1. Ayat-ayat Al Quran menyerukan umat Islam untuk berpacu meraih ampunan dari Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
2. Orang-orang yang bertakwa memiliki sifat baik, termasuk menafkahkan hartanya baik di waktu suka maupun duka.
3. Tafsir ayat-ayat tersebut menjelaskan berbagai cara untuk meraih amp
1. Page 1 of 14
MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB
AKHLAQ QUR’ANI
MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA
Tafsir QS Āli ‘Imrân/3: 133-136
Berpacu Meraih Ampunan dan Surga Allah
A. Nash (Teks) Ayat al-Quran
ۗ
ۚ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,.
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah
ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang
beramal.” QS Āli ‘Imrân/3: 133-136
B. Tafsîr al-Mufradât
: Ampunan. Kata maghfirah bermakna: “ampunan dari segala
macam kesalahan yang pernah dilakukan. Sehingga orang yang
memeroleh maghfirah Allah adalah orang yang bersih dirinya dari
2. Page 2 of 14
segala macam dosa”.
: Orang-orang yang berbuat kebajikan. Al-Muhsinîn adalah (bentuk)
jama’ dari isim (kata benda) muhsin. Yaitu: “orang yang telah
bersedia – secara pro-aktif – untuk melaksanakan perbuatan-
perbuatan (yang) baik”.
: Mereka itu. Kata ulâika (mereka itu) maksudnya: “mereka yag
telah bersikap pro-aktif untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan
(yang) baik dan – pro-aktif – untuk meninggalkan perbuatan-
perbuatan (yang) tidak baik, sebagaimana yang telah disebut
dalam dua ayat sebelumnya: “bersedia untuk berinfak di kala
lapang dan sempit, mampu untuk menahan amarah dan pemaaf
kepada siapa pun da bertaubat (dengan taubatan nasuha)”.
C. Munâsabah al-Āyât (Kaitan dengan Ayat Sebelumnya)
Rangkaian ayat di atas memiliki kaitan dengan ayat sebelumnya.
1. Ayat sebelumnya menyerukan agar mukmin bertakwa dengan
menjauhi riba, menjaga diri dari segala hal yang menjerumuskan ke
neraka serta disiplin manaati Allah dan Rasul-Nya. Ayat berikutnya
memnyeru mukmin untuk berpacu meraih ampunan Allah SWT.
2. Ayat sebelumnya memerintahkan agar mukmin bertakwa kepada
Allah dan takwa pada neraka, maka pada ayat berikutnya
dikemukakan tentang bagaimana cara bertakwa.
3. Ayat sebelumnya menjelaskan dosa yang masti dijauhi. Ayat berikut
memberikan bimbingan tentang bagaimana cara bertaubatk kalau
sudah terlanjur tergelincir pada perbuatan dosa.
D. Sabab an-Nuzûl
Dalam tinjauan historis, berkaiatan dengan rangkaian ayat ini, kita
kita bisa memahami bahwa:
1. Dikisahkan bahwa beberapa orang menghadap Nabi Muhammad
SAW dan mengatakan bahwa Bani Israil beruntung sekali di sisi
Tuhan. Jika mereka berdosa, terus mengutarakannya di tempat
ibadah, langsung mendapat ampunan. Bagaimana nasib kita bila
berdosa? Rasulullah SAW pun terdiam, tidak lama kemudian turun
ayat ini.1
2. Abdullah bin Mas’ud menerangkan bahwa seandainya Bani Israil k
berbuat dosa dan berkeinginan untuk mendapat ampunan, maka
cukuplah mereka menuliskan dosanya di pintu masuk. Mereka juga
menuliskan tentang apa yang mereka lakukan untuk menghapusnya.
Kata Abdullah bin Mas’ud, dengan menurunkan ayat ini Allah SWT
berkenan untuk memberikan bimbingan kepada kita bagaimana cara
bertaubat yang benar.
1
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Îjâb Fî Bayân al-Asbâb, juz II, hal. 754.
3. Page 3 of 14
D. Penjelasan
1. (Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari
Tuhanmu),
Ayat ini menyerukan agar mukmin berpacu meraih ampunan dari
segala dosa, dan menempuh jalan ke surga sebagai imbalan beribadah dan
beramal shalih selama di dunia. Ar-Razi berpendapat, tidak ada jalan untuk
meraih maghfirah selain melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala
yang dilarang. Para ahli Ushul Fiqih menyimpulkan bahwa bersegera meraih
ampunan itu hukumnya wajib, karena tidak ada perintah secara paksa selain
wajib segera dipenuhi. Setelah ayat sebelumnya memerintah agar pandai
menjaga diri dari hal-hal yang menjerumuskan ke neraka, maka pada ayat
ini diserukan agar memburu maghfirah dan surga. Dengan demikian jalan
menuju keselamatan abadi adalah menjauhi segala yang dilarang dan
menaati segala yang diperintahkan. Ar-Razi mengutip beberapa pendapat
dengan cara apa bersegera meih maghfirah dan surga itu; (a) menurut
Abdullah bin Abbas, maghfirah dan surga adalah al-Islam, karena aturannya
mencakup segala aspek kehidupan, (b) menurut Ali bin Abi Thalib adalah
dengan memenuhi segala perintah syari’ah, (c) menurut Utsman bin Affan
meraih maghfirah adalah dengan ikhlash dalam menjalankan segala ibadah,
(d) menurut Abu al-Aliyah, dengan hijrah, (e) menurut adh-Dhahhak dan
Muhammad bin Ishaq dengan jihad, (f) menurut Sa’id bin Jubair,
mengerakan takbîr al-ihrâm untuk shalat, (g) menurut Utsman, bersegera
dalam shalat lima waktu, (h) menurut Ikrimah bersegera dalam segala taat,
(i) menurut al-‘Asham bersegera dalam taubat dari riba dan dosa lain, karena
ayat ini masih satu rangkaian dengan ayat sebelumnya.2
Meraih ampunan
dari segala dosa, dan surga sebagai pahala amal dunia, merupakan
merupakan kebahagiaan yang paripurna.
2. (dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi),
Surga pada ayat ini digambarkan seluas langit dan bumi. Luas
langit dan bumi tidak bisa diukur oleh jangkauan manusia. Abu Muslim
menandaskan bahwa ukuran langit dan bumi memberikan gambaran bahwa
surga itu tidak bisa diukur oleh jangkauan manusia. Luasnya tidak terbatas,
nikmatnya tiada terhingga. Raja Heraklius menanggapi ayat ini dengan
mengirim surat isinya bertanya: ِينَتْوَعَدَىلِإٍةَنَجَاهُضْرَعُتَاوَمَّسالُضْرَأْلَاوَنْيَأَفُرَانال
anda mengajakku untuk menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi,
lalu kalau begitu di mana neraka? Rasulullah SAW menjawab: َاذِإَءَاجُلْيَّللاَنْيَأَف
ُرَاهَنال kalau waktu malam tiba, lalu kemana perginya siang?3
2
Fahruddin ar-Râzi, Mafâtîh al-Ghaib, juz IV, hal. 115.
3
Musnad Ahmad dari Sa’id bin Abi Rasyid, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz
IV, juz 74, hadits no.16739.
4. Page 4 of 14
Soal jawab tersebut kelihatan sekali ketinggian isi dialognya.
Rasulullah SAW tahu bahwa pertanyaan Heraklius itu hanya menguji, maka
dijawab dengan pertanyaan yang mengtes pula. Ditanya tentang letaknya
neraka, karena surga seluas langit dan bumi, bagaikan pertanyaan tentang di
mana letaknya siang tatkala malam tiba? Bukankah siang dan malam itu
tidak sama? Oleh karena itu tak perlu timbul tanda Tanya tentang luasnya
surga yang melebihi langit dan bumi. Surga berada bukan di langit atau di
bumi.
Menurut ar-Razi, terdapat beberapa masalah tentang pengertian
bahwa surga seluas langit dan bumi itu yang patut disoroti antara lain: (1)
bumi diciptakan Allah SWT berlapis-lapis, juga langit yang luasnya tidak
terjangkau manusia. Perumpamaan ini mengisyaratkan bahwa ;uas surgaa
seluas berbagai bumi, dan berbagai langit, maka tidak diketahui selebar apa
luasnya. Hanya Allah SWT yang tahu. (2) Apa yang disebut surga seluas
langit dan bumi itu adalah untuk satu orang. Tegasnya setiap penghuni surga
menguasai seluruh kawasan surga, dan tidak ada yang membatasinya. Setiap
penghuni surga merasakan berkuasa atas seluruh surga. (3) menurut Abu
Muslim, perumpamaan surga seluas langit dan bumi ini menggunakan istilah
perniagaan. Dengan kata lain surga itu yang diberikan kepada muttaqin
senilai harga seluas langit dan bumi. Siapa pun tidak akan memapu membeli
surga dengan nilai transaksi duniawi. (4) Luas surga itu tidak terbatas, tapi
supaya ada banyangan di masyarakat awam, maka digambarkan seperti
luasnya langit dan bumi. Manusia membayangkan luasnya bumi saja tidak
akan yang bisa menjangkau apalagi ditambah dengan tujuh langit.4
3. (yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa),
Perkataan ْتَّدِعُأ menggunakan kata kerja lampau memberi isyarat
(a) kepastian bahwa surga itu benar-benar disedikan untuk orang yang
bertakwa, (b) surga telah tersedia sejak diciptakan langit dan bumi. Surga
yang luas itu sudah disediakan bagi orang yang bertakwa. Kalimat ini juga
memberi isyarat bahwa untuk mencapai maghfirah dan surga, mesti
menempuh jalan takwa, mesti menjadi muttaqîn, serta segera meraih
maghfirah. Perhatikan hadits berikut:
4
Lihat: Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, juz IX, hal. 366-368.
5. Page 5 of 14
Dari Jabir bin Abd Allah diriwayatkan bahwa Rasul SAW pernah khuthbah yang
menyerukan: Wahai manusia, taubatlah kepada Allah semelum mati. Bersegeralah
amal shalih sebelum disibukkan. Jalinlah hubungan baik antaramu dan Tuhanmu
dengan dzikir dan banyak bersedekah, baik di kala rahasia ataupun terang-terangan,
nisaya kamu mendapat rejeki, mendapat pertolongan dan diberi kecukupan.5
Al-Baidhawi menyimpulkan bahwa kalimat ْتَّدِعُأَنِيقَّتُمّْلِل menjadi
dalil bahwa surga itu telah diciptakan Allah SWT, yang letaknya di luar
alam ini.
4. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit),
Menurut Abu al-Su’ud, awal ayat ini bisa berfungsi sebegai penjelas
dari al-Muttaqin, menerangkan sifat orang yang bertakwa yang mendapat
jaminan surga.6
Namun bisa juga sebagai awal pembicaraan sifat orang yang
disebutkan pada kelanjutannya. Orang yang bertakwa memiliki sifat yang
baik, bukan hanya terhadap Allah SWT dengan banyak beribadah ritual, tapi
juga dalam sosial, bukan hanya ibadah badani tapi juga dengan harta.
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa mereka berinfak di jalan Allah, baik di kala
sempit maupun luas, di kala suka maupun duka. Al-Baidlawi menerangkan
bahwa ِيفَرَّسالِءاِءَارَّضَالو mengandung arti sepanjang hayat, karena manusia
tidak pernah lepas dari kedua hal antara suka dan duka, antara kelapangan
dan kesempitan.7
Namun tentu saja infak yang dikeluarkan juga mengikuti
kondisi, besar tatkala kaya, infak kecil tatkala kekurangan. Jangan malas
infak tatkala leluasa, jangan malu infak yang kecil tatkala kekurangan. Nilai
infak sangat dipengaruhi oleh keikhlasan. Adapun jumlahnya bukan
ditentukan oleh berapa nominal, tapi berapa persen dari apa yang dimiliki.
Dengan demikian, orang kaya maupun miskin, pasti mampu berinfak.
5. (dan orang-orang yang menahan amarahnya)
Al-Kâzhimîn ialah orang yang menahan amarah tatkala melihat
orang yang kurang ia senangi, padahal dia memiliki kekuasaan (kekuatan
dan kesempatan) untuk memarahinya. Rasulullah SAW bersabda:
5
HR Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, juz I, hal. 343, hadits no. 1081 dan Al-
Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ, juz III, hal. 171, hadits no. 5780, dari Jabir bin
Abdullah.
6
Abu Su’ud, Irsyâd al-‘Aql as- Salîm Ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, juz I, hal.
455.
7
Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, juz II, hal. 93.
6. Page 6 of 14
“Barangsiapa yang menahan amarah, padahal dia memiliki kekuatan untuk
memarahinya, maka Allah akan memanggilnya di hari kiamat sebagai pembesar
makhluq sehingga dipiluhkan baginya para bidadari yang diinginkannya.8
Menurut
Muhammad Nashiruddin al-Albani, kualitas hadits ini ‘hasan’.9
Jadi yang memiliki derajat tinggi itu menahan marah tatkala
mampu memarahinya. Kalau menahan marah, karena tidak bisa marah,
bukanlah sesuatu yang diunggulkan. Menahan amarah lebih mengarah pada
pengendalian diri dalam berucap, sikap dan tindakan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Orang kuat, bukanlah yang berani bertindak pada manusia hingga menjadikan
orang lain takut, tetapi (orang yang kuat) adalah orang yang mampu
mengendalikian dirinya tatkala marah.”10
6. (dan memaafkan [kesalahan] orang),
Orang yang mampu menahan amarah belum tentu bebas dari rasa
sakit hati, bahkan dendam. Mukmin yang baik, bukan hanya menahan
amarah, tapi mampu memaafkan orang yang bersalah, sebagaimana mana
ditegaskan pada kalimat ini. Memberi maaf paling berat pada manusia yang
berdosa, adalah tatkala marah. Oleh karena itu, sifat mukmin yang baik,
bukan hanya mampu menahan amarah, tapi juga memberi maaf ketika
marah. Allah SWT memuji orang yang demikian sebagai manusia yang
memiliki derajat tinggi, sebagaimana firmanNya:
8
HR Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, juz III, hal. 440, no.15675 dan
At-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, juz IV, hal. 372, hadits no.2021, dari Anas bin Malik.
9
Al-Albani, Al-Jâmi’ ash-Shaghîr wa Ziyâdatuh, juz I, hal. 1147, hadits no.
11468.
10
HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 34, hadits no. 6144 dan
Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 30, hadits no. 6809, dari Abu Hurairah.
7. Page 7 of 14
“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan
keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.” (QS asy-Syûrâ/42: 37)
Menurut al-Baidhawi, memafkan manusia utamanya pada orang
yang berbuat salah, padah sebenarnya berhak untuk menghukum atau
membalas kesalahannya. Bila memeafkan orang yang demikian, maka
ampuan Allah akan tercurah pada mereka. Ayat ini bukan berarti melarang
malawan pada yang berbuat zalim, tetapi kalau memberi maaf bisa lebih
bermanfaat, maka nilainya jauh lebih baik, karena termasuk kategori sabar.
Allah SWT berfirman:
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama
dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar,
sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS an-
Nahl/16: 126)
7. (Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan),
Allah SWT sangat mencintai orang yang berbuat ihsân. Kalimat ini
dilertakan sebagai pengunci ayat yang menerangkan sifat manusia pada
manusia. Dengan demikian ihsân itu ada yang berkaitan dengan kewajiban
pada Allah ada pula yang berkaitan dengan sesama manusia.
“Dari Syaddad bin Aus. Ia mengatakan: dua hal yang saya pelihara dari Rasul
SAW. Beliau bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan berlaku ihsân
(baik) dalam segala hal. Jika kamu membunuh sesuatu, maka hendaklah berlaku
baik ketika membunuhnya. Jika kamu menyembelih, hendaklah belaku baik ketika
menyembelihnya. Tajamkanlah mata pisaumu, agar tidak terlalu menyakitkan yang
disembelih.”11
11
HR Muslim dari Syaddad bin Aus, Shahîh Muslim, juz VI, hal. 73, hadits
8. Page 8 of 14
Kalimat َّنِإَهَّلالَبَّتَكَّنَاّسْحِإْلا dalam hadits ini mengisyaratkan bahwa
kita diperintah Allah SWT untuk bersikap ihsân. Sedangkan perkataan َىّلَع
ِلُكٍءْيَش mengandung makna bahwa ihsân itu harus diterapkan dalam segala
kehidupan dan diberlakukan kepada siapa pun, baik kepada Allah SWT
maupun kepada sesama makhluq-Nya. Ihsân kepada Allah SWT telah
disabdakan Rasulullah SAW ketika mendapat pertanyaan dari Malaikat
Jibril:
“Ihsân’ ialah: menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau
tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”12
Ihsân kepada sesama manusia diperintahkan langsung dalam
berbagai ayat al-Qur`an, antara lain:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Dan berbuat ihsân (berlaku baikbaiklah) kepada ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman
sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS an-Nisâ’/4: 36)
8. (Dan [juga] orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji),
Perkataan َنِيذَلَاو pada pangkal ayat ini menurut sebagiann ulama
merupakan poko kalimat, tapi menurut yang lainnya sebagai sambungan
dari ayat sebelumnya. Jika dianggap sebagai pokok kalimat berarti
keterangannya yang tercantum pada QS Āli ‘Imrân/3: 136.13
Jika perkatan
no. 5167.
12
HR Muslim dari Umar bin al-Khaththab, Shahîh Muslim, juz I, hal. 28,
hadits no. 102.
13
Abu Su’ud, Irsyâd al-‘Aql as- Salîm Ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, juz II,
hal.86.
9. Page 9 of 14
ini difahami sebagai satu kesatuan dengan ayat sebelumnya berati sebagai
keterangan َنِينِّسْحُمْلا (orang yang berperilaku ihsân) atau َنِيقَّتُمّْلِل (yang bertakwa).
Sedangkan ُواّلَعَفًةَشِحَاف mengandung arti segala perbuatan yang sangat buruk,
terkadang bermakna zina.14
Ibnu ‘Asyur menerangkan bahwa ُواّلَعَفًةَشِحَاف
mengandung arti antara lain (1) dosa besar seperti zina, (2) perbuatan dosa
yang berdampak negatif pada orang lain, (3) perbuatan maksiat yang amat
dimurkai Allah SWT.15
Rasulullah SAW bersabda: َّنِإَهَّللاُضِغْبُيَشْحُفْلاَشُحَفَّتَالو
(sesungguhnya Allah SWT membenci keburukan dan yang mengakibatkan buruk).16
An-Nawawi (631-678H);17
berpendapat َاّمَأَوْشحُفْلاَوُهَفِيحبَقْلاْنِّمْلوَقْلاْلعِفْلَاو (bahwa
al-fuhsy ialah kejelekan dalam perkataan maupun perbuatan). Kata al-Qadhi
ْلصَأْشحُفْلاَةدَايِّزالُرُخْلَاووجْنَعّّدَحْلا arti asal dari al-fuhsy adalah melebihi,
melampaui batas. Adapun َشُحَفَّتال terkadang berarti orang yang berbuat
kejahatan, terkadang bermakna yang berbuat kerusakan. Segala yang buruk
dalam istilah Arab disebut al-fuhsy. Menurut Al-‘Asqalani (773-852 H), َشْحُفْلا
ialah َةدَايِّزالَىّلَعّّدَحْلاِيفَامّلَكْلاِئيَّسال (melampaui batas kewajaran dalam kata-kata
yang buruk). Sedangkan َشُحَفَّتَال adalah kesengajaan berbuat buruk yang
mengakibatkan orang lain merasa terhina. Al-Kusymihani berpendapat
bahwa َشْحُفْلَاadalah ّلُكَاّمَجَرَخْنَعَارهّدْقِّمَىّتَحَحبْقَّتّْسُي،ُلخّْدَيَوِيفْلوَقْلاْلعِفْلَاو (segala yang
melampaui ukuran kewajaran sehingga berakibat buruk, baik berupa perkataan
ataupun tindakan). Ad-Daudi berpendapat bahhwa ِشحَافْلا adalah ِيذَلاُولقَيْشحُفْلا
yang berkata buruk, sedangkan َشُحَفَّتال adalah ِلمْعَّتّْسَيْشحُفْلاِكحّْضُيِلَاسنال (berkata
buruk atau jorok supaya orang lain tertawa).18
Pendapat semacam ini dikutip
pula oleh Abu Thayyib,19
Al-Mubarakfuri, (1283-1353 H.) yang
berkomentar:
:
(Diterangkan dalam kitab al-Nihâyah bahwa al-fuhsy intu mencakup segala sesuatu
yang amat buruk berupa dosa dan kema’siatan. Namun istilah tersebut sering
digunakan untuyk perbuatan zina. Yang jelas segala yang buruk, baik perkataan
14
Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, juz II hal. 93.
15
Ibnu ‘Asyur, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, juz IV, hal. 91.
16
HR Ahmad bin Hanbal dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Musnad
Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal.199, hadits 6872.
17
An-Nawawi, Syarh an-Nawâwi ‘Alâ Shahîh Muslim, juz XV, hal. 78.
18
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bâriy, juz VI, hal. 575 dan juz X, hal. 473.
19
Abu Tahyyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhîm Ābadiy, ‘Aun al-
Ma’bud Syahr Sunan Abî Dâwud, juz XII, hal. 104.
10. Page 10 of 14
maupun perbuatan termasuk al-fuhsy. Dalam kamus sering diistilahkan pada
perbuatan zina dan pada segala yang sangat buruk dan segala yang dilarang Allah
SWT).20
Istilah al-fuhsy dan al-tafahhusy digunakan untuk perkataan buruk,
sebagaimana dalam hadits berikut:
“Diriwayatkan dari Aisyah: seorang yahudi datang kepada Rasul SAW, dengan
mengatakan ُمَاّسالَكْيَّلَعَايَابَأِمِسَاقْلا (mampuslah kau abu al-Qasim). Kemudian Aisyah
mengatakan ُمُكْيَّلَعَوُمَاّسالُةَنْعَّلَالو (mampuslah kamu dan terkutuk!). Rasul SAW
bersabda: :” َاي،ُةَشِئَاعَّنِإَهَّلالالُبِحُيَشْحُفْلاَالوَشُحَفَّتال (wahai Aisyah, Allah tidak
mencintai al-fuhsy, tidak pula mencintai at-tafahhusy. Aisyah berkata: bukankah dia
mengatakan ُمَاّسالَ؟كْيَّلَع ? Rasul bersabda bukankah sudah aku katakan kepadanya
ْمُكْيَّلَعَو?. tidak lama kemudian turunlah ayat ْمَلَأَرَتَلِإىَنِيذَلاُواهُنِنَعَىوْجَنالَمُثَّنُودُوعَيَامِل
ُواهُنُهْنَعَّنْوَجَانَّتَيَوِمْثِإْلِابِّنَاوّْدُعْلَاوِةَيِصْعَّمَوِلُوسَرالَاذِإَوَكُوءَاجَكْوَيَحَامِبْمَلَكِيَحُيِهِبُهَّلالَّنُولُوقَيَوِيف
ْمِهِّسُفْنَأَالْوَلَانُبِذَعُيَّلالُهَامِبُلُوقَنْمُهُبّْسَحُمَنَهَجَاهَنْوَّلْصَيَسْئِبَفُرِيصَمْلا Apakah tiada kamu
perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia,
kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan
pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul.
Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu
dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu. Dan
mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tiada menyiksa kita
disebabkan apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka neraka Jahannam
yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembal.
(QS al-Mujâdilah/58: 8).”21
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
الفحش – الّتفحش–الفاحشة mencakup (1) ucapan buruk, seperti: mengutuk,
20
Muhammad ‘Abd ar-Rahmân ibn ‘Abd ar-Rahîm al-Mubârakfûriy Abû l
al-‘Alâ, Tuhfah al-Ahwadziy bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidziy, juz VI, hal. 94.
21
HR Muslim dari ‘Aisyha r.a., Shahîh Muslim, juz VII, hal. 4 dan 5, hadits
no. 5786 dan 5788.
11. Page 11 of 14
mencerca, mencela, menghina; (2) tindakan atau perbuatan buruk, seperti:
zina.
Seperti telah diungkapkan di atas, arti dari al-fuhsy dan at-tafahhusy
itu antara lain perkataan kotor, ungkapan menyakitkan, sesuatu yang
membawa akibat buruk dan terkadang bermakna zina. Bila semua yang
buruk-buruk itu telah dianggap biasa di masyarakat maka kehancuran akan
segera tiba. Dalam hadits lain disebutkan bahwa perzinaan merajalela
merupakan pertanda mendekati kehancuran.
Rasulullah SAW bersabda:
“Di antara pertanda mendekati saat (kiamat/kehancuran) adalah ilmu telah
diangkat, kebodohan merajalela, banyaknya yang minum khamr, dan tersebarnya
perzinaan).”22
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah merajalela perzinaan pada mereka, kecuali kematian melanda mereka.” 23
Ada juga ulama yang membedakan antara pengertian الفحش dengan
َفالَةشِحا . Istilah ُحشفال bermakna umum mencakup segala keburukan, baik
perkataan, sikap, maupun tindakan, baik yang bobotnya ringan maupun
berat. Sedangkan َةشِحَافال lebih banyak digunakan pada perbuatan yang sangat
buruk seperti: (1) zina sebagaimana pada firman Allah SWT:
22
HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz I, hal. 30, hadits no. 80 dan
Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 58, hadits no. 6956, dari Anas bin Malik.
23
HR ath-Thabarani, Al-Mu’jam al-Kabir, juz IX, hal. 257, hadits no. 10830.
Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz II, hal.136, Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, juz III, hal.
346 dan Ad-Dailami, Al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, juz II, hal. 197 dari Abdullah
bin Abbas.
12. Page 12 of 14
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isrâ’/17: 32). (2)
menikahi janda ayah,
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS an-Nisâ’/4: 22).
Dalam al-Qur`an dikemukakan bahwa الفواحش sebagai bentuk jama’
dari فاحشة itu ada yang bersifat lahir ada pula yang batin, sebagaimana
tersurat pada firman-Nya:
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-
adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.“ (QS al-A’râf/7: 33)
9. (atau menganiaya diri sendiri),
Sebagian ulama berpendapat bahwa ُوامَّلَظُمهَّسُفْنَأ adalah dosa yang
hanya berakibat pada diri sendiri dan tidak menimbulkan kerugian pada
orang lain. Ada pula yang berpendapat sebagai dosa kecil, tidakl termasuk
dosa besar berbeda dengan فاحشة sebagaimana disebutkan di atas. Bila
dikaitkan dengan kalimat sebelumnya, pengertian ُوامَّلَظْمُهَّسُفْنَأ merupakan dosa
yang dilakukan, tetapi tidak terkait dengan orang lain. Nampaklah bahwa
dosa itu terdiri فاحشة yang berkaitan dengan orang lain, dan ْمّلظالنفس yaitu
dosa yang tidak terkait dengan orang lain. Itulah sebabnya zina, perkataan
buruk, menghina, mengumpat, menggunjing, menyakiti orang lain termasuk
فاحشة sedangkan minum khamr, memakan makan yang haram,
memboroskan harta, menyia-nyiakan waktu, ceroboh, masuk ke kategori ْمّلظ
النفس atau dosa menyangkut diri sendiri.
13. Page 13 of 14
10. (mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka),
Orang yang bertakwa, atau orang yang bakal meraih maghfirah akan
segera ُوارَكَذَهَّلال (mereka mengingat Allah) juga dalam arti sadar akan kesalahan
yang terlanjur dilakukan, ُوارَفْغَّتْسَافْمِهِبُونُذِل pada saat itu pula mohon ampun
pada Allah dengan bertaubat. Perlu disadari bahwa tidak ada manusia yang
bebas dari dosa, disadari ataukah tidak, kecil ataukah besar. Seorang
mukmin bukan berarti tidak pernah berbuat salah, tapi yang segera bertaubat
tatkala terlanjur melakukan kesalahan. Itulah sebabnya dalam meraih
ampunan Allah dan surga, seorang mukmin mesti memaklumi kesalahan
orang lain dengan memberi maaf, dan menyadari akan kesalahan diri sendiri
dengan segera taubat.
11. (dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
Allah?)
Kalimat tanya seperti merupakan berita gembira bagi yang mau
bertaubat. Kalau mereka bertaubat, siapa lagi yang bakal mencurahkan
ampunan selain Allah. Ini juga merupakan jaminan dari Allah SWT yang
memiliki ampunan yang sangat luas tidak terbatas.
12. (Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui),
Setelah diberi kabar gembira bahwa Allah SWT yang memiliki
ampunan yang luas, maka pada penghunjung ayat ini ditekankan syarat dan
ketentua tetap berlaku. Ampunan bakal tercurah bagi yang berbuat dosa
sebesar apa pun, apabila ْمَلَوُوارِصُيَىّلَعَاّمُواّلَعَف mereka tidak meneriskan
perbuatannya, alias segera menghentikan kesalahan yang sudah terlanjur
dilakukan. Dengan demikian ampuan Allah Maha Luas akan diberikan
kepada orang yang bertaubat, dengan syarat dan ketentuan tidak mengulangi
lagi dosa yang pernah dilakukan. Kemudian dikunci dengan kalimat ْمُهَو
َّنُومَّلْعَي padahal mereka dalam keadaan mengetahui atau dalam keadaan
sadar.
13.
(Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang
di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya),
Inilah jaminan bagi yang berusaha keras meraih maghfirah dan
surga, maka pahalanya akan diberikan sesuai yang diinginkan. Ampunan
Allah dan surga merupakan ganjaran yang nilainya tiada terhingga.
Kenikmatan surga tidak pernah terputus atau terhenti sejenak pun.
14. Page 14 of 14
Kenikmatan surga bagaikan air mengalir yang tidak pernah berhenti, sebagai
َمْعِنَوُرْجَأَنِيّلِّمَاعْلا (dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal).
E. Beberapa ‘Ibrah (Pelajaran),
Setelah membahas makna ayat-ayat al-Quran di atas, kita dapat
mengambil beberapa pelajaran, antara lain:
1. Untuk meraih maghfirah (ampunan) dan jannah (surga) diperlukan
serangkaian langkah, yaitu dengan segera melakukan segala perintah
Allah dan menjauhi segala yang dilarang olehNya. Dan, yang lebih
peting untuk diperhatikan: “Jangan suka menunda untuk beramal
shalih dalam bentuk apa pun, dan (jangan suka menunda) untuk
bertaubat dari segala bentuk kemaksiatan.
2. Luas jannah (surga) yang seluas langit dan bumi, berarti tidak bisa
diukur oleh manusia. Manusia tidak bisa mengukur berapa luas langit
dan bumi, seperti itulah luasnya surga.
3. Jannah (Surga) telah tersedia, yang diperuntukkan bagi orang yang
mau berpacu untuk meraih maghfirah (ampunan) dan bertakwa
dengan segera. Berpacu untuk meraih maghfirah (ampunan) dan
jannah (surga) adalah dengan cara meningkatkan ketakwaan”, antara
lain: “menginfakkan harta, menahan amarah, memberi maaf kepada
sesame dan bertaubat dari segala perbuatan maksiat.
4. Orang yang meraih jannah (surga) memang bukan hanya yang tidak
pernah berbuat dosa, tetapi juga bagi orang yang pernah melakukan
kesalahan baik yang berakibat pada orang lain ataupun diri sendiri,
tetapi (orang tersebut) bersedia -- dengan segera – untuk bertaubat dan
(dengan) tanpa mengulangi lagi kesalahannya.
5. Tiada manusia yang bebas dari dosa dan kesalahan. Maka janganlah
berhenti dari upaya untuk bertaubat serta membina kesadaran, serta
memaklumi kesalahan orang lain dengan cara memaafkan.
6. Dosa terdiri atas berbagai macam ada yang termasuk fâkhisyah ada
pula yang termasuk zhulmun-Nafs. Jika ingin meraih maghfirah
(ampunan) dan jannah (surga) hendaklah segera menjauhi segala
perbuatan dosa tersebut. Jika terlanjur melakukannya, segeralah
bertaubat dengan (1) menyesali kekeliruan, (2) memohon ampun
secepatnya, (3) menghentikan perbuatan yang salah, (4) mengganti
kesalahan dengan berbagai kebaikan.
7. Allah SWT Maha Pemberi maghfirah (ampunan) dan jannah (surga).
Dan untuk meraihnya harus memenuhi syarat serta ketentuan yang
berlaku. Penuhilah syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT dan Rasul-Nya, kalau ingin meraih maghfirah dan jannah
(surga).
Yogyakarta, 2 Maret 2015