidur (Sleep log) dan apabila memungkinkan, monitor dengan
aktigrafi selama minimal 7 hari (bila memungkinkan sebaiknya 14 hari)
menunjukkan penundaan periode tidur sehari-hari. Monitor ini
sebaiknyamencakupharikerjadanakhirpekan/libur.
E. Gangguan tidur tersebut tidak disebabkan gangguan tidur lain,
gangguan neurologis atau medis, gangguan mental, penggunaan obat-
obatanatauzatlain.
Terapi
Terapi DSPD mencakup chronotherapy (semacam penjadwalam tidur),
cahaya terang pada pagi hari, dan melatonin sore hari. Chronotherapy adalah
menunda waktu tidur sampai jadwal yang diinginkan teracapai. Cahaya terang
pagi hari dan melatonin sebelum tidur telah digunakan untuk memajukan jam
tidurpasienDSPDterganggu.(Berry,2012)
DaftarPustaka
Bathgate, C. J. and Edinger, J. D. (2019) Sleep Disorders, Handbook of Sleep
Disorders in Medical Conditions. Elsevier Inc. doi: 10.1016/B978-0-12-
813014-8.00001-9.
Berry, R. (2012) ‘Circadian Rhythm Sleep Disorders’, in Berry, R. B. (ed.)
Fundamentals of Sleep Disorders. 1st edn. Philadeplhia: Elsevier Inc., pp.
515–543.
Berry, R. B. and Wagner, M. H. (2015) ‘Sleep Medicine Pearls’, in Sleep Medicine
Pearls.3rdedn.Philadelphia:Elsevier,pp.626–638.
Borbély, A. A. et al. (2016) ‘The two-process model of sleep regulation: A
reappraisal’, Journal of Sleep Research, 25(2), pp. 131–143. doi:
10.1111/jsr.12371.
Micic, G. et al. (2015) ‘The Etiology of Delayed Sleep Phase Disorder’, Sleep
MedicineReviews.ElsevierLtd.doi:10.1016/j.smrv.2015.06.004.
Nesbitt, A. D. (2018) ‘Delayed sleep-wake phase disorder’, Journal of Thoracic
Disease,10(Suppl1),pp.S103–S111.doi:10.21037/jtd.2018.01.11.
Zucconi, M. and Ferri, R. (2014) ‘Assessment of sleep disorders and diagnostic
procedures’, in Sleep Medicine Textbook. European Sleep Research
Society,pp.120–121.
61. 2nd Indonesia Sleep Medicine Congress
www.inasleep.org 53
Non-Rem Parasomnia: Diagnosis and Treatment
By: Wardah Rahmatul Islamiyah
Dep. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD dr. Soetomo-RS Universitas Airlangga Surabaya
Abstract
The non-rapid eye movement (NREM) parasomnias are a family of
disorders characterized by unwanted behaviours or experiences, which primarily
arise from slow wave sleep (NREM3). They include sleepwalking, sleep terrors,
confusional arousals, sexsomnia and sleep-related eating disorder (SRED). he
diagnosis of NREM parasomnia is often made on the basis of clinical history,
although video polysomnographic (vPSG) recordings may be required in assessing
complicated or difficult cases, particularly when a diagnosis of epilepsy is
suspected. Reports show that pharmacological therapy is used much more often
than psychological therapy (78.4% vs. 7.8%), and that both types of therapy have
highsuccessratesintreatingthesymptoms.
Keyword:Non-REMParasomnia,Diagnosis,Treatment
DEFINISI
Parasomnias adalah sekelompok gangguan tidur yang ditandai oleh
adanya perilaku yang tidak diinginkan, pengalaman, atau gangguan sistem saraf
otonom yang bisa terjadi pada saat memulai tidur, sedang tidur, atau saat terjaga
dari setiap stadium tidur non rapid eye movement (NREM) atau rapid eye
movement (REM) (Soca, 2019). Parasomia non-rapid eye movement (NREM)
merupakan kategori gangguan tidur yang ditandai oleh perilaku abnormal dan
kejadian fisiologis yang terutama timbul pada tidur stadium N3 dan terjadi di
luarkesadaran.Karenakejadiannya berkaitandengantidurgelombang lambat –
slow wave sleep (SWS), maka parasomnia NREM juga disebut “gangguan SWS”.
Perilaku seperti confusional arousal, sleep walking, makan sambil tidur - sleep
related eating disorder (SRED), night terrors, perilaku seksual dalam tidur
(disebut sexsomnia) dan kekerasan terkait tidur adalah parasomnia NREM yang