1. 1
Menuju Tangga Kesuksesan dengan Ilmu
ٍSaya masih ingat kata ‘bijak’ Mario Teguh dalam sebuah episode
penampilannya di sebuah stasiun TV Swasta di negeri kita: “Berdoalah kepada
Tuhan, karena Dia akan selalu siap untuk mendengar dan mengabulkan doa-doa
kita”. Kalau kita ingin sukses, kita tidak sendiri. Karena harapan ‘itu’-lah
yang juga dicita-citakan oleh setiap orang. Setiap orang yang hidup di atas
bumi menginginkan hidupnya selalu sukses. Tetapi, meskipun semua orang
telah berusaha untuk meraih kesuksesan, ternyata hanya sedikit yang mampu
mencapainya. Kebanyakan dari mereka belum mencapai level (tingkatan)
tersebut. Minimal belum mendapatkan sesui dengan apa yang dicita-citakan.
Jika demikian, ada satu pertanyaan besar: “mengapa orang-orang yang
menginginkan kesuksesan itu belum kunjung juga mendapatkannya,
meskipun telah berkerja keras dan berdoa untuk meraih apa pun yang dicita-
citakannya?
Nah, untuk pertanyaan ini, Nabi Muhammad SAW sudah
memberikan jawabannya.
Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Barangsiapa meniti jalan untuk mencari ilmu, Allah akan
permudahkan baginya jalan menuju surga.” (Hadits Riwayat At-
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz V, hal. 28, hadits no. 2646 dan
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal. 325,
hadits no. 8299, dari Abu Hurairah)
Hadits itu menguraikan, bahwa Rasulullah SAW menyebut
seseorang yang sedang berjalan untuk menuntut ilmu dengan kata “salaka”.
Padahal, berjalan dalam bahasa Arab tidak hanya bisa dinyatakan dengan
kata “salaka”, masih ada kata lain, misalnya: “masyâ”, “sâra”, “safara”, atau
“dzahaba”.
Pertanyaannya, mengapa kata “salaka” yang dipilih oleh Nabi
SAW, bukan selainnya? Rupanya, kata-kata selain “salaka” – menurut para
ahli bahasa -- hanya memunyai arti utama ‘berjalan’. Perjalanannya,
terkadang, hanya untuk mencari kesenangan belaka. Mungkin, para
pembaca pernah mendengar, bahwa orang yang berjalan untuk mencari
hiburan disebut dengan sedang ber-“tamasya”, yang dalam istilah sehari-hari
2. 2
sering disebut dengan ‘rekreasi, wisata atau piknik’. Kata tersebut berasal dari
kata “masyâ”.
Jika Nabi SAW menggunakan kata ini (masyâ), niscaya orang yang
menuntut ilmu ini hanya akan sekadar mencari kesenangan belaka. Padahal,
perjalanan untuk mencari ilmu bukanlah untuk sekadar mencari kesenangan.
Kata “Salaka” bermakna: “berjalan dengan tegap dan cepat serta
dengan pandangan ‘fokus’ kepada tujuan yang dicita-citakan”. Dalam hal
menuntut ilmu, Nabi SAW menginginkan agar setiap “thâlib al-ilm” (pencari
ilmu) benar-benar berjalan dengan tegap dan cepat, bukan berjalan dengan
‘berleha-leha’, santai, apalagi dengan cara ‘merangkak’ (pelan-pelan). Jika ia
tidak ‘fokus’ dan ‘bermotivasi tinggi’, ia akan berhenti di tengah perjalanan,
bahkan akan kembali ke rumah, jika ada hambatan yang menghadang.
Berputus asa sebelum sampai ke tempat yang dituju.
Dengan berjalan tegap dan cepat, ‘dia’ (para penuntut ilmu)
sekarang berada di tengah-tengah perjalanan. Nabi SAW mengingatkan
kepada orang ini agar perjalanannya diiringi dengan kata “yaltamisu”,
berpegang (memegang). Dalam hal ini pula, Nabi SAW menggunakan kata
“yaltamisu”, bukan “yumsiku” atau “qabadha”.
Jika “yumsiku” yang digunakan oleh Nabi SAW, maka orang ini
hanya akan sekadar memegang. Sementara, “yaltamisu” memiliki makna
memegang erat-erat atau kuat-kuat. Seperti orang yang hampir jatuh ke
jurang, orang ini akan memegangi ranting dan dahan dengan sekuat-
kuatnya. Jika tidak, pasti ia akan jatuh ke dalam jurang.
Begitu juga dengan orang yang menuntut ilmu. Ketika sudah berada
di tengah-tengah perjalanan (salaka), ia juga berpegang kuat-kuat. Dalam
konteks ini, dia harus memegang kuat niat yang ada di dalam jiwanya. Dia
pun tidak akan pernah berhenti di tengah jalan, meskipun dihadang ‘seribu’
halangan.
Kata kunci selanjutnya dalam hadits Nabi SAW di atas ialah
“jannah” yang berarti surga. Surga merupakan gambaran dari suatu tempat
yang di dalamnya penuh kenikmatan. Tiap orang yang menikmati
fasilitasnya, tidak perlu lagi bekerja. Semua hal yang diinginkan sudah
disediakan di dalamnya.
Surga dengan gambaran demikian baru bisa dinikmati oleh
seseorang ketika sudah meninggal dunia. Lantas, apakah surga seperti itu
jadi jaminan bagi penuntut ilmu? Nabi SAW sadar, penuntut ilmu hidup di
atas bumi. Dia menginginkan kehidupannya mapan dan tercukupi segala
kebutuhannya.
3. 3
Oleh karenanya, surga (jannah) dalam Hadits di atas hanya
merupakan ‘simbol’ dan harus dimaknai dengan makna simbolik. "Jannah”
di atas bermakna falâh (kesuksesan). Orang yang sudah sukses, hidupnya
penuh dengan kenikmatan. Segala kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan
baik. Dia disebut oleh Allah dengan kosa kata ‘al-muflih’ (orang yang telah
menggapai ‘apa’ pun yang dicita-citakan). Seperti kata as-Sa’di: “al-muflih
(orang yang beruntung) ialah: al-fâiz (seorang pemenang), hari ini dan hari-
hari esok benar-benar telah menjadi miliknya. (Tafsîr as-Sa’di, I/508)
Dengan demikian, makna dari hadits Nabi SAW -- Barangsiapa
yang mengadakan perjalanan dengan sungguh-sungguh untuk mencari ilmu,
maka Allah akan memudahkan baginya jalan untuk menuju kesuksesan –
adalah: “jaminan kepada siapa saja yang (sudah) berilmu, dengan berbekal
ilmu dan ridha Allah, hidupnya pun akan ‘sukses’ karenanya. Dan
selamanya, tidaklah mungkin orang tersebut akan ‘sengsara’, karena Allah
telah menjaminnya. Tentu saja, bukan sembarang orang yang berilmu yang
akan menuai kesuksesan. Tetapi, mereka (orang yang berilmu) dan beramal
shaleh dengan ilmunya, dengan senantiasa membangun keikhlasan untuk
menggapai ridha-Nya.”
Wallâhu A’lam.