Sambutan kunci (keynote speech) Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara (DKKIAN) LAN-RI pada
Webinar Peringatan Hari Statistik Nasional 2021
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu
1. 1
SAMBUTAN KUNCI
(KEYNOTE SPEECH)
PERAN CORE VALUE DALAM REFORMASI
BIROKRASI
Disampaikan oleh
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi
Negara (DKKIAN) LAN-RI pada
Webinar Peringatan Hari Statistik Nasional 2021
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Om swastiastu namo buddhaya Salam kebajikan
Yang Saya hormati, Kepala BPS Provinsi Bengkulu
serta seluruh jajarannya,
Yang Saya hormati, Bapak/Ibu Pembicara pada
Seminar hari ini,
Para undangan serta hadirin yang berbahagia,
Ibu, Bapak, Saudara-saudara yang terhormat,
2. 2
Pertama-tama, izinkan saya menyampaikan ucapan
Selamat Memperingati Hari Statistik Nasional (HSN)
tahun 2021. Harapan kita ke depan, semoga
peringatan ini menjadi pengingat dan penguat peran
dari data, utamanya data statistik dalam pembuatan
kebijakan publik di Indonesia. Data memiliki peran
yang sangat penting dalam pembangunan. Setiap
kebijakan publik yang dirumuskan membutuhkan
dukungan data faktual sehingga kebijakan yang
dihasilkan adalah kebijakan yang benar-benar
menggambarkan situasi masalah di publik. Oleh
karena itu, harapan kita semua juga, semoga BPS
dapat terus tumbuh menjadi lembaga yang
terpercaya dan kredibel dalam mengasilkan data-
data statistic bagi penyokong kebijakan
pembangunan di Indonesia.
Ibu, Bapak, Saudara-saudara yang Berbahagia,
Di pagi hari yang berbahagia ini, izinkan Saya
menyampaikan sebuah sambutan singkat mengenai
peran Core Value bagi penguatan reformasi birokrasi
di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui, beberapa waktu yang
lalu, Presiden Joko Widodo telah me-launching Core
Value “BERAKHLAK” sebagai nilai-nilai dasar
budaya kerja ASN Indonesia. Peluncuran ini menjadi
upaya Pemerintah untuk menyeragamkan nilai-nilai
dasar (core values) bagi seluruh ASN di Indonesia
sehingga dapat menjadi fondasi budaya kerja ASN
yang profesional.
3. 3
Penyeragaman nilai dasar ini setidaknya
mengandung 2 (dua) makna yang bisa kita pahami
secara seksama dan bijaksana. Pertama,
penyeragaman ini mengandung makna reformatif.
Reformasi birokrasi untuk mewujudkan sosok
birokrasi yang baru membutuhkan budaya baru dan
sistem nilai baru yang mampu memberikan petunjuk
pada aparat birorasi tentang bagaimana mereka
harus bertindak ketika mereka berinteraksi dengan
warganya. Reformasi birokrasi di Indonesia perlu
dimulai dari perbaikan budaya kerja dan mindset dari
para birokratnya.
Sebagai negara yang lahir dari rahim kolonialisme,
pengaruh budaya birokrasi yang dibentuk oleh
pemerintah kolonial –yang berkelindan dengan
pengaruh birokrasi kerajaan masa lalu– nyata-
nyatanya masih mengakarkuat pada birokrasi
pemerintahan pasca kemerdekaan (Anderson 1972;;
Sutherland 1979;; Crouch 1979;; Dwight 1982;; Mackie
2010). Ini diperkuat dengan kuatnya tekanan dari
struktur politik yang memanfaatkan birokrasi yang
seharusnya untuk kepentingan publik, namun justru
untuk kepentingan politik penguasa. Misi utama
birokrasi dengan paham seperti ini adalah untuk
mempertahankan kekuasaan dan mengontrol
perilaku individu. Sehingga seringkali ungkapan
“kalau bisa dibuat sulit, mengapa harus dipermudah”
atau UUD (ujung-ujungnya duit). Ditambah obsesi
para birokrat dan politisi yang menjadikan birokrasi
sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan
(power culture). Oleh karena itu, tidak heran apabila
4. 4
seruan agar “Birokrasi Harus Netral” selalu muncul
dalam setiap berlangsungnya kontestasi politik,
Pemilu/Pilkada, yang ironisnya praktik politisasi ini
tidak pernah bisa hilang.
Terbentuknya perilaku birokrasi patrimonial ini tidak
bisa dipungkiri juga merupakan hasil dari proses
interaksi yang intensif antara struktur birokrasi yang
hierarkis dengan budaya patron-client yang
berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, budaya
yang berlaku di masyarakat biasanya akan
mencerminkan budaya birokrasinya. Artinya, berlaku
hubungan yang saling berkaitan (dependent relation)
antara masyarakat dengan birokrasinya.
Semakin patrimonial nilai-nilai budaya yang
berkembang di masyarakat, maka begitu pula
budaya yang berkembang di dalam birokrasinya.
Budaya-budaya seperti “pungli” agar urusan bisa
lebih cepat, tidak bisa dilepaskan dari faktor kultur
yang telah tertanam dalam diri masyarakat dan
birokrasinya. Maka dari itu, semangat “Revolusi
Mental” yang digaungkan oleh Presiden Jokowi pada
periode pertama dulu menjadi cukup relevan untuk
menggambarkan situasi relasi ini. Revolusi mental
tidak hanya disasarkan kepada aparat birokrasi saja,
namun juga kepada seluruh elemen masyarakat.
Seharusnya, hubungan antara birokrasi dan
masyarakat tidak terbatas pada hubungan
transaksional seperti yang terjadi dalam kegiatan
korporasi, tetapi harus dikembangkan menjadi
hubungan yang transformasional. Pola hubungan
5. 5
yang seperti ini menuntut aparat birokrasi untuk
bersikap dan berperilaku secara berbeda terhadap
warganya, bukan lagi seperti ketika mereka berperan
sebagai agen kekuasaan atau hanya sebagai agen
pelayanan (Dwiyanto, 2015).
Ibu, Bapak, Saudara-saudara yang Bijaksana,
Kedua, penyeragaman nilai-nilai ini juga bisa dilihat
dari sisi pragmatis yang bisa saja menimbulkan kritik.
Patologi utama dari Birokrasi Weberian selama ini
adalah kurangnya rasa kemanusiaan dalam diri
organisasi. Kurangnya humanism dalam diri
organisasi birokrasi ini disebabkan karena terlalu
fokusnya birokrasi terhadap nilai-nilai formalitas.
Dalam suatu birokrasi yang impersonal, seperti yang
dianjutkan oleh Weber, warga tidak diperlakukan
sebagai “manusia” dengan segala kehidupanya,
tetapi dianggap sebagai “kasus” (Dwiyanto, 2015).
Agar pejabat bersikap adil pada semua orang, maka
setiap orang yang mendatangi layanan publik harus
dianggap sebagai kasus. Status orang, seperti kaya-
miskin, pejabat-rakyat jelata, tidak boleh diperhatikan
agar pejabat birokrasi tidak memberikan perlakukan
yang subjektif. Aparat birokrasi harus
memperlakukan setiap orang secara sama.
Hubungan yang demikian pada tingkatan tertentu
memang perlu untuk dikembangkan. Namun,
seringkali hal ini membuat birokrasi menjadi
berwajah kurang manusiawi dan tidak mampu
menciptakan rasa keadilan yang bermakna. Birokrasi
6. 6
tidak lagi mampu memahami si miskin, si bodoh,
yang mungkin kemampuan berhubungannya sangat
berbeda dengan si kaya dan si pintar. Meskipun
semua status tersebut diberikan kesempatan yang
sama, tetapi sebenarnya mereka memiliki akses
yang berbeda. Kemiskinan dan kebodohan membuat
seseorang tidak mamiliki kemampuan untuk
mengakses pelayanan birokrasi secara mudah
karena mereka tidak memiliki informasi yang sama.
Sebagai contoh apa yang dialami oleh orang miskin
dalam bencana Covid-19 ini. Keterbatasan informasi
dalam memperoleh vaksin akan sangat berdampak
pada nyawa mereka atau akses terhadap tes antigen
atau PCR yang tidak semuanya memiliki.
Dalam hal ini, Weber kurang memahami bahwa
struktur sosial ekonomi masyarakat dapat
menghalangi akses mereka terhadap pelayanan
birokrasi. Birokrasi Weberian yang seperti ini kurang
mampu membangun empati terhadap kelompok-
kelompok marjinal, minoritas, difabel yang memiliki
kendala yang bermacam-macam terhadap akses.
Oleh karena itu, penyeragaman nilai-nilai atau core
values ini tentu juga perlu diimbangi ataupun
ditambahi dengan nilai empati yang harus dimiliki
oleh setiap aparat birokrat. Tanpa adanya empati
dan pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusian
lainnya, menjadikan birokrasi seperti mesin mekanis
semata. Perlu memberi rasa humanistik bagi
organisasi birokrasi, sehingga nilai-nilai seperti
BERAKHLAK dapat bermakna bagi seluruh
masyarakat yang menerima pelayanan dari birokrasi.
7. 7
Ibu, Bapak, Saudara-saudara yang Setara,
Kritik keras terhadap Birokrasi Weberian mulai
muncul di era 1970an hingga 1990an dari para
pengikut teori Public Choice dan New Public
Management (NPM), yang menjadi inspirasi bagi
gerakan Reinventing Government. Dengan struktur
yang hierarkis dan prosedur yang tertulis ketat,
birokrasi Weberian cenderung mengalami kesulitan
untuk menjalankan perannya secara dinamis, kreatif,
dan inovatif. Berbagai gerakan untuk mereformasi
birokrasi menjadi lebih profesional dilakukan di
berbagai negara. Sebagian besar memulainya
dengan perubahan pada kultur birokrasinya dengan
memaknami secara mendalam nilai-nilai organisasi
yang baru maupun tradisional.
Pada tahun 1990an, reinventing government menjadi
semangat baru bagi birokrasi di dunia barat. Di
Amerika Serikat, untuk melaksanakan reinventing
government, Presiden Bill Clinton membentuk
National Performance Review yang dipimpin oleh
Wakil Presiden Al-Gore. Lembaga ini ditujukan untuk
menjadi institusi penggerak dan pengendali
pelaksanaan reinventing government di Amerika
Serikat. Pelaksanaan dari reinventing government di
era Clinton ini didokumentasikan dalam sebuah
dokumen berjudul “Putting Customers First:
Standards for Serving the American People” (Clinton
& Al Gore, 1994) yang ditulis oleh kedua dwitunggal
tersebut. Dokumen ini berisi Inisiatif "Reinventing
8. 8
Government" yang melibatkan pembenahan jangka
panjang dan signifikan dari birokrasi federal dan
menyajikan seperangkat standar layanan layanan
publik bagi masyarakat Amerika Serikat.
Di Asia Timur, nilai-nilai budaya konfusian
(Confusianism) membawa pengaruh yang sangat
kuat bagi terciptanya keajaiban ekonomi di kawasan
tersebut (Allen et.al 2007;; Adam & Vernon 2007;;
Power et.al. 2009;; Tobin et.al 2013). Meskipun
menurut Berger (1986), pengaruh budaya barat juga
berperan sangat kuat dalam mendukung kesuksesan
tersebut. Menurut Berger kombinasi keduanya telah
memunculkan etos kerja yang berkontribusi pada
pembangunan di kawasan. Kelembagaan sosial,
ekonomi, dan politik yang diimpor dari barat
dikombinasikan dengan sistem nilai yang disediakan
oleh nilia-nilai konfusianisme.
Tobin dan kawan-kawan (2013) dalam studinya
mengenai pengaruh nilai-nilai neo-confusianisme
terhadap pembangunan ekonomi di Korea Selatan,
menemukan bahwa birokrasi tradisional yang
dijalankan oleh Dinasti Chosun yang berkuasa sejak
1390–1910 memiliki sejumlah karakteristik
kelembagaan yang sebanding dengan birokrasi
kontemporer di negara-negara demokratis. Salah
satunya dapat terlihat dari bagaimana pola sistem
merit yang telah berkembang pada masa dinasti
tersebut berkuasa. Seperti dikatakan Frederickson
(2003), “Di negara-negara Konfusianisme,
diasumsikan bahwa investasi pemerintah dan
keluarga dalam pendidikan akan menuai manfaat
9. 9
budaya, sosial, dan terutama ekonomi, melalui
pendidikan, seseorang dapat menjadi pejabat yang
baik. Dengan cara ini, konfusinisme membangun
hubungan yang langgeng antara pendidikan dan
pemerintahan.
Selain itu, budaya malu yang diajarkan dalam nilai
dasar konfusianisme juga berperan dalam
perubahan psikologi dasar untuk tidak bergantung
pada orang lain. Pasca terkena krisis ekonomi Asia
tahun 1998, Korea Selatan mulai membenahi
ekonominya dengan bantuan utang dari IMF. Kondisi
ini secara psikologis melahirkan proses humiliation
yang dimaknai secara nasional. Saurette (2006)
menggambarkan humiliation yang dialami oleh
bangsa Korea secara tidak langsung telah
mendisiplinkan perilaku pihak-pihak yang
dipermalukan dengan cara menyerang dan
merendahkan persepsi akan dirinya (self) dan
meninggikan persepsi akan orang lain (others)
sebagai lebih baik. Tunduknya Korea Selatan
terhadap utang IMF ketika itu melahirkan situasi
humiliation karena kebergantungan mereka terhadap
others yang secara simbolik mewakili perasaan malu
untuk memperbaiki keadaan. Peran emosional telah
mendorong negara untuk berprilaku menumbuhkan
nasionalisme dan patriotisme sampai kepada
penggunaan sebagai modal pendorong
pembangunan (Crawford 2003).
Dalam kolomnya mengenai ekonomi Tiongkok di
New York Times (2009), Thomas L. Friedman
menulis one-party non-democracy certainly has its
10. 10
drawbacks. But when it is led by a reasonably
enlightened group of people, as China is today, it can
also have great advantages. That one party can just
impose the politically difficult but critically important
policies needed to move a society forward in the 21st
century ([sistem] satu partai yang non-demokratis
tentu memiliki kekurangan. Tetapi ketika dipimpin
oleh sekelompok orang yang cukup tercerahkan,
seperti di China saat ini, ia juga dapat memiliki
keuntungan besar. Bahwa satu pihak dapat
memaksakan kebijakan yang sulit secara politik
tetapi sangat penting yang diperlukan untuk
memajukan masyarakat di abad ke-21).
Dari pernyataannya, Friedman mencoba berapologi
bahwa institusi demokratis bukanlah perkara penting
yang perlu dikreasi suatu pemerintahan, akan tetapi,
jika sebuah pemerintahan dijalankan oleh hanya
sekelompok orang yang memiliki kemampuan untuk
mengarahkan kebijakan ekonomi dengan baik, maka
akan tercipta suatu pemerintahan yang efektif dalam
mendukung perekonomian. Dengan kata lain,
keberhasilan ekonomi China ini merupakan hasil dari
efektivitas pilihan-pilihan kebijakan yang diambil oleh
para pengambil kebijakan, tidak terkait dengan
pembatasan-pembatasan institusi demokratis yang
dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini, Tiongkok
memiliki sistem nilai tersendiri dalam berdemokrasi,
yang membedakannya dengan di barat. Sistem satu
partai yang otoriter, namun diisi dengan orang-orang
yang kompeten dalam pembuatan kebijakan, terbukti
11. 11
mereka juga dapat berhasil dengan konsep
demokrasi yang berbeda dengan kebanyakan.
Ibu, Bapak, Saudara-saudara yang terhormat,
Dari pembelajaran di atas, kita bisa mengambil
beberapa poin penting dalam bagaimana kita
menjalankan reformasi birokrasi. Pertama, reformasi
birokrasi harus dimulai dari perubahan kultur
birokrasi. Kita perlu meninggalkan gelagat-gelagat
buruk yang justru mendestruksi birokrasi. Perlu
dilakukan berbagai transformasi, yaitu: dari yang
tidak profesional menjadi lebih profesional;; dari
berbasis kedekatan personal menjadi berbasis
sistem merit;; dari close recruitment (rekrutmen
tertutup) menjadi open recruitmen (rekrutmen
terbuka);; dari korup menjadi integritasi. Semua ini
perlu dimasukan ke dalam peta jalan (road map) dan
diinternalisasikan secara terus menerus. Disamping
itu, reformasi birokrasi menjadi sebuah variabel
terikat (dependent variable) ketika reformasi birokrasi
dapat berjalan sukses bersamaan dengan terjadinya
perubahan kultur masyarakat. Hal ini dikarenakan
birokrasi merupakan sebuah produk kultural yang
menjadi subsistem sosial yang merefleksikan nilai-
nilai yang dianut oleh sebuah masyarakat
Kedua, reformasi birokrasi juga memerlukan
keteladanan. Maka dari itu reformasi birokrasi harus
dimulai dari diri para pemimpin politik yang
memegang wewenang dan tanggung jawab.
Reformasi birokrasi merupakan kebijakan politik dari
12. 12
pemimpin politiknya. Presiden, Menteri, Gubernur,
Bupati/Walikota, seharusnya adalah pihak-pihak
yang memerlukan dilakukannya reformasi terhadap
birokrasi untuk mencapai tujuan dan visi misi
kepemimpinannya. Mereka adalah orang-orang yang
seharusnya terlebih dahulu untuk diberitahu,
diedukasi bahwa visi dan misi mereka tidak akan ada
artinya jika birokrasinya tidak direformasi. Program
kegiatan reformasi birokrasi tidak seharusnya hanya
ditempatkan sebagai kegiatan administratif biasa
yang dinilai berdasarkan kemampuan membuktikan
pelaksaannya dalam bentuk dokumen. Politik
reformasi birokrasi adalah kepemimpinan politik yang
kuat terhadap visi, komitmen, dan kompetensi untuk
menjadikan birokrasi yang baik, bersih, dan
profesional (Prasojo, 2007).
Ibu, Bapak, Saudara-saudara yang Terpelajar,
Hadirnya BERAKHLAH perlu dimaknai sebagai
langkah melakukan transformasi birokrasi Indonesia
yang lebih profesional dan berdaya saing. Tentu
harapannya, nilai-nilai dasar ini tidak hanya menjadi
barisan kata yang diucapkan dalam kegiatan Apel
semata, namun terinternalisasi dalam ucapan dan
tindakan kita sebagai abdi masyarakat yang digaji
dari pajak yang dibayar oleh mereka.
Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), kita
memainkan peranan penting dalam pembangunan
bangsa Indonesia, melalui pelayanan publik. Oleh
karena itu, kualitas pembangunan bangsa juga
merupakan cerminan dari kualitas birokrat yang
13. 13
dijalankan oleh ASN. Harapannya, dengan
menerapkan nilai dasar BerAKHLAK, maka dapat
tercermin kualitas pembangunan Indonesia
kedepannya.
Akhir kata, saya sekali lagi menyampaikan terima
kasih kepada Badan Pusat Statistik (BPS) Bengkulu,
Selamat memperingati Hari Statistik Nasional.
Terima kasih atas perhatiannya.
Wassallamu’alaikum wr.wb.
Referensi
Adams, Gerard dan Heidi Vernon, (2007). “Evaluating the
“Asian Culture/Asian Success” Hypothesis”, Journal of
Asia-Pacific Business,8(4): 5-20
Allen, Michael W et all, (2007). “Two Decades of Change in
Cultural values and Economic Development in Eight
East Asian and Pacific Island Nations”, Journal of Cross-
Cultural Psychology, 38(3): 247-269.
Anderson, B.O.G. (1972). ‘The Idea of Power in Javanese
Culture’, in Claire Holt ed, Culture and Politics in
Indonesia, Ithaca NY: Cornell University Press, pp.1–69
Caiden, G. E, (1969). Administrative Reform, Allen Lane The
Penguin Press, London.
Crawford, Neta C., (2000). “The Passion of World Politics”,
International Security, 24(4): 116-156.
Crouch, Harold. (1979). ‘Patrimonialism and Military Rule in
Indonesia’, World Politics, 31(4):571–87.
Dwiyanto, Agus. (2015). Reformasi birokrasi kontekstual.
Gadjah Mada University Press.
14. 14
Farazmand, A. (Ed.). (2002). Administrative reform in
developing nations. Greenwood Publishing Group.
Friedman T. L. (Sept 8, 2009) Our One-Party Democracy.
The New York Times, from
https://www.nytimes.com/2009/09/09/opinion/09friedm
an.html (diakses 26 September 2021).
Jackson, Karl D. (1978). ‘Bureaucratic Polity: A Theoretical
Framework for the Analysis of Power and
Communications in Indonesia’, in Karl D. Jackson and
Lucian W. Pye, eds, Political Power and
Communications in Indonesia, Berkeley: University of
California Press, pp.3–22.
King, Dwight Y. (1982). ‘Indonesia’s New Order as a
Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime or a
Bureaucratic-Authoritarian Regime: What Difference
Does It Make?’, in Benedict Anderson and Audrey
Kahin, eds, Interpreting IndonesianPolitics: Thirteen
Contributions to the Debate, Ithaca: Cornell Modern
Indonesia Project, pp.104–16.
Mackie, Jamie. (2010). Patrimonialism: The new order and
beyond. Soeharto’s new order and its legacy, 81.
Prasojo, E. (2020). Memimpin Reformasi Birokrasi:
Kompleksitas dan Dinamika Perubahan Birokrasi
Indonesia. Depok: FIA UI Press.
Saurette, Paul. (2006). ”You Dissin Me? Humiliation and
Post 9/11 Global Politics”, Review of International
Studies, 32(3):495-522
Sutherland, Heather. (1979). The Making of a Bureaucratic
Elite: The Colonial Transformation of the Javanese
Priyayi. Singapore: Heinemann Educational Books.
Prasojo, E (2007). Politik Reformasi Birokrasi. Kompas, 17
Oktober 2007.