1. MAKALAH
Prinsip – Prinsip Metodologi Filsafat Ilmu
Oleh :
Fahmi Firdaus
NIM. 16060484073
PENDIDIKAN KESEHATAN DAN REKREASI
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2016
2. 1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahNya.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini saya telah menyelesaikan makalah dengan judul “Prinsip – Prinsip
Metodologi Filsafat Ilmu”. Dalam makalah ini akan saya sampaikan pengertian
metodologi dan prinsip – prinsipnya secara luas serta keterkaitan filsafat dan metodologi .
Kritik dan saran kami harapkan untuk perbaikan makalah saya selanjutnya semoga
makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan khusunya bagi pembaca sekalian.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Surabaya, 27 Februari 2017
Penyusun
3. 2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................................1
Daftar Isi ........................................................................................................................2
Bab I: PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ...........................................................................................3
b. Rumusan Masalah ......................................................................................3
Bab II: PEMBAHASAN
A. Pemngertian Filsafat dan Metodologi
a. Pengertian Filsafat .................................................................................4
b. Pengertian Metodologi...........................................................................8
c. Metodologi Filsafat................................................................................9
B. Pandangan Tentang Prinsip Metodologi
a. Rene Descartes.....................................................................................10
b. Alfred Jules Ayer .................................................................................12
c. Karl Raimund Popper ..........................................................................14
d. Michael Polanyi ...................................................................................15
C. Metode Efektif dalam Pembelajaran ........................................................16
Bab III: PENUTUP
Kesimpulan.....................................................................................................18
Daftar Pustaka..............................................................................................................19
4. 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sering kita berfikir ketika kita hendak melakukan sesuatu, seperti hanlnya
belajar, membaca, berlatih atau apapun, kita slalu memulainya dengan suatu
pertanyaan, “metode apa yang dapat efesien efektif untuk digunakan”. Pertanyaan
tersebut selalu terngiang dalam pikiran kita, akan tetapi sering juga kita tak dapat
menemukannya.
Lalu apakah yang dimaksud metodologi, atau bahasa modern nya metode.
Justru hal ini lah yang paling mendasar, kita sering kali bertanya mengenai “apa
metode yang dapat efesien dan efektif untuk digunakan” akan tetapi kita tidak paham
secara mendasar mengenai metodologi.
Akan tetapi sebelum kita mempelajari tentang metodologi, terlebih dahulu kita
harus memahami tantang filsafat. Karena erat kaitannya mengenai filsafat dan
metodologi, dapat dikatakan filsafat adalah akar ataupun landasan dari metodologi.
Sehingga pada makalah ini kita akan memmbahas secara meluas mengenai
filsafat sebagai landasan metodologi, yang mana pada makalah ini akan diuraikan
pengertian filsafat maupun metodologi. Dan untuk tambahan, pada makalah ini juga
akan disampaikan mengenai metode yang efektif dan efesien dalam pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari metodologi dan filsafat
2. Bagaimana hubungan antara filsafat dan metodologi
3. Mengapa filsafat diartikan sebagai landasan metodologi
4. Bagaimana Pandangan filsuf mengenai tentang prinsip – prinsip metodologi
5. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat dan Metodologi
a. Pengertian Filsafat
Seorang yang berfilsafat digambarkan oleh Jujun S. Suriasumantri seperti
orang yang berpijak di bumi sedang tengadah memandang bintang-bintang di
langit, dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Seorang
yang berdiri di puncak bukit, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya, dia
ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya (Jujun
Sriasumantri, 1996: 2). Seperti juga yang digambarkan oleh Harold H. Titus dan
kawan-kawan, ketika ada pertanyaan seorang bocah berumur empat tahun yang
menanyakan soal-soal luar biasa yang keluar dari mulutnya. Ia menanyakan
"bagaimana dunia ini bermula?", atau "benda-benda itu itu terbuat dari apa?",
atau "apa yang terjadi pada seseorang jika ia mati?" (Harold H. Titus dkk., 1984:
5).
Gambaran dan pertanyaan-pertanyaan di atas akan membawa, menuntun,
dan mengantarkan seseorang pada dunia pemikiran yang sangat mendasar dan
substansial. Ketika seseorang memikirkan dan berusaha menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut, tanpa disadarinya bahwa ia sedang berfilsafat. Menurut Titus,
kita semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti
kehidupan, mati, Tuhan, baik dan buruk, benar dan salah, keindahan dan
kejelekan, dan sebagainya (Harold H. Titus dkk., 1984: 10-11). Untuk bisa
mengetahui dan menjelaskan hakekat hal-hal tersebut, dibutuhkan suatu
pemikiran dan perenungan, yang dapat disebut sebagai berpikir filsafati.
Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan berpikir filsafati tersebut?
Kata filosofi (philosophy) berasal dari perkataan Yunani philos (suka,
cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Jadi kata filosofi berarti cinta kepada
kebijaksanaan. Suatu definisi filsafat dapat diberikan dari berbagai pandangan.
Berikut ini dapat dicermati beberpa definisi filsafat.
Pertama, filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi ini
merupakan arti yang informal tentang filsafat atau kata-kata "mempunyai
6. 5
filsafat", misalnya ketika seseorang berkata: "Filsafat saya adalah...", ia
menunjukkan sikapnya yang informal terhadap apa yang dibicarakan.
Jika seseorang mengalami suatu krisis atau pengalaman yang luar biasa,
kemudian ditanyakan kepadanya: "bagaimana pengaruh kejadian itu?",
"bagaimana ia menghadapinya?". Kadang-kadang jawabannya adalah: "ia
menerima hal itu secara falsafiah". Ini berarti bahwa ia melihat problema tersebut
dalam perspektif yang luas, atau sebagai suatu bagian dari susunan yang lebih
besar. Oleh karena itu, ia menghadapi situasi itu secara tenang dan dengan
berpikir, dengan keseimbangan dan rasa tenteram.
Kedua, filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi. Ini adalah arti yang formal
dari "berfilsafat". Dua arti filsafat, "memiliki dan melakukan", tidak dapat
dipisahkan sepenuhnya satu dari lainnya. Oleh karena itu, jika tidak memiliki
suatu filsafat dalam arti yang formal dan personal, seseorang tidak akan dapat
melakukan filsafat dalam arti kritik dan reflektif (reflective sense).
Meskipun demikian, memiliki filsafat tidak cukup untu melakukan filsafat.
Suatu sikap falsafi yang benar adalah sikap yang kritis dan mencari. Sikap itu
adalah sikap terbuka, toleran, dan mau melihat segala sudut persoalan tanpa
prasangka. Berfilsafat tidak hanya berarti "membaca dan mengetahui filsafat".
Seseorang memerlukan kebolehan berargumentasi, memakai teknik analisa, dan
mengetahui sejumlah bahan pengetahuan, sehingga ia dapat memikirkan dan
merasakan secara falsafi.
Ahli filsafat selalu bersifat berpikir dan kritis. Mereka melakukan
pemeriksaan kedua (a second look) terhadap bahan-bahan yang disajikan oleh
faham orang awam (common sense). Mereka mencoba untuk memikirkan
bermacam-macam problema kehidupan dan menghadapi fakta-fakta yang ada
hubungannya dengan itu. Memiliki pengetahuan banyak tidak dengan sendirinya
akan mendorong dan menjamin seseorang untuk memahami, karena pengetahuan
banyak belum tentu mengajar akal untuk mengadakan evaluasi kritis terhadap
fakta-fakta yang memerlukan pertimbangan (judment) yang bersifat konsisten
dan koheren.
Evaluasi-evaluasi kritis sering berbeda. Ahli filsafat, teologi, sains, dan
lain-lainnya mungkin berbeda karena beberapa alasan:
7. 6
1. Mereka melihat benda dari sudut pandang yang berbeda dikarenakan
adanya pengalaman pribadi, latar belakang kebudayaan, dan pendidikan
yang berbeda.
2. Mereka hidup dalam dunia yang berubah. Manusia berubah, masyarakat
berubah, dan alam juga berubah. Sebagian manusia ada yang mau
mendengarkan (responsive) dan peka (sensitive) terhadap perubahan,
sebagian lainnya berpegang pada tradisi dan status quo, kepada sistem
yang dibentuk pada masa silam dan karena dianggap final.
3. Mereka itu menangani bidang pengalaman kemanusiaan di mana bukti-
buktinya tidak cukup sempurna, sehingga dapat ditafsirkan bermacam-
macam. Meskipun demikian, ahli filsafat tetap memeriksa, menyelidiki,
dan mengevaluasi bahan-bahan itu dengan harapan dapat menyajikan
prinsip-prinsip yang konsisten yang dapat dipakai oleh seseorang dalam
kehidupannya.
Ketiga, filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
Filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan
pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang
alam. Seorang ahli filsafat ingin melihat kehidupan, tidak dengan pandangan
seorang saintis, seorang pengusaha atau seorang seniman, akan tetapi dengan
pandangan yang menyeluruh, mengatasi pandangan-pandangan yang parsial.
Dalam membicarakan filsafat spekulatif (speculative philosophy) yang dibedakan
dari filsafat kritik (critical philosophy), C.D. Broad mengatakan: "maksud dari
filsafat spekulatif adalah untuk mengambil alih hasil-hasil sains yang bermacam-
macam, dan menambahnya dengan hasil pengalaman keagamaan dan budi pekerti.
Dengan cara ini diharapkan akan dapat sampai pada suatu kesimpulan tentang
watak alam ini serta kedudukan dan prospek manusia di dalamnya".
Tugas dari filsafat adalah untuk memberikan pandangan dari keseluruhan,
kehidupan, dan pandangan tentang alam, dan untuk mengintegrasikan
pengetahuan sains dengan pengetahuan disiplin-disipllin lain agar mendapatkan
suatu keseluruhan yang konsisten. Menurut pandangan ini, filsafat berusaha
membawa hasil penyelidikan manusia --keagamaan, sejarah, dan keilmuan--
kepada suatu pandangan yang terpadu, sehingga dapat memberi pengetahuan dan
pandangan yang mendalam bagi kehidupan manusia.
8. 7
Keempat, filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan
tentang arti kata dan konsep. Memang ini merupakan fungsi filsafat. Hampir
semua ahli filsafat telah memakai metoda analisa serta berusaha untuk
menjelaskan arti istilah-istilah dan pemakaian bahasa. Tetapi ada sekelompok
ahli filsafat yang menganggap hal tersebut sebagai tugas pokok dari filsafat
bahkan ada golongan kecil yang menganggap hal tersebut sebagai satu-satunya
fungsi yang sah dari filsafat.
Kelompok ini menganggap filsafat sebagai suatu bidang khusus yang
mengabdi kepada sains dan membantu menjelaskan bahasa, dan bukannya suatu
bidang yang luas yang memikirkan segala pengalaman kehidupan. Pandangan
seperti ini merupakan hal baru dan telah memperoleh dukungan yang besar pada
abad ke-20. Pandangan ini akan membatasi apa yang dinamakan pengetahuan
(knowledge) kepada pernyataan (statement) tentang fakta-fakta yang dapat dilihat
serta hubungan-hubungan antara keduanya, yakni urusan sains yang beraneka
macam.
Memang ahli-ahli analisis bahasa (linguistic analysis) tidak membatasi
pengetahuan sesempit itu. Memang betul mereka itu menolak dan berusaha untuk
membersihkan bermacam-macam pernyataan yang non-ilmiah (non scientific),
akan tetapi banyak di antara mereka yang berpendapat bahwa manusia dapat
memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip etika dan sebagainya yang
dihasilkan dari pengalaman. Mereka yang memilih pandangan yang lebih sempit,
mengabaikan, walaupun tidak mengingkari, semua pandangan yang menyeluruh
tentang dunia kehidupan, tentang filsafat moral yang tradisional dan teologi. Dari
segi pandangan yang lebih sempit ini tujuan filsafat adalah untuk menonjolkan
"kebauran dan omong kosong" serta untuk menjelaskan arti dan pemakaian
istilah-istilah dalam sains dan urusan sehari-hari.
Kelima, filsafat adalah sekumpulan probema-problema yang langsung yang
mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli
filsafat. Filsafat mendorong penyelidikannya sampai kepada soal-soal yang
paling mendalam dari eksistensi manusia. Sebagian dari soal-soal filsafat pada
zaman dahulu telah terjawab dengan jawaban yang memuaskan kebanyakan ahli
filsafat. Sebagai contoh, adanya ide bawaan telah diingkari orang semenjak
zamannya John Locke abad ke-17. Walaupun begitu, banyak soal yang sudah
9. 8
terjawab hanya untuk sementara, dan ada juga problema-problema yang belum
terjawab.
Apakah soal-soal kefilsafatan itu? Soal-soal kefilsafatan adalah berkenaan
dengan persoalan yang mendasar dalam kehidupan manusia. Misalnya, apakah
kebenaran itu?, Apakah bedanya antara yang benar dan yang salah?, Apakah
kehidupan itu?, Untuk apa manusia hidup?, Mau kemana akhir dari kehidupan
ini?, dan seterusnya. Semua soal itu adalah falsafi. Usaha untuk mendapatkan
jawaban atau pemecahan masalah terhadapnya telah menimbulkan teori dan
sistem pemikiran seperti idealisme, realisme, pragmatisme, filsafat analitik,
eksistensialisme, dan fenomenologis. Filsafat juga berarti bermacam-macam teori
dan sistem pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof besar seperti Socrates,
Plato, Aristoteles, Augustine, Thomas Aquinas, Descartes, dan seterusnya
b. Pengertian Metodologi
Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan
ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari
bahasa yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui,
mengikuti, sesdah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata
methodos sendiri lalu berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian
ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. (Anton
Bakker, 1994, hlm 10).
Pengertian metode berbeda dengan metodologi. Metode adalah suatu jalan,
petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang praktis.
Adapun metodologi disebut juga science of methodos, yaitu ilmu yang
membicarakan cara, jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga
metodologi penelitian membahas konsep teoritis berbagai metode. Dapat pula
dikatakan bahwa metodologi penelitian adalah membahas tentang dasar-dasar
filsafat ilmu dari metode penelitian, karena metodologi belum memiliki langkah-
langkah praktis, adapun derevasinya adalah pada metode penelitian. Bagi ilmu-
ilmu seperti sosiologi, antropologi, politik, komunikasi, ekonomi, hukum, serta
ilmu-ilmu kealaman, metodologi adalah merupakan dasar-dasar filsafat ilmu dari
suatu metode, atau dasar dari langkah praktis penelitian.
Metode bisa dirumuskan suatu proses atau prosedur yang
sistematikberdasarkan prinsipdan teknik ilmiah yang dipakai oleh disiplin bidang
10. 9
studi untuk mencapai suatu tujuan. Adapun metodologi adalah pengkajian
mengenai model atau bentuk metode, aturan yang harus dipakai dalam kegiatan
ilmu pengetahuan. Jika dibandingkan antara metode dan metodologi, maka
metodologi lebih bersifat umum dan metode lebih bersifat khusus. Dengan kata
lain dapat dipahami bahwa metodologi bersangkutan dengan jenis, sifat dan
bentuk umum mengenai cara-cara, aturan dan patokan prosedur jalannya
penyelidikan, yang mengambarkan bagaimana ilmu pengetahuan harus bekerja.
Adapun metode adalah cara kerja dan langkah-langkah khusus penyelidikan
secara sistematik menuut metodoogi itu, agar tercapai suatu tujuan, yaitu
kebenaran ilmiah.
c. Metodologi Filsafat
Oleh karena filsafat berangkat dari rasa heran, bertanya, dan memikirkan
tentang asumsi-asumsi yang fundamental, maka diperlukan untuk meneliti
bagaimana filsafat itu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Problema-
problema filsafat tidak dapat dipecahkan dengan sekedar mengumpulkan fakta-
fakta. Untuk mencapai tujuan tersebut, metoda dasar untuk penyelidikan filsafat
adalah metoda dialektika.
Filsafat berlangsug dengan mengikuti dialektika argumentasi. Istilah
dialektika menunjukkan proses berpikir yang berasal dari Socrates. Menurut
Socrates, cara yang paling baik untuk mendapatkan pengetahuan yang diandalkan
adalah dengan melakukan pembicaraan yang teratur (disciplined conversation)
dengan memainkan peranan seorang intellectual midwife (orang yang memberi
dorongan atau rangsangan kepada seseorang untuk melahirkan pengetahuan yang
terpendam dalam pikiran). Metoda yang dipakai Socrates dinamakan dialektika.
Proses dialektika adalah dialog antara dua pendirian yang bertentangan.
Socrates dan filosof-filosof yang datang kemudian berkeyakinan bahwa dengan
proses dialog di mana setiap peserta dalam pembicaraan akan terpaksa untuk
menjelaskan idenya. Hasil terakhir dari pembicaraan tersebut akan merupakan
pernyataan tentang apa yang dimaksudkan. Hal penting adalah bahwa dialektika
itu merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay)
antar ide.
Pemikiran dialektika atau metoda dialektika berusaha untuk mengembang-
kan suatu contoh argumen yang di dalamnya terjalin implikasi bermacam-macam
11. 10
proses (sikap) yang saling mempengaruhi. Argumen tersebut akan menunjukkan
bahwa tiap-tiap proses (sikap) tidak menyajikan pemahaman yang sempurna
tentang kebenaran. Dengan begitu timbullah pandangan dan alternatif yang baru.
Tiap tahap dar dialektika akan memasuki lebih dalam kepada problema asli, dan
dengan begitu ada kemungkinan untuk lebih mendekati kebenaran.
Dengan menggunakan metoda dialektika akan lebih mendekati kebenaran,
akan tetapi sesungguhnya tidak jarang problema filsafat yang semula belum juga
terpecahkan. Masih banyak soal-soal yang dikemukakan serta argumentasi yang
ditentang. Dengan metoda dialektika setidaknya akan sampai kepada pemecahan
sementara, ada jawaban-jawaban yang tampak lebih memuaskan, tetapi ada juga
jawaban yang harus dibuang.
B. Pandangan Tentang Prinsip Metodologi
a. Rene Descartes
Rene Descartes mengusulkan suatu metode umum yang memiliki kebenaran yang
pasti. Dalam karyanya termasyhur Discourse on Method, risalah tentang metode,
diajukan enam bagian penting (Dalam Rizal Mustansyir, dkk., 2001) sebagai
berikut:
1. Membicarakan masalah ilmu-ilmu yang diawali dengan
menyebutkan akal sehat (common sense) yang pada umumnya
dimiliki semua orang. Menurut Descartes, akal sehat ada yang
kurang, ada pula yang lebih banyak memilikinya, namun yang
terpenting adalah penerapannya dalam aktivitas ilmiah. Metode yang
ia coba temukan merupakan upaya untuk mengarahkan nalarnya
sendiri secara optimal. Filsafat bagi Descartes rancu dengan gagasan
yang acap kali saling bertentangan, oleh karena itu perlu dibenahi.
Satu hal yang diperlukan dalam menuntut ilmu ialah melepaskan diri
dari cengkraman otoritas kaum guru atau dosen, mengerahkan diri
untuk belajar dari “buku alam raya” dan mempelajari dirinya sendiri.
2. Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan
dipergunakan dalam aktivitas ilmiah. Bagi Descartes sesuatu yang
dikerjakan oleh satu orang lebih sempurna dari pada yang dikerjakan
oleh sekelompok orang secara patungan. Descartes mengajukan
12. 11
empat langkah atau aturan yang dapat mendukung metode yang
dimaksud sebagai berikut (dalam Rizal Mustansyir,dkk.,2001).
a. Janganlah pernah menerima baik apa saja sebagai benar, jika
Anda tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai
kebenarannya. Artinya, dengan cermat hindari kesimpulan-
kesimpulan dan prakonsepsi yang terburu-buru, dan janganlah
memasukkan apapun ke dalam pertimbangan Anda lebih dari
pada yang terpapar dengan begitu jelas, sehingga tidak perlu
diragukan lagi.
b. Pecahkanlah tiap kesulitan Anda menjadi sebanyak mungkin
bagian dan sebanyak yang dapat dilakukan untuk
mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik.
c. Arahkan pemikiran Anda secar tertib, mulai dari objek yang
paling sederhana dan paling mudah diketahui, lalu meningkat
sedikit demi sedikit, ke pengetahuan yang paling kompleks,
dan dengan mengandaikan sesuatu urutan bahkan di antara
objek yang sebelum itu tidak mempunyai ketertiban kodrati.
d. Buatlah penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap
mungkin, dan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga Anda
dapat merasa pasti tidak sesuatupun yang ketinggalan.
3. Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan bagi
penerapan metode sebagai berikut:
a. Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil
berpegang pada agama yang diajarkan sejak masa kanak-kanak.
b. Bertindak tegas dan mantap, baik pada pendapat yang paling
meyakinkan maupun yang paling meragukan.
c. Berusaha lebih mengubah diri sendiri daripada merombak
tatanan dunia.
4. Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acapkali terkecoh
oleh indra. Ujar Descartes, kita dapat saja meragukan segala sesuatu,
namun kita tidak mungkin meragukan kita sendiri yang sedang
dalam keadaan ragu-ragu.
5. Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia, yang terdiri atas
dua substansi, yaitu res cogitans (jiwa bernalar), dan res extensa
13. 12
(jasmani yang meluas). Tubuh (res extensa) diibaratkan dengan
mesin, yang tentunya karena ciptaan Tuhan maka tertata lebih baik.
6. Dua jenis pegetahuan, yaitu pengetahuan spekulatif dan pengetahuan
praktis. Pengetahuan praktis terkait dengan objek-objek konkret
seperti air, api, udara, planet, dan lain-lain. Sedang pengetahuan
spekulatif menyangkut hal-hal yang bersifat filosofis. Berkat kedua
pengetahuan inilah manusia menjadi penguasa alam.
b. Alfred Jules Ayer
Pemikiran Ayer termuat dalam bukunya yang berjudul Language, Truth and
Logic tersebut. Ajaran terpenting yang terkait dengan masalah metodologis
adalah prinsip verifikasi. Pada mulanya perbincangan mengenai prinsip verifikasi
ini mengacu pada metode ilmiah yang diterapkan dalam bidang Fisika Modern,
atau kritik terhadap metode Fisika Klasik Isaac Newton. Teori Relativitas
Einstein yang termasyhur itu telah memperlihatkan secara jelas bahwa konsep
“Rang dan waktu yang absolut” dari Fisika Klasik yang diajukan oleh Newton,
hanya bermakna manakala seseorang dapat merinci apakah pelaksanaan terhadap
percobaan yang dilakukan itu dapat ditasdikan. Kritik yang dilancarkan Einstein
terhadap konsep Newton itu telah menghilhami tokoh-tokoh positivisme Logik,
sperti Moritz Schlick dan Rudolf Carnapp yang pada dasarnya mempunyai
latarbelakang pendidikan sains yang cukup kat. Kemudian mereka menerapkan
prinsip verivikasi yang semula dipergunakan dalam bidang fisika itu ke dalam
teknik analisis bahasa. Cara yang demikian itu membawa perubahan yang cukup
besar terhadap tolak ukur untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu
pernyataan. Sebab bagi positivisme Logik “sesuatu yang tidak dapat diukur
(ditasdikan) itu tidak mempunyai makna”. Dengan demikian makna sebuah
proposisi tergantung apakah kita dapat melakukan verifikasi terhadap proporsi
yang bersangkutan.
Kendati tokoh Positivisme Logik secara umum menerima prinsip verifikasi
itu sebagai tolak ukur untuk menentukan konsep tentang makna, namun mereka
membuat rincian yang cukup berbeda mengenai prinsip verifikasi itu sendiri.
Tokoh pemula Positivisme Logik, seperti Moritz Schlick misalnya, menafsirkan
verifikasi ini dalam pengertian pengamatan empirik secara langsung bahwa
hanya proporsisi yang mengandung istilah yang diangkat langsung dari objek
yang diamati (ini dinamakan kalimat protokol) itulah yang benar-benar
14. 13
mengandung makna. Bagi Schlick, jelas bahwa salah satu cara pengetahuan itu
dimulai dengan pengamatan peristiwa. Peristiwa semacam itu terlihat dalam
kalimat protokol dan inilah yang menjadi permulaan bagi ilmu. Akan tetapi
tafsiran Scklick mengenai prinsip verifikasi ini meimbulkan perdebatan di antara
kaum Positivisme Logik itu sendiri, terutama penganut Positivisme Logik yang
muncul kemudian.
Ayer, salah seorang penganut Positivisme Logik yang muncul kemudian,
atau dapat dikatakan sebagai generasi penerus tradisi Positivisme Logik,
menyadari pula kelemahan yang terkandung dalam prinsip pntasdikan yang
diajukan Schlick itu. Oleh karena itu Ayer memperluas prinsip verifikasi dalam
pengertian berikut: “Prinsip verifikasi itu merupakan pengandaian untuk
melengkapi suatu kriteria, sehingga melalui kriteria tersebut dapat ditentukan
apakah suatu kalimat mengandung makna atau tidak”. Melalui prinsip verifikasi
ini tidak hanya kalimat yang teruji secara empirik saja yang dapat dianggap
bermakna, tetapi juga kalimat yang dapat dianalisis. Hal ini ditegaskan Ayer
dalam pernyataan berikut: “Suatu cara yang sederhana untuk merumuskan hal itu
adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat mengandung makna, jika dan
hanya jika proporsisi yang diungkapkan itu dapat diananlisis atau dapat
diverivikasi secara empirik”. Penafsiran yang diajukan Ayer terhadap prinsip
verifikasi ini berhasil mengatasi kelemahan yang terdapat dalam pandangan
tokoh Positivisme Logik sebelumnya, yang hanya menerima proporsisi yang
dapat diverifikasi secara empirik. Hal mana terlihat jelas dalam pandangan
Moritz Schlick, yang mengaitkan prinsip verifikasi itu dengan kalimat protokol,
atau kalimat yang dapat diperiksa benar atau salahnya melalui pengamatan
empirik secara langsung. Menurut pandangan Ayer, prinsip verifikasi seperti
yang diajukan Schlick itu merupakan verifiable dalam arti yang ketat (Ayer
menambahkan pengertian verifiable dalam arti yang longgar atau lunak). Kedua
macam pengertian ini dijelaskan oleh Ayer adalah sebagai berikut: “verifiable
dalam arti yang ketat yaitu, sejauh kebenaran suatu proposisi itu didukung
pengalaman secara meyakinkan. Sedangkan verifiable dalam arti yang lunak,
yaitu jika suatu proporsi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau
merupakan pengalaman yang memungkinkan”.
Melaui kedua macam pengertian verifiable ini, Ayer terutama verifiable
dalam arti yang lunak telah membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan
15. 14
dalam bidang sejarah (masa lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan masa
depan ) sebagai pernyataan yang mengandung makna. Ayer menampik kehadiran
metafisika dalam dunia ilmiah. Karena pernyatan-pernyataan metafisika
(termasuk, etika, theologi) merupakan pernyataan yang meaningless (tidak
bermakna) lantaran tidak dapat dilakukan verifikasi apapun.
c. Karl Raimund Popper
Popper seorang filsuf kontemporer yang melihat kelemahan dalam prinsip
verifikasi berupa sifat pembenaran (justification) terhadap teori yang telah ada.
Popper mengajukan beberapa prinsip sebagai berikut:
1. Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan
dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi oleh kaum
posititivistik. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis, tidak ada
kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh
teori yang lebih tepat.
2. Cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari
pengamatan (obeservasi) secara teliti gejala yang sedang diselidiki.
Pengamatan yang berulang-ulang itu akan memperlihatkan adanya
ciri-ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesis. Selanjutnya
hipotesis itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti
empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesis yang berhasil
dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum. Popper
menolak cara kerja diatas, terutama pada asas verifikasi, bahwa
sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti
pengamatan empiris.
3. Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip
falsi-fiabilitas, yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan
kesalahannya. Maksudnya sebuah hipotesis, hukum, ataukah teori
kebenarannya hanya bersifat sementara, sejauh belum ditemukan
kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya. Jika ada pertanyaan
“semua angsa itu berbulu putih”. Melalui prinsip falsifiabilitas itu
cukup ditemukan seekor angsa yang berbulu selain putih, maka
runtuhlah pernyataan semula. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat
berkembang maju manakala suatu hipotesis telah dibuktikan salah,
sehingga dapat digantikan dengan hipotesisi baru. Namun ada
16. 15
kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesis baru.
Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu unsur hipotesis
yang dibuktikan salah untuk digantikan dengan unsur baru yang lain,
sehingga hipotesis telah disempurnakan. Menurut Popper, apabila
suatu hipotesis dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan,
maka hipotesis tersebut semakin diperkokoh.
Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat berkembang maju manakala suatu hipotesis
telah dibuktikan salah, sehingga dapat digantikan dengan hipotesis baru.
d. Michael Polanyi
Menurut Michael Polanyi pengembangan ilmu pengetahuan menuntut
kehidupan kreatif masyarakat ilmiah yang pada gilirannya didasarkan pada
kepercayaan akan kemungkinan terungkapnya kebenaran-kebenaran yang hingga
kini masih tersembunyi. Dengan latar belakang ilmu kedokteran, Polanyi
menegaskan bahwa tugas filsafat terutama adalah membedah penyakit-penyakit
pikiran yang hanya dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan mendasar
terhadap setiap pandangan yang mendasari masyarakat.
Tujuan dari metode maieutika tekhne yaitu untuk menemukan alternative-
alternatif baru bagi hidup manusia sebagai manusia dan sebagai masyarakat. (M.
Mukhtasar, 1997, hlm. 24). Kekeliruan tesis Positivisme tidak hanya pada
sikapnya yang menolak cita rasa estetis, dan nilai moral serta ikatan social,
karena menggangapnya sebagai realitas subjectif, melainkan juga pada
pandanganya bahwa sesuatu masyarakat tidak dapat dibangun atas dasar yang
berakar pada prinsip moral abstrak, tetapi berakar pada tradisi masyarakat.
Dari sudut pandang filsafat ilmu, Polanyi menunjukkan kekeliruan mendasar
Positivisme dalam merumuskan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Polanyi
menekankan betapa pentingnya penemuan (discovery) dalam bidang ilmu
pengetahuan, tidak sekedar verifikasi, yang menurut Delfgaauw (1988), adalah
penegasan atau pengakuan berdasar pengamatan empiris, terutama tampak jelas
dalam Positivisme Logis dengan penekanannya pada susunan logis ilmiah.
Jadi Polanyi telah merintis suatu model perkembangan baru ilmu-ilmu
dengan memadukan secara jernih antara nilai dan fakta, sehingga ilmu-ilmu
dikembangkan dapat sejalan dengan perkembangan masyarakat. Objektivitas
yang menjadi pokok perhatian ilmu-ilmu, menurut Polanyi justru terletak pada
segi tidak terungkapnya ilmu-ilmu itu sehingga mutlak menggunakan
17. 16
objektivisme yang pada prinsipnya akan mencerminkan objektivitasnya. Dalam
kerangka ini tampak upaya Polanyi untuk menunjukkan hakikat ilmu sebagai
realitas yang personal
C. Metode Efektif Dalam Pembelajaran
Dalam hal ini saya akan sampaikan metode yang efektif dalam pembelajaran
menurut pemikiran saya sendiri. Menurut saya ada beberapa point penting mengenai
metode efektif dalam pembelajaran, antara lain :
1. Membaca, membaca, dan membaca
Dalam point ini bukan berarti kita membaca tanpa henti, akan tetapi
membaca sekitar 10-30menit selama 5 kalai atau lebih dalam seharai
secara terus menerus. Hal ini akan efektif karena otak akan
menerima apa yang kita baca sedikit demi sedikit tetapi daya simpan
di otak akanlebih maksimal.
2. Berlatih, berlatih, dan berlatih
Dalam point ini sama seperti sebelumnya, sama dengan olahraga,
berlatih adalah jalan untuk meraih kesuksesan, begitu juga dalam
pembelajaran. Kita perlu berlatih soal – soal untuk mengukur
seberapa kemampuan kita, sehingga dapat meningkatkan mutu
belajar kita.
3. Aktif dalam pembelajaran
Selalu aktif dalam pembelajaran, usahakan selalu mengedepankan
rasa ingin tahu, sehingga selalu timbul pertanyaan – pertanyaan yang
akan membantu untuk meningkatkan kualitas daya berfikir otak.
4. Stay focus but don’t strain
Tetap fokus dan jangan tegang, upayakan untuk selalu fokus dan
sbisanya untuk mencairkan suasana. Hal ini diperuntunkan untuk
pengajar atau pemateri. Jika penerima dan pemberi terjadi
ketegangan maka materi yang disampaikan pemateri tidak akan
sampai ke penerima
5. 1 book 1 day
Usahakan untuk memiliki minimal satu buku dalam sehari, semakin
banyak buku maka semakin banyak pengetahuan dan refrensi yang
dimiliki.
18. 17
6. 3 a.m until 4 p.m
Usahakan belajar di waktu – waktu pagi sampai sore hari, karena
malam hari adalah saat yang sulit untuk otak menerima sesuatu, dan
pagi adalah saat yang fress untuk menerima materi. Dan gunakan
malam hari untuk beristirahat yang cukup.
7. Pray before study
Berdoalah sebelum belajar, hal ini wajib dilakukan karena berdoa
adalah awal dari apapun supaya apa yang kita lakukan dapat
bermanfaat dan berguna.
Demikian beberapa metode efektif dan efesien yang dapat digunakan dalam
pembelajaran. Ada berbagai macam metode, akan tetapi saya hanya
menyimpulkan beberapa metode yang penting dan secara umum.
19. 18
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Metodologi disebut juga science of methodos, yaitu ilmu yang membicarakan cara,
jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian membahas
konsep teoritis berbagai metode. Dapat pula dikatakan bahwa metodologi penelitian adalah
membahas tentang dasar-dasar filsafat ilmu dari metode penelitian, karena metodologi belum
memiliki langkah-langkah praktis, adapun derevasinya adalah pada metode penelitian.
Unsur-unsur metodologi meliputi interpretasi, induksi dan deduksi, koherensi intern,
holistis, kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heuristika, analogikal, dan deskripsi.
Metodologis sangat terkait erat dengan epistemologi, karena asumsi-asumsi yang
diajukan oleh para filsuf memasuki wilayah a priori, dugaan mendahului pengalaman.
Descartes lebih bertitik tolak pada prinsip keraguan metodis ( skeptis-metodis), Ayer
memilih prinsip verifikasi sebagai sarana untuk menguji bermakna atau tidaknya sebuah
pernyataan, Popper memandang prinsip falsifiabilitas justru dapat memperkokoh
(corroboration) sebuah hipotesa, sedangkan objektivitas yang menjadi pokok perhatian ilmu-
ilmu, menurut Polanyi justru terletak pada segi tidak terungkapnya ilmu-ilmu itu sehingga
mutlak menggunakan objektivisme yang pada prinsipnya akan mencerminkan
objektivitasnya.
20. 19
Daftar Pustaka
Drs. Surajiyo, 2008, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara
Drs. Rizal Mustansyir, M. Hum, dkk, 2004, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
H. Salehudin Yasin, METODE BELAJAR DAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF,
Jurnal Adabiyah