SlideShare a Scribd company logo
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Roots for Radicals:
Radical changes for radical results
Syakrani
rony_sandra25@yahoo.com
Reformasi birokrasi di banyak negara berkembang tidak menyentuh akar perma-
salahannya; ia kerap terperangkap pada formalisme, dangkal dan tidak komprehensif.
Karena itu, reformasi birokrasi sering membuat masalah menjadi tidak lebih baik (Gerald
Caiden, 1991)
P a g e | 2
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Roots for Radicals1
Syakrani2
(rony_sandra25@yahoo.com)
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu; Di
negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari
tandingan; Di negeriku anak lelaki, anak perempuan, kemenakan, sepupu dan
cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung
kuku tak perlu malu; Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat
ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum
dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari; Di negeriku budi
pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari
bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
 Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia, Taufik Ismail
Kemerosotan moral bangsa terjadi, karena semua institusi yang menyangga
republik ini telah kehilangan alasan adanya (raison d’être).
 Hery Priyono
Semenjana
eformasi Birokrasi Gelombang I berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 15/2008 – periode
2004 – 2009 – sudah berlalu, walau tanpa jejak yang jelas dan
bukti-bukti yang dapat diandalkan tentang dampak positifnya terhadap
penyehatan birokrasi pemerintahan kita. Menurut peraturan ini, reformasi
birokrasi masih berskala terbatas, instansional, dengan sasaran mewujudkan
tata kelola pemerintahan yang baik, good governance. Area perubahannya
mencakup kelembagaan (organisasi), budaya organisasi, ketatalaksanaan,
regulasi-deregulasi, dan sumberdaya manusia.
Gelombang II berskala instansional sekaligus nasional, yang dimulai
sejak 2010 dan akan berakhir setahun lagi, tahun 2014. Sasaran dan area
perubahannya diperluas mencakup: terwujudnya pemerintahan yang bersih
dan bebas KKN, peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat,
dan peningkatan akuntabilitas kinerja birokrasi, yang didukung oleh
perubahan-perubahan organisasi (organizational development), tata-
1Makalah disajikan pada Sosialisasi Reformasi Birokrasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Kota Banjarbaru di Hotel Roditha, Banjarbaru pada 06 April 2013.
2Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan
Selatan.
R
P a g e | 3
reformasibirokrasi_syakrani_2013
laksana, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia aparatur
pemerintah, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, pola pikir dan
budaya kerja. Periode ini memang belum genap di penghujungnya, tetapi
sampai sekarang sulit juga kita melihat hasil-hasil positifnya yang signifikan
bagi penyehatan birokrasi, yang berdampak terhadap pemberantasan KKN,
peningkatan akuntabilitas pelayanan publik, dan peningkatan daya saing
negara dan daerah. Justeru dalam periode ini korupsi kian menggurita
menjerat elite politik dan pemerintahan.
Celakanya lagi, di periode 2010 – 2014 rakyat menyaksikan terjadinya
mutasi genetika institusi-institusi utama negara – executive, legislative, dan
judicative (dikenal dengan istilah trias politica). Institusi-institusi utama ini
semakin mendapat ketidakpercayaan publik sebagai representasi paling
konstitusional rakyat yang amanat menjalankan fungsi mensejahterakan
penduduk. Senyap-senyap kita mulai mendengar istilah-istilah lain untuk
menyebut lembaga-lembaga utama itu, yakni executhief untuk executive,
legislathief legislative), dan judicathief untuk judicative. Istilah alternatif ini
menggambarkan terjadinya institutional decay pada tiga lembaga utama
tersebut.
Secara harfiah, kata thief berarti pencurian milik orang lain dengan
senyap-senyap, tanpa paksaan dan kekerasan. Kalau makna harfiah ini kita
rujuk, maka mutasi genetika institusional menggambarkan terjadinya
penyimpangan fungsi-fungsi kelembagaan dari tiga lembaga utama tersebut.
Alih-alih mengurus negara untuk kemartabatan bangsa, elite-elite politik
dan pemerintahan di tiga lembaga tersebut tanpa rasa malu meng-thief milik
negara dan/atau milik rakyat untuk kepentingan sendiri baik dengan culas
maupun sistemik. Priyono menegaskan, kemerosotan moral bangsa terjadi,
karena semua institusi yang menyangga republik ini telah kehilangan alasan
adanya (raison d’être).
Kementerian Dalam Negeri menyimpan catatan (dugaan) korupsi yang
dilakukan oleh anggota legislatif, baik di pusat maupun di daerah.
Sekurang-kurangnya lebih dari 42 anggota DPR terseret kasus korupsi. Sejak
2004 sampai 2012 tercatat sekurang-kurangnya sebanyak 710 anggota
DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia tersangkut kasus korupsi.
Selama periode 2004 - 2012, Kemendagri memberi izin pemeriksaan
terhadap 2.976 anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh
Indonesia; sebanyak 2.545 izin pemeriksaan untuk anggota DPRD
P a g e | 4
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Kabupaten/Kota dan 431 anggota DPRD tingkat Provinsi, yang sebagiannya
menyangkut dugaan tindak pidana korupsi. Catatan ini, tentu saja, belum
mencakup tindakan-tindakan korupsi yang berhasil dihambat untuk tidak
menguap ke ranah hukum.
Kasus korupsi di lembaga legislatif – legislathief – tidak berdiri sendiri.
Pertukaran kepentingan dengan lembaga eksekutif demi sebuah kebijakan
politik dan kebijakan publik, terutama dalam penyusunan APBN atau APBD,
telah lama dijadikan ajang pemburuan rente (rent seeking) baik untuk
memperkaya diri sendiri maupun untuk “setoran” ke partai politik.
Sekurang-kurangnya ada 158 kepala daerah, yang terdiri atas gubernur,
walikota, dan bupati, tersangkut kasus korupsi. Beberapa di antaranya sudah
divonis bersalah. Pertukaran ini kemudian membentuk sebuah wadah
selingkuh nista, yakni selingkuh nista execu- legislathief.
Selingkuh nista ini sesungguhnya dapat dengan mudah dikenali dan
diatasi seandainya lembaga penegak hukum, pelindung keadilan, perawat
hukum (judicative) berfungsi sesuai dengan kultur hukum yang sehat,
habitus hukum yang beradab dalam basis moral/etika asas Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab. Tetapi kita sering menyaksikan sendiri begitu
banyak kelucuan dan parodi dalam penegakan hukum. Pada 2009,
Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi pada 78 hakim. Kemudian, pada
2010, sebanyak 107 hakim mendapat teguran hingga diberhentikan. Catatan
kelabu penagak hukum yang melanggar hukum pasca-2010 sekelam
keadaan sebelumnya.
Fakta ini, habitus nista ini, selingkuh bejad ini, mestinya menyadarkan
kita tentang konteks-konteks ekologis sosio-kultural, sosio-politik, dan
konteks-konteks lain dari penggelindingan reformasi birokrasi. Guru besar
administrasi publik, Mustopadidjaja (2003) pernah mengemukan, reformasi
birokrasi adalah syarat utama pemberantasan KKN. Untuk kasus Indonesia,
pandangan ini sangat semenjana (mediocare). Semestinya, pemberantasan
KKN, terutama korupsi, diposisikan sebagai syarat mutlak bagi reformasi
birokrasi. Artinya, reformasi birokrasi tidak boleh lagi dipahami sebatas isu-
isu dan agenda-agenda pinggiran seperti modernisasi manajemen
kepegawaian; restrukturisasi, downsizing, rightsizing, perubahan
manajemen dan organisasi; rekayasa proses administrasi pemerintahan;
anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif;
hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam
P a g e | 5
reformasibirokrasi_syakrani_2013
pembangunan dan pemerintahan (Prasojo dan Kurniawan, 2008). Meskipun
isu-isu dan agenda-agenda itu penting, tetapi ia tetap akan mandul
menghadapi kendala yang bersumber dari persoalan besarnya. Pengabaian
konteks-konteks ekologis dalam penggelindingan reformasi birokrasi, apa
lagi di daerah, berarti dengan sistematik kita ingin menciptakan kondisi agar
gagasan dan program reformasi birokrasi tetap dianggap tidak strategis.
Di negara-negara yang sudah memiliki strong culture, seperti di
Singapore, penggelindingan reformasi birokrasi yang hanya menyentuh isu-
isu dan agenda-agenda itu bisa mengantarkannya ke public administration
take-off, tetapi untuk kasus di negeri ini, isu-isu dan agenda-agenda tersebut
hanya membuat reformasi birokrasi menjadi isu/agenda pinggiran, yang
dianggap tidak dibutuhkan. Oleh karena itu, penggelindingan reformasi
birokrasi membutuhkan pendekatan yang radikal, yang dalam tulisan ini
disebut Roots for Radicals.
Strategi Reformasi Budaya
Kemiskinan terparah bangsa ini bukanlah kemiskinan sumberdaya, melainkan
kemiskinan jiwa. Di tangan para pemimpin dengan mental pengemis; yang tak
bisa memberi-melayani, hanya bisa diberi-dilayani, seberapa banyak pun
kekayaan sumberdaya yang kita miliki tak akan membawa kesejahteraan bagi
rakyatnya
 Yudi Latif, 2013
Pancasila berserta nilai-nilai kultural luhurnya ada di dalam kitab suci dan
dibacakan hikmat saat sumpah jabatan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, ia
bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
 Diadaptasi dari Taufik Ismail
Gagasan untuk memformat penggelindingan reformasi birokrasi dalam
konteks reformasi budaya perlu diappresiasi. Walau gagasan ini bukanlah
gagasan terbaru, tetapi tawaran ini sangat menantang, sekurang-kurangnya
karena ini telah menempatkan keterbelakangan budaya (weak culture)
sebagai inti persoalan keterbelakangan (peradaban) birokrasi.
Catatan sejarah intelektual pernah memberi perhatian serius pada faktor
budaya (culture) sebagai penentu kemajuan manusia (human progress).
Pada 1940-an dan 1950-an, ilmuwan-ilmuwan seperti Margaret Mead, Ruth
Benedict, David McClelland, Edward Banfield, Alex Inkeles, Gabriel Almond,
Sidney Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset telah menyinggung
P a g e | 6
reformasibirokrasi_syakrani_2013
peran budaya dalam pembangunan ekonomi dan politik. Pada 1978, Brian
May dalam tulisannya The Indonesia Tragedy mengemukakan, Indonesia
memiliki segalanya untuk menjadi negara maju. Tetapi, kemajuan ini
dihadang kuat oleh hambatan kultural, sehingga semua syarat dan
sumberdaya untuk maju menjadi tragedi, resources tragedy, resources
curse. Tragedi dan kutukan sumberdaya.
Pada 1985, Harrison melakukan studi tentang keterbelakangan sebagian
besar negara Amerika Latin. Judul buku yang dia tulis dari hasil studinya itu
menegaskan faktor paling utama keterbelakangan: nilai-nilai kultural.
Underdevelopment Is a State of Mind: The Latin American Case. Dua
puluh dua tahun kemudian, kesadaran tentang peran penting faktor budaya
dalam pembangunan lahir kembali. Harrison bersama Huntington pada 22
– 25 April 1999 menyelenggarakan Simposium Internasional di the
American Academy of Arts and Sciences, Cambridge, Massachusetts
bertajuk Cultural Values and Human Progress. Hasil simposium ini pada
2000 dipublikasikan menjadi sebuah buku berjudul Culture Matters: How
Values Shape Human Progress.
Huntington memberi pengantar yang inspiratif untuk buku ini, terutama
yang berkaitan dengan konsep culture. Menurut dia, konsep culture
memiliki banyak arti pada setiap disiplin ilmu dan setiap konteks. Ia bisa
dibatasi sebagai produk-produk intelektual, karya musik dan seni, atau
susatera. Dalam antropologi, konsep culture diartikan sebagai seluruh cara
hidup penduduk di sebuah masyarakat yang mencakup nilai-nilai, praktik-
praktik sosial budaya, simbol-simbol, institusi-institusi, dan pola-pola
hubungan antar-manusia. Tetapi, dalam konteks culture matters and
human progress, konsep ini didefinisikan sebagai nilai-nilai, sikap-sikap,
keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi yang mendasari cara hidup
penduduk di sebuah masyarakat.
In this book, however, we are interested in how culture affects societal
development; if culture includes everything, it explains nothing. Hence we
define culture in purely subjective terms as the values, attitudes, beliefs,
orientations, and underlying assumptions prevalent among people in a
society.
Dalam batasan-batasan itulah para ahli yang diundang untuk menyajikan
kertas kerja menjelaskan peran culture dalam pembangunan. David Landes
misalnya; dia membahas secara khusus peran culture dalam pembangunan
ekonomi. Tulisannya, Culture Makes Almost All the Difference, menegaskan
P a g e | 7
reformasibirokrasi_syakrani_2013
bahwa yang membuat perbedaan pembangunan ekonomi antar-negara
adalah culture. Negara-negara yang dirujuk sebagai negara yang mampu
membuat perbedaan dari sisi culture matters, antara lain, adalah Singapore
& China.
Mari kita coba telusuri sejenak kasus-kasus pengaruh kuat culture
matters terhadap kemajuan dua negara ini, untuk kemudian kita refleksikan
untuk Indonesia, khususnya yang terkait dengan reformasi birokrasi,
terutama di daerah. Darinya nanti kita akan mendapati, culture di dua
negara tetangga kita ini bukanlah sekadar rumusan elok nilai-nilai cultural,
tetapi nilai-nilai kultural yang menjadi dan dijadikan prinsip-prinsip hidup
baik dalam kehidupan individu dan masyarakat maupun kehidupan
berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan.
Dalam perspektif character matters
versi Lickona (1992), penduduk, elite
politik dan pemerintahan dua negara ini
bukan hanya knowing the good (moral
knowing), tetapi juga loving the good
(moral feeling) dan acting the good
(moral action).
Dua negara ini menyajikan sebuah
cermin besar tentang budaya yang
dihidupi; living culture, yang dalam
proses pembentukan, habituasi, dan
perawatannya menerapkan pendekatan
roots for radicals, tidak quick-fix.
Mari kita mulai dari contoh yang
paling sederhana tentang China.
Beberapa tahun yang silam, banyak kalangan sibuk memprediksi kapan
China dapat mengalahkan Amerika Serikat sebagai negara adidaya. Pada
2008, Goldman Sachs memperkirakan China akan mengungguli AS pada
2050. Tetapi, New York Time dalam tulisannya China Passes Japan as
Second-Largest Economy pada 15 Agustus 2010 mengemukakan, China
akan dapat mengungguli AS pada 2030.
Terakhir, IMF memprediksi China akan melampaui AS pada 2016.
P a g e | 8
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Cerita jejak-jejak kemajuan negara ini mengesankan. Pada 2000, China
sudah dapat mengalahkan Italia. Pada 2005, 2006, dan 2007 berturut-turut
giliran Perancis, Inggris, dan Jerman yang dilewati. Dan pada 2010, Jepang
dilalui. Kalau prediksi IMF benar, maka tiga tahun lagi AS akan diungguli
oleh China (Sinamo dan Siadari, 2013). Fakta tentang sebab-sebab di balik
cerita sukses ini bermacam-macam. Satu yang paling utama adalah
kombinasi antara strong leadership dan nilai-nilai budaya yang dihidupi,
yang kemudian membentuk the Chinese Ethos.3
Makalah ini tidak akan menelusuri sumber-sumber etos tersebut.
Rumusan sederhana tentang sumber etos China ditemukan di hasil riset
Ying Fang (1995), yang mengidentifikasi 40 etos kerja yang dikelompokkan
ke dalam enam nilai, yaitu:
Nilai Etos Nilai Etos
I. Kebangsaan 1. Patriotisme.
2. Rasa superioritas
budaya.
3. Penghormatan
terhadap tradisi.
4. Pendidikan.
II. Hubungan
inter-
personal
5. Dapat dipercaya,
amanah.
6. Keramahan,
kemurahan hati.
7. Toleransi.
8. Harmoni dengan
sasama
manusia.
9. Kesantunan.
10. Kerendahan hati.
11. Keakraban.
12. Penghargaan
terhadap ritus
dan tradisi.
13. Membalas
salam, berbuat
baik dan
berbagi.
14. Membalas
kebaikan.
15. Menjaga
martabat.
3Nilai-nilai kultural (cultural values) hanyalah penampakan sederhana dari culture dan bisa jadi
hanya menyangkut moral knowing. Tetapi, etos (etos kerja, etos juang) melampaui moral knowing; ia
adalah nilai-nilai kultural yang dihidupi; living culture yang membentuk karakter. Sinamo (2013)
mendefinisikan etos kerja sebagai nilai-nilai fundamental pada individu, masyarakat, dan bangsa yang
menjadi kekuatan penggerak perjuangannya dan yang membentuk kebiasaan-kebiasaan sosial dan
praktik-praktik kerja keseharian, yang kemudian membentuk karakter individu, masyarakat, dan
bangsa.
P a g e | 9
reformasibirokrasi_syakrani_2013
III. Orientasi
sosial
16. Kesalehan sosial.
17. Membela
perempuan.
18. Penghormatan
pada atasan.
19. Hubungan
hirarkis
berdasarkan
status.
IV. Sikap dalam
bekerja
20. Kerja keras.
21. Komitmen.
22. Hemat.
23. Gigih.
24. Sabar.
25. Hati-hati
26. Cermat.
27. Luwes.
V. Filosofi
dalam
berbisnis
28. Tidak bersaing.
29. Jalan tengah.
30. Kemakmuran.
31. Menolak korupsi.
32. Konservatif.
VI. Sikap
sebagai
pribadi
33. Integritas.
34. Kejujuran.
35. Rasa malu.
36. Mandiri.
37. Tulus.
38. Percaya diri.
39. Tidak mudah
terpengaruh.
40. Mampu
menahan diri.
Riset-riset lain mengemukakan, nilai-nilai luhur China bukan hanya dirawat
dan dipelihara, tetapi diterapkan, terhabituasi, dan mambatin dalam
keseharian hidup, sehingga ia membentuk karakter.
Contoh yang mirip adalah kasus pengaruh kuat culture terhadap
kemajuan Singapore. Neo dan Chen (2007) menuturkannya dengan apik
dalam buku Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities and
Change in Singapore. Model ini kemudian lebih dikenal dengan model 3Cs:
Culture, Capabilities, and Change, yang secara visual dilihat pada gambar
berikut ini.
Catatannya mengungkapkan, Singapore merupakan negara kecil tetapi
dengan prestasi global governance yang unggul, seperti indeks daya saing
negara, peringkat korupsi, HDI, iklim usaha/investasi, dan prestasi-prestasi
lain yang terkait dengan tata-kelola kepemerintahannya. Bagian bawah dari
model 3Cs menjelaskan, Singapore memiliki strong culture, a living culture,
yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip dan keyakinan-keyakinan hidup
berikut ini.
1. Prinsip-prinsip hidup:
1.1. Anti-korupsi.
1.2. Meritokrasi.
P a g e | 10
reformasibirokrasi_syakrani_2013
1.3. Orientasi pasar.
1.4. Pragmatisme.
1.5. Multi-rasialisme
2. Keyakinan-keyakinan hidup:
2.1. Keaktifan negara (state activism).
2.2.Orientasi jangka panjang.
2.3. Relevansi.
2.4.Orientasi pertumbuhan.
2.5. Stabilitas.
2.6.Kearifan (prudence).
2.7. Kemandirian.
Bukti bahwa culture (principles and belief) di negeri ini tidak sekadar
dirumuskan, dirawat, dan dipelihara adalah komitmen untuk memungsikan
culture pada tiga fungsi utama, yaitu:
1. Menghambat/
menghalangi/
melarang (to
constrain).
2. Menghadapi (to
confront).
3. Mempermudah
(to catalyze).
Sebagai contoh, prinsip
anti-korupsi
(incorruptibility) dan
multi-rasialisme
berfungsi melarang
tindakan korupsi dan rasisme, serta menghukumnya dengan berat orang,
apalagi pejabat publik, dan kelompok yang melakukannya.
Prinsip orientasi pasar berimplikasi pada penerapan pasar bebas dalam
bidang ekonomi. Tetapi, keyakinan tentang keaktifan negara (state activism)
berfungsi menghadapi tantangan pasar bebas ini dengan menempatkan
negara sebagai aktor utama. Praktik ini sering disebut state capitalism, yang
juga diterapkan oleh China. Fungsi-fungsi culture inilah, selain sebagai bukti
kultur yang dihidupi, berpengaruh kuat terhadap tingkat adaptasi
governance negeri ini, karena dengannya berkembang tiga habitus mulya,
P a g e | 11
reformasibirokrasi_syakrani_2013
yakni think ahead, think again, and think across. Tiga habitus inilah
kemudian senantiasa mendorong negara dan pemerintah Singapore
mengembangkan kapabilitas untuk menghadapi perubahan internal dan
global.
Inti kemajuan negeri ini adalah nilai-nilai budaya yang dihidupi/
diterapkan dalam keseharian hidup.
Masalahnya sekarang adalah, apakah nilai-nilai kultural tersebut sedikit
pun tidak bersifat universal, sehingga harus disebut The Chinese Ethos atau
The Singapore Ethos? Lebih spesifik lagi, pertanyaannya adalah, apakah
kultur besar kita – Pancasila – tidak mengandung nilai-nilai luhur yang
membuat negara kita bisa maju?
Jawabnya pasti tidak! Tetapi persoalannya adalah, nilai-nilai kulural kita
yang bersemayam dalam kultur besar tersebut tidak dihidupi, belum
menjadi living culture. Kita abai tidak menghidupi Pancasila beserta nilai-
nilai sosio-kultural luhur turunannya baik sebagai pribadi dan anggota
masyarakat, kelompok dan organisasi apa pun maupun sebagai pengemban
amanat kedaulatan rakyat.
Dalam perspektif Taufik Ismail, Pancasila berserta nilai-nilai kultural
luhurnya ada di dalam kitab suci dan dibacakan hikmat saat sumpah jabatan,
tetapi dalam kehidupan sehari-hari, ia bagai jarum hilang menyelam di
tumpukan jerami selepas menuai padi.
Catatan sejarah bercerita tentang bagaimana Pancasila yang disepakati
oleh orang-orang terbaik kita beberapa tahun silam bukan hanya untuk
dijadikan fondasi kenegaraan dan kebangsaan, tetapi bercerita tentang visi
bersama, impian bersama, cita-cita bersama untuk membentuk sebuah
Negara Paripurna yang dilandasi oleh dasar-dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang mampu menyelinap masuk membatin ke asas Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, yang menjadi pengikat Persatuan Indonesia dan semangat
ber-Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, untuk mewujudkan cita-cita Keadilan Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
Kini, di usia bangsa ini yang ke-68, di saat sumberdaya alam kita kian
menipis, di kala utang luar negeri bangsa ini makin menumpuk, bukan
gambaran tentang Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang sedang kita
saksikan, tetapi sebaliknya; Keamburadulan Sosial Bagi (sebagian besar)
P a g e | 12
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Rakyat Indonesia. Bila kelak anak-cucu kita bertanya, mengapa justeru
keamburadulan sosial yang terjadi, bisakah kita menjelaskan kepada mereka
bahwa ia terjadi lantaran:
1. Kita tidak lagi menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
dasar berbangsa dan bernegara yang utama; justeru kita sedang me-
“nuhan”-kan diri pada asas Keuangan Yang Maha Kuasa.
2. Kita tidak lagi menjadikan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
sebagai landasan utama dalam mengurus bangsa dan negara; justeru
kita sedang menggantinya dengan asas Kekuasaan Yang Licik dan
Biadab.
3. Kita tidak lagi berkomitmen tulus pada sila Persatuan Indonesia
untuk merawat ke-Indonesia-an yang paripurna; justeru dengan
asas Kekuasaan Yang Licik dan Biadab kita melakukan
Pengkhianatan Indonesia.
4. Orang-orang yang kita beri amanat untuk mengurus bangsa dan
negara ini, para elite politik, para elite pemerintahan, para penentu
kebijakan publik, secara sendiri-sendiri dan kolektif, melupakan sila
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Mereka menerapkan asas baru:
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Sindikat Kuasa dan Keculasan
Permusyawaratan/Perwakilan.
5. Dan, sumber-sumber penyebab Keamburadulan Sosial Bagi
(sebagian besar) Rakyat Indonesia bila ditelusuri dari empat habitus
tak terpuji di atas.
Jawaban-jawaban yang tepat atas pertanyaan itu perlu kita kemukakan
sebagai bagian dari tanggung jawab moral kita kepada anak-cucu kita. Sebab,
mereka akan mengatakan kepada kita: bumi Indonesia ini bukanlah milik
kita, orang tua kita, tetapi hanyalah pinjaman dari mereka untuk kita.
Implikasinya bagi kita adalah adanya tanggung jawab historis untuk
meruwujudkan keadilan sosial lintas-generasi, ada tanggung jawab moral
mewujudkan kemakmuran lintas-generasi, ada akuntabilitas politik untuk
mewujudkan kemaslahatan lintas-generasi yang akan dituntut oleh anak-
cucu kita kepada kita sebagai peminjam bumi Indonesia.
Pancasila dirumuskan dan disepakati sebagai fondasi berbangsa dan
bernegara bukan untuk kebutuhan sesaat, hanya untuk menyambut
kemerdekaan RI saja, tetapi sebagai penjamin utama keadilan sosial lintas-
P a g e | 13
reformasibirokrasi_syakrani_2013
generasi, kemakmuran lintas-generasi, kemaslahatan dan kemartabatan
bangsa lintas-generasi. Dengan kata lain, Pancasila sejatinya dapat
membimbing terwujudnya Negara Paripurna, yang dapat mencegah sejak
diri terjadinya sial-sial kebangsaan, Pancasial, seperti dikemukakan di atas.
Tugas menantang kita adalah bagaimana strategi reformasi budaya kita
dalam rangka reformasi birokrasi “memaksa” setiap orang, setiap pegawai
atau karyawan, setiap pejabat, elite birokrasi, dan elite politik untuk
menghidupi nilai-nilai luhur itu. Konsepsi strategi kultural harus menyentuh
unsur-unsur yang radikal dalam reformasi birokrasi. Ibarat iceberg (gunung
es), konsep strategi reformasi budaya harus menyentuh bagian-bagian dasar
dari gunung es. Isu-isu dan agenda-agenda seperti modernisasi manajemen
kepegawaian; restrukturisasi, downsizing, rightsizing, perubahan
manajemen dan organisasi; rekayasa proses administrasi pemerintahan;
anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif;
hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam
pembangunan dan pemerintahan, saya pikir masih menyentuh puncak
gunung es, bukan dasarnya. Kesibukan kita menggelidingkan isu-isu dan
agenda-agenda ini, walau penting juga, akan menggerus momen-momen
historis berbangsa dan bernegara, yang secara historis pula mempertebal
tambatan-tambatan kultural untuk maju dan tampil beda sebagai bangsa
yang bermartabat. Dibutuhkan pendekatan lain yang lebih substansial.
Roots for Radicals
Beruntunglah kita bila hari ini kita lebih baik daripada hari kemarin;
merugilah kita bila ternyata hari ini kita hanya sama dengan hari kemarin;
tetapi celakalah kita bila hari ini kita lebih jelek daripada hari kemarin
 Kearifan Profetik
Konsep roots for radicals4 melengkapi trilogi konsep atau strategi yang
dikembangkan oleh Alinsky untuk melakukan perubahan mendasar dan
organik untuk kasus marjinalisasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik
penduduk. Dua konsep dan strategi sebelumnya adalah reveille for radicals
dan rules for radicals.
4Istilah radicals dalam konsep roots for radicals, menurut penulis buku Roots for Radicals –
Edward T. Chambers (2010) – berarti roots (Latin), yang bermakna mendasar. Jadi, konsep ini
lebih jauh pengertiannya ke makna revolusioner, tetapi lebih dekat ke makna mendasar – ke
akar-akarnya – dan komprehensif.
P a g e | 14
reformasibirokrasi_syakrani_2013
Tiga naskah yang membentuk trilogi strategi perubahan mendasar ini
perlu ditengok dan dipelajari secara cermat untuk kemudian diadaptasi
untuk menggelindingkan kebijakan dan program reformasi birokrasi dari
entry point reformasi budaya. Alasan sederhananya adalah, karena
reformasi birokrasi membutuhkan perubahan mendasar dan komprehensif.
Tawaran strategi reformasi budaya itu sendiri menyiratkan adanya
kesadaran tentang urgensi perubahan mendasar dan menyeluruh itu.
Salah satu ciri khas dari pendekatan roots for radicals ini, selain
mendasar dan menyeluruh, adalah penekanannya pada organizing for
public power, for community action, and for public justice pada ranah
mikro, sehingga semua institusi pada ranah ini dapat melakukan community
empowerment. Dengannya penduduk, komunitas, dan institusi-institusinya
kemudian dapat mempengaruhi arah kebijakan, mampu menyalurkan
aspirasi warga, menjadi tempat pengembangan civic culture, menjadi
kekuatan pendorong perubahan yang terhambat oleh patologi birokrasi, dan
menjadi mitra pemerintah untuk melakukan perubahan.
Kalau yang dimaksud dengan tawaran strategi reformasi budaya untuk
reformasi birokrasi adalah perubahan mendasar dan komprehensif – roots -
-, maka tidak berlebihan bila kita mulai memikirkan bagaimana caranya
memetakan sifat kemendasaran dan kekomprehensifan perubahan yang
diinginkan, serta bagaimana caranya melakukan community and public
organizing.
Tulisan ini menawarkan sebuah model hipotetik reformasi birokrasi dari
perspektif roots for radicals (mendasar dan komprehensif) seperti disajikan
pada gambar di bawah ini.
Sekurang-kurangnya ada tiga ruang publik pada ranah mikro ini yang
perlu ”direkayasa” untuk menghasilkan reformasi birokrasi yang mendasar
dan komprehensif, yang dipilari oleh kekuatan institusi sosial, yaitu:
1. Ranah sosial budaya:
1.1. Keluarga berkarakter, yang membiasakan perilaku berkarakter
kepada anggota keluarga (FC: family of character).
1.2. Sekolah berkarakter, yang menjadi mitra keluarga dalam
pendidikan karakter untuk anggota keluarga (SC: school of
character).
1.3. Masyarakat berkarakter, yang mendukung sekolah dan keluarga
P a g e | 15
reformasibirokrasi_syakrani_2013
berkarakter (CC: community of character).
(catatan: pada tiga ruang publik ini, proses habituasi karakter
dilakukan, sehingga menghasilkan sumberdaya manusia yang
berkarakter)
1.4. Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok dan
organisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukan
pendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasi
sosial tentang pentingnya karakter.
1.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsi
pemantauan (watch) dan pengoreksi karakter melalui publikasi,
penyiaran, diskusi-diskusi terbuka tentang kasus-kasus karakter,
serta mampu memberi pendidikan dan kesadaran karakter (MS).
(catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massa
yang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) ke
bawah: menjadi agent of character education; (b) ke atas:
P a g e | 16
reformasibirokrasi_syakrani_2013
menjadi penyuara tindakan berkarakter dan pemrotes
perilaku tak berkarakter oleh elite birokrasi dan politik)
2. Ranah perundang-undangan/hukum:
2.1. Keluarga sadar hukum, yang membiasakan perilaku sadar
hukum kepada anggota keluarga, sehingga terampil bertindak
sesuai dengan hak & kewajiban sebagai warga (FH: family of law).
2.2.Sekolah sadar hukum, yang menjadi mitra keluarga dalam
pendidikan sadar hukum untuk anggota keluargan (SH: school of
law).
2.3. Masyarakat sadar hukum, yang mendukung sekolah dan keluarga
sadar hukum (CH: community of law).
(catatan: sama dengan ruang publik pertama, pada tiga ruang
publik ini, proses habituasi perilaku sadar hukum dilakukan,
sehingga menghasilkan sumberdaya manusia yang terampil
bertindak sesuai dengan norma sosial dan hukum yang
berlaku)
2.4.Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok dan
organisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukan
pendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasi
sosial tentang pentingnya perilaku sadar hukum.
2.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsi
pemantauan (watch) dan pengoreksi tindakan pelanggaran
hukum dan norma melalui publikasi, penyiaran, diskusi-diskusi
terbuka tentang kasus-kasus hukum, serta mampu memberi
pendidikan dan kesadaran hukum kepada warga (MH).
(catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massa
yang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) ke
bawah: menjadi agent penyadaran hukum; (b) ke atas:
menjadi penyuara tindakan pelanggaran hukum dan
pemrotes perilaku menyimpang oleh elite birokrasi dan
politik; serta pemantau, dan penyuara masalah sinergitas
peraturan perundang-undangan, termasuk seluruh per-UU-
an menyangkut/menghambat reformasi birokrasi ).
3. Ranah politik.
3.1. Keluarga melek politik, yang membiasakan perilaku sadar politik
kepada anggota keluarga, sehingga terampil bertindak sesuai
P a g e | 17
reformasibirokrasi_syakrani_2013
dengan hak & kewajiban politik sebagai warga (FP: family of
politic).
3.2. Sekolah melek politik, yang menjadi mitra keluarga dalam
pendidikan sadar politik untuk anggota keluarga (SP: school of
politic).
3.3. Masyarakat melek politik, yang mendukung sekolah dan keluarga
sadar politik (CP: community of politic).
(catatan: tiga ruang publik ini menyelenggarakan pendidikan
melek dan sadar politik, sehingga menghasilkan sumberdaya
manusia yang terampil bertindak sesuai dengan hak dan
kewajiban politiknya sebagai warga)
3.4. Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok dan
organisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukan
pendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasi
sosial tentang pentingnya melek politik sebagai warga politik.
3.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsi
pemantauan (watch) dan pengoreksi tindakan politicking (baca:
selingkuh nista) melalui publikasi, penyiaran, diskusi-diskusi
terbuka tentang kasus-kasus politicking, serta mampu memberi
pendidikan politik (MP).
(catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massa
yang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) ke
bawah: menjadi agent penyadaran hak dan kewajiban politik
sebagai warga politik; (b) ke atas: menjadi penyuara dan
pemrotes perilaku politicking (baca: selingkuh nista) dalam
perumusan dan implementasi kebijakan publik/keputusan
politik oleh elite birokrasi dan politik, serta menjadi
pengoreksi masalah sinergitas keputusan-keputusan politik
yang menghambat reformasi birokrasi ).
Literatur-literatur tentang community organizing, periska misalnya
buku yang ditulis oleh Si Khan, Creative Community Organizing (2010) dan
oleh Loretta Pyles, Progressive Community Organizing (2009), juga
senantiasa menekankan adanya sense of deprivation di pihak publik (warga
atau komunitas) akibat tidak atau dilaksanakannya sebuah kebijakan publik,
yang dengannya publik tidak terlayani dengan baik, terhambat aksesnya
untuk berpartisipasi, terampas peluangnya untuk menentukan pilihan (self-
P a g e | 18
reformasibirokrasi_syakrani_2013
determination), serta terganjal kemampuannya untuk meningkatkan
kualitas hidup. Suasana deprivasi sosial, ekonomi, dan politik ini menumpuk
menjadi kekecewaan yang bila tidak diorganisasi dengan baik akan
menyebabkan rebellion (Moore, 1966) dan social movement (Gurr, 1970)
atau sekurang-kurangnya akan memberi peluang bagi mereka yang
mengalami deprivasi untuk mengembangkan ”senjata-senjata kaum lemah”
untuk menuntut haknya kepada pemerintah (Scott, 1998).
Strategi community organizing dalam konteks roots for radicals yang
dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat madani (CSOs) dan media
massa, seperti dijelaskan di atas, menjadi media pelahiran dan penyadaran
warga tentang sense of deprivation, yang disebabkan oleh gagal atau tidak
efektifnya pelaksanaan program reformasi birokrasi, sehingga warga tidak
mendapat pelayanan bermutu, tidak memiliki wakil yang peduli publik,
tidak memiliki aparatur pemerintah yang professional, yang karenanya
negara/daerah belum mampu meningkatkan daya saing dan kesejahteraan
warganya. Dengan demikian, community organizing yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi masyarakat (CSOs) menjadi media pengelola
kekecewaan publik di satu sisi, tetapi sekaligus, di sisi lain, juga berperan
sebagai penyeimbang kekuataan political bargaining yang mampu
mencegah politicking habits oleh elite pemerintahan dan politik dalam
formulasi dan implementasi kebijakan publik/keputusan politik, termasuk
semua kebijakan dan keputusan politik tentang reformasi birokrasi.
Relasi demand- supply
Yang menyogok dan yang disogok sama-sama
menanggung dosa besar
 Al-Hadits
Pendekatan roots for radicals memutus mata-rantai
pembentuk permintaan bad practices di pihak
warga dan publik (menyuap, meminta kemudahan,
dsb.) dan bad practices di pihak birokrat, elite
pemerintahan dan politik (menuntut komisi,
pungutan liar, dsb.). Sebaliknya, pendekatan ini justeru menuntut sebuah
bangunan relasi yang sehat antara warga/publik (pengusaha) dan birokrat-
elite pemerintahan-elite politik. Warga/publik (pengusaha) berani menolak
penawaran kemudahan dan peluang untuk menyuap (bad practices)
birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik, apa pun risikonya. Bahkan
P a g e | 19
reformasibirokrasi_syakrani_2013
mereka berani memprotes penawaran tersebut, karena tidak sesuai dengan
baku karekter (standard of character). Warga dan publik berani memprotes
dan mendemo birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik, karena merasa
dirugikan oleh jalan yang cepat rusak, karena dananya sudah dikorupsi oleh
mereka. Warga dan publik akan berani memprotes dan mendemo elite
pemerintahan dan elite politik, karena mereka mengangkat kepala dinas dan
sekretaris daerah yang tidak profesional.
Di sisi lain, birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik berani menolak
permintaan bad practices warga dan publik (suap atau sexual gratification
untuk mendapat kemudahan pelayanan atau proyek). Bahkan mereka dapat
mengajukan keberatan kepada penegak hukum atas tindakan warga/publik
yang melanggar standard of profesionalsm.
Tawaran strategi reformasi budaya dalam reformasi birokrasi harus
mampu memotong mata-rantai relasi yang tidak sehat tersebut, sehingga
masalah dan seluruh agenda reformasi birokrasi tidak sekadar berputar-
putar di tubuh birokrasi, karena asumsi sesat bahwa inti/akar persoalan
reformasi birokrasi ada di tubuh birokrasi.
Pendekatan roots for radicals dan strategi reformasi birokrasi sekurang-
kurangnya memiliki dua pesan. Pertama, ia adalah representasi tentang
kesadaran bahwa langkah-langkah yang sudah kita tempuh untuk reformasi
birokrasi tidak memadai lagi; ia gagal memotong mata-rantai supply and
demand of bad practices. Kedua, ia juga merupakan pantulan kesadaran
tentang perlunya pendekatan baru yang tidak quick-fix, tetapi komprehensif
dan mendasar, yang mampu meletakkan fondasi bangunan relasi supply
and demand of good practices. Pendekatan yang cocok untuk tujuan ini
adalah pendekatan roots for radicals.
Istilah radicals bermakna roots, mendasar dan komprehensif,
menjangkau esensinya, sebab-sebab utama patologi birokrasi, yang juga
berada di luar birokrasi (pada warga, pada keluarga, pada masyarakat, pada
organisasi kemasyarakatan/CSOs, parpol, pada korporasi, dst), menjangkau
masuk ke sebanyak aspek yang langsung dan tidak langsung terkait dengan
penyehatan birokrasi, sehingga reformasinya mendalam.
Radical changes for radical results adalah “titah” Ludeman dan
Erlandson (2003). Garis-garis besar perubahan mendasar yang radikal ini
dapat dideskripsikan sebagai berikut:
P a g e | 20
reformasibirokrasi_syakrani_2013
1. Visi reformasi birokrasi tidak boleh dibatasi hanya sekadar
membangun kembali jadi-diri birokrasi, seperti dikemukakan oleh
Dwiyanto (2011), tetapi harus bervisi ”Membangun Jati-diri
Bangsa.” Banyak negara maju dengan tingkat peradaban unggul
dikenal karena peradaban manajemen dan birokrasi publiknya.
Visi ini juga bertujuan untuk menembus batas-batas sektoral dan
departemental, serta sekat-sekat sosiologis-kultural. Reformasi
birokrasi secara sektoral/departemental tidak boleh lagi dipahami
sebagai tugas dan tanggung jawab utama Kementerian Pendayaguna-
an Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tetapi juga tanggung
jawab semua kementerian dan lembaga, serta perangkat institusional
negara sampai ke desa.
Secara sosio-kultural, reformasi birokrasi yang bervisi membangun
jati-diri bangsa juga menjadi tanggung jawab warga, yakni warga
yang berkarakter (berakhlak mulya), berkesadaran hukum dan politik,
sehingga mereka, baik sendiri-sendiri maupun kolektif; memiliki
kesadaran tentang sense of deprivation, karena mereka tidak
mendapat pelayanan publik yang bermutu, menolak ajakan kolusi
nista polisi, birokrat, pejabat, dan siapa pun; serta memprotes
tindakan tak bermoral elite pemerintah dan politik.
Secara sosio-kultural pula, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan
media massa harus aktif mengorganisasi komunitas melalui kegiatan
advokasi, pendidikan komunitas, animasi sosial, dan pemberdayaan
komunitas agar warga tidak melakukan tindakan amoral ketika
berurusan dengan birokrasi, menolak ajakan solusi nista, dan bahkan
mampu memprotes tindakan-tindakan nista elite pemerintahan dan
politik.
2. Audit peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional tidak boleh
dibatasi pada peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di bidang
aparatur, tetapi semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional
yang langsung dan tidak langsung mendorong/menghambat visi
membangun jati-diri bangsa melalui reformasi birokrasi.
Audit ini bertujuan untuk memastikan adanya tingkat konsistensi
dan koherensi semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di
bidang aparatur pemerintah dengan semua peraturan per-UU-an dan
P a g e | 21
reformasibirokrasi_syakrani_2013
kebijakan nasional yang tidak langsung berhubungan dengan
reformasi birokrasi, termasuk juga konsistensi dengan UU pemilu,
mineral dan pertambangan, pembinaan kepegawaian, parpol,
pemerintahan daerah, dan lain-lain.
Koherensi dan konsistensi peraturan per-UU-an dan kebijakan
nasional menjadi strategis, karena pada banyak kasus, sebagai contoh,
inovasi-inovasi gagasan pembaruan birokrasi dan kultur organisasi
pada level administratif/administrative domain (misalnya level
dirjen, sekda dan kepala dinas) tidak bisa dilaksanakan lantaran
bertentangan dengan political interest presiden, menteri, gubernur,
walikota, atau bupati (political domain).
3. Community organizing for community action and empowerment
oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan media massa menjadi
syarat mutlak untuk memastikan terbangunnya keadaban penyaluran
public voice dan public action untuk kasus-kasus pelanggaran etika
profesionalisme pelayanan publik, penempatan pejabat, kolusi nista
antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam penetapan dan
implementasi kebijakan publik, keputusan politik, dan penegakan
hukum.
4. Law enforcement yang konsisten dan berefek jera bagi pelanggaran
semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional yang langsung
dan tidak langsung berhubungan dengan reformasi birokrasi. Sebagai
P a g e | 22
reformasibirokrasi_syakrani_2013
contoh, dana perimbangan keuangan kepada daerah akan dikurangi
manakala terindikasi pemerintah tidak melaksanakan reformasi
daerah atau bila kepala daerah nepotistik dalam penempatan pejabat.
5. Dukungan dan legiitimasi nilai-nilai sosial budaya dalam pengertian
adanya jaminan bahwa semua kode etik, etika profesionalisme, dan
nilai-nilai kultural luhur lainnya, yang merupakan turunan dari
Pancasila dan/atau yang bersumber dari kitab suci mempedomani
kerja dan pelaksanaan tugas pembangunan dan pemerintahan.
Ajakan Dwiyanto (2011) untuk menciptakan kultur birokrasi baru
kurang relevan di sini. Kita belum memilki peradaban manajemen
dan kultur birokrasi yang unggul bukan karena kekosongan pegangan
nilai-nilai kultural, tetapi karena nilai-nilai kultural tersebut tidak
dilaksanakan, belum menjadi etos kerja, dan belum dihidupi.
Untuk menjamin terwujudnya nilai-nilai kultural menjadi etos kerja,
ada tiga gagasan perlu dipertimbangkan. Pertama, law enforcement
yang konsisten dan berefek jera bagi pelanggaran nilai-nilai kultural
dan budaya organisasi.
Kedua, merayakan kemenangan-kemenangan kecil dalam bentuk
memberi reward kepada siapa pun yang dengan konsisten dan serius
menjalankan nilai-nilai kultural dalam pekerjaannya akan menjadi
media penyebaran virus-virus kemajuan dan karakter.
Ketiga, bangunan pribadi berkarakter hasil dari family of character,
school of character, and community of character; produk dari family
of law and politic, school of law and politic, and community of law
and politic akan menjadi jaminan sustainabilitas reformasi birokrasi
sebagai bagian penting membangun jati-diri bangsa.
Bangunan pemikiran-pemikiran di atas bisa disebut model CHAEM
(gambar di bawah ini) sebagai kristalisasi pendekatan roots for radicals.
Catatan penutup
Barangsiapa yang merampas hak orang lain dengan melanggar sumpahnya,
maka Allah mewajibkan neraka dan mengharamkan surga baginya
 Al-Hadits
Demikian pokok-pokok pikiran yang bisa saya sampaikan pada hari ini. Inti
pemikirannya bertumpu pada keyaninan ini: no action, no change; limited
P a g e | 23
reformasibirokrasi_syakrani_2013
action, limited change. Tawaran strategi reformasi budaya dalam reformasi
birokrasi, mestinya, tidak mengulangi lagi kekurang-handalan pendekatan
lama, yang mengikuti selera penguasa, tidak visioner, dan quick-fix.
Saatnya sekarang kita membangun pemahaman yang lebih sehat tentang
reformasi birokrasi, agar kita memiliki sosok birokrasi yang berkarakter
(governance of character), sebagai bagian penting penjamin kemartabatan
jati-diri bangsa. Dengan cara inilah, kita tidak akan malu lagi menjadi orang
Indonesia, karena kita berhasil tidak mewariskan malu itu kepada anak-cucu
kita. Dan anak-cucu kita bangga bersanding dengan bangsa apa pun, karena
mereka tidak mewarisi kebiasaan nista kita sebagai orang tuanya, entah
semasa hidupnya kita adalah warga biasa, pengusaha, pegawai negeri, polisi,
TNI, sekda, kepala dinas, walikota, bupati, gubernur, elite birokrasi, menteri
dan wakil menteri, politisi, atau anggota legislatif.
Menutup diskusi kita hari ini, saya merasa perlu untuk mengutip
pendapat Einstein, yang relevan dengan diskusi kita: tidak mungkin kita
dapat menghadapi masalah baru dengan tingkat kesadaran dan cara
berpikir lama yang menyebabkan munculnya masalah tersebut. Reformasi
birokrasi tidak boleh lagi mengulangi langkah lama, yang membuatnya
mandeg. Semoga bermanfaat. Amien!

More Related Content

What's hot

Makalah mengenai-kasus-hukum-dalam-bidang-ekonomi-pambangunan-karakter
Makalah mengenai-kasus-hukum-dalam-bidang-ekonomi-pambangunan-karakterMakalah mengenai-kasus-hukum-dalam-bidang-ekonomi-pambangunan-karakter
Makalah mengenai-kasus-hukum-dalam-bidang-ekonomi-pambangunan-karakter
Didi Sisoeloeng AnRy
 
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010Fathur Rohman
 
Makalah korupsi di kalangan masyarakat
Makalah korupsi di kalangan masyarakatMakalah korupsi di kalangan masyarakat
Makalah korupsi di kalangan masyarakat
maretboy89
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
Just Latif no Other
 
Investigasi kasus korupsi
Investigasi kasus korupsi Investigasi kasus korupsi
Investigasi kasus korupsi
Tri Astuti Utomo (iyas)
 
Anti Korupsi LATSAR Takalar Maret 2020
Anti Korupsi LATSAR Takalar Maret 2020Anti Korupsi LATSAR Takalar Maret 2020
Anti Korupsi LATSAR Takalar Maret 2020
DRMurlinahMPd
 
Reformasi Birokrasi Tidak Perlu Lagi?
Reformasi Birokrasi Tidak Perlu Lagi?Reformasi Birokrasi Tidak Perlu Lagi?
Reformasi Birokrasi Tidak Perlu Lagi?
Kurniawan Saputra
 
Aspek sosial perkembangan penduduk
Aspek sosial perkembangan pendudukAspek sosial perkembangan penduduk
Aspek sosial perkembangan penduduk
Agus Mahmuda
 
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorMakalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Ika Nurrohmah
 
Bab 5 upaya pemberantasan korupsi
Bab 5 upaya pemberantasan korupsiBab 5 upaya pemberantasan korupsi
Bab 5 upaya pemberantasan korupsi
danianggara
 
Knpi jambi dalam perspektif peraturan perundang
Knpi jambi dalam perspektif peraturan perundangKnpi jambi dalam perspektif peraturan perundang
Knpi jambi dalam perspektif peraturan perundangBUNG FESDIAMON
 
Analisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesiaAnalisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesiaBunda Violyn
 
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsi
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsiBab 4 faktor faktor penyebab korupsi
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsinatal kristiono
 
Bu cm membangun pemimpin amanah depok 2020
Bu cm membangun pemimpin amanah depok 2020Bu cm membangun pemimpin amanah depok 2020
Bu cm membangun pemimpin amanah depok 2020
PerlindunganPerempua
 
281669604 makalah-kasus-korupsi
281669604 makalah-kasus-korupsi281669604 makalah-kasus-korupsi
281669604 makalah-kasus-korupsi
RienditasaffiraNuran
 
Cepat berantas korupsi
Cepat berantas korupsiCepat berantas korupsi
Cepat berantas korupsi
Muslihin Hilim
 
PKN kasus korupsi dan upaya pemberantasannya
PKN kasus korupsi dan upaya pemberantasannyaPKN kasus korupsi dan upaya pemberantasannya
PKN kasus korupsi dan upaya pemberantasannya
Idris Miaus
 

What's hot (20)

Makalah mengenai-kasus-hukum-dalam-bidang-ekonomi-pambangunan-karakter
Makalah mengenai-kasus-hukum-dalam-bidang-ekonomi-pambangunan-karakterMakalah mengenai-kasus-hukum-dalam-bidang-ekonomi-pambangunan-karakter
Makalah mengenai-kasus-hukum-dalam-bidang-ekonomi-pambangunan-karakter
 
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
Materi 2 faktor penyebab korupsi 2010
 
Makalah korupsi di kalangan masyarakat
Makalah korupsi di kalangan masyarakatMakalah korupsi di kalangan masyarakat
Makalah korupsi di kalangan masyarakat
 
Makalah korupsi STIP WUNA
Makalah korupsi STIP WUNA Makalah korupsi STIP WUNA
Makalah korupsi STIP WUNA
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
 
Makalah korupsi
Makalah korupsiMakalah korupsi
Makalah korupsi
 
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsiMakalah pkn tentang pemberantasan korupsi
Makalah pkn tentang pemberantasan korupsi
 
Investigasi kasus korupsi
Investigasi kasus korupsi Investigasi kasus korupsi
Investigasi kasus korupsi
 
Anti Korupsi LATSAR Takalar Maret 2020
Anti Korupsi LATSAR Takalar Maret 2020Anti Korupsi LATSAR Takalar Maret 2020
Anti Korupsi LATSAR Takalar Maret 2020
 
Reformasi Birokrasi Tidak Perlu Lagi?
Reformasi Birokrasi Tidak Perlu Lagi?Reformasi Birokrasi Tidak Perlu Lagi?
Reformasi Birokrasi Tidak Perlu Lagi?
 
Aspek sosial perkembangan penduduk
Aspek sosial perkembangan pendudukAspek sosial perkembangan penduduk
Aspek sosial perkembangan penduduk
 
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptorMakalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
Makalah Wacana hukuman mati bagi koruptor
 
Bab 5 upaya pemberantasan korupsi
Bab 5 upaya pemberantasan korupsiBab 5 upaya pemberantasan korupsi
Bab 5 upaya pemberantasan korupsi
 
Knpi jambi dalam perspektif peraturan perundang
Knpi jambi dalam perspektif peraturan perundangKnpi jambi dalam perspektif peraturan perundang
Knpi jambi dalam perspektif peraturan perundang
 
Analisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesiaAnalisa korupsi di indonesia
Analisa korupsi di indonesia
 
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsi
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsiBab 4 faktor faktor penyebab korupsi
Bab 4 faktor faktor penyebab korupsi
 
Bu cm membangun pemimpin amanah depok 2020
Bu cm membangun pemimpin amanah depok 2020Bu cm membangun pemimpin amanah depok 2020
Bu cm membangun pemimpin amanah depok 2020
 
281669604 makalah-kasus-korupsi
281669604 makalah-kasus-korupsi281669604 makalah-kasus-korupsi
281669604 makalah-kasus-korupsi
 
Cepat berantas korupsi
Cepat berantas korupsiCepat berantas korupsi
Cepat berantas korupsi
 
PKN kasus korupsi dan upaya pemberantasannya
PKN kasus korupsi dan upaya pemberantasannyaPKN kasus korupsi dan upaya pemberantasannya
PKN kasus korupsi dan upaya pemberantasannya
 

Viewers also liked

Meeting Questions and Answers:
Meeting Questions and Answers:Meeting Questions and Answers:
Meeting Questions and Answers:butest
 
Understanding the ageing process edited
Understanding the ageing process editedUnderstanding the ageing process edited
Understanding the ageing process edited
dj1numerouno
 
Suburbia
SuburbiaSuburbia
Suburbia
marnina
 
centex Q1 09_Slides
centex  Q1 09_Slidescentex  Q1 09_Slides
centex Q1 09_Slidesfinance18
 
Strategic mgmt
Strategic mgmtStrategic mgmt
Strategic mgmt
Anju Rana
 
merck 3Q04 Other Financial Disclosures
merck 	3Q04 Other Financial Disclosuresmerck 	3Q04 Other Financial Disclosures
merck 3Q04 Other Financial Disclosuresfinance11
 

Viewers also liked (7)

Meeting Questions and Answers:
Meeting Questions and Answers:Meeting Questions and Answers:
Meeting Questions and Answers:
 
Understanding the ageing process edited
Understanding the ageing process editedUnderstanding the ageing process edited
Understanding the ageing process edited
 
Suburbia
SuburbiaSuburbia
Suburbia
 
centex Q1 09_Slides
centex  Q1 09_Slidescentex  Q1 09_Slides
centex Q1 09_Slides
 
Strategic mgmt
Strategic mgmtStrategic mgmt
Strategic mgmt
 
merck 3Q04 Other Financial Disclosures
merck 	3Q04 Other Financial Disclosuresmerck 	3Q04 Other Financial Disclosures
merck 3Q04 Other Financial Disclosures
 
Replication
ReplicationReplication
Replication
 

Similar to Lapis final2a

47 halaman KULIAH BIROKRASI INDONESIA.pptx
47 halaman KULIAH BIROKRASI INDONESIA.pptx47 halaman KULIAH BIROKRASI INDONESIA.pptx
47 halaman KULIAH BIROKRASI INDONESIA.pptx
TAWANGARGOTV
 
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
Rudy Harland
 
Bahan Materi Forum Skpd Badiklat Dan Kepegawaian
Bahan Materi Forum Skpd Badiklat Dan KepegawaianBahan Materi Forum Skpd Badiklat Dan Kepegawaian
Bahan Materi Forum Skpd Badiklat Dan Kepegawaian
HadiHartono Berkata
 
Peran Core Value ASN Dalam Reformasi Birokrasi
Peran Core Value ASN Dalam Reformasi BirokrasiPeran Core Value ASN Dalam Reformasi Birokrasi
Peran Core Value ASN Dalam Reformasi Birokrasi
Tri Widodo W. UTOMO
 
Renungan kehidupan, sosial masyarakat, berbangsa, dan kepemimpinan
Renungan kehidupan, sosial masyarakat, berbangsa, dan kepemimpinanRenungan kehidupan, sosial masyarakat, berbangsa, dan kepemimpinan
Renungan kehidupan, sosial masyarakat, berbangsa, dan kepemimpinan
Woro Handayani
 
Renungan kehidupan berbangsa bernegara, dan kepemimpinan
Renungan kehidupan  berbangsa bernegara, dan kepemimpinanRenungan kehidupan  berbangsa bernegara, dan kepemimpinan
Renungan kehidupan berbangsa bernegara, dan kepemimpinan
Woro Handayani
 
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsikorelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
Imond Imondt
 
Makalah etika provesi pns
Makalah etika provesi pnsMakalah etika provesi pns
Makalah etika provesi pns
Septian Muna Barakati
 
Tugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasTugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasnetieli
 
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...Mus kamal
 
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdfBE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
Intan Wachyuni
 
7.-Etika-Administrasi-Dalam-Praktik.pptx
7.-Etika-Administrasi-Dalam-Praktik.pptx7.-Etika-Administrasi-Dalam-Praktik.pptx
7.-Etika-Administrasi-Dalam-Praktik.pptx
xvader
 
Pemerintahan yang tidak transparan
Pemerintahan yang tidak transparanPemerintahan yang tidak transparan
Pemerintahan yang tidak transparan
Guntur Raharjo
 
BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption Fraud, UMB, 2017
BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption  Fraud, UMB, 2017BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption  Fraud, UMB, 2017
BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption Fraud, UMB, 2017
Basori Basori
 
sosiologi agama
sosiologi agamasosiologi agama
sosiologi agama
bycycle
 
Teror penembakan anggota polri dan kondisi keamanan nasional (harian pelita 2...
Teror penembakan anggota polri dan kondisi keamanan nasional (harian pelita 2...Teror penembakan anggota polri dan kondisi keamanan nasional (harian pelita 2...
Teror penembakan anggota polri dan kondisi keamanan nasional (harian pelita 2...
Taruna Ikrar
 
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi Septyarini Emppink
 
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02Eccky Eccky
 
Hukum dan Administrasi Perncanaan, Konsep dan Kritik Good Governance
Hukum dan Administrasi Perncanaan, Konsep dan Kritik Good GovernanceHukum dan Administrasi Perncanaan, Konsep dan Kritik Good Governance
Hukum dan Administrasi Perncanaan, Konsep dan Kritik Good Governance
Muhammad Iqbal Dhanarto
 

Similar to Lapis final2a (20)

47 halaman KULIAH BIROKRASI INDONESIA.pptx
47 halaman KULIAH BIROKRASI INDONESIA.pptx47 halaman KULIAH BIROKRASI INDONESIA.pptx
47 halaman KULIAH BIROKRASI INDONESIA.pptx
 
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
BE & GG, Rudy Harland Seniang Sakti, Prof. Dr. Hapzi Ali, MM, Corruption and ...
 
Bahan Materi Forum Skpd Badiklat Dan Kepegawaian
Bahan Materi Forum Skpd Badiklat Dan KepegawaianBahan Materi Forum Skpd Badiklat Dan Kepegawaian
Bahan Materi Forum Skpd Badiklat Dan Kepegawaian
 
Peran Core Value ASN Dalam Reformasi Birokrasi
Peran Core Value ASN Dalam Reformasi BirokrasiPeran Core Value ASN Dalam Reformasi Birokrasi
Peran Core Value ASN Dalam Reformasi Birokrasi
 
Renungan kehidupan, sosial masyarakat, berbangsa, dan kepemimpinan
Renungan kehidupan, sosial masyarakat, berbangsa, dan kepemimpinanRenungan kehidupan, sosial masyarakat, berbangsa, dan kepemimpinan
Renungan kehidupan, sosial masyarakat, berbangsa, dan kepemimpinan
 
Renungan kehidupan berbangsa bernegara, dan kepemimpinan
Renungan kehidupan  berbangsa bernegara, dan kepemimpinanRenungan kehidupan  berbangsa bernegara, dan kepemimpinan
Renungan kehidupan berbangsa bernegara, dan kepemimpinan
 
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsikorelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
korelasi antara kepemimpinan dengan korupsi
 
Makalah etika provesi pns
Makalah etika provesi pnsMakalah etika provesi pns
Makalah etika provesi pns
 
Tugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uasTugas analisis kebijakan publik uas
Tugas analisis kebijakan publik uas
 
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
Aktualitas Birokrasi Dalam Menjawab Tantangan Reformasi Birokarasi ( MUSKAMAL...
 
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdfBE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
BE&GG, Intan Wachyuni, Hapzi Ali, Korupsi, Universitas Mercu Buana.2017.pdf
 
7.-Etika-Administrasi-Dalam-Praktik.pptx
7.-Etika-Administrasi-Dalam-Praktik.pptx7.-Etika-Administrasi-Dalam-Praktik.pptx
7.-Etika-Administrasi-Dalam-Praktik.pptx
 
Pemerintahan yang tidak transparan
Pemerintahan yang tidak transparanPemerintahan yang tidak transparan
Pemerintahan yang tidak transparan
 
BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption Fraud, UMB, 2017
BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption  Fraud, UMB, 2017BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption  Fraud, UMB, 2017
BE & GG13, Basori, Hapzi Ali, Corruption Fraud, UMB, 2017
 
sosiologi agama
sosiologi agamasosiologi agama
sosiologi agama
 
Teror penembakan anggota polri dan kondisi keamanan nasional (harian pelita 2...
Teror penembakan anggota polri dan kondisi keamanan nasional (harian pelita 2...Teror penembakan anggota polri dan kondisi keamanan nasional (harian pelita 2...
Teror penembakan anggota polri dan kondisi keamanan nasional (harian pelita 2...
 
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
 
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
Masalahkorupsidiindonesianew 140506113046-phpapp02
 
Panca no 1
Panca no 1Panca no 1
Panca no 1
 
Hukum dan Administrasi Perncanaan, Konsep dan Kritik Good Governance
Hukum dan Administrasi Perncanaan, Konsep dan Kritik Good GovernanceHukum dan Administrasi Perncanaan, Konsep dan Kritik Good Governance
Hukum dan Administrasi Perncanaan, Konsep dan Kritik Good Governance
 

Lapis final2a

  • 1. reformasibirokrasi_syakrani_2013 Roots for Radicals: Radical changes for radical results Syakrani rony_sandra25@yahoo.com Reformasi birokrasi di banyak negara berkembang tidak menyentuh akar perma- salahannya; ia kerap terperangkap pada formalisme, dangkal dan tidak komprehensif. Karena itu, reformasi birokrasi sering membuat masalah menjadi tidak lebih baik (Gerald Caiden, 1991)
  • 2. P a g e | 2 reformasibirokrasi_syakrani_2013 Roots for Radicals1 Syakrani2 (rony_sandra25@yahoo.com) Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu; Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan; Di negeriku anak lelaki, anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu; Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari; Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.  Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia, Taufik Ismail Kemerosotan moral bangsa terjadi, karena semua institusi yang menyangga republik ini telah kehilangan alasan adanya (raison d’être).  Hery Priyono Semenjana eformasi Birokrasi Gelombang I berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 15/2008 – periode 2004 – 2009 – sudah berlalu, walau tanpa jejak yang jelas dan bukti-bukti yang dapat diandalkan tentang dampak positifnya terhadap penyehatan birokrasi pemerintahan kita. Menurut peraturan ini, reformasi birokrasi masih berskala terbatas, instansional, dengan sasaran mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, good governance. Area perubahannya mencakup kelembagaan (organisasi), budaya organisasi, ketatalaksanaan, regulasi-deregulasi, dan sumberdaya manusia. Gelombang II berskala instansional sekaligus nasional, yang dimulai sejak 2010 dan akan berakhir setahun lagi, tahun 2014. Sasaran dan area perubahannya diperluas mencakup: terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, dan peningkatan akuntabilitas kinerja birokrasi, yang didukung oleh perubahan-perubahan organisasi (organizational development), tata- 1Makalah disajikan pada Sosialisasi Reformasi Birokrasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Banjarbaru di Hotel Roditha, Banjarbaru pada 06 April 2013. 2Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan. R
  • 3. P a g e | 3 reformasibirokrasi_syakrani_2013 laksana, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia aparatur pemerintah, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, pola pikir dan budaya kerja. Periode ini memang belum genap di penghujungnya, tetapi sampai sekarang sulit juga kita melihat hasil-hasil positifnya yang signifikan bagi penyehatan birokrasi, yang berdampak terhadap pemberantasan KKN, peningkatan akuntabilitas pelayanan publik, dan peningkatan daya saing negara dan daerah. Justeru dalam periode ini korupsi kian menggurita menjerat elite politik dan pemerintahan. Celakanya lagi, di periode 2010 – 2014 rakyat menyaksikan terjadinya mutasi genetika institusi-institusi utama negara – executive, legislative, dan judicative (dikenal dengan istilah trias politica). Institusi-institusi utama ini semakin mendapat ketidakpercayaan publik sebagai representasi paling konstitusional rakyat yang amanat menjalankan fungsi mensejahterakan penduduk. Senyap-senyap kita mulai mendengar istilah-istilah lain untuk menyebut lembaga-lembaga utama itu, yakni executhief untuk executive, legislathief legislative), dan judicathief untuk judicative. Istilah alternatif ini menggambarkan terjadinya institutional decay pada tiga lembaga utama tersebut. Secara harfiah, kata thief berarti pencurian milik orang lain dengan senyap-senyap, tanpa paksaan dan kekerasan. Kalau makna harfiah ini kita rujuk, maka mutasi genetika institusional menggambarkan terjadinya penyimpangan fungsi-fungsi kelembagaan dari tiga lembaga utama tersebut. Alih-alih mengurus negara untuk kemartabatan bangsa, elite-elite politik dan pemerintahan di tiga lembaga tersebut tanpa rasa malu meng-thief milik negara dan/atau milik rakyat untuk kepentingan sendiri baik dengan culas maupun sistemik. Priyono menegaskan, kemerosotan moral bangsa terjadi, karena semua institusi yang menyangga republik ini telah kehilangan alasan adanya (raison d’être). Kementerian Dalam Negeri menyimpan catatan (dugaan) korupsi yang dilakukan oleh anggota legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya lebih dari 42 anggota DPR terseret kasus korupsi. Sejak 2004 sampai 2012 tercatat sekurang-kurangnya sebanyak 710 anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia tersangkut kasus korupsi. Selama periode 2004 - 2012, Kemendagri memberi izin pemeriksaan terhadap 2.976 anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia; sebanyak 2.545 izin pemeriksaan untuk anggota DPRD
  • 4. P a g e | 4 reformasibirokrasi_syakrani_2013 Kabupaten/Kota dan 431 anggota DPRD tingkat Provinsi, yang sebagiannya menyangkut dugaan tindak pidana korupsi. Catatan ini, tentu saja, belum mencakup tindakan-tindakan korupsi yang berhasil dihambat untuk tidak menguap ke ranah hukum. Kasus korupsi di lembaga legislatif – legislathief – tidak berdiri sendiri. Pertukaran kepentingan dengan lembaga eksekutif demi sebuah kebijakan politik dan kebijakan publik, terutama dalam penyusunan APBN atau APBD, telah lama dijadikan ajang pemburuan rente (rent seeking) baik untuk memperkaya diri sendiri maupun untuk “setoran” ke partai politik. Sekurang-kurangnya ada 158 kepala daerah, yang terdiri atas gubernur, walikota, dan bupati, tersangkut kasus korupsi. Beberapa di antaranya sudah divonis bersalah. Pertukaran ini kemudian membentuk sebuah wadah selingkuh nista, yakni selingkuh nista execu- legislathief. Selingkuh nista ini sesungguhnya dapat dengan mudah dikenali dan diatasi seandainya lembaga penegak hukum, pelindung keadilan, perawat hukum (judicative) berfungsi sesuai dengan kultur hukum yang sehat, habitus hukum yang beradab dalam basis moral/etika asas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tetapi kita sering menyaksikan sendiri begitu banyak kelucuan dan parodi dalam penegakan hukum. Pada 2009, Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi pada 78 hakim. Kemudian, pada 2010, sebanyak 107 hakim mendapat teguran hingga diberhentikan. Catatan kelabu penagak hukum yang melanggar hukum pasca-2010 sekelam keadaan sebelumnya. Fakta ini, habitus nista ini, selingkuh bejad ini, mestinya menyadarkan kita tentang konteks-konteks ekologis sosio-kultural, sosio-politik, dan konteks-konteks lain dari penggelindingan reformasi birokrasi. Guru besar administrasi publik, Mustopadidjaja (2003) pernah mengemukan, reformasi birokrasi adalah syarat utama pemberantasan KKN. Untuk kasus Indonesia, pandangan ini sangat semenjana (mediocare). Semestinya, pemberantasan KKN, terutama korupsi, diposisikan sebagai syarat mutlak bagi reformasi birokrasi. Artinya, reformasi birokrasi tidak boleh lagi dipahami sebatas isu- isu dan agenda-agenda pinggiran seperti modernisasi manajemen kepegawaian; restrukturisasi, downsizing, rightsizing, perubahan manajemen dan organisasi; rekayasa proses administrasi pemerintahan; anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif; hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam
  • 5. P a g e | 5 reformasibirokrasi_syakrani_2013 pembangunan dan pemerintahan (Prasojo dan Kurniawan, 2008). Meskipun isu-isu dan agenda-agenda itu penting, tetapi ia tetap akan mandul menghadapi kendala yang bersumber dari persoalan besarnya. Pengabaian konteks-konteks ekologis dalam penggelindingan reformasi birokrasi, apa lagi di daerah, berarti dengan sistematik kita ingin menciptakan kondisi agar gagasan dan program reformasi birokrasi tetap dianggap tidak strategis. Di negara-negara yang sudah memiliki strong culture, seperti di Singapore, penggelindingan reformasi birokrasi yang hanya menyentuh isu- isu dan agenda-agenda itu bisa mengantarkannya ke public administration take-off, tetapi untuk kasus di negeri ini, isu-isu dan agenda-agenda tersebut hanya membuat reformasi birokrasi menjadi isu/agenda pinggiran, yang dianggap tidak dibutuhkan. Oleh karena itu, penggelindingan reformasi birokrasi membutuhkan pendekatan yang radikal, yang dalam tulisan ini disebut Roots for Radicals. Strategi Reformasi Budaya Kemiskinan terparah bangsa ini bukanlah kemiskinan sumberdaya, melainkan kemiskinan jiwa. Di tangan para pemimpin dengan mental pengemis; yang tak bisa memberi-melayani, hanya bisa diberi-dilayani, seberapa banyak pun kekayaan sumberdaya yang kita miliki tak akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya  Yudi Latif, 2013 Pancasila berserta nilai-nilai kultural luhurnya ada di dalam kitab suci dan dibacakan hikmat saat sumpah jabatan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, ia bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.  Diadaptasi dari Taufik Ismail Gagasan untuk memformat penggelindingan reformasi birokrasi dalam konteks reformasi budaya perlu diappresiasi. Walau gagasan ini bukanlah gagasan terbaru, tetapi tawaran ini sangat menantang, sekurang-kurangnya karena ini telah menempatkan keterbelakangan budaya (weak culture) sebagai inti persoalan keterbelakangan (peradaban) birokrasi. Catatan sejarah intelektual pernah memberi perhatian serius pada faktor budaya (culture) sebagai penentu kemajuan manusia (human progress). Pada 1940-an dan 1950-an, ilmuwan-ilmuwan seperti Margaret Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Edward Banfield, Alex Inkeles, Gabriel Almond, Sidney Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset telah menyinggung
  • 6. P a g e | 6 reformasibirokrasi_syakrani_2013 peran budaya dalam pembangunan ekonomi dan politik. Pada 1978, Brian May dalam tulisannya The Indonesia Tragedy mengemukakan, Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi negara maju. Tetapi, kemajuan ini dihadang kuat oleh hambatan kultural, sehingga semua syarat dan sumberdaya untuk maju menjadi tragedi, resources tragedy, resources curse. Tragedi dan kutukan sumberdaya. Pada 1985, Harrison melakukan studi tentang keterbelakangan sebagian besar negara Amerika Latin. Judul buku yang dia tulis dari hasil studinya itu menegaskan faktor paling utama keterbelakangan: nilai-nilai kultural. Underdevelopment Is a State of Mind: The Latin American Case. Dua puluh dua tahun kemudian, kesadaran tentang peran penting faktor budaya dalam pembangunan lahir kembali. Harrison bersama Huntington pada 22 – 25 April 1999 menyelenggarakan Simposium Internasional di the American Academy of Arts and Sciences, Cambridge, Massachusetts bertajuk Cultural Values and Human Progress. Hasil simposium ini pada 2000 dipublikasikan menjadi sebuah buku berjudul Culture Matters: How Values Shape Human Progress. Huntington memberi pengantar yang inspiratif untuk buku ini, terutama yang berkaitan dengan konsep culture. Menurut dia, konsep culture memiliki banyak arti pada setiap disiplin ilmu dan setiap konteks. Ia bisa dibatasi sebagai produk-produk intelektual, karya musik dan seni, atau susatera. Dalam antropologi, konsep culture diartikan sebagai seluruh cara hidup penduduk di sebuah masyarakat yang mencakup nilai-nilai, praktik- praktik sosial budaya, simbol-simbol, institusi-institusi, dan pola-pola hubungan antar-manusia. Tetapi, dalam konteks culture matters and human progress, konsep ini didefinisikan sebagai nilai-nilai, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi yang mendasari cara hidup penduduk di sebuah masyarakat. In this book, however, we are interested in how culture affects societal development; if culture includes everything, it explains nothing. Hence we define culture in purely subjective terms as the values, attitudes, beliefs, orientations, and underlying assumptions prevalent among people in a society. Dalam batasan-batasan itulah para ahli yang diundang untuk menyajikan kertas kerja menjelaskan peran culture dalam pembangunan. David Landes misalnya; dia membahas secara khusus peran culture dalam pembangunan ekonomi. Tulisannya, Culture Makes Almost All the Difference, menegaskan
  • 7. P a g e | 7 reformasibirokrasi_syakrani_2013 bahwa yang membuat perbedaan pembangunan ekonomi antar-negara adalah culture. Negara-negara yang dirujuk sebagai negara yang mampu membuat perbedaan dari sisi culture matters, antara lain, adalah Singapore & China. Mari kita coba telusuri sejenak kasus-kasus pengaruh kuat culture matters terhadap kemajuan dua negara ini, untuk kemudian kita refleksikan untuk Indonesia, khususnya yang terkait dengan reformasi birokrasi, terutama di daerah. Darinya nanti kita akan mendapati, culture di dua negara tetangga kita ini bukanlah sekadar rumusan elok nilai-nilai cultural, tetapi nilai-nilai kultural yang menjadi dan dijadikan prinsip-prinsip hidup baik dalam kehidupan individu dan masyarakat maupun kehidupan berbangsa, bernegara, dan berpemerintahan. Dalam perspektif character matters versi Lickona (1992), penduduk, elite politik dan pemerintahan dua negara ini bukan hanya knowing the good (moral knowing), tetapi juga loving the good (moral feeling) dan acting the good (moral action). Dua negara ini menyajikan sebuah cermin besar tentang budaya yang dihidupi; living culture, yang dalam proses pembentukan, habituasi, dan perawatannya menerapkan pendekatan roots for radicals, tidak quick-fix. Mari kita mulai dari contoh yang paling sederhana tentang China. Beberapa tahun yang silam, banyak kalangan sibuk memprediksi kapan China dapat mengalahkan Amerika Serikat sebagai negara adidaya. Pada 2008, Goldman Sachs memperkirakan China akan mengungguli AS pada 2050. Tetapi, New York Time dalam tulisannya China Passes Japan as Second-Largest Economy pada 15 Agustus 2010 mengemukakan, China akan dapat mengungguli AS pada 2030. Terakhir, IMF memprediksi China akan melampaui AS pada 2016.
  • 8. P a g e | 8 reformasibirokrasi_syakrani_2013 Cerita jejak-jejak kemajuan negara ini mengesankan. Pada 2000, China sudah dapat mengalahkan Italia. Pada 2005, 2006, dan 2007 berturut-turut giliran Perancis, Inggris, dan Jerman yang dilewati. Dan pada 2010, Jepang dilalui. Kalau prediksi IMF benar, maka tiga tahun lagi AS akan diungguli oleh China (Sinamo dan Siadari, 2013). Fakta tentang sebab-sebab di balik cerita sukses ini bermacam-macam. Satu yang paling utama adalah kombinasi antara strong leadership dan nilai-nilai budaya yang dihidupi, yang kemudian membentuk the Chinese Ethos.3 Makalah ini tidak akan menelusuri sumber-sumber etos tersebut. Rumusan sederhana tentang sumber etos China ditemukan di hasil riset Ying Fang (1995), yang mengidentifikasi 40 etos kerja yang dikelompokkan ke dalam enam nilai, yaitu: Nilai Etos Nilai Etos I. Kebangsaan 1. Patriotisme. 2. Rasa superioritas budaya. 3. Penghormatan terhadap tradisi. 4. Pendidikan. II. Hubungan inter- personal 5. Dapat dipercaya, amanah. 6. Keramahan, kemurahan hati. 7. Toleransi. 8. Harmoni dengan sasama manusia. 9. Kesantunan. 10. Kerendahan hati. 11. Keakraban. 12. Penghargaan terhadap ritus dan tradisi. 13. Membalas salam, berbuat baik dan berbagi. 14. Membalas kebaikan. 15. Menjaga martabat. 3Nilai-nilai kultural (cultural values) hanyalah penampakan sederhana dari culture dan bisa jadi hanya menyangkut moral knowing. Tetapi, etos (etos kerja, etos juang) melampaui moral knowing; ia adalah nilai-nilai kultural yang dihidupi; living culture yang membentuk karakter. Sinamo (2013) mendefinisikan etos kerja sebagai nilai-nilai fundamental pada individu, masyarakat, dan bangsa yang menjadi kekuatan penggerak perjuangannya dan yang membentuk kebiasaan-kebiasaan sosial dan praktik-praktik kerja keseharian, yang kemudian membentuk karakter individu, masyarakat, dan bangsa.
  • 9. P a g e | 9 reformasibirokrasi_syakrani_2013 III. Orientasi sosial 16. Kesalehan sosial. 17. Membela perempuan. 18. Penghormatan pada atasan. 19. Hubungan hirarkis berdasarkan status. IV. Sikap dalam bekerja 20. Kerja keras. 21. Komitmen. 22. Hemat. 23. Gigih. 24. Sabar. 25. Hati-hati 26. Cermat. 27. Luwes. V. Filosofi dalam berbisnis 28. Tidak bersaing. 29. Jalan tengah. 30. Kemakmuran. 31. Menolak korupsi. 32. Konservatif. VI. Sikap sebagai pribadi 33. Integritas. 34. Kejujuran. 35. Rasa malu. 36. Mandiri. 37. Tulus. 38. Percaya diri. 39. Tidak mudah terpengaruh. 40. Mampu menahan diri. Riset-riset lain mengemukakan, nilai-nilai luhur China bukan hanya dirawat dan dipelihara, tetapi diterapkan, terhabituasi, dan mambatin dalam keseharian hidup, sehingga ia membentuk karakter. Contoh yang mirip adalah kasus pengaruh kuat culture terhadap kemajuan Singapore. Neo dan Chen (2007) menuturkannya dengan apik dalam buku Dynamic Governance: Embedding Culture, Capabilities and Change in Singapore. Model ini kemudian lebih dikenal dengan model 3Cs: Culture, Capabilities, and Change, yang secara visual dilihat pada gambar berikut ini. Catatannya mengungkapkan, Singapore merupakan negara kecil tetapi dengan prestasi global governance yang unggul, seperti indeks daya saing negara, peringkat korupsi, HDI, iklim usaha/investasi, dan prestasi-prestasi lain yang terkait dengan tata-kelola kepemerintahannya. Bagian bawah dari model 3Cs menjelaskan, Singapore memiliki strong culture, a living culture, yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip dan keyakinan-keyakinan hidup berikut ini. 1. Prinsip-prinsip hidup: 1.1. Anti-korupsi. 1.2. Meritokrasi.
  • 10. P a g e | 10 reformasibirokrasi_syakrani_2013 1.3. Orientasi pasar. 1.4. Pragmatisme. 1.5. Multi-rasialisme 2. Keyakinan-keyakinan hidup: 2.1. Keaktifan negara (state activism). 2.2.Orientasi jangka panjang. 2.3. Relevansi. 2.4.Orientasi pertumbuhan. 2.5. Stabilitas. 2.6.Kearifan (prudence). 2.7. Kemandirian. Bukti bahwa culture (principles and belief) di negeri ini tidak sekadar dirumuskan, dirawat, dan dipelihara adalah komitmen untuk memungsikan culture pada tiga fungsi utama, yaitu: 1. Menghambat/ menghalangi/ melarang (to constrain). 2. Menghadapi (to confront). 3. Mempermudah (to catalyze). Sebagai contoh, prinsip anti-korupsi (incorruptibility) dan multi-rasialisme berfungsi melarang tindakan korupsi dan rasisme, serta menghukumnya dengan berat orang, apalagi pejabat publik, dan kelompok yang melakukannya. Prinsip orientasi pasar berimplikasi pada penerapan pasar bebas dalam bidang ekonomi. Tetapi, keyakinan tentang keaktifan negara (state activism) berfungsi menghadapi tantangan pasar bebas ini dengan menempatkan negara sebagai aktor utama. Praktik ini sering disebut state capitalism, yang juga diterapkan oleh China. Fungsi-fungsi culture inilah, selain sebagai bukti kultur yang dihidupi, berpengaruh kuat terhadap tingkat adaptasi governance negeri ini, karena dengannya berkembang tiga habitus mulya,
  • 11. P a g e | 11 reformasibirokrasi_syakrani_2013 yakni think ahead, think again, and think across. Tiga habitus inilah kemudian senantiasa mendorong negara dan pemerintah Singapore mengembangkan kapabilitas untuk menghadapi perubahan internal dan global. Inti kemajuan negeri ini adalah nilai-nilai budaya yang dihidupi/ diterapkan dalam keseharian hidup. Masalahnya sekarang adalah, apakah nilai-nilai kultural tersebut sedikit pun tidak bersifat universal, sehingga harus disebut The Chinese Ethos atau The Singapore Ethos? Lebih spesifik lagi, pertanyaannya adalah, apakah kultur besar kita – Pancasila – tidak mengandung nilai-nilai luhur yang membuat negara kita bisa maju? Jawabnya pasti tidak! Tetapi persoalannya adalah, nilai-nilai kulural kita yang bersemayam dalam kultur besar tersebut tidak dihidupi, belum menjadi living culture. Kita abai tidak menghidupi Pancasila beserta nilai- nilai sosio-kultural luhur turunannya baik sebagai pribadi dan anggota masyarakat, kelompok dan organisasi apa pun maupun sebagai pengemban amanat kedaulatan rakyat. Dalam perspektif Taufik Ismail, Pancasila berserta nilai-nilai kultural luhurnya ada di dalam kitab suci dan dibacakan hikmat saat sumpah jabatan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, ia bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi. Catatan sejarah bercerita tentang bagaimana Pancasila yang disepakati oleh orang-orang terbaik kita beberapa tahun silam bukan hanya untuk dijadikan fondasi kenegaraan dan kebangsaan, tetapi bercerita tentang visi bersama, impian bersama, cita-cita bersama untuk membentuk sebuah Negara Paripurna yang dilandasi oleh dasar-dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mampu menyelinap masuk membatin ke asas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang menjadi pengikat Persatuan Indonesia dan semangat ber-Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, untuk mewujudkan cita-cita Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kini, di usia bangsa ini yang ke-68, di saat sumberdaya alam kita kian menipis, di kala utang luar negeri bangsa ini makin menumpuk, bukan gambaran tentang Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang sedang kita saksikan, tetapi sebaliknya; Keamburadulan Sosial Bagi (sebagian besar)
  • 12. P a g e | 12 reformasibirokrasi_syakrani_2013 Rakyat Indonesia. Bila kelak anak-cucu kita bertanya, mengapa justeru keamburadulan sosial yang terjadi, bisakah kita menjelaskan kepada mereka bahwa ia terjadi lantaran: 1. Kita tidak lagi menjadikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar berbangsa dan bernegara yang utama; justeru kita sedang me- “nuhan”-kan diri pada asas Keuangan Yang Maha Kuasa. 2. Kita tidak lagi menjadikan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab sebagai landasan utama dalam mengurus bangsa dan negara; justeru kita sedang menggantinya dengan asas Kekuasaan Yang Licik dan Biadab. 3. Kita tidak lagi berkomitmen tulus pada sila Persatuan Indonesia untuk merawat ke-Indonesia-an yang paripurna; justeru dengan asas Kekuasaan Yang Licik dan Biadab kita melakukan Pengkhianatan Indonesia. 4. Orang-orang yang kita beri amanat untuk mengurus bangsa dan negara ini, para elite politik, para elite pemerintahan, para penentu kebijakan publik, secara sendiri-sendiri dan kolektif, melupakan sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Mereka menerapkan asas baru: Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Sindikat Kuasa dan Keculasan Permusyawaratan/Perwakilan. 5. Dan, sumber-sumber penyebab Keamburadulan Sosial Bagi (sebagian besar) Rakyat Indonesia bila ditelusuri dari empat habitus tak terpuji di atas. Jawaban-jawaban yang tepat atas pertanyaan itu perlu kita kemukakan sebagai bagian dari tanggung jawab moral kita kepada anak-cucu kita. Sebab, mereka akan mengatakan kepada kita: bumi Indonesia ini bukanlah milik kita, orang tua kita, tetapi hanyalah pinjaman dari mereka untuk kita. Implikasinya bagi kita adalah adanya tanggung jawab historis untuk meruwujudkan keadilan sosial lintas-generasi, ada tanggung jawab moral mewujudkan kemakmuran lintas-generasi, ada akuntabilitas politik untuk mewujudkan kemaslahatan lintas-generasi yang akan dituntut oleh anak- cucu kita kepada kita sebagai peminjam bumi Indonesia. Pancasila dirumuskan dan disepakati sebagai fondasi berbangsa dan bernegara bukan untuk kebutuhan sesaat, hanya untuk menyambut kemerdekaan RI saja, tetapi sebagai penjamin utama keadilan sosial lintas-
  • 13. P a g e | 13 reformasibirokrasi_syakrani_2013 generasi, kemakmuran lintas-generasi, kemaslahatan dan kemartabatan bangsa lintas-generasi. Dengan kata lain, Pancasila sejatinya dapat membimbing terwujudnya Negara Paripurna, yang dapat mencegah sejak diri terjadinya sial-sial kebangsaan, Pancasial, seperti dikemukakan di atas. Tugas menantang kita adalah bagaimana strategi reformasi budaya kita dalam rangka reformasi birokrasi “memaksa” setiap orang, setiap pegawai atau karyawan, setiap pejabat, elite birokrasi, dan elite politik untuk menghidupi nilai-nilai luhur itu. Konsepsi strategi kultural harus menyentuh unsur-unsur yang radikal dalam reformasi birokrasi. Ibarat iceberg (gunung es), konsep strategi reformasi budaya harus menyentuh bagian-bagian dasar dari gunung es. Isu-isu dan agenda-agenda seperti modernisasi manajemen kepegawaian; restrukturisasi, downsizing, rightsizing, perubahan manajemen dan organisasi; rekayasa proses administrasi pemerintahan; anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif; hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan, saya pikir masih menyentuh puncak gunung es, bukan dasarnya. Kesibukan kita menggelidingkan isu-isu dan agenda-agenda ini, walau penting juga, akan menggerus momen-momen historis berbangsa dan bernegara, yang secara historis pula mempertebal tambatan-tambatan kultural untuk maju dan tampil beda sebagai bangsa yang bermartabat. Dibutuhkan pendekatan lain yang lebih substansial. Roots for Radicals Beruntunglah kita bila hari ini kita lebih baik daripada hari kemarin; merugilah kita bila ternyata hari ini kita hanya sama dengan hari kemarin; tetapi celakalah kita bila hari ini kita lebih jelek daripada hari kemarin  Kearifan Profetik Konsep roots for radicals4 melengkapi trilogi konsep atau strategi yang dikembangkan oleh Alinsky untuk melakukan perubahan mendasar dan organik untuk kasus marjinalisasi sosial, budaya, ekonomi, dan politik penduduk. Dua konsep dan strategi sebelumnya adalah reveille for radicals dan rules for radicals. 4Istilah radicals dalam konsep roots for radicals, menurut penulis buku Roots for Radicals – Edward T. Chambers (2010) – berarti roots (Latin), yang bermakna mendasar. Jadi, konsep ini lebih jauh pengertiannya ke makna revolusioner, tetapi lebih dekat ke makna mendasar – ke akar-akarnya – dan komprehensif.
  • 14. P a g e | 14 reformasibirokrasi_syakrani_2013 Tiga naskah yang membentuk trilogi strategi perubahan mendasar ini perlu ditengok dan dipelajari secara cermat untuk kemudian diadaptasi untuk menggelindingkan kebijakan dan program reformasi birokrasi dari entry point reformasi budaya. Alasan sederhananya adalah, karena reformasi birokrasi membutuhkan perubahan mendasar dan komprehensif. Tawaran strategi reformasi budaya itu sendiri menyiratkan adanya kesadaran tentang urgensi perubahan mendasar dan menyeluruh itu. Salah satu ciri khas dari pendekatan roots for radicals ini, selain mendasar dan menyeluruh, adalah penekanannya pada organizing for public power, for community action, and for public justice pada ranah mikro, sehingga semua institusi pada ranah ini dapat melakukan community empowerment. Dengannya penduduk, komunitas, dan institusi-institusinya kemudian dapat mempengaruhi arah kebijakan, mampu menyalurkan aspirasi warga, menjadi tempat pengembangan civic culture, menjadi kekuatan pendorong perubahan yang terhambat oleh patologi birokrasi, dan menjadi mitra pemerintah untuk melakukan perubahan. Kalau yang dimaksud dengan tawaran strategi reformasi budaya untuk reformasi birokrasi adalah perubahan mendasar dan komprehensif – roots - -, maka tidak berlebihan bila kita mulai memikirkan bagaimana caranya memetakan sifat kemendasaran dan kekomprehensifan perubahan yang diinginkan, serta bagaimana caranya melakukan community and public organizing. Tulisan ini menawarkan sebuah model hipotetik reformasi birokrasi dari perspektif roots for radicals (mendasar dan komprehensif) seperti disajikan pada gambar di bawah ini. Sekurang-kurangnya ada tiga ruang publik pada ranah mikro ini yang perlu ”direkayasa” untuk menghasilkan reformasi birokrasi yang mendasar dan komprehensif, yang dipilari oleh kekuatan institusi sosial, yaitu: 1. Ranah sosial budaya: 1.1. Keluarga berkarakter, yang membiasakan perilaku berkarakter kepada anggota keluarga (FC: family of character). 1.2. Sekolah berkarakter, yang menjadi mitra keluarga dalam pendidikan karakter untuk anggota keluarga (SC: school of character). 1.3. Masyarakat berkarakter, yang mendukung sekolah dan keluarga
  • 15. P a g e | 15 reformasibirokrasi_syakrani_2013 berkarakter (CC: community of character). (catatan: pada tiga ruang publik ini, proses habituasi karakter dilakukan, sehingga menghasilkan sumberdaya manusia yang berkarakter) 1.4. Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok dan organisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukan pendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasi sosial tentang pentingnya karakter. 1.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsi pemantauan (watch) dan pengoreksi karakter melalui publikasi, penyiaran, diskusi-diskusi terbuka tentang kasus-kasus karakter, serta mampu memberi pendidikan dan kesadaran karakter (MS). (catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massa yang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) ke bawah: menjadi agent of character education; (b) ke atas:
  • 16. P a g e | 16 reformasibirokrasi_syakrani_2013 menjadi penyuara tindakan berkarakter dan pemrotes perilaku tak berkarakter oleh elite birokrasi dan politik) 2. Ranah perundang-undangan/hukum: 2.1. Keluarga sadar hukum, yang membiasakan perilaku sadar hukum kepada anggota keluarga, sehingga terampil bertindak sesuai dengan hak & kewajiban sebagai warga (FH: family of law). 2.2.Sekolah sadar hukum, yang menjadi mitra keluarga dalam pendidikan sadar hukum untuk anggota keluargan (SH: school of law). 2.3. Masyarakat sadar hukum, yang mendukung sekolah dan keluarga sadar hukum (CH: community of law). (catatan: sama dengan ruang publik pertama, pada tiga ruang publik ini, proses habituasi perilaku sadar hukum dilakukan, sehingga menghasilkan sumberdaya manusia yang terampil bertindak sesuai dengan norma sosial dan hukum yang berlaku) 2.4.Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok dan organisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukan pendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasi sosial tentang pentingnya perilaku sadar hukum. 2.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsi pemantauan (watch) dan pengoreksi tindakan pelanggaran hukum dan norma melalui publikasi, penyiaran, diskusi-diskusi terbuka tentang kasus-kasus hukum, serta mampu memberi pendidikan dan kesadaran hukum kepada warga (MH). (catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massa yang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) ke bawah: menjadi agent penyadaran hukum; (b) ke atas: menjadi penyuara tindakan pelanggaran hukum dan pemrotes perilaku menyimpang oleh elite birokrasi dan politik; serta pemantau, dan penyuara masalah sinergitas peraturan perundang-undangan, termasuk seluruh per-UU- an menyangkut/menghambat reformasi birokrasi ). 3. Ranah politik. 3.1. Keluarga melek politik, yang membiasakan perilaku sadar politik kepada anggota keluarga, sehingga terampil bertindak sesuai
  • 17. P a g e | 17 reformasibirokrasi_syakrani_2013 dengan hak & kewajiban politik sebagai warga (FP: family of politic). 3.2. Sekolah melek politik, yang menjadi mitra keluarga dalam pendidikan sadar politik untuk anggota keluarga (SP: school of politic). 3.3. Masyarakat melek politik, yang mendukung sekolah dan keluarga sadar politik (CP: community of politic). (catatan: tiga ruang publik ini menyelenggarakan pendidikan melek dan sadar politik, sehingga menghasilkan sumberdaya manusia yang terampil bertindak sesuai dengan hak dan kewajiban politiknya sebagai warga) 3.4. Organisasi-organisasi masyarakat madani/CSOs (kelompok dan organisasi sosial) yang tangguh, yang mampu melakukan pendidikan komunitas dalam proses penyadaran dan animasi sosial tentang pentingnya melek politik sebagai warga politik. 3.5. Media massa yang edukatif, yang mampu menjalankan fungsi pemantauan (watch) dan pengoreksi tindakan politicking (baca: selingkuh nista) melalui publikasi, penyiaran, diskusi-diskusi terbuka tentang kasus-kasus politicking, serta mampu memberi pendidikan politik (MP). (catatan: sinergi antara CSOs yang tangguh dan media massa yang edukatif akan menempatkan dua institusi ini: (a) ke bawah: menjadi agent penyadaran hak dan kewajiban politik sebagai warga politik; (b) ke atas: menjadi penyuara dan pemrotes perilaku politicking (baca: selingkuh nista) dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik/keputusan politik oleh elite birokrasi dan politik, serta menjadi pengoreksi masalah sinergitas keputusan-keputusan politik yang menghambat reformasi birokrasi ). Literatur-literatur tentang community organizing, periska misalnya buku yang ditulis oleh Si Khan, Creative Community Organizing (2010) dan oleh Loretta Pyles, Progressive Community Organizing (2009), juga senantiasa menekankan adanya sense of deprivation di pihak publik (warga atau komunitas) akibat tidak atau dilaksanakannya sebuah kebijakan publik, yang dengannya publik tidak terlayani dengan baik, terhambat aksesnya untuk berpartisipasi, terampas peluangnya untuk menentukan pilihan (self-
  • 18. P a g e | 18 reformasibirokrasi_syakrani_2013 determination), serta terganjal kemampuannya untuk meningkatkan kualitas hidup. Suasana deprivasi sosial, ekonomi, dan politik ini menumpuk menjadi kekecewaan yang bila tidak diorganisasi dengan baik akan menyebabkan rebellion (Moore, 1966) dan social movement (Gurr, 1970) atau sekurang-kurangnya akan memberi peluang bagi mereka yang mengalami deprivasi untuk mengembangkan ”senjata-senjata kaum lemah” untuk menuntut haknya kepada pemerintah (Scott, 1998). Strategi community organizing dalam konteks roots for radicals yang dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat madani (CSOs) dan media massa, seperti dijelaskan di atas, menjadi media pelahiran dan penyadaran warga tentang sense of deprivation, yang disebabkan oleh gagal atau tidak efektifnya pelaksanaan program reformasi birokrasi, sehingga warga tidak mendapat pelayanan bermutu, tidak memiliki wakil yang peduli publik, tidak memiliki aparatur pemerintah yang professional, yang karenanya negara/daerah belum mampu meningkatkan daya saing dan kesejahteraan warganya. Dengan demikian, community organizing yang dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat (CSOs) menjadi media pengelola kekecewaan publik di satu sisi, tetapi sekaligus, di sisi lain, juga berperan sebagai penyeimbang kekuataan political bargaining yang mampu mencegah politicking habits oleh elite pemerintahan dan politik dalam formulasi dan implementasi kebijakan publik/keputusan politik, termasuk semua kebijakan dan keputusan politik tentang reformasi birokrasi. Relasi demand- supply Yang menyogok dan yang disogok sama-sama menanggung dosa besar  Al-Hadits Pendekatan roots for radicals memutus mata-rantai pembentuk permintaan bad practices di pihak warga dan publik (menyuap, meminta kemudahan, dsb.) dan bad practices di pihak birokrat, elite pemerintahan dan politik (menuntut komisi, pungutan liar, dsb.). Sebaliknya, pendekatan ini justeru menuntut sebuah bangunan relasi yang sehat antara warga/publik (pengusaha) dan birokrat- elite pemerintahan-elite politik. Warga/publik (pengusaha) berani menolak penawaran kemudahan dan peluang untuk menyuap (bad practices) birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik, apa pun risikonya. Bahkan
  • 19. P a g e | 19 reformasibirokrasi_syakrani_2013 mereka berani memprotes penawaran tersebut, karena tidak sesuai dengan baku karekter (standard of character). Warga dan publik berani memprotes dan mendemo birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik, karena merasa dirugikan oleh jalan yang cepat rusak, karena dananya sudah dikorupsi oleh mereka. Warga dan publik akan berani memprotes dan mendemo elite pemerintahan dan elite politik, karena mereka mengangkat kepala dinas dan sekretaris daerah yang tidak profesional. Di sisi lain, birokrat, elite pemerintahan, dan elite politik berani menolak permintaan bad practices warga dan publik (suap atau sexual gratification untuk mendapat kemudahan pelayanan atau proyek). Bahkan mereka dapat mengajukan keberatan kepada penegak hukum atas tindakan warga/publik yang melanggar standard of profesionalsm. Tawaran strategi reformasi budaya dalam reformasi birokrasi harus mampu memotong mata-rantai relasi yang tidak sehat tersebut, sehingga masalah dan seluruh agenda reformasi birokrasi tidak sekadar berputar- putar di tubuh birokrasi, karena asumsi sesat bahwa inti/akar persoalan reformasi birokrasi ada di tubuh birokrasi. Pendekatan roots for radicals dan strategi reformasi birokrasi sekurang- kurangnya memiliki dua pesan. Pertama, ia adalah representasi tentang kesadaran bahwa langkah-langkah yang sudah kita tempuh untuk reformasi birokrasi tidak memadai lagi; ia gagal memotong mata-rantai supply and demand of bad practices. Kedua, ia juga merupakan pantulan kesadaran tentang perlunya pendekatan baru yang tidak quick-fix, tetapi komprehensif dan mendasar, yang mampu meletakkan fondasi bangunan relasi supply and demand of good practices. Pendekatan yang cocok untuk tujuan ini adalah pendekatan roots for radicals. Istilah radicals bermakna roots, mendasar dan komprehensif, menjangkau esensinya, sebab-sebab utama patologi birokrasi, yang juga berada di luar birokrasi (pada warga, pada keluarga, pada masyarakat, pada organisasi kemasyarakatan/CSOs, parpol, pada korporasi, dst), menjangkau masuk ke sebanyak aspek yang langsung dan tidak langsung terkait dengan penyehatan birokrasi, sehingga reformasinya mendalam. Radical changes for radical results adalah “titah” Ludeman dan Erlandson (2003). Garis-garis besar perubahan mendasar yang radikal ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:
  • 20. P a g e | 20 reformasibirokrasi_syakrani_2013 1. Visi reformasi birokrasi tidak boleh dibatasi hanya sekadar membangun kembali jadi-diri birokrasi, seperti dikemukakan oleh Dwiyanto (2011), tetapi harus bervisi ”Membangun Jati-diri Bangsa.” Banyak negara maju dengan tingkat peradaban unggul dikenal karena peradaban manajemen dan birokrasi publiknya. Visi ini juga bertujuan untuk menembus batas-batas sektoral dan departemental, serta sekat-sekat sosiologis-kultural. Reformasi birokrasi secara sektoral/departemental tidak boleh lagi dipahami sebagai tugas dan tanggung jawab utama Kementerian Pendayaguna- an Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tetapi juga tanggung jawab semua kementerian dan lembaga, serta perangkat institusional negara sampai ke desa. Secara sosio-kultural, reformasi birokrasi yang bervisi membangun jati-diri bangsa juga menjadi tanggung jawab warga, yakni warga yang berkarakter (berakhlak mulya), berkesadaran hukum dan politik, sehingga mereka, baik sendiri-sendiri maupun kolektif; memiliki kesadaran tentang sense of deprivation, karena mereka tidak mendapat pelayanan publik yang bermutu, menolak ajakan kolusi nista polisi, birokrat, pejabat, dan siapa pun; serta memprotes tindakan tak bermoral elite pemerintah dan politik. Secara sosio-kultural pula, organisasi-organisasi kemasyarakatan dan media massa harus aktif mengorganisasi komunitas melalui kegiatan advokasi, pendidikan komunitas, animasi sosial, dan pemberdayaan komunitas agar warga tidak melakukan tindakan amoral ketika berurusan dengan birokrasi, menolak ajakan solusi nista, dan bahkan mampu memprotes tindakan-tindakan nista elite pemerintahan dan politik. 2. Audit peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional tidak boleh dibatasi pada peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di bidang aparatur, tetapi semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional yang langsung dan tidak langsung mendorong/menghambat visi membangun jati-diri bangsa melalui reformasi birokrasi. Audit ini bertujuan untuk memastikan adanya tingkat konsistensi dan koherensi semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional di bidang aparatur pemerintah dengan semua peraturan per-UU-an dan
  • 21. P a g e | 21 reformasibirokrasi_syakrani_2013 kebijakan nasional yang tidak langsung berhubungan dengan reformasi birokrasi, termasuk juga konsistensi dengan UU pemilu, mineral dan pertambangan, pembinaan kepegawaian, parpol, pemerintahan daerah, dan lain-lain. Koherensi dan konsistensi peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional menjadi strategis, karena pada banyak kasus, sebagai contoh, inovasi-inovasi gagasan pembaruan birokrasi dan kultur organisasi pada level administratif/administrative domain (misalnya level dirjen, sekda dan kepala dinas) tidak bisa dilaksanakan lantaran bertentangan dengan political interest presiden, menteri, gubernur, walikota, atau bupati (political domain). 3. Community organizing for community action and empowerment oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan media massa menjadi syarat mutlak untuk memastikan terbangunnya keadaban penyaluran public voice dan public action untuk kasus-kasus pelanggaran etika profesionalisme pelayanan publik, penempatan pejabat, kolusi nista antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam penetapan dan implementasi kebijakan publik, keputusan politik, dan penegakan hukum. 4. Law enforcement yang konsisten dan berefek jera bagi pelanggaran semua peraturan per-UU-an dan kebijakan nasional yang langsung dan tidak langsung berhubungan dengan reformasi birokrasi. Sebagai
  • 22. P a g e | 22 reformasibirokrasi_syakrani_2013 contoh, dana perimbangan keuangan kepada daerah akan dikurangi manakala terindikasi pemerintah tidak melaksanakan reformasi daerah atau bila kepala daerah nepotistik dalam penempatan pejabat. 5. Dukungan dan legiitimasi nilai-nilai sosial budaya dalam pengertian adanya jaminan bahwa semua kode etik, etika profesionalisme, dan nilai-nilai kultural luhur lainnya, yang merupakan turunan dari Pancasila dan/atau yang bersumber dari kitab suci mempedomani kerja dan pelaksanaan tugas pembangunan dan pemerintahan. Ajakan Dwiyanto (2011) untuk menciptakan kultur birokrasi baru kurang relevan di sini. Kita belum memilki peradaban manajemen dan kultur birokrasi yang unggul bukan karena kekosongan pegangan nilai-nilai kultural, tetapi karena nilai-nilai kultural tersebut tidak dilaksanakan, belum menjadi etos kerja, dan belum dihidupi. Untuk menjamin terwujudnya nilai-nilai kultural menjadi etos kerja, ada tiga gagasan perlu dipertimbangkan. Pertama, law enforcement yang konsisten dan berefek jera bagi pelanggaran nilai-nilai kultural dan budaya organisasi. Kedua, merayakan kemenangan-kemenangan kecil dalam bentuk memberi reward kepada siapa pun yang dengan konsisten dan serius menjalankan nilai-nilai kultural dalam pekerjaannya akan menjadi media penyebaran virus-virus kemajuan dan karakter. Ketiga, bangunan pribadi berkarakter hasil dari family of character, school of character, and community of character; produk dari family of law and politic, school of law and politic, and community of law and politic akan menjadi jaminan sustainabilitas reformasi birokrasi sebagai bagian penting membangun jati-diri bangsa. Bangunan pemikiran-pemikiran di atas bisa disebut model CHAEM (gambar di bawah ini) sebagai kristalisasi pendekatan roots for radicals. Catatan penutup Barangsiapa yang merampas hak orang lain dengan melanggar sumpahnya, maka Allah mewajibkan neraka dan mengharamkan surga baginya  Al-Hadits Demikian pokok-pokok pikiran yang bisa saya sampaikan pada hari ini. Inti pemikirannya bertumpu pada keyaninan ini: no action, no change; limited
  • 23. P a g e | 23 reformasibirokrasi_syakrani_2013 action, limited change. Tawaran strategi reformasi budaya dalam reformasi birokrasi, mestinya, tidak mengulangi lagi kekurang-handalan pendekatan lama, yang mengikuti selera penguasa, tidak visioner, dan quick-fix. Saatnya sekarang kita membangun pemahaman yang lebih sehat tentang reformasi birokrasi, agar kita memiliki sosok birokrasi yang berkarakter (governance of character), sebagai bagian penting penjamin kemartabatan jati-diri bangsa. Dengan cara inilah, kita tidak akan malu lagi menjadi orang Indonesia, karena kita berhasil tidak mewariskan malu itu kepada anak-cucu kita. Dan anak-cucu kita bangga bersanding dengan bangsa apa pun, karena mereka tidak mewarisi kebiasaan nista kita sebagai orang tuanya, entah semasa hidupnya kita adalah warga biasa, pengusaha, pegawai negeri, polisi, TNI, sekda, kepala dinas, walikota, bupati, gubernur, elite birokrasi, menteri dan wakil menteri, politisi, atau anggota legislatif. Menutup diskusi kita hari ini, saya merasa perlu untuk mengutip pendapat Einstein, yang relevan dengan diskusi kita: tidak mungkin kita dapat menghadapi masalah baru dengan tingkat kesadaran dan cara berpikir lama yang menyebabkan munculnya masalah tersebut. Reformasi birokrasi tidak boleh lagi mengulangi langkah lama, yang membuatnya mandeg. Semoga bermanfaat. Amien!