Keseimbangan perekonomian tigas termasuk peran pemerintah
Mengindonesiakan Ekonomi Islam
1. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
1
EKONOMI ISLAM DI ALTAR KEINDONESIAN;
Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi1
Muhammad Sholihin2
(hanya_ilalang@yahoo.co.id)
“Apa yang masih tersisa untuk kita banggakan sebagai sebuah bangsa? Hanya sebuah
mozaik budaya, dan kearifan yang membentang dari Sabang hinga Merauke. Lantas apa
yang masih tersisa dalam benak kita sebagai seorang pribumi, melainkan orisinalitas nalar
dan pengetahuan yang bersumber dari keotentikan kita sebagai manusia Indonesia.”
--M.S : 26/04/2013--
[De]kolonialisasi Metodologi:
Sebuah Pendahuluan
Bagi pemikir dan ilmuwan, ruang untuk melahirkan teori itu begitu sempit
dan sumpek. Tidak banyak teori yang dapat dihasilkan, melainkan hanya repetisi,
bahkan hanya menguatkan teori yang telah ada, dan itupun berasal dari tradisi
asing—Barat dan Timur. Kedua tradisi ini telah menciptakan batas-batas ilmu
pengetahuan. Mekanisme yang diterapkan dalam pembatasan itu dapat
diilustrasikan dengan sebuah lapangan bola lengkap dengan peraturannya, dan
para ilmuwan hanya bisa bermain di dalam lapangan itu saja dan harus patuh pada
aturan-aturan dirumuskannya. Keluar dari keduanya (lapangan dan aturan) berarti
gagal. Lantas masih mungkinkah ilmuwan, khususnya ekonom muslim di Indonesia
melahirkan teori ilmu pengetahuan yang otentik, dan orisinil berdasarkan semangat
dan karakter mereka sebagai sebuah bangsa? Ini adalah sebuah pertanyaan
mendasar, atau lebih persisnya sebagai kesangsian awam terhadap keotentikan ilmu
ekonomi Islam. Dalam pemaknaan lainnya, pertanyaan ini adalah hasil dari gugatan
terhadap krisis ilmu pengetahuan yang disebabkan oleh kolonialisasi metodologi.
Kesangsian, atau senada dengan istilah Edward W. Said, “kritisime”
merupakan senjata untuk melawan berbagai bentuk tirani, dominasi dan segala
kekejaman metodologis. Tujuan sosialnya adalah ilmu pengetahuan yang non-
koersif dalam ikatan kebebasan, dan kemanusiaan.[i] Apa hubungan antara
pandangan Edward W. Said ini dengan gerak pengilmuan ekonomi Islam dewasa
1 Makalah ini dipaparkan pada launching & bedah buku “Pengantar Metodologi Ekonomi Islam:
Dari Mazhab Baqir as Sadr hingga Mazhab Mainstream” (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013) &
Workshop Metodologi Ekonomi Islam, dengan tema “Mengindonesiakan Paradigma Ekonomi Islam:
Tantangan dan Aplikasi”, IAIN Raden Patah Palembang, Tanggal 4 Mei 2013.
2 Penulis adalah Peneliti pada Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang, dan penulis buku
“Pengantar Metodologi Ekonomi Islam: Dari Mazhab Baqir as Sadr hingga Mazhab Mainstream”
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013).
2. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
2
ini? Ada dominasi, atau bahkan tirani metodologi dalam berbagai pertumbuhan
ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu ekonomi. Unifikasi sains; semacam
peleburan berbagai ilmu pengetahuan ke dalam positivisme, adalah bentuk
dominasi klasik dalam ilmu pengetahuan. Tanpa disadari kondisi ini mendorong
berkembangnya ilmu pengetahuan. Kuantitas ilmu pengetahuan meningkat, tetapi
ironis paradigma ilmu semakin sempit bahkan hanya dibatasi pada positivisme.
Krisis ilmu pengetahuan pun pecah. Berbagai kebuntuan, dan ketidakmampuan
ilmu pengetahuan lahir seiring dominasi itu.
Frijof Capra mendeskripsikan dominasi itu dengan:
“Kemenangan mekanika ala Newton pada abad kedelapan belas dan
kesembilan belas menetapkan fisika sebagai prototipe ilmu “keras” yang
digunakan untuk mengukur ilmu-ilmu lain dengan lawannya. Semakin dekat
ilmuwan berhasil untuk menandingi metode-metode fisika, dan semakin
banyak konsep-konsep fisika yang dapat mereka gunaka, semakin tinggi
posisi disiplin mereka di dalam komunitas ilmiah. Dalam abad kita, tendensi
untuk mencontoh konsep dan teori ilmiah menurut fisika ala Newton
semacam ini telah menjadi suatu rintangan berat dalam banyak bidang, tetapi
barangkali yang paling banyak adalah dalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu
sosial secara tradisional telah dianggap sebagai yang “terlunak” di antara
ilmu-ilmu yang lain, dan ilmuwan sosial telah mencoba dengan sangat keras
untuk memperoleh kehormatan dengan cara mengadopsi paradigma ala
Descartes dan metode-metode fisika ala Newton. Namun demikian, kerangka
ala Descartes seringkali sangat tidak cocok untuk fenomena-fenomena yang
mereka gambarkan, dan akibatnya model-model mereka telah menjadi
semakin tidak realistik. Hal ini semakin nyata saat ini dalam ilmu
ekonomi.”[ii]
Deskripsi Frijof Capra terhadap dominasi paradigma Newton, dan
digunakannya metode fisika dalam ilmu sosial, senada dengan kesimpulan F. Budi
Hardiman yang menyebut itu dengan krisis epistemologi. Menurutnya, “..riset
dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusian dalam masyarakat Indonesia masih lazim
menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan yang mencari ‘objektivitas’ dan
‘kebebasan nilai’ ini banyak dipengaruhi oleh metode-metode ilmu alam yang
memang terbukti sukses diterapkan dalam bentuk teknologi modern. Sementara itu
di Barat, tempat asal perkembangan ilmu-ilmu tersebut, sudah sejak abad ke-19
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial itu dianggap tidak memadai untuk memahami
manusia dan masyarakat.[iii] Dominasi itu tidak berhenti hanya pada ilmu ekonomi;
ketika ekonomi Islam kembali dirumuskan, positivisme kembali merasuki disiplin
ini. Dalam konteks ini kemudian mazhab mainstream berkembang, dan berupaya
melakukan sainstifikasi ekonomi islam. Bagaimana fenomena ini dimaknai?
Dominasi paradigma positivisme atau mengguritanya pendekatan
Newtonian dalam ilmu-ilmu sosial adalah bagian dari kolonialisasi metodologi;
sebuah gerak sains dan penjajahan paradigma. Ini memicu lahirnya berbagai
3. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
3
hibriditas ilmu pengetahuan; pecangkokan paradigma ilmu pengetahuan, sehingga
menghilangkan karakter dan keotentikan ilmu itu sendiri. Fenomena ini telah
dilacak lebih awal oleh Amar Acheraїou, dalam sejarah persilangan ilmu
pengetahuan antara Yunan dan Romawi. Ia menandaskan bahwa pengeksplorasian
isu-isu hibriditas kultural, teknologis, administratif, dan biologis dapat ditemukan
dalam beberapa imperium kuno, khususnya Yunani dan Romawi.[iv] Penelusuran,
dan kesimpulan Amar Acheraїou menegaskan bahwa hibridasi ilmu pengetahuan
sesungguhnya telah berlangsung lama. Namun ia selalu berubah, dan pemenangnya
pun akan selalu berganti. Jika doeloe, pada era imperium klasik, Yunani dan
Romawi sebagai bumi dimana filsafat sebagai disiplin mainstream lahir dan
mempengaruhi berbagai perkembangan ilmu pengetahuan di belahan bumi lainnya.
Pada abad modern, konstelasi itu telah berubah. Filsafat Aristoteles, Plato dan
tradisi helenisme lainnya digantikan oleh metodologi Newtonian, dan akhirnya
berpuncak pada dominasi positivisme dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora, bahkan
dalam studi islam sekalipun. Krisis epistemologi bermula dari sini.
Piet Strydom telah mendiagnosa, pada zaman modern; ada krisis wacana,
bahkan dalam ilmu sosiologi sekalipun juga terlihat adanya gejala krisis tersebut.
Masalah umum yang ditemukan pada periode tersebut adalah hilangnya fondasi
umum—sebuah kebebasan untuk menentukan paradigma ilmu pengetahuan, sesuai
dengan keotentikan disiplin yang akan dikembangkan.[v] Kecenderungannya, ilmu-
ilmu sosial bergerak meniru, memasukkan, bahkan mentradisikan paradigma
positivisme secara ekslusif. Bahkan kondisi ini juga dapat dirasakan dalam ilmu
ekonomI modern, dimana dominasi positivisme telah melahirkan berbagai
hibriditas teori ekonomi; teori-teori ekonomi yang mencangkokkan diri pada
hukum-hukum alam serupa teori-teori fisika. Hal ini dapat dimaklumi, karena
positivisme lebih cenderung mengasumsikan manusia dan perilakunya sama
dengan alam dan fenomenanya. “Setiap perilaku manusia digerakkan oleh hukum-
hukum tertentu, yang bersipat kausalitas.” Demikian positivisme memaknai
manusia.
Dalam konteks di atas Aguste Comte memaparkan bahwa:
“..setiap kekuasaan spritual secara prinsipil harus dapat diuji, dan ini
kemudian yang akan menjadi model terbaik bagi proposal positivisme dan
katolikisme.Bagi kalangan positivisme, objek moral ditujukan untuk
membuat insting simpatis (sympathetic instincts) mampu melampaui sejauh
mungkin instinng diri (selfish instincts); social feeling melampaui personal
feeling.[vi]
Dari pandangan Aguste Comte itulah doktrin bahwa ilmu pengetahuan harus
dilahirkan secara bebas nilai, free values; objektif, empirisme dan mesti membuang
jauh bias subjektifitas. Dalam kata lainnya, mengacu pada penjelasan Harriet
Martineau; menurut pandangan positivistik, “mind” atau nalar telah menghasilkan
pencarian yang sia-sia setelah abolute notion, dan hukum alam benar-benar
mengilhami ilmuwan untuk mempelajari hukum-hukum alam. Pada kondisi itulah
4. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
4
mereka menemukan berbagai benang merah, yang dapat dihubungkan.[vii] Hal ini
mengkondisikan ilmuwan untuk terus mengadopsi nalar, atau paradigma
positivisme dalam menghasilkan teori-teori ilmu pengetahuan, bahkan dalam ilmu
sosial sekalipun. Tanpa disadari kecenderungan seperti ini lah sesungguhnya yang
memberi peluang bagi positivisme untuk terus menjadi ‘penjahat’ metodologi.
Bagaimana jika kenyataan yang telah dipaparkan ini dihubungkan dengan ekonomi
Islam?
Untuk mengatakan bahwa kolonialisasi terhadap ekonomi Islam telah
berlangsung, meskipun tidak terlalu kuat seperti kolonialisasi terhadap ekonomi
konvensional. Namun kolonialisasi ini dapat dilacak dari kemunculan mazhab
mainstream, lengkap dengan nilai-nilai ekslusifisme metodologi yang dibawanya.
Ekslusifisme metodologi adalah penanda (signifier) berlangsungnya kolonialisasi
metodologi dalam ekonomi Islam. Ada sikap ideologis yang mulai tumbuh di
kalangan pengiat ekonomi Islam dalam memahami dan mengaplikasikan
metodologi dalam penelitian ekonomi Islam; sebuah sikap yang terlalu mendewa-
dewakan paradigma positivisme. Sayangnya, sikap itu juga bergerak ke arah yang
sama dengan sikap yang telah mapan pada ekonomi positivisme. Dan itu adalah
keyakinan paradigmatik, bahwa yang ada hanyalah sainstifikasi ekonomi islam, di luar
proses ini maka tidak dinilai dan diakui sebagai ekonomi Islam. Hal ini tidak saja
berdampak pada kebuntuan, tetapi lebih dari itu ketidakmampuan ekonomi Islam
memecahkan isu-isu ekonomi yang bersumber dari domain yang tidak terjangkau
oleh positivisme, seperti idealisme. Gaston Bachelard menyebut hal ini dengan
dilema geometri; dilema positivisme.[viii] Dinilai dilema karena tidak semua hal, dan
fenomena sosial yang dapat dijelaskan dengan mengandalkan pendekatan
kuantifikasi abstrak, layaknya metode Newton dalam menemukan hukum-hukum
alam. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan ekonomi Islam, yang memiliki sumber-
sumber pengilmuan yang lebih kompleks ketimbang ekonomi konvensional lainnya.
Ekonomi Islam, [Ilmu atau Doktrin]:
Mazhab Epistemologi Ekonomi Islam
Perdebatan; apakah ekonomi islam sebuah doktrin atau ilmu pengetahuan
telah berlangsung antara mazhab Baqir as Sadr dan mazhab lainnya, khususnya
mazhab Mainstream. Dari definisi, karakteristik ekonomi Islam memang ada kesan
bahwa ekonomi Islam adalah sebuah doktrin yang dirumuskan untuk menjadi
panduan perilaku ekonomi berdasarkan nilai-nilai keislaman. Tetapi pandangan ini
juga tidak seutuhnya benar, karena ada mazhab lain yang percaya bahwa ekonomi
Islam adalah sebuah disiplin ilmu, persis ilmu ekonomi modern lainnya. Ahmed
A.F. El-Ashker dan Rodney Wilson telah menelusuri sejarah pertumbuhan ekonomi
Isam sebagai ilmu pengetahuan. Secara historis, tulis Ashker dan Wilson, pada awal
pemerintahan Islam memang tidak secara tegas disebutkan istilah ekonomi Islam.
Tetapi pemerintah Islam telah melaksanakan sistem ekonomi yang diinspirasi dari
Islam itu sendiri.[ix] Hal ini menandaskan bahwa ekonomi Islam itu telah lahir
sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Ada banyak bukti tulisan, untuk kemudian
disebut dengan eksemplar ekonomi Islam yang ditulis oleh fuqaha’ atau Muslim
jurists.[x] Dan tulisan tersebut setidaknya membuktikan pandangan bahwa ekonomi
5. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
5
Islam adalah sains. Meskipun mereka menulis isu-isu ekonomi tidak secara spesifik
melainkan hanya bersipat fragmented, terpisah-pisah di pelbagai karya mulai dari
fiqh hingga dapat ditemukan dalam kita-kita tasawuf seperti ihya’ ulumuddin
karangan Al-Ghazali. Pemikiran bahkan teori tentang ekonomi Islam tersebut telah
menjadi dasar kebijakan oleh pemerintahan, atau khilafah islam untuk melahirkan
kebijakan ekonomi rabbani; sebuah sistem perekonomian yang didasarkan pada
nilai-nilai Islam. Namun fakta historis ini, tidak cukup kuat menyakinkan
Muhammad Baqir as Sadr untuk mengakui bahwa ekonomi Islam adalah sebagai
sebuah ilmu pengetahuan. Mengapa demikian?
Muhammad Baqir as Sadr3 adalah seorang ulama syiah kharismatik. Melalui
magnum opus-nya, “iqtishûda”; as Sadr menegaskan keyakinannya bahwa ekonomi
Islam bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan hanyalah seperangkat doktrin
ekonomi yang harus dijadikan acuan, dasar pertimbangan bagi umat Islam dalam
berperilaku ekonomi. Ini pula yang mendorong as Sadr memperkenalkan aspek
‘subjektifitas’ ekonomi Islam. Secara esensial, paradigm as Sadr ini telah mendorong
dirinya untuk memperkenal metode yang unik dalam menghasilkan doktrin
ekonomi Islam. Namun secara bersamaan hal tersebut memunculkan ‘inkonsistensi’
Baqir as Sadr. “Ketika as Sadr meyakini bahwa ekonomi Islam bukan ilmu
pengetahuan, tetapi mengapa kemudian dirinya menggunakan metodologi khas,
dan spesifik untuk menghasilkan doktrin ekonomi Islam?”. Pada titik inilah
“inkonsistensi” Baqir as Sadr mencuat, muncul ke permukaan. Ketidakkonsistenan
Baqir as Sadr hanya terletak pada penggunaan metode al-istiqrā’ terhadap isu-isu
ekonomi Islam.
Dalam aspek lain, Muhammad Baqir as Sadr sangat mengutamakan
subjektifitas nāsh ketimbang objektifitas empiris ketika memahami, dan melahirkan
doktrin ekonomi Islam atau iqtishād. Dengan cara itu pula Baqir as Sadr dapat
mengisi ruang kosong dalam ekonomi Islam. Hal itu merupakan pengembaraan
Baqir as Sadr terhadap ekonomi Islam dari ruang kosong hukum ekonomi Islam. Ia
pernah menegaskan, “..dalam usaha kita menemukan doktrin ekonomi [Islam], kita
harus benar-benar memperhatikan ruang kosong dalam hukum [Islam di ranah]
ekonomi karena kekosong itu mewakili satu sisi dari doktrin ekonomi Islam.”[xi] Apa
yang diteorikan oleh Baqir as Sadr ini bergaris lurus dengan pandangan Farhad
Nomani dan Ali Rahnema dimana: “..a firm grasp of the theoritical underpinnings and
characteristics of the Islamic economic system is impossible without a clear understanding of
the legal parameters that condition and shape it,”[xii] atau usaha untuk memahami
fondasi dan karakter sistem ekonomi islam adalah mustahil tanpa pemahaman yang
kuat terhadap parameter hukum yang mengkonstruksi dan membentuknya. Baik
Baqir as Sadr maupun Farhad Nomani dan Ali Rahnema, mereka sangat menyadari
pentingnya subjektifitas-nash untuk melahirkan berbagai teori ekonomi Islam.
Bagaimana dengan mazhab ekonomi Islam lainnya?
3 Kazimiya; sebuah kota di Baghdad-Irak, menjadi saksi atas lahirnya seorang
bayi laki-laki. Hari itu tanggal 25 Dzulqa’idah 1353 H, bertepatan dengan 01-03-1935
M, Muhammad Baqir as-Sadr lahir. Hanya tiga tahun, Muhammad Baqir as-Sadr
tumbuh dalam dekapan kasih-sayang seorang ayah, pada 27 Jumadil Stani 1356,
ayahnya Sayyed Haidr al-Sadr, wafat di kota Kazimiya.
6. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
6
Ketika Baqir as Sadr memperkenalkan ‘pentingnya subjektifitas’ dalam
melahirkan teori ekonomi Islam, maka lain halnya dengan Mazhab Mainstream.
Mereka masih terikat dengan doktrin positivisme, bahwa rasionalisme dan
empirisme adalah dua hal yang harus ada dalam sebuah ilmu pengetahuan. Tanpa
keduanya, maka kebenaran ilmu pengetahuan tidak dapat diterima, bahkan ditolak
sepenuhnya. Oswald Hanfling lewat sebuah tulisannya, Logical Positivism,
memaparkan bahwa kritikan yang terus menerus diarahkan kepada positivisme
bukan tanpa alasan. Ada arogansi, dan keagresifan positivisme sehingga kubu ini
layak menerima kritikan dari kelompok-kelompok lain yang berseberangan.[xiii]
Arongansi positivisme terletak pada penggunaan hard science sebagai satu-satunya
alat untuk mencari dan menetapkan kebenaran ilmu pengetahuan. Ketika tidak
menggunakan alat-alat yang ditasbihkan sebagai metode milik positivisme, maka
kebenarannya yang dihasilkan tidak dapat dianggap sebuah teori. Sihir ini
kemudian yang mempengaruhi Mazhab Mainstream.
Tugas utama yang dinubuatkan kepada positivisme adalah mengeliminir
pengaruh, dan tendensi metafisika dalam proses membangun sebuah disiplin ilmu,
termasuk ilmu ekonomi. Robert Carnap dalam rangka itu, sengaja mempublikasikan
sebuah artikel dengan judul The Elimination of Metaphysics through the Logical Analysis
of Language’. Dalam artikel ini ia mengajukan pertanyaan: “Can it be that so many men,
of various times and nations, outstanding minds among them, have devoted so much effort,
and indeed fervour, to metaphysics, when this consists of nothing more than words strung
together without sense?”[xiv], atau ..dapatkan setiap orang dalam lintas zaman dan
bangsa, menonjolkan nalar antar sesama mereka, mencurahkan banyak usaha
bahkan semangat, terhadap metafisika, sungguh ini tidak lebih dari sekedar kata-
kata tanpa indera? Carnap hanya ingin menyampaikan bahwa ilmu, apapun
rumpunnya jika ia mengandalkan metafisika terlalu tunduk pada aspek normatif,
maka pada saat itu ia sesungguhnya telah menjadikan diri pada tipu daya kata-kata.
Lantas, dapatkah pandangan klasik dan primitif Robert Carnap ini diaminkan?
Ekonomi Islam sebagai disiplin paradoks, karena kompleksitas paradigma
yang dimilikinya, adalah ilmu pengetahuan yang tidak biasa. Ia berasal dari dua hal
yang berbeda, bahkan dalam sejarahnya terus menerus berkonflik. Metafisika dan
empirisme; dua hal ini adalah fondasi ilmu ekonomi Islam. Metafisika di sini
diartikan sumber-sumber normatif ekonomi islam seperti al-Qur’an, hadist, dan qaul
sahabat, bahkan fatwa ulama dikelompokkan ke dalam bentuk ini. Sementara itu,
empirisme adalah ekonomi Islam sebagai realitas. Hal ini kemudian yang
mendorong ekonomi Islam dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan berparadigma
ganda[xv]; ekonomi islam memposisikan Islam lengkap dengan landasan doktrinnya;
budaya lengkap dengan nilai-nilai idealisme; dan realitas lengkap dengan
objektifitasnya secara sejajar sebagai sumber ilmu pengetahuan. Ini kemudian yang
menyebabkan ekonomi Islam layak disebut sebagai disiplin berparadigma ganda.
Kompleksitas paradigma ekonomi Islam ini memicu gerakan sainstifikasi ekonomi
Islam di kalangan mazhab mainstream. Padahal hal ini tidak diperlukan, mengingat
bahwa ekonomi Islam haruslah dibiarkan tumbuh dengan keotentikannya sebagai
ekonomi normatif.
7. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
7
Ingin berbeda dengan dua mazhab terdahulu, Mazhab Baqir as Sadr; Mazhab
Mainstream, maka Mazhab Alternatif menawarkan pengilmiahan ekonomi Islam
dengan menekankan pentingnya melibatkan metodologi klasik, yakni manhaj fiqhiah.
Dalam bentuk ini ushl fiqh dimodifikasi menjadi ushl iqtishādiah; sebuah manhaj untuk
melahirkan teori ekonomi Islam dari sumber-sumber asalnya, Al-Qur’an; Hadith;
dan qaul serta fatwa sahabat. Demikian, Al-Misrī (1999) menjelaskan lebih detail
bahwa setidaknya ada beberapa fase metodis dalam melahirkan teori ekonomi
Islam. Pertama, ekonomi islam diproduksi dari wahyu (Qur’an dan Hadith) sehingga
sumber-sumber lain yang bertentangan dengan dua sumber ini diabaikan, bahkan
tidak diakui. Kedua, ekonomi islam memiliki kohesi yang kuat dengan ilmu-ilmu
humaniora. Ketiga, metode lain yang mungkin diterapkan terhadap ekonomi islam
adalah al-istiqrā.[xvi] Metodologi yang dipaparkan oleh Al-Misrī tersebut, dapat
dihubungkan dengan manhāj Mazhab Alternatif yang mengedapankan pluralitas
metodologi untuk melahirkan, membangun teori-teori ekonomi Islam. Dan secara
genealogis, Mazhab Alternatif ini yang paling akomodatif terhadap tradisi ilmu-
ilmu sosial yang sama sekali tidak berasal dari positivisme, dari verstehend hingga
hermeneutika. Namun kemudian, pertanyaan yang paling mendasar dan
fundamental untuk dihadapkan pada ketiga mazhab ini adalah: “Mampukah,
dengan karakter metodologi masing-masing, ketiga mazhab (Baqir as Sadr;
Mainstream; dan Alternatif) memunculkan dan menguatkan keotentikan ekonomi
Islam?” dan “Bagaimana jika ekonomi islam tersebut tumbuh dalam ruang dimana
budaya lengkap dengan kearifan lokalnya telah berdiri dan menjadi karakter
masyarakat muslim di sana, contohnya Indonesia?”. Dua pertanyaan ini mendorong
adanya usaha untuk berpikir secara epistemologis terhadap ekonomi islam
Indonesia, sekaligus menegaskan perlunya usaha untuk memberi ruang
mengindonesiakan ekonomi islam, bukan dalam arti teritorial melainkan dalam
makna epistemologis. Bagaimana kedua hal ini dielaborasi lebih radikal lagi?
Ekonomi Islam-Indonesia:
Unifikasi Kultur, Islam, dan Ekonomi
Ekonomi Islam di Indonesia tidak hadir di ruang hampa; ada banyak nilai-
nilai kultural yang telah mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat Muslim di
Indonesia. Dalam ruang seperti inilah ekonomi Islam tumbuh, dan dikembangkan di
Indonesia. Hal ini mendorong agar ekonomi Islam mampu menjadi disiplin yang
otentik; sebuah ilmu pengetahuan yang mempertimbangkan karakter budaya dalam
merumuskan teori-teorinya. Pertanyaannya kemudian, “..bagaimana konstruksi
epistemologis dari diskursus ini?”. Jika ekonomi islam bermula dari nalar fiqh, maka
pada titik inilah budaya dan segala perilaku ekonomi yang berasal darinya,
mungkin untuk dijadikan sebagai sumber ilmu ekonomi islam. Terlebih ketika ‘urf;
sebagai adat/costum terkadang menentukan struktur perilaku ekonomi. Tidak
berlebihan jika ‘urf diartikan sebagai kebiasaan yang bersipat intersocietal, dengan
melingkupi “kebiasaan” yang disepakati oleh masyarakat dalam satu atau dua
wilayah, bahkan melampaui satu generasi.[xvii] Melampaui satu generasi bermakna,
“al-‘Urf” sesungguhnya hidup dan terus diekspresikan secara kontinu dan ajeg
dalam satu masyarakat, tidak hanya satu masa tetapi diwariskan kepada generasi
8. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
8
sesudahnya. Tidak berlebihan jika Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah al-Sa’di
memandang,[xviii] “Jika satu hukum tidak tertera dengan jelas dan terang untuk tidak
mengatakan tidak tersedia “hukum” qath’i dalam al-Qur’an dan hadist, maka pada
saat itu “sah” dan dinilai baik untuk melihat “al-‘Urf” yang berlaku dalam satu
masyarakat.
Pandangan dan pemaknaan terhadap al-‘urf, jika dihubungkan dengan
konteks keindonesiaan, maka menghantarkan pada satu penafsiran bahwa budaya
yang ada, dan berkembang di Indonesia merupakan sebuah mozaik, dan layak
dijadikan sebagai pertimbangan epistemologis. Dalam konteks ekonomi islam, ini
menandaskan yang dibutuhkan di Indonesia bukan islamisasi ekonomi, melainkan
mengindonesiakan ekonomi islam. Opsi terakhir ini berkorelasi dengan kenyataan
empiris, bahwa di Indonesia ada banyak idealisme kebudayaan4 yang tidak saja
berasal, atau cocok dengan semangat Islam tetapi juga terdapat kearifan yang
diperlukan oleh sebuah sistem perilaku ekonomi. Mengukuhkan hal tersebut,
William A. Jakson (2009) mengemukan pendapat bahwa, “Manusia telah
mengelaborasi budaya mereka dengan lama. Kebudayaan yang mengajarkan secara
arif tentang mengolah pertanian; pasar; dan organisasi ekonomi lainnya.”[xix] Jika hal
ini telah menjadi sebuah tesis, bahkan telah bertransformasi menjadi ‘kebenaran
umu’/general truth, yang tidak terbantahkan maka sesungguhnya Indonesia lebih
layak menjadi laboratorium unifikasi kultur, Islam dan ekonomi. Betapa tidak, ada
banyak mozaik kebudayaan yang tumbuh dan terus mempengaruhi perilaku
masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi. Pertanyaannya, “Bagaimana
kemudian unifikasi tersebut ditakar berdasarkan epistemologi ilmu pengetahuan?”
Kultur sebagai konsep akademik, tulis William A. Jakson (2009), telah dikaji
jauh sebelumnya. Ide-ide yang berhubungan dengan kultur, atau budaya telah ada
dalam filsafat kuno dan abad pertengahan. Sayangnya, hal itu tidak pernah
didorong atau ditransformasi ke dalam tradisi pemikiran kultural yang koheren (a
coherent tradition of cultural thought).[xx] Meskipun demikian, ruang untuk
memperdebatkan hingga mempertimbangkan budaya sebagai fondasi ilmu
pengetahuan, sesungguhnya telah diperlihatkan oleh geraja Katolik-Roma yang
mendorong terjadinya harmonisasi antara ‘keimanan’ dan ‘nalar’. Bahkan mereka
meletakkan ‘keimanan’ di atas nalar.[xxi] Dihubungkan dengan budaya, agaknya
dapat dimengerti bahwa diasumsikan bahwa budaya dan sistem perilaku ekonomi
yang berasal darinya didorong oleh seperangkat nilai-nilai transenden. Dan itu
berasal dari berbagai idealisme, baik agama maupun kearifan lokal. Kenyataan ini
yang diabaikan, khususnya oleh institusionalisme ekonomi; ekonom yang terlalu
fanatif, dan sangat mengandalkan model matematika abstrak yang ditujukan untuk
menjelaskan trend ekonomi yang terjadi dan memprediksi masa depan ekonomi.
Jerome Kagan (2009) dengan kritis mengelompokan mereka sebagai orang-orang
yang terlanjur membuat asumsi yang tidak realistik. Bahkan hubungan antara
model-model ini dengan fakta ekonomi terlalu lemah.[xxii] Hal ini dapat saja
dipahami karena terlalu mengandalkan pemodelan matematika, dan menyakini
4
Budaya telah menjadi daftar kajian menarik bagi kebanyak akademik, belakangan ini. Tidak
hanya disiplin antropologi dan sosiologis, ekonomi bahkan ilmu-ilmu alampun mulai melirik budaya
sebagai kajian dan memasukkannya sebagai domain pemikiran.
9. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
9
cateris paribus sebagai bangunan asumsi penterioan ekonomi; budaya dan idealisme
lain yang sesungguhnya dominan mempengaruhi perilaku manusia terabaikan, dan
sengaja untuk tidak dipertimbangkan.
Padahal jika saja sejenak menyediakan sedikit ruang kosong bagi masuknya
paradigma non-positivisme seperti paradigma semiotika, maka akan tampak bahwa
sesungguhnya ekonomi dan segala perilaku yang muncul darinya selalu saja
berbarengan dengan hadirnya berbagai tanda, atau signs. Pada kondisi ini kemudian
perilaku ekonomi dipengaruhi oleh berbagai idealitas-idealitas di luar ekonomi itu
sendiri. Scott Lash dan John Urry, lewat bukunya “Economies of Signs and Space”,
memperkenalkan dua terma untuk memahami ekonomi di luar tradisi positivisme,
yakni: i) cognitive reflexivity; sebuah ukuran untuk memantau diri dan aturan
struktur sosial dan sumber-sumbernya; ii) aesthetic reflexivity; sebuah proses
interpretasi atau penafsiran terhadap latarbelakang praktek-praktek sosial. Jika
cognitive reflexivity mengisyaratkan adanya sebuah pertimbangan (judgement); maka
lain halnya dengan aesthetic reflexivity yang bersipat hermeneutis, atau dalam
pemaknaan Gadamer sebagai hal yang diselami dalam pre-judgment (baca; idealitas
non-ekonomi).xxiii
Diandaikan jika ekonomi dan realitas adalah hasil dari berbagai interaksi,
baik antara aktor dan kepentingan yang menyertainya, maka ekonomi
sesungguhnya dapat pula dimaknai sebagai hasil dari konstruksi yang diupayakan
oleh berbagai agen-agen ekonomi, termasuk di dalamnya pengaruh budaya dimana
agen itu tumbuh dan berperilaku. Margarets S. Archer, melalui bukunya “Culture
and Agency: The Place of Culture in Social Theory” (1996) telah menawarkan satu teori
yang agaknya mampu menjelaskan dimana posisi budaya, atau kultur dalam teori
sosial. Ia menamai teori ini dengan “socio-cultural integration”; dimana menurutnya
faktor sosio-kultural menentukan: i) apa respon yang dibangun ketika dibawah
tekanan emanasi situasi yang logis dari sistem kultural; ii) hal apa saja yang dapat
melekatkan, atau mengintegrasikan struktur sosio-kultur; iii) apakah hal itu
berangkat dari socio-culture (SC) ke culture-system dalam sebuah proses yang baru,
atau hanya sekadar repetisi.[xxiv] Teori yang diperkenalkan oleh Archer ini memang
agak sulit dipahami, tetapi dari sini setidak dapat dimengerti bahwa kultur
mempengaruhi aktor dan sistem sosial dimana aktor tersebut mengekspresikan diri
dan berperilaku, termasuk dalam ranah ekonomi. Kendati demikian, aktor sebagai
pembentuk dan pewarna bagi struktur sosial tidak bertindak secara otomatis, dan
otonomis melainkan ia juga dikonstruksi oleh idealitas seperti nilai-nilai agama,
budaya, bahkan nilai-nilai material-ekonomis. Di sinilah budaya, dan Islam
mendapatkan tempat terbaik dalam realitas ekonomi.
Semakin kukuh kemudian, bahwa budaya, Islam sekaligus realitas ekonomi
dapat diposisikan secara sejajar dalam membangun berbagai postulat ekonomi.
Pandangan ini merupakan sebuah deklarasi ilmiah bahwa ekonomi islam sudah
seharusnya memposisikan dirinya pada altar keindonesiaan; sebuah tempat dimana
disana telah hadir berbagai narasi-narasi besar, lengkap dengan idealitas (baca;
budaya, dan nilai-nilai religiousitas) serta realitas ekonomi. Hal ini kembali
menegaskan apa yang pernah diisyaratkan oleh Jacques Derrida, “..for us the principle
of indeterminism is what makes the conscious freedom of man fathomable..”[xxv] atau bagi
10. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
10
manusia prinsip inderteminism adalah apa yang membuat kesadaran bebas manusia
dapat diukur. Ini menandaskan sesungguhnya dalam bidang apapun, termasuk
ekonomi niscaya ada standar, dan ruang dimana berbagai idealitas bisa dijadikan
sebagai acuan umum, bahkan doktrin. Sebelum menutup diskursus ini, agaknya
menarik untuk sedikit menenggok apa yang telah ditegaskan oleh Fritz Ringer
dalam karyanya, “Max Weber’s Methodolody: The Unification of the Cultural and Social
Sciences” (1997), bahwa: “agnotis awal neo-kantian... memiliki hal yang bias dalam
positivisme.. epistemologi empiris yang dibaca dari Kant telah membuat bingung
kelompok kantian itu sendiri..” dan ia melanjutkan argumentasi lain dalam rangka
membangun kesatuan antara budaya dan ilmu sosial; “Kondisi ini telah
mengizinkan, mendorong transformasi kepada pencarian “dominasi baru” untuk
moralitas, dan semangat religiousitas yang baru; dan akhirnya menggantikan artistic
naturalism dengan idealisme baru.”[xxvi] Akhirnya dengan memberi ruang bagi
budaya, Islam dan juga realitas ekonomi sebagai fondasi teoritis ekonomi islam,
maka sesungguhnya ekonomi islam akan mendapatkan keotentikannya sebagai
disiplin yang kompleks dan bakal mampu mewakili Indonesia sebagai sebuah
mozaik ekonomi, Islam, dan budaya.[]
Endnotes:
i Lihat dalam Ferial J. Ghazoul. Edward Said and Critical Decolonization. (New York: the American
University in Cairo Press, 2007). Hlm. 6.
ii Frijof Capra. The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture. Terj. M. Thoyibi. (Yogyakarta:
Bentang Budaya, 2002). Hlm. 218-9.
iii F. Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah
dan Problem Modernita. (Yogyakarta: Kanisius, 2008). Hlm. 5.
iv Amar Acheraїou. Questioning Hybridity, Postcolonialism and Globalization. (New York: Palgrave
MacMillan, 2011). Hlm. 13.
v Piet Strydom. Discourse and Knowledge: The Making of Enlightement Sociology. (Liverpool: Liverpool
University Pres, 2000). Hlm. 93.
vi Auguste Comte. A General View of Positivisme. (Cambridge: Cambridge University Press, 2009). Hlm.
98.
vii Harriet Martineau. The Positive Philosophy of Auguste Comte. (London: Batoche Books, 2000). Hlm. 28.
viii Gaston Bachelard. New Scientific Spirit. (Boston: Beacon Press, 1934). Hlm. 19.
ix Ahmed El-Asker & Rodney Wilson. Islamic Economics: A Short History. (Leiden: Brill, 2006). Hlm. xi.
x Ibid.
xi Muhammad Baqir as Sadr, lihat dalam Muhammad Sholihin. Pengantar Metodologi Ekonomi Islam:
Dari Mazhab Baqir as Sadr hingga Mazhab Mainstream. (Yogyakarta: Ombak, 2013). Hlm. 80.
xii Farhad Nomani & Ali Rahnema. Islamic Economic Systems. (Kuala Lumpur: Business Information
Press, 1995). Hlm. 1.
xiii Lihat dalam Stuart G. Shanker (ed.). Philosophy of Science, Logic and Mathematics in the Twentieth.
(New York: Routledge, 2004). Hlm. 193.
11. Menakar Unifikasi Kultur, Islam dan Ekonomi
11
xiv Ibid. Hlm. 194
xv Muhammad Sholihin. Pengantar Metodologi Ekonomi Islam. Hlm. xii.
xvi Ibid. Hlm. 311.
xvii Umar Abdullah Kamali, al-Qawaid al-Fiqhiyah al-Kubra wa asharua fi al-Muamalath al-Maliah, (Kairo:
Disertasi Doktor di Fakultas Dirasath al-Arabiah wa al-Islamiah, tt), hlm. 154.
xviii Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah al-Sa’di. al-Qawaid al-Fiqhiah. (Riyad: Dar ibn al-Jauzi, tt),
hlm. 33.
xix Lihat William A. Jackson. Economics, Culture and Social Theory. (UK: Edwar Elgar, 2009). Hlm. 3.
xx Ibid. Hlm. 3.
xxi Lihat dalam Mark J. Cherry (ed.). The Death of Metaphysics, The Death of Culture: Epistemology,
Metaphysics and Morality. (Netherlands: Springer, 2006). Hlm. 3.
xxii Jerome Kagan. The Three Cultures: Natural Sciences, Social Sciences, and the Humanities in the 21st
Century. (New York: Cambridge University Press, 2009). Hlm. 174.
xxiii Scothh Lash & John Urry. Economies of Signs and Space. (London: SAGE Publications, 1994). Hlm. 5.
xxiv Margaret S. Archer. Culture and Agency: The Place of Culture in Social Theory. (New York: Cambridge
University Press, 1996). Hlm. 187.
xxv Homi K. Bhabha. The Location of Culture. (London: Routledge, 1994). Hlm. 171.
xxvi Fritz Ringer. Max Weber’s Methodology: The Unification of the Cultural and Social Sciences. (London:
Harvard University Press, 1997). Hlm. 23.