Intuisi merupakan salah satu potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk melengkapi potensi panca indra dan akal pikiran. Ketiga potensi ini adalah anugerah yang harus dimanfaatkan, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang menjadi modal berharga bagi pembangunan kebudayaan dan peradaban, demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia.
Penggunaan panca indra dan akal secara metodologis dikenal dengan metode pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), kemudian dianalisa, dikategorisasi, dan disimpulkan melalui proses abstraksi oleh akal menggunakan metode analogi, kritik, debat, perbandingan, dan sebagainya. Sedangkan intuisi dimanfaatkan dengan menggunakan metode 'irfani, melalui penyucian diri (tazkiyah al-nafs) dengan menempuh sejumlah latihan batin (spiritual) yang cukup panjang dan intens. Jadi, dalam epistimologi Islam, pendekatan panca indra dan akal yang dilengkapi dengan pendekatan intuitif membuat semua masalah epistemologis dapat dipecahkan.
2. 2
Pokok Pembahasan
• Makna Intuisi
• Intuisi sebagai Metode Ilmiah
• Penggunaan Intuisi dalam Epistemologi
• Kesimpulan
3. 3
Makna Intuisi
Bahasa latin
intuitio
Bahasa Inggris
intuition
Kamus Bahasa
Indonesia
Dalam Islam
Pemandangan
Gerak hati atau hati nurani
Bisikan hati, gerak hati atau daya batin untuk mengerti atau
mengetahui sesuatu tidak dengan berpikir atau belajar.
Ma’rifah al-qalb, sebuah upaya untuk melewati proses riyadah dan
mujahadah, sehingga terjadi mukasyafah atau yang lebih dikenal
dengan metode ‘irfan.
4. 4
Intuisi tertinggi dapat mengambil dalam bentuk wahyu sebagaimana
para nabi. Sedangkan yang lainnya dapat mengambil bentuk inspirasi
atau ilham dan lintasan pikiran.
Ibnu Sina menyebutnya al-fayd (iluminasi). Zunnun al-Misri dan Imam
al-Ghazali menyebutnya al-ma’rifah. Ahmad al-Syirbasi menyebutnya
al-mawhubah. Ada juga yang menyebutnya ilmu laduni.
5. 5
Contoh Intuisi para sufi
Salah satu karya Ibnu Arabi yang berjudul Risalah al-Anwar fi Ma
Yumnah Sahib al-Halwa min Asrar, bisa menjadi bukti ata saksi atas
kekuatan intuitif sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam buku yang
tidak terlalu besar itu, Ibnu Arabi menceritakan pengalaman intuitif luar
biasa ketika dia bisa menembus berbagai dunia dalam sebuah zikirnya
(ada sekitar 23 tingkat pengalaman batinnya), baik yang bersifat fisik,
seperti dunia mineral dan tumbuh-tumbuhan, maupun dunia-dunia gaib,
termasuk melihat surga, neraka, dan arasy.
6. 6
Ibnu Sina seorang ilmuwan ensiklopedis, integrated, holistik, dan
multitalenta, pada saat menulis, pada hakikatnya ia sedang bertasbih.
Melalui tangannya pengetahuan terpancar dari Tuhan. Terkait ini,
Atiyyah al-Abrasyi menceritakan tentang salah satu kebiasaan Ibnu
Sina. Ia berkata, "Jika ia menemui masalah (ilmiah), maka ia pergi ke
masjid, kemudian ia berwudu, shalat sunah, dan berdoa, sehingga
selubung yang menutupi akalnya terbuka”.
7. 7
Intuisi sebagai Metode Ilmiah
Kajian tentang intuisi sebagai metode ilmiah dapat dijumpai pada pemikiran para
pakar yang menyetujui eksistensi dan intuisi tersebut. Sebaliknya, bagi para pakar
yang menolak intuisi sebagai metode ilmiah, baik dari kalangan Muslim maupun
non-Muslim, menganggap bahwa intuisi itu secara metodologis mengandung
kelemahan karena terdapat kesulitan dalam mengujinya. Mereka menolak intuisi
sebagai metode ilmiah karena berpandangan bahwa sumber ilmu hanya alam jagat
raya dengan segala isinya serta fenomena sosial. Mereka tidak mengakui adanya
wahyu yang berasal dari Tuhan berupa taufik, hidayah, ilham, dan pencerahan batin.
Lebih dari itu, ketidakpercayaan terhadap intusi ini terjadi karena mereka tidak
percaya kepada Tuhan.
8. 8
Al-Ghazali sebagai seorang sufi yang sudah sampai pada tahap mencapai ilmu melalui intuisi
menawarkan sebuah metode efektif. Dalam bukunya Ihya' 'Ulum al-Din ia menawarkan beberapa
tahapan dimulai dari :
(1) taubat,
(2) sabar dan syukur,
(3) al-khawf wa al-rajā’,
(4) al-faqr wa al-zuhd,
(5) tauhid dan tawakal,
(6) al-mahabbah,
(7) al-niyyat, al-ikhlāṣ dan al-ṣidq,
(8) al-tafakkur, dan
(9) dzikr al-mawt wa ma ba'dahu.
9. 9
Itulah metode atau langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai
pengetahuan intuitif. Metode tersebut pada intinya adalah
membersihkan hati karena hati yang sudah bersih inilah yang dapat
menerima ilmu dari Tuhan.
Karena itu, Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan kita agar selalu
menjaga kebersihan dan kesehatan hati sebagaimana tercantum dalam
hadis yang diriwayatkan al-Bukhari, "Ingatlah bahwa pada dirimu
terdapat segumpal darah, jika ia sehat, maka sehatlah seluruh badan.
Jika segumpal darah itu rusak (sakit), maka rusaklah seluruh badan
seluruhnya. Ingatlah, segumpal darah itu adalah hati”.
10. 10
Hati juga memiliki makna batin sebagai tempat di mana Allah dapat melimpahkan ilmu-Nya jika hati
tersebut sudah bersih. Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya tentang ayat 179 dari Surah al-A'raf
berkata, "Sesungguhnya ahli neraka itu terdiri dari orang-orang yang kaya raya, bodoh, lalai, tidak
dapat mempergunakan akalnya dalam memahami hakikat segala perkara, tidak mempergunakan
penglihatan dan pendengarannya dalam menetapkan ma'rifah serta mengambil faedah ilmu
pengetahuan, dan tidak pula menggunakannya dalam memahami ayat-ayat Allah yang bersifat
kawniyyah, serta ayat-ayat yang bersifat tanziliyyah”.
Sejalan dengan peran hati dalam memperoleh intuisi, Murtadha Muthahhari mengatakan, "Islam
tergolong kelompok yang mengakui hati sebagai suatu sumber pengetahuan yang alatnya adalah
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Dalam proses mendapatkan ‘irfānī atau intuisi itu, Al-Qur'an tidak
menganjurkan manusia agar mengucilkan diri dari masyarakatnya, pergi ke bukit-bukit, hingga tidak
berurusan dengan berbagai aktivitas”.
12. 12
Penggunaan Intuisi dalam Epistemologi
Epistemologi di kalangan sarjana Muslim didominasi pendekatan bayani dan 'irfani, sedangkan di
kalangan sarjana non-Muslim didominasi pendekatan ijbārī, burhānī, dan jadali, yakni observasi,
eksperimen, dan kebebasan penggunaan akal (rasionalisme, liberalisme, pragmatisme, dan
turunannya).
Ibnu Sina, al-Ghazali, Imam Syafi'i, Jalaluddin Rumi, Syuhrawardi, Mulla Sadra, Sayyid Qutb,
Muhammad Naquib al-Attas, Ziauddin Sardar, dan Ismail Raji al-Faruqi adalah beberapa
cendekiawan Muslim yang menerima dan telah menggunakan intuisi dalam bangunan
epistemologinya.
Hal ini didasarkan pada tiga alas an :
1. Metode intuisi adalah metode yang banyak digunakan manusia dan dikenal sangat berhasil atau
efektif di kalangan orang-orang yang menggeluti dunia spiritual.
2. Metode intuisi dapat diuji kemampuannya dalam memahami realitas secara objektif.
3. Metode intuisi dapat dipelajari dan dikuasai oleh siapapun dengan usaha-usaha yang intens dan
terbimbing."
13. 13
Adapun di antara ilmuan Barat yang menolak intuisi adalah John Stuart Mill.
Penentangannya terhadap intuisi memiliki pengaruh besar, bukan hanya di kalangan
ilmuwan Barat lainnya, tetapi juga di kalangan ilmuwan non-Barat yang telah
terpengaruh pola pikir, tradisi, dan kultur pemikiran Barat. Menurut mereka, intuisi
tidak empiris, tidak rasional, dan (akhirnya) tidak ilmiah. Intinya, bagi mereka,
intuisi itu tidak memenuhi syarat sebagai suatu metode keilmuan.
Sementara Maslow dan Nietzsche mengakui intuisi sebagai intelegensi paling
tinggi dan sebagai fakta psikologis, walaupun kedua tokoh filsafat Barat ini tetap
menolak intuisi sebagai metode keilmuan. Itu karena mereka berdua pernah
mengalami intuisi dalam kehidupan sehari-hari yang tidak bisa diingkari. Bahkan,
lebih dari sekadar pengalaman, intuisi telah memberikan kesan mendalam sebagai
kejadian yang menakjubkan. Intuisi dapat mengungguli pengalaman-pengalaman
lainnya dan memberikan pencerahan intelektual yang luar biasa.
14. 14
Dengan demikian, intuisi telah memainkan tiga peran sekaligus: sebagai
dasar pengetahuan, sumber pengetahuan, dan sebagai cara atau metode
mendapatkan pengetahuan. Sebagai dasar dan sumber pengetahuan,
intuisi bersifat pasif, tetapi sebagai metode mendapatkan pengetahuan,
ia bersifat aktif.
15. 15
Kesimpulan
Intuisi merupakan salah satu potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk
melengkapi potensi panca indra dan akal pikiran. Ketiga potensi ini adalah anugerah
yang harus dimanfaatkan, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan yang menjadi modal berharga bagi pembangunan kebudayaan dan
peradaban, demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia.
Penggunaan panca indra dan akal secara metodologis dikenal dengan metode
pengamatan (observasi) dan percobaan (eksperimen), kemudian dianalisa,
dikategorisasi, dan disimpulkan melalui proses abstraksi oleh akal menggunakan
metode analogi, kritik, debat, perbandingan, dan sebagainya. Sedangkan intuisi
dimanfaatkan dengan menggunakan metode 'irfani, melalui penyucian diri (tazkiyah
al-nafs) dengan menempuh sejumlah latihan batin (spiritual) yang cukup panjang
dan intens. Jadi, dalam epistimologi Islam, pendekatan panca indra dan akal yang
dilengkapi dengan pendekatan intuitif membuat semua masalah epistemologis dapat
dipecahkan.