1. 1
Al-Ghurbah
(Keterasingan)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dalam kitab Madârijus Sâlikîn, secara
khusus membahas masalah al-ghurbah dengan pembahasan yang cukup
panjang. Karena al-ghurbah (keterasingan) merupakan kondisi yang –
biasanya – dianggap tidak menyenangkan, dan oleh orang yang belum
mampu menikmatinya, selalu disikapi dengan upaya pencarian solusi
dengan satu cara: “mencari keramaian dengan berteman”. Tetapi, kata
beliau, bagi seorang pencari kebenaran, al-ghurbah – dalam pengertian
positif -- bisa jadi merupakan sesuatu yang selalu dicari, dan ketika
diperolehnya akan dipertahankan dan dinikmati dengan senang hati.
Sementara itu, Abu Isma’il al-Harawi -- pengarang kitab Manâzilus-
Sâ'irîn -- ketika membahas pemasalahan yang berkaitan dengan masalah al-
ghurbah (keterasingan), menyitir firman Allah:
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-
orang yang memunyai keutamaan yang melarang untuk (mengerjakan)
kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang
yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang
zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada
mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS Hûd/11:
116).
Pelandasannya kepada ayat ini -- dalam masalah ghurbah --
menunjukkan kedalamannya dalam ilmu dan ma'rifah serta pemahamannya
tentang al-Quran. Orang-orang yang asing di dunia ini adalah mereka yang
disifati dalam ayat di atas dan mereka yang telah diisyaratkan Nabi s.a.w.
dalam sabdanya,
2. 2
.
“Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi
asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orang-orang yang
asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang
berbuat baik selagi manusia berbuat kerusakan.” (HR Ahmad dari
Abdurrahman bin Sanah, Musnad Ahmad ibn Hanbal, IV/73,
hadits no. 61761)
Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “Kami diberitahu Abdurrahman
bin Mahdi, dari Zuhair, dari Amr bin Abu Amr, dari Al-Muththalib bin
Hanthab, dari Nabi s.aw.. Beliau bersabda,
“Beruntunglah orang-orang yang asing”. Mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu?” Beliau menjawab,
“Orang-orang yang bertambah (iman dan takwanya) selagi manusia
berkurang (iman dan takwanya).” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah,
Madârijus Sâlikîn, III/194; Isma’il bin Ja’far, Hadîts Ismâ’îl ibn
Ja’far, I/377, hadits no. 366)
Abdullah bin ‘Amr bin al’Ash berkata,
3. 3
“Suatu kali selagi kami bersama Rasulullah s.a.w., beliau bersabda,
“Beruntunglah orang-orang yang asing”. Mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu?” Beliau menjawab,
“Orang-orang shalih yang sedikit jumlahnya di tengah orang-orang
yang banyak. Siapa yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada
yang taat kepada mereka.” (HR Ahmad dari ‘Abdullah bin ‘Amr,
Musnad Ahmad ibn Hanbal, II/222, hadits no. 7072)
Beliau juga bersabda,
.
“Sesungguhnya yang paling disukai Allah adalah orang-orang yang
asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu?”
Beliau menjawab, “Orang-orang yang lari sambil membawa
agamanya. Mereka berkumpul bersama Isa bin Maryam a.s.pada hari
kiamat.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madârijus Sâlikîn, III/195; HR
Ahmad bin Ibrahim bin Katsir ad-Dauraqi dari ‘Abdullah bin
‘Amr bin al-‘Ash, Musnad Sa’d ibn Abî Waqqâsh, I/165, hadits no.
94; HR Ibn al-Mubarak dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Az-
Zuhd li ibn al-Mubârak, I/532, hadits no. 1513; HR Muhammad
bin al-Husain al-Ajiri dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, Al-
Ghurabâ, I/49, hadits no. 37)
Dalam hadits lain disebutkan,
4. 4
.
“Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi
asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orang-orang yang
asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang
menghidupkan Sunnahku dan mengajarkannya kepada manusia.”
(Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madârijus Sâlikîn, III/195; Yusuf al-
Qaradhawi, Fatâwâ Mu’âshirah, II/46; HR al-Baihaqi dari ‘Auf bi
Malik, Az-Zuhd al-Kabîr li al-Baihaqiy, I/219, hadits no. 215)
Ada sebuah riwayat yang mengisahkan dialog antara antara Umar
bin al-Khaththab dengan Mu’adz bin Jabal,
“Dari Umar bin Khattab, bahwa suatu ketika dia keluar menuju masjid Nabi s.a.w.,
lalu berjumpa dengan Mu'adz bin Jabal yang sedang duduk di sisi Kuburan Nabi
s.a.w. sambil menangis. Maka ia pun bertanya, “Apa yang membuatmu
menangis?” Mu'adz menjawab, “Aku menangis karena sesuatu yang aku dengar
dari Rasulullah s.a.w.. Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya
5. 5
riya' yang paling ringan pun sudah terhitung syirik, dan sesungguhnya orang yang
memusuhi wali Allah maka dia telah menantang bertarung dengan Allah.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang baik lagi bertakwa dan tidak
dikenal, yaitu orang-orang yang apabila menghilang maka mereka tidak dicari-cari,
dan jika mereka hadir maka mereka tidak di kenal, hati mereka ibarat lentera-lentera
petunjuk yang muncul dari setiap bumi yang gelap.” ((HR Ibnu Majah, Sunan ibn
Mâjah, V/126, hadits no. 3989).
Mereka – yang disebut dalam hadits di atas -- adalah orang-orang
asing yang terpuji dan berbahagia. Karena jumlah mereka yang sedikit di
tengah manusia yang banyak, maka mereka disebut ghurabâ' (orang-orang
yang asing). Mayoritas manusia tidak memiliki sifat-sifat ini. Para pemeluk
Islam di tengah manusia adalah orang-orang asing. Orang-orang yang
beriman di tengah para pemeluk Islam adalah orang-orang asing. Orang-
orang yang memiliki ma’rifah di tengah orang-orang yang beriman adalah
orang-orang asing.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengisahkan, bahwa ketika Musa a.s.
melarikan diri dari kaum Fir'aun hingga tiba di Madyan dalam keadaan
seperti yang telah dijelaskan Allah, sendirian, asing, takut dan lapar. Lalu
beliau berkata, “Ya Rabbi, aku dalam keadaan sendirian, sakit dan asing.”
Dikatakan kepada beliau, “Hai Musa, yang sendirian adalah yang tidak
memunyai pendamping seperti Aku. Orang sakit adalah yang tidak
memunyai tabib seperti Aku, dan orang yang asing adalah yang tidak
memunyai mu'amalah antara Aku dan dirinya.” (Madârijus Sâlikîn, III/196)
Selanjutnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa ada tiga
macam ghurbah, yaitu:
Ghurbah Pertama: Keterasingan orang-orang yang mengikuti Allah
dan Sunnah Rasul-Nya di antara manusia ini. Ini merupakan keterasingan
yang pelakunya dipuji Rasulullah s.a.w. dan tentang agama yang
dikabarkan, bahwa ia bermula dalam keadaan asing dan kembali menjadi
asing seperti permulaannya serta yang pelakunya menjadi asing.
Keterasingan ini bisa terjadi di satu tempat tanpa yang lain, di satu
waktu tanpa yang lain dan di tengah suatu kaum tanpa yang lain. Tapi yang
pasti, orang-orang yang asing ini adalah mereka yang mengikuti Allah
dengan sebenarnya. Mereka tidak berlindung kepada selain Allah, tidak
mengaitkan dengan selain Rasulullah s.a.w. dan tidak menyeru kepada
selain yang dikabarkan Rasulullah s.a.w.. Jika manusia muncul pada hari
6. 6
kiamat bersama sesembahan mereka, maka orang-orang yang asing itu tetap
berada di tempat semula. Dikatakan kepada mereka: “Mengapa kalian tidak
menghadap seperti yang dilakukan manusia?” Maka mereka menjawab:
“Kami berbeda dengan manusia, dan pada hari ini kami lebih
membutuhkan karunia daripada mereka. Kami sedang menunggu Rabb
yang dulu kami sembah.”
Keterasingan ini bukan merupakan keliaran bagi orangnya, tetapi
itu merupakan kejinakan selagi manusia menjadi liar. Pelindungnya adalah
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, sekalipun mayoritas
manusia memusuhi dan menelantarkannya. Di antara orang-orang yang
asing ialah seperti yang disebutkan Anas dalam haditsnya dari Nabi s.a.w.,
“Berapa banyak orang yang kusut dan berdebu, mengenakan dua
lembar pakaian lusuh yang tidak mengundang perhatian, namun
sekiranya dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah
mengabulkannya.” (Al-Bazzar, Musnad al-Bazzâr, XIII/97, hadits
no. 6459; Lajnah Fatawa bisy-Syabakah al-Islamiyyah, Fatawa
asy-Syabakah al-Islamiyyah, III/1025; Bandingkan, Ahmad ibn
Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, III/145, hadits no. 12504; At-
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, V/692, hadits no. 3854; ‘Abd al-
Hamîd, Al-Muntakhab min Musnad ‘Abd ibn Hamîd, I/370, hadits
no. 1236; Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, XIII/89, hadits no. 100000,
dari Anas bin Malik; Ibnu Hibban dari Abu Hurairah, Shahîh ibn
Hibbân, XIV/403, hadits no. 6483)
Dalam hadits lain dinyatakan:
.
“Berapa banyak orang yang rambutnya kusut, tampak dihinakan dan
di usir oleh orang-orang, namun apabila dia berdo'a kepada Allah, pasti
Allah akan mengambulkannya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah,
Shahîh Muslim, VIII/36, hadits. No. 4754)
7. 7
Al-Hasan berkata, “Orang yang beriman di dunia seperti orang
asing, yang kehinaannya tidak mengundang kesedihan dan yang
kemuliaannya tidak perlu disaingi. Manusia dalam satu keadaan dan dia
dalam keadaan yang lain. Manusia tidak takut terhadap dirinya, sementara
dia dalam kepayahan.”
Di antara sifat orang yang asing itu seperti yang digambarkan Nabi
s.a.w. adalah berpegang kepada as-Sunnah selagi manusia membenci as-
Sunnah. Dia meninggalkan bid'ah yang mereka ciptakan, sekalipun bid'ah
itulah yang menjadi tradisi di tengah mereka. Dia memurnikan tauhid
sekalipun mayoritas manusia mengingkarinya. Dia meninggalkan
penisbatan kepada seseorang selain Allah dan RasulNya, entah kepada
syaikh, thariqah, madzhab dan golongan. Seperti inilah gambaran orang-
orang asing yang menisbatkan kepada Allah dengan ubudiyah, kepada
Rasul-Nya dengan mengikuti apa yang beliau bawa.
Orang-orang yang memenuhi dakwah Islam harus meninggalkan
kabilah dan kerabatnya, lalu masuk Islam. Mereka adalah orang-orang asing
yang sebenarnya. Setelah Islam kuat dan dakwahnya menyebar ke-mana-
mana serta manusia masuk Islam secara berbondong-bondong, maka
keterasingan itu pun menjadi hilang. Tetapi kemudian mereka meng-
asingkan diri sehingga menjadi orang asing seperti keadaan semula. Islam
yang sebenarnya seperti yang ada pada masa Nabi s.a.w. dan para shahabat
benar-benar lebih asing pada zaman sekarang daripada keterasingan Islam
pada permulaannya. Sekalipun simbol, rupa dan tandatandanya yang
zhahir ada di mana-mana, tetapi Islam yang hakiki dalam keadaan asing
sekali dan para pemeluknya asing di tengah manusia. Orang yang beriman
yang meniti jalan kepada Allah berdasarkan ittibâ' dalam keadaan asing di
tengah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya,
mematuhi kekikirannya dan bangga dengan pendapat-pendapatnya,
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah s.a.w.,
8. 8
.
“Suruhlah kepada yang ma'ruf dan cegahlah dari yang mungkar,
hingga jika kalian melihat kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang
diikuti, dunia yanglebih dipentingkan, setiap orangyang mengeluarkan
pendapat, kagum terhadap pendapatnya sendiri, dan jika engkau
melihat suatu urusan yang tiada penolong bagimu, maka hendaklah
engkau mengikuti dirimu sendiri secara khusus dan tinggalkanlah
mereka secara umum, karena di belakang kalian ada hari-hari, yang
pada saat itu orang-orang yang sabar seperti orang yang sedang
memegang bara api dan orang yang beramal pada saat itu pahalanya
sebanding dengan lima puluh kali amalan orang yang beramal seperti
amalnya.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madârijus Sâlikîn, III/198;
Bandingkan, Yusuf al-Qaradhawi, Fatâwâ Muâshirah, II/51)
Dalam hadits lain dinyatakan:
.
“Demi Allah, engkau telah menanyakan hal itu kepada orang yang
tepat. Aku pernah menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu
9. 9
'alaihi wasallam, beliau lalu menjawab: “Bahkan perintahkanlah
kepada perkara yang ma'ruf dan cegahlah dari perkara yang mungkar,
sehingga ketika engkau melihat sifat kikir ditaati, hawa nafsu diikuti,
dunia lebih diutamakan (dari urusan agama), dan setiap orang bangga
dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah engkau jaga dirimu
sendiri, dan jauhilah orang-orang awam (bodoh). Sebab di belakang
kalian ada hari-hari (yang kalian wajib) bersabar, sabar pada saat itu
seperti seseorang yang memegang bara api, dan orang yang beramal
pada saat itu pahalanya sebanding dengan lima puluh kali amalan
orang yang beramal seperti amalnya, ia menambahkan untukku,
“seperti amalan selainnya.” Abu Tsa'labah bertanya, “Wahai
Rasulullah, seperti pahala lima puluh orang dari mereka!” beliau
menjawab: “(Bahkan) seperti pahala lima puluh orang dari kalian.”
(HR Abu Dawud dari Abu Tsa'labah al-Khusyani, Sunan Abî
Dâwud, IV/215, hadits no. 3778)
Orang yang beriman yang benar adalah orang asing dalam
agamanya karena kerusakan agama manusia, asing dalam keteguhannya
berpegang kepada as-Sunnah karena manusia berpegang kepada bid'ah,
asing dalam akidahnya karena kerusakan keyakinan mereka, asing dalam
shalatnya karena keburukan shalat mereka, asing dalam jalannya karena
kesesatan jalan mereka, asing dalam pergaulannya dengan mereka karena
dia mempergauli mereka tidak seperti yang mereka kehendaki. Secara
umum dia adalah orang asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, tidak
mendapatkan dukungan dan pertolongan dari manusia secara umum.
Ghurbah Kedua: Ghurbah yang tercela, yaitu keterasingan orang-
orang yang batil dan yang berbuat keji di tengah orang-orang yang benar
dan lurus. Ini berarti mengasingkan diri dari golongan Allah yang mendapat
keberuntungan. Sekalipun jumlah mereka itu banyak, tetapi mereka tetap
disebut orang-orang asing. Mereka dikenal di antara penghuni bumi namun
tidak dikenal di antara penghuni langit.
Ghurbah Ketiga: Ghurbah yang tidak terpuji dan juga tidak tercela.
Ini merupakan keterasingan karena meninggalkan kampung halaman.
Semua manusia di dunia ini adalah orang asing, karena memang dunia ini
bukan merupakan tempat yang abadi bagi mereka dan bukan merupakan
tempat yang diciptakan sebagai tempat yang abadi. Nabi s.a.w. pernah
bersabda kepada Abdullah bin Umar r.a.,
10. 10
“Jadilah kamu di dunia ini seakan-akan orang asing atau seorang
pengembara.” Ibnu Umar juga berkata; 'Bila kamu berada di sore hari,
maka janganlah kamu menunggu datangnya waktu pagi, dan bila
kamu berada di pagi hari, maka janganlah menunggu waktu sore,
pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum
matimu.” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar, Shahîh al-
Bukhâriy, VIII/110, hadits no. 6416)
Bagaimana tidak disebut orang asing jika di dunia ini seorang
hamba adalah orang yang sedang dalam perjalanan, yang dalam
perjalanannya itu dia hanya bisa beristirahat di antara orang-orang yang
berbaring di kuburnya?
Al-Harawi, pengarang kitab Manâzilus-Sâ'irîn, mengatakan:
“Keterasingan merupakan perkara yang diisyaratkan kepada kesendirian
tanpa ada yang menyertai.”Artinya, setiap orang yang menyendiri dengan
suatu sifat yang mulia, sementara orang lain tidak memilikinya, maka dia
adalah orang asing di tengah-tengah mereka.
Ada tiga derajat ghurbah, yaitu:
1. Ghurbah karena meninggalkan kampung halaman. Kematian orang
asing ini merupakan mati syahid. Jarak antara kuburannya dan
kampung halamannya akan diukur, dan pada hari kiamat akan
dihimpun bersama Isa bin Maryam.
Ghurbah dalam pengertian ini adalah memisahkan atau
meninggalkan, bisa dengan fisik atau dengan tujuan dan keadaan,
atau dengan kedua-duanya secara berbarengan. Kematian orang
asing yang berarti mati syahid, diisyaratkan kepada hadits yang
diriwayatkan dari Hisyam bin Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Abu
Hurairah r.a., dari Nabi s.a.w., beliau bersabda, “Kematian orang
asing adalah syahid.” Tetapi hadits ini tidak kuat dan diriwayatkan
11. 11
dari beberapa jalan yang sedikit pun tidak ada yang shahih. Menurut
Al-Imam Ahmad, ini adalah ‘hadits mungkar’.
Pengukuran antara kuburannya dan kampung halamannya,
diisyaratkan kepada riwayat Abdullah bin Wahb, dia berkata, “Aku
diberitahu Huyai bin Abdullah, dari Abdurrahman al-Bajaliy, dari
Abdullah bin Amr, dia berkata, “Ada seseorang meninggal dunia di
Madinah dan dia termasuk orang yang dilahirkan di sana. Lalu
Rasulullah s.a.w. menshalati jenazahnya. Beliau bersabda, “Sekiranya
dia meninggal tidak di tempat dia dilahirkan.” Ada seseorang yang
bertanya, “Mengapa begitu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Sesungguhnya jika seseorang meninggal dunia, maka akan diukur
pahala bagi dirinya di surga antara tempat kelahirannya dan tempat
meninggalnya.” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Luhai'ah dengan isnad
ini.
Suatu kali Rasulullah s.a.w. berdiri di dekat kuburan seseorang di
Madinah. Lalu beliau bersabda, “Sekiranya dia meninggal sebagai
orang asing.” Ada yang bertanya, “Ada apa dengan orang asing yang
meninggal tidak di kampung halamannya?” Beliau menjawab,
“Tidaklah ada orang asing yang meninggal dunia tidak di kampung
halamannya, melainkan di surga akan diukur antara tempat
meninggalnya dan tempat kelahirannya. Perkataannya: “Pada hari
kiamat akan dihimpun bersama Isa bin Maryam”, diisyaratkan
kepada hadits riwayat Al-Imam Ahmad, dari Al-Qasim bin Jamil,
dari Muhammad bin Muslim, dari Utsman bin Abdullah bin Idris,
dari Sulaiman bin Hurmuz, dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata,
“Rasulullah s.a.w. bersabda, “Yang paling disukai Allah adalah
orang-orang asing.” Ada yang bertanya, “Ada apa dengan orang-
orang asing wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka yang
melarikan diri sambil membawa agamanya akan berhimpun bersama
Isa bin Maryam pada hari kiamat.”
2. Ghurbah keadaan. Ini termasuk orang-orang asing yang mendapat
keberuntungan, yaitu orang shalih pada zaman yang rusak dan
berada di tengah kaum yang rusak, atau orang pandai di antara
orang-orang yang bodoh, atau orang jujur di antara orang-orang
munafik. Yang dimaksudkan keadaan di sini adalah sifat yang
dimiliki, berupa agama dan berpegang kepada as-Sunnah, dan bukan
12. 12
keadaan menurut pemahaman yang umum dipakai. Pelakunya
adalah orang yang mengetahui kebenaran, melaksanakan dan juga
mendakwahkannya. Syaikh mengelompokkan orang-orang asing
dalam derajat ini menjadi tiga macam: (1) Orang yang shalih dan
berpegang kepada agama di tengah orang-orang yang rusak, (2)
orang yang memiliki ilmu dan ma’rifah di tengah orang-orang yang
bodoh, (3) orang jujur dan ikhlas di tengah orang-orang yang
munafik dan pendusta. Sifat dan keadaan mereka menajikan sifat
orang-orang di sekelilingnya. Perumpamaan orang-orang asing di
tengah kaumnya ini seperti seekor burung yang asing di tengah
gerombolan burung.
3. Ghurbah hasrat, yaitu keterasingan dalam mencari kebenaran, atau
ghurbah orang yang memiliki ma’rifah. Sebab orang yang memiliki
ma’rifah adalah orang asing dalam kesaksiannya, apa yang menyertai
kesaksiannya juga asing. Wujud dzatnya tidak terbebani ilmu.
Keterasingan orang yang memiliki ma’rifah adalah keterasingan dari
keterasingan. Sebab dia orang asing bagi penghuni dunia dan juga
orang asing bagi penghuni akhirat.
Derajat ini lebih tinggi tingkatannya daripada derajat sebelumnya.
Karena yang pertama merupakan ghurbah dengan fisik, dan yang
kedua merupakan ghurbah dengan perbuatan dan keadaan.
Sedangkan derajat ini merupakan ghurbah dengan hasrat. Hasrat
orang yang memiliki ma’rifah berkutat di sekitar ma’rifah. Dia tidak
dikenal di antara orang-orang yang menghendaki akhirat, terlebih
lagi di antara orang-orang yang menghendaki dunia, sebagaimana
orang yang mencari akhirat adalah orang asing di tengah orang-
orang yang mencari akhirat.
Demikianlah kajian tentang al-ghurbah yang diketengahkan oleh
Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Dan pertanyaan pentingnya: “Sejauhmanakah kita
telah menikmati keberadaannya dalam proses pencarian kebenaran kita?”