1. Dokumen tersebut membahas tentang konsep firâr atau berlari menuju Allah dengan meninggalkan segala sesuatu yang dibenci-Nya dan melakukan segala sesuatu yang dicintai-Nya.
2. Ada tiga tingkatan firâr yaitu firâr orang awam, orang khusus, dan orang yang paling tinggi. Firâr orang awam adalah meninggalkan kebodohan dan kemalasan menuju ilmu dan kerajinan.
3. Firâr or
1. 1
Firâr
Banyak hal yang harus dilakukan oleh seorang yang mengaku
beriman untuk mewujudkan keimanannya. Seorang yang beriman akan
selalu berusaha berlari menuju Allah, Dia tinggalkan apa pun yang dibenci
Allah, dan bergegas kepada apa pun yang dicintai-Nya. Itulah yang dikenal
dengan istilah الفرارإلىاهلل (berlari menuju Allah). [Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, juz I, hal. 469]
Allah berfirman,
ۖ
“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang
pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS adz-Dzâriyât/51: 50)
Hakikat keislaman itu diwujudkan dengan kepasrahan (istislâm)
kepada Allah, menunaikan kewajiban kepada-Nya, serta menunaikan hak-
hak sesama muslim. Seorang muslim harus segera berhijrah, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW,
“Sesungguhnya orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan-
larangan Allah. Dan seorang muslim adalah orang yang bisa menjamin keselamatan
sesama muslim yang lain dari (bahaya) lisan dan tangannya.” (HR Ahmad bin
Hanbal dari Abdullah bin Umar, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal. 205,
hadits no. 6912)
Terdapat hijrah yang hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim,
yaitu hijrah meninggalkan dosa-dosa dan kemaksiatan. Kewajiban hijrah
semacam ini tidak pernah gugur darinya dalam keadaan bagaimana pun.
Hijrah kepada Allah ini mengandung sikap meninggalkan segala hal
yang dibenci oleh Allah kemudian diikuti dengan melakukan apa saja yang
dicintai dan diridhai-Nya. Pokok hijrah ini adalah rasa cinta dan benci di
dalam hati. Dalam pengertian seorang yang berhijrah meninggalkan sesuatu
(baca: maksiat) kepada sesuatu yang lain (baca: ketaatan) tentu saja karena
apa yang dia tuju lebih dicintai daripada apa yang dia tinggalkan. Oleh sebab
2. 2
itulah dia lebih mengutamakan perkara yang lebih dicintainya daripada
perkara-perkara lainnya.
Pelajaran yang dapat kita petik adalah hijrah dengan hati kepada
Allah menuntut kita untuk memiliki kesadaran dan ilmu mengenai apa yang
Allah benci dan apa yang dicintai oleh Allah. Karena hakikat hijrah ini
adalah meninggalkan perkara yang dibenci-Nya menuju perkara yang
dicintai-Nya.
Setiap orang Islam harus melakukan firâr. Kita harus berlari dari
segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada Allah. Jadi, hakikat firâr
adalah melarikan diri dari sesuatu yang dibenci oleh Allah, kepada sesuatu
yang lain yang dicitai oleh-Nya.
Firâr – dalam penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ada 2 (dua)
macam:
Firâr orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan, yaitu firâr kepada
Allah.
Firâr orang-orang yang mendapatkan penderitaan, yaitu firâr dari
Allah kepada selain Allah.
Sedangkan firâr dari Allah kepada Allah adalah firâr-nya wali-wali
Allah. Dalam menafsiri firman Allah, " ِهَّللا َىلِإ ُوارِفَف ", Ibnu Abbas berkata,
"Artinya, larilah dari Allah kepada Allah dan taatlah kepada-Nya."
Sedangkan Sahl bin Abdullah berkata, "Artinya, larilah dari selain Allah
kepada Allah." Yang lain lagi berkata, "Larilah dari adzab Allah ke pahala-
Nya, dengan iman dan ketaatan. Sementara itu, al-Harawi menyatakan,
bahwa الفرارإلىاهلل , bermakna: “lari dari sesuatu yang tidak ada ke sesuatu
yang senantiasa ada."
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa firâr – dalam hal ini --
ada 3 (tiga) derajat:
1. Firâr-nya orang-orang awam, yaitu firâr dari kebodohan ke ilmu,
dengan disertai keyakinan dan usaha, dari kemalasan ke kerajinan
yang disertai kesungguhan dan tekad, dari kesempitan ke kelapangan
yang disertai harapan.
Tentang firâr dari kebodohan kepada ilmu, dinyatakan bahwa
kebodohan itu sendiri ada 2 (dua) macam:
Pertama, tidak mengetahui kebenaran yang bermanfaat.
Kedua, tidak beramal menurut keharusan dan kelazimannya.
3. 3
Kedua-duanya sudah mendefinisikan makna kebodohan
menurut bahasa, istilah, syariat dan hakikat. Maka Musa a.s. berkata,
"… aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari
orang-orang yang bodoh." (QS al-Baqarah/2: 67)
Beliau berkata seperti itu setelah kaumnya berkata, "Apakah
kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Berarti, Musa a.s.
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-
orang yang suka mengejek.
Yusuf a.s. juga berkata,
"Dan, jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku
akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku
termasuk orang-orang yang bodoh." (QS Yûsuf/12: 33)
Artinya, agar beliau tidak termasuk orang-orang yang
melakukan apa-apa yang diharamkan kepada mereka. Allah
berfirman,
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang
mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan." (QS an-Nisâ'/4: 17)
Qatadah berkata, "Para shahabat sudah sepakat bahwa apa
pun bentuk kedurhakaan terhadap Allah disebut kebodohan."
Ada pula yang berkata, "Para shahabat sudah sepakat bahwa siapa
pun yang durhaka kepada Allah adalah orang yang bodoh."
Seorang penyair berkata, "Tak ada gunanya seseorang membodohi
kami hingga kita lebih bodoh dari jahiliy." Orang yang tidak
mendalami ilmu disebut bodoh, entah karena dia tidak bisa
mengambil manfaat dari ilmu itu, hingga dia disebut orang bodoh,
entah karena ketidaktahuannya terhadap akibat dari perbuatannya.
Firâr ini merupakan firâr dari 2 (dua) macam kebodohan: Kebodohan
terhadap ilmu yang harus didapatkan dan diyakini, dan kebodohan
terhadap pengamalannya. Firâr dari kemalasan ke kerajinan yang
4. 4
disertai kesungguhan dan tekad, artinya meninggalkan belenggu
kemalasan lalu berbuat dan berusaha, dengan kesungguhan dan
tekad, tidak asal-asalan, tidak meremehkan dan tidak berandai-andai.
Kesungguhan artinya kebenaran dalam beramal dan berusaha,
sedangkan tekad merupakan kesungguhan dalam kehendak. Maka
Allah berfirman kepada Yahya a.s.,
"Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh." (QS
Maryam/19: 12)
Quwwah dalam ayat ini berarti kesungguhan yang disertai
tekad dan usaha, tidak seperti orang yang mengambil perintah-Nya
dengan ragu-ragu dan setengah hati. Firâr dari kesempitan ke
kelapangan yang disertai harapan artinya lari dari dada yang terasa
sesak dan penat karena kekhawatiran, kegelisahan, kesedihan dan
ketakutan yang dirasakan hamba dari dalam dirinya, dan juga yang
datang dari luar dirinya, seperti hal-hal yang berkaitan dengan sebab-
sebab kemaslahatan hidupnya di dunia ini, baik dalam masalah harta,
badan, keluarga, masyarakat atau musuhnya. Dia harus lari dari
semua jenis kesempitan yang menghimpit dada, lalu beralih ke
kelapangan keyakinan kepada Allah, tawakal dan harapan kepada-
Nya.
"Dan, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang
tiada disangka-sangkanya." (QS ath-Thalaq/65: 2-3)
Ar-Rabi' bin Khutsaim berkata, "Artinya, Allah menjadikan
baginya jalan keluar dari hal-hal yang biasanya membuat manusia
merasa sesak dadanya."
Abû al-‘Aliyah berkata, "Artinya, Allah menjadikan baginya
jalan keluar dari segala kekerasan, baik kekerasan di dunia maupun di
akhirat. Allah pasti memberikan kelapangan bagi orang Mukmin dari
segala hal yang biasanya membuat manusia merasa sempit dan sesak
dadanya." Selagi seorang hamba mempunyai persangkaan yang baik
terhadap Allah, berpengharapan yang baik kepada-Nya dan tawakkal
secara sungguh-sungguh, maka Allah tidak akan menelantarkannya
dan tidak akan mengabaikan harapannya. Keyakinan dan baik sangka
5. 5
terhadap Allah ini merupakan istilah lain dari kelapangan hati. Sebab
tidak ada yang lebih membuat dada terasa lapang setelah iman, selain
dari keyakinan, mengharapkan yang baik dan berbaik sangka kepada
Allah.
2. Firâr-nya orang-orang yang khusus, yaitu dari pengabaran ke
kesaksian, dari rupa ke inti, dari bagian untuk diri sendiri ke
pelepasan. Artinya, mereka tidak ridha jika iman mereka hanya
sekedar dari pengabaran. Mereka ingin naik lebih tinggi agar bisa
menyaksikan siapa pemberi kabar itu.
Mereka ingin naik dari ilmul-yaqîn lewat pengabaran ke ainul-
yaqîn lewat kesaksian, seperti yang diinginkan Ibrahim Alaihis-Salam
dari Allah.
ۖ
ۖ
"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, 'Ya Rabbi, perlihatkanlah padaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang mati !' Allah berfirman, 'Belum
yakinkah kamu?' Ibrahim menjawab, 'Aku telah meyakininya, tetapi agar
hatiku tetap mantap (dengan imanku)'." (QS al-Baqarah/2: 260)
Ibrahim menuntut agar keyakinannya nyata di depan mata
dan apa yang ingin diketahui dapat disaksikan.
Inilah makna yang diungkapkan Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam tentang kesangsian, dalam sabda beliau,
"Kita lebih layak untuk sangsi daripada Ibrahim yang
berkata, 'Ya Rabbi, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau
menghidupkan orang mati!'" Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
tidak pernah sangsi, begitu pula Ibrahim. Tapi memang begitulah
beliau mengungkapkan makna ini. Apa yang dituntut Ibrahim itu
bukan karena sangsi atau ragu-ragu, tapi karena beliau menuntut
kemantapan.
Ada 3 (tiga) tingkatan tentang hal ini: ‘Ilmul-yaqîn yang
diperoleh dari pengabaran, kemudian hati mendapatkan kejelasan
hakikat pemberi kabar. Ilmu tentang pemberi kabar ini berubah
menjadi ‘ainul-yaqîn, setelah itu menyatu menjadi haqqul-yaqîn. Ilmu
kita tentang surga dan neraka pada saat ini disebut ilmul-yaqîn. Jika
surga ditampakkan kepada orang-orang yang bertakwa dan neraka
6. 6
diperlihatkan kepada orang-orang yang durhaka, artinya mereka
melihat dengan mata kepala sendiri, maka hal itu disebut ainul-yaqîn.
Jika penghuni surga sudah masuk surga dan penghuni neraka masuk
ke neraka, maka itu disebut haqqul-yaqîn.
Firâr dari rupa ke inti, artinya keluar dari ilmu dan amal-
amal yang tampak, lalu beralih ke hakikat iman dan mu'amalah hati.
Orang-orang yang mempunyai tekad yang besar tidak puas hanya
dengan rupa-rupa amal yang tampak mata. Mereka tidak
mempedulikannya kecuali dengan ruh dan hakikatnya. Pengetahuan
tentang Allah tidak mengharuskan seseorang untuk meninggalkan
perintah seperti anggapan orang-orang zindiq dan sufi.
Bahkan seharusnya mereka bisa menyimpulkan hakikat
perintah, rahasia ubudiyah dan ruh amaliyah. Mereka memposisikan
diri di hadapan perintah seperti posisi orang yang mengetahui
maksud perkataan orang lain yang berbicara dengannya, entah yang
tersamar, yang jelas atau yang berupa isyarat.
Sedangkan posisi selain orang-orang sufi seperti orang yang
mengikut di belakang orang yang berilmu itu dan hanya menghapal
semata, tanpa memahami dan mengerti maksudnya. Mereka ini lebih
membutuhkan kepada perintah, sebab mereka tidak sampai kepada
pengertian dan hakikat itu kecuali dengan adanya perintah, di
samping harus ada hapalan, pengetahuan dan pengamalan.
Orang-orang sufi ini mengartikan hakikat perintah yang
dituntut adalah ruhnya, bukan rupa dan zhahimya. Karena itu
mereka berkata, "Kami menghimpun hasrat pada tujuan dan hakikat,
dan kami tidak membutuhkan rupa dan zhahirnya. Siapa yang
menyibukkan diri dengan rupa berarti melalaikan tujuan dengan
suatu sarana." Mereka tertipu, seperti halnya orang-orang yang hanya
memerhatikan rupa amal dan zhahimya tanpa memerhatikan hakikat,
ruh dan tujuannya. Golongan yang kedua mengabaikan rahasia amal,
tujuan dan hakikatnya, sedangkan golongan pertama mengabaikan
rupa dan zhahirnya. Mereka menganggap telah sampai kepada
hakikat amal sekalipun tanpa zhahir amal itu. Padahal mereka hanya
sampai kepada zindiq dan kekufuran, mengingkari apa yang
seharusnya diketahui tentang diutusnya para rasul.
Mereka adalah orang-orang kafir, zindiq dan munafik,
sedangkan golongan selain mereka juga tidak sempurna. Hati itu
mempunyai ubudiyah sebagaimana anggota badan. Mengabaikan
ubudiyah hati sama dengan mengabaikan ubudiyah anggota tubuh.
Kesempurnaan ibadah ialah dengan menerapkan ubudiyah untuk
masing-masing pasukan, pasukan hati dan pasukan anggota tubuh.
7. 7
Firâr dari bagian untuk diri sendiri ke pelepasan bagian itu ada
beberapa tingkatan, yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang
benar-benar memiliki ma'rifat tentang hak-hak Allah dan apa yang
diinginkan-Nya serta hak-hak hamba-Nya, mengetahui diri sendiri,
amal dan penghalangnya. Secara umum, bagian ini artinya apa pun
selain yang dikehendaki Allah darimu, entah yang hukumnya haram,
makruh, mubah atau sunat. Semua ini tidak akan diketahui kecuali
dengan memiliki ilmu yang mendalam tentang Allah dan perintah-
Nya, tentang nafsu dan sifat-sifatnya.
Sebenarnya di sana ada bagian yang bisa didapatkan seorang
hamba sebagai haknya. Namun dia lari dari bagian ini untuk
melepaskannya. Namun jarang manusia yang mampu melakukan hal
ini, karena mereka beribadah kepada Allah justru untuk mendapatkan
bagian dari apa yang dikehendakinya. Kalau pun ada, maka itu
adalah kedudukan para nabi dan shiddiqin.
3. Adapun firâr-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang
yang khusus ialah lari dari selain kebenaran kepada kebenaran, dari
kesaksian firâr kepada kebenaran, kemudian firâr dari kesaksian firâr.
Demikian penjelasan tentang firâr, menurut Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah di dalam kitab Madârijus Sâlikîn. Dan untuk selanjutnya, bila kita
ingin mendalaminya, kita bisa mengkaji lebih lanjut di dalam kitab-kitabnya
yang lain, antara lain pada kitab al-Fawâid.