SlideShare a Scribd company logo
1 of 13
Bahan Perkuliahan ke 6 PPKN
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA ILMU
Drs. Muhammad Taufiq, M.H. Kes.
Sejarah Ilmu pengetahuan dari sudut kesejarahannya pastilah identik dengan filsafat
karena banyak yang mengatakan bahwa filsafat itu adalah induk dan sumber dari semua ilmu
pengetahuan. Hal itu di jelaskan dalam makalah yang di tulis oleh Koento Wibisono
Siswomihardjo ini yang menjelaskan tentang kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan
yang telah menunjukkan bahwa filsafat seperti ”pohon ilmu pengetahuan” yang telah tumbuh
mekar bercabang dengan secara subur. Yang pada dasarnya ilmu pengetahuan itu timbul dari
filsafat kemudian menjadi ilmu-ilmu alam yang positive dan kemudian ilmu alam itulah yang
dikembangkan untuk metode ilmu- ilmu social.
Dalam bukunya De Opbouw van de Wetenschap (1980) yang kemudian disusul dengan
Filosofie van de Wetenschapen (1986), Van Perseun menyatakan bahwa dahulu orang lebih
mudah memberi batasan bagaimana ilmu pengetahuan itu daripada sekarang. Dahulu ilmu
pengetahuan adalah identik dengan filsafat, sehingga pembatasannya bergantung pada system
filsafat yang dianutnya. Pernyataan tersebut dapat di lacak kebenarannya melalui sejarah
fisafat yang berlangsung di barat melalui suatu tradisi yang kemudian di warisi oleh
masyarakat ilmiah ala barat diawali oleh orang-orang Yunani kuno di abad ke-6 SM hingga
sekarang ini. Pada tahun 200 Diogens Laertius menegaskan bahwa kelahiran filsafat tidaklah
dirintis oleh dunia timur, kemudian diperkuat lagi oleh Eduard Zeller dalam karyanya
Grundriss der Geschichte der Grieschischen Philosophie (1920). Di dalam karyanya ia
menjelaskan bahwa apa yang dari dunia timur itu bukanlah filsafat melainkan ajaran-ajaran
praksis-terapan seperti ilmu perbintangan, ilmu pengobatan, ilmu hitung, dan lain sebagainya.
Yang di maksud ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran adalah:
1. pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri
sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk. Robert merton mengatakan kaidah-
kaidah yang melandasinya adalah universalisme, komunalisme, dis-interestedness, dan
skepsisme yang terarah dan teratur.
2. pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas
komponen-komponen, objek sasaran yang hendak diteliti, yang diteliti atau dipertanyakan
1
tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedangkan hasil temuannya
diletakkan dalam satu kesatuan sistem. Pada mulanya ilmu pengetahuan yang identik dengan
filsafat memiliki corak mitologik, kosmogoni, dan theogoni. Aristoteles mengemukakan
bahwa filsafat sebagai semua kegiatan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akaliah;
dan membaginya menjadi ilmu pengetahuan poieis (terapan), ilmu pengehuan praktis ( dalam
arti normatif seperti etika politik) dan ilmu pengetahuan teoritik.
Dengan mulai pudarnya kekuasaan Romawi, ada isyarat akan datangnya tahapan baru, yaitu
filsafat yang harus mengabdi kepada agama. Ancilla Theologiae! Agustinus dan Thomas
Aquinas telah memberi ciri khas pasa filsafat di abad tengah dengan menjadikan biara tidak
hanya menjadi pusat kegiatan agama, akan tetapi menjadi pusat kegiatan intelektual. Para
filsuf besar dari arab seperti Al kindi, Al farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Al Ghazali telah
menyebarkan filsafat aristoteles ini ke Cordova (Spanyol). Wells dalam karyanya the Outline
of History (1951) menyimpulkan bahwa ” Jika orang Yunani adalah Bapak metode Ilmiah,
maka orang muslim adalah Bapak angkatnya”.
Filsafat memasuki tahapan baru pada masa gerakan Renaissance di abad ke-15 dan gerakan
Aufklarung di abad 18 yang di bawa oleh Copernicus, Galilei Galileo, Kepler, Descartes, dan
Imanuel Kant yang memberikan implikasi terjadinya sekularisme yang memisahkan antara
agama dengan filsafat sehingga menyebabkan lepasnya ilmu cabang dari batang filsafatnya.
Jadi pada awalnya sekitar abad ke 18 model yang dipergunakan ilmu-ilmu sosial juga
merupakan metode ilmu alam karena dapat membuktikan suatu kebenaran secara empirik.
Auguste comte (1798-1857) dengan Grand Theorinya dalam karya utamanya Cours de
Philosophie Positive menerangkan bahwa yang benar dan yang nyata haruslah konkret,
eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan inilah yang disebut dengan positif. Revolusi ilmu
pengetahuan telah berlanjut di abad ke-20 hingga saat ini. Pada abad XX Einstein telah
merubah persepsi dunia dengan teori relativitasnya dan teori kuantumnya yang telah berhasil
mengembangkan ilmu - ilmu dasar seperti astronomi, fisika, kimia, dll.
Positivistisme pada masa lalu menimbulkan beberapa kritik dan koreksi karena sifatnya yang
naturalistik dan deterministik. Untuk mengkritik hal tersebut Juergen Habermas
mengemukakan klasifikasi ilmu-ilmu empiris-analitis, sosial kritis dan historis hermeneutis
yang menggunakan metode empirik, intelektual, rasionalitik, dan hermeneutik sehingga Pada
masa sekarang kita lihat makin banyak ilmu-ilmu studi baru yang timbul di berbagai
perguruan tinggi akibat adanya faktor heuristik yang mendorong lahirnya cabang ilmu-ilmu
baru seperti ilmu lingkungan, ilmu komputer, ilmu sosiatri, dll.
2
Masyarakat kita pada sekarang ini sedang mengalami masa trasnsisi simultan sebagaimana
yang terjadi pada fenomena perombakan yaitu :
1.Masa transisinya masyarakat dengan budaya agraris-tradisional menuju masyarakat dengan
budaya industri modern.
2.Masa transisinya budaya nasional-kebangsaan menuju budaya global_mondial
Terdapat berbagai pendapat alternatif untuk mengantisipasi masa transisi diantaranya :
1.Sultan Takdir Alisyahbana menyatakan bahwa kita harus merebut dan menguasai budaya
barat. Yaitu budaya Renaissance yang mengandung unsur-unsur kebebasan, individualisme,
rasionalisme, optimisme, kreatif, dan inovatif.
2.Karl Popper menyatakan bahwa tidak ada desain manapun yang mampu merekayasa masa
depan karena setiap rekayasa pasti segera akan kadaluwarsa, ketinggalan Zaman.
3.Sesuai dengan pelaksanaan pembangunan sebagai pengalaman dasar negara maka kita
harus menyusun suatu strategi kebudayaan, yaitu strategi pembangunan yang menggunakan
nilai-nilai budaya kita sendiri sebagaimana termanifestasikan dalam Pancasila.
Paradigma dapat cenderung berfungsi sebagai ”ideologi” . pancasila sebagai sebuah
paradigma yang berada di dalam kawasan filsafat ilmu mempunyai aspek keilmuan yang
harus dimiliki oleh setiap ilmu sebagaimana ilmu-ilmu lainnya yaitu : ontologis,
epistemologi, dan aksiologi
a)Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu pengetahuan merupakan aktifitas manusia yang tidak
mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan
kenyataan. Ilmu pengetahuan harus di pandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai
masyarakat, sebagai prose dan sebagai produk.
b)Epistemologi, yaitu bahwa pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kita
jadikan ”metode berfikir”, dalam arti kita jadikan dasar dan arah di dalam kita
mengembangkan ilmu pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil yang
dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri.
c)Aksiologi, yaitu bahwa dengan mengggunakan epistemologi tersebut di ata, kemanfatan
dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan ideal
pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal pancasila.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan di butuhkan situasi yang kondusif. Ilmu
pengetahuan mustahil akan dapat berkembang baik dalam arti kuantitatif maupun kualitatif
tanpa didasari situasi yang kondusif secara kultural dan struktural. Kultural dalam arti bahwa
para warga masyarakat perguruan tinggi,para sivitas akademikanya memiliki sikap
akademis,menjadikan dirinya sebagai ”musafir” yang menjelajahi”gurun ilmu pengetahuan
3
yang tiada bertepi” melakukan pengembaraan mental yang tidak akan berakhir pada suatu
titik henti. Sedangkan Struktural dalam arti bahwa dunia perguruan tinggi sebagai ”a society
among equals”harus dipupuk secara demokratis, terbuka melalui wacana akademis.
Perguruan tinggi harus melepaskan diri sebagai ”jawatan” yang hanya menunggu petunjuk-
petunjuk dari atas. Dalam perkembangannya ilmu pengetahuan mengalami masa perkembangan
yang sangat cepat mulai dari abad ke-16 SM hingga sekarang yang terus berkembang. Yang tadinya
berasal dari filsafat kini telah timbul ilmu-ilmu baru yang bercabang akibat dari faktor perkembangan
ilmu tersebut dengan adanya metode empirik, intelektual. Rasionalitik,dan hermeuneutik.Tanggapan
saya terhadap makalah yang disusun oleh Koento Wibisono Siswimihardjo, saya sependapat beliau
karena untuk mempelajari sebuah ideologi yang dimana itu sebagai dasar negara kita sendiri adalah
sangat penting. Apalagi kita sebagai mahasiwa yang disebut”agent of Change” harus membawa
bangsa ini membawa ke arah yan lebih baik tanpa melupakan nilai-nilai pancasila agar tidak terjadi
masa transisi seperti sekarang ini. Sebagai civitas academica jangan hanya mengetahui apa isi
pancasila saja tetapi harus juga mengetahui dan memahami aspek-aspek yang ada di dalamnya
seperti ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam pancasila agar hubungan anatara ilmu panasila
dan ilmu pengetahuan tidak dapat lagi ditempatkan secara dikotomis saling bertentangan.
Memang sudah sewajarnya jika pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu pengetahuan,
tetapi pada saat yang lalu terdapat isu yang mengemuka dalam simposium nasional yang bertempat
di UGM yaitu Pancasila sebagai ideologi negara belum dijadikan filsafat sosial yang mendasari
perumusan ilmu pengetahuan yang kontekstual Indonesia. Pancasila lebih dimaknai sebagai doktrin
politik untuk melestarikan kekuasaan negara.
Menurut Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi, karena belum dijadikan sebagai dasar perumusan
pengembangan ilmu pengetahuan, terjadi kolonisasi pemikiran yang kini makin marak. Pendidikan
justru menghasilkan lulusan yang lebih menghayati ilmu pengetahuan milik budaya bangsa lain yang
nilai-nilainya berbeda dengan bangsa Indonesia. Sejak reformasi 1998 digulirkan, berkembang
kecenderungan menafikan Pancasila sebagai ideologi negara. Mengutip survei Direktorat Pendidikan
Tinggi tahun 2004 atas 81 perguruan tinggi negeri, Pancasila tidak tercantum lagi dalam kurikulum
mayoritas perguruan tinggi. Padahal kampus harusnya menjadi pelopor menghadapi gelombang
globalisasi yang ditunggangi neokapitalisme dan fundamentalisme pasar. "Kampus harus
memelopori pemikiran untuk mengembangkan filsafat bangsa Indonesia sebagai paradigma
pembangunan dan sebagai landasan etik pembangunan nasional,"
Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof Dr Umar Anggara Jenie menyatakan, Pancasila
sebagai paradigma pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan untuk panduan etik. Sila-sila dalam
Pancasila adalah prinsip-prinsip etika universal yang juga dihormati negara lain.Untuk membangun
4
paradigma, beberapa filsuf Yunani berpandangan bahwa tidak ada yang tetap di alam ini, yang tetap
adalah perubahan itu sendiri, panta-rhei. Sementara itu salah seorang peletak dasar ilmu
pengetahuan modern, Newton, berpandangan bahwa dibalik fenomena alam yang selalu berubah ini
ada suatu dimensi yang tetap yakni, ruang, energi dan waktu, yang dalam tataran empiris dapat
diukur dengan centimeter, gram dan second” atau disingkat “cgs’. Dengan berpijak pada ketiga
dimensi ruang, energi dan waktu yang tetap tersebut, dapat dimengerti dan dipahami fenomena
alam yang selalu berubah. Dengan paradigma inilah Newton membangun terori-teori ilmu
pengetahuan modern dibidang fisika. Cara pandang atau paradigma alam Newton inilah yang
sebaiknya kita contoh untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu.
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan di butuhkan situasi yang kondusif. Ilmu pengetahuan
mustahil akan dapat berkembang baik dalam arti kuantitatif maupun kualitatif tanpa didasari situasi
yang kondusif secara kultural dan struktural. Kultural dalam arti bahwa para warga masyarakat
perguruan tinggi,para sivitas akademikanya memiliki sikap akademis,menjadikan dirinya sebagai
”musafir” yang menjelajahi”gurun ilmu pengetahuan yang tiada bertepi” melakukan pengembaraan
mental yang tidak akan berakhir pada suatu titik henti. Sedangkan Struktural dalam arti bahwa dunia
perguruan tinggi sebagai ”a society among equals”harus dipupuk secara demokratis, terbuka melalui
wacana akademis. Perguruan tinggi harus melepaskan diri sebagai ”jawatan” yang hanya menunggu
petunjuk - petunjuk dari atas.
Melalui teori relativitas Einstein paradigma kebenaran ilmu sekarang sudah berubah
dari paradigm lama yang dibangun oleh fisika Newton yang ingin selalu membangun
teori absolut dalam kebenaran ilmiah. Paradigma sekarang ilmu bukan sesuatu entitas
yang abadi, bahkan ilmu tidak pernah selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada
kerangka objektif, rasional, metodologis, sistematis, logis dan empiris. Dalam
perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap
koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif
pengembangannya melalui kajian, penelitian eksperimen, baik mengenai aspek
ontologis epistemologis, maupun axiologis. Karena setiap pengembangan ilmu paling
tidak validitas (validity) dan reliabilitas (reliability) dapat dipertanggungjawabkan, baik
berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (context of justification) maupun berdasarkan
sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu ditemukan/dikembangkan (context of
discovery).
Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis
keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta
5
prerequisite/saling mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada
persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi.
1. Pilar ontologi (ontology)
Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi).
a) Aspek kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme, dualisme,
pluralisme )
b) Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu
(mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme).
Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi, dasar-
dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan
multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan
kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misal masalah krisis moneter, tidak dapat hanya
ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain
yang tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, maka perlu bantuan ilmu lain seperti
politik, sosiologi.
2. Pilar epistemologi (epistemology)
Selalu menyangkut problematika tentang sumber pengetahuan, sumber kebenaran, cara
memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar kebenaran,
sistem, prosedur, strategi. Pengalaman epistemologis dapat memberikan sumbangan
bagi kita : (a) sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu
(b) memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu (c) mengembangkan
ketrampilan proses (d) mengembangkan daya kreatif dan inovatif.
3. Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis, moral, religius) dalam
setiap penemuan, penerapan atau pengembangan ilmu. Pengalaman aksiologis dapat
memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan
seorang profesional dan ilmuwan (Iriyanto Widisuseno, 2009). Landasan
pengembangan ilmu secara imperative mengacu ketiga pilar filosofis keilmuan tersebut
yang bersifat integratif dan prerequisite.
6
1. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah
1) Objektif: Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor subjektif
(misal : perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) .
2) Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain.
Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
3) Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten, implikatif. Tidak
mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional,
begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
4) Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap
berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).
5) Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah
prioritas yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan
yang jelas.
2. Masalah nilai dalam IPTEK
a. Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan persoalannya
Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi manusia dewasa ini adalah
keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi satu, kita tidak bisa
mengatakan inilah satu-satunya ilmu pengetahuan yang dapat mengatasi problem
manusia dewasa ini. Berbeda dengan ilmu pengetahuan masa lalu lebih menunjukkan
keekaannya daripada kebhinekaannya. Seperti pada awal perkembangan ilmu
pengetahuan berada dalam kesatuan filsafat.
Proses perkembangan ini menarik perhatian karena justru bertentangan dengan
inspirasi tempat pengetahuan itu sendiri, yaitu keinginan manusia untuk mengadakan
kesatuan di dalam keserbamajemukan gejala-gejala di dunia kita ini. Karena yakin akan
kemungkinannya maka timbullah ilmu pengetahuan. Secara metodis dan sistematis
manusia mencari azas-azas sebagai dasar untuk memahami hubungan antara gejala-
gejala yang satu dengan yang lain sehingga bisa ditentukan adanya keanekaan di dalam
kebhinekaannya. Namun dalam perkembangannya ilmu pengetahuan berkembang ke
arah keserbamajemukan ilmu.
7
a) Mengapa timbul spesialisasi?
Mengapa spesialisasi ilmu semakin meluas? Misalnya dalam ilmu kedokteran dan ilmu
alam. Makin meluasnya spesialisasi ilmu dikarenakan ilmu dalam perjalanannya selalu
mengembangkan macam metode, objek dan tujuan. Perbedaan metode dan
pengembangannya itu perlu demi
kemajuan tiap-tiap ilmu. Tidak mungkin metode dalam ilmu alam dipakai memajukan
ilmu psikologi. Kalau psikologi mau maju dan berkembang harus mengembangkan
metode, objek dan tujuannya sendiri. Contoh ilmu yang berdekatan, biokimia dan kimia
umum keduanya memakai ”hukum” yang dapat dikatakan sama, tetapi seorang sarjana
biokimia perlu pengetahuan susunan bekerjanya organisme-organisme yang tidak
dituntut oleh seorang ahli kimia organik. Hal ini agar supaya biokimia semakin maju
dan mendalam, meskipun tidak diingkari antara keduanya masih mempunyai dasar-
dasar yang sama.
Spesialisasi ilmu memang harus ada di dalam satu cabang ilmu, namun kesatuan dasar
azas-azas universal harus diingat dalam rangka spesialisasi. Spesialisasi ilmu membawa
persoalan banyak bagi ilmuwan sendiri dan masyarakat. Ada kalanya ilmu itu
diterapkan dapat memberi manfaat bagi manusia, tetapi bisa sebaliknya merugikan
manusia. Spesialisasi di samping tuntutan kemajuan ilmu juga dapat meringankan
beban manusia untuk menguasai ilmu dan mencukupi kebutuhan hidup manusia.
Seseorang tidak mungkin menjadi generalis, yaitu menguasai dan memahami semua
ilmu pengetahuan yang ada (Sutardjo, 1982).
b) Persoalan yang timbul dalam spesialisasi
Spesialisasi mengandung segi-segi positif, namun juga dapat menimbulkan segi negatif.
Segi positif ilmuwan dapat lebih fokus dan intensif dalam melakukan kajian dan
pengembangan ilmunya. Segi negatif, orang yang mempelajari ilmu spesialis merasa
terasing dari pengetahuan lainnya. Kebiasaan cara kerja fokus dan intensif membawa
dampak ilmuwan tidak mau bekerjasama dan menghargai ilmu lain. Seorang spesialis
bisa berada dalam bahaya mencabut ilmu pengetahuannya dari rumpun keilmuannya
atau bahkan dari peta ilmu, kemudian menganggap ilmunya otonom dan paling lengkap.
Para spesialis dengan otonomi keilmuannya sehingga tidak tahu lagi dari mana asal
usulnya, sumbangan apa yang harus diberikan bagi manusia dan ilmu-ilmu lainnya, dan
8
sumbangan apa yang perlu diperoleh dari ilmu-ilmu lain demi kemajuan dan
kesempurnaan ilmu spesialis yang dipelajari atau dikuasai.
Bila keterasingan yang timbul akibat spesialisasi itu hanya mengenai ilmu pengetahuan
tidak sangat berbahaya. Namun bila hal itu terjadi pada manusianya, maka akibatnya
bisa mengerikan kalau manusia sampai terasing dari sesamanya dan bahkan dari
dirinya karena terbelenggu oleh ilmunya yang sempit. Dalam praktikpraktik ilmu
spesialis kurang memberikan orientasi yang luas terhadap kenyataan dunia ini, apakah
dunia ekonomi, politik, moral, kebudayaan, ekologi dll.
Persoalan tersebut bukan berarti tidak terpecahkan, ada kemungkinan merelativisir
jika ada kerjasama ilmuilmu pengetahuan dan terutama di antara ilmuwannya. Hal ini
tidak akan mengurangi kekhususan tiap-tiap ilmu pengetahuan, tetapi akan
memudahkan penempatan tiaptiap ilmu dalam satu peta ilmu pengetahuan manusia.
Keharusan kerjasama ilmu sesuai dengan sifat social manusia dan segala kegiatannya.
Kerjasama seperti itu akan membuat para ilmuwan memiliki cakrawala pandang yang
luas dalam menganalisis dan melihat sesuatu. Banyak segi akan dipikirkan sebelum
mengambil keputusan akhir apalagi bila keputusan itu menyangkut manusia sendiri.
b. Dimensi moral dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan
Tema ini membawa kita ke arah pemikiran: (a) apakah ada kaitan antara moral atau
etika dengan ilmu pengetahuan, (b) saat mana dalam pengembangan ilmu memerlukan
pertimbangan moral/etik? Akhir-akhir ini banyak disoroti segi etis dari penerapan ilmu
dan wujudnya yang paling nyata pada jaman ini adalah teknologi, maka pertanyaan
yang muncul adalah mengapa kita mau mengaitkan soal etika dengan ilmu
pengetahuan? Mengapa ilmu pengetahuan yang makin diperkembangkan perlu ”sapa
menyapa” dengan etika? Apakah ada ketegangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
moral?
Untuk menjelaskan permasalahan tersebut ada tiga tahap yang perlu ditempuh.
Pertama, kita melihat kompleksitas permasalahan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam kaitannya dengan manusia.
Kedua,membicarakan dimensi etis serta kriteria etis yang diambil.
Ketiga, berusaha menyoroti beberapa pertimbangan sebagai semacam usulan jalan
keluar dari permasalahan yang muncul.
9
a) Permasalahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Kalau perkembangan ilmu pengetahuan sungguhsungguh menepati janji awalnya 200
tahun yang lalu, pasti orang tidak akan begitu mempermasalahkan akibat
perkembangan ilmu pengetahuan. Bila penerapan ilmu benar-benar merupakan sarana
pembebasan manusia dari keterbelakangan yang dialami sekitar 1800-1900-an dengan
menyediakan ketrampilan ”know how” yang memungkinkan manusia dapat mencari
nafkah sendiri tanpa bergantung pada pemilik modal, maka pendapat bahwa ilmu
pengetahuan harus dikembangkan atas dasar patokan-patokan ilmu pengetahuan itu
sendiri (secara murni) tidak akan mendapat kritikan tajam seperti pada abad ini.
Namun dewasa ini menjadi nyata adanya keterbatasan ilmu pengetahuan itu
menghadapi masalahmasalah yang menyangkut hidup serta pribadi manusia. Misalnya,
menghadapi soal transplantasi jantung, pencangkokan genetis, problem mati hidupnya
seseorang, ilmu pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh kerangka
pertimbangan nilai di luar disiplin ilmunya sendiri. Kompleksitas permasalahan dalam
pengembangan ilmu dan teknologi kini menjadi pemikiran serius, terutama persoalan
keterbatasan ilmu dan teknologi dan akibatakibatnyabagi manusia. Mengapa orang
kemudian berbicara soal etika dalam ilmu pengetahuan dan teknologi?
b) Akibat teknologi pada perilaku manusia
Akibat teknologi pada perilaku manusia muncul dalam fenomen penerapan kontrol
tingkah laku (behavior control). Behaviour control merupakan kemampuan untuk
mengatur orang melaksanakan tindakan seperti yang dikehendaki oleh si pengatur (the
ability to get some one to do one’s bidding). Pengembangan teknologi yang mengatur
perilaku manusia ini mengakibatkan munculnya masalahmasalah etis seperti berikut.
(1) Penemuan teknologi yang mengatur perilaku ini menyebabkan kemampuan
perilaku seseorang diubah dengan operasi dan manipulasi syaraf otak melalui
”psychosurgery’s infuse” kimiawi, obat bius tertentu. Electrical stimulation mampu
merangsang secara baru bagian-bagian penting, sehingga kelakuan bias diatur dan
disusun. Kalau begitu kebebasan bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang
kemusnahan.
(2) Makin dipacunya penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang kelakuan
manusia, memungkinkan adanya lubang manipulasi, entah melalui iklan atau media
lain.
10
(3) Pemahaman “njlimet” tingkah laku manusia demi tujuan ekonomis, rayuan untuk
menghirup kebutuhan baru sehingga bisa mendapat untung lebih banyak,
menyebabkan penggunaan media (radio, TV) untuk mengatur kelakuan manusia.
(4) Behaviour control memunculkan masalah etis bila kelakuan seseorang dikontrol oleh
teknologi dan bukan oleh si subjek itu sendiri. Konflik muncul justru karena si pengatur
memperbudak orang yang dikendalikan, kebebasan bertindak si kontrol dan diarahkan
menurut kehendak si pengontrol.
(5) Akibat teknologi pada eksistensi manusia dilontarkan oleh Schumacher. Bagi
Schumacher eksistensi sejati manusia adalah bahwa manusia menjadi manusia justru
karena ia bekerja. Pekerjaan bernilai tinggi bagi manusia, ia adalah ciri eksistensial
manusia, ciri kodrat kemanusiaannya. Pemakaian teknologi modern condong
mengasingkan manusia dari eksistensinya sebagai pekerja, sebab di sana manusia tidak
mengalami kepuasan dalam bekerja. Pekerjaan tangan dan otak manusia diganti dengan
tenaga-tenaga mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas manusia (T. Yacob, 1993).
c. Beberapa pokok nilai yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
Ada empat hal pokok agar ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan secara
konkrit, unsur-unsur mana yang tidak boleh dilanggar dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat agar masyarakat itu tetap manusiawi.
a) Rumusan hak azasi merupakan sarana hukum untuk menjamin penghormatan
terhadap manusia. Individu individu perlu dilindungi dari pengaruh penindasan ilmu
pengetahuan.
b) Keadilan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai hal yang mutlak.
Perkembangan teknologi sudah membawa akibat konsentrasi kekuatan ekonomi
maupun politik. Jika kita ingin memanusiawikan pengembangan ilmu dan teknologi
berarti bersedia mendesentralisasikan monopoli pengambilan keputusan dalam bidang
politik, ekonomi. Pelaksanaan keadilan harus memberi pada setiap individu
kesempatan yang sama menggunakan hak-haknya.
c) Soal lingkungan hidup. Tidak ada seorang pun berhak menguras/mengeksploitasi
sumber-sumber alam dan manusiawi tanpa memperhatikan akibat-akibatnya pada
11
seluruh masyarakat. Ekologi mengajar kita bahwa ada kaitan erat antara benda yang
satu dengan benda yang lain di alam ini.
d) Nilai manusia sebagai pribadi. Dalam dunia yang dikuasai teknik, harga manusia
dinilai dari tempatnya sebagai salah satu instrumen sistem administrasi kantor
tertentu. Akibatnya manusia dinilai bukan sebagai pribadi tapi lebih dari sudut
kegunaannya atau hanya dilihat sejauh ada manfaat praktisnya bagi suatu sistem. Nilai
sebagai pribadi berdasar hubungan sosialnya, dasar kerohanian dan penghayatan hidup
sebagai manusia dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu dan teknologi mau
manusiawi, perhatian pada nilai manusia sebagai pribadi tidak boleh kalah oleh mesin.
Hal ini penting karena sistem teknokrasi cenderung dehumanisasi ( T. Yacob, 1993).
G. Pancasila sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan ilmu pengetahuan dan
Teknologi
Karena pengembangan ilmu dan teknologi hasilnya selalu bermuara pada kehidupan
manusia maka perlu mempertimbangan strategi atau cara-cara, taktik yang tepat, baik
dan benar agar pengembangan ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan
dan memartabatkan manusia.
Dalam mempertimbangkan sebuah strategi secara imperatif kita meletakkan Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Pengertian dasar nilai menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah
pengembangan ilmu. Dalam konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi
ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan
sebagai upaya manusia untuk mencari kebenaran yang tidak mengenal titik henti, atau
”an unfinished journey”.
Ilmu tampil dalam fenomenanya sebagai masyarakat, proses dan produk. Dimensi
epistemologis, nilai-nilai Pancasila dijadikan pisau analisis/metode berfikir dan tolok
ukur kebenaran. Dimensi aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif dalam
mengembangkan ilmu adalah sila-sila Pancasila sebagai satu keutuhan. Untuk itu
ilmuwan dituntut memahami Pancasila secara utuh, mendasar, dan kritis, maka
diperlukan suatu situasi kondusif baik struktural maupun kultural.
E. Strategi Pengembangan IPTEK Pancasila Sebagai Dasar Nilai
Peran nilai-nilai dalam setiap sila dalam Pancasila adalah sebagai berikut.
12
1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan
perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini
menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.
2) Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu
pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan,
tidak hanya untuk kelompok, lapisan tertentu.
3) Sila Persatuan Indonesia: mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang
lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas dalam
sub-sistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak
mengganggu integrasi.
4) Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan
teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan penyebaran
ilmu pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak
dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.
5) Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan
Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan
sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena
kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas
merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada
nilai-nilai Pancasila.
Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia merupakan kesatuan dari
perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban manusia. Peran Pancasila
sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa
fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan menjebak
diri seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan semata-mata
berpegang pada kaidah ilmu sendiri, khususnya mencakup pertimbangan etis, religius,
dan nilai budaya yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang berbudaya.
13

More Related Content

What's hot

P aradigma dan teori antropologi
P aradigma dan teori antropologiP aradigma dan teori antropologi
P aradigma dan teori antropologiyoulinda
 
contoh Bab 1. pendahuluan makalah
contoh Bab 1. pendahuluan makalahcontoh Bab 1. pendahuluan makalah
contoh Bab 1. pendahuluan makalahRizki Kamaratih
 
Pancasila dasar pengembangan ilmu
Pancasila dasar pengembangan ilmuPancasila dasar pengembangan ilmu
Pancasila dasar pengembangan ilmufarahazizh
 
Kasus Penyimpangan Filsafat Pancasila
Kasus Penyimpangan Filsafat PancasilaKasus Penyimpangan Filsafat Pancasila
Kasus Penyimpangan Filsafat Pancasilanspnadya
 
Gerakan baru dalam pendidikan
Gerakan baru dalam pendidikanGerakan baru dalam pendidikan
Gerakan baru dalam pendidikandonawidiya
 
Pengertian Antropologi pendidikan
Pengertian Antropologi pendidikanPengertian Antropologi pendidikan
Pengertian Antropologi pendidikanAprilia putri
 
Positivisme dalam Pendidikan
Positivisme dalam PendidikanPositivisme dalam Pendidikan
Positivisme dalam Pendidikanalvianica nanda
 
Aliran aliran pendidikan
Aliran aliran pendidikanAliran aliran pendidikan
Aliran aliran pendidikanOlivia Tifani
 
Pancasila sebagai sistem filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafatPancasila sebagai sistem filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafatNur Chawhytz
 
PPT Pend. Pancasila Oleh Kelompok 1
PPT Pend. Pancasila Oleh Kelompok 1PPT Pend. Pancasila Oleh Kelompok 1
PPT Pend. Pancasila Oleh Kelompok 1Azza Mafazah
 
sejarah dan perkembangan bahasa indonesia
sejarah dan perkembangan bahasa indonesiasejarah dan perkembangan bahasa indonesia
sejarah dan perkembangan bahasa indonesiaElvarinna Permata
 
Ppt sosiologi antropologi
Ppt sosiologi antropologiPpt sosiologi antropologi
Ppt sosiologi antropologiDewi_Sejarah
 
Landasan dan asas pendidikan
Landasan dan asas pendidikanLandasan dan asas pendidikan
Landasan dan asas pendidikanSiwi Danar
 
Kelompok 4 macam macam nilai sosial
Kelompok 4 macam macam nilai sosialKelompok 4 macam macam nilai sosial
Kelompok 4 macam macam nilai sosialIhsan TheFallen
 
Membangun Paradigma Qurani kelompok 5.pptx
Membangun Paradigma Qurani kelompok 5.pptxMembangun Paradigma Qurani kelompok 5.pptx
Membangun Paradigma Qurani kelompok 5.pptxSalsabilaPutri802605
 
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)Irvan Berutu
 
Makalah Sumber Pengetahuan
Makalah Sumber PengetahuanMakalah Sumber Pengetahuan
Makalah Sumber Pengetahuansayid bukhari
 

What's hot (20)

P aradigma dan teori antropologi
P aradigma dan teori antropologiP aradigma dan teori antropologi
P aradigma dan teori antropologi
 
contoh Bab 1. pendahuluan makalah
contoh Bab 1. pendahuluan makalahcontoh Bab 1. pendahuluan makalah
contoh Bab 1. pendahuluan makalah
 
Pancasila dasar pengembangan ilmu
Pancasila dasar pengembangan ilmuPancasila dasar pengembangan ilmu
Pancasila dasar pengembangan ilmu
 
Kasus Penyimpangan Filsafat Pancasila
Kasus Penyimpangan Filsafat PancasilaKasus Penyimpangan Filsafat Pancasila
Kasus Penyimpangan Filsafat Pancasila
 
Gerakan baru dalam pendidikan
Gerakan baru dalam pendidikanGerakan baru dalam pendidikan
Gerakan baru dalam pendidikan
 
Pengertian Antropologi pendidikan
Pengertian Antropologi pendidikanPengertian Antropologi pendidikan
Pengertian Antropologi pendidikan
 
Positivisme dalam Pendidikan
Positivisme dalam PendidikanPositivisme dalam Pendidikan
Positivisme dalam Pendidikan
 
Aliran aliran pendidikan
Aliran aliran pendidikanAliran aliran pendidikan
Aliran aliran pendidikan
 
Pancasila sebagai sistem filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafatPancasila sebagai sistem filsafat
Pancasila sebagai sistem filsafat
 
Makalah sosial budaya
Makalah sosial budayaMakalah sosial budaya
Makalah sosial budaya
 
PPT Pend. Pancasila Oleh Kelompok 1
PPT Pend. Pancasila Oleh Kelompok 1PPT Pend. Pancasila Oleh Kelompok 1
PPT Pend. Pancasila Oleh Kelompok 1
 
sejarah dan perkembangan bahasa indonesia
sejarah dan perkembangan bahasa indonesiasejarah dan perkembangan bahasa indonesia
sejarah dan perkembangan bahasa indonesia
 
Ppt sosiologi antropologi
Ppt sosiologi antropologiPpt sosiologi antropologi
Ppt sosiologi antropologi
 
Landasan dan asas pendidikan
Landasan dan asas pendidikanLandasan dan asas pendidikan
Landasan dan asas pendidikan
 
Makalah Karya Ilmiah
Makalah Karya Ilmiah Makalah Karya Ilmiah
Makalah Karya Ilmiah
 
Kelompok 4 macam macam nilai sosial
Kelompok 4 macam macam nilai sosialKelompok 4 macam macam nilai sosial
Kelompok 4 macam macam nilai sosial
 
Ideologi
IdeologiIdeologi
Ideologi
 
Membangun Paradigma Qurani kelompok 5.pptx
Membangun Paradigma Qurani kelompok 5.pptxMembangun Paradigma Qurani kelompok 5.pptx
Membangun Paradigma Qurani kelompok 5.pptx
 
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
Makalah pendidikan pancasila (kajian nilai nilai pancasila)
 
Makalah Sumber Pengetahuan
Makalah Sumber PengetahuanMakalah Sumber Pengetahuan
Makalah Sumber Pengetahuan
 

Similar to Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu

Filsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan PendidikanFilsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan PendidikanAna Safrida
 
22D_152_Wildan Aqirta Pradana PPT Makalah Filsuf.pptx
22D_152_Wildan Aqirta Pradana PPT Makalah Filsuf.pptx22D_152_Wildan Aqirta Pradana PPT Makalah Filsuf.pptx
22D_152_Wildan Aqirta Pradana PPT Makalah Filsuf.pptxWildanAqier
 
Bab iii pembahasan
Bab iii pembahasanBab iii pembahasan
Bab iii pembahasanCindar Tyas
 
22D_142_Farrel Thouriq A PPT Makalah Filsuf.pptx
22D_142_Farrel Thouriq A PPT Makalah Filsuf.pptx22D_142_Farrel Thouriq A PPT Makalah Filsuf.pptx
22D_142_Farrel Thouriq A PPT Makalah Filsuf.pptx22D142FarrelThouriqA
 
Filsafat-Ilmu-5.pptx
Filsafat-Ilmu-5.pptxFilsafat-Ilmu-5.pptx
Filsafat-Ilmu-5.pptxFaizulHasan15
 
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.docx
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.docxFilsafat Abad Modern Dan Alirannya.docx
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.docxZukét Printing
 
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.pdf
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.pdfFilsafat Abad Modern Dan Alirannya.pdf
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.pdfZukét Printing
 
Pembahasan makalah pancasila
Pembahasan makalah pancasilaPembahasan makalah pancasila
Pembahasan makalah pancasilafedereth
 
Fenomenologi
FenomenologiFenomenologi
Fenomenologippi51
 
Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4Warnet Raha
 
Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4Warnet Raha
 
Makalah Substansi Filsafat Ilmu
Makalah Substansi Filsafat IlmuMakalah Substansi Filsafat Ilmu
Makalah Substansi Filsafat Ilmusayid bukhari
 
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docxArtikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docxMetaFitriani1
 
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptxPPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptxLinnoNarendraSeptyaw
 

Similar to Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu (20)

Filsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan PendidikanFilsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
Filsafat Modern dan Pembahasan Pendidikan
 
22D_152_Wildan Aqirta Pradana PPT Makalah Filsuf.pptx
22D_152_Wildan Aqirta Pradana PPT Makalah Filsuf.pptx22D_152_Wildan Aqirta Pradana PPT Makalah Filsuf.pptx
22D_152_Wildan Aqirta Pradana PPT Makalah Filsuf.pptx
 
Bab iii pembahasan
Bab iii pembahasanBab iii pembahasan
Bab iii pembahasan
 
22D_142_Farrel Thouriq A PPT Makalah Filsuf.pptx
22D_142_Farrel Thouriq A PPT Makalah Filsuf.pptx22D_142_Farrel Thouriq A PPT Makalah Filsuf.pptx
22D_142_Farrel Thouriq A PPT Makalah Filsuf.pptx
 
Filsafat-Ilmu-5.pptx
Filsafat-Ilmu-5.pptxFilsafat-Ilmu-5.pptx
Filsafat-Ilmu-5.pptx
 
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.docx
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.docxFilsafat Abad Modern Dan Alirannya.docx
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.docx
 
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.pdf
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.pdfFilsafat Abad Modern Dan Alirannya.pdf
Filsafat Abad Modern Dan Alirannya.pdf
 
Tugas filsafat ilmu
Tugas filsafat ilmu Tugas filsafat ilmu
Tugas filsafat ilmu
 
Pembahasan makalah pancasila
Pembahasan makalah pancasilaPembahasan makalah pancasila
Pembahasan makalah pancasila
 
Pss tutor (2)
Pss tutor (2)Pss tutor (2)
Pss tutor (2)
 
Fenomenologi
FenomenologiFenomenologi
Fenomenologi
 
Makalah filsafat 4 (2)
Makalah filsafat 4 (2)Makalah filsafat 4 (2)
Makalah filsafat 4 (2)
 
Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4
 
Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4
 
Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4
 
Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4Makalah filsafat 4
Makalah filsafat 4
 
Makalah Substansi Filsafat Ilmu
Makalah Substansi Filsafat IlmuMakalah Substansi Filsafat Ilmu
Makalah Substansi Filsafat Ilmu
 
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docxArtikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
 
Makalah
MakalahMakalah
Makalah
 
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptxPPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
PPT RASIONALITAS ILMU FILSAFAT.pptx
 

More from Yabniel Lit Jingga (20)

Mantri ireng manfaat besar ciplukan
Mantri ireng   manfaat besar ciplukanMantri ireng   manfaat besar ciplukan
Mantri ireng manfaat besar ciplukan
 
Cover
CoverCover
Cover
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Tumor tulang shb
Tumor tulang shbTumor tulang shb
Tumor tulang shb
 
Skoliosis shb
Skoliosis shbSkoliosis shb
Skoliosis shb
 
Rematoid arthritis shb
Rematoid arthritis shbRematoid arthritis shb
Rematoid arthritis shb
 
Perawatan luka
Perawatan lukaPerawatan luka
Perawatan luka
 
Osteoporosis shb
Osteoporosis shbOsteoporosis shb
Osteoporosis shb
 
Osteomalasia pada anak shb
Osteomalasia pada anak shbOsteomalasia pada anak shb
Osteomalasia pada anak shb
 
Osteomalacia dewasa shb
Osteomalacia dewasa shbOsteomalacia dewasa shb
Osteomalacia dewasa shb
 
Lordosis shb
Lordosis shbLordosis shb
Lordosis shb
 
Anatomi fisiologi sistem hematologi
Anatomi fisiologi sistem hematologiAnatomi fisiologi sistem hematologi
Anatomi fisiologi sistem hematologi
 
Anatomi & fisiologi sistem imunologi
Anatomi & fisiologi sistem imunologiAnatomi & fisiologi sistem imunologi
Anatomi & fisiologi sistem imunologi
 
Bahan perkuliahan ke 8
Bahan perkuliahan ke 8Bahan perkuliahan ke 8
Bahan perkuliahan ke 8
 
Bahan perkuliahan ke 5
Bahan perkuliahan ke 5Bahan perkuliahan ke 5
Bahan perkuliahan ke 5
 
Bahan perkuliahan ke 4
Bahan perkuliahan ke 4Bahan perkuliahan ke 4
Bahan perkuliahan ke 4
 
Bahan perkuliahan ke 3
Bahan perkuliahan ke 3Bahan perkuliahan ke 3
Bahan perkuliahan ke 3
 
Bahan perkuliahan ke 2
Bahan perkuliahan ke 2Bahan perkuliahan ke 2
Bahan perkuliahan ke 2
 
Bahan perkuliahan ke 1
Bahan perkuliahan ke 1Bahan perkuliahan ke 1
Bahan perkuliahan ke 1
 
Soleh 2078
Soleh 2078Soleh 2078
Soleh 2078
 

Pancasila Sebagai Paradigma Ilmu

  • 1. Bahan Perkuliahan ke 6 PPKN PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA ILMU Drs. Muhammad Taufiq, M.H. Kes. Sejarah Ilmu pengetahuan dari sudut kesejarahannya pastilah identik dengan filsafat karena banyak yang mengatakan bahwa filsafat itu adalah induk dan sumber dari semua ilmu pengetahuan. Hal itu di jelaskan dalam makalah yang di tulis oleh Koento Wibisono Siswomihardjo ini yang menjelaskan tentang kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang telah menunjukkan bahwa filsafat seperti ”pohon ilmu pengetahuan” yang telah tumbuh mekar bercabang dengan secara subur. Yang pada dasarnya ilmu pengetahuan itu timbul dari filsafat kemudian menjadi ilmu-ilmu alam yang positive dan kemudian ilmu alam itulah yang dikembangkan untuk metode ilmu- ilmu social. Dalam bukunya De Opbouw van de Wetenschap (1980) yang kemudian disusul dengan Filosofie van de Wetenschapen (1986), Van Perseun menyatakan bahwa dahulu orang lebih mudah memberi batasan bagaimana ilmu pengetahuan itu daripada sekarang. Dahulu ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat, sehingga pembatasannya bergantung pada system filsafat yang dianutnya. Pernyataan tersebut dapat di lacak kebenarannya melalui sejarah fisafat yang berlangsung di barat melalui suatu tradisi yang kemudian di warisi oleh masyarakat ilmiah ala barat diawali oleh orang-orang Yunani kuno di abad ke-6 SM hingga sekarang ini. Pada tahun 200 Diogens Laertius menegaskan bahwa kelahiran filsafat tidaklah dirintis oleh dunia timur, kemudian diperkuat lagi oleh Eduard Zeller dalam karyanya Grundriss der Geschichte der Grieschischen Philosophie (1920). Di dalam karyanya ia menjelaskan bahwa apa yang dari dunia timur itu bukanlah filsafat melainkan ajaran-ajaran praksis-terapan seperti ilmu perbintangan, ilmu pengobatan, ilmu hitung, dan lain sebagainya. Yang di maksud ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran adalah: 1. pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk. Robert merton mengatakan kaidah- kaidah yang melandasinya adalah universalisme, komunalisme, dis-interestedness, dan skepsisme yang terarah dan teratur. 2. pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, objek sasaran yang hendak diteliti, yang diteliti atau dipertanyakan 1
  • 2. tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedangkan hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem. Pada mulanya ilmu pengetahuan yang identik dengan filsafat memiliki corak mitologik, kosmogoni, dan theogoni. Aristoteles mengemukakan bahwa filsafat sebagai semua kegiatan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akaliah; dan membaginya menjadi ilmu pengetahuan poieis (terapan), ilmu pengehuan praktis ( dalam arti normatif seperti etika politik) dan ilmu pengetahuan teoritik. Dengan mulai pudarnya kekuasaan Romawi, ada isyarat akan datangnya tahapan baru, yaitu filsafat yang harus mengabdi kepada agama. Ancilla Theologiae! Agustinus dan Thomas Aquinas telah memberi ciri khas pasa filsafat di abad tengah dengan menjadikan biara tidak hanya menjadi pusat kegiatan agama, akan tetapi menjadi pusat kegiatan intelektual. Para filsuf besar dari arab seperti Al kindi, Al farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Al Ghazali telah menyebarkan filsafat aristoteles ini ke Cordova (Spanyol). Wells dalam karyanya the Outline of History (1951) menyimpulkan bahwa ” Jika orang Yunani adalah Bapak metode Ilmiah, maka orang muslim adalah Bapak angkatnya”. Filsafat memasuki tahapan baru pada masa gerakan Renaissance di abad ke-15 dan gerakan Aufklarung di abad 18 yang di bawa oleh Copernicus, Galilei Galileo, Kepler, Descartes, dan Imanuel Kant yang memberikan implikasi terjadinya sekularisme yang memisahkan antara agama dengan filsafat sehingga menyebabkan lepasnya ilmu cabang dari batang filsafatnya. Jadi pada awalnya sekitar abad ke 18 model yang dipergunakan ilmu-ilmu sosial juga merupakan metode ilmu alam karena dapat membuktikan suatu kebenaran secara empirik. Auguste comte (1798-1857) dengan Grand Theorinya dalam karya utamanya Cours de Philosophie Positive menerangkan bahwa yang benar dan yang nyata haruslah konkret, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan inilah yang disebut dengan positif. Revolusi ilmu pengetahuan telah berlanjut di abad ke-20 hingga saat ini. Pada abad XX Einstein telah merubah persepsi dunia dengan teori relativitasnya dan teori kuantumnya yang telah berhasil mengembangkan ilmu - ilmu dasar seperti astronomi, fisika, kimia, dll. Positivistisme pada masa lalu menimbulkan beberapa kritik dan koreksi karena sifatnya yang naturalistik dan deterministik. Untuk mengkritik hal tersebut Juergen Habermas mengemukakan klasifikasi ilmu-ilmu empiris-analitis, sosial kritis dan historis hermeneutis yang menggunakan metode empirik, intelektual, rasionalitik, dan hermeneutik sehingga Pada masa sekarang kita lihat makin banyak ilmu-ilmu studi baru yang timbul di berbagai perguruan tinggi akibat adanya faktor heuristik yang mendorong lahirnya cabang ilmu-ilmu baru seperti ilmu lingkungan, ilmu komputer, ilmu sosiatri, dll. 2
  • 3. Masyarakat kita pada sekarang ini sedang mengalami masa trasnsisi simultan sebagaimana yang terjadi pada fenomena perombakan yaitu : 1.Masa transisinya masyarakat dengan budaya agraris-tradisional menuju masyarakat dengan budaya industri modern. 2.Masa transisinya budaya nasional-kebangsaan menuju budaya global_mondial Terdapat berbagai pendapat alternatif untuk mengantisipasi masa transisi diantaranya : 1.Sultan Takdir Alisyahbana menyatakan bahwa kita harus merebut dan menguasai budaya barat. Yaitu budaya Renaissance yang mengandung unsur-unsur kebebasan, individualisme, rasionalisme, optimisme, kreatif, dan inovatif. 2.Karl Popper menyatakan bahwa tidak ada desain manapun yang mampu merekayasa masa depan karena setiap rekayasa pasti segera akan kadaluwarsa, ketinggalan Zaman. 3.Sesuai dengan pelaksanaan pembangunan sebagai pengalaman dasar negara maka kita harus menyusun suatu strategi kebudayaan, yaitu strategi pembangunan yang menggunakan nilai-nilai budaya kita sendiri sebagaimana termanifestasikan dalam Pancasila. Paradigma dapat cenderung berfungsi sebagai ”ideologi” . pancasila sebagai sebuah paradigma yang berada di dalam kawasan filsafat ilmu mempunyai aspek keilmuan yang harus dimiliki oleh setiap ilmu sebagaimana ilmu-ilmu lainnya yaitu : ontologis, epistemologi, dan aksiologi a)Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu pengetahuan merupakan aktifitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus di pandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai masyarakat, sebagai prose dan sebagai produk. b)Epistemologi, yaitu bahwa pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya kita jadikan ”metode berfikir”, dalam arti kita jadikan dasar dan arah di dalam kita mengembangkan ilmu pengetahuan yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil yang dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri. c)Aksiologi, yaitu bahwa dengan mengggunakan epistemologi tersebut di ata, kemanfatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan ideal pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal pancasila. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan di butuhkan situasi yang kondusif. Ilmu pengetahuan mustahil akan dapat berkembang baik dalam arti kuantitatif maupun kualitatif tanpa didasari situasi yang kondusif secara kultural dan struktural. Kultural dalam arti bahwa para warga masyarakat perguruan tinggi,para sivitas akademikanya memiliki sikap akademis,menjadikan dirinya sebagai ”musafir” yang menjelajahi”gurun ilmu pengetahuan 3
  • 4. yang tiada bertepi” melakukan pengembaraan mental yang tidak akan berakhir pada suatu titik henti. Sedangkan Struktural dalam arti bahwa dunia perguruan tinggi sebagai ”a society among equals”harus dipupuk secara demokratis, terbuka melalui wacana akademis. Perguruan tinggi harus melepaskan diri sebagai ”jawatan” yang hanya menunggu petunjuk- petunjuk dari atas. Dalam perkembangannya ilmu pengetahuan mengalami masa perkembangan yang sangat cepat mulai dari abad ke-16 SM hingga sekarang yang terus berkembang. Yang tadinya berasal dari filsafat kini telah timbul ilmu-ilmu baru yang bercabang akibat dari faktor perkembangan ilmu tersebut dengan adanya metode empirik, intelektual. Rasionalitik,dan hermeuneutik.Tanggapan saya terhadap makalah yang disusun oleh Koento Wibisono Siswimihardjo, saya sependapat beliau karena untuk mempelajari sebuah ideologi yang dimana itu sebagai dasar negara kita sendiri adalah sangat penting. Apalagi kita sebagai mahasiwa yang disebut”agent of Change” harus membawa bangsa ini membawa ke arah yan lebih baik tanpa melupakan nilai-nilai pancasila agar tidak terjadi masa transisi seperti sekarang ini. Sebagai civitas academica jangan hanya mengetahui apa isi pancasila saja tetapi harus juga mengetahui dan memahami aspek-aspek yang ada di dalamnya seperti ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam pancasila agar hubungan anatara ilmu panasila dan ilmu pengetahuan tidak dapat lagi ditempatkan secara dikotomis saling bertentangan. Memang sudah sewajarnya jika pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi pada saat yang lalu terdapat isu yang mengemuka dalam simposium nasional yang bertempat di UGM yaitu Pancasila sebagai ideologi negara belum dijadikan filsafat sosial yang mendasari perumusan ilmu pengetahuan yang kontekstual Indonesia. Pancasila lebih dimaknai sebagai doktrin politik untuk melestarikan kekuasaan negara. Menurut Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi, karena belum dijadikan sebagai dasar perumusan pengembangan ilmu pengetahuan, terjadi kolonisasi pemikiran yang kini makin marak. Pendidikan justru menghasilkan lulusan yang lebih menghayati ilmu pengetahuan milik budaya bangsa lain yang nilai-nilainya berbeda dengan bangsa Indonesia. Sejak reformasi 1998 digulirkan, berkembang kecenderungan menafikan Pancasila sebagai ideologi negara. Mengutip survei Direktorat Pendidikan Tinggi tahun 2004 atas 81 perguruan tinggi negeri, Pancasila tidak tercantum lagi dalam kurikulum mayoritas perguruan tinggi. Padahal kampus harusnya menjadi pelopor menghadapi gelombang globalisasi yang ditunggangi neokapitalisme dan fundamentalisme pasar. "Kampus harus memelopori pemikiran untuk mengembangkan filsafat bangsa Indonesia sebagai paradigma pembangunan dan sebagai landasan etik pembangunan nasional," Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof Dr Umar Anggara Jenie menyatakan, Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu pengetahuan diperlukan untuk panduan etik. Sila-sila dalam Pancasila adalah prinsip-prinsip etika universal yang juga dihormati negara lain.Untuk membangun 4
  • 5. paradigma, beberapa filsuf Yunani berpandangan bahwa tidak ada yang tetap di alam ini, yang tetap adalah perubahan itu sendiri, panta-rhei. Sementara itu salah seorang peletak dasar ilmu pengetahuan modern, Newton, berpandangan bahwa dibalik fenomena alam yang selalu berubah ini ada suatu dimensi yang tetap yakni, ruang, energi dan waktu, yang dalam tataran empiris dapat diukur dengan centimeter, gram dan second” atau disingkat “cgs’. Dengan berpijak pada ketiga dimensi ruang, energi dan waktu yang tetap tersebut, dapat dimengerti dan dipahami fenomena alam yang selalu berubah. Dengan paradigma inilah Newton membangun terori-teori ilmu pengetahuan modern dibidang fisika. Cara pandang atau paradigma alam Newton inilah yang sebaiknya kita contoh untuk mengembangkan ilmu pengetahuan itu. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan di butuhkan situasi yang kondusif. Ilmu pengetahuan mustahil akan dapat berkembang baik dalam arti kuantitatif maupun kualitatif tanpa didasari situasi yang kondusif secara kultural dan struktural. Kultural dalam arti bahwa para warga masyarakat perguruan tinggi,para sivitas akademikanya memiliki sikap akademis,menjadikan dirinya sebagai ”musafir” yang menjelajahi”gurun ilmu pengetahuan yang tiada bertepi” melakukan pengembaraan mental yang tidak akan berakhir pada suatu titik henti. Sedangkan Struktural dalam arti bahwa dunia perguruan tinggi sebagai ”a society among equals”harus dipupuk secara demokratis, terbuka melalui wacana akademis. Perguruan tinggi harus melepaskan diri sebagai ”jawatan” yang hanya menunggu petunjuk - petunjuk dari atas. Melalui teori relativitas Einstein paradigma kebenaran ilmu sekarang sudah berubah dari paradigm lama yang dibangun oleh fisika Newton yang ingin selalu membangun teori absolut dalam kebenaran ilmiah. Paradigma sekarang ilmu bukan sesuatu entitas yang abadi, bahkan ilmu tidak pernah selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada kerangka objektif, rasional, metodologis, sistematis, logis dan empiris. Dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif pengembangannya melalui kajian, penelitian eksperimen, baik mengenai aspek ontologis epistemologis, maupun axiologis. Karena setiap pengembangan ilmu paling tidak validitas (validity) dan reliabilitas (reliability) dapat dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (context of justification) maupun berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu ditemukan/dikembangkan (context of discovery). Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta 5
  • 6. prerequisite/saling mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi. 1. Pilar ontologi (ontology) Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi). a) Aspek kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme, dualisme, pluralisme ) b) Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu (mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme). Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi, dasar- dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misal masalah krisis moneter, tidak dapat hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, maka perlu bantuan ilmu lain seperti politik, sosiologi. 2. Pilar epistemologi (epistemology) Selalu menyangkut problematika tentang sumber pengetahuan, sumber kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar kebenaran, sistem, prosedur, strategi. Pengalaman epistemologis dapat memberikan sumbangan bagi kita : (a) sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu (b) memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu (c) mengembangkan ketrampilan proses (d) mengembangkan daya kreatif dan inovatif. 3. Pilar aksiologi (axiology) Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis, moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan ilmu. Pengalaman aksiologis dapat memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan seorang profesional dan ilmuwan (Iriyanto Widisuseno, 2009). Landasan pengembangan ilmu secara imperative mengacu ketiga pilar filosofis keilmuan tersebut yang bersifat integratif dan prerequisite. 6
  • 7. 1. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah 1) Objektif: Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor subjektif (misal : perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) . 2) Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita. 3) Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten, implikatif. Tidak mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis. 4) Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif). 5) Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah prioritas yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas. 2. Masalah nilai dalam IPTEK a. Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan persoalannya Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi manusia dewasa ini adalah keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi satu, kita tidak bisa mengatakan inilah satu-satunya ilmu pengetahuan yang dapat mengatasi problem manusia dewasa ini. Berbeda dengan ilmu pengetahuan masa lalu lebih menunjukkan keekaannya daripada kebhinekaannya. Seperti pada awal perkembangan ilmu pengetahuan berada dalam kesatuan filsafat. Proses perkembangan ini menarik perhatian karena justru bertentangan dengan inspirasi tempat pengetahuan itu sendiri, yaitu keinginan manusia untuk mengadakan kesatuan di dalam keserbamajemukan gejala-gejala di dunia kita ini. Karena yakin akan kemungkinannya maka timbullah ilmu pengetahuan. Secara metodis dan sistematis manusia mencari azas-azas sebagai dasar untuk memahami hubungan antara gejala- gejala yang satu dengan yang lain sehingga bisa ditentukan adanya keanekaan di dalam kebhinekaannya. Namun dalam perkembangannya ilmu pengetahuan berkembang ke arah keserbamajemukan ilmu. 7
  • 8. a) Mengapa timbul spesialisasi? Mengapa spesialisasi ilmu semakin meluas? Misalnya dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam. Makin meluasnya spesialisasi ilmu dikarenakan ilmu dalam perjalanannya selalu mengembangkan macam metode, objek dan tujuan. Perbedaan metode dan pengembangannya itu perlu demi kemajuan tiap-tiap ilmu. Tidak mungkin metode dalam ilmu alam dipakai memajukan ilmu psikologi. Kalau psikologi mau maju dan berkembang harus mengembangkan metode, objek dan tujuannya sendiri. Contoh ilmu yang berdekatan, biokimia dan kimia umum keduanya memakai ”hukum” yang dapat dikatakan sama, tetapi seorang sarjana biokimia perlu pengetahuan susunan bekerjanya organisme-organisme yang tidak dituntut oleh seorang ahli kimia organik. Hal ini agar supaya biokimia semakin maju dan mendalam, meskipun tidak diingkari antara keduanya masih mempunyai dasar- dasar yang sama. Spesialisasi ilmu memang harus ada di dalam satu cabang ilmu, namun kesatuan dasar azas-azas universal harus diingat dalam rangka spesialisasi. Spesialisasi ilmu membawa persoalan banyak bagi ilmuwan sendiri dan masyarakat. Ada kalanya ilmu itu diterapkan dapat memberi manfaat bagi manusia, tetapi bisa sebaliknya merugikan manusia. Spesialisasi di samping tuntutan kemajuan ilmu juga dapat meringankan beban manusia untuk menguasai ilmu dan mencukupi kebutuhan hidup manusia. Seseorang tidak mungkin menjadi generalis, yaitu menguasai dan memahami semua ilmu pengetahuan yang ada (Sutardjo, 1982). b) Persoalan yang timbul dalam spesialisasi Spesialisasi mengandung segi-segi positif, namun juga dapat menimbulkan segi negatif. Segi positif ilmuwan dapat lebih fokus dan intensif dalam melakukan kajian dan pengembangan ilmunya. Segi negatif, orang yang mempelajari ilmu spesialis merasa terasing dari pengetahuan lainnya. Kebiasaan cara kerja fokus dan intensif membawa dampak ilmuwan tidak mau bekerjasama dan menghargai ilmu lain. Seorang spesialis bisa berada dalam bahaya mencabut ilmu pengetahuannya dari rumpun keilmuannya atau bahkan dari peta ilmu, kemudian menganggap ilmunya otonom dan paling lengkap. Para spesialis dengan otonomi keilmuannya sehingga tidak tahu lagi dari mana asal usulnya, sumbangan apa yang harus diberikan bagi manusia dan ilmu-ilmu lainnya, dan 8
  • 9. sumbangan apa yang perlu diperoleh dari ilmu-ilmu lain demi kemajuan dan kesempurnaan ilmu spesialis yang dipelajari atau dikuasai. Bila keterasingan yang timbul akibat spesialisasi itu hanya mengenai ilmu pengetahuan tidak sangat berbahaya. Namun bila hal itu terjadi pada manusianya, maka akibatnya bisa mengerikan kalau manusia sampai terasing dari sesamanya dan bahkan dari dirinya karena terbelenggu oleh ilmunya yang sempit. Dalam praktikpraktik ilmu spesialis kurang memberikan orientasi yang luas terhadap kenyataan dunia ini, apakah dunia ekonomi, politik, moral, kebudayaan, ekologi dll. Persoalan tersebut bukan berarti tidak terpecahkan, ada kemungkinan merelativisir jika ada kerjasama ilmuilmu pengetahuan dan terutama di antara ilmuwannya. Hal ini tidak akan mengurangi kekhususan tiap-tiap ilmu pengetahuan, tetapi akan memudahkan penempatan tiaptiap ilmu dalam satu peta ilmu pengetahuan manusia. Keharusan kerjasama ilmu sesuai dengan sifat social manusia dan segala kegiatannya. Kerjasama seperti itu akan membuat para ilmuwan memiliki cakrawala pandang yang luas dalam menganalisis dan melihat sesuatu. Banyak segi akan dipikirkan sebelum mengambil keputusan akhir apalagi bila keputusan itu menyangkut manusia sendiri. b. Dimensi moral dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan Tema ini membawa kita ke arah pemikiran: (a) apakah ada kaitan antara moral atau etika dengan ilmu pengetahuan, (b) saat mana dalam pengembangan ilmu memerlukan pertimbangan moral/etik? Akhir-akhir ini banyak disoroti segi etis dari penerapan ilmu dan wujudnya yang paling nyata pada jaman ini adalah teknologi, maka pertanyaan yang muncul adalah mengapa kita mau mengaitkan soal etika dengan ilmu pengetahuan? Mengapa ilmu pengetahuan yang makin diperkembangkan perlu ”sapa menyapa” dengan etika? Apakah ada ketegangan ilmu pengetahuan, teknologi dan moral? Untuk menjelaskan permasalahan tersebut ada tiga tahap yang perlu ditempuh. Pertama, kita melihat kompleksitas permasalahan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan manusia. Kedua,membicarakan dimensi etis serta kriteria etis yang diambil. Ketiga, berusaha menyoroti beberapa pertimbangan sebagai semacam usulan jalan keluar dari permasalahan yang muncul. 9
  • 10. a) Permasalahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Kalau perkembangan ilmu pengetahuan sungguhsungguh menepati janji awalnya 200 tahun yang lalu, pasti orang tidak akan begitu mempermasalahkan akibat perkembangan ilmu pengetahuan. Bila penerapan ilmu benar-benar merupakan sarana pembebasan manusia dari keterbelakangan yang dialami sekitar 1800-1900-an dengan menyediakan ketrampilan ”know how” yang memungkinkan manusia dapat mencari nafkah sendiri tanpa bergantung pada pemilik modal, maka pendapat bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan atas dasar patokan-patokan ilmu pengetahuan itu sendiri (secara murni) tidak akan mendapat kritikan tajam seperti pada abad ini. Namun dewasa ini menjadi nyata adanya keterbatasan ilmu pengetahuan itu menghadapi masalahmasalah yang menyangkut hidup serta pribadi manusia. Misalnya, menghadapi soal transplantasi jantung, pencangkokan genetis, problem mati hidupnya seseorang, ilmu pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh kerangka pertimbangan nilai di luar disiplin ilmunya sendiri. Kompleksitas permasalahan dalam pengembangan ilmu dan teknologi kini menjadi pemikiran serius, terutama persoalan keterbatasan ilmu dan teknologi dan akibatakibatnyabagi manusia. Mengapa orang kemudian berbicara soal etika dalam ilmu pengetahuan dan teknologi? b) Akibat teknologi pada perilaku manusia Akibat teknologi pada perilaku manusia muncul dalam fenomen penerapan kontrol tingkah laku (behavior control). Behaviour control merupakan kemampuan untuk mengatur orang melaksanakan tindakan seperti yang dikehendaki oleh si pengatur (the ability to get some one to do one’s bidding). Pengembangan teknologi yang mengatur perilaku manusia ini mengakibatkan munculnya masalahmasalah etis seperti berikut. (1) Penemuan teknologi yang mengatur perilaku ini menyebabkan kemampuan perilaku seseorang diubah dengan operasi dan manipulasi syaraf otak melalui ”psychosurgery’s infuse” kimiawi, obat bius tertentu. Electrical stimulation mampu merangsang secara baru bagian-bagian penting, sehingga kelakuan bias diatur dan disusun. Kalau begitu kebebasan bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang kemusnahan. (2) Makin dipacunya penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang kelakuan manusia, memungkinkan adanya lubang manipulasi, entah melalui iklan atau media lain. 10
  • 11. (3) Pemahaman “njlimet” tingkah laku manusia demi tujuan ekonomis, rayuan untuk menghirup kebutuhan baru sehingga bisa mendapat untung lebih banyak, menyebabkan penggunaan media (radio, TV) untuk mengatur kelakuan manusia. (4) Behaviour control memunculkan masalah etis bila kelakuan seseorang dikontrol oleh teknologi dan bukan oleh si subjek itu sendiri. Konflik muncul justru karena si pengatur memperbudak orang yang dikendalikan, kebebasan bertindak si kontrol dan diarahkan menurut kehendak si pengontrol. (5) Akibat teknologi pada eksistensi manusia dilontarkan oleh Schumacher. Bagi Schumacher eksistensi sejati manusia adalah bahwa manusia menjadi manusia justru karena ia bekerja. Pekerjaan bernilai tinggi bagi manusia, ia adalah ciri eksistensial manusia, ciri kodrat kemanusiaannya. Pemakaian teknologi modern condong mengasingkan manusia dari eksistensinya sebagai pekerja, sebab di sana manusia tidak mengalami kepuasan dalam bekerja. Pekerjaan tangan dan otak manusia diganti dengan tenaga-tenaga mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas manusia (T. Yacob, 1993). c. Beberapa pokok nilai yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Ada empat hal pokok agar ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan secara konkrit, unsur-unsur mana yang tidak boleh dilanggar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat agar masyarakat itu tetap manusiawi. a) Rumusan hak azasi merupakan sarana hukum untuk menjamin penghormatan terhadap manusia. Individu individu perlu dilindungi dari pengaruh penindasan ilmu pengetahuan. b) Keadilan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai hal yang mutlak. Perkembangan teknologi sudah membawa akibat konsentrasi kekuatan ekonomi maupun politik. Jika kita ingin memanusiawikan pengembangan ilmu dan teknologi berarti bersedia mendesentralisasikan monopoli pengambilan keputusan dalam bidang politik, ekonomi. Pelaksanaan keadilan harus memberi pada setiap individu kesempatan yang sama menggunakan hak-haknya. c) Soal lingkungan hidup. Tidak ada seorang pun berhak menguras/mengeksploitasi sumber-sumber alam dan manusiawi tanpa memperhatikan akibat-akibatnya pada 11
  • 12. seluruh masyarakat. Ekologi mengajar kita bahwa ada kaitan erat antara benda yang satu dengan benda yang lain di alam ini. d) Nilai manusia sebagai pribadi. Dalam dunia yang dikuasai teknik, harga manusia dinilai dari tempatnya sebagai salah satu instrumen sistem administrasi kantor tertentu. Akibatnya manusia dinilai bukan sebagai pribadi tapi lebih dari sudut kegunaannya atau hanya dilihat sejauh ada manfaat praktisnya bagi suatu sistem. Nilai sebagai pribadi berdasar hubungan sosialnya, dasar kerohanian dan penghayatan hidup sebagai manusia dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu dan teknologi mau manusiawi, perhatian pada nilai manusia sebagai pribadi tidak boleh kalah oleh mesin. Hal ini penting karena sistem teknokrasi cenderung dehumanisasi ( T. Yacob, 1993). G. Pancasila sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi Karena pengembangan ilmu dan teknologi hasilnya selalu bermuara pada kehidupan manusia maka perlu mempertimbangan strategi atau cara-cara, taktik yang tepat, baik dan benar agar pengembangan ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan dan memartabatkan manusia. Dalam mempertimbangkan sebuah strategi secara imperatif kita meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Pengertian dasar nilai menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah pengembangan ilmu. Dalam konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai upaya manusia untuk mencari kebenaran yang tidak mengenal titik henti, atau ”an unfinished journey”. Ilmu tampil dalam fenomenanya sebagai masyarakat, proses dan produk. Dimensi epistemologis, nilai-nilai Pancasila dijadikan pisau analisis/metode berfikir dan tolok ukur kebenaran. Dimensi aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif dalam mengembangkan ilmu adalah sila-sila Pancasila sebagai satu keutuhan. Untuk itu ilmuwan dituntut memahami Pancasila secara utuh, mendasar, dan kritis, maka diperlukan suatu situasi kondusif baik struktural maupun kultural. E. Strategi Pengembangan IPTEK Pancasila Sebagai Dasar Nilai Peran nilai-nilai dalam setiap sila dalam Pancasila adalah sebagai berikut. 12
  • 13. 1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya. 2) Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok, lapisan tertentu. 3) Sila Persatuan Indonesia: mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas dalam sub-sistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi. 4) Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal. 5) Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia merupakan kesatuan dari perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban manusia. Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan menjebak diri seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan semata-mata berpegang pada kaidah ilmu sendiri, khususnya mencakup pertimbangan etis, religius, dan nilai budaya yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang berbudaya. 13