Teks tersebut membahas pentingnya mereformasi budaya dalam merancang reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi hanya akan berhasil jika didasarkan pada perubahan budaya masyarakat dan pejabat publik, karena budaya lemah adalah akar permasalahan birokrasi yang korup. Teks tersebut juga menganalisis bagaimana faktor budaya mempengaruhi kemajuan suatu negara, dan menegaskan bahwa reformasi birokrasi har
Konsep Korupsi & Kondisi saat ini di Indonesia windari27
Arti korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Melihat korupsi di Indonesia yang demikian begitu memprihatinkan , kita sebagai mahasiswa harus turut andil dalam mencegah maupun menanggulanginya. Kita harus bisa menerapkan nilai-nilai dan prinsip anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari bersikap jujur , tanggung jawab , disiplin. Dan pemerintah harus lebih jeli lagi dalam menangani kasus korupsi , agar tingkat kasus pidana korupsi diindonesia jumlahnya menurun. Selain itu, pemerintah juga harus menghargai rakyat kecil yang saat berada dibawah berjanji akan membawa kepemerintahan yang lebih baik tanpa korupsi, serta mengawasi jalannya pembangunan pemerintahan secara efektif.
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas Akuntansi Pemerintahan mengenai Studi Kasus Penyimpangan atas Pengelolaan Keuangan Negara pada Pemerintahan Indonesia
Disusun oleh :
1. Gita Tiara Febrian 022116004
2. Ajeng Siti Nandini 022116005
3. Fitri Siti Nurhayati 022116006
4. Putri Yansih 022116034
5. Yaumil Annisa 022116036
5A Akuntansi
Konsep Korupsi & Kondisi saat ini di Indonesia windari27
Arti korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Melihat korupsi di Indonesia yang demikian begitu memprihatinkan , kita sebagai mahasiswa harus turut andil dalam mencegah maupun menanggulanginya. Kita harus bisa menerapkan nilai-nilai dan prinsip anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari bersikap jujur , tanggung jawab , disiplin. Dan pemerintah harus lebih jeli lagi dalam menangani kasus korupsi , agar tingkat kasus pidana korupsi diindonesia jumlahnya menurun. Selain itu, pemerintah juga harus menghargai rakyat kecil yang saat berada dibawah berjanji akan membawa kepemerintahan yang lebih baik tanpa korupsi, serta mengawasi jalannya pembangunan pemerintahan secara efektif.
Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas Akuntansi Pemerintahan mengenai Studi Kasus Penyimpangan atas Pengelolaan Keuangan Negara pada Pemerintahan Indonesia
Disusun oleh :
1. Gita Tiara Febrian 022116004
2. Ajeng Siti Nandini 022116005
3. Fitri Siti Nurhayati 022116006
4. Putri Yansih 022116034
5. Yaumil Annisa 022116036
5A Akuntansi
Korupsi merupakan virus yang menyebar dimana-mana bahkan di belahan penjuru dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang serius dibandingkan masalah lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya korupsi memiliki dampak negatif yang sangat signifikan dalam negara maupun dalam masyarakat, karena korupsi dapat menghilangkan/menghanguskan uang negara mulai jutaan rupiah hingga triliunan. Hal ini merupakan masalah yang sangat ditakuti khususnya di Indonesia yang sekarang ini menjadi sorotan dunia karena peringkatnya adalah nomor tiga negara terkorupsi didunia. Pelaku korupsi itu sendiri menyebar dikalangan pemerintah sehingga sekarang banyak aparatur-aparatur pemerintahan yang terjerat dalam pidana korupsi yang kebanyakan itu berasal dari partai-partai politik sehingga telah banyak aparatur pemerintahan baik itu dari partai-partai politik yang lepas dari jabatannya bahkan dicebloskan kedalam penjara karena terkena dari imbas perilakunya sendiri yaitu korupsi, akan tetapi perilaku korupsi itu bukan hanya menyebar dikalangan pemerintahan atau didalam partai-partai politik saja akan tetapi perilaku korupsi menyebar keseluruh level/lapisan-lapisan masyarakat.
Mata Diklat disajikan berbasiskan Experiential Learning, dengan penekanan pada proses internalisasi nilai-nilai dasar tersebut melalui multi metode dan media
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorIka Nurrohmah
Saat ini sering sekali kita mendengar kata korupsi, bahkan kita mungkin sampai bosan mendengar kata itu setiap hari. Korupsi adalah persoalan yang sudah akut bagi Indonesia dan sampai saat ini belum ada cara yang efektif dan benar-benar ampuh untuk menyembuhkannya. Sebagian besar para koruptor di negara ini adalah para pemangku jabatan baik itu di pemerintahan daerah, maupun pejabat tinggi negara bahkan seorang hakim dan penegak keadilan pun berani menjual keadilannya.
Korupsi adalah permasalahan bangsa yang memang sangat merugikan, bukan hanya bagi negara tapi dampaknya pada masyarakat Indonesia. Dimana demi kepentingan individu atau suatu kelompok yang diikutinya pelaku korupsi berani mengambil harta yang bukan haknya tanpa memperdulikan nilai-nilai moral yang dilanggar bahkan sangat bertentangan dengan lima dasar filosofis negara Indonesia yaitu Pancasila.
Korupsi merupakan virus yang menyebar dimana-mana bahkan di belahan penjuru dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang serius dibandingkan masalah lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya korupsi memiliki dampak negatif yang sangat signifikan dalam negara maupun dalam masyarakat, karena korupsi dapat menghilangkan/menghanguskan uang negara mulai jutaan rupiah hingga triliunan. Hal ini merupakan masalah yang sangat ditakuti khususnya di Indonesia yang sekarang ini menjadi sorotan dunia karena peringkatnya adalah nomor tiga negara terkorupsi didunia. Pelaku korupsi itu sendiri menyebar dikalangan pemerintah sehingga sekarang banyak aparatur-aparatur pemerintahan yang terjerat dalam pidana korupsi yang kebanyakan itu berasal dari partai-partai politik sehingga telah banyak aparatur pemerintahan baik itu dari partai-partai politik yang lepas dari jabatannya bahkan dicebloskan kedalam penjara karena terkena dari imbas perilakunya sendiri yaitu korupsi, akan tetapi perilaku korupsi itu bukan hanya menyebar dikalangan pemerintahan atau didalam partai-partai politik saja akan tetapi perilaku korupsi menyebar keseluruh level/lapisan-lapisan masyarakat.
Mata Diklat disajikan berbasiskan Experiential Learning, dengan penekanan pada proses internalisasi nilai-nilai dasar tersebut melalui multi metode dan media
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorIka Nurrohmah
Saat ini sering sekali kita mendengar kata korupsi, bahkan kita mungkin sampai bosan mendengar kata itu setiap hari. Korupsi adalah persoalan yang sudah akut bagi Indonesia dan sampai saat ini belum ada cara yang efektif dan benar-benar ampuh untuk menyembuhkannya. Sebagian besar para koruptor di negara ini adalah para pemangku jabatan baik itu di pemerintahan daerah, maupun pejabat tinggi negara bahkan seorang hakim dan penegak keadilan pun berani menjual keadilannya.
Korupsi adalah permasalahan bangsa yang memang sangat merugikan, bukan hanya bagi negara tapi dampaknya pada masyarakat Indonesia. Dimana demi kepentingan individu atau suatu kelompok yang diikutinya pelaku korupsi berani mengambil harta yang bukan haknya tanpa memperdulikan nilai-nilai moral yang dilanggar bahkan sangat bertentangan dengan lima dasar filosofis negara Indonesia yaitu Pancasila.
Sambutan kunci (keynote speech) Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara (DKKIAN) LAN-RI pada
Webinar Peringatan Hari Statistik Nasional 2021
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu
BE & GG adalah matakuliah yang mempelajari tentang tata kelola perusahaan maupun pemerintahan, dengan cara mengaudit dan penataan keuangan, serta administrasi perusahaan dan pemerintah.
Hukum dan Administrasi Perncanaan, Konsep dan Kritik Good Governance
Lapis final2a
1. reformasibirokrasi_syakrani_2013
Roots for Radicals:
Radical changes for radical results
Syakrani
rony_sandra25@yahoo.com
Reformasi birokrasi di banyak negara berkembang tidak menyentuh akar perma-
salahannya; ia kerap terperangkap pada formalisme, dangkal dan tidak komprehensif.
Karena itu, reformasi birokrasi sering membuat masalah menjadi tidak lebih baik (Gerald
Caiden, 1991)
2. P a g e | 2
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Roots for Radicals1
Syakrani2
(rony_sandra25@yahoo.com)
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu; Di
negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari
tandingan; Di negeriku anak lelaki, anak perempuan, kemenakan, sepupu dan
cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung
kuku tak perlu malu; Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat
ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum
dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari; Di negeriku budi
pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari
bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia, Taufik Ismail
Kemerosotan moral bangsa terjadi, karena semua institusi yang menyangga
republik ini telah kehilangan alasan adanya (raison d’être).
Hery Priyono
Semenjana
eformasi Birokrasi Gelombang I berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 15/2008 – periode
2004 – 2009 – sudah berlalu, walau tanpa jejak yang jelas dan
bukti-bukti yang dapat diandalkan tentang dampak positifnya terhadap
penyehatan birokrasi pemerintahan kita. Menurut peraturan ini, reformasi
birokrasi masih berskala terbatas, instansional, dengan sasaran mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang baik, good governance. Area perubahannya
mencakup kelembagaan (organisasi), budaya organisasi, ketatalaksanaan,
regulasi-deregulasi, dan sumberdaya manusia.
Gelombang II berskala instansional sekaligus nasional, yang dimulai
sejak 2010 dan akan berakhir setahun lagi, tahun 2014. Sasaran dan area
perubahannya diperluas mencakup: terwujudnya pemerintahan yang bersih
dan bebas KKN, peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat,
dan peningkatan akuntabilitas kinerja birokrasi, yang didukung oleh
perubahan-perubahan organisasi (organizational development), tata-
1Makalah disajikan pada Sosialisasi Reformasi Birokrasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Kota Banjarbaru di Hotel Roditha, Banjarbaru pada 06 April 2013.
2Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan
Selatan.
R
3. P a g e | 3
reformasibirokrasi_syakrani_2013
laksana, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia aparatur
pemerintah, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, pola pikir dan
budaya kerja. Periode ini memang belum genap di penghujungnya, tetapi
sampai sekarang sulit juga kita melihat hasil-hasil positifnya yang signifikan
bagi penyehatan birokrasi, yang berdampak terhadap pemberantasan KKN,
peningkatan akuntabilitas pelayanan publik, dan peningkatan daya saing
negara dan daerah. Justeru dalam periode ini korupsi kian menggurita
menjerat elite politik dan pemerintahan.
Celakanya lagi, di periode 2010 – 2014 rakyat menyaksikan terjadinya
mutasi genetika institusi-institusi utama negara – executive, legislative, dan
judicative (dikenal dengan istilah trias politica). Institusi-institusi utama ini
semakin mendapat ketidakpercayaan publik sebagai representasi paling
konstitusional rakyat yang amanat menjalankan fungsi mensejahterakan
penduduk. Senyap-senyap kita mulai mendengar istilah-istilah lain untuk
menyebut lembaga-lembaga utama itu, yakni executhief untuk executive,
legislathief legislative), dan judicathief untuk judicative. Istilah alternatif ini
menggambarkan terjadinya institutional decay pada tiga lembaga utama
tersebut.
Secara harfiah, kata thief berarti pencurian milik orang lain dengan
senyap-senyap, tanpa paksaan dan kekerasan. Kalau makna harfiah ini kita
rujuk, maka mutasi genetika institusional menggambarkan terjadinya
penyimpangan fungsi-fungsi kelembagaan dari tiga lembaga utama tersebut.
Alih-alih mengurus negara untuk kemartabatan bangsa, elite-elite politik
dan pemerintahan di tiga lembaga tersebut tanpa rasa malu meng-thief milik
negara dan/atau milik rakyat untuk kepentingan sendiri baik dengan culas
maupun sistemik. Priyono menegaskan, kemerosotan moral bangsa terjadi,
karena semua institusi yang menyangga republik ini telah kehilangan alasan
adanya (raison d’être).
Kementerian Dalam Negeri menyimpan catatan (dugaan) korupsi yang
dilakukan oleh anggota legislatif, baik di pusat maupun di daerah.
Sekurang-kurangnya lebih dari 42 anggota DPR terseret kasus korupsi. Sejak
2004 sampai 2012 tercatat sekurang-kurangnya sebanyak 710 anggota
DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia tersangkut kasus korupsi.
Selama periode 2004 - 2012, Kemendagri memberi izin pemeriksaan
terhadap 2.976 anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh
Indonesia; sebanyak 2.545 izin pemeriksaan untuk anggota DPRD
4. P a g e | 4
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Kabupaten/Kota dan 431 anggota DPRD tingkat Provinsi, yang sebagiannya
menyangkut dugaan tindak pidana korupsi. Catatan ini, tentu saja, belum
mencakup tindakan-tindakan korupsi yang berhasil dihambat untuk tidak
menguap ke ranah hukum.
Kasus korupsi di lembaga legislatif – legislathief – tidak berdiri sendiri.
Pertukaran kepentingan dengan lembaga eksekutif demi sebuah kebijakan
politik dan kebijakan publik, terutama dalam penyusunan APBN atau APBD,
telah lama dijadikan ajang pemburuan rente (rent seeking) baik untuk
memperkaya diri sendiri maupun untuk “setoran” ke partai politik.
Sekurang-kurangnya ada 158 kepala daerah, yang terdiri atas gubernur,
walikota, dan bupati, tersangkut kasus korupsi. Beberapa di antaranya sudah
divonis bersalah. Pertukaran ini kemudian membentuk sebuah wadah
selingkuh nista, yakni selingkuh nista execu- legislathief.
Selingkuh nista ini sesungguhnya dapat dengan mudah dikenali dan
diatasi seandainya lembaga penegak hukum, pelindung keadilan, perawat
hukum (judicative) berfungsi sesuai dengan kultur hukum yang sehat,
habitus hukum yang beradab dalam basis moral/etika asas Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab. Tetapi kita sering menyaksikan sendiri begitu
banyak kelucuan dan parodi dalam penegakan hukum. Pada 2009,
Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi pada 78 hakim. Kemudian, pada
2010, sebanyak 107 hakim mendapat teguran hingga diberhentikan. Catatan
kelabu penagak hukum yang melanggar hukum pasca-2010 sekelam
keadaan sebelumnya.
Fakta ini, habitus nista ini, selingkuh bejad ini, mestinya menyadarkan
kita tentang konteks-konteks ekologis sosio-kultural, sosio-politik, dan
konteks-konteks lain dari penggelindingan reformasi birokrasi. Guru besar
administrasi publik, Mustopadidjaja (2003) pernah mengemukan, reformasi
birokrasi adalah syarat utama pemberantasan KKN. Untuk kasus Indonesia,
pandangan ini sangat semenjana (mediocare). Semestinya, pemberantasan
KKN, terutama korupsi, diposisikan sebagai syarat mutlak bagi reformasi
birokrasi. Artinya, reformasi birokrasi tidak boleh lagi dipahami sebatas isu-
isu dan agenda-agenda pinggiran seperti modernisasi manajemen
kepegawaian; restrukturisasi, downsizing, rightsizing, perubahan
manajemen dan organisasi; rekayasa proses administrasi pemerintahan;
anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif;
hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam
5. P a g e | 5
reformasibirokrasi_syakrani_2013
pembangunan dan pemerintahan (Prasojo dan Kurniawan, 2008). Meskipun
isu-isu dan agenda-agenda itu penting, tetapi ia tetap akan mandul
menghadapi kendala yang bersumber dari persoalan besarnya. Pengabaian
konteks-konteks ekologis dalam penggelindingan reformasi birokrasi, apa
lagi di daerah, berarti dengan sistematik kita ingin menciptakan kondisi agar
gagasan dan program reformasi birokrasi tetap dianggap tidak strategis.
Di negara-negara yang sudah memiliki strong culture, seperti di
Singapore, penggelindingan reformasi birokrasi yang hanya menyentuh isu-
isu dan agenda-agenda itu bisa mengantarkannya ke public administration
take-off, tetapi untuk kasus di negeri ini, isu-isu dan agenda-agenda tersebut
hanya membuat reformasi birokrasi menjadi isu/agenda pinggiran, yang
dianggap tidak dibutuhkan. Oleh karena itu, penggelindingan reformasi
birokrasi membutuhkan pendekatan yang radikal, yang dalam tulisan ini
disebut Roots for Radicals.
Strategi Reformasi Budaya
Kemiskinan terparah bangsa ini bukanlah kemiskinan sumberdaya, melainkan
kemiskinan jiwa. Di tangan para pemimpin dengan mental pengemis; yang tak
bisa memberi-melayani, hanya bisa diberi-dilayani, seberapa banyak pun
kekayaan sumberdaya yang kita miliki tak akan membawa kesejahteraan bagi
rakyatnya
Yudi Latif, 2013
Pancasila berserta nilai-nilai kultural luhurnya ada di dalam kitab suci dan
dibacakan hikmat saat sumpah jabatan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, ia
bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Diadaptasi dari Taufik Ismail
Gagasan untuk memformat penggelindingan reformasi birokrasi dalam
konteks reformasi budaya perlu diappresiasi. Walau gagasan ini bukanlah
gagasan terbaru, tetapi tawaran ini sangat menantang, sekurang-kurangnya
karena ini telah menempatkan keterbelakangan budaya (weak culture)
sebagai inti persoalan keterbelakangan (peradaban) birokrasi.
Catatan sejarah intelektual pernah memberi perhatian serius pada faktor
budaya (culture) sebagai penentu kemajuan manusia (human progress).
Pada 1940-an dan 1950-an, ilmuwan-ilmuwan seperti Margaret Mead, Ruth
Benedict, David McClelland, Edward Banfield, Alex Inkeles, Gabriel Almond,
Sidney Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset telah menyinggung
6. P a g e | 6
reformasibirokrasi_syakrani_2013
peran budaya dalam pembangunan ekonomi dan politik. Pada 1978, Brian
May dalam tulisannya The Indonesia Tragedy mengemukakan, Indonesia
memiliki segalanya untuk menjadi negara maju. Tetapi, kemajuan ini
dihadang kuat oleh hambatan kultural, sehingga semua syarat dan
sumberdaya untuk maju menjadi tragedi, resources tragedy, resources
curse. Tragedi dan kutukan sumberdaya.
Pada 1985, Harrison melakukan studi tentang keterbelakangan sebagian
besar negara Amerika Latin. Judul buku yang dia tulis dari hasil studinya itu
menegaskan faktor paling utama keterbelakangan: nilai-nilai kultural.
Underdevelopment Is a State of Mind: The Latin American Case. Dua
puluh dua tahun kemudian, kesadaran tentang peran penting faktor budaya
dalam pembangunan lahir kembali. Harrison bersama Huntington pada 22
– 25 April 1999 menyelenggarakan Simposium Internasional di the
American Academy of Arts and Sciences, Cambridge, Massachusetts
bertajuk Cultural Values and Human Progress. Hasil simposium ini pada
2000 dipublikasikan menjadi sebuah buku berjudul Culture Matters: How
Values Shape Human Progress.
Huntington memberi pengantar yang inspiratif untuk buku ini, terutama
yang berkaitan dengan konsep culture. Menurut dia, konsep culture
memiliki banyak arti pada setiap disiplin ilmu dan setiap konteks. Ia bisa
dibatasi sebagai produk-produk intelektual, karya musik dan seni, atau
susatera. Dalam antropologi, konsep culture diartikan sebagai seluruh cara
hidup penduduk di sebuah masyarakat yang mencakup nilai-nilai, praktik-
praktik sosial budaya, simbol-simbol, institusi-institusi, dan pola-pola
hubungan antar-manusia. Tetapi, dalam konteks culture matters and
human progress, konsep ini didefinisikan sebagai nilai-nilai, sikap-sikap,
keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi yang mendasari cara hidup
penduduk di sebuah masyarakat.
In this book, however, we are interested in how culture affects societal
development; if culture includes everything, it explains nothing. Hence we
define culture in purely subjective terms as the values, attitudes, beliefs,
orientations, and underlying assumptions prevalent among people in a
society.
Dalam batasan-batasan itulah para ahli yang diundang untuk menyajikan
kertas kerja menjelaskan peran culture dalam pembangunan. David Landes
misalnya; dia membahas secara khusus peran culture dalam pembangunan
ekonomi. Tulisannya, Culture Makes Almost All the Difference, menegaskan
7. P a g e | 7
reformasibirokrasi_syakrani_2013
bahwa yang membuat perbedaan pembangunan ekonomi antar-negara
adalah culture. Negara-negara yang dirujuk sebagai negara yang mampu
membuat perbedaan dari sisi culture matters, antara lain, adalah Singapore
& China.
Mari kita coba telusuri sejenak kasus-kasus pengaruh kuat culture
matters terhadap kemajuan dua negara ini, untuk kemudian kita refleksikan
untuk Indonesia, khususnya yang terkait dengan reformasi birokrasi,
terutama di daerah. Darinya nanti kita akan mendapati, culture di dua
negara tetangga kita ini bukanlah sekadar rumusan elok nilai-nilai cultural,
tetapi nilai-nilai kultural yang menjadi dan dijadikan prinsip-prinsip hidup
baik dalam kehidupan individu dan masyarakat maupun kehidupan
berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan.
Dalam perspektif character matters
versi Lickona (1992), penduduk, elite
politik dan pemerintahan dua negara ini
bukan hanya knowing the good (moral
knowing), tetapi juga loving the good
(moral feeling) dan acting the good
(moral action).
Dua negara ini menyajikan sebuah
cermin besar tentang budaya yang
dihidupi; living culture, yang dalam
proses pembentukan, habituasi, dan
perawatannya menerapkan pendekatan
roots for radicals, tidak quick-fix.
Mari kita mulai dari contoh yang
paling sederhana tentang China.
Beberapa tahun yang silam, banyak kalangan sibuk memprediksi kapan
China dapat mengalahkan Amerika Serikat sebagai negara adidaya. Pada
2008, Goldman Sachs memperkirakan China akan mengungguli AS pada
2050. Tetapi, New York Time dalam tulisannya China Passes Japan as
Second-Largest Economy pada 15 Agustus 2010 mengemukakan, China
akan dapat mengungguli AS pada 2030.
Terakhir, IMF memprediksi China akan melampaui AS pada 2016.
8. P a g e | 8
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Cerita jejak-jejak kemajuan negara ini mengesankan. Pada 2000, China
sudah dapat mengalahkan Italia. Pada 2005, 2006, dan 2007 berturut-turut
giliran Perancis, Inggris, dan Jerman yang dilewati. Dan pada 2010, Jepang
dilalui. Kalau prediksi IMF benar, maka tiga tahun lagi AS akan diungguli
oleh China (Sinamo dan Siadari, 2013). Fakta tentang sebab-sebab di balik
cerita sukses ini bermacam-macam. Satu yang paling utama adalah
kombinasi antara strong leadership dan nilai-nilai budaya yang dihidupi,
yang kemudian membentuk the Chinese Ethos.3
Makalah ini tidak akan menelusuri sumber-sumber etos tersebut.
Rumusan sederhana tentang sumber etos China ditemukan di hasil riset
Ying Fang (1995), yang mengidentifikasi 40 etos kerja yang dikelompokkan
ke dalam enam nilai, yaitu:
Nilai Etos Nilai Etos
I. Kebangsaan 1. Patriotisme.
2. Rasa superioritas
budaya.
3. Penghormatan
terhadap tradisi.
4. Pendidikan.
II. Hubungan
inter-
personal
5. Dapat dipercaya,
amanah.
6. Keramahan,
kemurahan hati.
7. Toleransi.
8. Harmoni dengan
sasama
manusia.
9. Kesantunan.
10. Kerendahan hati.
11. Keakraban.
12. Penghargaan
terhadap ritus
dan tradisi.
13. Membalas
salam, berbuat
baik dan
berbagi.
14. Membalas
kebaikan.
15. Menjaga
martabat.
3Nilai-nilai kultural (cultural values) hanyalah penampakan sederhana dari culture dan bisa jadi
hanya menyangkut moral knowing. Tetapi, etos (etos kerja, etos juang) melampaui moral knowing; ia
adalah nilai-nilai kultural yang dihidupi; living culture yang membentuk karakter. Sinamo (2013)
mendefinisikan etos kerja sebagai nilai-nilai fundamental pada individu, masyarakat, dan bangsa yang
menjadi kekuatan penggerak perjuangannya dan yang membentuk kebiasaan-kebiasaan sosial dan
praktik-praktik kerja keseharian, yang kemudian membentuk karakter individu, masyarakat, dan
bangsa.
9. P a g e | 9
reformasibirokrasi_syakrani_2013
III. Orientasi
sosial
16. Kesalehan sosial.
17. Membela
perempuan.
18. Penghormatan
pada atasan.
19. Hubungan
hirarkis
berdasarkan
status.
IV. Sikap dalam
bekerja
20. Kerja keras.
21. Komitmen.
22. Hemat.
23. Gigih.
24. Sabar.
25. Hati-hati
26. Cermat.
27. Luwes.
V. Filosofi
dalam
berbisnis
28. Tidak bersaing.
29. Jalan tengah.
30. Kemakmuran.
31. Menolak korupsi.
32. Konservatif.
VI. Sikap
sebagai
pribadi
33. Integritas.
34. Kejujuran.
35. Rasa malu.
36. Mandiri.
37. Tulus.
38. Percaya diri.
39. Tidak mudah
terpengaruh.
40. Mampu
menahan diri.
Riset-riset lain mengemukakan, nilai-nilai luhur China bukan hanya dirawat
dan dipelihara, tetapi diterapkan, terhabituasi, dan mambatin dalam
keseharian hidup, sehingga ia membentuk karakter.
Contoh yang mirip adalah kasus pengaruh kuat culture terhadap
kemajuan Singapore. Neo dan Chen (2007) menuturkannya dengan apik
dalam buku Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities and
Change in Singapore. Model ini kemudian lebih dikenal dengan model 3Cs:
Culture, Capabilities, and Change, yang secara visual dilihat pada gambar
berikut ini.
Catatannya mengungkapkan, Singapore merupakan negara kecil tetapi
dengan prestasi global governance yang unggul, seperti indeks daya saing
negara, peringkat korupsi, HDI, iklim usaha/investasi, dan prestasi-prestasi
lain yang terkait dengan tata-kelola kepemerintahannya. Bagian bawah dari
model 3Cs menjelaskan, Singapore memiliki strong culture, a living culture,
yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip dan keyakinan-keyakinan hidup
berikut ini.
1. Prinsip-prinsip hidup:
1.1. Anti-korupsi.
1.2. Meritokrasi.
10. P a g e | 10
reformasibirokrasi_syakrani_2013
1.3. Orientasi pasar.
1.4. Pragmatisme.
1.5. Multi-rasialisme
2. Keyakinan-keyakinan hidup:
2.1. Keaktifan negara (state activism).
2.2.Orientasi jangka panjang.
2.3. Relevansi.
2.4.Orientasi pertumbuhan.
2.5. Stabilitas.
2.6.Kearifan (prudence).
2.7. Kemandirian.
Bukti bahwa culture (principles and belief) di negeri ini tidak sekadar
dirumuskan, dirawat, dan dipelihara adalah komitmen untuk memungsikan
culture pada tiga fungsi utama, yaitu:
1. Menghambat/
menghalangi/
melarang (to
constrain).
2. Menghadapi (to
confront).
3. Mempermudah
(to catalyze).
Sebagai contoh, prinsip
anti-korupsi
(incorruptibility) dan
multi-rasialisme
berfungsi melarang
tindakan korupsi dan rasisme, serta menghukumnya dengan berat orang,
apalagi pejabat publik, dan kelompok yang melakukannya.
Prinsip orientasi pasar berimplikasi pada penerapan pasar bebas dalam
bidang ekonomi. Tetapi, keyakinan tentang keaktifan negara (state activism)
berfungsi menghadapi tantangan pasar bebas ini dengan menempatkan
negara sebagai aktor utama. Praktik ini sering disebut state capitalism, yang
juga diterapkan oleh China. Fungsi-fungsi culture inilah, selain sebagai bukti
kultur yang dihidupi, berpengaruh kuat terhadap tingkat adaptasi
governance negeri ini, karena dengannya berkembang tiga habitus mulya,
11. P a g e | 11
reformasibirokrasi_syakrani_2013
yakni think ahead, think again, and think across. Tiga habitus inilah
kemudian senantiasa mendorong negara dan pemerintah Singapore
mengembangkan kapabilitas untuk menghadapi perubahan internal dan
global.
Inti kemajuan negeri ini adalah nilai-nilai budaya yang dihidupi/
diterapkan dalam keseharian hidup.
Masalahnya sekarang adalah, apakah nilai-nilai kultural tersebut sedikit
pun tidak bersifat universal, sehingga harus disebut The Chinese Ethos atau
The Singapore Ethos? Lebih spesifik lagi, pertanyaannya adalah, apakah
kultur besar kita – Pancasila – tidak mengandung nilai-nilai luhur yang
membuat negara kita bisa maju?
Jawabnya pasti tidak! Tetapi persoalannya adalah, nilai-nilai kulural kita
yang bersemayam dalam kultur besar tersebut tidak dihidupi, belum
menjadi living culture. Kita abai tidak menghidupi Pancasila beserta nilai-
nilai sosio-kultural luhur turunannya baik sebagai pribadi dan anggota
masyarakat, kelompok dan organisasi apa pun maupun sebagai pengemban
amanat kedaulatan rakyat.
Dalam perspektif Taufik Ismail, Pancasila berserta nilai-nilai kultural
luhurnya ada di dalam kitab suci dan dibacakan hikmat saat sumpah jabatan,
tetapi dalam kehidupan sehari-hari, ia bagai jarum hilang menyelam di
tumpukan jerami selepas menuai padi.
Catatan sejarah bercerita tentang bagaimana Pancasila yang disepakati
oleh orang-orang terbaik kita beberapa tahun silam bukan hanya untuk
dijadikan fondasi kenegaraan dan kebangsaan, tetapi bercerita tentang visi
bersama, impian bersama, cita-cita bersama untuk membentuk sebuah
Negara Paripurna yang dilandasi oleh dasar-dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang mampu menyelinap masuk membatin ke asas Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, yang menjadi pengikat Persatuan Indonesia dan semangat
ber-Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, untuk mewujudkan cita-cita Keadilan Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
Kini, di usia bangsa ini yang ke-68, di saat sumberdaya alam kita kian
menipis, di kala utang luar negeri bangsa ini makin menumpuk, bukan
gambaran tentang Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang sedang kita
saksikan, tetapi sebaliknya; Keamburadulan Sosial Bagi (sebagian besar)
12. P a g e | 12
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Rakyat Indonesia. Bila kelak anak-cucu kita bertanya, mengapa justeru
keamburadulan sosial yang terjadi, bisakah kita menjelaskan kepada mereka
bahwa ia terjadi lantaran:
1. Kita tidak lagi menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
dasar berbangsa dan bernegara yang utama; justeru kita sedang me-
“nuhan”-kan diri pada asas Keuangan Yang Maha Kuasa.
2. Kita tidak lagi menjadikan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
sebagai landasan utama dalam mengurus bangsa dan negara; justeru
kita sedang menggantinya dengan asas Kekuasaan Yang Licik dan
Biadab.
3. Kita tidak lagi berkomitmen tulus pada sila Persatuan Indonesia
untuk merawat ke-Indonesia-an yang paripurna; justeru dengan
asas Kekuasaan Yang Licik dan Biadab kita melakukan
Pengkhianatan Indonesia.
4. Orang-orang yang kita beri amanat untuk mengurus bangsa dan
negara ini, para elite politik, para elite pemerintahan, para penentu
kebijakan publik, secara sendiri-sendiri dan kolektif, melupakan sila
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Mereka menerapkan asas baru:
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Sindikat Kuasa dan Keculasan
Permusyawaratan/Perwakilan.
5. Dan, sumber-sumber penyebab Keamburadulan Sosial Bagi
(sebagian besar) Rakyat Indonesia bila ditelusuri dari empat habitus
tak terpuji di atas.
Jawaban-jawaban yang tepat atas pertanyaan itu perlu kita kemukakan
sebagai bagian dari tanggung jawab moral kita kepada anak-cucu kita. Sebab,
mereka akan mengatakan kepada kita: bumi Indonesia ini bukanlah milik
kita, orang tua kita, tetapi hanyalah pinjaman dari mereka untuk kita.
Implikasinya bagi kita adalah adanya tanggung jawab historis untuk
meruwujudkan keadilan sosial lintas-generasi, ada tanggung jawab moral
mewujudkan kemakmuran lintas-generasi, ada akuntabilitas politik untuk
mewujudkan kemaslahatan lintas-generasi yang akan dituntut oleh anak-
cucu kita kepada kita sebagai peminjam bumi Indonesia.
Pancasila dirumuskan dan disepakati sebagai fondasi berbangsa dan
bernegara bukan untuk kebutuhan sesaat, hanya untuk menyambut
kemerdekaan RI saja, tetapi sebagai penjamin utama keadilan sosial lintas-
13. P a g e | 13
reformasibirokrasi_syakrani_2013
generasi, kemakmuran lintas-generasi, kemaslahatan dan kemartabatan
bangsa lintas-generasi. Dengan kata lain, Pancasila sejatinya dapat
membimbing terwujudnya Negara Paripurna, yang dapat mencegah sejak
diri terjadinya sial-sial kebangsaan, Pancasial, seperti dikemukakan di atas.
Tugas menantang kita adalah bagaimana strategi reformasi budaya kita
dalam rangka reformasi birokrasi “memaksa” setiap orang, setiap pegawai
atau karyawan, setiap pejabat, elite birokrasi, dan elite politik untuk
menghidupi nilai-nilai luhur itu. Konsepsi strategi kultural harus menyentuh
unsur-unsur yang radikal dalam reformasi birokrasi. Ibarat iceberg (gunung
es), konsep strategi reformasi budaya harus menyentuh bagian-bagian dasar
dari gunung es. Isu-isu dan agenda-agenda seperti modernisasi manajemen
kepegawaian; restrukturisasi, downsizing, rightsizing, perubahan
manajemen dan organisasi; rekayasa proses administrasi pemerintahan;
anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif;
hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam
pembangunan dan pemerintahan, saya pikir masih menyentuh puncak
gunung es, bukan dasarnya. Kesibukan kita menggelidingkan isu-isu dan
agenda-agenda ini, walau penting juga, akan menggerus momen-momen
historis berbangsa dan bernegara, yang secara historis pula mempertebal
tambatan-tambatan kultural untuk maju dan tampil beda sebagai bangsa
yang bermartabat. Dibutuhkan pendekatan lain yang lebih substansial.
Roots for Radicals
Beruntunglah kita bila hari ini kita lebih baik daripada hari kemarin;
merugilah kita bila ternyata hari ini kita hanya sama dengan hari kemarin;
tetapi celakalah kita bila hari ini kita lebih jelek daripada hari kemarin
Kearifan Profetik
Konsep roots for radicals4 melengkapi trilogi konsep atau strategi yang
dikembangkan oleh Alinsky untuk melakukan perubahan mendasar dan
organik untuk kasus marjinalisasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik
penduduk. Dua konsep dan strategi sebelumnya adalah reveille for radicals
dan rules for radicals.
4Istilah radicals dalam konsep roots for radicals, menurut penulis buku Roots for Radicals –
Edward T. Chambers (2010) – berarti roots (Latin), yang bermakna mendasar. Jadi, konsep ini
lebih jauh pengertiannya ke makna revolusioner, tetapi lebih dekat ke makna mendasar – ke
akar-akarnya – dan komprehensif.
14. P a g e | 14
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Tiga naskah yang membentuk trilogi strategi perubahan mendasar ini
perlu ditengok dan dipelajari secara cermat untuk kemudian diadaptasi
untuk menggelindingkan kebijakan dan program reformasi birokrasi dari
entry point reformasi budaya. Alasan sederhananya adalah, karena
reformasi birokrasi membutuhkan perubahan mendasar dan komprehensif.
Tawaran strategi reformasi budaya itu sendiri menyiratkan adanya
kesadaran tentang urgensi perubahan mendasar dan menyeluruh itu.
Salah satu ciri khas dari pendekatan roots for radicals ini, selain
mendasar dan menyeluruh, adalah penekanannya pada organizing for
public power, for community action, and for public justice pada ranah
mikro, sehingga semua institusi pada ranah ini dapat melakukan community
empowerment. Dengannya penduduk, komunitas, dan institusi-institusinya
kemudian dapat mempengaruhi arah kebijakan, mampu menyalurkan
aspirasi warga, menjadi tempat pengembangan civic culture, menjadi
kekuatan pendorong perubahan yang terhambat oleh patologi birokrasi, dan
menjadi mitra pemerintah untuk melakukan perubahan.
Kalau yang dimaksud dengan tawaran strategi reformasi budaya untuk
reformasi birokrasi adalah perubahan mendasar dan komprehensif – roots -
-, maka tidak berlebihan bila kita mulai memikirkan bagaimana caranya
memetakan sifat kemendasaran dan kekomprehensifan perubahan yang
diinginkan, serta bagaimana caranya melakukan community and public
organizing.
Tulisan ini menawarkan sebuah model hipotetik reformasi birokrasi dari
perspektif roots for radicals (mendasar dan komprehensif) seperti disajikan
pada gambar di bawah ini.
Sekurang-kurangnya ada tiga ruang publik pada ranah mikro ini yang
perlu ”direkayasa” untuk menghasilkan reformasi birokrasi yang mendasar
dan komprehensif, yang dipilari oleh kekuatan institusi sosial, yaitu:
1. Ranah sosial budaya:
1.1. Keluarga berkarakter, yang membiasakan perilaku berkarakter
kepada anggota keluarga (FC: family of character).
1.2. Sekolah berkarakter, yang menjadi mitra keluarga dalam
pendidikan karakter untuk anggota keluarga (SC: school of
character).
1.3. Masyarakat berkarakter, yang mendukung sekolah dan keluarga
15. P a g e | 15
reformasibirokrasi_syakrani_2013
berkarakter (CC: community of character).
(catatan: pada tiga ruang publik ini, proses habituasi karakter
dilakukan, sehingga menghasilkan sumberdaya manusia yang
berkarakter)
1.4. Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok dan
organisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukan
pendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasi
sosial tentang pentingnya karakter.
1.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsi
pemantauan (watch) dan pengoreksi karakter melalui publikasi,
penyiaran, diskusi-diskusi terbuka tentang kasus-kasus karakter,
serta mampu memberi pendidikan dan kesadaran karakter (MS).
(catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massa
yang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) ke
bawah: menjadi agent of character education; (b) ke atas:
16. P a g e | 16
reformasibirokrasi_syakrani_2013
menjadi penyuara tindakan berkarakter dan pemrotes
perilaku tak berkarakter oleh elite birokrasi dan politik)
2. Ranah perundang-undangan/hukum:
2.1. Keluarga sadar hukum, yang membiasakan perilaku sadar
hukum kepada anggota keluarga, sehingga terampil bertindak
sesuai dengan hak & kewajiban sebagai warga (FH: family of law).
2.2.Sekolah sadar hukum, yang menjadi mitra keluarga dalam
pendidikan sadar hukum untuk anggota keluargan (SH: school of
law).
2.3. Masyarakat sadar hukum, yang mendukung sekolah dan keluarga
sadar hukum (CH: community of law).
(catatan: sama dengan ruang publik pertama, pada tiga ruang
publik ini, proses habituasi perilaku sadar hukum dilakukan,
sehingga menghasilkan sumberdaya manusia yang terampil
bertindak sesuai dengan norma sosial dan hukum yang
berlaku)
2.4.Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok dan
organisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukan
pendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasi
sosial tentang pentingnya perilaku sadar hukum.
2.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsi
pemantauan (watch) dan pengoreksi tindakan pelanggaran
hukum dan norma melalui publikasi, penyiaran, diskusi-diskusi
terbuka tentang kasus-kasus hukum, serta mampu memberi
pendidikan dan kesadaran hukum kepada warga (MH).
(catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massa
yang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) ke
bawah: menjadi agent penyadaran hukum; (b) ke atas:
menjadi penyuara tindakan pelanggaran hukum dan
pemrotes perilaku menyimpang oleh elite birokrasi dan
politik; serta pemantau, dan penyuara masalah sinergitas
peraturan perundang-undangan, termasuk seluruh per-UU-
an menyangkut/menghambat reformasi birokrasi ).
3. Ranah politik.
3.1. Keluarga melek politik, yang membiasakan perilaku sadar politik
kepada anggota keluarga, sehingga terampil bertindak sesuai
17. P a g e | 17
reformasibirokrasi_syakrani_2013
dengan hak & kewajiban politik sebagai warga (FP: family of
politic).
3.2. Sekolah melek politik, yang menjadi mitra keluarga dalam
pendidikan sadar politik untuk anggota keluarga (SP: school of
politic).
3.3. Masyarakat melek politik, yang mendukung sekolah dan keluarga
sadar politik (CP: community of politic).
(catatan: tiga ruang publik ini menyelenggarakan pendidikan
melek dan sadar politik, sehingga menghasilkan sumberdaya
manusia yang terampil bertindak sesuai dengan hak dan
kewajiban politiknya sebagai warga)
3.4. Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok dan
organisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukan
pendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasi
sosial tentang pentingnya melek politik sebagai warga politik.
3.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsi
pemantauan (watch) dan pengoreksi tindakan politicking (baca:
selingkuh nista) melalui publikasi, penyiaran, diskusi-diskusi
terbuka tentang kasus-kasus politicking, serta mampu memberi
pendidikan politik (MP).
(catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massa
yang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) ke
bawah: menjadi agent penyadaran hak dan kewajiban politik
sebagai warga politik; (b) ke atas: menjadi penyuara dan
pemrotes perilaku politicking (baca: selingkuh nista) dalam
perumusan dan implementasi kebijakan publik/keputusan
politik oleh elite birokrasi dan politik, serta menjadi
pengoreksi masalah sinergitas keputusan-keputusan politik
yang menghambat reformasi birokrasi ).
Literatur-literatur tentang community organizing, periska misalnya
buku yang ditulis oleh Si Khan, Creative Community Organizing (2010) dan
oleh Loretta Pyles, Progressive Community Organizing (2009), juga
senantiasa menekankan adanya sense of deprivation di pihak publik (warga
atau komunitas) akibat tidak atau dilaksanakannya sebuah kebijakan publik,
yang dengannya publik tidak terlayani dengan baik, terhambat aksesnya
untuk berpartisipasi, terampas peluangnya untuk menentukan pilihan (self-
18. P a g e | 18
reformasibirokrasi_syakrani_2013
determination), serta terganjal kemampuannya untuk meningkatkan
kualitas hidup. Suasana deprivasi sosial, ekonomi, dan politik ini menumpuk
menjadi kekecewaan yang bila tidak diorganisasi dengan baik akan
menyebabkan rebellion (Moore, 1966) dan social movement (Gurr, 1970)
atau sekurang-kurangnya akan memberi peluang bagi mereka yang
mengalami deprivasi untuk mengembangkan ”senjata-senjata kaum lemah”
untuk menuntut haknya kepada pemerintah (Scott, 1998).
Strategi community organizing dalam konteks roots for radicals yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat madani (CSOs) dan media
massa, seperti dijelaskan di atas, menjadi media pelahiran dan penyadaran
warga tentang sense of deprivation, yang disebabkan oleh gagal atau tidak
efektifnya pelaksanaan program reformasi birokrasi, sehingga warga tidak
mendapat pelayanan bermutu, tidak memiliki wakil yang peduli publik,
tidak memiliki aparatur pemerintah yang professional, yang karenanya
negara/daerah belum mampu meningkatkan daya saing dan kesejahteraan
warganya. Dengan demikian, community organizing yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi masyarakat (CSOs) menjadi media pengelola
kekecewaan publik di satu sisi, tetapi sekaligus, di sisi lain, juga berperan
sebagai penyeimbang kekuataan political bargaining yang mampu
mencegah politicking habits oleh elite pemerintahan dan politik dalam
formulasi dan implementasi kebijakan publik/keputusan politik, termasuk
semua kebijakan dan keputusan politik tentang reformasi birokrasi.
Relasi demand- supply
Yang menyogok dan yang disogok sama-sama
menanggung dosa besar
Al-Hadits
Pendekatan roots for radicals memutus mata-rantai
pembentuk permintaan bad practices di pihak
warga dan publik (menyuap, meminta kemudahan,
dsb.) dan bad practices di pihak birokrat, elite
pemerintahan dan politik (menuntut komisi,
pungutan liar, dsb.). Sebaliknya, pendekatan ini justeru menuntut sebuah
bangunan relasi yang sehat antara warga/publik (pengusaha) dan birokrat-
elite pemerintahan-elite politik. Warga/publik (pengusaha) berani menolak
penawaran kemudahan dan peluang untuk menyuap (bad practices)
birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik, apa pun risikonya. Bahkan
19. P a g e | 19
reformasibirokrasi_syakrani_2013
mereka berani memprotes penawaran tersebut, karena tidak sesuai dengan
baku karekter (standard of character). Warga dan publik berani memprotes
dan mendemo birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik, karena merasa
dirugikan oleh jalan yang cepat rusak, karena dananya sudah dikorupsi oleh
mereka. Warga dan publik akan berani memprotes dan mendemo elite
pemerintahan dan elite politik, karena mereka mengangkat kepala dinas dan
sekretaris daerah yang tidak profesional.
Di sisi lain, birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik berani menolak
permintaan bad practices warga dan publik (suap atau sexual gratification
untuk mendapat kemudahan pelayanan atau proyek). Bahkan mereka dapat
mengajukan keberatan kepada penegak hukum atas tindakan warga/publik
yang melanggar standard of profesionalsm.
Tawaran strategi reformasi budaya dalam reformasi birokrasi harus
mampu memotong mata-rantai relasi yang tidak sehat tersebut, sehingga
masalah dan seluruh agenda reformasi birokrasi tidak sekadar berputar-
putar di tubuh birokrasi, karena asumsi sesat bahwa inti/akar persoalan
reformasi birokrasi ada di tubuh birokrasi.
Pendekatan roots for radicals dan strategi reformasi birokrasi sekurang-
kurangnya memiliki dua pesan. Pertama, ia adalah representasi tentang
kesadaran bahwa langkah-langkah yang sudah kita tempuh untuk reformasi
birokrasi tidak memadai lagi; ia gagal memotong mata-rantai supply and
demand of bad practices. Kedua, ia juga merupakan pantulan kesadaran
tentang perlunya pendekatan baru yang tidak quick-fix, tetapi komprehensif
dan mendasar, yang mampu meletakkan fondasi bangunan relasi supply
and demand of good practices. Pendekatan yang cocok untuk tujuan ini
adalah pendekatan roots for radicals.
Istilah radicals bermakna roots, mendasar dan komprehensif,
menjangkau esensinya, sebab-sebab utama patologi birokrasi, yang juga
berada di luar birokrasi (pada warga, pada keluarga, pada masyarakat, pada
organisasi kemasyarakatan/CSOs, parpol, pada korporasi, dst), menjangkau
masuk ke sebanyak aspek yang langsung dan tidak langsung terkait dengan
penyehatan birokrasi, sehingga reformasinya mendalam.
Radical changes for radical results adalah “titah” Ludeman dan
Erlandson (2003). Garis-garis besar perubahan mendasar yang radikal ini
dapat dideskripsikan sebagai berikut:
20. P a g e | 20
reformasibirokrasi_syakrani_2013
1. Visi reformasi birokrasi tidak boleh dibatasi hanya sekadar
membangun kembali jadi-diri birokrasi, seperti dikemukakan oleh
Dwiyanto (2011), tetapi harus bervisi ”Membangun Jati-diri
Bangsa.” Banyak negara maju dengan tingkat peradaban unggul
dikenal karena peradaban manajemen dan birokrasi publiknya.
Visi ini juga bertujuan untuk menembus batas-batas sektoral dan
departemental, serta sekat-sekat sosiologis-kultural. Reformasi
birokrasi secara sektoral/departemental tidak boleh lagi dipahami
sebagai tugas dan tanggung jawab utama Kementerian Pendayaguna-
an Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tetapi juga tanggung
jawab semua kementerian dan lembaga, serta perangkat institusional
negara sampai ke desa.
Secara sosio-kultural, reformasi birokrasi yang bervisi membangun
jati-diri bangsa juga menjadi tanggung jawab warga, yakni warga
yang berkarakter (berakhlak mulya), berkesadaran hukum dan politik,
sehingga mereka, baik sendiri-sendiri maupun kolektif; memiliki
kesadaran tentang sense of deprivation, karena mereka tidak
mendapat pelayanan publik yang bermutu, menolak ajakan kolusi
nista polisi, birokrat, pejabat, dan siapa pun; serta memprotes
tindakan tak bermoral elite pemerintah dan politik.
Secara sosio-kultural pula, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan
media massa harus aktif mengorganisasi komunitas melalui kegiatan
advokasi, pendidikan komunitas, animasi sosial, dan pemberdayaan
komunitas agar warga tidak melakukan tindakan amoral ketika
berurusan dengan birokrasi, menolak ajakan solusi nista, dan bahkan
mampu memprotes tindakan-tindakan nista elite pemerintahan dan
politik.
2. Audit peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional tidak boleh
dibatasi pada peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di bidang
aparatur, tetapi semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional
yang langsung dan tidak langsung mendorong/menghambat visi
membangun jati-diri bangsa melalui reformasi birokrasi.
Audit ini bertujuan untuk memastikan adanya tingkat konsistensi
dan koherensi semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di
bidang aparatur pemerintah dengan semua peraturan per-UU-an dan
21. P a g e | 21
reformasibirokrasi_syakrani_2013
kebijakan nasional yang tidak langsung berhubungan dengan
reformasi birokrasi, termasuk juga konsistensi dengan UU pemilu,
mineral dan pertambangan, pembinaan kepegawaian, parpol,
pemerintahan daerah, dan lain-lain.
Koherensi dan konsistensi peraturan per-UU-an dan kebijakan
nasional menjadi strategis, karena pada banyak kasus, sebagai contoh,
inovasi-inovasi gagasan pembaruan birokrasi dan kultur organisasi
pada level administratif/administrative domain (misalnya level
dirjen, sekda dan kepala dinas) tidak bisa dilaksanakan lantaran
bertentangan dengan political interest presiden, menteri, gubernur,
walikota, atau bupati (political domain).
3. Community organizing for community action and empowerment
oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan media massa menjadi
syarat mutlak untuk memastikan terbangunnya keadaban penyaluran
public voice dan public action untuk kasus-kasus pelanggaran etika
profesionalisme pelayanan publik, penempatan pejabat, kolusi nista
antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam penetapan dan
implementasi kebijakan publik, keputusan politik, dan penegakan
hukum.
4. Law enforcement yang konsisten dan berefek jera bagi pelanggaran
semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional yang langsung
dan tidak langsung berhubungan dengan reformasi birokrasi. Sebagai
22. P a g e | 22
reformasibirokrasi_syakrani_2013
contoh, dana perimbangan keuangan kepada daerah akan dikurangi
manakala terindikasi pemerintah tidak melaksanakan reformasi
daerah atau bila kepala daerah nepotistik dalam penempatan pejabat.
5. Dukungan dan legiitimasi nilai-nilai sosial budaya dalam pengertian
adanya jaminan bahwa semua kode etik, etika profesionalisme, dan
nilai-nilai kultural luhur lainnya, yang merupakan turunan dari
Pancasila dan/atau yang bersumber dari kitab suci mempedomani
kerja dan pelaksanaan tugas pembangunan dan pemerintahan.
Ajakan Dwiyanto (2011) untuk menciptakan kultur birokrasi baru
kurang relevan di sini. Kita belum memilki peradaban manajemen
dan kultur birokrasi yang unggul bukan karena kekosongan pegangan
nilai-nilai kultural, tetapi karena nilai-nilai kultural tersebut tidak
dilaksanakan, belum menjadi etos kerja, dan belum dihidupi.
Untuk menjamin terwujudnya nilai-nilai kultural menjadi etos kerja,
ada tiga gagasan perlu dipertimbangkan. Pertama, law enforcement
yang konsisten dan berefek jera bagi pelanggaran nilai-nilai kultural
dan budaya organisasi.
Kedua, merayakan kemenangan-kemenangan kecil dalam bentuk
memberi reward kepada siapa pun yang dengan konsisten dan serius
menjalankan nilai-nilai kultural dalam pekerjaannya akan menjadi
media penyebaran virus-virus kemajuan dan karakter.
Ketiga, bangunan pribadi berkarakter hasil dari family of character,
school of character, and community of character; produk dari family
of law and politic, school of law and politic, and community of law
and politic akan menjadi jaminan sustainabilitas reformasi birokrasi
sebagai bagian penting membangun jati-diri bangsa.
Bangunan pemikiran-pemikiran di atas bisa disebut model CHAEM
(gambar di bawah ini) sebagai kristalisasi pendekatan roots for radicals.
Catatan penutup
Barangsiapa yang merampas hak orang lain dengan melanggar sumpahnya,
maka Allah mewajibkan neraka dan mengharamkan surga baginya
Al-Hadits
Demikian pokok-pokok pikiran yang bisa saya sampaikan pada hari ini. Inti
pemikirannya bertumpu pada keyaninan ini: no action, no change; limited
23. P a g e | 23
reformasibirokrasi_syakrani_2013
action, limited change. Tawaran strategi reformasi budaya dalam reformasi
birokrasi, mestinya, tidak mengulangi lagi kekurang-handalan pendekatan
lama, yang mengikuti selera penguasa, tidak visioner, dan quick-fix.
Saatnya sekarang kita membangun pemahaman yang lebih sehat tentang
reformasi birokrasi, agar kita memiliki sosok birokrasi yang berkarakter
(governance of character), sebagai bagian penting penjamin kemartabatan
jati-diri bangsa. Dengan cara inilah, kita tidak akan malu lagi menjadi orang
Indonesia, karena kita berhasil tidak mewariskan malu itu kepada anak-cucu
kita. Dan anak-cucu kita bangga bersanding dengan bangsa apa pun, karena
mereka tidak mewarisi kebiasaan nista kita sebagai orang tuanya, entah
semasa hidupnya kita adalah warga biasa, pengusaha, pegawai negeri, polisi,
TNI, sekda, kepala dinas, walikota, bupati, gubernur, elite birokrasi, menteri
dan wakil menteri, politisi, atau anggota legislatif.
Menutup diskusi kita hari ini, saya merasa perlu untuk mengutip
pendapat Einstein, yang relevan dengan diskusi kita: tidak mungkin kita
dapat menghadapi masalah baru dengan tingkat kesadaran dan cara
berpikir lama yang menyebabkan munculnya masalah tersebut. Reformasi
birokrasi tidak boleh lagi mengulangi langkah lama, yang membuatnya
mandeg. Semoga bermanfaat. Amien!