1. Ayat Al-Quran menjelaskan keutamaan sikap istiqamah bagi mereka yang beriman kepada Allah dan meneguhkan keimanan mereka. Mereka akan diberi kabar gembira oleh malaikat di saat kematian.
2. Beberapa cara untuk memiliki sikap istiqamah meliputi taubat nasuha, menjauhi syirik, konsisten dalam taat, muraqabatullah, dan mengikuti contoh Rasulullah SAW.
3. Doa yang
1. 1
MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB
AKHLAQ QUR’ANI
MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA
Tafsir QS Fushshilat/41: 30-32
Keutamaan Istiqamah
Nash (Teks) Ayat al-Quran
ۖ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, "Rabb kami adalah Allâh," kemudian
mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada
mereka (dengan berkata), "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memeroleh) surga yang telah
dijanjikan kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan
akhirat; di dalamnya (surga) kamu memeroleh apa yang kamu inginkan dan
memeroleh apa yang kamu minta. Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allâh)
Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS Fushshilat/41: 30-32].
Tafsîr al-Mufradât
: Mereka meneguhkan pendirian mereka. Kata istaqâmû terambil
dari kata qâma yang pada mulanya berarti lurus atau tidak
melenceng. Kata ini kemudian dipahami dalam pengertian
konsisten dan setia untuk melaksanakan apa yang diucapkan.
Inilah yang dimaksud dengan sikap istiqâmah (konsisten).
: Penghormatan. Kata ini digunakan dalam arti hidangan
pendahuluan bagi tamu, laykanya (sebuah) hidangan (yang
mengisyaratkan ucapan) selamat datang. Dengan memahami
kata nuzulan sebagai ‘hidangan pembuka’, maka hidangan
yang selanjutnya – tentu saja – akan lebih bernilai daripada
hidangan pendahuluannya.
Al-Îdhâh (Penjelasan)
Rangkaian kalimat “ُوامَاقَتْسا َّمُث ُهَّلّلا َانُّبَر ُواّلَاق َنِيذَّلا (orang-orang yang berkata,
"Rabb kami adalah Allâh," kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka),
2. 2
maksudnya: “mereka yang beriman kepada Allâh Yang Maha Esa, dengan
memegang teguh sikap tauhidnya, kemudian bersikap istiqamah di atas
konsep tauhidnya, dan di atas ketaatannya (semata-mata) kepada Allah,
hingga Allâh mewafatkan mereka.1
Tentang ayat di atas, Ibnu Katsir menyatakan: “Mereka
mengikhlaskan amal semata-mata karena Allâh dan melaksanakan ketaatan
sesuai dengan syari’at Allâh.”2
Ayat ini menunjukkan bahwa para malaikat akan turun menuju
kepada orang-orang yang bersikap istiqamah ketika kematian menjemput, di
dalam kubur, dan ketika dibangkitkan. Para malaikat itu memberikan rasa
aman dari ketakutan ketika kematian menjemput, menghilangkan
kesedihannya dengan sebab berpisah dengan anaknya karena Allâh adalah
pengganti dari hal itu, memberikan kabar gembira berupa ampunan dari
dosa dan kesalahan, diterimanya amal, dan kabar gembira dengan surga
yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan belum
pernah terlintas dalam hati manusia.3
Selanjuntnya, dalam menafsirkan kalimat “ُةَكِئَاّلَمّْلا ُّمِهْيَّلَع ُلَّزَنَتَت (maka
malaikat-malaikat akan turun kepada mereka),” Ibnu Katsir menyatakan:
“Maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka," yakni di saat kematian
sambil berkata, “ َأُوافَاخَت َاّل (janganlah kamu merasa takut)," yaitu dari perkara-
perkara akhirat yang akan mereka hadapi, ُوانَّزْحَت َاّلَو"dan janganlah kamu
bersedih hati," yaitu dari perkara-perkara dunia yang telah kalian tinggalkan,
seperti anak-anak, keluarga, harta, agama, karena sesungguhnya Kami akan
menggantinya. “َنُودَعُوت ّْمُتْنُك ِيتَّلا ِةَنَجّْلِاّب ُوارِشّْبَأَو (dan bergembiralah kamu dengan
[memeroleh] surga yang telah dijanjikan kepadamu)," lalu mereka diberi kabar
gembira dengan hilangnya keburukan dan tercapainya kebaikan.
Firman Allâh, “ِةَرِخْآّلا ِيفَو َايْنُداّل ِةَايَحّْلا ِيف ّْمُكُؤَايِّلْوَأ ُنْحَن (Kamilah pelindung-
pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat)," yaitu para malaikat berkata
kepada orang-orang mukmin ketika kematian, “ َيِّلْوَأ ُنْحَنّْمُكُؤا (Kamilah pelindung-
pelindungmu)"; yakni pendamping-pendamping kalian di dalam kehidupan
dunia, kami menunjukkan, mengarahkan, dan melindungi kalian dengan
perintah Allâh. Begitu juga kami akan bersama kalian di akhirat, menemani
kesendirian kalian di alam kubur, ketika ditiupnya sangkakala, dan
mengamankan kalian pada hari kebangkitan dan berkumpulnya manusia,
serta membawa kalian melintasi ash-shirâth al-mustaqîm, dan menyampaikan
kalian ke surga yang penuh nikmat.
Firman Allâh, “ َام َاهِيف ّْمُكَّلَوّْمُكُسُفْنَأ ِيهَتْشَت (di dalamnya kamu memeroleh apa
yang kamu inginkan)," yaitu di dalam surga kalian akan memeroleh segala
1
Lihat, Syarh Arba’în li Ibni Daqîqî al-‘Îd, hal. 85
2
Tafsîr Ibni Katsîr, VII/175.
3
Lihat Tafsîr Ibni Katsîr, VII/177; dan Qawâ’id wa Fawâ-id, hal. 186-187.
3. 3
yang kalian pilih yang diinginkan oleh jiwa kalian dan disenangi oleh diri
kalian. “َنُوعَدَت َام َاهِيف ّْمُكَّلَو (dan memeroleh apa yang kamu minta)," yaitu apapun
yang kalian minta akan kalian dapatkan dan tersedia di hadapan kalian,
sebagaimana yang kalian inginkan.
Firman Allâh, “ٍّمِيحَر ٍرُوفَغ ْنِم ًاّلُّزُن (sebagai penghormatan [bagimu] dari
(Allâh) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang)," yaitu hidangan, pemberian,
dan kenikmatan dari Rabb Yang Maha Pengampun atas dosa-dosa kalian,
Maha Mengasihi kalian serta Maha Lembut, dan Maha Mengampuni,
Memaafkan, Menyayangi, dan Mengasihi (kalian).4
[4]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyalâhu
‘Anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallâhu ’Alaihi wa Sallam bersabda:
.
“Barangsiapa menyukai perjumpaan dengan Allâh, niscaya Allâh suka untuk
menjumpainya. Dan barangsiapa membenci perjumpaan dengan Allâh, niscaya
Allâh benci menjumpainya.” Kami bertanya, ”Ya Rasûlullâh, kami semuanya benci
kepada kematian.” Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam menjawab, ”Bukan itu
yang dimaksud benci kematian. Akan tetapi jika seorang mukmin berada dalam detik
kematiannya, maka datanglah kabar gembira dari Allâh tentang tempat kembali
yang ditujunya. Maka tidak ada sesuatu pun yang lebih dicintainya daripada
menjumpai Allâh, maka Allâh pun suka (untuk) menjumpainya. Dan sesungguhnya
orang yang jahat atau kafir jika berada dalam detik kematiannya, maka datanglah
berita tentang tempat kembali yang dituju berupa keburukan atau apa yang akan
dijumpainya berupa keburukan, lalu dia benci bertemu dengan Allâh, maka Allâh
pun benci (untuk) menemuinya.”5
Berbagai Wasîlah (Cara) Memiliki Sikap Istiqamah
4
Tafsîr Ibni Katsîr, VII/177-179.
5
HR Ahmad dari Anas bin Malik, Musnad Ahmad ibn Hanbal, III/107,
hadits no. 12066.
4. 4
Para ulama menyatakan, bahwa sikap istiqamah bisa dimiliki oleh
setiap orang. Dan agar seseorang mememiliki sikap istiqamah, maka
seseorang harus berkemauan kuat untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Berkesedian untuk bertaubat, dengan “Taubatan Nasûhâ”.
2. Senantiasa mentauhidkan Allâh, dengan cara menjauhkan diri dari
perilaku syirik.
3. Selalu berusaha untuk selalu konsekuen dan konsisten dalam ketaatan
kepada Allâh dan Rasul-Nya.
4. Muraqabatullâh, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allâh baik dalam
keadaan tersembunyi (rahasia) maupun terang-terangan.
5. Muhâsabah, yaitu melakukan instrospeksi terhadap segala amal
perbuatan yang telah dikerjakan.
6. Mujâhadah, yaitu berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menempa
jiwa di atas ketaatan kepada Allâh.
7. Ikhlas dalam beramal dan mutâba’ah (mengikuti contoh Rasûlullâh
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam).
8. Berpegang teguh kepada ‘Sunnah’ dan menjauhi bid’ah.
9. Menjaga shalat lima waktu dengan berjama’ah di masjid.
10. Berani dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar.
11. Senantiasa menuntut ilmu syar’i.
12. Takut (hanya) kepada Allâh dengan mengingat pedihnya siksa
neraka.
13. Mencari teman yang shâlih.
14. Menjaga hati, lisan, dan anggota badan serta sabar dari hal-hal yang
diharamkan.
15. Mengetahui langkah-langkah setan.
16. Senantiasa berdzikir dan berdo’a agar diteguhkan di atas sikap
istiqamah.
Di antara do’a yang sering Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam baca --
untuk meneguhkan dirinya dalam bersikap istiqamah -- ialah:
.
“Wahai (Dzat) yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas
agamamu.”6
Yogyakarta, 11 Mei 2015
6
HR at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, IV/448, hadits no. 2140; dan Ahmad
bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, III/112, hadits no. 12128 dari Anas bin
Malik.