Dokumen tersebut merangkum tafsir ayat Al-Maidah 54 tentang sifat-sifat kaum yang dicintai Allah yaitu berani di jalan dakwah, lemah lembut kepada orang mukmin, keras kepada kafir, dan tidak takut akan celaan orang. Dokumen juga menjelaskan pentingnya sifat berani bagi umat Islam dan mengingatkan agar tidak menjadi pengecut.
1. Tafsir QS al-Mâidah/5: 54
“Berani Di Jalan Dakwah”
Teks Ayat al-Quran
يَوْا أَوْيُّههَوْا الَّهذِقين َوْ آمَوْنُ بِقَوا مَوْن يَوْرْمٍتَوْدَّه مِقنكُ بِقَمْمٍ عَوْن دِقينِقهِق فَوْسَوْوْمٍفَوْ يَوْققأْمٍتِقي اللَّهُ بِقَقق بِققَوْققوْمٍمٍ ي
يُ بِقَحِقبُّههُ بِقَمْمٍ ونَوْيُ بِقَحِقبُّهونَوْهُ بِقَ أَوْذِقلَّهةٍ ي عَوْلَوْى الْمٍمُ بِقَؤْمٍمِقنِقينن َوْ أَوْعِقزَّهةٍ ي عَوْلَوْى الْمٍكَوْا فِقرِقين َوْ يُ بِقَجَوْا هِقدُ بِقَوننَوْ
فِقي سَوْبِقينلِق اللَّهِق ونَوْلَوْ يَوْخَوْا فُ بِقَونَوْ لَوْوْمٍمَوْققةَوْ لَوْئِقققمٍۚ ي ذَوْلِقققكَوْ فَوْضْمٍققلُ بِقَ اللَّهِققق يُ بِقَققؤْمٍتِقينهِق مَوْققن
يَوْشَوْا ءُۚ بِقَ ونَوْاللَّهُ بِقَ ونَوْاسِقعٌ عَوْلِقينمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu
yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap
orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS
al-Mâidah/5: 54)
Tafsîr al-Mufradât
أَوْذِقلَّهةٍ ي : Sikap lemah-lembut, penuh kasih sayang yang
ditunjukkan dengan perhatian dan solidaritas
yang bermuara pada kokohnya ukhuwwah antar-mukmin.
أَوْعِقزَّهةٍ ي : Sikap keras, lugas dan tegas dan tanpa
kompromi, yang harus dipilih karena sikap
orang-orang kafir yang – dengan sengaja –
menciptakan permusuhan dan telah terbukti
memberikan dampak negatif bagi keutuhan
persaudaraan orang-orang yang beriman.
لَوْوْمٍمَوْققققققةَوْ
لَوْئِقمٍ ي
: Celaan setiap orang yang – dengan sengaja –
mencela orang-orang yang beriman, ketika
orang-orang yang beriman tengah berjihad di
jalan Allah.
Penjelasan
Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi
kesulitan, sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah
dalam QS al- Balad/90: 4,
لَوْقَوْدْمٍ خَوْلَوْقْمٍنَوْا الِقْمٍنسَوْا نَوْ فِقي كَوْبَوْدٍ ي
1
2. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam
susah payah.”
Sehingga, kesulitan adalah sesuatu yang tak bisa
dielakkan. Itu realita perjalanan dunia ini. Kesulitan
menjadi risiko hidup. Tak seorang pun yang lepas dari
kenyataan itu. Namun yang acapkali terjadi adalah takut
terhadap risiko yang bakal muncul lantaran kekerdilan jiwa
untuk menghadapinya. Lalu timbullah ketakutan-ketakutan.
Rasa ketakutan ini cuma menggiring seseorang menjadi
pengecut. Dan akhirnya lari dari kenyataan.
Sifat pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang
tidak boleh dimiliki orang-orang yang beriman. Karena
pengecut artinya ia tidak mau menanggung dan menghadapi
risiko yang memang sudah menjadi konsekuensinya. Perilaku
ini merupakan perilaku orang-orang yang setengah hati dalam
keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus bersusah payah
menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi
penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan.
Saat ini dunia dipenuhi dengan orang-orang yang
memiliki sifat pengecut. Sebuah hadits Nabi s.a.w.
memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan
dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah
mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam
banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani
oleh musuh-musuhnya yakni kaum kafir, musyrikin dan
munafikin.
Islam memandang hina orang yang pengecut. Baik
pengecut untuk memertahankan hidup sehingga gampang putus
asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan dari komunitasnya.
Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang. Atau
pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian menjerumuskan
pelakunya pada sikap yang ‘plin-plan’ tanpa prinsip.
Rasulullah s.a.w. bersabda,
« لَوْ تَوْكُ بِقَونُ بِقَققوا إِقمَّهعَوْققةً ت تَوْقُ بِقَولُ بِقَققونَوْ إِقنْمٍ أَوْحْمٍسَوْققن َوْ النَّهققا سُ بِقَ أَوْحْمٍسَوْققنَّها ونَوْإِقنْمٍ
ظَوْلَوْمُ بِقَققوا ظَوْلَوْمْمٍنَوْققا ونَوْلَوْكِقققن ْمٍ ونَوْطِّننُ بِقَققوا أَوْنْمٍفُ بِقَسَوْققكُ بِقَمْمٍ إِقنْمٍ أَوْحْمٍسَوْققن َوْ النَّهققا سُ بِقَ أَوْنْمٍ
تُ بِقَحْمٍسِقنُ بِقَوا ونَوْإِقنْمٍ أَوْسَوْا ءُ بِقَونا فَوْلاَوْ تَوْظْمٍلِقمُ بِقَوا ».
“Janganlah kamu menjadi orang yang tidak memunyai sikap.
Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya.
Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut
melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya
2
3. sikap dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka
aku melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka
aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (HR at-Tirmidzi dari
Hudzaifah, Sunan at-Tirmidzi, IV/364, hadits no. 2007)
Allah SWT selalu menggelorakan semangat kepada
orang-orang yang beriman agar ‘mereka’ jangan sampai
menjadi penakut atau pengecut. Karena rasa takut akan
membawa kepada kegagalan dan kekalahan. Keberanian harus
selalu menjadi seruan yang terus berulang-ulang
dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan.
Iman pada Allah SWT mengajarkan menjadi orang-orang yang
berani menghadapi beragam risiko dalam hidup ini terlebih
lagi, risiko dalam memerjuangkan dakwah ini.
Asy-Syajâ’ah atau keberanian merupakan jalan untuk
mewujudkan sebuah kemenangan dan sebagai ‘izzah (kemuliaan
diri) keimanan dan ‘iffah ( Kesucian diri) keislaman. Tak
pernah boleh ada, kata gentar bagi da’i dakwah saat
mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi
inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan
orang. Karena ‘izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak
takut dan gentar sedikitpun.
ونَوْلَوْ تَوْهِقنُ بِقَوا ونَوْلَوْ تَوْحْمٍزَوْنُ بِقَوا ونَوْأَوْنتُ بِقَمُ بِقَ الَوْْمٍعْمٍلَوْوْمٍنَوْ إِقن كُ بِقَنتُ بِقَم مُّهؤْمٍمِقنِقينن َوْ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling
tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.
(QS Āli ‘Imrân/3: 139)
Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah
keberanian pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan
perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik
yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid
di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai kemuliaan
sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap
dunia. Dengan sikap ini kaum muslimin banyak memeroleh
anugerah kemenangan dakwah di berbagai tempat.
Orang-orang kafir amat takut terhadap orang-orang
yang beriman yang memiliki prinsip ini. Sehingga mereka
berupaya agar sifat berani tidak bersemayam dalam diri
orang-orang mukmin. Lalu mereka takut-takuti kaum muslimin
dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram, ancaman,
teror, intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat
ini tidak lagi berani memerjuangkan nilai dan norma yang
diyakininya. Akhirnya timbullah sikap takut yang luar biasa
hingga melemahkan semangat juangnya.
3
4. Oleh karena itu jangan tertipu oleh upaya orang-orang
kafir untuk menghilangkan sifat syaja’ah. Sebab
syaja’ah merupakan harga diri orang-orang beriman. Lantaran
sifat itu sebulan sebelum kedatangan kaum muslimin orang-orang
di Babylonia telah lari tunggang langgang mendengar
umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid
bin Walid r.a. menenangkan masyarakat Romawi agar tidak
perlu teramat takut pada kaum muslimin karena kedatangan
umat Islam hanya untuk menyerukan Islam dan mengajak mereka
menghamba pada Allah SWT semata.
Asy-Syajâ’ah (keberanian) menjadi salah satu ciri
yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain
ciri-ciri berupa al-ithmi’nân (ketenangan) dan at-tafâul
(optimisme). Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan
senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada
di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya
pertolongan Allah. Namun memang tak mudah untuk menjadi
orang yang bersikap istiqamah atau teguh pendirian memegang
nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah.
Bahkan Rasulullah s.a.w. pun menyatakan bahwa turunnya QS
Hûd menjadikan beliau ‘beruban’ karena di dalamnya ada ayat
(QS Hûd/11: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah,
فَوْا سْمٍتَوْقِقمْمٍ كَوْمَوْا أُ بِقَمِقرْمٍتَوْ ونَوْمَوْققن تَوْققا بَوْ مَوْعَوْقكَوْ ونَوْلَوْ تَوْطْمٍغَوْقوْمٍاۚ إِقنَّهقهُ بِقَ بِقمَوْققا تَوْعْمٍمَوْلُ بِقَقونَوْ
بَوْصِقينرٌ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat
beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“
Rasulullah s.a.w. memahami benar makna istiqamah
yang sesungguhnya sampai ketika Sufyan bin Abdullah ats-
Tsaqafi bertanya ‘hal terpenting’ dalam Islam yang ketika
sudah dijelaskan, menjadikannya tak perlu bertanya lagi,
beliau menjawab,
« آمَوْنْمٍتُ بِقَ بِقا للَّهِق فَوْا سْمٍتَوْقِقمْمٍ ».
“Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah
(terhadap yang kau imani tersebut).” (HR Muslim, Shahîh
Muslim, I/47, hadits no. 168).
Di kesempatan lain, Rasulullah s.a.w. juga
mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang
Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara
api.
4
5. Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa
‘merupakan’ taruhannya, tampak jelas pada diri orang-orang
beriman di dalam surat QS al-Burûj/85: 4-8 yang dimasukkan
ke dalam parit dan dibakar oleh ash-hâbul ukhdûd hanya
karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah SWT.
Begitu pula Asiyah, isteri Fir’aun dan Masyithah, pelayan
Fir’aun, kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada
Allah dengan nyawa mereka. Asiyah di tiang penyiksaannya
dan Masyithah di kuali panas mendidih beserta seluruh
keluarganya karena mereka berdua tak sudi menuhankan
Fir’aun. Demikian sulitnya untuk memertahankan
keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk
mewujudkan asy-Syajâ’ah sebagai salah satu aspeknya.
Tetapi, seperti apa pun sulitnya, ‘kita’ (setiap
muslim) “harus pantang menyerah”.
Muthâllibatu ad-Da’wah (Tuntutan Dakwah)
Dalam mengusung amanah dakwah, slogan ‘Jangan pernah
takut, Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati
demi kebenaran’ tidak boleh luntur melainkan harus tetap
terpatri dalam sanubari da’i dakwah. Melekatnya doktrin
itu, membuat da’i dakwah tidak akan lari ke belakang demi
kemenangan dakwah ini. Karena asy syaja’ah (keberanian)
mengemban amanah umat merupakan tuntutan dakwah.
Manakala Allah SWT berbicara tentang penyelamatan
dakwah, maka aspek asy syaja’ah ini yang selalu disebut-sebut
oleh-Nya. Sebagaimana dalam QS at-Taubah/9: 40,
إِقلَّه تَوْنصُ بِقَرُ بِقَونهُ بِقَ فَوْقَوْدْمٍ نَوْصَوْرَوْهُ بِقَ اللَّهُ بِقَ إِقذْمٍ أَوْخْمٍرَوْجَوْهُ بِقَ الَّهذِقين َوْ كَوْفَوْققرُ بِقَونا ثَوْققا نِقي َوْ اثْمٍنَوْينْمٍققن ِق إِقذْمٍ
هُ بِقَمَوْا فِقي الْمٍغَوْا رِق إِقذْمٍ يَوْقُ بِقَولُ بِقَ لِقصَوْا حِقبِقهِق لَوْ تَوْحْمٍزَوْنْمٍ إِقنَّه اللَّهَوْ مَوْعَوْنَوْققا فَوْققأَوْنزَوْلَوْ اللَّهُ بِقَقق
سَوْكِقيننَوْتَوْهُ بِقَ عَوْلَوْينْمٍهِق ونَوْأَوْيَّهققدَوْهُ بِقَ بِقجُ بِقَنُ بِقَققودٍ ي لَّهقمْمٍ تَوْرَوْونْمٍهَوْققا ونَوْجَوْعَوْقلَوْ كَوْلِقمَوْققةَوْ الَّهققذِقين َوْ كَوْفَوْققرُ بِقَونا
السُّهٰفى ْۗمٍلَوْ ونَوْكَوْلِقمَوْةُ بِقَ اللَّهِق هِقي َوْ الْمٍعُ بِقَلْمٍينَوْا ونَوْاللَّهُ بِقَ عَوْزِقيزٌ حَوْكِقينمٌ
‘Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka
sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang
kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah)
sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya
berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya:
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta
kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada
(Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak
melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir
itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi.
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’
5
6. Di samping itu sikap syaja’ah para da’i menjadi
sebab dakwah berkesimbungan di muka bumi ini. Dengannya
dakwah ini berjalan terus sekalipun harus melewati bukit
terjal ataupun tembok besar. Berisiko berat ataupun ringan.
Dengan keberanian para pejuang dakwah, ajaran Islam ini
merambah ke berbagai pelosok dunia bahkan sampai pada diri
kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan rintangan
yang dihadapi sangat berat. Tantangan alam, geografis,
budaya, maupun rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa
keberanian mereka, perjalanan dakwah ini akan tertatih-tatih
lantaran ketakutan yang melemahkan gerak dakwah ini.
Da’âimu asy-Syajâ’ah (Pilar Keberanian)
Karena sikap asy-syajâ’ah merupakan tuntutan dakwah
maka para da’i mesti selalu memompa dan menopang
keberaniannya agar kata takut dan pengecut tidak lagi
melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada
dalam memerjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang
menghantarkan diri seorang da’i memiliki sifat asy-syaja’ah
adalah hal-hal berikut ini:
1. Al-Îmân bi al-Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib)
Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy-syaja’ah
dalam diri da’i dakwah adalah memerkuat
keyakinannya akan hal-hal yang ghaib. Seperti yakin akan
pertolongan Allah SWT Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang
senantiasa membantu orang yang memerjuangkan agama Allah
SWT Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang
ditentukan oleh amaliyah kita di dunia ini, khususnya amal-amal
dakwah.
Keyakinan pada hal yang ghaib memunculkan sikap
berani, tak takut terhadap apa yang terjadi. Karena semua
yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan dalam kehidupan
seseorang. Ia merupakan takdir yang telah ditetapkan.
Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang da’i
dakwah yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala
di atas kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo
mengatakan, ‘Mana Tuhanmu, Apakah ia bisa menyelamatkan
kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan hancurlah
batok kepalamu berkeping-keping. Jawab sang aktivis, Bila
Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak
akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku
tidak menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati’.
Jawaban ini sebagai jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib,
yakni Allah SWT
6
7. Keyakinan semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag
telah menanamkan rasa takut hanya pada Allah SWT dan
senantiasa bergantung pada-Nya. Sehingga da’i memiliki
cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya
kepada yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur menghadapi
cobaan dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses
tarbiyah yang panjang, membina aktivis untuk senantiasa
yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan yang Ghaib.
Rasulullah s.a.w. telah mengingatkan Abu Bakar r.a.
akan keyakinan pada Rabbul ‘Izzati. Di saat orang-orang
kafir sudah berada di Gua Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar
hingga mencemaskan, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu
dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat
kita.” Nabi s.a.w. menenangkannya dengan menyatakan, “Duhai
Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua.
Tidak, Abu Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan
gentar, Allah bersama kita.” Sebagaimana yang hadits
berikut,
قُلْتُ لِلنّبِيّ صلى ا عليه وسلم وَ أَنَا فِي الْغَارِ لَوْ
أَنّ أَحَدَهُمْ نَظَرَ تَحْتَ قَدَمَيْهِ لبَْصَرَنَا فَقَالَ مَا
.ظَنّكَ ي ا أَبَا بَكْرٍ بِاثْنَيْنِ اللّهُ ثَالِثُهُمَا
Aku berkata kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam saat
berada di gua: Seandainya salah seorang dari mereka
melihat ke bawah kedua kakinya pasti dia melihat kita.
Maka beliau berkata: Tidakkah engkau beranggapan wahai Abu
Bakr, bahwa jika ada dua orang, maka Allah yang ketiganya?”
(HR al-Bukhari dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Shahîh al-
Bukhâriy, V/4, hadits no. 3653)
Karenanya jiwa para da’i tidak boleh luput untuk
selalu berinteraksi pada Allah SWT agar dikuatkan diri dan
jiwa dalam memerjuangkan dakwah. Karena kemenangan para
pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material
melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa.
2. Al-Mujâhadah ‘Alâ al-Khauf (Menaklukkan Rasa Takut)
Rasa takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang
amat manusiawi. Kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang
dimiliki setiap insan. Seperti takut terbakar, tenggelam,
7
8. terjatuh di mangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun
rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i
yakni takut kepada Allah SWT Sehingga setiap da’i dakwah
sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan
mengkedepankan rasa takut kepada Allah, Rabbbul ‘Izzati.
Dengan begitu mereka akan ringan dalam memerjuangkan
dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang
ada pada dirinya.
Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat
gamblang pada kisah Nabi Musa a.s., Ibrahim a.s., dan
Muhammad s.a.w. Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke
laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme, dan
keberanian Nabi Musa a.s. yang senantiasa yakin Allah
bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar saja
Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa
terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya sehingga
bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut
itu menyatu kembali dan menenggelamkan Fir’aun beserta
tentaranya.
Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada
peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i
(instingtif) terhadap api dan terbakar olehnya teratasi
oleh rasa takut syar’I, yakni takut kepada Allah saja. Dan
subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya
kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta
menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s.
Selayaknya setiap da’i dakwah selalu menundukkan
rasa takut insaniyahnya dengan mendominasikan rasa takut
syar’inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam dirinya
hanya takut pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan
kekuatan-kekuatan selain Allah SWT
3. Taurîts al-Khairiyyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik)
Penopang lainnya adalah dengan memertimbangkan
keadaan generasi berikutnya harus lebih baik dari
sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan untuk mereka
adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti
jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia. Bila
menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani, maka
wariskan sifat berani pada mereka. Namun bila mewariskan
sifat takut dan pengecut maka jangan harap generasi
berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik.
Abul ‘Ala al-Maududi menegaskan bahwa untuk
mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka
8
9. jangan lakukan sifat-sifat rendahan. Karena itu akan
menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan akan
mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan
pula. Oleh karena itu Allah SWT telah mengingatkan agar
memerhatikan nasib generasi berikutnya dengan mewariskan
nilai-nilai kebaikan untuk menjadi dhawabith khairiyah bagi
mereka,
وَيْلْ فيَيْخْ فشَيْ الَّةًذِمْينَيْ لَيْههواْ ف تَيْرَيْكُوههواا مِمْهنْ ف خَيْلْ ففِمْهِمْهمْ ف ذُورِّيَّيَّةًهةًا ضِمْههعَيْاففًااف خَيْههاففُوواا عَيْلَيْيْ فهِمْهمْ ف
فَيْلْ فيَيْتَّةًقُوواا اللَّةًَيْ وَيْلْ فيَيْقُووالُوواا قَيْواْ فلًا سَيْدِمْيدًاا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.” (QS an Nisâ’/4: 9)
Adalah hal yang patut dipikirkan para da’i dakwah
untuk selalu menanamkan tekad dan kemauan agar melahirkan
generasi yang terbaik dengan selalu berpegang pada sikap-sikap
keteladanan yang di antaranya sikap asy syaja’ah.
4. Ash-Shabru ‘Alâ ath-Thâ’ah (Bersabar Terhadap
Ketaatan)
Keberanian akan terus ada pada diri da’i bila mereka
bersabar. Sabar terhadap peristiwa yang mereka alami.
Karena kesabaran itu merupakan senjata yang ampuh yang
memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun.
Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang
dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita
rasakan. Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih
berat ketimbang yang kita alami saat ini. Dengan kesabaran
ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di atas
jalan dakwah dengan gagah berani.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w.
saat menasihati Khabbab bin al-Arts yang berkeluh kesah
atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau
mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang
shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka
tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian
dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum
seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh
terdahulu.“ Sebagaimana hadits berikut,
9
10. شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اِ صلى ا عليه وسلم
وَهْوَ مُتَوَسّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلّ الْكَعْبَةِ قُلْنَا لَهُ أَلَ
تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَل تَدْعُو اللّهَ لَنَا قَالَ كَانَ الرّجُلُ
فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الرَْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ
فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقّ بِاثْنَتَيْنِ
وَمَا يَصُدّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ
مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ ، أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدّهُ
ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللّهِ لَيُتِمّنّ هَذَا المَْرَ حَتّى يَسِيرَ
الرّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ ل يَخَافُ إِلّ
.اللّهَ ، أَوِ الذّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنّكُمْ تَسْتَعْجِلُون
“Kami pernah mengeluhkan penderitaan kepada Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wa sallam yang ketika itu beliau
beralaskan kain panjangnya di naungan Ka'bah. Maka kami
mengadu; 'Tidakkah engkau meminta pertolongan untuk kami?
Tidakkah engkau berdoa untuk kami? ' Maka beliau bersabda;
Sungguh sebelum kalian ada orang yang diringkus kemudian
digalikan lubang baginya dan ia ditimbun di sana, lantas
didatangkan gergaji dan diletakkan di kepalanya, sehingga
kepalanya terbelah menjadi dua, dan ada yang disisir dengan
sisir besi sehingga memisahkan tulang dan dagingnya namun
semua siksaan itu tidak memalingkannya dari agamanya, demi
Allah, perkara ini akan sempurna sehingga seorang
pengendara bisa berjalan dari Shan'a hingga Hadramaut, dan
ia tidak khawatir selain kepada Allah dan srigala yang akan
menerkam kambingnya, namun kalian ini orang yang suka
tergesa-gesa. (HR al-Bukhari dari Khabbab bin al-Arts,
Shahîh al-Bukhâriy, IV/244, hadits no. 3612)
10
11. Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam
keadaan defisit. Kesabaran mesti dalam kondisi yang selalu
cukup dan bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi
tameng dalam menyelamatkan diri atas cobaan-cobaan berat
dakwah ini. Allah SWT pun mengingatkan agar senantiasa
bersabar dan menguatkan kesabaran,
ينَلّاب أَلّينُّههَلّاب الَّكذِطيننَلّ آمَلّنُمْ واا اصْ تبِطرُمْ وا وَلّصَلّاببِطرُمْ وا وَلّرَلّابِططُمْ واا وَلّاتَّكقُمْ ككواا اللَّكَلّكك لَلّعَلّلَّككُمْ ككمْ ت
تُمْ فْ تلِطحُمْ وانَلّ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di
perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya
kamu beruntung”. (QS Āli ‘Imrân/3: 200)
5. Al-Ajru min Allâh (Berharap Balasan Dari Allah)
Seorang da’i juga bisa mengusung dakwah ini dengan
berani karena berharap balasan yang besar dari Allah SWT
Balasan yang dijanjikan ini meminimalkan perasaan takut
akan ancaman dalam memerjuangkan dakwah. Rasa takut akan
segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih besar
dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti
diberikan itu dapat memompa semangat juang da’i untuk terus
berada di jalan dakwah dan memerjuangkannya sampai titik
darah penghabisan. Maka balasan Allah SWT itu seyogianya
tervisualisasi dengan baik pada diri da’i dakwah. Seakan-akan
semua balasan itu ada di pelupuk mata,
إِطنَّك الَّكذِطيننَلّ قَلّككابلُمْ واا رَلّبُّهنَلّككاب اللَّكُمْ كك ثُمْ ككمَّك اسْ تككتَلّقَلّابمُمْ واا تَلّتَلّنَلّككزَّكلُمْ عَلّلَلّيْ تهِطككمُمْ الْ تمَلّلَلّئِطكَلّككةُمْ أَلّلَّك
تَلّخَلّككابفُمْ واا وَلّلَلّ تَلّحْ تزَلّنُمْ ككواا وَلّأَلّبْ تشِطككرُمْ وا بِطابلْ تجَلّنَّكككةِط الَّكتِطككي كُمْ نتُمْ ككمْ ت تُمْ واعَلّككدُمْ ونَلّ ﴿
٣٠ ﴾ نَلّحْ تنُمْ أَلّوْ تلِطيَلّابؤُمْ كُمْ مْ ت فِطي الْ تحَلّيَلّابةِط الدُّهنْ تيَلّاب وَلّفِطككي الْ تخِطككرَلّةِط وَلّلَلّكُمْ ككمْ ت فِطيهَلّككاب مَلّككاب
تَلّشْ تتَلّهِطي أَلّنفُمْ سُمْ كُمْ مْ ت وَلّلَلّكُمْ مْ ت فِطيهَلّاب مَلّاب تَلّدَّكعُمْ وانَلّ ﴿ ٣١ ﴾ نُمْ زُمْ لًا مّنْنْ ت غَلّفُمْ وارٍ رَّكحِطيمٍ ﴿
٣٢﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami
ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,
maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):
“Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa
sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memeroleh) surga yang
telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah Pelindung-pelindungmu
dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di
dalamnya kamu memeroleh apa yang kamu inginkan dan
memeroleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai
11
12. hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS Fushshilat/41: 30-32)
Bila balasan yang dijanjikan Allah SWT senantiasa
terngiang-ngiang dalam benak da’i, maka tidak ada alasan
untuk takut dan pengecut. Rasulullah s.a.w. mengingatkan
Abdullah bin Harits yang mengungkapkan keinginannya untuk
masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang
memang terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan
infak karena dia orang yang termiskin di keluarga dan
kabilahnya dan tidak pula diwajibkan berperang karena dia
seorang yang penakut. Nabi menjawab, “Wahai Abdullah, bila
itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk surga?”
Maka Abdullah menandaskan, “Kalau begitu, ya Rasulullah,
aku akan berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah SWT”
Begitulah akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan
terdepan di jalan dakwah tanpa rasa takut dan lemah.
As-Syajâ’ah atau keberanian tentu saja berbeda
dengan bersikap ‘nekat’, “ngawur” atau tanpa perhitungan
dan pertimbangan. Asy-Syajâ’ah adalah keberanian yang
didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena
ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah,
tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan kerapian
kerja (itqân). Bukan keberanian yang tanpa perhitungan yang
melahirkan kenekatan, namun juga bukan terlalu perhitungan
dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.
Perwujudan sikap asy-syajâ’ah dalam kehidupan ini
amatlah banyak terlebih dalam memerjuangkan dakwah.
Implementasinya bisa bermacam-macam. Di antaranya
a. Quwwah al-Ihtimâl (Memiliki Daya Tahan Yang Besar)
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia
memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan,
penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena
ia berada di jalan Allah.
Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan
tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan sehingga
mudah surut, menyerah atau berputus-asa. Padahal dalam
kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa ini begitu
banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan
dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan
melarikan diri dari persoalan hidup yang berat tidak akan
pernah menyelesaikan masalah. Apalagi dalam perjuangan
dakwah untuk mencapai kemenangannya.
12
13. Daya tahan yang besar terhadap tekanan memberikan
kemampuan menanggung beban-beban berat sendirian tanpa
menyertakan yang lainnya. Malah ia ingin saudara-saudaranya
tidak boleh mengalami kesulitan lantaran dirinya. Bila
perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain.
Begitulah kekuatan daya tahan da’i dakwah yang patriotik.
Khubaib bin ‘Adiy pernah ditawari Abu Sufyan ketika
akan dieksekusi mati. “Wahai Hubaib, bagaimana kalau dirimu
digantikan oleh Muhammad yang akan menduduki kursi
pesakitan itu.” Khubaib menjawab, “Demi Allah yang diriku
dalam genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad
menggantikan diriku begini. Kalau sekiranya aku tahu bahwa
Muhammad sekarang ini tertusuk duri, maka aku tidak bisa
tenang dan aku beserta keluargaku akan menggantikannya
menderita karena tertusuk duri.” Inilah daya tahan yang
kuat, berani menanggung beban risiko sendirian dan tidak
ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya.
b. Ash-Sharâhah fî al-Haq (Berterus Terang pada
Kebenaran)
Keterusterangan dalam kebenaran sebagai indikasi
keberanian. Sekalipun hal itu akan mengundang ekses
padanya. Terkadang ada yang tidak bisa menerimanya. Ada
juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya. Bahkan
ada pula yang tidak siap mendengarnya lalu membunuhnya.
Mengatakan yang benar dengan terus terang memang
sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi dampak yang bakal
muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah
keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda
Nabi s.a.w,
قُمْ لِط الْ تحَلّقَّك، و وَلّإِطنْ ت كَلّابنَلّ مُمْ رًّاا
“Katakan yang benar meskipun itu pahit” (HR al-Baihaqi,
Syu’ab al-Îmân, VII/21, hadits no. 4592 dan HR Ibnu Hibban,
Shahîh ibn Hibbân, II/76, hadits no. 361, dari Abu Dzar)
Dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim
adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja
dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita
senantiasa berterus terang dalam kebenaran.
Tidak sedikit orang tergelincir dalam bersikap lalu
ia berdusta atau diam karena khawatir akan risiko-risikonya.
Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat.
Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal sangat
mungkin penguasa itu mendapatkan hidayah bila seseorang
13
14. menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya. Ada
seorang penguasa zhalim menginsafi dirinya. Sang penguasa
menangis atas nasihat yang diucapkan seorang ulama yang
berani memaparkan kebenaran padanya.
Sikap berani menyampaikan kebenaran yang mengandung
risiko berat menjadi harga diri seorang da’i dalam
memerjuangkan dakwah. Para musuh tidak akan menganggap
miring pada orang-orang yang mempunyai sikap ini. Malah
mungkin sangat dipandang. Paling tidak sang penguasa akan
gentar menghadapinya.
c. Kitmân as Sirr (Kemampuan Menjaga Rahasia)
Kemampuan menyimpan rahasia merupakan bentuk
keberanian yang bertanggung jawab. Orang yang berani adalah
orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh
perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi
musuh-musuh Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan
rahasia dengan serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah
tanggungan yang harus disimpan dengan baik meski berisiko
tinggi. Ia bukanlah sesuatu yang diumbar-umbar kepada orang
yang tidak berhak. Apalagi terhadap kerahasiaan dakwah.
Karena terbongkarnya sebuah kerahasiaan akan berakibat
fatal. Sangat banyak operasional dakwah berantakan karena
tersiarnya rahasia dakwah.
Menyimpan rahasia bukanlah hal yang gampang. Ia
merupakan pekerjaan berat yang tidak sembarang orang mampu
melakukannya. Hanya orang-orang yang berani dan terampil
menyimpan rahasia sajalah yang dapat melakukannya.
Karenanya sahabat Rasulullah s.a.w. yang memiliki kemampuan
ini tidaklah banyak. Mereka adalah sahabat pilihan Nabi
s.a.w. untuk bisa menjaganya. Ada pepatah yang menyatakan
bahwa selamatnya manusia tergantung dalam menjaga lidahnya.
Tentu juga termasuk di dalamnya adalah menjaga kerahasiaan.
Ini sangat ditentukan oleh keberanian menanggung beban
akibat dari rahasia yang dipikulnya.
Huzaifah ibn al-Yaman r.a. seorang sahabat Nabi
s.a.w. yang dikenal dengan sebutan Shâhib as-Sirr
(Penyimpan Rahasia). Dia dapat menyimpan rahasia dengan
baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan
tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi
konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi
yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh.
Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah s.a.w.
“Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati,
akantetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.”
14
15. d. Al-‘Itirâf bi al-Khatha’ (Mengakui Kesalahan)
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah
tidak mau mengakui kesalahan, mencari kambing hitam dan
bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”. Sebaliknya orang
yang memiliki sifat syaja’ah adalah berani mengakui
kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan,
dan bertanggung jawab.
Memang mengakui kesalahan tidaklah mudah. Kadang ada
rasa malu, perasaan takut dikucilkan, perasaan cemas akan
pandangan sinis orang lain karena kesalahannya. Padahal
mengakui kesalahan diri sendiri sangat menguntungkan. Sebab
ia lantas bisa melihat kesalahan dirinya. Ia pun tidak
menyalahkan orang lain. Ia juga akan cepat memerbaiki
dirinya. Dan berani mengakui kesalahannya akan membuka
pintu keinsafan selebar-lebarnya.
Allah SWT memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam
a.s. ketika melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan
kesalahan itu pada setan yang menggodanya. Akan tetapi ia
lebih memberatkan dirinya sehingga terbukalah pintu ampunan
untuknya. “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya
pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (Al ‘Araf:
23)
e. Al-Inshâf min ad-Dzât (Bersikap Objektif Pada Diri
Sendiri)
Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi
terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni
dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya
ada yang bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni
menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan
tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas
tidak proporsional dan tidak objektif. Orang yang berani
akan bersikap objektif, dalam mengenali dirinya yang
memiliki sisi baik dan buruk.
Objektif dalam memandang diri sendiri akan membuka
kesempatan pada orang lain untuk ikut berperan serta. Malah
ia akan sangat berhajat pada keberadaan orang lain. Karena
ia tahu benar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa
partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun tidak akan
meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat
lebih banyak secara optimal dari potensi miliknya.
15
16. Umar bin Abdul Aziz saat diangkat menjadi khalifah,
ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya. “Aku bukanlah
orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia
seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat
besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam
menunaikan amanah ini.” Begitulah layaknya orang yang
berani memandang kemampuan dirinya secara objektif.
f. Milk an-Nafs ‘inda al-Ghadhab (Menahan Nafsu pada
Saat Marah)
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu
bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian
ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya
padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan
amarahnya. Orang yang bisa lakukan itu dipandang sebagai
orang kuat karena kemampuannya menahan amarah.
Amarah dapat menggelincirkan manusia pada sikap
serampangan. Ia akan kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia
lupa diri akan sikapnya yang keliru. Malah ia tak akan
pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya. Oleh karena
itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari
amarah. Sampai-sampai Rasulullah s.a.w. mengajarkan untuk
tidak amarah berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu
maka rubahlah posisi dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar
maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah
dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api bisa mati
ketika disiram dengan air. Dan api bisa mati ketika disiram
dengan air. Siramlah ‘api kemarahan’ dengan ‘air
kesabaran’.
Khâtimah
Keberanian adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi
sikap yang melekat dalam diri Sang ‘Dâ’i’. Ia adalah
identitas pengemban amanah umat untuk bisa menunaikan tugas
berat yang diusungnya, dalam ruang dan waktu yang tak
terbatas. Ingatlah selalu senandung as-Sâbiqûn al-Awwalûn
min an-Du’ât (Para Dai Senior) yang – dengan mantapnya –
telah menggumam: “Di dalam hatiku selalu terdengar suara
Nabi s.a.w. yang memerintahkan, ‘berjihadlah, berjuanglah
dan lelahkanlah dirimu.’ Dan berseru, ‘menanglah,
kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah kamu selamanya
orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani
lakukanlah karena kita punya hari esok dan harapan’.”
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
16