SlideShare a Scribd company logo
1
KHABAR SHA>DIQ SEBUAH METODE TRANSMISI ILMU
PENGETAHUAN DALAM ISLAM
Oleh: Mohammad Syam’u>n Sali>m
A. Pendahuluan
Diskursus mengenai al-Qur’an dan hadist Nabi hingga saat ini menarik untuk
dikaji. Sebab selain keduanya adalah sumber tertinggi dari ilmu pengetahuan,1
keduanya juga diriwayatkan dari berita yang benar (khabar shadiq) yang bersifat
absolut (absolute authority) 2
sehingga dapat dipertanggung jawabkan. Namun banyak
dari sarjana barat (baca: orientalis) yang menuduhnya sebagai sumber yang palsu dan
tidak otentik. Ini tidak lepas dari asas dasar epistemologi3
mereka yang hanya
bersumber dari panca indra dan akal.4
Berbeda dengan barat, dalam epistemologi Islam
selain pancaindra dan akal, sumber ilmu pengetahuan juga melingkupi intuisi dan kabar
yang benar ‚khabar shadiq‛ (true report).5
Dengan kata lain, tradisi khabar shadiq
hanya terdapat pada epistemologi Islam. Dan tradisi inilah yang menjadikan al-Qur’an
dan hadist tetap otentik, terjaga keasliannya hingga saat ini.
Bukan tanpa alasan para orientalis bersikap ragu-ragu kepada al-Qur’an dan
hadist. Mereka berasumsi bahwa ilmu pengetahuan yang bersumber dari khabar ini
tidak bisa dipertanggung jawabkan. Arthur jeffery misalnya, yang menganggap bahwa
sejarah kodifikasi al-Qur’an adalah fiktif serta meragukan keabsahan mushaf Utsmani.6
Atau William muir yang yang menganggap bahwa dalam literatur hadist nama Nabi
Muhammad SAW sengaja dikutip untuk menutupi kebohongan serta berbagai
keganjilan.7
Pernyataan yang serupa juga dikemukakan oleh seorang orientalis

Peserta Program Kaderisasi Ulama angkatan ke VII Institut Studi Islam Darussalam, Pondok
Modern Darussalam Gontor Ponorogo
1
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition
of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (ISTAC: Kuala Lumpur, 2001), p.121
2
Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam ISLAMIA:
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-September 2005), p.54
3
Epistemologi berasal dari Istilah Yunani Episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang
berarti ilmu. Lihat, Abdul Mun’im al Hanafi, Mu’jam al Sya>mil al Mustalaha>t al Falsafah: fi al Arabiyah
wa al injli>ziyah, wa al Faransiyah, al Ma>niyah, wa al Ita>liyah, wa al Ru>siyah, Cetakan ke 3 (Maktabah
Madbuli: Kairo, 2000), p.18. lihat juga, Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar
Paradigma dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cetakan ke 5 (Belukar: Yogyakarta, 2008), p.28
4
Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisai Ilmu, (CIOS ISID: Ponorogo, 2007), p.1-2.
lihat juga, Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta, 2013),
p.7
5
Lihat, penjelasan Sa’ad al-Di>n al Tafta>zani> dari buku Najm al-Di>n al-Nasa>fi>, dalam A
Commentary on the Creed of Islam, translated and notes, Earl Edgar Elder, (Columbia University: New
York, 1950), p.19
6
Teks aslinya berbunyi ‚…the text which Uthman canonized was only one out of many rival
texts, and we need to investigate what went before the canonical text.‛ Arthur Jeffery, Materials for the
History of the Text of the Qur’an: the Old Codices, (E.J. Brill: Leiden, 1937), p.x
7
Teks asli berbunyi ‚…the name of Mahomet was abused to support all possible lies and
absurdities.‛ William Muir, The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira , Jilid 4
(t.p London, 1861), p.1
2
kebangsaan inggris Alfred Guillaume. Ia mengatakan bahwa sangat sulit untuk
mempercayai literature hadist secara keseluruhan sebagai sebuah rekaman yang otentik
dari semua perbuatan serta perkataan Rasulullah SAW.8
lebih jauh lagi Joseph Schacht
mengemukakan bahwa tidak ada hadist yang benar-benar terbukti asli dari Nabi
Muhammad.9
Ia juga berasumsi bahwa hadist baru muncul pada abad kedua hijriah10
serta meragukan keaslian hadist-hadist yang tertulis dalam (al-kutub as-sittah).11
Artinya, para orientalis ini meragukan bahkan tidak percaya akan keaslian al-Qur’an
dan hadist, yang diriwayatkan oleh kabar yang benar (khabar shadiq).
Untuk itu tulisan ini akan menjawab asumsi para orientalis diatas yang
menafikan berita yang benar (khabar shadiq) sebagai metode transmisi ilmu
pengetahuan dalam Islam. Juga membuktikan bahwa khabar shadiq merupakan sumber
ilmu pengetahuan –dalam hal ini al-Qur’an dan hadist-- yang dapat dipertanggung
jawabkan.
B. Sumber kebenaran dalam epistemologi Islam
Dalam Islam, kebenaran (haq) dan realitas (haqi>qah) memiliki kedudukan yang
penting. Keduanya adalah hal yang paling signifikan untuk memahami hubungan
antara filsafat Islam dan sumber wahyu dalam Islam. Menurut Syeed Hossein Nasr,
pada saat yang sama, al-haqi>qah merupakan kenyataan yang berasal dari al Qur'an.12
Artinya, kebenaran dan realitas dalam Islam adalah satu kesatuan yang utuh (tauhidi)
tak terpisah antara satu dengan lainya.
Dilihat dari sumbernya, kebenaran dalam Islam dapat diraih melalui empat
sumber.13
Pertama, Persepsi indra (idra>k al-hawa>ss).14
Persepsi indra atau pancaindra
8
Teks asli berbunyi ‚it is difficult to regard the hadith literature as a whole as an accurate and
trustworthy record of the sayings and doings of Muhammad‛. Lihat Alfred Guillaume, The Traditions of
Islam: An Introduction to the Study of Hadith Literature, (Clarendon Press: Oxford, 1924), p.12
9
Teks aslinya berbunyi ‚we shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be
considered authentic‛ lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, cetakan kedua,
(Clarendon Press: Oxford, 1959), p.149
10
Aslinya berbunyi ‚a great many traditions in the classical and other collectionswere put into
circulation only after shafi’i’s time. The first considerable body of legal traditions from the Prophet
originated toward the middle of the second century‛ Ibid, p.4
11
aslinya berbunyi ‚even the classical corpus contains a great many traditions which cannot possibly be
authentic‛ Ibid, p.4
12
Dalam hal ini al-Attas memiliki pendapat yang sama, bahwa seluruh ilmu dalam islam
dikembangkan melalui al-Qur’an. Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, trj
Kasidjo Djojosuwarno, (Penerbit Pustaka: Bandung, 1981), p.257. lihat juga, Syeed Hossein Nasr,
Encyclopedia of Islamic Philosophy, part I, (Suhail Academy: Lahore Pakistan, 2002) p.29
13
Namun ada pula yang menyebutkan bahwa sumber Ilmu pengetahuan ini terdiri dari tiga
sumber ‚wa asba>bul ilmi tsala>tsun, al hawa>ss al khamsah, al aql al Sali>m, al khabar sha>diq‛ lihat Ugi
Suharto, ‚Epistemologi Islam‛ dalam buku ‚on Islamic Civilization‛ (Unissula Press: Semarang, 2010),
p.139
14
lihat juga, Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam
ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-September 2005), p.54
3
ini terbagi menjadi dua, Pancaindra eksternal dan Pancaindra internal. Pancaindra
eksternal terdiri dari indra peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran
(hearing) dan penglihatan (sight). Dari indra inilah manusia dapat mencium, dan
membedakan berdasarkan bau, dapat melihat indahnya dunia dan alam semesta, serta
dapat melihat mana yang gelap dan mana yang terang, juga mampu merasakan manis
ataupun asin, pahit, kecut, hambar, juga mampu mendengar suara-suara disekitarnya.
Begitu pentingnya kelima indra ini, hingga Aristoteles mengatakan ‚barang siapa yang
hilang darinya indra, maka telah hilanglah ilmu darinya.‛ 15
Dalam hal ini, Imam al-
Ghazali pun sependapat dengan pendapat Aristoteles, bahwa kelima indra tersebut
(tufīdu mabda' al ilmi).16
lebih jelasnya, ia mengilustrasikan tubuh manusia sebagai
sebuah kerajaan. akal sebagai raja dan kelima indra tersebut adalah pasukannya.17
Sedangkan Pancaindra internal terdiri dari, indra bersama (common sense),
representasi (the representative power), estimiasi (estimative power), rekoleksi
(retentive power or power of recollection), dan imajinasi (Imaginative power).18
Al-Attas menjabarkan bahwa proses tahapan manusia memperoleh ilmu
pengetahuan adalah melalui tahapan presepsi, abstraksi, dan inteleksi yang bersifat
intuitif. Objek ilmu pengetahuan diawali dengan melalui tahap persepsi oleh
pancaindra eksternal dan kemudian disalurkan kepada pancaindra internal pertama,
yaitu indra bersama (common sense). Indra bersama ini akan mengabstraksi bentuk
dari objek ilmu tersebut menjadi sebuah gambaran (image). Yang mana tadi disebut
kemampuan representative (the representative power). lalu ketika objek ilmu tersebut
telah hilang dari indra eksternal. Gambaran objek tersebut ditangkap makna non
indrawinya oleh fakultas estimasi (estimative power), dan membentuk putusan serta
pendapat melalui jalan imajinatif, seperti benar atau salah, baik atau buruk dst. Makna
non indrawi tersebut akan direkam dan disimpan oleh fakultas rekolektif (retentive
power or power of recollection) hingga sampai pada fakultas imajinasi.19
Fakultas imajinasi ini bertugas memadukan dan memisahkan makna-makna
particular yang telah tersimpan oleh fakultas retentif yang didasari oleh rasio praktis
maupun rasio teoritis. fakultas ini memiliki dua aspek, yaitu sebagai sensitif dari
bentuk-bentuk indrawi, juga sebagai penerima rasional dari bentuk-bentuk yang
15
Ayatullah Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam, trj M. Jawad Bafaqih,
(Jakarta: Shadra Press, 2010), p. 38
16
Imam Ghazali, Ihyā’ Ulūm al Dīn, vol. 2... p. 300
17
Ibid, p. 10
18
Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghaza>li’s concept of Causality: with Reference to his
interpretations of Reality and Knowledge, (IIUM: Kuala Lumpur, 2010), p.163
19
Dalam pandangan Chittick, Ibnu Arabi menyebut ‚nalar‛ (aql) sebagai fakultas untuk
memahami bahwa Tuhan itu jauh, sedangkan ‚imajinasi‛ (khayal) sebagai fakultas untuk melihat Tuhan
itu dekat. Lihat, William C. Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-Ilmu
Intelektualisme Islam, terj Arif Mulyani, cetakan pertama, (Mizan: Bandung, 2007), p.93
4
nampak.20
Proses tahapan ini berarti, bahwa Presepsi Indra (idra>k al-hawa>ss) atau (al-
hawa>ssul khamsah) memberikan sumber informasi dan juga sumber ilmu kepada
manusia. Seperti yang termaktub dalam al-Qur’a>n:
‫ي‬ْ‫م‬‫ا‬َ‫م‬‫ي‬َ‫َل‬ ‫م‬‫ا‬‫و‬َ‫ك‬َ‫م‬‫ف‬‫ي‬ ‫ري‬ ‫ِفْض‬‫ي‬ ‫ري‬‫ِفي‬ ‫ا‬‫مو‬‫ري‬ََِ‫ي‬ْ‫م‬َ‫ل‬َ‫م‬‫ف‬َ‫أ‬‫ي‬ ‫م‬‫م‬َ‫و‬َْ‫م‬َ‫مَيْي‬َ‫ال‬‫م‬‫ا‬‫ري‬‫ه‬َ‫ف‬‫مَي‬َ
‫ري‬َ‫ي‬َ‫َل‬ ‫ا‬َْ‫مو‬ََِ‫ي‬‫ِفَل‬َ‫ن‬‫يا‬ َ‫أ‬‫مَي‬َ
‫ري‬َ‫ي‬َ‫َل‬ ‫م‬‫ا‬‫ل‬‫ري‬َِْ‫م‬َ‫ي‬ٌ ‫م‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬‫م‬‫ق‬
‫ي‬‫ري‬‫ض‬ ‫ا‬‫د‬ُّ‫ِفلص‬‫ي‬ ‫ري‬‫ي‬ ‫ري‬‫ِت‬‫ال‬‫ل‬‫ِف‬‫ي‬‫ا‬ٌ ‫ا‬‫ل‬‫ا‬ِ‫ِفل‬‫ي‬ َ‫و‬َْ‫م‬َ‫ي‬‫ن‬‫ري‬‫و‬َ‫ل‬َ‫ي‬‫ا‬‫َض‬َ‫ص‬‫ِفْب‬21
‫ي‬‫ي‬
‚Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada‛
Kedua, proses akal sehat (ta’aqul). Islam menempatkan akal sehat sebagai
sarana mendapatkan ilmu pengetahuan. Ia pun menjadi faktor pembeda antara manusia
dengan hewan. Ia juga berfungsi menutupi kelemahan pancaindra, yang mana panca
indra tidak mampu melakukannnya. seperti yang diungkapkan Iman al-Ghazali, bahwa
akal lebih patut disebut ‘cahaya’ ketimbang indra.22
Lebih jelasnya lagi, akal pikiran
manusia lah yang akan mengatur serta menemukan hubungan-hubungan yang sesuai
dalam setiap wilayah ilmu pengetahuan antara satu dengan yang lainya.23
Sebagai
contoh ketika indra mata melihat bulan, maka yang terlihat adalah bulan yang
berbentuk kecil, sekecil koin logam, padahal sejatinya bulan tersebut memimiliki
ukuran yang besar.24
Walaupun manusia yang belum pernah ke bulan sekalipun,
manusia akan menolak bahwa bulan itu kecil, sebab otak manusia tidak akan mau
menerima.
Lebih dari itu, akal juga memiliki kemampuan bertanya secara kritis tentang
segala hal. bertanya sebuah kejadian atau peristiwa misalnya, kapan terjadi, apa
kejadiannya, oleh siapa, dengan apa dan lain sebagainya. Dengan kata lain, akal bukan
hanya sebuah rasio, ia adalah fakultas mental yang mensistematisasikan dan
menafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan
pengalaman menjadi sesuatu yang dapat dipahami, serta memberi informasi baru
dimana pengalaman empiris tidak dapat menerimanya dengan benar. Jadi bisa
20
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition
of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (ISTAC: Kuala Lumpur, 2001), p. 151-155.
Lihat juga, Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazali’s concept of Causality: with Reference to his
interpretations of Reality and Knowledge,(IIUM: Kuala Lumpur, 2010), p.168-170
21
QS (al-Ha>jj: 46) lihat juga, QS (al-Qa>f:37), QS (al-A’ra>f:179), QS (ali ‘Imra>n:138) dan QS
(al-Maidah:15)
22
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirani Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Mizan:
Bandung, 2005), p.21
23
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib
al-Attas, (Mizan: Bandung, 1998), p.159
24
Imam Ghazali, Misykāt… p. 33
5
disimpulkan bahwa akal-lah yang menutupi kelemahan pancaindra.25
Singkatnya, akal
sebagai sumber ilmu, menyempurnakan kerja indra dari sesuatu yang tidak bisa
dipahami, menjadi sesuatu yang bisa dipahami.26
Ketiga, intuisi kalbu. Dalam Islam intuisi menjadi salah satu diterimanya
sebuah ilmu dan kebenaran. Menurut seorang cendikiawan berkebangsaan Pakistan Sir
Muhammad Iqbal, intuisi menjadi pengalaman unik serta memiliki kedudukan lebih
tinggi dari alam pikiran, maka ia pun yang menghasilkan pengetahuan tertinggi.27
Bukan hanya Iqbal, al-Attas berpendapat serupa, bahwa intuisi memiliki peran sebagai
salah satu elemen mendasar dalam pencarian kebenaran.28
Dengan intuisi kalbu ini,
manusia mampu menangkap pesan-pesan ghaib, isyarat-isyarat Tuhan, serta menerima
ilha>m, fath, kasb,29
dan lain sebagainya. Contohnya, ketika seseorang dengan tiba-tiba
percaya tanpa harus berpikir panjang siapa dia, dari mana asalnya. Namun langsung
disimpulkan bahwa ia adalah orang yang dapat dipercaya, inilah intuisi yang berperan
dalam menilai sesuatu. Intuisi sebagai sumber pengetahuan bukanlah hasil dari pikiran
sadar atau persepsi langsung.30
Namun hal tersebut merupakan respon langsung dari
iman, respon total dari sebuah situasi.
Al-Attas meneruskan, bahwa meskipun pengetahuan intuitif ini tidak dapat
dikomunikasikan, namun pemahaman mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan
yang berasal dari intuisi ini bisa ditransformasikan. Ia membagi intuisi ini menjadi
berbagai jenis dan tingkatan, intuisi yang terendah dialami oleh ilmuan dan sarjana
dalam penemuan-penemuan mereka, sedangkan intuisi yang tertinggi dialami oleh para
nabi.31
lanjutnya, ia berpandangan bahwa intuisi merupakan pengenalan langsung dan
cepat terhadap kebenaran religius, yaitu berupa realitas dan eksistensi Tuhan.
Pengenalan tersebut diperoleh melalui intuisi tingkat tinggi yang disebut intuisi akan
eksistensi (intuition of existence). Dan menurut al-Attas Intuisi ini adalah pekerjaan
hati (qalb).32
Selain itu al-Attas menekankan bahwa proses presepsi dan inteleksi yang
25
Dalam hal ini al-Attas menambahkan kata sifat ‚sehat‛ dalam terma akal (menjadi akal
sehat), sebab bukan saja dikarenakan pikiran manusia sering tidak betul dan berangkat dari sebuah
premis yang salah, atau kesimpulan yang keliru meskipun berdasarkan premis yang betul, namun juga
lebih kepada seringnya manusia terpengaruh oleh estimasi dan imajinasi, yang bisa saja salah ketika akal
menegasikan kemampuan untuk memahami realitas spiritual melalui intuisi. Ibid, p.159
26
Bagaimanapun sempurnanya akal, ia masih memiliki kemampuan terbatas. untuk mengetahui
ruh misalnya, akal tidak mampu sampai kepada ruh tersebut. Dikarenakan keterbatasan inilah, Allah
SWT mengutus Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada Manusia. Lihat, Ismail Fajrie Alatas, Sungai
Tak bermuara Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam: Sebuah Tinjauan Insani, (Diwan: Jakarta, 2006), p.150
27
Allama Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Tanpa tahun,
dan penerbit, pdf, p.10
28
Ibid, p.160
29
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme……. p.206
30
Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan filsafat, Terj, H. M. Rosjidi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), p. 203-204
31
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ….. p.160
32
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam…., p.119
6
bersifat intuitif. Sehingga kedua hal tersebut menegaskan bahwa proses memperoleh
ilmu pengetahuan adalah aktifitas spiritual.
Selaras dengan ini Alparslan menyebutkan bahwa tugas (qalb) sebagai pusat
pengalaman wahyu, adalah memproyeksikan kebenaran yang tak terlihat gaib. Ia pun
menafsirkan qalb dalam surat al-Qa>f ayat 3733
sebagai fakultas pengalaman‚faculty of
experience‛menurutnya hal ini disebabkan karena pada kenyataannya apa yang
dirasakan qalb berlawanan dengan apa yang didengar sebagai sebuah fakultas
pengalaman indrawi. Oleh sebab itulah Allah berfirman dalam al-Qur’an ‚Qulu>bun
ya’qilu>na biha>‛ 34
‚heart is implied as the center of experience while the revelation projects
the unseen truth , namely the truth of gaib. we can interpret qalb in this verse as a
faculty of experience, because it is contrasted with ear, a faculty of sense-
experience . in fact, we see that in the same manner, (heart) is contrasted with
other faculties of experience‛35
Dalam hal ini Imam al-Ghazali pun merumuskan bahwa intuisi terbagi menjadi
dua, intuisi pertama didapatkan tanpa pelatihan apapun, atau tanpa kesengajaan,
sedangkan intuisi yang kedua adalah, intuisi yang dapat dilatih untuk mendapakannya.
Seperti contoh sebuah inspirasi ilahi dalam bentuk mukasyafah bagi para ulama>’ dan
hukama’. Oleh sebab itu al-Ghazali menjelaskannya dengan terminologi berbeda dalam
hal intuisi kalbu ini. Yang pertama untuk hal-hal yang lembut. Yang kedua untuk hal-
hal yang nyata.36
Maka tak salah bila Iqbal menyebut intuisi kalbu ini sebagai sarana
mengenal dirinya serta mengenal lebih jauh mengenai sesuatu yang ada diluar dirinya
yang bermuara pada pengalaman intuisi mengenai Allah SWT.37
Hal ini pun selaras
dengan hadist Nabi ‚man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa rabbah‛ 38
33
‫ي‬‫د‬ ‫ري‬‫م‬َ ‫ي‬َ‫م‬‫ا‬َِ‫ي‬ََ‫مو‬‫ال‬ِ‫ِفل‬‫ي‬ ‫م‬َِ‫َل‬‫أ‬‫ي‬ َ‫أ‬‫ي‬ْ‫م‬‫ل‬َ‫م‬‫ق‬‫ي‬‫ا‬َ‫م‬َ‫ل‬‫ي‬َ‫َل‬َ‫م‬َ‫ر‬‫ي‬‫من‬َ‫و‬‫ري‬‫ليل‬َ‫ى‬‫ر‬‫ري‬‫مك‬َ‫ل‬‫ي‬ََ‫م‬‫ري‬‫ل‬َ‫ن‬‫ي‬ ‫ري‬‫ي‬‫ال‬‫َل‬‫ري‬‫إ‬ artinya, Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.
34
‫م‬‫م‬َ‫و‬َْ‫م‬َ‫مَيْي‬‫م‬َ‫ال‬‫م‬‫ا‬‫ري‬‫ه‬َ‫ف‬‫مَي‬‫م‬َ
‫ري‬َ‫ي‬َ‫َل‬ ‫ا‬َْ‫مو‬‫م‬ََِ‫ي‬‫ِفَل‬َ‫ن‬‫يا‬ َ‫أ‬‫مَي‬‫م‬َ
‫ري‬َ‫ي‬َ‫َل‬ ‫م‬‫م‬‫ا‬‫ل‬‫ري‬َِْ‫م‬َ‫ي‬ٌ ‫م‬‫م‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬‫م‬‫ق‬‫ي‬ْ‫م‬‫م‬‫ا‬َ‫م‬‫ي‬َ‫َل‬ ‫م‬‫م‬‫ا‬‫و‬َ‫ك‬َ‫م‬‫ف‬‫ي‬ ‫ري‬ ‫ِفْض‬‫ي‬ ‫ري‬‫ِفي‬ ‫ا‬‫مو‬‫م‬‫ري‬ََِ‫ي‬ْ‫م‬‫م‬َ‫ل‬َ‫م‬‫ف‬َ‫أ‬‫ي‬‫ي‬‫من‬‫م‬‫ري‬‫و‬َ‫ل‬َ‫ي‬‫ا‬‫مَض‬‫م‬َ‫ص‬‫ِفْب‬
‫ي‬‫ري‬‫ض‬ ‫ا‬‫د‬ُّ‫ِفلص‬‫ي‬ ‫ري‬‫ي‬ ‫ري‬‫ِت‬‫ال‬‫ل‬‫ِف‬‫ي‬‫ا‬ٌ ‫ا‬‫ل‬‫ا‬ِ‫ِفل‬‫ي‬ َ‫و‬َْ‫م‬َ (QS al-Ha>jj : 46)
35
Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Toward a Definition, (ISTAC: Kuala Lumpur, 1996),
p.47
36
Imam Ghazali, Kimiyā’ Sa’ādah in Majmū’ Rasāil Ghazali... p. 135-139
37
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ….. p.160
38
Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dari perkataan ‚diri‛ diatas bukanlah
diri dalam artian fisik, melainkan diri dalam konteks spiritual yang mengenal serta mengakui Tuhan
sebagai penciptanya. Lihat, Allama Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in
Islam, Tanpa tahun, dan penerbit, pdf, p.17-26, lihat juga, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam ….. p.160. juga QS al-A’Ra>f:172
7
Keempat, informasi yang benar (khabar sha>diq), ia merupakan sumber
kebenaran yang tak kalah penting dalam Islam. Dalam bahasa inggris, khabar shadiq
sering disebut dengan ‘true report’39
atau ‘true narrative.’40
Sumber kebenaran yang
berasal dari khabar sha>diq bersandar kepada otoritas yang diterima dan diteruskan
(ruwiya wa nuqila) hingga akhir zaman, di mana sumber utamanya adalah wahyu, baik
kalam Allah maupun sunnah Rasulullah.41
Untuk lebih jelasnya, sumber kebenaran
keempat ini akan dijabarkan lebih luas pada sub bab berikutnya.
C. Pengertian Khabar sha>diq dalam epistemologi Islam
Bila ditelaah lebih dalam, khabar secara etimologi berarti berita (an-naba>’)42
dan ia adalah sekumpulan dari berita-berita atau kabar-kabar.43
Khabar bermakna pula,
cerita, riwayat, pernyataan, ucapan (talfana li>, kallama, ra>sala) 44
atau (to contact,
communicate with). Ibnu Taimiyyah mendefinisikan khabar dengan lebih rinci lagi
yakni sebuah berita atau kabar, baik yang benar maupun yang keliru atau bohong.45
Secara terminologi khabar berarti berita yang mengabarkan tentang sesuatu kejadian,
yang ditransfer dan dibicarakan melalui perkataan, tulisan atau gambaran dari
kejadian-kejadian yang baru.46
Ada pula yang menyebut bahwa khabar secara bahasa,
memiliki makna sama dengan hadist, yaitu segala berita yang disampaikan oleh
seseorang kepada seseorang.47
Namun hadist memiliki makna yang lebih umum dari
khabar, sehingga tiap hadist bisa disebut sebagai khabar, tapi tidak semua khabar dapat
disebut hadist.48
Sedangkan sha>diq secara etimologi berarti benar ‚ghoiru ka>dzib‛ atau ‚shari>kh‛
(true truthful).49
Dilihat dari makna terminologisnya, sha>diq50
berarti sesuatu fakta
yang sesuai dengan realita. Lawan katanya adalah bohong (kadzb). Pelakunya disebut
39
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam….,p.14
40
Lihat, penjelasan Sa’ad al-Di>n al Tafta>zani> dari buku Najm al-Di>n al-Nasa>fi>, dalam A
Commentary on the Creed of Islam, translated and notes, Earl Edgar Elder, (Columbia University: New
York, 1950), p.19 lihat juga, Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Gema Insani:
Jakarta, 2008), p.205
41
Ibid, p.206
42
Muhammad abu laits khoiru abadi, ‘Ulu>mul Hadi>st asi>luha wa mu’a>shiluha>, (Darul Sya>kir:
Malaysia, 2011), p.26-27
43
Abu Abdurrahma>n al Kholi>l Ibnu Ahmad, Kita>bu al Aini, Jilid 8 (Daru Maktabah al Hila>l,
t.t), p.258
44
Rohi Baalbaki, al Maurid, Edisi ke 7,(Da>r el ilm lilmabyi>n: Beirut Lebanon, 1995), p.498
45
Ibnu Taimiyyah, ‘Ilmu al Hadi>st, (Da>r al Kutu>b al ‘A<lamiyyah: lebanon, 1985), p.36
46
Ahmad Mukhtar ‘Abdul Hami>d Uma>r, Mu’jamu al Lugha>h al ‘Arabiah al Mu’a>shirah, Jilid 1,
cetakan pertama (‘Alim al Kitab, t.t), p.608
47
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Rajawali Press: Jakarta, 2002), p.15
48
Ibid, p.15
49
Rohi Baalbaki, al Maurid,……. , p.684
50
‚Sadi>q‛ berakar dengan kata ‚al Sha>diq‛ . kata al Sha>diq adalah salah satu dari Nama Allah
SWT. Lihat, Ahmad Mukhta>r ‘Abdul Hami>d Uma>r, Mu’jamu al Lugha>h al ‘Arabiah al Mu’a>shirah, Jilid
2…, p.1283
8
‚sha>diqu>n‛ (true man). Orangnya disebut ‚siddi>q‛( man of truth).51
Kebalikannya
disebut dengan berita palsu (khabar kadzi>b). Menurut al-Attas khabar sha>diq atau
berita yang benar haruslah didasari oleh sifat-sifat dasar santifik atau agama, yang
mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik. Artinya, khabar inipun benar-
benar diriwayatkan oleh ulama yang otoritatif dalam bidang agama, bukan
diriwayatkan oleh sembarang orang. Dalam bukunya ia berpendapat,
‚Islam affirms the possibility of knowledge; that knowledge of realities of
things and their ultimate nature can be established with certainty by means of our
external internal sense and faculties, reason and intuition, and the true report of
scientific or religion nature, transmitted by their authentic authorities‛ 52
D. Khabar Sha>diq Pembagiannya dan validitasnya
As Syawkani memilah khabar menjadi tiga jenis. Pertama, khabar yang sudah
pasti benar (al maqthu>’ bi shidqihi) baik yang kebenarannya bernilai pasti dan mutlak,
yang bersumber dari khabar mutawatir dan pengetahuan a priori (awwaliya>t), maupun
yang diyakini benar, setelah dilakukannya penelitian, serta dibuktikan dan diuji secara
ilmiah. Bila merujuk kepada yang sudah pasti benarnya, disini Al-Qur’an memiliki
derajat tertinggi, setelahnya adalah hadist Rasulullah SAW, dan diterima secara
universal.53
Kedua, khabar yang palsu, keliru atau dusta (al Maqthu>’ bi kidzbihi), hal
ini berlaku pada segala hal yang diketahui salahnya secara pasti dan langsung, ataupun
yang diketahui dengan cara pembuktian. Ketiga, khabar yang tidak dapat dipastikan
benar atau salahnya (ma> la> yuqtha>’ bi shidqihi wa la> kidzbihi), hal ini berupa khabar
yang sumbernya sama sekali tidak diketahui, atau sumbernya pun tidak jelas, termasuk
didalamnya khabar yang belum tentu atau kemungkinan benar, namun kedudukannya
belum pasti, maupun sebaliknya yaitu, khabar yang kemungkinan salah, palsu atau
keliru, walaupun belum pasti demikian.54
Namun, bila dilihat dari otoritasnya, khabar sha>diq ini terbagi menjadi dua.
Pertama, otoritas mutlak (absolute authority) yang terdiri dari, otoritas ketuhanan yaitu
al-Qur’an. dan otoritas kenabian, yaitu hadist Rasulullah. Kedua, Otoritas nisbi
(relative authority) yang terdiri dari, kesepakatan alim ulama (tawatur) dan khabar
51
Ali Muhammad al Khu>li, a Dictonary of Islamic Terms, (tanpa tahun, pdf), p.63-64
52
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam….,p.14. lihat
juga Dinar Dewi Kania, Epistemologi Syed Muhammad Naquib al-Attas, makalah, p.4
53
Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta, 2013),
p.xvii
54
Imam Muhammad ibn Muhammad as Syawkani, Irsya>d al Fuhu>l ila at Tahqi>q al Ha>qq min
‘Ilmi l-Ushu>l, (Da>r al Kutu>b al Islamiyyah: Beirut, 1994), p.71,2. Dikutip dalam Syamsuddin Arif,
Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Gema Insani: Jakarta, 2008), p.207-208
9
yang berasal dari orang terpecaya secara umum.55
Khabar inipun diperjelas lagi dengan
dua kriteria. Pertama, (lidza>tihi atau binafsihi) maksudnya, berita benar ini benar
dengan sendirinya tanpa diperkuat oleh sumber lain. Sedangkan kedua, (bi ghairihi),
yakni berita benar yang masih didukung dan diperkuat oleh sumber yang lain,56
yang
mana akal kita akan menolak bahwa mereka bersekongkol untuk berdusta. Sehingga
secara umum bahwa khabar sha>diq dapat dipahami sebagai sebuah berita benar, yang
mengabarkan tentang segala sesuatu, dibicarakan melalui perkataan, tulisan maupun
gambaran yang mana disampaikan dari satu generasi ke generasi yang lain.
Merujuk dari argumentasi diatas, al-Qur’an menepati kedudukan tertinggi
dalam sumber kebenaran, ia bersifat qhat}’i al tsubu>t wa qhat}’i al dala>lah,57
yaitu dari
makna maupun maksudnya telah jelas otentisitasnya. Ia juga bersifat tsabit tetap
secara qhat’i, sebab telah diakui, dibuktikan serta dipastikan ketawaturannya oleh
seluruh umat manusia dan tidak terdapat perbedaan sedikitpun dengan yang diterima
oleh Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an turun dalam rentang waktu 23 tahun,
diturunkan dalam satu malam ke langit terbawah (bait izzah) yang kemudian
diturunkan ke bumi secara bertahap58
kepada Nabi Muhammad SAW dengan
perantara Malaikat Jibril, disampaikan pada sahabat dari generasi hingga kegenerasi
melalui mata rantai (talaqqy>-musya>fahah) tradisi lisan yang jelas.59
Dalam
penyampaiannya Nabi Muhammad menghafalnya, namun secara silih berganti
membaca al-Qur’an bersama Malaikat Jibril. Untuk menjaga hafalan Rasulullah,
Malaikat Jibril mengunjunginya setiap tahun untuk memantapkan hafalannya.60
Setelah dihafal, Rasulullah menyampaikan al-Qur’an ini dengan diajarkan serta
dijelaskan kepada para sahabat. Ini terlihat begitu Nabi sampai di Madinah Ia membuat
sebuah kelompok belajar (suffah) di dalam masjid.61
Nabi sampai menyediakan
55
Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam ISLAMIA:
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-September 2005), p.54
56
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme……. p.207
57
Ibid, p. 210
58
Dalam masalah ini lebih jelasnya silahkan baca, Jalaluddi>n as Suyuti, al Itqa>n fi ‘Ulu>m-l
Qur’a>n, (al Maktabah al ‘Ashri, 2003)
59
M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian
Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru……., p. 43-128. Untuk lebih jelasnya baca,
al-Sayyid Ahmad bin Abd Rahma>n, Asa>ni>d Al-Qurra>’ al-Asyarah al-Bara>rah wa Ruwwa>tihim al-
Bara>rah, (Dar al Shaha>bah: Kairo, 1424)
60
Lihat hadist yang diriwayatkan oleh Fatimah RA. Fatimah berkata, Nabi Muhammad
memberitahukan kepadaku secara rahasia, Malaikat Jibril hadir dan membacakan al-Qur’an kepadaku
dan saya membacaknnya sekali dalam setahun. Hanya tahun ini ia membacakan seluruh isi kandungan
al-Qur’an selama dua kali. Saya tidak berfikir lain kecuali, rasanya, masa kematian semakin dekat. Lihat
Shahih Bukhari, Fadhail al-Qur’an, : 7
61
Perlu dicatat, hal ini disebabkan karena konsep-konsep dalam al-Qur’an yang begitu banyak
dan kaya. kemudian dipahami, ditafsirkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’i tabi’i>n hingga para ulama
saat ini. Pada akhirnya hal ini berakumulasi kepada pemahaman wahyu yang masuk ke dalam berbagai
bidang kehidupan dan membentuk sebuah sebuah peradaban yang kokoh. Dengan kata lain wahyu dalam
tradisi Islam melahirkan sebuah budaya Ilmu atau tradisi intelektual yang berujung pada terciptanya
sebuah peradaban. Selain itu, dari wahyu ini pula Islam memiliki sebuah medium transformasi dalam
bentuk sebuah institusi pendidikan disebut al-Suffah. Lihat, Alparslan Acikgenc, Islamic Science:
10
makanan dan tempat tinggal.62
Dengan kata lain, tradisi pengkajian al-Qur’an begitu
sistematis sedemikian rupa lewat kelompok-kelompok belajar. selain itu al-Qur’an
tidak hanya berupa sebuah naskah teks tertulis (rasm), ia juga merupakan bacaan
(qira’ah) yang dihafalkan, sehingga al-Qur’an dapat terus dijaga.
Setelah disampaikan kepada para sahabat, al-Qur’an ini pun dicatat dan ditulis
oleh kurang lebih 65 sahabat Rasulullah, yang berperan sebagai penulis wahyu.63
Selain
menulis, para sahabat juga menghafalnya. Dua hal ini secara langsung diawasi oleh
Rasulullah SAW secara rutin. Biasanya Nabi memanggil para penulis untuk menulis
ayat al-Qur’an setiap kali ayat al-Qur’an turun. Setelah selesai para sahabat membaca
ulang dihadapan Nabi agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.
Setelah Rasulullah wafat tradisi ini pun terus berlanjut. Hingga pada zaman Abu Bakar
diputuskan untuk dikumpulkan menjadi satu kitab utuh, disebabkan banyak dari para
huffa>z (penghafal al-Qur’an) meninggal dalam peperangan Yamama. Perlu dicatat,
bahwa al-Qur’an telah ditulis secara utuh sejak zaman Nabi Muhammad, hanya saja
belum disatukan menjadi satu dan surah-surah yang ada pun belum tersusun.64
Penyusunannya pun tidak sembarang, sahabat diharapkan menyerahkan catatan mereka
serta menyetor hafalan mereka dibarengi dua saksi yang mendampingi. Ia juga
diharuskan bersumpah bahwa ia telah mendapatkan langsung dari Rasulullah SAW.65
Selain itu, penunjukan ‚Zaid bin Thabit‛ sebagai ketua pengumpul al-Qur’an
pun bukan tanpa alasan. Sejak usia dua puluhan ia sudah tinggal bersama Rasulullah
dan bertindak sebagai ‚kutta>b al wahyi‛ atau penulis wahyu yang amat cemerlang.
Karena itu Abu Bakr as-Siddiq memberikan kualifikasi kepada Zaid. Pertama, pada
masa muda, Zaid terkenal dengan kekuatan energinya serta menunjukkan vitalitas yang
luar biasa. Kedua, akhlaknya pun tidak pernah tercemar dengan perbuatan yang buruk.
Ketiga, zaid memiliki kompetensi serta kecerdasan yang tinggi. Keempat, ia pun
memiliki pengalaman sebagai penulis wahyu. Kelima, ia juga sebagai salah satu
sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an Malaikat Jibril bersama Nabi
Muhammad secara langsung.66
Keenam, Zaid bukan seorang sahabat yang memiliki
Toward a Definition, (ISTAC: Kuala Lumpur, 1996), p.82-83. Juga, hamid Fahmy Zarkasyi, ‚Ikhtiar
Membangun Kembali Peradaban Islam yang Bermartabat‛ dalam ‚On Islamic Civilization‛ (ed) Laode
Kamaluddin, (Unissula Press: Semarang, 2010), p. 25-26. Juga Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam:
Makna dan Strategi pembangunannya, (CIOS ISID: Ponorogo, 2010), p.17
62
M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian
Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru……., p.46-66
63
Para sahabat.. kuttabs ini diantaranya, Abba>n bin Sa’i>d, Abu Umama, Abu Ayyu>b al Ansari,
Abu Bakr as-Siddi>q, Abu Hudhaifa, Abu Sufya>n, Abu Salama, Abu Abba>s, Ubayy bin Kaa>b, al Arqa>m,
Usaid bi Sa’a>d, Suhai>m, Hati>b, Hudhaifa, Husei>n, Hanzala, Huwaiti>b, Kha>lid bin sa’id, Kha>lid bin
Wali>d, Az-Zubei>r bin Awwa>m, Zubai>r bin Arqa>m. Untuk lebih lengkapnya, lihat al-A’Za>mi, Kutta>b an
Nabi>, (t.p, Riya>d, 1981)
64
Jalaluddin as Suyuti, al Itqa>n fi ‘Ulu>m-l Qur’a>n, (al Maktabah al ‘Ashri, 2003), p.163-165
65
Ibnu Abi> Daud, al-Masha>hif, Cetakan ke 6, (Maktabah al-Islami>: Beirut, 2003), p.209
66
M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian
Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru……., p.46-92
11
tipe fanatik, ia sangat mudah mendengarkan pendapat orang lain.67
Ketujuh, Zaid juga
menguasai belajar serta menguasai berbagai bahasa.68
Artinya, penunjukkan Zaid bin
Thabit bukan secara kebetulan. Semua telah diperhitungkan begitu matang. Ini pun
menunjukkan bahwa al-Qur’an bersumber dari khabar shadiq yang terjaga
kebenarannya dan bahkan dijamin sendiri oleh Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah
yang berbunyi, ‚inna> nahnu nazzalna> al dhikra wa inna> lahu lah{a>fiz{u>n‛ 69
Tidak berbeda dari al-Qur’an. sumber periwayatan hadist pun tergolong khabar
shadiq yang dapat dipertanggung jawabkan. Ia juga berperan sebagai tafsir dan penjelas
al-Qur’an yang paling otentik.70
Di dalam ilmu Hadist, terdapat empat syarat, kriteria
bagaimana sebuah khabar masuk pada tataran khabar mutawatir. Syarat pertama
adalah, diriwayatkan oleh rawi-rawi dalam jumlah yang banyak secara berturut-turut.71
Ini berarti khabar tersebut haruslah diriwayatkan secara orang perorangan dengan
jumlah yang banyak secara beruntun atau estafet, tanpa terputus. Yang kedua,
periwayatan yang banyak dan berturut-turut ini terdapat dalam setiap tingkatan sanad.
Artinya tidak hanya diriwayatkan secara berturut-turut, namun perawinya pun harus
merata, ada disetiap generasi. Syarat selanjutnya adalah, perawi yang meriwayatkan
harus terpercaya serta terbebas dari kebohongan.72
dengan kata lain, selain khabar
tersebut diriwayatkan secara terus-menerus tanpa terputus dan perawinya berasal dari
beberapa tingkatan sanad, perawinya pun harus terpercaya dan terbebas dari
kebohongan. Sedangkan yang terakhir adalah, perawi harus menjadikan panca indra
sebagai landasan periwayatannya,73
dalam artian ia pernah melihat, menyaksikan,
megalami, mendengar kabar tersebut secara langsung, ‚al-Musya>hadah wa s-sama>’ la
‘ala> sabi>l al-ghala>t}‛, tanpa disertai ilusi ataupun praduga.74
Maka tidak mengherankan
bila khabar mutawatir ini tidak diragukan kebenarannya, mengingat begitu ketatnya
kriteria sebuah khabar hingga dapat diterima menjadi sumber yang benar-benar
mutawatir.
Bila pada hadist yang derajatnya mutawatir para ulama telah menetapkan
persyaratan yang begitu ketat, maka khabar ahad atau hadist ahad 75
ini juga demikian.
67
Muhammad Husein Haekal, Abu Bakr al-Shiddi>q, (Litera Antar Nusa: Bogor, 2010), p.335
68
Ibnu Abi Daud, al-Masha>hif, Cetakan ke 6, (Maktabah al-Islami>: Beirut, 2003), p.143
69
QS al Hijr: 9 yang artinya, ‚Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya‛
70
M. Mustafa al-A’Zami, Studies In Hadith Methodology and Literature, revised edition,
(Islamic Book Trust: Kuala Lumpur, 2002), p.9
71
Adapun jumlah perawinya, Ulama berbeda pendapat. Namun, Imam al Suyuti (911 H)
memaparkan bahwa pendapat yang terpilih adalah sepuluh orang. Lihat, Jalaludin al Suyuti, Tadri>b al-
Rawi fi Syarh Taqri>b al-Nawa>wi, (Dar al-Kutu>b al-Hadi>tsah: Cairo, 1966), p.177. lihat juga, Ali Mustafa
Yaqub, Kritik Hadist……, p.132
72
M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian
Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru, (Gema Insani: Jakarta, 2005), p.190
73
Muhammad abu laits khoiru abadi, ‘Ulu>mul Hadi>st asi>luha> wa mu’a>shiluha>,……, p.135
74
Mahmud Tahhan, Taisi>ru Mustalah al Hadi>st, Cetakan ke 5 (t.p, Saudi Arabia, 2000), p.19
75
12
Menurut Syamsuddin Arif, khabar ahad pun harus diklasifikasi kualitas sumbernya,
siapa yang meriwayatkan, begitu pun siapa yang menyampaikannya dan yang
mengatakannya, serta bagaimana kualifikasi serta otoritas sanad dan isnadnya.76
Persyaratan yang begitu ketat ini pun tidak hanya berlaku pada narasumber atau
perawinya namun juga isi pesannya (matan) beserta penyampainnya. Dengan kata lain
bahwa khabar ahad tidak serta merta ditolak, ataupun diterima, ia juga melalui proses
panjang hingga pada akhirnya dapat diterima sebagai khabar benar.
As-Syawkani menegaskan, sebuah khabar ahad baru dapat diterima sebagai
sumber kebenaran, bila memenuhi beberapa syarat. Pertama, sumber berita/khabar
harus berasal dari seseorang yang ‚mukallaf‛ dalam artian seseorang tersebut telah
terkena kewajiban melaksanakan perintah agama serta mampu mempertanggung
jawabkannya. Oleh sebab itu hanya orang ‚baligh‛ cukup umur saja yang beritanya
dapat diterima, anak kecil, orang gila tidak diterima khabarnya. Kedua, sumber khabar
pun harus berasal dari yang beragama Islam. Hal ini pun ditegaskan pula oleh Imam
Ibnu Hibban (354 H-965 M) bahwa orang yang secara dzahir seorang Muslim namun
batinnya kafir ‚zindi>q‛. Mereka ini adalah seorang sophis, agnostic, skeptic, relativis
bahkan atheis, mengaku sebagai ulama, yang dengan sengaja menimbulkan keragu-
raguan (li yuqi>’u s-syakk wa r-rayb) pada masyarakat serta menyesatkan orang lain.77
Maka kabar, cerita ataupun pernyataan yang berasal dari seorang nasrani, kafir dalam
hal ajaran Islam tidak dapat diterima.
Ketiga, perawi haruslah seorang yang memiliki intergritas moral yang tinggi
(‘ada>lah), sehingga menunjukkan bahwa ia seorang yang dapat dipercaya karena
kerwibawaannya (muru>’ah), ketaqwaannya dan Jauh dari dosa-dosa besar maupun
dosa-dosa kecil. Ini berarti, orang yang fasiq, kabarnya tidak dapat diterima, sebab ia
bukan termasuk lagi dalam golongan orang yang adil (‘ada>lah).78
sedangkan yang
keempat, as-Asyawkani menjelaskan bahwa perawi haruslah seorang yang ‚dhabt‛
yang memiliki ketelitian serta kecermatan. Ibn Hibban memasukkan didalamnya, orang
yang tidak teliti, orang yang bukan pakar atau ahli dalam bidangnya,79
sehingga kabar
76
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme……. p, 209
77
Muhammad Ibn Hibba>n, Kitab al Majru>hi>n mi al Muhaditsi>n wa d Dhuafa>’ wa l Matru>ki>n,
(Dar al Wa’y: Aleppo, 1396 H), p.62-88
78
Ima>m Muhammad ibn Muhammad as Syawka>ni, Irsya>d al Fuhu>l ila at Tahqi>q al Haqq min
‘Ilmi l-Ushu>l, (Dar al Kutu>b al Isla>miyyah: Beirut, 1994), p.78-85
79
Selain yang telah disebutkan, Ibnu Hibban menambahkan, orang yang sengaja berdusta atas
nama Rasulullah SAW dengan menyebutkan alasan sebagai amal ma’ruf nahi mungkar, seseorang yang
secara terang-terangan berdusta disebabkan karena ia menganggap bahwa hal tersebut adalah boleh,
berdusta untuk kepentingan duniawi, seseorang yang telah lanjut usia, ‚al Mukhtalithu>n‛, seseorang
yang mengajar dari buku karangan tanpa pernah belajar langsung dari kepada pengarang tersebut,
‚yuhadditsu bi al-kutubin ‘an syu>khi>n lam yara>hum‛, seseorang yang suka memutarbalikkan fakta serta
mengeneralisir otoritas semua perawi, seseorang yang mengajarkan sesuatu dimana hal tersebut tidak
pernah diajarkan oleh gurunya, orang mengajarkan apa yang didapat hanya dari dalam buku saja,
seseorang yang jujur namun sering keliru, seseorang yang sering dimanfaatkan, seseorang yang tidak
tahu bahwa karya tulisnya telah dimanipulasi, seseorang yang pernah berbuat salah secara tidak sengaja
setelah itu menyadari kesalahan tersebut akan tetapi membiarkannya, seorang yang sering mengabaikan
13
yang berasal dari seseorang yang tidak otoritatif tidak dapat diterima. Dalam hal ini
Imam Malik pun sependapat, bahwa orang bodoh yang sudah dikenal kebodohannya
ucapannya tidak perlu dicatat.80
Kelima, seorang perawi pun haruslah terbebas dari
sifat ‚mudallis‛ yakni tidak menyembunyikan sumber kabar serta senantiasa berkata
jujur dan berterus terang. Dengan kata lain, perawi yang memiliki kepribadian suka
berbohong,81
walaupun sedikit secara prosedural tidak dapat diterima khabarnya.
Mudahnya didalam epistemologi Islam kebenaran bisa didapatkan atau diraih dengan
menggunakan Khabar berita. Namun, khabar disini bukan sembarang khabar, khabar
disini adalah ‚khabar sha>diq‛ berita benar. Ia harus bener-benar terverifikasi, serta
teruji validitasnya dengan kriteria yang begitu ketat.
Khabar ini selanjutnya diklasifikasikan, berdasarkan derajat validitasnya serta
sifat yang mengikatnya menjadi, (qhat}’i) yakni yang bersifat pasti jelas atau gamblang,
dan (dzanni>) berupa kemungkinan atau sebuah dugaan. Kemudian masing-masing dari
dua hal ini terbagi lagi berdasarkan kebenaran sumbernya (tsubu>t) dan maksud,
implikasinya (dala>lah). Dengan kriteria ini khabar tersebut dapat diklasifikasi menjadi
3.82
Pertama, (qat}’i al tsubu>t wa qat}h’i dala>lah). yaitu khabar yang orsinil dan sudah
jelas otentisitasnya, tidak diragukan serta dipersoalkan kebenaran sumbernya dari segi
maksudnya maupun maknanya. Contohnya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadist mutawatir83
yang bersifat muhkama>t baik yang membicarakan masalah hukum maupun keimanan.
Kedua, (qat}h’i al tsubu>t zhanni> al dala>lah). yaitu khabar yang yang telah dibuktikan
keasliannya serta kebenaran sumbernya akan tetapi belum diketahui secara pasti
makna ataupun maksud yang terkandung didalam ayat tersebut. Misalnya, ayat-ayat
al-Qur’an yang mutasyabihat berbicara mengenai hal-hal yang samar-samar, ataupun
khabar mutawatir yang memiliki makna dua atau lebih.84
Ketiga, (zhanni> ats tsubu>t wa
zhanni> al dala>lah).85
yaitu khabar yang kebenaran sumbernya, otensititasnya serta
perintah agama secara terang-terangan (fasiq), seseorang yang tidak menyebutkan sumber asal
disebabkan tidak pernah menemuinya, seseorang yang menyebarkan ajaran sesat, dan seseorang yang
berdusta untuk menarik perhatian orang banyak dengan ceramahnya serta nasehatnya. Lihat,
Muhammad Ibn Hibba>n, Kitab al Majru>hi>n mi al…….., p.62-88
80
Ibid, p.80 lihat juga ‘Ali Khatib al Baghdadi, al Kifayah fi ‘Ilmi r-Riwayah, (Jam’iyyah
Da’irat al Ma’arif al ‘Utsmaniyyah, 1357 H), p. 115-134
81
Ima>m Muhammad ibn Muhammad as Syawka>ni, Irsya>d al Fuhu>l ila…,p.78-85
82
Ada pula yang membaginya menjadi 4, ditambah dengan (zhanni> al tsubu>t wa qat}h’i al
dala>lah). Contohnya, Hadist Rasulullah yang berbunyi (‫َة‬ ‫ِفإلبلي‬‫ي‬‫يرليمخسيمن‬ ). Hadist ini memiliki arti
makna yang jelas, tidak mengundang banyak arti, namun kebenaran sumbernya masih belum mutawatir.
Lihat, ‘Abdul Kari>m ibn ‘Ali ibn Muhammad al Namlah, al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al Muqa>rin, Cetakan
1, Jilid 5 (Maktabah al Rasyid: Riyadh, 1999), p.2320-2321
83
Muhammad ‘Abdul Adzi>m al Zarqa>ni, Mana>hil al Furqa>n fi al ‘Ulu>m al Qur’a>n, Cetakan ke
2, Juz 2 (Matba’ah ‘Isa al Babhi al Ja>li wa Shirkah, t.t), p.247
84
seperti ayat al-Qur’an surah al-Baqarah 228 (‫ء‬‫نيثالثةيقى‬ ِ‫ِفملطلَِتيَرتبصنيبأاف‬ ). Kata (quru>’)
masih terdapat makna ganda, dapat diartikan sebagai ‚haid‛ namun bisa juga diartikan sebagai
‚bersih/suci‛. Lihat ‘Abdul Karim ibn ‘Ali ibn Muhammad al Namlah, al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al
Muqa>rin…, p. 2320-2321
85
Abd Wahha>b Khalla>f, ‘Ilmu Ushu>l al-Fiqh, (Da>r al Kuwaitiyyah: Kuwait, 1968), p.35
14
maksud dan maknanya pun masih diperdebatkan. Contohnya, semua khabar ilmu yang
selain yang disebutkan diatas, seperti hadist ahad ataupun khabar secara umum.86
Dengan kata lain, secara epistemologis, al-Qur’an, hadist baik yang mutawatir maupun
yang ahad bersifat mengikat. Sebab validitasnya dan otoritasnya begitu tinggi. Namun
perlu pula ditelaah lebih dalam mengenai kedudukannya, bersifat qat}h’i atau zhanni>.
E. Kesimpulan
Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia dapat mengetahui ilmu,
dengan menyatukan sumber kebenaran –pancaindra, akal, intuisi, khabar shadiq- dalam
satu kesatuan utuh, tidak dikotomis dan parsial. Selain itu, kebenaran dalam al-Qur’an
dan hadist bersifat absolut dan pasti. Validitasnya pun tidak diragukan. Oleh sebab itu,
dugaan serta asumsi para orientalis terhadap al-Qur’an dan hadist adalah keliru serta
terkesan mengada-ngada dan tanpa dasar. Hingga saat ini al-Qur’an dan hadist dapat
terjaga keasliannya berkat periwayatan melalui khabar shadiq secara turun temurun.
benar-benar terverifikasi dan tidak sembarangan. Dengan kata lain, kabar yang
diterima haruslah benar-benar melalui proses penyaringan yang begitu ketat baik isi
maupun narasumber yang meriwayatkannya. maka hanya kabar yang benar sajalah
yang dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Ini berarti, khabar shadiq
sebagai sebuah metode transmisi ilmu pengetahuan dalam Islam dapat dipertanggung
jawabkan. Wallahu a’lam bi assawab.
86
Seperti sebuah hadist yang berbunyi (ٌَ‫م‬‫ك‬‫ِفلو‬‫ي‬‫مة‬‫ا‬‫أيبفَث‬‫ى‬‫م‬َِ‫منييي‬‫مل‬‫مالةي‬‫ص‬ْ), hadist ini tergolong
hadist yang periwatannya masih belum mutawatir. Selain itu hadist ini mengandung maksud ganda.
Pertama dalil tentang shalat yang benar di mulai dengan membaca surah al-Fatihah. Kedua, tidaklah
lengkap shalat, tanpa membaca surat al-fatihah hanya sebagai. Lihat, ‘Abdul Karim ibn ‘Ali ibn
Muhammad al Namlah, al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al Muqa>rin…, p. 2320-2321
15
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdul Hami>d Uma>r, Ahmad Mukhtar. Mu’jamu al Lugha>h al ‘Arabiah al Mu’a>shirah,
Jilid 1, cetakan pertama (‘Alim al Kitab, t.t)
Abd Rahma>n, al-Sayyid Ahmad bin. Asa>ni>d Al-Qurra>’ al-Asyarah al-Bara>rah wa
Ruwwa>tihim al-Bara>rah, (Dar al Shaha>bah: Kairo, 1424)
Abi> Daud, Ibnu. al-Masha>hif, Cetakan ke 6, (Maktabah al-Islami>: Beirut, 2003)
Acikgenc, Alparslan. Islamic Science: Toward a Definition, (ISTAC: Kuala Lumpur,
1996)
Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam
ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-
September 2005)
Al Baghdadi, ‘Ali Khatib. al Kifayah fi ‘Ilmi r-Riwayah, (Jam’iyyah Da’irat al Ma’arif
al ‘Utsmaniyyah, 1357 H)
Al Hanafi, Abdul Mun’im. Mu’jam al Sya>mil al Mustalaha>t al Falsafah: fi al Arabiyah
wa al injli>ziyah, wa al Faransiyah, al Ma>niyah, wa al Ita>liyah, wa al Ru>siyah,
Cetakan ke 3 (Maktabah Madbuli: Kairo, 2000)
Al Kholi>l Ibnu Ahmad, Abu Abdurrahma>n. Kita>bu al Aini, Jilid 8 (Daru Maktabah al
Hila>l, t.t)
Al Khu>li, Ali Muhammad. a Dictonary of Islamic Terms, (tanpa tahun, pdf)
Al Tafta>zani>, Sa’ad al-Di>n. dari buku Najm al-Di>n al-Nasa>fi>, dalam A Commentary on
the Creed of Islam, translated and notes, Earl Edgar Elder, (Columbia
University: New York, 1950)
Al Zarqa>ni, Muhammad ‘Abdul Adzi>m. Mana>hil al Furqa>n fi al ‘Ulu>m al Qur’a>n,
Cetakan ke 2, Juz 2 (Matba’ah ‘Isa al Babhi al Ja>li wa Shirkah, t.t)
Al-A’Zami, M. Mustafa. Studies In Hadith Methodology and Literature, revised
edition, (Islamic Book Trust: Kuala Lumpur, 2002)
______________. Kutta>b an Nabi>, (t.p, Riya>d, 1981)
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme, trj Kasidjo Djojosuwarno,
(Penerbit Pustaka: Bandung, 1981).
______________. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (ISTAC: Kuala Lumpur,
2001)
Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Gema Insani: Jakarta, 2008)
Armas, Adnin. Krisis Epistemologi dan Islamisai Ilmu, (CIOS ISID: Ponorogo, 2007)
As Suyuti, Jalaluddin. al Itqa>n fi ‘Ulu>m-l Qur’a>n, (al Maktabah al ‘Ashri, 2003)
______________. Tadri>b al-Rawi fi Syarh Taqri>b al-Nawa>wi, (Dar al-Kutu>b al-
Hadi>tsah: Cairo, 1966)
as Syawkani, Imam Muhammad ibn Muhammad. Irsya>d al Fuhu>l ila at Tahqi>q al Ha>qq
min ‘Ilmi l-Ushu>l, (Da>r al Kutu>b al Islamiyyah: Beirut, 1994)
Baalbaki, Rohi. al Maurid, Edisi ke 7,(Da>r el ilm lilmabyi>n: Beirut Lebanon, 1995)
Chittick, William C. Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-Ilmu
Intelektualisme Islam, terj Arif Mulyani, cetakan pertama, (Mizan: Bandung,
2007)
Dewi Kania, Dinar. Epistemologi Syed Muhammad Naquib al-Attas, makalah.
16
Fajrie Alatas, Ismail. Sungai Tak bermuara Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam: Sebuah
Tinjauan Insani, (Diwan: Jakarta, 2006)
Guillaume, Alfred. The Traditions of Islam: An Introduction to the Study of Hadith
Literature, (Clarendon Press: Oxford, 1924)
Husaini, Adian. dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta,
2013)
Husein Haekal, Muhammad. Abu Bakr al-Shiddi>q, (Litera Antar Nusa: Bogor, 2010)
Ibn Hibba>n, Muhammad. Kitab al Majru>hi>n mi al Muhaditsi>n wa d Dhuafa>’ wa l
Matru>ki>n, (Dar al Wa’y: Aleppo, 1396 H)
Imam al-Ghazali. Mi’ya>r al ‘ilm, tahqi>q bi Sulayma>n Dunya>, (Dar al-Ma’arif: Kairo,
1961)
______________. Ihyā’ Ulūm al Dīn, Juz 1, (Dar Qolam: Beirut, t.t)
______________. Kimiyā’ Sa’ādah in Majmū’ Rasāil Ghazali...
______________. Misykat al Anwar, (Dar Qutaibah: Beirut, 1990)
Jeffery, Arthur. Materials for the History of the Text of the Qur’an: the Old Codices,
(E.J. Brill: Leiden, 1937)
Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirani Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,
(Mizan: Bandung, 2005)
Khalla>f, Abd Wahha>b. ‘Ilmu Ushu>l al-Fiqh, (Da>r al Kuwaitiyyah: Kuwait, 1968)
khoiru abadi, Muhammad abu laits.‘Ulu>mul Hadi>st asi>luha wa mu’a>shiluha>, (Darul
Sya>kir: Malaysia, 2011)
Mohammad Iqbal, Allama. The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Tanpa
tahun, dan penerbit, pdf
Muhammad al Namlah, Abdul Kari>m ibn ‘Ali ibn. al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al
Muqa>rin, Cetakan 1, Jilid 5 (Maktabah al Rasyid: Riyadh, 1999)
Muir, William. The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira ,
Jilid 4 (t.p London, 1861)
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Cetakan ke 5 (Belukar: Yogyakarta, 2008)
Mustafa Yaqub, Ali, Kritik Hadist……,
Muthahhari, Ayatullah Murtadha. Pengantar Epistemologi Islam, trj M. Jawad
Bafaqih, (Jakarta: Shadra Press, 2010)
Nasr, Syeed Hossein. Encyclopedia of Islamic Philosophy, part I, (Suhail Academy:
Lahore Pakistan, 2002)
Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, cetakan kedua,
(Clarendon Press: Oxford, 1959)
Suharto, Ugi. ‚Epistemologi Islam‛ dalam buku ‚on Islamic Civilization‛ (Unissula
Press: Semarang, 2010)
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, (Rajawali Press: Jakarta, 2002)
Tahhan, Mahmud. Taisi>ru Mustalah al Hadi>st, Cetakan ke 5 (t.p, Saudi Arabia, 2000)
Taimiyyah, Ibnu. ‘Ilmu al Hadi>st, (Da>r al Kutu>b al ‘A<lamiyyah: lebanon, 1985)
Titus, Harold H. Persoalan-Persoalan filsafat, Terj, H. M. Rosjidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984)
Wan Daud, Wan Mohd Nor. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib al-Attas, (Mizan: Bandung, 1998)
17
Zarkasyi, Hamid Fahmy. ‚Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang
Bermartabat‛ dalam ‚On Islamic Civilization‛ (ed) Laode Kamaluddin,
(Unissula Press: Semarang, 2010)
______________. al-Ghaza>li’s concept of Causality: with Reference to his
interpretations of Reality and Knowledge, (IIUM: Kuala Lumpur, 2010)
______________. Peradaban Islam: Makna dan Strategi pembangunannya, (CIOS
ISID: Ponorogo, 2010)

More Related Content

What's hot

Epistemologi irfani
Epistemologi irfaniEpistemologi irfani
Epistemologi irfani
As Faizin
 
Epistimologi irfani
Epistimologi irfaniEpistimologi irfani
Epistimologi irfaniRisal Fahmi
 
Metode studi islam
Metode studi islamMetode studi islam
Metode studi islam
Shinta Ari Herdiana
 
Pendekatan bayani, irfani dan burhani dalam metodologi studi islam
Pendekatan bayani, irfani dan burhani dalam metodologi studi islamPendekatan bayani, irfani dan burhani dalam metodologi studi islam
Pendekatan bayani, irfani dan burhani dalam metodologi studi islam
Phuji Maisaroh
 
Studi pemikiran filsafat islam
Studi pemikiran filsafat islamStudi pemikiran filsafat islam
Studi pemikiran filsafat islamApri Kusanto
 
Pengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam KomprehensifPengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam Komprehensif
Institut Agama Islam Darussalam Ciamis
 
Islam dalam Bingkai Normatif & Historis
Islam dalam Bingkai Normatif & HistorisIslam dalam Bingkai Normatif & Historis
Islam dalam Bingkai Normatif & Historis
Kyai Mbeling Tsaqib Faizal
 
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)Fatihunnada
 
Berbagai Pendekatan dalam Studi Islam
Berbagai Pendekatan dalam Studi IslamBerbagai Pendekatan dalam Studi Islam
Berbagai Pendekatan dalam Studi Islam
Rendra Fahrurrozie
 
Makalah filsafat ilmu
Makalah filsafat ilmuMakalah filsafat ilmu
Makalah filsafat ilmu
Masriqon Masriqon
 
Aliran filsafat Islam
Aliran filsafat IslamAliran filsafat Islam
Aliran filsafat Islam
Luqman Dinan
 
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
Early Ridho Kismawadi
 
Hermeneutika dan Penerapannya dalam Penafsiran Al-Qur'an (Konteks ke-Indonesi...
Hermeneutika dan Penerapannya dalam Penafsiran Al-Qur'an (Konteks ke-Indonesi...Hermeneutika dan Penerapannya dalam Penafsiran Al-Qur'an (Konteks ke-Indonesi...
Hermeneutika dan Penerapannya dalam Penafsiran Al-Qur'an (Konteks ke-Indonesi...
Maghfur Amien
 
Makalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islamMakalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islamRifiani Zemi
 
Makalah msi kelompok 4 beberapa prinsip dasar epistemologi islam
Makalah msi kelompok 4 beberapa prinsip dasar epistemologi islamMakalah msi kelompok 4 beberapa prinsip dasar epistemologi islam
Makalah msi kelompok 4 beberapa prinsip dasar epistemologi islam
nandang alfatah
 
Filsafat islam
Filsafat islamFilsafat islam
Filsafat islam
devisiana larasati
 
Makalah filsafat
Makalah  filsafatMakalah  filsafat
Makalah filsafat
HaubibBro
 
Berbagai pendekatan konteks studi islam
Berbagai pendekatan konteks studi islamBerbagai pendekatan konteks studi islam
Berbagai pendekatan konteks studi islam
STIS Syarif Abdurrahman Pontianak
 
pendekatan normatif dalam study islam
pendekatan normatif dalam study islampendekatan normatif dalam study islam
pendekatan normatif dalam study islam
Fikri Azzarkasyie
 

What's hot (20)

Epistemologi irfani
Epistemologi irfaniEpistemologi irfani
Epistemologi irfani
 
Epistimologi irfani
Epistimologi irfaniEpistimologi irfani
Epistimologi irfani
 
Metode studi islam
Metode studi islamMetode studi islam
Metode studi islam
 
Pendekatan bayani, irfani dan burhani dalam metodologi studi islam
Pendekatan bayani, irfani dan burhani dalam metodologi studi islamPendekatan bayani, irfani dan burhani dalam metodologi studi islam
Pendekatan bayani, irfani dan burhani dalam metodologi studi islam
 
Studi pemikiran filsafat islam
Studi pemikiran filsafat islamStudi pemikiran filsafat islam
Studi pemikiran filsafat islam
 
Pengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam KomprehensifPengantar studi islam Komprehensif
Pengantar studi islam Komprehensif
 
Islam dalam Bingkai Normatif & Historis
Islam dalam Bingkai Normatif & HistorisIslam dalam Bingkai Normatif & Historis
Islam dalam Bingkai Normatif & Historis
 
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)
Critical Review - Disertasi Transmisi Hadis Nusantara (Fatihunnada)
 
Epistimologi bayani
Epistimologi bayaniEpistimologi bayani
Epistimologi bayani
 
Berbagai Pendekatan dalam Studi Islam
Berbagai Pendekatan dalam Studi IslamBerbagai Pendekatan dalam Studi Islam
Berbagai Pendekatan dalam Studi Islam
 
Makalah filsafat ilmu
Makalah filsafat ilmuMakalah filsafat ilmu
Makalah filsafat ilmu
 
Aliran filsafat Islam
Aliran filsafat IslamAliran filsafat Islam
Aliran filsafat Islam
 
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
 
Hermeneutika dan Penerapannya dalam Penafsiran Al-Qur'an (Konteks ke-Indonesi...
Hermeneutika dan Penerapannya dalam Penafsiran Al-Qur'an (Konteks ke-Indonesi...Hermeneutika dan Penerapannya dalam Penafsiran Al-Qur'an (Konteks ke-Indonesi...
Hermeneutika dan Penerapannya dalam Penafsiran Al-Qur'an (Konteks ke-Indonesi...
 
Makalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islamMakalah pendekatan teks studi islam
Makalah pendekatan teks studi islam
 
Makalah msi kelompok 4 beberapa prinsip dasar epistemologi islam
Makalah msi kelompok 4 beberapa prinsip dasar epistemologi islamMakalah msi kelompok 4 beberapa prinsip dasar epistemologi islam
Makalah msi kelompok 4 beberapa prinsip dasar epistemologi islam
 
Filsafat islam
Filsafat islamFilsafat islam
Filsafat islam
 
Makalah filsafat
Makalah  filsafatMakalah  filsafat
Makalah filsafat
 
Berbagai pendekatan konteks studi islam
Berbagai pendekatan konteks studi islamBerbagai pendekatan konteks studi islam
Berbagai pendekatan konteks studi islam
 
pendekatan normatif dalam study islam
pendekatan normatif dalam study islampendekatan normatif dalam study islam
pendekatan normatif dalam study islam
 

Viewers also liked

Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Edi Awaludin
 
Perbankan syariah
Perbankan syariahPerbankan syariah
Perbankan syariah
elsanahmad
 
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
Edi Awaludin
 
Buku saku perbankan syariah
Buku saku perbankan syariahBuku saku perbankan syariah
Buku saku perbankan syariah
Edi Awaludin
 
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Edi Awaludin
 
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Edi Awaludin
 
ebook Perbankan Syariah pkes
ebook Perbankan Syariah pkesebook Perbankan Syariah pkes
ebook Perbankan Syariah pkes
Piet_Fitriady
 

Viewers also liked (7)

Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
Asep sobari (sejarah dan pemikiran khawarij)
 
Perbankan syariah
Perbankan syariahPerbankan syariah
Perbankan syariah
 
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
M. pizaro novelan (konspirasi zionis syiah)
 
Buku saku perbankan syariah
Buku saku perbankan syariahBuku saku perbankan syariah
Buku saku perbankan syariah
 
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
Akmal sjafril (perkembangan aktual islam liberal)
 
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
Dr. budi handrianto (kritik terhadap sains barat modern perspektif nasr)
 
ebook Perbankan Syariah pkes
ebook Perbankan Syariah pkesebook Perbankan Syariah pkes
ebook Perbankan Syariah pkes
 

Similar to PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)

Islam dan ilmu pengetahuan
Islam dan ilmu pengetahuanIslam dan ilmu pengetahuan
Islam dan ilmu pengetahuan
Bun Faris
 
Falsafah KTI.docx
Falsafah KTI.docxFalsafah KTI.docx
Falsafah KTI.docx
MahathirAMuhammad
 
makalah metodologi k1.pdf
makalah metodologi k1.pdfmakalah metodologi k1.pdf
makalah metodologi k1.pdf
hspanggalih
 
5822-Article Text-16968-3-10-20200531.pdf
5822-Article Text-16968-3-10-20200531.pdf5822-Article Text-16968-3-10-20200531.pdf
5822-Article Text-16968-3-10-20200531.pdf
TaufikRahman392594
 
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docxartikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
WandaWanda37
 
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docxartikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
WandaWanda37
 
Makalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelMakalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelArif Abas
 
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docxArtikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
MetaFitriani1
 
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
Erta Erta
 
E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i
Erta Erta
 
Pandangan Filsafat dalam Meningkatkan Kualitas Sarjana di Era Kemunduran Islam
Pandangan Filsafat dalam Meningkatkan Kualitas Sarjana di Era Kemunduran IslamPandangan Filsafat dalam Meningkatkan Kualitas Sarjana di Era Kemunduran Islam
Pandangan Filsafat dalam Meningkatkan Kualitas Sarjana di Era Kemunduran IslamMONIKALAILA
 
Epistemoogi Keilmuan Islam
Epistemoogi Keilmuan IslamEpistemoogi Keilmuan Islam
Epistemoogi Keilmuan Islam
Muhammad Wisnu D R
 
Tugas mandiri fki juliana rafiati
Tugas mandiri fki juliana rafiatiTugas mandiri fki juliana rafiati
Tugas mandiri fki juliana rafiati
JulianaRafiati
 
Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Islam Perspektif Filsafat
Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Islam Perspektif FilsafatIntegrasi Ilmu Pengetahuan dan Islam Perspektif Filsafat
Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Islam Perspektif Filsafat
EeLly Lunjani
 
Bab 1 ctu 211
Bab 1 ctu 211Bab 1 ctu 211
Bab 1 ctu 211
Nur Izzati
 
Tentang sumber filsafat
Tentang sumber filsafatTentang sumber filsafat
Tentang sumber filsafat
Riza Nisfu
 
Sumber pengetahuan
Sumber pengetahuanSumber pengetahuan
Sumber pengetahuan
andi roy
 
UICI 2022 - Bab 03 sains dan islam (nota)
UICI 2022 - Bab 03 sains dan islam (nota)UICI 2022 - Bab 03 sains dan islam (nota)
UICI 2022 - Bab 03 sains dan islam (nota)
Abdul Khaliq
 
Studi hukum islam
Studi hukum islamStudi hukum islam
Studi hukum islam
Raja Aidil Angkat
 
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docxFKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
EkoSulastri
 

Similar to PKU ISID syamun salim (khabar shadiq) (20)

Islam dan ilmu pengetahuan
Islam dan ilmu pengetahuanIslam dan ilmu pengetahuan
Islam dan ilmu pengetahuan
 
Falsafah KTI.docx
Falsafah KTI.docxFalsafah KTI.docx
Falsafah KTI.docx
 
makalah metodologi k1.pdf
makalah metodologi k1.pdfmakalah metodologi k1.pdf
makalah metodologi k1.pdf
 
5822-Article Text-16968-3-10-20200531.pdf
5822-Article Text-16968-3-10-20200531.pdf5822-Article Text-16968-3-10-20200531.pdf
5822-Article Text-16968-3-10-20200531.pdf
 
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docxartikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
 
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docxartikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
artikel ilmiah falsafah kesatuan ilmu Wanda Hamidah (5).docx
 
Makalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan modelMakalah pengertian dan model
Makalah pengertian dan model
 
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docxArtikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
Artikel FKI SUSI LUSIYANI MANJ B.docx
 
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
0 kajian kritis terhadap epistemologi sains modern (makalah)
 
E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i E p i s t e m o l o g i
E p i s t e m o l o g i
 
Pandangan Filsafat dalam Meningkatkan Kualitas Sarjana di Era Kemunduran Islam
Pandangan Filsafat dalam Meningkatkan Kualitas Sarjana di Era Kemunduran IslamPandangan Filsafat dalam Meningkatkan Kualitas Sarjana di Era Kemunduran Islam
Pandangan Filsafat dalam Meningkatkan Kualitas Sarjana di Era Kemunduran Islam
 
Epistemoogi Keilmuan Islam
Epistemoogi Keilmuan IslamEpistemoogi Keilmuan Islam
Epistemoogi Keilmuan Islam
 
Tugas mandiri fki juliana rafiati
Tugas mandiri fki juliana rafiatiTugas mandiri fki juliana rafiati
Tugas mandiri fki juliana rafiati
 
Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Islam Perspektif Filsafat
Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Islam Perspektif FilsafatIntegrasi Ilmu Pengetahuan dan Islam Perspektif Filsafat
Integrasi Ilmu Pengetahuan dan Islam Perspektif Filsafat
 
Bab 1 ctu 211
Bab 1 ctu 211Bab 1 ctu 211
Bab 1 ctu 211
 
Tentang sumber filsafat
Tentang sumber filsafatTentang sumber filsafat
Tentang sumber filsafat
 
Sumber pengetahuan
Sumber pengetahuanSumber pengetahuan
Sumber pengetahuan
 
UICI 2022 - Bab 03 sains dan islam (nota)
UICI 2022 - Bab 03 sains dan islam (nota)UICI 2022 - Bab 03 sains dan islam (nota)
UICI 2022 - Bab 03 sains dan islam (nota)
 
Studi hukum islam
Studi hukum islamStudi hukum islam
Studi hukum islam
 
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docxFKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
FKI tugas mandiri EKO SRI SULASTRI 2205056044.docx
 

More from Edi Awaludin

Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016
Edi Awaludin
 
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wpEbook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Edi Awaludin
 
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
Edi Awaludin
 
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
Edi Awaludin
 
Ensiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islamEnsiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islam
Edi Awaludin
 
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islamKompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islamEdi Awaludin
 
Ayat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plusAyat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plusEdi Awaludin
 
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Edi Awaludin
 
Islamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamIslamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islam
Edi Awaludin
 
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradabPendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradabEdi Awaludin
 
Konsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islamKonsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islam
Edi Awaludin
 
Jatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradabanJatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradabanEdi Awaludin
 
Demokrasi sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi  sejarah makna dan respon muslimDemokrasi  sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi sejarah makna dan respon muslim
Edi Awaludin
 
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukupPendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukupEdi Awaludin
 
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan NusantaraBulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan NusantaraEdi Awaludin
 
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ariBulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ariEdi Awaludin
 
Bulletin Islamia 01 19 januari 2012-solusi damai sunni syiah
Bulletin Islamia 01 19 januari 2012-solusi damai sunni syiahBulletin Islamia 01 19 januari 2012-solusi damai sunni syiah
Bulletin Islamia 01 19 januari 2012-solusi damai sunni syiahEdi Awaludin
 
Makalah pelatihan-BRC-ruqyah-syariyyah
Makalah pelatihan-BRC-ruqyah-syariyyahMakalah pelatihan-BRC-ruqyah-syariyyah
Makalah pelatihan-BRC-ruqyah-syariyyahEdi Awaludin
 
Makalah pelatihan-BRC-alam-jin
Makalah pelatihan-BRC-alam-jinMakalah pelatihan-BRC-alam-jin
Makalah pelatihan-BRC-alam-jin
Edi Awaludin
 

More from Edi Awaludin (20)

Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016Diktat rehab hati 2016
Diktat rehab hati 2016
 
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wpEbook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
Ebook 7-tulisan-terbaik-mardigu-wp
 
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
PKU ISID fuad m. zein (problem teori kedaulatan rakyat dalam demokrasi)
 
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
PKU ISID anton ismunanto (tauhid dan ilmu)
 
Ensiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islamEnsiklopedia jual beli dalam islam
Ensiklopedia jual beli dalam islam
 
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islamKompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
Kompilasi dauroh muscat 1=ekonomi islam
 
Ayat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plusAyat ayat ruqyah plus
Ayat ayat ruqyah plus
 
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
Tutorial ruqyah syariyyah [50 tehnik self healing]
 
Islamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islamIslamia-idealisme politik islam
Islamia-idealisme politik islam
 
Ayat ayat syifa
Ayat ayat syifaAyat ayat syifa
Ayat ayat syifa
 
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradabPendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
Pendidikan islam membangun manusia berkarakter dan beradab
 
Konsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islamKonsep ilmu dalam islam
Konsep ilmu dalam islam
 
Jatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradabanJatuh bangunnya peradaban
Jatuh bangunnya peradaban
 
Demokrasi sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi  sejarah makna dan respon muslimDemokrasi  sejarah makna dan respon muslim
Demokrasi sejarah makna dan respon muslim
 
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukupPendidikan karakter penting tapi tidak cukup
Pendidikan karakter penting tapi tidak cukup
 
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan NusantaraBulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
Bulletin Islamia 12 20 desember 2012 - Jihad Pembebasan Nusantara
 
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ariBulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
Bulletin Islamia 06 20 juni 2013 - Jihad & Pemikiran KH Hasyim Asy'ari
 
Bulletin Islamia 01 19 januari 2012-solusi damai sunni syiah
Bulletin Islamia 01 19 januari 2012-solusi damai sunni syiahBulletin Islamia 01 19 januari 2012-solusi damai sunni syiah
Bulletin Islamia 01 19 januari 2012-solusi damai sunni syiah
 
Makalah pelatihan-BRC-ruqyah-syariyyah
Makalah pelatihan-BRC-ruqyah-syariyyahMakalah pelatihan-BRC-ruqyah-syariyyah
Makalah pelatihan-BRC-ruqyah-syariyyah
 
Makalah pelatihan-BRC-alam-jin
Makalah pelatihan-BRC-alam-jinMakalah pelatihan-BRC-alam-jin
Makalah pelatihan-BRC-alam-jin
 

PKU ISID syamun salim (khabar shadiq)

  • 1. 1 KHABAR SHA>DIQ SEBUAH METODE TRANSMISI ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM Oleh: Mohammad Syam’u>n Sali>m A. Pendahuluan Diskursus mengenai al-Qur’an dan hadist Nabi hingga saat ini menarik untuk dikaji. Sebab selain keduanya adalah sumber tertinggi dari ilmu pengetahuan,1 keduanya juga diriwayatkan dari berita yang benar (khabar shadiq) yang bersifat absolut (absolute authority) 2 sehingga dapat dipertanggung jawabkan. Namun banyak dari sarjana barat (baca: orientalis) yang menuduhnya sebagai sumber yang palsu dan tidak otentik. Ini tidak lepas dari asas dasar epistemologi3 mereka yang hanya bersumber dari panca indra dan akal.4 Berbeda dengan barat, dalam epistemologi Islam selain pancaindra dan akal, sumber ilmu pengetahuan juga melingkupi intuisi dan kabar yang benar ‚khabar shadiq‛ (true report).5 Dengan kata lain, tradisi khabar shadiq hanya terdapat pada epistemologi Islam. Dan tradisi inilah yang menjadikan al-Qur’an dan hadist tetap otentik, terjaga keasliannya hingga saat ini. Bukan tanpa alasan para orientalis bersikap ragu-ragu kepada al-Qur’an dan hadist. Mereka berasumsi bahwa ilmu pengetahuan yang bersumber dari khabar ini tidak bisa dipertanggung jawabkan. Arthur jeffery misalnya, yang menganggap bahwa sejarah kodifikasi al-Qur’an adalah fiktif serta meragukan keabsahan mushaf Utsmani.6 Atau William muir yang yang menganggap bahwa dalam literatur hadist nama Nabi Muhammad SAW sengaja dikutip untuk menutupi kebohongan serta berbagai keganjilan.7 Pernyataan yang serupa juga dikemukakan oleh seorang orientalis  Peserta Program Kaderisasi Ulama angkatan ke VII Institut Studi Islam Darussalam, Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo 1 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (ISTAC: Kuala Lumpur, 2001), p.121 2 Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-September 2005), p.54 3 Epistemologi berasal dari Istilah Yunani Episteme yang berarti pengetahuan, dan logos yang berarti ilmu. Lihat, Abdul Mun’im al Hanafi, Mu’jam al Sya>mil al Mustalaha>t al Falsafah: fi al Arabiyah wa al injli>ziyah, wa al Faransiyah, al Ma>niyah, wa al Ita>liyah, wa al Ru>siyah, Cetakan ke 3 (Maktabah Madbuli: Kairo, 2000), p.18. lihat juga, Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cetakan ke 5 (Belukar: Yogyakarta, 2008), p.28 4 Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisai Ilmu, (CIOS ISID: Ponorogo, 2007), p.1-2. lihat juga, Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta, 2013), p.7 5 Lihat, penjelasan Sa’ad al-Di>n al Tafta>zani> dari buku Najm al-Di>n al-Nasa>fi>, dalam A Commentary on the Creed of Islam, translated and notes, Earl Edgar Elder, (Columbia University: New York, 1950), p.19 6 Teks aslinya berbunyi ‚…the text which Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went before the canonical text.‛ Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an: the Old Codices, (E.J. Brill: Leiden, 1937), p.x 7 Teks asli berbunyi ‚…the name of Mahomet was abused to support all possible lies and absurdities.‛ William Muir, The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira , Jilid 4 (t.p London, 1861), p.1
  • 2. 2 kebangsaan inggris Alfred Guillaume. Ia mengatakan bahwa sangat sulit untuk mempercayai literature hadist secara keseluruhan sebagai sebuah rekaman yang otentik dari semua perbuatan serta perkataan Rasulullah SAW.8 lebih jauh lagi Joseph Schacht mengemukakan bahwa tidak ada hadist yang benar-benar terbukti asli dari Nabi Muhammad.9 Ia juga berasumsi bahwa hadist baru muncul pada abad kedua hijriah10 serta meragukan keaslian hadist-hadist yang tertulis dalam (al-kutub as-sittah).11 Artinya, para orientalis ini meragukan bahkan tidak percaya akan keaslian al-Qur’an dan hadist, yang diriwayatkan oleh kabar yang benar (khabar shadiq). Untuk itu tulisan ini akan menjawab asumsi para orientalis diatas yang menafikan berita yang benar (khabar shadiq) sebagai metode transmisi ilmu pengetahuan dalam Islam. Juga membuktikan bahwa khabar shadiq merupakan sumber ilmu pengetahuan –dalam hal ini al-Qur’an dan hadist-- yang dapat dipertanggung jawabkan. B. Sumber kebenaran dalam epistemologi Islam Dalam Islam, kebenaran (haq) dan realitas (haqi>qah) memiliki kedudukan yang penting. Keduanya adalah hal yang paling signifikan untuk memahami hubungan antara filsafat Islam dan sumber wahyu dalam Islam. Menurut Syeed Hossein Nasr, pada saat yang sama, al-haqi>qah merupakan kenyataan yang berasal dari al Qur'an.12 Artinya, kebenaran dan realitas dalam Islam adalah satu kesatuan yang utuh (tauhidi) tak terpisah antara satu dengan lainya. Dilihat dari sumbernya, kebenaran dalam Islam dapat diraih melalui empat sumber.13 Pertama, Persepsi indra (idra>k al-hawa>ss).14 Persepsi indra atau pancaindra 8 Teks asli berbunyi ‚it is difficult to regard the hadith literature as a whole as an accurate and trustworthy record of the sayings and doings of Muhammad‛. Lihat Alfred Guillaume, The Traditions of Islam: An Introduction to the Study of Hadith Literature, (Clarendon Press: Oxford, 1924), p.12 9 Teks aslinya berbunyi ‚we shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be considered authentic‛ lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, cetakan kedua, (Clarendon Press: Oxford, 1959), p.149 10 Aslinya berbunyi ‚a great many traditions in the classical and other collectionswere put into circulation only after shafi’i’s time. The first considerable body of legal traditions from the Prophet originated toward the middle of the second century‛ Ibid, p.4 11 aslinya berbunyi ‚even the classical corpus contains a great many traditions which cannot possibly be authentic‛ Ibid, p.4 12 Dalam hal ini al-Attas memiliki pendapat yang sama, bahwa seluruh ilmu dalam islam dikembangkan melalui al-Qur’an. Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, trj Kasidjo Djojosuwarno, (Penerbit Pustaka: Bandung, 1981), p.257. lihat juga, Syeed Hossein Nasr, Encyclopedia of Islamic Philosophy, part I, (Suhail Academy: Lahore Pakistan, 2002) p.29 13 Namun ada pula yang menyebutkan bahwa sumber Ilmu pengetahuan ini terdiri dari tiga sumber ‚wa asba>bul ilmi tsala>tsun, al hawa>ss al khamsah, al aql al Sali>m, al khabar sha>diq‛ lihat Ugi Suharto, ‚Epistemologi Islam‛ dalam buku ‚on Islamic Civilization‛ (Unissula Press: Semarang, 2010), p.139 14 lihat juga, Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-September 2005), p.54
  • 3. 3 ini terbagi menjadi dua, Pancaindra eksternal dan Pancaindra internal. Pancaindra eksternal terdiri dari indra peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing) dan penglihatan (sight). Dari indra inilah manusia dapat mencium, dan membedakan berdasarkan bau, dapat melihat indahnya dunia dan alam semesta, serta dapat melihat mana yang gelap dan mana yang terang, juga mampu merasakan manis ataupun asin, pahit, kecut, hambar, juga mampu mendengar suara-suara disekitarnya. Begitu pentingnya kelima indra ini, hingga Aristoteles mengatakan ‚barang siapa yang hilang darinya indra, maka telah hilanglah ilmu darinya.‛ 15 Dalam hal ini, Imam al- Ghazali pun sependapat dengan pendapat Aristoteles, bahwa kelima indra tersebut (tufīdu mabda' al ilmi).16 lebih jelasnya, ia mengilustrasikan tubuh manusia sebagai sebuah kerajaan. akal sebagai raja dan kelima indra tersebut adalah pasukannya.17 Sedangkan Pancaindra internal terdiri dari, indra bersama (common sense), representasi (the representative power), estimiasi (estimative power), rekoleksi (retentive power or power of recollection), dan imajinasi (Imaginative power).18 Al-Attas menjabarkan bahwa proses tahapan manusia memperoleh ilmu pengetahuan adalah melalui tahapan presepsi, abstraksi, dan inteleksi yang bersifat intuitif. Objek ilmu pengetahuan diawali dengan melalui tahap persepsi oleh pancaindra eksternal dan kemudian disalurkan kepada pancaindra internal pertama, yaitu indra bersama (common sense). Indra bersama ini akan mengabstraksi bentuk dari objek ilmu tersebut menjadi sebuah gambaran (image). Yang mana tadi disebut kemampuan representative (the representative power). lalu ketika objek ilmu tersebut telah hilang dari indra eksternal. Gambaran objek tersebut ditangkap makna non indrawinya oleh fakultas estimasi (estimative power), dan membentuk putusan serta pendapat melalui jalan imajinatif, seperti benar atau salah, baik atau buruk dst. Makna non indrawi tersebut akan direkam dan disimpan oleh fakultas rekolektif (retentive power or power of recollection) hingga sampai pada fakultas imajinasi.19 Fakultas imajinasi ini bertugas memadukan dan memisahkan makna-makna particular yang telah tersimpan oleh fakultas retentif yang didasari oleh rasio praktis maupun rasio teoritis. fakultas ini memiliki dua aspek, yaitu sebagai sensitif dari bentuk-bentuk indrawi, juga sebagai penerima rasional dari bentuk-bentuk yang 15 Ayatullah Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam, trj M. Jawad Bafaqih, (Jakarta: Shadra Press, 2010), p. 38 16 Imam Ghazali, Ihyā’ Ulūm al Dīn, vol. 2... p. 300 17 Ibid, p. 10 18 Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghaza>li’s concept of Causality: with Reference to his interpretations of Reality and Knowledge, (IIUM: Kuala Lumpur, 2010), p.163 19 Dalam pandangan Chittick, Ibnu Arabi menyebut ‚nalar‛ (aql) sebagai fakultas untuk memahami bahwa Tuhan itu jauh, sedangkan ‚imajinasi‛ (khayal) sebagai fakultas untuk melihat Tuhan itu dekat. Lihat, William C. Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam, terj Arif Mulyani, cetakan pertama, (Mizan: Bandung, 2007), p.93
  • 4. 4 nampak.20 Proses tahapan ini berarti, bahwa Presepsi Indra (idra>k al-hawa>ss) atau (al- hawa>ssul khamsah) memberikan sumber informasi dan juga sumber ilmu kepada manusia. Seperti yang termaktub dalam al-Qur’a>n: ‫ي‬ْ‫م‬‫ا‬َ‫م‬‫ي‬َ‫َل‬ ‫م‬‫ا‬‫و‬َ‫ك‬َ‫م‬‫ف‬‫ي‬ ‫ري‬ ‫ِفْض‬‫ي‬ ‫ري‬‫ِفي‬ ‫ا‬‫مو‬‫ري‬ََِ‫ي‬ْ‫م‬َ‫ل‬َ‫م‬‫ف‬َ‫أ‬‫ي‬ ‫م‬‫م‬َ‫و‬َْ‫م‬َ‫مَيْي‬َ‫ال‬‫م‬‫ا‬‫ري‬‫ه‬َ‫ف‬‫مَي‬َ ‫ري‬َ‫ي‬َ‫َل‬ ‫ا‬َْ‫مو‬ََِ‫ي‬‫ِفَل‬َ‫ن‬‫يا‬ َ‫أ‬‫مَي‬َ ‫ري‬َ‫ي‬َ‫َل‬ ‫م‬‫ا‬‫ل‬‫ري‬َِْ‫م‬َ‫ي‬ٌ ‫م‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬‫م‬‫ق‬ ‫ي‬‫ري‬‫ض‬ ‫ا‬‫د‬ُّ‫ِفلص‬‫ي‬ ‫ري‬‫ي‬ ‫ري‬‫ِت‬‫ال‬‫ل‬‫ِف‬‫ي‬‫ا‬ٌ ‫ا‬‫ل‬‫ا‬ِ‫ِفل‬‫ي‬ َ‫و‬َْ‫م‬َ‫ي‬‫ن‬‫ري‬‫و‬َ‫ل‬َ‫ي‬‫ا‬‫َض‬َ‫ص‬‫ِفْب‬21 ‫ي‬‫ي‬ ‚Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada‛ Kedua, proses akal sehat (ta’aqul). Islam menempatkan akal sehat sebagai sarana mendapatkan ilmu pengetahuan. Ia pun menjadi faktor pembeda antara manusia dengan hewan. Ia juga berfungsi menutupi kelemahan pancaindra, yang mana panca indra tidak mampu melakukannnya. seperti yang diungkapkan Iman al-Ghazali, bahwa akal lebih patut disebut ‘cahaya’ ketimbang indra.22 Lebih jelasnya lagi, akal pikiran manusia lah yang akan mengatur serta menemukan hubungan-hubungan yang sesuai dalam setiap wilayah ilmu pengetahuan antara satu dengan yang lainya.23 Sebagai contoh ketika indra mata melihat bulan, maka yang terlihat adalah bulan yang berbentuk kecil, sekecil koin logam, padahal sejatinya bulan tersebut memimiliki ukuran yang besar.24 Walaupun manusia yang belum pernah ke bulan sekalipun, manusia akan menolak bahwa bulan itu kecil, sebab otak manusia tidak akan mau menerima. Lebih dari itu, akal juga memiliki kemampuan bertanya secara kritis tentang segala hal. bertanya sebuah kejadian atau peristiwa misalnya, kapan terjadi, apa kejadiannya, oleh siapa, dengan apa dan lain sebagainya. Dengan kata lain, akal bukan hanya sebuah rasio, ia adalah fakultas mental yang mensistematisasikan dan menafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman menjadi sesuatu yang dapat dipahami, serta memberi informasi baru dimana pengalaman empiris tidak dapat menerimanya dengan benar. Jadi bisa 20 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (ISTAC: Kuala Lumpur, 2001), p. 151-155. Lihat juga, Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazali’s concept of Causality: with Reference to his interpretations of Reality and Knowledge,(IIUM: Kuala Lumpur, 2010), p.168-170 21 QS (al-Ha>jj: 46) lihat juga, QS (al-Qa>f:37), QS (al-A’ra>f:179), QS (ali ‘Imra>n:138) dan QS (al-Maidah:15) 22 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirani Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Mizan: Bandung, 2005), p.21 23 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Mizan: Bandung, 1998), p.159 24 Imam Ghazali, Misykāt… p. 33
  • 5. 5 disimpulkan bahwa akal-lah yang menutupi kelemahan pancaindra.25 Singkatnya, akal sebagai sumber ilmu, menyempurnakan kerja indra dari sesuatu yang tidak bisa dipahami, menjadi sesuatu yang bisa dipahami.26 Ketiga, intuisi kalbu. Dalam Islam intuisi menjadi salah satu diterimanya sebuah ilmu dan kebenaran. Menurut seorang cendikiawan berkebangsaan Pakistan Sir Muhammad Iqbal, intuisi menjadi pengalaman unik serta memiliki kedudukan lebih tinggi dari alam pikiran, maka ia pun yang menghasilkan pengetahuan tertinggi.27 Bukan hanya Iqbal, al-Attas berpendapat serupa, bahwa intuisi memiliki peran sebagai salah satu elemen mendasar dalam pencarian kebenaran.28 Dengan intuisi kalbu ini, manusia mampu menangkap pesan-pesan ghaib, isyarat-isyarat Tuhan, serta menerima ilha>m, fath, kasb,29 dan lain sebagainya. Contohnya, ketika seseorang dengan tiba-tiba percaya tanpa harus berpikir panjang siapa dia, dari mana asalnya. Namun langsung disimpulkan bahwa ia adalah orang yang dapat dipercaya, inilah intuisi yang berperan dalam menilai sesuatu. Intuisi sebagai sumber pengetahuan bukanlah hasil dari pikiran sadar atau persepsi langsung.30 Namun hal tersebut merupakan respon langsung dari iman, respon total dari sebuah situasi. Al-Attas meneruskan, bahwa meskipun pengetahuan intuitif ini tidak dapat dikomunikasikan, namun pemahaman mengenai kandungannya atau ilmu pengetahuan yang berasal dari intuisi ini bisa ditransformasikan. Ia membagi intuisi ini menjadi berbagai jenis dan tingkatan, intuisi yang terendah dialami oleh ilmuan dan sarjana dalam penemuan-penemuan mereka, sedangkan intuisi yang tertinggi dialami oleh para nabi.31 lanjutnya, ia berpandangan bahwa intuisi merupakan pengenalan langsung dan cepat terhadap kebenaran religius, yaitu berupa realitas dan eksistensi Tuhan. Pengenalan tersebut diperoleh melalui intuisi tingkat tinggi yang disebut intuisi akan eksistensi (intuition of existence). Dan menurut al-Attas Intuisi ini adalah pekerjaan hati (qalb).32 Selain itu al-Attas menekankan bahwa proses presepsi dan inteleksi yang 25 Dalam hal ini al-Attas menambahkan kata sifat ‚sehat‛ dalam terma akal (menjadi akal sehat), sebab bukan saja dikarenakan pikiran manusia sering tidak betul dan berangkat dari sebuah premis yang salah, atau kesimpulan yang keliru meskipun berdasarkan premis yang betul, namun juga lebih kepada seringnya manusia terpengaruh oleh estimasi dan imajinasi, yang bisa saja salah ketika akal menegasikan kemampuan untuk memahami realitas spiritual melalui intuisi. Ibid, p.159 26 Bagaimanapun sempurnanya akal, ia masih memiliki kemampuan terbatas. untuk mengetahui ruh misalnya, akal tidak mampu sampai kepada ruh tersebut. Dikarenakan keterbatasan inilah, Allah SWT mengutus Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada Manusia. Lihat, Ismail Fajrie Alatas, Sungai Tak bermuara Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam: Sebuah Tinjauan Insani, (Diwan: Jakarta, 2006), p.150 27 Allama Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Tanpa tahun, dan penerbit, pdf, p.10 28 Ibid, p.160 29 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme……. p.206 30 Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan filsafat, Terj, H. M. Rosjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), p. 203-204 31 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ….. p.160 32 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam…., p.119
  • 6. 6 bersifat intuitif. Sehingga kedua hal tersebut menegaskan bahwa proses memperoleh ilmu pengetahuan adalah aktifitas spiritual. Selaras dengan ini Alparslan menyebutkan bahwa tugas (qalb) sebagai pusat pengalaman wahyu, adalah memproyeksikan kebenaran yang tak terlihat gaib. Ia pun menafsirkan qalb dalam surat al-Qa>f ayat 3733 sebagai fakultas pengalaman‚faculty of experience‛menurutnya hal ini disebabkan karena pada kenyataannya apa yang dirasakan qalb berlawanan dengan apa yang didengar sebagai sebuah fakultas pengalaman indrawi. Oleh sebab itulah Allah berfirman dalam al-Qur’an ‚Qulu>bun ya’qilu>na biha>‛ 34 ‚heart is implied as the center of experience while the revelation projects the unseen truth , namely the truth of gaib. we can interpret qalb in this verse as a faculty of experience, because it is contrasted with ear, a faculty of sense- experience . in fact, we see that in the same manner, (heart) is contrasted with other faculties of experience‛35 Dalam hal ini Imam al-Ghazali pun merumuskan bahwa intuisi terbagi menjadi dua, intuisi pertama didapatkan tanpa pelatihan apapun, atau tanpa kesengajaan, sedangkan intuisi yang kedua adalah, intuisi yang dapat dilatih untuk mendapakannya. Seperti contoh sebuah inspirasi ilahi dalam bentuk mukasyafah bagi para ulama>’ dan hukama’. Oleh sebab itu al-Ghazali menjelaskannya dengan terminologi berbeda dalam hal intuisi kalbu ini. Yang pertama untuk hal-hal yang lembut. Yang kedua untuk hal- hal yang nyata.36 Maka tak salah bila Iqbal menyebut intuisi kalbu ini sebagai sarana mengenal dirinya serta mengenal lebih jauh mengenai sesuatu yang ada diluar dirinya yang bermuara pada pengalaman intuisi mengenai Allah SWT.37 Hal ini pun selaras dengan hadist Nabi ‚man ‘arafa nafsahu faqod ‘arafa rabbah‛ 38 33 ‫ي‬‫د‬ ‫ري‬‫م‬َ ‫ي‬َ‫م‬‫ا‬َِ‫ي‬ََ‫مو‬‫ال‬ِ‫ِفل‬‫ي‬ ‫م‬َِ‫َل‬‫أ‬‫ي‬ َ‫أ‬‫ي‬ْ‫م‬‫ل‬َ‫م‬‫ق‬‫ي‬‫ا‬َ‫م‬َ‫ل‬‫ي‬َ‫َل‬َ‫م‬َ‫ر‬‫ي‬‫من‬َ‫و‬‫ري‬‫ليل‬َ‫ى‬‫ر‬‫ري‬‫مك‬َ‫ل‬‫ي‬ََ‫م‬‫ري‬‫ل‬َ‫ن‬‫ي‬ ‫ري‬‫ي‬‫ال‬‫َل‬‫ري‬‫إ‬ artinya, Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya. 34 ‫م‬‫م‬َ‫و‬َْ‫م‬َ‫مَيْي‬‫م‬َ‫ال‬‫م‬‫ا‬‫ري‬‫ه‬َ‫ف‬‫مَي‬‫م‬َ ‫ري‬َ‫ي‬َ‫َل‬ ‫ا‬َْ‫مو‬‫م‬ََِ‫ي‬‫ِفَل‬َ‫ن‬‫يا‬ َ‫أ‬‫مَي‬‫م‬َ ‫ري‬َ‫ي‬َ‫َل‬ ‫م‬‫م‬‫ا‬‫ل‬‫ري‬َِْ‫م‬َ‫ي‬ٌ ‫م‬‫م‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬‫م‬‫ق‬‫ي‬ْ‫م‬‫م‬‫ا‬َ‫م‬‫ي‬َ‫َل‬ ‫م‬‫م‬‫ا‬‫و‬َ‫ك‬َ‫م‬‫ف‬‫ي‬ ‫ري‬ ‫ِفْض‬‫ي‬ ‫ري‬‫ِفي‬ ‫ا‬‫مو‬‫م‬‫ري‬ََِ‫ي‬ْ‫م‬‫م‬َ‫ل‬َ‫م‬‫ف‬َ‫أ‬‫ي‬‫ي‬‫من‬‫م‬‫ري‬‫و‬َ‫ل‬َ‫ي‬‫ا‬‫مَض‬‫م‬َ‫ص‬‫ِفْب‬ ‫ي‬‫ري‬‫ض‬ ‫ا‬‫د‬ُّ‫ِفلص‬‫ي‬ ‫ري‬‫ي‬ ‫ري‬‫ِت‬‫ال‬‫ل‬‫ِف‬‫ي‬‫ا‬ٌ ‫ا‬‫ل‬‫ا‬ِ‫ِفل‬‫ي‬ َ‫و‬َْ‫م‬َ (QS al-Ha>jj : 46) 35 Alparslan Acikgenc, Islamic Science: Toward a Definition, (ISTAC: Kuala Lumpur, 1996), p.47 36 Imam Ghazali, Kimiyā’ Sa’ādah in Majmū’ Rasāil Ghazali... p. 135-139 37 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ….. p.160 38 Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa yang dimaksud dari perkataan ‚diri‛ diatas bukanlah diri dalam artian fisik, melainkan diri dalam konteks spiritual yang mengenal serta mengakui Tuhan sebagai penciptanya. Lihat, Allama Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Tanpa tahun, dan penerbit, pdf, p.17-26, lihat juga, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam ….. p.160. juga QS al-A’Ra>f:172
  • 7. 7 Keempat, informasi yang benar (khabar sha>diq), ia merupakan sumber kebenaran yang tak kalah penting dalam Islam. Dalam bahasa inggris, khabar shadiq sering disebut dengan ‘true report’39 atau ‘true narrative.’40 Sumber kebenaran yang berasal dari khabar sha>diq bersandar kepada otoritas yang diterima dan diteruskan (ruwiya wa nuqila) hingga akhir zaman, di mana sumber utamanya adalah wahyu, baik kalam Allah maupun sunnah Rasulullah.41 Untuk lebih jelasnya, sumber kebenaran keempat ini akan dijabarkan lebih luas pada sub bab berikutnya. C. Pengertian Khabar sha>diq dalam epistemologi Islam Bila ditelaah lebih dalam, khabar secara etimologi berarti berita (an-naba>’)42 dan ia adalah sekumpulan dari berita-berita atau kabar-kabar.43 Khabar bermakna pula, cerita, riwayat, pernyataan, ucapan (talfana li>, kallama, ra>sala) 44 atau (to contact, communicate with). Ibnu Taimiyyah mendefinisikan khabar dengan lebih rinci lagi yakni sebuah berita atau kabar, baik yang benar maupun yang keliru atau bohong.45 Secara terminologi khabar berarti berita yang mengabarkan tentang sesuatu kejadian, yang ditransfer dan dibicarakan melalui perkataan, tulisan atau gambaran dari kejadian-kejadian yang baru.46 Ada pula yang menyebut bahwa khabar secara bahasa, memiliki makna sama dengan hadist, yaitu segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada seseorang.47 Namun hadist memiliki makna yang lebih umum dari khabar, sehingga tiap hadist bisa disebut sebagai khabar, tapi tidak semua khabar dapat disebut hadist.48 Sedangkan sha>diq secara etimologi berarti benar ‚ghoiru ka>dzib‛ atau ‚shari>kh‛ (true truthful).49 Dilihat dari makna terminologisnya, sha>diq50 berarti sesuatu fakta yang sesuai dengan realita. Lawan katanya adalah bohong (kadzb). Pelakunya disebut 39 Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam….,p.14 40 Lihat, penjelasan Sa’ad al-Di>n al Tafta>zani> dari buku Najm al-Di>n al-Nasa>fi>, dalam A Commentary on the Creed of Islam, translated and notes, Earl Edgar Elder, (Columbia University: New York, 1950), p.19 lihat juga, Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Gema Insani: Jakarta, 2008), p.205 41 Ibid, p.206 42 Muhammad abu laits khoiru abadi, ‘Ulu>mul Hadi>st asi>luha wa mu’a>shiluha>, (Darul Sya>kir: Malaysia, 2011), p.26-27 43 Abu Abdurrahma>n al Kholi>l Ibnu Ahmad, Kita>bu al Aini, Jilid 8 (Daru Maktabah al Hila>l, t.t), p.258 44 Rohi Baalbaki, al Maurid, Edisi ke 7,(Da>r el ilm lilmabyi>n: Beirut Lebanon, 1995), p.498 45 Ibnu Taimiyyah, ‘Ilmu al Hadi>st, (Da>r al Kutu>b al ‘A<lamiyyah: lebanon, 1985), p.36 46 Ahmad Mukhtar ‘Abdul Hami>d Uma>r, Mu’jamu al Lugha>h al ‘Arabiah al Mu’a>shirah, Jilid 1, cetakan pertama (‘Alim al Kitab, t.t), p.608 47 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Rajawali Press: Jakarta, 2002), p.15 48 Ibid, p.15 49 Rohi Baalbaki, al Maurid,……. , p.684 50 ‚Sadi>q‛ berakar dengan kata ‚al Sha>diq‛ . kata al Sha>diq adalah salah satu dari Nama Allah SWT. Lihat, Ahmad Mukhta>r ‘Abdul Hami>d Uma>r, Mu’jamu al Lugha>h al ‘Arabiah al Mu’a>shirah, Jilid 2…, p.1283
  • 8. 8 ‚sha>diqu>n‛ (true man). Orangnya disebut ‚siddi>q‛( man of truth).51 Kebalikannya disebut dengan berita palsu (khabar kadzi>b). Menurut al-Attas khabar sha>diq atau berita yang benar haruslah didasari oleh sifat-sifat dasar santifik atau agama, yang mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik. Artinya, khabar inipun benar- benar diriwayatkan oleh ulama yang otoritatif dalam bidang agama, bukan diriwayatkan oleh sembarang orang. Dalam bukunya ia berpendapat, ‚Islam affirms the possibility of knowledge; that knowledge of realities of things and their ultimate nature can be established with certainty by means of our external internal sense and faculties, reason and intuition, and the true report of scientific or religion nature, transmitted by their authentic authorities‛ 52 D. Khabar Sha>diq Pembagiannya dan validitasnya As Syawkani memilah khabar menjadi tiga jenis. Pertama, khabar yang sudah pasti benar (al maqthu>’ bi shidqihi) baik yang kebenarannya bernilai pasti dan mutlak, yang bersumber dari khabar mutawatir dan pengetahuan a priori (awwaliya>t), maupun yang diyakini benar, setelah dilakukannya penelitian, serta dibuktikan dan diuji secara ilmiah. Bila merujuk kepada yang sudah pasti benarnya, disini Al-Qur’an memiliki derajat tertinggi, setelahnya adalah hadist Rasulullah SAW, dan diterima secara universal.53 Kedua, khabar yang palsu, keliru atau dusta (al Maqthu>’ bi kidzbihi), hal ini berlaku pada segala hal yang diketahui salahnya secara pasti dan langsung, ataupun yang diketahui dengan cara pembuktian. Ketiga, khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau salahnya (ma> la> yuqtha>’ bi shidqihi wa la> kidzbihi), hal ini berupa khabar yang sumbernya sama sekali tidak diketahui, atau sumbernya pun tidak jelas, termasuk didalamnya khabar yang belum tentu atau kemungkinan benar, namun kedudukannya belum pasti, maupun sebaliknya yaitu, khabar yang kemungkinan salah, palsu atau keliru, walaupun belum pasti demikian.54 Namun, bila dilihat dari otoritasnya, khabar sha>diq ini terbagi menjadi dua. Pertama, otoritas mutlak (absolute authority) yang terdiri dari, otoritas ketuhanan yaitu al-Qur’an. dan otoritas kenabian, yaitu hadist Rasulullah. Kedua, Otoritas nisbi (relative authority) yang terdiri dari, kesepakatan alim ulama (tawatur) dan khabar 51 Ali Muhammad al Khu>li, a Dictonary of Islamic Terms, (tanpa tahun, pdf), p.63-64 52 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam….,p.14. lihat juga Dinar Dewi Kania, Epistemologi Syed Muhammad Naquib al-Attas, makalah, p.4 53 Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta, 2013), p.xvii 54 Imam Muhammad ibn Muhammad as Syawkani, Irsya>d al Fuhu>l ila at Tahqi>q al Ha>qq min ‘Ilmi l-Ushu>l, (Da>r al Kutu>b al Islamiyyah: Beirut, 1994), p.71,2. Dikutip dalam Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Gema Insani: Jakarta, 2008), p.207-208
  • 9. 9 yang berasal dari orang terpecaya secara umum.55 Khabar inipun diperjelas lagi dengan dua kriteria. Pertama, (lidza>tihi atau binafsihi) maksudnya, berita benar ini benar dengan sendirinya tanpa diperkuat oleh sumber lain. Sedangkan kedua, (bi ghairihi), yakni berita benar yang masih didukung dan diperkuat oleh sumber yang lain,56 yang mana akal kita akan menolak bahwa mereka bersekongkol untuk berdusta. Sehingga secara umum bahwa khabar sha>diq dapat dipahami sebagai sebuah berita benar, yang mengabarkan tentang segala sesuatu, dibicarakan melalui perkataan, tulisan maupun gambaran yang mana disampaikan dari satu generasi ke generasi yang lain. Merujuk dari argumentasi diatas, al-Qur’an menepati kedudukan tertinggi dalam sumber kebenaran, ia bersifat qhat}’i al tsubu>t wa qhat}’i al dala>lah,57 yaitu dari makna maupun maksudnya telah jelas otentisitasnya. Ia juga bersifat tsabit tetap secara qhat’i, sebab telah diakui, dibuktikan serta dipastikan ketawaturannya oleh seluruh umat manusia dan tidak terdapat perbedaan sedikitpun dengan yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an turun dalam rentang waktu 23 tahun, diturunkan dalam satu malam ke langit terbawah (bait izzah) yang kemudian diturunkan ke bumi secara bertahap58 kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara Malaikat Jibril, disampaikan pada sahabat dari generasi hingga kegenerasi melalui mata rantai (talaqqy>-musya>fahah) tradisi lisan yang jelas.59 Dalam penyampaiannya Nabi Muhammad menghafalnya, namun secara silih berganti membaca al-Qur’an bersama Malaikat Jibril. Untuk menjaga hafalan Rasulullah, Malaikat Jibril mengunjunginya setiap tahun untuk memantapkan hafalannya.60 Setelah dihafal, Rasulullah menyampaikan al-Qur’an ini dengan diajarkan serta dijelaskan kepada para sahabat. Ini terlihat begitu Nabi sampai di Madinah Ia membuat sebuah kelompok belajar (suffah) di dalam masjid.61 Nabi sampai menyediakan 55 Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli-September 2005), p.54 56 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme……. p.207 57 Ibid, p. 210 58 Dalam masalah ini lebih jelasnya silahkan baca, Jalaluddi>n as Suyuti, al Itqa>n fi ‘Ulu>m-l Qur’a>n, (al Maktabah al ‘Ashri, 2003) 59 M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru……., p. 43-128. Untuk lebih jelasnya baca, al-Sayyid Ahmad bin Abd Rahma>n, Asa>ni>d Al-Qurra>’ al-Asyarah al-Bara>rah wa Ruwwa>tihim al- Bara>rah, (Dar al Shaha>bah: Kairo, 1424) 60 Lihat hadist yang diriwayatkan oleh Fatimah RA. Fatimah berkata, Nabi Muhammad memberitahukan kepadaku secara rahasia, Malaikat Jibril hadir dan membacakan al-Qur’an kepadaku dan saya membacaknnya sekali dalam setahun. Hanya tahun ini ia membacakan seluruh isi kandungan al-Qur’an selama dua kali. Saya tidak berfikir lain kecuali, rasanya, masa kematian semakin dekat. Lihat Shahih Bukhari, Fadhail al-Qur’an, : 7 61 Perlu dicatat, hal ini disebabkan karena konsep-konsep dalam al-Qur’an yang begitu banyak dan kaya. kemudian dipahami, ditafsirkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’i tabi’i>n hingga para ulama saat ini. Pada akhirnya hal ini berakumulasi kepada pemahaman wahyu yang masuk ke dalam berbagai bidang kehidupan dan membentuk sebuah sebuah peradaban yang kokoh. Dengan kata lain wahyu dalam tradisi Islam melahirkan sebuah budaya Ilmu atau tradisi intelektual yang berujung pada terciptanya sebuah peradaban. Selain itu, dari wahyu ini pula Islam memiliki sebuah medium transformasi dalam bentuk sebuah institusi pendidikan disebut al-Suffah. Lihat, Alparslan Acikgenc, Islamic Science:
  • 10. 10 makanan dan tempat tinggal.62 Dengan kata lain, tradisi pengkajian al-Qur’an begitu sistematis sedemikian rupa lewat kelompok-kelompok belajar. selain itu al-Qur’an tidak hanya berupa sebuah naskah teks tertulis (rasm), ia juga merupakan bacaan (qira’ah) yang dihafalkan, sehingga al-Qur’an dapat terus dijaga. Setelah disampaikan kepada para sahabat, al-Qur’an ini pun dicatat dan ditulis oleh kurang lebih 65 sahabat Rasulullah, yang berperan sebagai penulis wahyu.63 Selain menulis, para sahabat juga menghafalnya. Dua hal ini secara langsung diawasi oleh Rasulullah SAW secara rutin. Biasanya Nabi memanggil para penulis untuk menulis ayat al-Qur’an setiap kali ayat al-Qur’an turun. Setelah selesai para sahabat membaca ulang dihadapan Nabi agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks. Setelah Rasulullah wafat tradisi ini pun terus berlanjut. Hingga pada zaman Abu Bakar diputuskan untuk dikumpulkan menjadi satu kitab utuh, disebabkan banyak dari para huffa>z (penghafal al-Qur’an) meninggal dalam peperangan Yamama. Perlu dicatat, bahwa al-Qur’an telah ditulis secara utuh sejak zaman Nabi Muhammad, hanya saja belum disatukan menjadi satu dan surah-surah yang ada pun belum tersusun.64 Penyusunannya pun tidak sembarang, sahabat diharapkan menyerahkan catatan mereka serta menyetor hafalan mereka dibarengi dua saksi yang mendampingi. Ia juga diharuskan bersumpah bahwa ia telah mendapatkan langsung dari Rasulullah SAW.65 Selain itu, penunjukan ‚Zaid bin Thabit‛ sebagai ketua pengumpul al-Qur’an pun bukan tanpa alasan. Sejak usia dua puluhan ia sudah tinggal bersama Rasulullah dan bertindak sebagai ‚kutta>b al wahyi‛ atau penulis wahyu yang amat cemerlang. Karena itu Abu Bakr as-Siddiq memberikan kualifikasi kepada Zaid. Pertama, pada masa muda, Zaid terkenal dengan kekuatan energinya serta menunjukkan vitalitas yang luar biasa. Kedua, akhlaknya pun tidak pernah tercemar dengan perbuatan yang buruk. Ketiga, zaid memiliki kompetensi serta kecerdasan yang tinggi. Keempat, ia pun memiliki pengalaman sebagai penulis wahyu. Kelima, ia juga sebagai salah satu sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad secara langsung.66 Keenam, Zaid bukan seorang sahabat yang memiliki Toward a Definition, (ISTAC: Kuala Lumpur, 1996), p.82-83. Juga, hamid Fahmy Zarkasyi, ‚Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang Bermartabat‛ dalam ‚On Islamic Civilization‛ (ed) Laode Kamaluddin, (Unissula Press: Semarang, 2010), p. 25-26. Juga Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam: Makna dan Strategi pembangunannya, (CIOS ISID: Ponorogo, 2010), p.17 62 M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru……., p.46-66 63 Para sahabat.. kuttabs ini diantaranya, Abba>n bin Sa’i>d, Abu Umama, Abu Ayyu>b al Ansari, Abu Bakr as-Siddi>q, Abu Hudhaifa, Abu Sufya>n, Abu Salama, Abu Abba>s, Ubayy bin Kaa>b, al Arqa>m, Usaid bi Sa’a>d, Suhai>m, Hati>b, Hudhaifa, Husei>n, Hanzala, Huwaiti>b, Kha>lid bin sa’id, Kha>lid bin Wali>d, Az-Zubei>r bin Awwa>m, Zubai>r bin Arqa>m. Untuk lebih lengkapnya, lihat al-A’Za>mi, Kutta>b an Nabi>, (t.p, Riya>d, 1981) 64 Jalaluddin as Suyuti, al Itqa>n fi ‘Ulu>m-l Qur’a>n, (al Maktabah al ‘Ashri, 2003), p.163-165 65 Ibnu Abi> Daud, al-Masha>hif, Cetakan ke 6, (Maktabah al-Islami>: Beirut, 2003), p.209 66 M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru……., p.46-92
  • 11. 11 tipe fanatik, ia sangat mudah mendengarkan pendapat orang lain.67 Ketujuh, Zaid juga menguasai belajar serta menguasai berbagai bahasa.68 Artinya, penunjukkan Zaid bin Thabit bukan secara kebetulan. Semua telah diperhitungkan begitu matang. Ini pun menunjukkan bahwa al-Qur’an bersumber dari khabar shadiq yang terjaga kebenarannya dan bahkan dijamin sendiri oleh Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah yang berbunyi, ‚inna> nahnu nazzalna> al dhikra wa inna> lahu lah{a>fiz{u>n‛ 69 Tidak berbeda dari al-Qur’an. sumber periwayatan hadist pun tergolong khabar shadiq yang dapat dipertanggung jawabkan. Ia juga berperan sebagai tafsir dan penjelas al-Qur’an yang paling otentik.70 Di dalam ilmu Hadist, terdapat empat syarat, kriteria bagaimana sebuah khabar masuk pada tataran khabar mutawatir. Syarat pertama adalah, diriwayatkan oleh rawi-rawi dalam jumlah yang banyak secara berturut-turut.71 Ini berarti khabar tersebut haruslah diriwayatkan secara orang perorangan dengan jumlah yang banyak secara beruntun atau estafet, tanpa terputus. Yang kedua, periwayatan yang banyak dan berturut-turut ini terdapat dalam setiap tingkatan sanad. Artinya tidak hanya diriwayatkan secara berturut-turut, namun perawinya pun harus merata, ada disetiap generasi. Syarat selanjutnya adalah, perawi yang meriwayatkan harus terpercaya serta terbebas dari kebohongan.72 dengan kata lain, selain khabar tersebut diriwayatkan secara terus-menerus tanpa terputus dan perawinya berasal dari beberapa tingkatan sanad, perawinya pun harus terpercaya dan terbebas dari kebohongan. Sedangkan yang terakhir adalah, perawi harus menjadikan panca indra sebagai landasan periwayatannya,73 dalam artian ia pernah melihat, menyaksikan, megalami, mendengar kabar tersebut secara langsung, ‚al-Musya>hadah wa s-sama>’ la ‘ala> sabi>l al-ghala>t}‛, tanpa disertai ilusi ataupun praduga.74 Maka tidak mengherankan bila khabar mutawatir ini tidak diragukan kebenarannya, mengingat begitu ketatnya kriteria sebuah khabar hingga dapat diterima menjadi sumber yang benar-benar mutawatir. Bila pada hadist yang derajatnya mutawatir para ulama telah menetapkan persyaratan yang begitu ketat, maka khabar ahad atau hadist ahad 75 ini juga demikian. 67 Muhammad Husein Haekal, Abu Bakr al-Shiddi>q, (Litera Antar Nusa: Bogor, 2010), p.335 68 Ibnu Abi Daud, al-Masha>hif, Cetakan ke 6, (Maktabah al-Islami>: Beirut, 2003), p.143 69 QS al Hijr: 9 yang artinya, ‚Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya‛ 70 M. Mustafa al-A’Zami, Studies In Hadith Methodology and Literature, revised edition, (Islamic Book Trust: Kuala Lumpur, 2002), p.9 71 Adapun jumlah perawinya, Ulama berbeda pendapat. Namun, Imam al Suyuti (911 H) memaparkan bahwa pendapat yang terpilih adalah sepuluh orang. Lihat, Jalaludin al Suyuti, Tadri>b al- Rawi fi Syarh Taqri>b al-Nawa>wi, (Dar al-Kutu>b al-Hadi>tsah: Cairo, 1966), p.177. lihat juga, Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadist……, p.132 72 M. Mustafa al-A’Za>mi, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Hingga Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian lama dan Perjanjian Baru, (Gema Insani: Jakarta, 2005), p.190 73 Muhammad abu laits khoiru abadi, ‘Ulu>mul Hadi>st asi>luha> wa mu’a>shiluha>,……, p.135 74 Mahmud Tahhan, Taisi>ru Mustalah al Hadi>st, Cetakan ke 5 (t.p, Saudi Arabia, 2000), p.19 75
  • 12. 12 Menurut Syamsuddin Arif, khabar ahad pun harus diklasifikasi kualitas sumbernya, siapa yang meriwayatkan, begitu pun siapa yang menyampaikannya dan yang mengatakannya, serta bagaimana kualifikasi serta otoritas sanad dan isnadnya.76 Persyaratan yang begitu ketat ini pun tidak hanya berlaku pada narasumber atau perawinya namun juga isi pesannya (matan) beserta penyampainnya. Dengan kata lain bahwa khabar ahad tidak serta merta ditolak, ataupun diterima, ia juga melalui proses panjang hingga pada akhirnya dapat diterima sebagai khabar benar. As-Syawkani menegaskan, sebuah khabar ahad baru dapat diterima sebagai sumber kebenaran, bila memenuhi beberapa syarat. Pertama, sumber berita/khabar harus berasal dari seseorang yang ‚mukallaf‛ dalam artian seseorang tersebut telah terkena kewajiban melaksanakan perintah agama serta mampu mempertanggung jawabkannya. Oleh sebab itu hanya orang ‚baligh‛ cukup umur saja yang beritanya dapat diterima, anak kecil, orang gila tidak diterima khabarnya. Kedua, sumber khabar pun harus berasal dari yang beragama Islam. Hal ini pun ditegaskan pula oleh Imam Ibnu Hibban (354 H-965 M) bahwa orang yang secara dzahir seorang Muslim namun batinnya kafir ‚zindi>q‛. Mereka ini adalah seorang sophis, agnostic, skeptic, relativis bahkan atheis, mengaku sebagai ulama, yang dengan sengaja menimbulkan keragu- raguan (li yuqi>’u s-syakk wa r-rayb) pada masyarakat serta menyesatkan orang lain.77 Maka kabar, cerita ataupun pernyataan yang berasal dari seorang nasrani, kafir dalam hal ajaran Islam tidak dapat diterima. Ketiga, perawi haruslah seorang yang memiliki intergritas moral yang tinggi (‘ada>lah), sehingga menunjukkan bahwa ia seorang yang dapat dipercaya karena kerwibawaannya (muru>’ah), ketaqwaannya dan Jauh dari dosa-dosa besar maupun dosa-dosa kecil. Ini berarti, orang yang fasiq, kabarnya tidak dapat diterima, sebab ia bukan termasuk lagi dalam golongan orang yang adil (‘ada>lah).78 sedangkan yang keempat, as-Asyawkani menjelaskan bahwa perawi haruslah seorang yang ‚dhabt‛ yang memiliki ketelitian serta kecermatan. Ibn Hibban memasukkan didalamnya, orang yang tidak teliti, orang yang bukan pakar atau ahli dalam bidangnya,79 sehingga kabar 76 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme……. p, 209 77 Muhammad Ibn Hibba>n, Kitab al Majru>hi>n mi al Muhaditsi>n wa d Dhuafa>’ wa l Matru>ki>n, (Dar al Wa’y: Aleppo, 1396 H), p.62-88 78 Ima>m Muhammad ibn Muhammad as Syawka>ni, Irsya>d al Fuhu>l ila at Tahqi>q al Haqq min ‘Ilmi l-Ushu>l, (Dar al Kutu>b al Isla>miyyah: Beirut, 1994), p.78-85 79 Selain yang telah disebutkan, Ibnu Hibban menambahkan, orang yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah SAW dengan menyebutkan alasan sebagai amal ma’ruf nahi mungkar, seseorang yang secara terang-terangan berdusta disebabkan karena ia menganggap bahwa hal tersebut adalah boleh, berdusta untuk kepentingan duniawi, seseorang yang telah lanjut usia, ‚al Mukhtalithu>n‛, seseorang yang mengajar dari buku karangan tanpa pernah belajar langsung dari kepada pengarang tersebut, ‚yuhadditsu bi al-kutubin ‘an syu>khi>n lam yara>hum‛, seseorang yang suka memutarbalikkan fakta serta mengeneralisir otoritas semua perawi, seseorang yang mengajarkan sesuatu dimana hal tersebut tidak pernah diajarkan oleh gurunya, orang mengajarkan apa yang didapat hanya dari dalam buku saja, seseorang yang jujur namun sering keliru, seseorang yang sering dimanfaatkan, seseorang yang tidak tahu bahwa karya tulisnya telah dimanipulasi, seseorang yang pernah berbuat salah secara tidak sengaja setelah itu menyadari kesalahan tersebut akan tetapi membiarkannya, seorang yang sering mengabaikan
  • 13. 13 yang berasal dari seseorang yang tidak otoritatif tidak dapat diterima. Dalam hal ini Imam Malik pun sependapat, bahwa orang bodoh yang sudah dikenal kebodohannya ucapannya tidak perlu dicatat.80 Kelima, seorang perawi pun haruslah terbebas dari sifat ‚mudallis‛ yakni tidak menyembunyikan sumber kabar serta senantiasa berkata jujur dan berterus terang. Dengan kata lain, perawi yang memiliki kepribadian suka berbohong,81 walaupun sedikit secara prosedural tidak dapat diterima khabarnya. Mudahnya didalam epistemologi Islam kebenaran bisa didapatkan atau diraih dengan menggunakan Khabar berita. Namun, khabar disini bukan sembarang khabar, khabar disini adalah ‚khabar sha>diq‛ berita benar. Ia harus bener-benar terverifikasi, serta teruji validitasnya dengan kriteria yang begitu ketat. Khabar ini selanjutnya diklasifikasikan, berdasarkan derajat validitasnya serta sifat yang mengikatnya menjadi, (qhat}’i) yakni yang bersifat pasti jelas atau gamblang, dan (dzanni>) berupa kemungkinan atau sebuah dugaan. Kemudian masing-masing dari dua hal ini terbagi lagi berdasarkan kebenaran sumbernya (tsubu>t) dan maksud, implikasinya (dala>lah). Dengan kriteria ini khabar tersebut dapat diklasifikasi menjadi 3.82 Pertama, (qat}’i al tsubu>t wa qat}h’i dala>lah). yaitu khabar yang orsinil dan sudah jelas otentisitasnya, tidak diragukan serta dipersoalkan kebenaran sumbernya dari segi maksudnya maupun maknanya. Contohnya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadist mutawatir83 yang bersifat muhkama>t baik yang membicarakan masalah hukum maupun keimanan. Kedua, (qat}h’i al tsubu>t zhanni> al dala>lah). yaitu khabar yang yang telah dibuktikan keasliannya serta kebenaran sumbernya akan tetapi belum diketahui secara pasti makna ataupun maksud yang terkandung didalam ayat tersebut. Misalnya, ayat-ayat al-Qur’an yang mutasyabihat berbicara mengenai hal-hal yang samar-samar, ataupun khabar mutawatir yang memiliki makna dua atau lebih.84 Ketiga, (zhanni> ats tsubu>t wa zhanni> al dala>lah).85 yaitu khabar yang kebenaran sumbernya, otensititasnya serta perintah agama secara terang-terangan (fasiq), seseorang yang tidak menyebutkan sumber asal disebabkan tidak pernah menemuinya, seseorang yang menyebarkan ajaran sesat, dan seseorang yang berdusta untuk menarik perhatian orang banyak dengan ceramahnya serta nasehatnya. Lihat, Muhammad Ibn Hibba>n, Kitab al Majru>hi>n mi al…….., p.62-88 80 Ibid, p.80 lihat juga ‘Ali Khatib al Baghdadi, al Kifayah fi ‘Ilmi r-Riwayah, (Jam’iyyah Da’irat al Ma’arif al ‘Utsmaniyyah, 1357 H), p. 115-134 81 Ima>m Muhammad ibn Muhammad as Syawka>ni, Irsya>d al Fuhu>l ila…,p.78-85 82 Ada pula yang membaginya menjadi 4, ditambah dengan (zhanni> al tsubu>t wa qat}h’i al dala>lah). Contohnya, Hadist Rasulullah yang berbunyi (‫َة‬ ‫ِفإلبلي‬‫ي‬‫يرليمخسيمن‬ ). Hadist ini memiliki arti makna yang jelas, tidak mengundang banyak arti, namun kebenaran sumbernya masih belum mutawatir. Lihat, ‘Abdul Kari>m ibn ‘Ali ibn Muhammad al Namlah, al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al Muqa>rin, Cetakan 1, Jilid 5 (Maktabah al Rasyid: Riyadh, 1999), p.2320-2321 83 Muhammad ‘Abdul Adzi>m al Zarqa>ni, Mana>hil al Furqa>n fi al ‘Ulu>m al Qur’a>n, Cetakan ke 2, Juz 2 (Matba’ah ‘Isa al Babhi al Ja>li wa Shirkah, t.t), p.247 84 seperti ayat al-Qur’an surah al-Baqarah 228 (‫ء‬‫نيثالثةيقى‬ ِ‫ِفملطلَِتيَرتبصنيبأاف‬ ). Kata (quru>’) masih terdapat makna ganda, dapat diartikan sebagai ‚haid‛ namun bisa juga diartikan sebagai ‚bersih/suci‛. Lihat ‘Abdul Karim ibn ‘Ali ibn Muhammad al Namlah, al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al Muqa>rin…, p. 2320-2321 85 Abd Wahha>b Khalla>f, ‘Ilmu Ushu>l al-Fiqh, (Da>r al Kuwaitiyyah: Kuwait, 1968), p.35
  • 14. 14 maksud dan maknanya pun masih diperdebatkan. Contohnya, semua khabar ilmu yang selain yang disebutkan diatas, seperti hadist ahad ataupun khabar secara umum.86 Dengan kata lain, secara epistemologis, al-Qur’an, hadist baik yang mutawatir maupun yang ahad bersifat mengikat. Sebab validitasnya dan otoritasnya begitu tinggi. Namun perlu pula ditelaah lebih dalam mengenai kedudukannya, bersifat qat}h’i atau zhanni>. E. Kesimpulan Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia dapat mengetahui ilmu, dengan menyatukan sumber kebenaran –pancaindra, akal, intuisi, khabar shadiq- dalam satu kesatuan utuh, tidak dikotomis dan parsial. Selain itu, kebenaran dalam al-Qur’an dan hadist bersifat absolut dan pasti. Validitasnya pun tidak diragukan. Oleh sebab itu, dugaan serta asumsi para orientalis terhadap al-Qur’an dan hadist adalah keliru serta terkesan mengada-ngada dan tanpa dasar. Hingga saat ini al-Qur’an dan hadist dapat terjaga keasliannya berkat periwayatan melalui khabar shadiq secara turun temurun. benar-benar terverifikasi dan tidak sembarangan. Dengan kata lain, kabar yang diterima haruslah benar-benar melalui proses penyaringan yang begitu ketat baik isi maupun narasumber yang meriwayatkannya. maka hanya kabar yang benar sajalah yang dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dalam Islam. Ini berarti, khabar shadiq sebagai sebuah metode transmisi ilmu pengetahuan dalam Islam dapat dipertanggung jawabkan. Wallahu a’lam bi assawab. 86 Seperti sebuah hadist yang berbunyi (ٌَ‫م‬‫ك‬‫ِفلو‬‫ي‬‫مة‬‫ا‬‫أيبفَث‬‫ى‬‫م‬َِ‫منييي‬‫مل‬‫مالةي‬‫ص‬ْ), hadist ini tergolong hadist yang periwatannya masih belum mutawatir. Selain itu hadist ini mengandung maksud ganda. Pertama dalil tentang shalat yang benar di mulai dengan membaca surah al-Fatihah. Kedua, tidaklah lengkap shalat, tanpa membaca surat al-fatihah hanya sebagai. Lihat, ‘Abdul Karim ibn ‘Ali ibn Muhammad al Namlah, al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al Muqa>rin…, p. 2320-2321
  • 15. 15 DAFTAR PUSTAKA ‘Abdul Hami>d Uma>r, Ahmad Mukhtar. Mu’jamu al Lugha>h al ‘Arabiah al Mu’a>shirah, Jilid 1, cetakan pertama (‘Alim al Kitab, t.t) Abd Rahma>n, al-Sayyid Ahmad bin. Asa>ni>d Al-Qurra>’ al-Asyarah al-Bara>rah wa Ruwwa>tihim al-Bara>rah, (Dar al Shaha>bah: Kairo, 1424) Abi> Daud, Ibnu. al-Masha>hif, Cetakan ke 6, (Maktabah al-Islami>: Beirut, 2003) Acikgenc, Alparslan. Islamic Science: Toward a Definition, (ISTAC: Kuala Lumpur, 1996) Adi Setia ‚Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Singkat‛ dalam ISLAMIA: Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, Tahun II (Nomor.6, Juli- September 2005) Al Baghdadi, ‘Ali Khatib. al Kifayah fi ‘Ilmi r-Riwayah, (Jam’iyyah Da’irat al Ma’arif al ‘Utsmaniyyah, 1357 H) Al Hanafi, Abdul Mun’im. Mu’jam al Sya>mil al Mustalaha>t al Falsafah: fi al Arabiyah wa al injli>ziyah, wa al Faransiyah, al Ma>niyah, wa al Ita>liyah, wa al Ru>siyah, Cetakan ke 3 (Maktabah Madbuli: Kairo, 2000) Al Kholi>l Ibnu Ahmad, Abu Abdurrahma>n. Kita>bu al Aini, Jilid 8 (Daru Maktabah al Hila>l, t.t) Al Khu>li, Ali Muhammad. a Dictonary of Islamic Terms, (tanpa tahun, pdf) Al Tafta>zani>, Sa’ad al-Di>n. dari buku Najm al-Di>n al-Nasa>fi>, dalam A Commentary on the Creed of Islam, translated and notes, Earl Edgar Elder, (Columbia University: New York, 1950) Al Zarqa>ni, Muhammad ‘Abdul Adzi>m. Mana>hil al Furqa>n fi al ‘Ulu>m al Qur’a>n, Cetakan ke 2, Juz 2 (Matba’ah ‘Isa al Babhi al Ja>li wa Shirkah, t.t) Al-A’Zami, M. Mustafa. Studies In Hadith Methodology and Literature, revised edition, (Islamic Book Trust: Kuala Lumpur, 2002) ______________. Kutta>b an Nabi>, (t.p, Riya>d, 1981) Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme, trj Kasidjo Djojosuwarno, (Penerbit Pustaka: Bandung, 1981). ______________. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (ISTAC: Kuala Lumpur, 2001) Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,(Gema Insani: Jakarta, 2008) Armas, Adnin. Krisis Epistemologi dan Islamisai Ilmu, (CIOS ISID: Ponorogo, 2007) As Suyuti, Jalaluddin. al Itqa>n fi ‘Ulu>m-l Qur’a>n, (al Maktabah al ‘Ashri, 2003) ______________. Tadri>b al-Rawi fi Syarh Taqri>b al-Nawa>wi, (Dar al-Kutu>b al- Hadi>tsah: Cairo, 1966) as Syawkani, Imam Muhammad ibn Muhammad. Irsya>d al Fuhu>l ila at Tahqi>q al Ha>qq min ‘Ilmi l-Ushu>l, (Da>r al Kutu>b al Islamiyyah: Beirut, 1994) Baalbaki, Rohi. al Maurid, Edisi ke 7,(Da>r el ilm lilmabyi>n: Beirut Lebanon, 1995) Chittick, William C. Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam, terj Arif Mulyani, cetakan pertama, (Mizan: Bandung, 2007) Dewi Kania, Dinar. Epistemologi Syed Muhammad Naquib al-Attas, makalah.
  • 16. 16 Fajrie Alatas, Ismail. Sungai Tak bermuara Risalah Konsep Ilmu Dalam Islam: Sebuah Tinjauan Insani, (Diwan: Jakarta, 2006) Guillaume, Alfred. The Traditions of Islam: An Introduction to the Study of Hadith Literature, (Clarendon Press: Oxford, 1924) Husaini, Adian. dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta, 2013) Husein Haekal, Muhammad. Abu Bakr al-Shiddi>q, (Litera Antar Nusa: Bogor, 2010) Ibn Hibba>n, Muhammad. Kitab al Majru>hi>n mi al Muhaditsi>n wa d Dhuafa>’ wa l Matru>ki>n, (Dar al Wa’y: Aleppo, 1396 H) Imam al-Ghazali. Mi’ya>r al ‘ilm, tahqi>q bi Sulayma>n Dunya>, (Dar al-Ma’arif: Kairo, 1961) ______________. Ihyā’ Ulūm al Dīn, Juz 1, (Dar Qolam: Beirut, t.t) ______________. Kimiyā’ Sa’ādah in Majmū’ Rasāil Ghazali... ______________. Misykat al Anwar, (Dar Qutaibah: Beirut, 1990) Jeffery, Arthur. Materials for the History of the Text of the Qur’an: the Old Codices, (E.J. Brill: Leiden, 1937) Kartanegara, Mulyadhi. Menyibak Tirani Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Mizan: Bandung, 2005) Khalla>f, Abd Wahha>b. ‘Ilmu Ushu>l al-Fiqh, (Da>r al Kuwaitiyyah: Kuwait, 1968) khoiru abadi, Muhammad abu laits.‘Ulu>mul Hadi>st asi>luha wa mu’a>shiluha>, (Darul Sya>kir: Malaysia, 2011) Mohammad Iqbal, Allama. The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Tanpa tahun, dan penerbit, pdf Muhammad al Namlah, Abdul Kari>m ibn ‘Ali ibn. al Madha>b fi Usu>l al Fiqh al Muqa>rin, Cetakan 1, Jilid 5 (Maktabah al Rasyid: Riyadh, 1999) Muir, William. The Life of Mahomet and the History of Islam to the Era of Hegira , Jilid 4 (t.p London, 1861) Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cetakan ke 5 (Belukar: Yogyakarta, 2008) Mustafa Yaqub, Ali, Kritik Hadist……, Muthahhari, Ayatullah Murtadha. Pengantar Epistemologi Islam, trj M. Jawad Bafaqih, (Jakarta: Shadra Press, 2010) Nasr, Syeed Hossein. Encyclopedia of Islamic Philosophy, part I, (Suhail Academy: Lahore Pakistan, 2002) Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, cetakan kedua, (Clarendon Press: Oxford, 1959) Suharto, Ugi. ‚Epistemologi Islam‛ dalam buku ‚on Islamic Civilization‛ (Unissula Press: Semarang, 2010) Suparta, Munzier. Ilmu Hadis, (Rajawali Press: Jakarta, 2002) Tahhan, Mahmud. Taisi>ru Mustalah al Hadi>st, Cetakan ke 5 (t.p, Saudi Arabia, 2000) Taimiyyah, Ibnu. ‘Ilmu al Hadi>st, (Da>r al Kutu>b al ‘A<lamiyyah: lebanon, 1985) Titus, Harold H. Persoalan-Persoalan filsafat, Terj, H. M. Rosjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) Wan Daud, Wan Mohd Nor. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Mizan: Bandung, 1998)
  • 17. 17 Zarkasyi, Hamid Fahmy. ‚Ikhtiar Membangun Kembali Peradaban Islam yang Bermartabat‛ dalam ‚On Islamic Civilization‛ (ed) Laode Kamaluddin, (Unissula Press: Semarang, 2010) ______________. al-Ghaza>li’s concept of Causality: with Reference to his interpretations of Reality and Knowledge, (IIUM: Kuala Lumpur, 2010) ______________. Peradaban Islam: Makna dan Strategi pembangunannya, (CIOS ISID: Ponorogo, 2010)