Adzan merupakan pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan lafazh khusus dan hukumnya adalah wajib. Adzan memiliki keutamaan besar di hari kiamat dan disunnahkan untuk dilakukan dengan tata cara tertentu seperti menggabungkan dua takbir dalam satu nafas dan mengulangi kalimat syahadat. Adzan shubuh pertama memiliki kekhususan dengan menambahkan lafazh tambahan.
1. Hukum Adzan, Keutamaan Adzan Dan Tata Cara Adzan
Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
A. Hukum Adzan Adzan adalah pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan lafazh yang
khusus [1]. Hukumnya adalah wajib.
Dari Malik bin al-Huwairits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: َﻟْﻴَﺆُﻴﱠُﻟْ ﻟ
ذ اأَﻟْﻴَﻴُُﻟَ .
"Jika telah tiba (waktu) shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan
untuk kalian. Dan hendak-lah yang paling tua di antara kalian mengimami kalian."[2]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan adzan, dan perintah mengandung pewajiban
sebagaimana yang telah diketahui.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama kami untuk
memerangi sebuah kaum, tidaklah beliau berperang hingga datangnya pagi. Beliau menunggu, jika
mendengar adzan, beliau tidak memerangi mereka. Sebaliknya, jika tidak mendengar adzan, maka beliau
menyerang mereka." [3]
B. Keutamaan Adzan Dari Mu'awiyah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: اُْﻴَُﻟْ
“Sesungguhnya para mu-adzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari Kiamat.” [4]
Dari 'Abdurrahman bin 'Abdillah bin 'Abdirrahman bin Abi Sha'sha'ah al-Anshari kemudian al-Mazini dari
ayahnya, dia mengabarkan bahwa Abu Sa'id al-Khudri berkata kepadanya, “Sungguh aku melihat engkau
menyukai kambing dan gurun (pedalaman). Jika engkau berada di antara kambingmu atau di gurunmu,
maka adzanlah untuk shalat dan keraskanlah suaramu dengan seruan itu. Karena sesungguhnya
tidaklah jin, manusia, dan lain-lain mendengar suara mu-adzin melainkan mereka akan memberikan
kesaksian baginya di hari Kiamat." Abu Sa'id melanjutkan, "Aku mendengarnya dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam." [5]
C. Tata Cara Adzan Dari 'Abdullah bin Zaid bin 'Abdi Rabbih, dia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah sepakat untuk menabuh lonceng, padahal beliau membencinya karena
menyerupai kaum Nasrani, aku bermimpi berpapasan dengan seorang pria di malam hari. Ia
mengenakan dua pakaian hijau sambil membawa lonceng. 'Aku berkata kepadanya, “Wahai hamba
Allah, apakah engkau menjual lonceng?” Ia bertanya, “Apakah yang kau perbuat dengannya?" Aku
menjawab, "Kami menggunakannya untuk menyeru shalat." Dia berkata, "Maukah kau kutunjuki (cara)
2. yang lebih baik dari itu?" Aku berkata: "Tentu." Dia berkata, "Katakanlah: ذ ﻴ ﻴُُﻟَْﻠﻟذ ﻴ
َ ا ﻟ أْﻟذ ﻴ
ذ َ .ﷲ
ﻣَﺆَﻴﱠُأذ ﺆ ا ﻴ
َﻟُﻴْﻴُ
اﺆﺼﻼْ ﻋﻠ ّﻠﻲ ،
اﺼَﻟْ ّﻠﻲ ﻋﻠ ،
َ ا ْﻟ ﻴ .
Agak lama kemudian dia melanjutkan, "Kemudian jika engkau hendak mendirikan shalat
(mengumandangkan iqamat) engkau mengucapkan: ذ ﻴ ﻴُُﻟَْﻠﻟذ ﻴ
ﻴ َﻟُﻴُْ
ﻋﻠ ّﻠﻲ ،
اﺼَﻟْ
اﺆﺼﻼْ ﻴ َﺎ ﻟ ُﻴﺎ ﻴ ،
َ ا ْﻟ ﻴ ،
Ketika pagi tiba, aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kuberitahukan kepada
beliau tentang apa yang telah kulihat (dalam mimpi). Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya ini adalah mimpi yang benar insya Allah.” Kemudian beliau menyuruh adzan.
Dan Bilal budak yang dimerdekakan oleh Abu Bakar mengumandangkan adzan dengan (lafazh
tersebut).[6]
Disunnahkan agar mu'adzin menggabungkan dua takbir dalam satu nafas.
Dari ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Jika mu'adzin mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Maka hendaklah seorang
di antara kalian mengatakan, ‘Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.’ Kemudian jika mengatakan, ‘Asyhadu allaa
ilaaha illallaah.’ Maka dia mengatakan, ‘Asyhadu allaa ilaaha illallaah.’ ..." [7] Di sini terdapat isyarat yang
jelas bahwa muadzin menggabungkan setiap dua takbir dalam satu nafas. Dan pendengar juga
3. menjawab seperti itu. [8]
Disunnahkannya at-Tarjiil (Pengulangan). At-tarjiil adalah mengucapkan kembali dua kalimat syahadat
dengan suara keras sebanyak dua kali, setelah pengucapan dua kalimat syahadat sebanyak dua kali
dengan suara yang pelan. [9]
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan (dengan cara) ini,
“Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu
anna Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah.” Kemudian mengulang dan
mengucapkan, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, Asyhadu allaa ilaaha illallaah. Asyhadu anna
Muhammadar Rasulullaah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullaah. Hayya 'alash Shalaah. dua kali.
Hayya 'alal Falaah. dua kali. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaah.” [10]
At-Tatswib (*) Pada Adzan Shubuh Pertama. Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengajarinya adzan, di dalamnya terdapat lafazh, “Hayya 'alal falaah, hayya 'alal falaah. Ash-
shalatu khairun minan nauum, Ash shalatu khairun minan nauum.” Pada (adzan) awal Shubuh. (Lalu
dilanjutkan dengan) “Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laa ilaaha illallaah.” [11]
Al-Amir ash-Shan'ani berkata dalam Subulus Salaam (I/120): Ibnu Ruslan berkata, “At-Tatswib hanya
disyari'atkan pada adzan Shubuh pertama. Karena ia berfungsi membangunkan orang tidur. Adapun
adzan kedua berfungsi memberitahukan masuknya waktu dan seruan untuk shalat."
Disunnahkan adzan pada awal waktu dan mendahulukan khusus untuk shalat Shubuh. Dari Jabir bin
Samurah, dia berkata, “Bilal adzan jika matahari telah tergelincir, dan dia tidak mengurangi (sedikit pun
dari lafazh adzan). Dan dia tidak iqamat hingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar. Jika beliau
keluar, maka dia mengumandangkan iqamat ketika melihatnya." [12]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal
adzan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.” [13]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah mendahulukan adzan Shubuh dari waktunya
dengan sabdanya, “Janganlah adzan Bilal menghalangi salah seorang dari kalian dari sahur. Karena
sesungguhnya dia adzan -atau beliau bersabda: menyeru di malam hari agar orang yang shalat malam di
antara kalian kembali (istirahat) dan juga untuk membangunkan orang yang tidur di antara kalian.” [14]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA -Jakarta, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 -September 2007M] _____ Footnote [1]. Fiqhus
Sunnah (I/94). [2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/111 no. 631)], Shahiih Muslim
(I/465 no. 674). [3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/89/610)], ini adalah lafazhnya,
dan Shahiih Muslim (I/288 no. 382), dengan makna serupa. [4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir
(no. 6645)], Shahiih Muslim (I/290 no. 387). [5]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 625)], Shahiih al-
4. Bukhari (Fat-hul Baari) (II/87 no. 609), dan Sunan an-Nasa-i (II/12). [6]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan
Abi Dawud (no. 469)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (III/14 no. 244), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(II/169 no. 495), Sunan at-Tirmidzi (I/122 no. 189), secara ringkas, dan Sunan Ibni Majah (I/232 no. 706).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 527)], Shahiih Muslim (I/289 no. 385), dan Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (II/228 no. 523). [8]. Syarh Muslim karya an-Nawawi (III/79). [9]. Ibid. (*). Tatswib adalah
mengucapkan "Ash-Shalaatu khairun minan naum" ed [10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no.
191)], Shahiih Muslim (I/287 no. 379). [11]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 628)], Sunan an-Nasa-
i (II/7). [12]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 503)] Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (III/35 no. 283)
ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (I/423 no. 606), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/241 no.
533), dengan lafazh serupa. Dan makna "tidak mengurangi" adalah "Tidak meninggalkan lafazhnya
sedikit pun." Demikianlah pendapat asy-Syaukani dalam Nailul Authaar (II/31). [13]. Muttafaq 'alaihi:
[Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/104 no. 622)], dan Shahiih Muslim (II/768 no. 1092 (38)). [14].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/103 no. 621)], Shahiih Muslim (II/768 no. 1093),
dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VI/472 no. 2330).