SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
Tafsir QS al-Mâidah/5: 54 
“Berani Di Jalan Dakwah” 
Teks Ayat al-Quran 
يَوْا  أَوْيُّههَوْا  الَّهذِقين َوْ آمَوْنُ بِقَوا مَوْن  يَوْرْمٍتَوْدَّه مِقنكُ بِقَمْمٍ عَوْن  دِقينِقهِق فَوْسَوْوْمٍفَوْ يَوْققأْمٍتِقي  اللَّهُ بِقَقق بِققَوْققوْمٍمٍ ي 
يُ بِقَحِقبُّههُ بِقَمْمٍ ونَوْيُ بِقَحِقبُّهونَوْهُ بِقَ أَوْذِقلَّهةٍ ي عَوْلَوْى  الْمٍمُ بِقَؤْمٍمِقنِقينن َوْ أَوْعِقزَّهةٍ ي عَوْلَوْى  الْمٍكَوْا فِقرِقين َوْ يُ بِقَجَوْا هِقدُ بِقَوننَوْ 
فِقي  سَوْبِقينلِق اللَّهِق ونَوْلَوْ يَوْخَوْا فُ بِقَونَوْ لَوْوْمٍمَوْققةَوْ لَوْئِقققمٍۚ ي ذَوْلِقققكَوْ فَوْضْمٍققلُ بِقَ اللَّهِققق يُ بِقَققؤْمٍتِقينهِق مَوْققن  
يَوْشَوْا ءُۚ بِقَ ونَوْاللَّهُ بِقَ ونَوْاسِقعٌ عَوْلِقينمٌ 
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu 
yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan 
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan 
merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap 
orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang 
kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut 
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia 
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan 
Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS 
al-Mâidah/5: 54) 
Tafsîr al-Mufradât 
أَوْذِقلَّهةٍ ي : Sikap lemah-lembut, penuh kasih sayang yang 
ditunjukkan dengan perhatian dan solidaritas 
yang bermuara pada kokohnya ukhuwwah antar-mukmin. 
أَوْعِقزَّهةٍ ي : Sikap keras, lugas dan tegas dan tanpa 
kompromi, yang harus dipilih karena sikap 
orang-orang kafir yang – dengan sengaja – 
menciptakan permusuhan dan telah terbukti 
memberikan dampak negatif bagi keutuhan 
persaudaraan orang-orang yang beriman. 
لَوْوْمٍمَوْققققققةَوْ 
لَوْئِقمٍ ي 
: Celaan setiap orang yang – dengan sengaja – 
mencela orang-orang yang beriman, ketika 
orang-orang yang beriman tengah berjihad di 
jalan Allah. 
Penjelasan 
Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi 
kesulitan, sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah 
dalam QS al- Balad/90: 4, 
لَوْقَوْدْمٍ خَوْلَوْقْمٍنَوْا  الِقْمٍنسَوْا نَوْ فِقي  كَوْبَوْدٍ ي 
1
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam 
susah payah.” 
Sehingga, kesulitan adalah sesuatu yang tak bisa 
dielakkan. Itu realita perjalanan dunia ini. Kesulitan 
menjadi risiko hidup. Tak seorang pun yang lepas dari 
kenyataan itu. Namun yang acapkali terjadi adalah takut 
terhadap risiko yang bakal muncul lantaran kekerdilan jiwa 
untuk menghadapinya. Lalu timbullah ketakutan-ketakutan. 
Rasa ketakutan ini cuma menggiring seseorang menjadi 
pengecut. Dan akhirnya lari dari kenyataan. 
Sifat pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang 
tidak boleh dimiliki orang-orang yang beriman. Karena 
pengecut artinya ia tidak mau menanggung dan menghadapi 
risiko yang memang sudah menjadi konsekuensinya. Perilaku 
ini merupakan perilaku orang-orang yang setengah hati dalam 
keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus bersusah payah 
menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi 
penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan. 
Saat ini dunia dipenuhi dengan orang-orang yang 
memiliki sifat pengecut. Sebuah hadits Nabi s.a.w. 
memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan 
dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah 
mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. 
Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam 
banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani 
oleh musuh-musuhnya yakni kaum kafir, musyrikin dan 
munafikin. 
Islam memandang hina orang yang pengecut. Baik 
pengecut untuk memertahankan hidup sehingga gampang putus 
asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan dari komunitasnya. 
Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang. Atau 
pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian menjerumuskan 
pelakunya pada sikap yang ‘plin-plan’ tanpa prinsip. 
Rasulullah s.a.w. bersabda, 
« لَوْ تَوْكُ بِقَونُ بِقَققوا إِقمَّهعَوْققةً ت تَوْقُ بِقَولُ بِقَققونَوْ إِقنْمٍ أَوْحْمٍسَوْققن َوْ النَّهققا سُ بِقَ أَوْحْمٍسَوْققنَّها  ونَوْإِقنْمٍ 
ظَوْلَوْمُ بِقَققوا ظَوْلَوْمْمٍنَوْققا  ونَوْلَوْكِقققن ْمٍ ونَوْطِّننُ بِقَققوا أَوْنْمٍفُ بِقَسَوْققكُ بِقَمْمٍ إِقنْمٍ أَوْحْمٍسَوْققن َوْ النَّهققا سُ بِقَ أَوْنْمٍ 
تُ بِقَحْمٍسِقنُ بِقَوا ونَوْإِقنْمٍ أَوْسَوْا ءُ بِقَونا فَوْلاَوْ تَوْظْمٍلِقمُ بِقَوا ». 
“Janganlah kamu menjadi orang yang tidak memunyai sikap. 
Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. 
Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut 
melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya 
2
sikap dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka 
aku melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka 
aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (HR at-Tirmidzi dari 
Hudzaifah, Sunan at-Tirmidzi, IV/364, hadits no. 2007) 
Allah SWT selalu menggelorakan semangat kepada 
orang-orang yang beriman agar ‘mereka’ jangan sampai 
menjadi penakut atau pengecut. Karena rasa takut akan 
membawa kepada kegagalan dan kekalahan. Keberanian harus 
selalu menjadi seruan yang terus berulang-ulang 
dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan. 
Iman pada Allah SWT mengajarkan menjadi orang-orang yang 
berani menghadapi beragam risiko dalam hidup ini terlebih 
lagi, risiko dalam memerjuangkan dakwah ini. 
Asy-Syajâ’ah atau keberanian merupakan jalan untuk 
mewujudkan sebuah kemenangan dan sebagai ‘izzah (kemuliaan 
diri) keimanan dan ‘iffah ( Kesucian diri) keislaman. Tak 
pernah boleh ada, kata gentar bagi da’i dakwah saat 
mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi 
inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan 
orang. Karena ‘izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak 
takut dan gentar sedikitpun. 
ونَوْلَوْ تَوْهِقنُ بِقَوا ونَوْلَوْ تَوْحْمٍزَوْنُ بِقَوا ونَوْأَوْنتُ بِقَمُ بِقَ الَوْْمٍعْمٍلَوْوْمٍنَوْ إِقن كُ بِقَنتُ بِقَم مُّهؤْمٍمِقنِقينن َوْ 
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu 
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling 
tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. 
(QS Āli ‘Imrân/3: 139) 
Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah 
keberanian pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan 
perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik 
yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid 
di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai kemuliaan 
sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap 
dunia. Dengan sikap ini kaum muslimin banyak memeroleh 
anugerah kemenangan dakwah di berbagai tempat. 
Orang-orang kafir amat takut terhadap orang-orang 
yang beriman yang memiliki prinsip ini. Sehingga mereka 
berupaya agar sifat berani tidak bersemayam dalam diri 
orang-orang mukmin. Lalu mereka takut-takuti kaum muslimin 
dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram, ancaman, 
teror, intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat 
ini tidak lagi berani memerjuangkan nilai dan norma yang 
diyakininya. Akhirnya timbullah sikap takut yang luar biasa 
hingga melemahkan semangat juangnya. 
3
Oleh karena itu jangan tertipu oleh upaya orang-orang 
kafir untuk menghilangkan sifat syaja’ah. Sebab 
syaja’ah merupakan harga diri orang-orang beriman. Lantaran 
sifat itu sebulan sebelum kedatangan kaum muslimin orang-orang 
di Babylonia telah lari tunggang langgang mendengar 
umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid 
bin Walid r.a. menenangkan masyarakat Romawi agar tidak 
perlu teramat takut pada kaum muslimin karena kedatangan 
umat Islam hanya untuk menyerukan Islam dan mengajak mereka 
menghamba pada Allah SWT semata. 
Asy-Syajâ’ah (keberanian) menjadi salah satu ciri 
yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain 
ciri-ciri berupa al-ithmi’nân (ketenangan) dan at-tafâul 
(optimisme). Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan 
senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada 
di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya 
pertolongan Allah. Namun memang tak mudah untuk menjadi 
orang yang bersikap istiqamah atau teguh pendirian memegang 
nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. 
Bahkan Rasulullah s.a.w. pun menyatakan bahwa turunnya QS 
Hûd menjadikan beliau ‘beruban’ karena di dalamnya ada ayat 
(QS Hûd/11: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah, 
فَوْا سْمٍتَوْقِقمْمٍ كَوْمَوْا  أُ بِقَمِقرْمٍتَوْ ونَوْمَوْققن  تَوْققا بَوْ مَوْعَوْقكَوْ ونَوْلَوْ تَوْطْمٍغَوْقوْمٍاۚ إِقنَّهقهُ بِقَ بِقمَوْققا  تَوْعْمٍمَوْلُ بِقَقونَوْ 
بَوْصِقينرٌ 
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana 
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat 
beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. 
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“ 
Rasulullah s.a.w. memahami benar makna istiqamah 
yang sesungguhnya sampai ketika Sufyan bin Abdullah ats- 
Tsaqafi bertanya ‘hal terpenting’ dalam Islam yang ketika 
sudah dijelaskan, menjadikannya tak perlu bertanya lagi, 
beliau menjawab, 
« آمَوْنْمٍتُ بِقَ بِقا للَّهِق فَوْا سْمٍتَوْقِقمْمٍ ». 
“Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah 
(terhadap yang kau imani tersebut).” (HR Muslim, Shahîh 
Muslim, I/47, hadits no. 168). 
Di kesempatan lain, Rasulullah s.a.w. juga 
mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang 
Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara 
api. 
4
Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa 
‘merupakan’ taruhannya, tampak jelas pada diri orang-orang 
beriman di dalam surat QS al-Burûj/85: 4-8 yang dimasukkan 
ke dalam parit dan dibakar oleh ash-hâbul ukhdûd hanya 
karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah SWT. 
Begitu pula Asiyah, isteri Fir’aun dan Masyithah, pelayan 
Fir’aun, kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada 
Allah dengan nyawa mereka. Asiyah di tiang penyiksaannya 
dan Masyithah di kuali panas mendidih beserta seluruh 
keluarganya karena mereka berdua tak sudi menuhankan 
Fir’aun. Demikian sulitnya untuk memertahankan 
keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk 
mewujudkan asy-Syajâ’ah sebagai salah satu aspeknya. 
Tetapi, seperti apa pun sulitnya, ‘kita’ (setiap 
muslim) “harus pantang menyerah”. 
Muthâllibatu ad-Da’wah (Tuntutan Dakwah) 
Dalam mengusung amanah dakwah, slogan ‘Jangan pernah 
takut, Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati 
demi kebenaran’ tidak boleh luntur melainkan harus tetap 
terpatri dalam sanubari da’i dakwah. Melekatnya doktrin 
itu, membuat da’i dakwah tidak akan lari ke belakang demi 
kemenangan dakwah ini. Karena asy syaja’ah (keberanian) 
mengemban amanah umat merupakan tuntutan dakwah. 
Manakala Allah SWT berbicara tentang penyelamatan 
dakwah, maka aspek asy syaja’ah ini yang selalu disebut-sebut 
oleh-Nya. Sebagaimana dalam QS at-Taubah/9: 40, 
إِقلَّه تَوْنصُ بِقَرُ بِقَونهُ بِقَ فَوْقَوْدْمٍ نَوْصَوْرَوْهُ بِقَ اللَّهُ بِقَ إِقذْمٍ أَوْخْمٍرَوْجَوْهُ بِقَ الَّهذِقين َوْ كَوْفَوْققرُ بِقَونا ثَوْققا نِقي َوْ اثْمٍنَوْينْمٍققن ِق إِقذْمٍ 
هُ بِقَمَوْا  فِقي  الْمٍغَوْا رِق إِقذْمٍ يَوْقُ بِقَولُ بِقَ لِقصَوْا حِقبِقهِق لَوْ تَوْحْمٍزَوْنْمٍ إِقنَّه اللَّهَوْ مَوْعَوْنَوْققا  فَوْققأَوْنزَوْلَوْ اللَّهُ بِقَقق 
سَوْكِقيننَوْتَوْهُ بِقَ عَوْلَوْينْمٍهِق ونَوْأَوْيَّهققدَوْهُ بِقَ بِقجُ بِقَنُ بِقَققودٍ ي لَّهقمْمٍ تَوْرَوْونْمٍهَوْققا  ونَوْجَوْعَوْقلَوْ كَوْلِقمَوْققةَوْ الَّهققذِقين َوْ كَوْفَوْققرُ بِقَونا 
السُّهٰفى ْۗمٍلَوْ ونَوْكَوْلِقمَوْةُ بِقَ اللَّهِق هِقي َوْ الْمٍعُ بِقَلْمٍينَوْا  ونَوْاللَّهُ بِقَ عَوْزِقيزٌ حَوْكِقينمٌ 
‘Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka 
sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang 
kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) 
sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya 
berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: 
“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta 
kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada 
(Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak 
melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir 
itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. 
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ 
5
Di samping itu sikap syaja’ah para da’i menjadi 
sebab dakwah berkesimbungan di muka bumi ini. Dengannya 
dakwah ini berjalan terus sekalipun harus melewati bukit 
terjal ataupun tembok besar. Berisiko berat ataupun ringan. 
Dengan keberanian para pejuang dakwah, ajaran Islam ini 
merambah ke berbagai pelosok dunia bahkan sampai pada diri 
kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan rintangan 
yang dihadapi sangat berat. Tantangan alam, geografis, 
budaya, maupun rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa 
keberanian mereka, perjalanan dakwah ini akan tertatih-tatih 
lantaran ketakutan yang melemahkan gerak dakwah ini. 
Da’âimu asy-Syajâ’ah (Pilar Keberanian) 
Karena sikap asy-syajâ’ah merupakan tuntutan dakwah 
maka para da’i mesti selalu memompa dan menopang 
keberaniannya agar kata takut dan pengecut tidak lagi 
melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada 
dalam memerjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang 
menghantarkan diri seorang da’i memiliki sifat asy-syaja’ah 
adalah hal-hal berikut ini: 
1. Al-Îmân bi al-Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib) 
Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy-syaja’ah 
dalam diri da’i dakwah adalah memerkuat 
keyakinannya akan hal-hal yang ghaib. Seperti yakin akan 
pertolongan Allah SWT Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang 
senantiasa membantu orang yang memerjuangkan agama Allah 
SWT Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang 
ditentukan oleh amaliyah kita di dunia ini, khususnya amal-amal 
dakwah. 
Keyakinan pada hal yang ghaib memunculkan sikap 
berani, tak takut terhadap apa yang terjadi. Karena semua 
yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan dalam kehidupan 
seseorang. Ia merupakan takdir yang telah ditetapkan. 
Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang da’i 
dakwah yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala 
di atas kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo 
mengatakan, ‘Mana Tuhanmu, Apakah ia bisa menyelamatkan 
kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan hancurlah 
batok kepalamu berkeping-keping. Jawab sang aktivis, Bila 
Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak 
akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku 
tidak menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati’. 
Jawaban ini sebagai jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib, 
yakni Allah SWT 
6
Keyakinan semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag 
telah menanamkan rasa takut hanya pada Allah SWT dan 
senantiasa bergantung pada-Nya. Sehingga da’i memiliki 
cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya 
kepada yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur menghadapi 
cobaan dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses 
tarbiyah yang panjang, membina aktivis untuk senantiasa 
yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan yang Ghaib. 
Rasulullah s.a.w. telah mengingatkan Abu Bakar r.a. 
akan keyakinan pada Rabbul ‘Izzati. Di saat orang-orang 
kafir sudah berada di Gua Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar 
hingga mencemaskan, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu 
dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat 
kita.” Nabi s.a.w. menenangkannya dengan menyatakan, “Duhai 
Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. 
Tidak, Abu Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan 
gentar, Allah bersama kita.” Sebagaimana yang hadits 
berikut, 
قُلْتُ لِلنّبِيّ صلى ا عليه وسلم وَ أَنَا فِي الْغَارِ لَوْ 
أَنّ أَحَدَهُمْ نَظَرَ تَحْتَ قَدَمَيْهِ لبَْصَرَنَا فَقَالَ مَا 
.ظَنّكَ ي ا أَبَا بَكْرٍ بِاثْنَيْنِ اللّهُ ثَالِثُهُمَا 
Aku berkata kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam saat 
berada di gua: Seandainya salah seorang dari mereka 
melihat ke bawah kedua kakinya pasti dia melihat kita. 
Maka beliau berkata: Tidakkah engkau beranggapan wahai Abu 
Bakr, bahwa jika ada dua orang, maka Allah yang ketiganya?” 
(HR al-Bukhari dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Shahîh al- 
Bukhâriy, V/4, hadits no. 3653) 
Karenanya jiwa para da’i tidak boleh luput untuk 
selalu berinteraksi pada Allah SWT agar dikuatkan diri dan 
jiwa dalam memerjuangkan dakwah. Karena kemenangan para 
pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material 
melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa. 
2. Al-Mujâhadah ‘Alâ al-Khauf (Menaklukkan Rasa Takut) 
Rasa takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang 
amat manusiawi. Kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang 
dimiliki setiap insan. Seperti takut terbakar, tenggelam, 
7
terjatuh di mangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun 
rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i 
yakni takut kepada Allah SWT Sehingga setiap da’i dakwah 
sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan 
mengkedepankan rasa takut kepada Allah, Rabbbul ‘Izzati. 
Dengan begitu mereka akan ringan dalam memerjuangkan 
dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang 
ada pada dirinya. 
Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat 
gamblang pada kisah Nabi Musa a.s., Ibrahim a.s., dan 
Muhammad s.a.w. Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke 
laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme, dan 
keberanian Nabi Musa a.s. yang senantiasa yakin Allah 
bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar saja 
Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa 
terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya sehingga 
bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut 
itu menyatu kembali dan menenggelamkan Fir’aun beserta 
tentaranya. 
Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada 
peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i 
(instingtif) terhadap api dan terbakar olehnya teratasi 
oleh rasa takut syar’I, yakni takut kepada Allah saja. Dan 
subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya 
kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta 
menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s. 
Selayaknya setiap da’i dakwah selalu menundukkan 
rasa takut insaniyahnya dengan mendominasikan rasa takut 
syar’inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam dirinya 
hanya takut pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan 
kekuatan-kekuatan selain Allah SWT 
3. Taurîts al-Khairiyyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik) 
Penopang lainnya adalah dengan memertimbangkan 
keadaan generasi berikutnya harus lebih baik dari 
sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan untuk mereka 
adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti 
jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia. Bila 
menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani, maka 
wariskan sifat berani pada mereka. Namun bila mewariskan 
sifat takut dan pengecut maka jangan harap generasi 
berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik. 
Abul ‘Ala al-Maududi menegaskan bahwa untuk 
mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka 
8
jangan lakukan sifat-sifat rendahan. Karena itu akan 
menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan akan 
mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan 
pula. Oleh karena itu Allah SWT telah mengingatkan agar 
memerhatikan nasib generasi berikutnya dengan mewariskan 
nilai-nilai kebaikan untuk menjadi dhawabith khairiyah bagi 
mereka, 
وَيْلْ فيَيْخْ فشَيْ الَّةًذِمْينَيْ لَيْههواْ ف تَيْرَيْكُوههواا مِمْهنْ ف خَيْلْ ففِمْهِمْهمْ ف ذُورِّيَّيَّةًهةًا ضِمْههعَيْاففًااف خَيْههاففُوواا عَيْلَيْيْ فهِمْهمْ ف 
فَيْلْ فيَيْتَّةًقُوواا اللَّةًَيْ وَيْلْ فيَيْقُووالُوواا قَيْواْ فلًا سَيْدِمْيدًاا 
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang 
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang 
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) 
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada 
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang 
benar.” (QS an Nisâ’/4: 9) 
Adalah hal yang patut dipikirkan para da’i dakwah 
untuk selalu menanamkan tekad dan kemauan agar melahirkan 
generasi yang terbaik dengan selalu berpegang pada sikap-sikap 
keteladanan yang di antaranya sikap asy syaja’ah. 
4. Ash-Shabru ‘Alâ ath-Thâ’ah (Bersabar Terhadap 
Ketaatan) 
Keberanian akan terus ada pada diri da’i bila mereka 
bersabar. Sabar terhadap peristiwa yang mereka alami. 
Karena kesabaran itu merupakan senjata yang ampuh yang 
memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun. 
Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang 
dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita 
rasakan. Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih 
berat ketimbang yang kita alami saat ini. Dengan kesabaran 
ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di atas 
jalan dakwah dengan gagah berani. 
Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. 
saat menasihati Khabbab bin al-Arts yang berkeluh kesah 
atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau 
mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang 
shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka 
tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian 
dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum 
seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh 
terdahulu.“ Sebagaimana hadits berikut, 
9
شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اِ صلى ا عليه وسلم 
وَهْوَ مُتَوَسّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلّ الْكَعْبَةِ قُلْنَا لَهُ أَلَ 
تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَل تَدْعُو اللّهَ لَنَا قَالَ كَانَ الرّجُلُ 
فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الرَْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ 
فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقّ بِاثْنَتَيْنِ 
وَمَا يَصُدّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ 
مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ ، أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدّهُ 
ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللّهِ لَيُتِمّنّ هَذَا المَْرَ حَتّى يَسِيرَ 
الرّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ ل يَخَافُ إِلّ 
.اللّهَ ، أَوِ الذّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنّكُمْ تَسْتَعْجِلُون 
“Kami pernah mengeluhkan penderitaan kepada Rasulullah 
Shallallâhu 'alaihi wa sallam yang ketika itu beliau 
beralaskan kain panjangnya di naungan Ka'bah. Maka kami 
mengadu; 'Tidakkah engkau meminta pertolongan untuk kami? 
Tidakkah engkau berdoa untuk kami? ' Maka beliau bersabda; 
Sungguh sebelum kalian ada orang yang diringkus kemudian 
digalikan lubang baginya dan ia ditimbun di sana, lantas 
didatangkan gergaji dan diletakkan di kepalanya, sehingga 
kepalanya terbelah menjadi dua, dan ada yang disisir dengan 
sisir besi sehingga memisahkan tulang dan dagingnya namun 
semua siksaan itu tidak memalingkannya dari agamanya, demi 
Allah, perkara ini akan sempurna sehingga seorang 
pengendara bisa berjalan dari Shan'a hingga Hadramaut, dan 
ia tidak khawatir selain kepada Allah dan srigala yang akan 
menerkam kambingnya, namun kalian ini orang yang suka 
tergesa-gesa. (HR al-Bukhari dari Khabbab bin al-Arts, 
Shahîh al-Bukhâriy, IV/244, hadits no. 3612) 
10
Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam 
keadaan defisit. Kesabaran mesti dalam kondisi yang selalu 
cukup dan bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi 
tameng dalam menyelamatkan diri atas cobaan-cobaan berat 
dakwah ini. Allah SWT pun mengingatkan agar senantiasa 
bersabar dan menguatkan kesabaran, 
ينَلّاب أَلّينُّههَلّاب الَّكذِطيننَلّ آمَلّنُمْ واا اصْ تبِطرُمْ وا وَلّصَلّاببِطرُمْ وا وَلّرَلّابِططُمْ واا وَلّاتَّكقُمْ ككواا اللَّكَلّكك لَلّعَلّلَّككُمْ ككمْ ت 
تُمْ فْ تلِطحُمْ وانَلّ 
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan 
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di 
perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya 
kamu beruntung”. (QS Āli ‘Imrân/3: 200) 
5. Al-Ajru min Allâh (Berharap Balasan Dari Allah) 
Seorang da’i juga bisa mengusung dakwah ini dengan 
berani karena berharap balasan yang besar dari Allah SWT 
Balasan yang dijanjikan ini meminimalkan perasaan takut 
akan ancaman dalam memerjuangkan dakwah. Rasa takut akan 
segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih besar 
dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti 
diberikan itu dapat memompa semangat juang da’i untuk terus 
berada di jalan dakwah dan memerjuangkannya sampai titik 
darah penghabisan. Maka balasan Allah SWT itu seyogianya 
tervisualisasi dengan baik pada diri da’i dakwah. Seakan-akan 
semua balasan itu ada di pelupuk mata, 
إِطنَّك الَّكذِطيننَلّ قَلّككابلُمْ واا رَلّبُّهنَلّككاب اللَّكُمْ كك ثُمْ ككمَّك اسْ تككتَلّقَلّابمُمْ واا تَلّتَلّنَلّككزَّكلُمْ  عَلّلَلّيْ تهِطككمُمْ  الْ تمَلّلَلّئِطكَلّككةُمْ  أَلّلَّك 
تَلّخَلّككابفُمْ واا وَلّلَلّ تَلّحْ تزَلّنُمْ ككواا وَلّأَلّبْ تشِطككرُمْ وا بِطابلْ تجَلّنَّكككةِط الَّكتِطككي  كُمْ نتُمْ ككمْ ت تُمْ واعَلّككدُمْ ونَلّ ﴿ 
٣٠ ﴾ نَلّحْ تنُمْ  أَلّوْ تلِطيَلّابؤُمْ كُمْ مْ ت فِطي  الْ تحَلّيَلّابةِط الدُّهنْ تيَلّاب وَلّفِطككي  الْ تخِطككرَلّةِط وَلّلَلّكُمْ ككمْ ت فِطيهَلّككاب مَلّككاب 
تَلّشْ تتَلّهِطي  أَلّنفُمْ سُمْ كُمْ مْ ت وَلّلَلّكُمْ مْ ت فِطيهَلّاب مَلّاب تَلّدَّكعُمْ وانَلّ ﴿ ٣١ ﴾ نُمْ زُمْ لًا  مّنْنْ ت غَلّفُمْ وارٍ  رَّكحِطيمٍ  ﴿ 
٣٢﴾ 
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami 
ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, 
maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): 
“Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa 
sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memeroleh) surga yang 
telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah Pelindung-pelindungmu 
dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di 
dalamnya kamu memeroleh apa yang kamu inginkan dan 
memeroleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai 
11
hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha 
Penyayang”. (QS Fushshilat/41: 30-32) 
Bila balasan yang dijanjikan Allah SWT senantiasa 
terngiang-ngiang dalam benak da’i, maka tidak ada alasan 
untuk takut dan pengecut. Rasulullah s.a.w. mengingatkan 
Abdullah bin Harits yang mengungkapkan keinginannya untuk 
masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang 
memang terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan 
infak karena dia orang yang termiskin di keluarga dan 
kabilahnya dan tidak pula diwajibkan berperang karena dia 
seorang yang penakut. Nabi menjawab, “Wahai Abdullah, bila 
itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk surga?” 
Maka Abdullah menandaskan, “Kalau begitu, ya Rasulullah, 
aku akan berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah SWT” 
Begitulah akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan 
terdepan di jalan dakwah tanpa rasa takut dan lemah. 
As-Syajâ’ah atau keberanian tentu saja berbeda 
dengan bersikap ‘nekat’, “ngawur” atau tanpa perhitungan 
dan pertimbangan. Asy-Syajâ’ah adalah keberanian yang 
didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena 
ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, 
tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan kerapian 
kerja (itqân). Bukan keberanian yang tanpa perhitungan yang 
melahirkan kenekatan, namun juga bukan terlalu perhitungan 
dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan. 
Perwujudan sikap asy-syajâ’ah dalam kehidupan ini 
amatlah banyak terlebih dalam memerjuangkan dakwah. 
Implementasinya bisa bermacam-macam. Di antaranya 
a. Quwwah al-Ihtimâl (Memiliki Daya Tahan Yang Besar) 
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia 
memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, 
penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena 
ia berada di jalan Allah. 
Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan 
tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan sehingga 
mudah surut, menyerah atau berputus-asa. Padahal dalam 
kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa ini begitu 
banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan 
dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan 
melarikan diri dari persoalan hidup yang berat tidak akan 
pernah menyelesaikan masalah. Apalagi dalam perjuangan 
dakwah untuk mencapai kemenangannya. 
12
Daya tahan yang besar terhadap tekanan memberikan 
kemampuan menanggung beban-beban berat sendirian tanpa 
menyertakan yang lainnya. Malah ia ingin saudara-saudaranya 
tidak boleh mengalami kesulitan lantaran dirinya. Bila 
perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain. 
Begitulah kekuatan daya tahan da’i dakwah yang patriotik. 
Khubaib bin ‘Adiy pernah ditawari Abu Sufyan ketika 
akan dieksekusi mati. “Wahai Hubaib, bagaimana kalau dirimu 
digantikan oleh Muhammad yang akan menduduki kursi 
pesakitan itu.” Khubaib menjawab, “Demi Allah yang diriku 
dalam genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad 
menggantikan diriku begini. Kalau sekiranya aku tahu bahwa 
Muhammad sekarang ini tertusuk duri, maka aku tidak bisa 
tenang dan aku beserta keluargaku akan menggantikannya 
menderita karena tertusuk duri.” Inilah daya tahan yang 
kuat, berani menanggung beban risiko sendirian dan tidak 
ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya. 
b. Ash-Sharâhah fî al-Haq (Berterus Terang pada 
Kebenaran) 
Keterusterangan dalam kebenaran sebagai indikasi 
keberanian. Sekalipun hal itu akan mengundang ekses 
padanya. Terkadang ada yang tidak bisa menerimanya. Ada 
juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya. Bahkan 
ada pula yang tidak siap mendengarnya lalu membunuhnya. 
Mengatakan yang benar dengan terus terang memang 
sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi dampak yang bakal 
muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah 
keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda 
Nabi s.a.w, 
قُمْ لِط الْ تحَلّقَّك، و وَلّإِطنْ ت كَلّابنَلّ مُمْ رًّاا 
“Katakan yang benar meskipun itu pahit” (HR al-Baihaqi, 
Syu’ab al-Îmân, VII/21, hadits no. 4592 dan HR Ibnu Hibban, 
Shahîh ibn Hibbân, II/76, hadits no. 361, dari Abu Dzar) 
Dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim 
adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja 
dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita 
senantiasa berterus terang dalam kebenaran. 
Tidak sedikit orang tergelincir dalam bersikap lalu 
ia berdusta atau diam karena khawatir akan risiko-risikonya. 
Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. 
Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal sangat 
mungkin penguasa itu mendapatkan hidayah bila seseorang 
13
menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya. Ada 
seorang penguasa zhalim menginsafi dirinya. Sang penguasa 
menangis atas nasihat yang diucapkan seorang ulama yang 
berani memaparkan kebenaran padanya. 
Sikap berani menyampaikan kebenaran yang mengandung 
risiko berat menjadi harga diri seorang da’i dalam 
memerjuangkan dakwah. Para musuh tidak akan menganggap 
miring pada orang-orang yang mempunyai sikap ini. Malah 
mungkin sangat dipandang. Paling tidak sang penguasa akan 
gentar menghadapinya. 
c. Kitmân as Sirr (Kemampuan Menjaga Rahasia) 
Kemampuan menyimpan rahasia merupakan bentuk 
keberanian yang bertanggung jawab. Orang yang berani adalah 
orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh 
perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi 
musuh-musuh Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan 
rahasia dengan serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah 
tanggungan yang harus disimpan dengan baik meski berisiko 
tinggi. Ia bukanlah sesuatu yang diumbar-umbar kepada orang 
yang tidak berhak. Apalagi terhadap kerahasiaan dakwah. 
Karena terbongkarnya sebuah kerahasiaan akan berakibat 
fatal. Sangat banyak operasional dakwah berantakan karena 
tersiarnya rahasia dakwah. 
Menyimpan rahasia bukanlah hal yang gampang. Ia 
merupakan pekerjaan berat yang tidak sembarang orang mampu 
melakukannya. Hanya orang-orang yang berani dan terampil 
menyimpan rahasia sajalah yang dapat melakukannya. 
Karenanya sahabat Rasulullah s.a.w. yang memiliki kemampuan 
ini tidaklah banyak. Mereka adalah sahabat pilihan Nabi 
s.a.w. untuk bisa menjaganya. Ada pepatah yang menyatakan 
bahwa selamatnya manusia tergantung dalam menjaga lidahnya. 
Tentu juga termasuk di dalamnya adalah menjaga kerahasiaan. 
Ini sangat ditentukan oleh keberanian menanggung beban 
akibat dari rahasia yang dipikulnya. 
Huzaifah ibn al-Yaman r.a. seorang sahabat Nabi 
s.a.w. yang dikenal dengan sebutan Shâhib as-Sirr 
(Penyimpan Rahasia). Dia dapat menyimpan rahasia dengan 
baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan 
tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi 
konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi 
yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. 
Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah s.a.w. 
“Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, 
akantetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.” 
14
d. Al-‘Itirâf bi al-Khatha’ (Mengakui Kesalahan) 
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah 
tidak mau mengakui kesalahan, mencari kambing hitam dan 
bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”. Sebaliknya orang 
yang memiliki sifat syaja’ah adalah berani mengakui 
kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan, 
dan bertanggung jawab. 
Memang mengakui kesalahan tidaklah mudah. Kadang ada 
rasa malu, perasaan takut dikucilkan, perasaan cemas akan 
pandangan sinis orang lain karena kesalahannya. Padahal 
mengakui kesalahan diri sendiri sangat menguntungkan. Sebab 
ia lantas bisa melihat kesalahan dirinya. Ia pun tidak 
menyalahkan orang lain. Ia juga akan cepat memerbaiki 
dirinya. Dan berani mengakui kesalahannya akan membuka 
pintu keinsafan selebar-lebarnya. 
Allah SWT memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam 
a.s. ketika melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan 
kesalahan itu pada setan yang menggodanya. Akan tetapi ia 
lebih memberatkan dirinya sehingga terbukalah pintu ampunan 
untuknya. “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah 
menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak 
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya 
pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (Al ‘Araf: 
23) 
e. Al-Inshâf min ad-Dzât (Bersikap Objektif Pada Diri 
Sendiri) 
Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi 
terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni 
dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya 
ada yang bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni 
menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan 
tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas 
tidak proporsional dan tidak objektif. Orang yang berani 
akan bersikap objektif, dalam mengenali dirinya yang 
memiliki sisi baik dan buruk. 
Objektif dalam memandang diri sendiri akan membuka 
kesempatan pada orang lain untuk ikut berperan serta. Malah 
ia akan sangat berhajat pada keberadaan orang lain. Karena 
ia tahu benar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa 
partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun tidak akan 
meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat 
lebih banyak secara optimal dari potensi miliknya. 
15
Umar bin Abdul Aziz saat diangkat menjadi khalifah, 
ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya. “Aku bukanlah 
orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia 
seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat 
besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam 
menunaikan amanah ini.” Begitulah layaknya orang yang 
berani memandang kemampuan dirinya secara objektif. 
f. Milk an-Nafs ‘inda al-Ghadhab (Menahan Nafsu pada 
Saat Marah) 
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu 
bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian 
ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya 
padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan 
amarahnya. Orang yang bisa lakukan itu dipandang sebagai 
orang kuat karena kemampuannya menahan amarah. 
Amarah dapat menggelincirkan manusia pada sikap 
serampangan. Ia akan kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia 
lupa diri akan sikapnya yang keliru. Malah ia tak akan 
pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya. Oleh karena 
itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari 
amarah. Sampai-sampai Rasulullah s.a.w. mengajarkan untuk 
tidak amarah berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu 
maka rubahlah posisi dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar 
maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah 
dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api bisa mati 
ketika disiram dengan air. Dan api bisa mati ketika disiram 
dengan air. Siramlah ‘api kemarahan’ dengan ‘air 
kesabaran’. 
Khâtimah 
Keberanian adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi 
sikap yang melekat dalam diri Sang ‘Dâ’i’. Ia adalah 
identitas pengemban amanah umat untuk bisa menunaikan tugas 
berat yang diusungnya, dalam ruang dan waktu yang tak 
terbatas. Ingatlah selalu senandung as-Sâbiqûn al-Awwalûn 
min an-Du’ât (Para Dai Senior) yang – dengan mantapnya – 
telah menggumam: “Di dalam hatiku selalu terdengar suara 
Nabi s.a.w. yang memerintahkan, ‘berjihadlah, berjuanglah 
dan lelahkanlah dirimu.’ Dan berseru, ‘menanglah, 
kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah kamu selamanya 
orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani 
lakukanlah karena kita punya hari esok dan harapan’.” 
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb. 
16
(Dikutip dan diselaraskan dari 
http://www.dakwatuna.com/2008/05/673/berani-di-jalan-dakwah/) 
17

More Related Content

Similar to Berani di jalan dakwah

PPT Istiqomah dalam praktek sehari sebagai umat muslim.pptx
PPT Istiqomah dalam praktek sehari sebagai umat muslim.pptxPPT Istiqomah dalam praktek sehari sebagai umat muslim.pptx
PPT Istiqomah dalam praktek sehari sebagai umat muslim.pptxhappy pramanda
 
Bahtera penyelamat - Fathi Yakan
Bahtera penyelamat - Fathi YakanBahtera penyelamat - Fathi Yakan
Bahtera penyelamat - Fathi YakanImran
 
Syaksiyyah da’iyah
Syaksiyyah da’iyahSyaksiyyah da’iyah
Syaksiyyah da’iyahAsdianur Hadi
 
Orang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugiOrang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugiMuhsin Hariyanto
 
Orang mukmin-tercipta-penuh-coba
Orang mukmin-tercipta-penuh-cobaOrang mukmin-tercipta-penuh-coba
Orang mukmin-tercipta-penuh-cobaRa Hardianto
 
29. 33020210160_Farah Nur Umayah.pdf
29. 33020210160_Farah Nur Umayah.pdf29. 33020210160_Farah Nur Umayah.pdf
29. 33020210160_Farah Nur Umayah.pdfRINIRISDAYANTI0125
 
TUGAS KELOMPOK PAI.pptx
TUGAS KELOMPOK PAI.pptxTUGAS KELOMPOK PAI.pptx
TUGAS KELOMPOK PAI.pptxFismaRiyah
 
ISTIQOMAH...SAMPAI AKHIR HAYAT
ISTIQOMAH...SAMPAI AKHIR HAYATISTIQOMAH...SAMPAI AKHIR HAYAT
ISTIQOMAH...SAMPAI AKHIR HAYATandri zulfikar
 
Kompilasi khutbah-jumat-1
Kompilasi khutbah-jumat-1Kompilasi khutbah-jumat-1
Kompilasi khutbah-jumat-1Azwir Azwir
 
Penjelasan salafush-shalih-kewajiban-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-mene...
Penjelasan salafush-shalih-kewajiban-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-mene...Penjelasan salafush-shalih-kewajiban-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-mene...
Penjelasan salafush-shalih-kewajiban-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-mene...Ra Hardianto
 
Keberanian dalam Islam
Keberanian dalam IslamKeberanian dalam Islam
Keberanian dalam IslamIdrus Abidin
 
istiqomahsampai-akhir-hayat.ppt
istiqomahsampai-akhir-hayat.pptistiqomahsampai-akhir-hayat.ppt
istiqomahsampai-akhir-hayat.pptAchmadSofian5
 

Similar to Berani di jalan dakwah (20)

Berani di jalan dakwah
Berani di jalan dakwahBerani di jalan dakwah
Berani di jalan dakwah
 
Berani di jalan dakwah
Berani di jalan dakwahBerani di jalan dakwah
Berani di jalan dakwah
 
PPT Istiqomah dalam praktek sehari sebagai umat muslim.pptx
PPT Istiqomah dalam praktek sehari sebagai umat muslim.pptxPPT Istiqomah dalam praktek sehari sebagai umat muslim.pptx
PPT Istiqomah dalam praktek sehari sebagai umat muslim.pptx
 
Bahtera penyelamat - Fathi Yakan
Bahtera penyelamat - Fathi YakanBahtera penyelamat - Fathi Yakan
Bahtera penyelamat - Fathi Yakan
 
5.6 tabiat agama islam
5.6 tabiat agama islam5.6 tabiat agama islam
5.6 tabiat agama islam
 
Syaksiyyah da’iyah
Syaksiyyah da’iyahSyaksiyyah da’iyah
Syaksiyyah da’iyah
 
syaj'ah umat islam
 syaj'ah umat islam syaj'ah umat islam
syaj'ah umat islam
 
Orang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugiOrang yang beruntung dan rugi
Orang yang beruntung dan rugi
 
Orang mukmin-tercipta-penuh-coba
Orang mukmin-tercipta-penuh-cobaOrang mukmin-tercipta-penuh-coba
Orang mukmin-tercipta-penuh-coba
 
29. 33020210160_Farah Nur Umayah.pdf
29. 33020210160_Farah Nur Umayah.pdf29. 33020210160_Farah Nur Umayah.pdf
29. 33020210160_Farah Nur Umayah.pdf
 
TUGAS KELOMPOK PAI.pptx
TUGAS KELOMPOK PAI.pptxTUGAS KELOMPOK PAI.pptx
TUGAS KELOMPOK PAI.pptx
 
ISTIQOMAH...SAMPAI AKHIR HAYAT
ISTIQOMAH...SAMPAI AKHIR HAYATISTIQOMAH...SAMPAI AKHIR HAYAT
ISTIQOMAH...SAMPAI AKHIR HAYAT
 
Kompilasi khutbah-jumat-1
Kompilasi khutbah-jumat-1Kompilasi khutbah-jumat-1
Kompilasi khutbah-jumat-1
 
Penjelasan salafush-shalih-kewajiban-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-mene...
Penjelasan salafush-shalih-kewajiban-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-mene...Penjelasan salafush-shalih-kewajiban-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-mene...
Penjelasan salafush-shalih-kewajiban-mengikuti-jejak-salafush-shalih-dan-mene...
 
Tawadhu' (rendah hati) 01
Tawadhu' (rendah hati) 01Tawadhu' (rendah hati) 01
Tawadhu' (rendah hati) 01
 
Keberanian dalam Islam
Keberanian dalam IslamKeberanian dalam Islam
Keberanian dalam Islam
 
istiqomahsampai-akhir-hayat.ppt
istiqomahsampai-akhir-hayat.pptistiqomahsampai-akhir-hayat.ppt
istiqomahsampai-akhir-hayat.ppt
 
23 karakter munafik
23 karakter munafik23 karakter munafik
23 karakter munafik
 
Tawadhu' (rendah hati)
Tawadhu' (rendah hati)Tawadhu' (rendah hati)
Tawadhu' (rendah hati)
 
UAS AL HADIS. AHMAD DANI SINAGA. SM I KPI-B. FDK UINSU 2020
UAS AL HADIS. AHMAD DANI SINAGA. SM I KPI-B. FDK UINSU 2020UAS AL HADIS. AHMAD DANI SINAGA. SM I KPI-B. FDK UINSU 2020
UAS AL HADIS. AHMAD DANI SINAGA. SM I KPI-B. FDK UINSU 2020
 

More from Muhsin Hariyanto

Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahMuhsin Hariyanto
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Muhsin Hariyanto
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanMuhsin Hariyanto
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMuhsin Hariyanto
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Muhsin Hariyanto
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabulMuhsin Hariyanto
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamMuhsin Hariyanto
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifMuhsin Hariyanto
 

More from Muhsin Hariyanto (20)

Khutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 hKhutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 h
 
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
 
Etika dalam berdoa
Etika dalam berdoaEtika dalam berdoa
Etika dalam berdoa
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul
 
Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)
 
Strategi dakwah
Strategi dakwahStrategi dakwah
Strategi dakwah
 
Sukses karena kerja keras
Sukses karena kerja kerasSukses karena kerja keras
Sukses karena kerja keras
 
Opini dul
Opini   dulOpini   dul
Opini dul
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayam
 
Tentang diri saya
Tentang diri sayaTentang diri saya
Tentang diri saya
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
 
Ketika kita gagal
Ketika kita gagalKetika kita gagal
Ketika kita gagal
 
Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!
 
Gatotkaca winisuda
Gatotkaca winisudaGatotkaca winisuda
Gatotkaca winisuda
 

Berani di jalan dakwah

  • 1. Tafsir QS al-Mâidah/5: 54 “Berani Di Jalan Dakwah” Teks Ayat al-Quran يَوْا أَوْيُّههَوْا الَّهذِقين َوْ آمَوْنُ بِقَوا مَوْن يَوْرْمٍتَوْدَّه مِقنكُ بِقَمْمٍ عَوْن دِقينِقهِق فَوْسَوْوْمٍفَوْ يَوْققأْمٍتِقي اللَّهُ بِقَقق بِققَوْققوْمٍمٍ ي يُ بِقَحِقبُّههُ بِقَمْمٍ ونَوْيُ بِقَحِقبُّهونَوْهُ بِقَ أَوْذِقلَّهةٍ ي عَوْلَوْى الْمٍمُ بِقَؤْمٍمِقنِقينن َوْ أَوْعِقزَّهةٍ ي عَوْلَوْى الْمٍكَوْا فِقرِقين َوْ يُ بِقَجَوْا هِقدُ بِقَوننَوْ فِقي سَوْبِقينلِق اللَّهِق ونَوْلَوْ يَوْخَوْا فُ بِقَونَوْ لَوْوْمٍمَوْققةَوْ لَوْئِقققمٍۚ ي ذَوْلِقققكَوْ فَوْضْمٍققلُ بِقَ اللَّهِققق يُ بِقَققؤْمٍتِقينهِق مَوْققن يَوْشَوْا ءُۚ بِقَ ونَوْاللَّهُ بِقَ ونَوْاسِقعٌ عَوْلِقينمٌ “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Mâidah/5: 54) Tafsîr al-Mufradât أَوْذِقلَّهةٍ ي : Sikap lemah-lembut, penuh kasih sayang yang ditunjukkan dengan perhatian dan solidaritas yang bermuara pada kokohnya ukhuwwah antar-mukmin. أَوْعِقزَّهةٍ ي : Sikap keras, lugas dan tegas dan tanpa kompromi, yang harus dipilih karena sikap orang-orang kafir yang – dengan sengaja – menciptakan permusuhan dan telah terbukti memberikan dampak negatif bagi keutuhan persaudaraan orang-orang yang beriman. لَوْوْمٍمَوْققققققةَوْ لَوْئِقمٍ ي : Celaan setiap orang yang – dengan sengaja – mencela orang-orang yang beriman, ketika orang-orang yang beriman tengah berjihad di jalan Allah. Penjelasan Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan demi kesulitan, sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah dalam QS al- Balad/90: 4, لَوْقَوْدْمٍ خَوْلَوْقْمٍنَوْا الِقْمٍنسَوْا نَوْ فِقي كَوْبَوْدٍ ي 1
  • 2. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” Sehingga, kesulitan adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan. Itu realita perjalanan dunia ini. Kesulitan menjadi risiko hidup. Tak seorang pun yang lepas dari kenyataan itu. Namun yang acapkali terjadi adalah takut terhadap risiko yang bakal muncul lantaran kekerdilan jiwa untuk menghadapinya. Lalu timbullah ketakutan-ketakutan. Rasa ketakutan ini cuma menggiring seseorang menjadi pengecut. Dan akhirnya lari dari kenyataan. Sifat pengecut dipandang sebagai sifat tercela yang tidak boleh dimiliki orang-orang yang beriman. Karena pengecut artinya ia tidak mau menanggung dan menghadapi risiko yang memang sudah menjadi konsekuensinya. Perilaku ini merupakan perilaku orang-orang yang setengah hati dalam keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus bersusah payah menghadapi masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi penghalang untuk maju dan pemberat langkah kesuksesan. Saat ini dunia dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki sifat pengecut. Sebuah hadits Nabi s.a.w. memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan dan santapan empuk musuh-musuh Islam karena sudah mengidap penyakit wahn, yakni cinta dunia dan takut mati. Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya yakni kaum kafir, musyrikin dan munafikin. Islam memandang hina orang yang pengecut. Baik pengecut untuk memertahankan hidup sehingga gampang putus asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan dari komunitasnya. Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang. Atau pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian menjerumuskan pelakunya pada sikap yang ‘plin-plan’ tanpa prinsip. Rasulullah s.a.w. bersabda, « لَوْ تَوْكُ بِقَونُ بِقَققوا إِقمَّهعَوْققةً ت تَوْقُ بِقَولُ بِقَققونَوْ إِقنْمٍ أَوْحْمٍسَوْققن َوْ النَّهققا سُ بِقَ أَوْحْمٍسَوْققنَّها ونَوْإِقنْمٍ ظَوْلَوْمُ بِقَققوا ظَوْلَوْمْمٍنَوْققا ونَوْلَوْكِقققن ْمٍ ونَوْطِّننُ بِقَققوا أَوْنْمٍفُ بِقَسَوْققكُ بِقَمْمٍ إِقنْمٍ أَوْحْمٍسَوْققن َوْ النَّهققا سُ بِقَ أَوْنْمٍ تُ بِقَحْمٍسِقنُ بِقَوا ونَوْإِقنْمٍ أَوْسَوْا ءُ بِقَونا فَوْلاَوْ تَوْظْمٍلِقمُ بِقَوا ». “Janganlah kamu menjadi orang yang tidak memunyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan tetapi jadilah orang yang punya 2
  • 3. sikap dan keberanian. Jika orang melakukan kebaikan maka aku melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan sikap buruk mereka.” (HR at-Tirmidzi dari Hudzaifah, Sunan at-Tirmidzi, IV/364, hadits no. 2007) Allah SWT selalu menggelorakan semangat kepada orang-orang yang beriman agar ‘mereka’ jangan sampai menjadi penakut atau pengecut. Karena rasa takut akan membawa kepada kegagalan dan kekalahan. Keberanian harus selalu menjadi seruan yang terus berulang-ulang dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman pada Allah SWT mengajarkan menjadi orang-orang yang berani menghadapi beragam risiko dalam hidup ini terlebih lagi, risiko dalam memerjuangkan dakwah ini. Asy-Syajâ’ah atau keberanian merupakan jalan untuk mewujudkan sebuah kemenangan dan sebagai ‘izzah (kemuliaan diri) keimanan dan ‘iffah ( Kesucian diri) keislaman. Tak pernah boleh ada, kata gentar bagi da’i dakwah saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Dari sisi inilah kaum yang beriman berada jauh di atas kebanyakan orang. Karena ‘izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikitpun. ونَوْلَوْ تَوْهِقنُ بِقَوا ونَوْلَوْ تَوْحْمٍزَوْنُ بِقَوا ونَوْأَوْنتُ بِقَمُ بِقَ الَوْْمٍعْمٍلَوْوْمٍنَوْ إِقن كُ بِقَنتُ بِقَم مُّهؤْمٍمِقنِقينن َوْ “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS Āli ‘Imrân/3: 139) Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh Islam adalah keberanian pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan perang dengan suka cita karena pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih kemenangan atau mati syahid di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai kemuliaan sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap dunia. Dengan sikap ini kaum muslimin banyak memeroleh anugerah kemenangan dakwah di berbagai tempat. Orang-orang kafir amat takut terhadap orang-orang yang beriman yang memiliki prinsip ini. Sehingga mereka berupaya agar sifat berani tidak bersemayam dalam diri orang-orang mukmin. Lalu mereka takut-takuti kaum muslimin dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram, ancaman, teror, intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat ini tidak lagi berani memerjuangkan nilai dan norma yang diyakininya. Akhirnya timbullah sikap takut yang luar biasa hingga melemahkan semangat juangnya. 3
  • 4. Oleh karena itu jangan tertipu oleh upaya orang-orang kafir untuk menghilangkan sifat syaja’ah. Sebab syaja’ah merupakan harga diri orang-orang beriman. Lantaran sifat itu sebulan sebelum kedatangan kaum muslimin orang-orang di Babylonia telah lari tunggang langgang mendengar umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid bin Walid r.a. menenangkan masyarakat Romawi agar tidak perlu teramat takut pada kaum muslimin karena kedatangan umat Islam hanya untuk menyerukan Islam dan mengajak mereka menghamba pada Allah SWT semata. Asy-Syajâ’ah (keberanian) menjadi salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah, selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nân (ketenangan) dan at-tafâul (optimisme). Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan senantiasa berani, tenang dan optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya pertolongan Allah. Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang bersikap istiqamah atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di jalan Allah. Bahkan Rasulullah s.a.w. pun menyatakan bahwa turunnya QS Hûd menjadikan beliau ‘beruban’ karena di dalamnya ada ayat (QS Hûd/11: 112) yang memerintahkan untuk beristiqamah, فَوْا سْمٍتَوْقِقمْمٍ كَوْمَوْا أُ بِقَمِقرْمٍتَوْ ونَوْمَوْققن تَوْققا بَوْ مَوْعَوْقكَوْ ونَوْلَوْ تَوْطْمٍغَوْقوْمٍاۚ إِقنَّهقهُ بِقَ بِقمَوْققا تَوْعْمٍمَوْلُ بِقَقونَوْ بَوْصِقينرٌ “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.“ Rasulullah s.a.w. memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Sufyan bin Abdullah ats- Tsaqafi bertanya ‘hal terpenting’ dalam Islam yang ketika sudah dijelaskan, menjadikannya tak perlu bertanya lagi, beliau menjawab, « آمَوْنْمٍتُ بِقَ بِقا للَّهِق فَوْا سْمٍتَوْقِقمْمٍ ». “Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap yang kau imani tersebut).” (HR Muslim, Shahîh Muslim, I/47, hadits no. 168). Di kesempatan lain, Rasulullah s.a.w. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api. 4
  • 5. Keberanian untuk tetap istiqamah walau nyawa ‘merupakan’ taruhannya, tampak jelas pada diri orang-orang beriman di dalam surat QS al-Burûj/85: 4-8 yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh ash-hâbul ukhdûd hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah SWT. Begitu pula Asiyah, isteri Fir’aun dan Masyithah, pelayan Fir’aun, kedua-duanya harus menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiyah di tiang penyiksaannya dan Masyithah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya karena mereka berdua tak sudi menuhankan Fir’aun. Demikian sulitnya untuk memertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk mewujudkan asy-Syajâ’ah sebagai salah satu aspeknya. Tetapi, seperti apa pun sulitnya, ‘kita’ (setiap muslim) “harus pantang menyerah”. Muthâllibatu ad-Da’wah (Tuntutan Dakwah) Dalam mengusung amanah dakwah, slogan ‘Jangan pernah takut, Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati demi kebenaran’ tidak boleh luntur melainkan harus tetap terpatri dalam sanubari da’i dakwah. Melekatnya doktrin itu, membuat da’i dakwah tidak akan lari ke belakang demi kemenangan dakwah ini. Karena asy syaja’ah (keberanian) mengemban amanah umat merupakan tuntutan dakwah. Manakala Allah SWT berbicara tentang penyelamatan dakwah, maka aspek asy syaja’ah ini yang selalu disebut-sebut oleh-Nya. Sebagaimana dalam QS at-Taubah/9: 40, إِقلَّه تَوْنصُ بِقَرُ بِقَونهُ بِقَ فَوْقَوْدْمٍ نَوْصَوْرَوْهُ بِقَ اللَّهُ بِقَ إِقذْمٍ أَوْخْمٍرَوْجَوْهُ بِقَ الَّهذِقين َوْ كَوْفَوْققرُ بِقَونا ثَوْققا نِقي َوْ اثْمٍنَوْينْمٍققن ِق إِقذْمٍ هُ بِقَمَوْا فِقي الْمٍغَوْا رِق إِقذْمٍ يَوْقُ بِقَولُ بِقَ لِقصَوْا حِقبِقهِق لَوْ تَوْحْمٍزَوْنْمٍ إِقنَّه اللَّهَوْ مَوْعَوْنَوْققا فَوْققأَوْنزَوْلَوْ اللَّهُ بِقَقق سَوْكِقيننَوْتَوْهُ بِقَ عَوْلَوْينْمٍهِق ونَوْأَوْيَّهققدَوْهُ بِقَ بِقجُ بِقَنُ بِقَققودٍ ي لَّهقمْمٍ تَوْرَوْونْمٍهَوْققا ونَوْجَوْعَوْقلَوْ كَوْلِقمَوْققةَوْ الَّهققذِقين َوْ كَوْفَوْققرُ بِقَونا السُّهٰفى ْۗمٍلَوْ ونَوْكَوْلِقمَوْةُ بِقَ اللَّهِق هِقي َوْ الْمٍعُ بِقَلْمٍينَوْا ونَوْاللَّهُ بِقَ عَوْزِقيزٌ حَوْكِقينمٌ ‘Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ 5
  • 6. Di samping itu sikap syaja’ah para da’i menjadi sebab dakwah berkesimbungan di muka bumi ini. Dengannya dakwah ini berjalan terus sekalipun harus melewati bukit terjal ataupun tembok besar. Berisiko berat ataupun ringan. Dengan keberanian para pejuang dakwah, ajaran Islam ini merambah ke berbagai pelosok dunia bahkan sampai pada diri kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan rintangan yang dihadapi sangat berat. Tantangan alam, geografis, budaya, maupun rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa keberanian mereka, perjalanan dakwah ini akan tertatih-tatih lantaran ketakutan yang melemahkan gerak dakwah ini. Da’âimu asy-Syajâ’ah (Pilar Keberanian) Karena sikap asy-syajâ’ah merupakan tuntutan dakwah maka para da’i mesti selalu memompa dan menopang keberaniannya agar kata takut dan pengecut tidak lagi melekat dalam dirinya. Takut dan pengecut tidak boleh ada dalam memerjuangkan dakwah. Adapun pilar-pilar yang menghantarkan diri seorang da’i memiliki sifat asy-syaja’ah adalah hal-hal berikut ini: 1. Al-Îmân bi al-Ghaib (Iman Dengan Yang Ghaib) Penopang yang amat kokoh untuk menguatkan sikap asy-syaja’ah dalam diri da’i dakwah adalah memerkuat keyakinannya akan hal-hal yang ghaib. Seperti yakin akan pertolongan Allah SWT Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang senantiasa membantu orang yang memerjuangkan agama Allah SWT Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang ditentukan oleh amaliyah kita di dunia ini, khususnya amal-amal dakwah. Keyakinan pada hal yang ghaib memunculkan sikap berani, tak takut terhadap apa yang terjadi. Karena semua yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan dalam kehidupan seseorang. Ia merupakan takdir yang telah ditetapkan. Sebagaimana pengalaman nyata yang menarik dari seorang da’i dakwah yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala di atas kepalanya ditodongkan pistol. Lalu sang algojo mengatakan, ‘Mana Tuhanmu, Apakah ia bisa menyelamatkan kamu kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan hancurlah batok kepalamu berkeping-keping. Jawab sang aktivis, Bila Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu meledak maka aku tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun Tuhanku tidak menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati’. Jawaban ini sebagai jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah SWT 6
  • 7. Keyakinan semacam ini adalah buah dari tarbiyah yag telah menanamkan rasa takut hanya pada Allah SWT dan senantiasa bergantung pada-Nya. Sehingga da’i memiliki cantolan yang teramat kuat. Lantaran pegangan dirinya kepada yang Maha Kuat ia tidak pernah mundur menghadapi cobaan dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses tarbiyah yang panjang, membina aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya pada kekuatan yang Ghaib. Rasulullah s.a.w. telah mengingatkan Abu Bakar r.a. akan keyakinan pada Rabbul ‘Izzati. Di saat orang-orang kafir sudah berada di Gua Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar hingga mencemaskan, “Ya Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti akan melihat kita.” Nabi s.a.w. menenangkannya dengan menyatakan, “Duhai Abu Bakar, apakah kamu mengira kita di sini cuma berdua. Tidak, Abu Bakar. Kita di sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.” Sebagaimana yang hadits berikut, قُلْتُ لِلنّبِيّ صلى ا عليه وسلم وَ أَنَا فِي الْغَارِ لَوْ أَنّ أَحَدَهُمْ نَظَرَ تَحْتَ قَدَمَيْهِ لبَْصَرَنَا فَقَالَ مَا .ظَنّكَ ي ا أَبَا بَكْرٍ بِاثْنَيْنِ اللّهُ ثَالِثُهُمَا Aku berkata kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam saat berada di gua: Seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah kedua kakinya pasti dia melihat kita. Maka beliau berkata: Tidakkah engkau beranggapan wahai Abu Bakr, bahwa jika ada dua orang, maka Allah yang ketiganya?” (HR al-Bukhari dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Shahîh al- Bukhâriy, V/4, hadits no. 3653) Karenanya jiwa para da’i tidak boleh luput untuk selalu berinteraksi pada Allah SWT agar dikuatkan diri dan jiwa dalam memerjuangkan dakwah. Karena kemenangan para pejuang dakwah bukan ditentukan oleh kekuatan material melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa. 2. Al-Mujâhadah ‘Alâ al-Khauf (Menaklukkan Rasa Takut) Rasa takut sebagai lawan dari asy syaja’ah memang amat manusiawi. Kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap insan. Seperti takut terbakar, tenggelam, 7
  • 8. terjatuh di mangsa binatang buas dan lain sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i yakni takut kepada Allah SWT Sehingga setiap da’i dakwah sepatutnya menaklukkan rasa takut thabi’inya dengan mengkedepankan rasa takut kepada Allah, Rabbbul ‘Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan dalam memerjuangkan dakwah, tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya. Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat gamblang pada kisah Nabi Musa a.s., Ibrahim a.s., dan Muhammad s.a.w. Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme, dan keberanian Nabi Musa a.s. yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut merah dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelamkan Fir’aun beserta tentaranya. Kisah yang tak kalah mencengangkannya terlihat pada peristiwa pembakaran Nabi Ibrahim a.s. Rasa takut thabi’i (instingtif) terhadap api dan terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’I, yakni takut kepada Allah saja. Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya kepada api agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim a.s. Selayaknya setiap da’i dakwah selalu menundukkan rasa takut insaniyahnya dengan mendominasikan rasa takut syar’inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam dirinya hanya takut pada Allah semata. Dan tidak pernah gentar akan kekuatan-kekuatan selain Allah SWT 3. Taurîts al-Khairiyyah (Mewariskan Hal Yang Terbaik) Penopang lainnya adalah dengan memertimbangkan keadaan generasi berikutnya harus lebih baik dari sebelumnya. Maka warisan yang ditinggalkan untuk mereka adalah warisan-warisan kemuliaan. Sehingga mereka mengikuti jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia. Bila menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani, maka wariskan sifat berani pada mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut maka jangan harap generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik. Abul ‘Ala al-Maududi menegaskan bahwa untuk mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka 8
  • 9. jangan lakukan sifat-sifat rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan akan mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula. Oleh karena itu Allah SWT telah mengingatkan agar memerhatikan nasib generasi berikutnya dengan mewariskan nilai-nilai kebaikan untuk menjadi dhawabith khairiyah bagi mereka, وَيْلْ فيَيْخْ فشَيْ الَّةًذِمْينَيْ لَيْههواْ ف تَيْرَيْكُوههواا مِمْهنْ ف خَيْلْ ففِمْهِمْهمْ ف ذُورِّيَّيَّةًهةًا ضِمْههعَيْاففًااف خَيْههاففُوواا عَيْلَيْيْ فهِمْهمْ ف فَيْلْ فيَيْتَّةًقُوواا اللَّةًَيْ وَيْلْ فيَيْقُووالُوواا قَيْواْ فلًا سَيْدِمْيدًاا “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS an Nisâ’/4: 9) Adalah hal yang patut dipikirkan para da’i dakwah untuk selalu menanamkan tekad dan kemauan agar melahirkan generasi yang terbaik dengan selalu berpegang pada sikap-sikap keteladanan yang di antaranya sikap asy syaja’ah. 4. Ash-Shabru ‘Alâ ath-Thâ’ah (Bersabar Terhadap Ketaatan) Keberanian akan terus ada pada diri da’i bila mereka bersabar. Sabar terhadap peristiwa yang mereka alami. Karena kesabaran itu merupakan senjata yang ampuh yang memberikan ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun. Dengan kesabaran kita pun dapat membandingkan kejadian yang dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang kita rasakan. Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang yang kita alami saat ini. Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus maju melangkah di atas jalan dakwah dengan gagah berani. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. saat menasihati Khabbab bin al-Arts yang berkeluh kesah atas beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan kesabaran dengan berkata, “Ah… cobaan ini belum seberapa dibanding yang pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu.“ Sebagaimana hadits berikut, 9
  • 10. شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اِ صلى ا عليه وسلم وَهْوَ مُتَوَسّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلّ الْكَعْبَةِ قُلْنَا لَهُ أَلَ تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَل تَدْعُو اللّهَ لَنَا قَالَ كَانَ الرّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الرَْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ ، أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللّهِ لَيُتِمّنّ هَذَا المَْرَ حَتّى يَسِيرَ الرّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ ل يَخَافُ إِلّ .اللّهَ ، أَوِ الذّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنّكُمْ تَسْتَعْجِلُون “Kami pernah mengeluhkan penderitaan kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wa sallam yang ketika itu beliau beralaskan kain panjangnya di naungan Ka'bah. Maka kami mengadu; 'Tidakkah engkau meminta pertolongan untuk kami? Tidakkah engkau berdoa untuk kami? ' Maka beliau bersabda; Sungguh sebelum kalian ada orang yang diringkus kemudian digalikan lubang baginya dan ia ditimbun di sana, lantas didatangkan gergaji dan diletakkan di kepalanya, sehingga kepalanya terbelah menjadi dua, dan ada yang disisir dengan sisir besi sehingga memisahkan tulang dan dagingnya namun semua siksaan itu tidak memalingkannya dari agamanya, demi Allah, perkara ini akan sempurna sehingga seorang pengendara bisa berjalan dari Shan'a hingga Hadramaut, dan ia tidak khawatir selain kepada Allah dan srigala yang akan menerkam kambingnya, namun kalian ini orang yang suka tergesa-gesa. (HR al-Bukhari dari Khabbab bin al-Arts, Shahîh al-Bukhâriy, IV/244, hadits no. 3612) 10
  • 11. Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak boleh dalam keadaan defisit. Kesabaran mesti dalam kondisi yang selalu cukup dan bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi tameng dalam menyelamatkan diri atas cobaan-cobaan berat dakwah ini. Allah SWT pun mengingatkan agar senantiasa bersabar dan menguatkan kesabaran, ينَلّاب أَلّينُّههَلّاب الَّكذِطيننَلّ آمَلّنُمْ واا اصْ تبِطرُمْ وا وَلّصَلّاببِطرُمْ وا وَلّرَلّابِططُمْ واا وَلّاتَّكقُمْ ككواا اللَّكَلّكك لَلّعَلّلَّككُمْ ككمْ ت تُمْ فْ تلِطحُمْ وانَلّ “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung”. (QS Āli ‘Imrân/3: 200) 5. Al-Ajru min Allâh (Berharap Balasan Dari Allah) Seorang da’i juga bisa mengusung dakwah ini dengan berani karena berharap balasan yang besar dari Allah SWT Balasan yang dijanjikan ini meminimalkan perasaan takut akan ancaman dalam memerjuangkan dakwah. Rasa takut akan segera sirna bila balasan yang dijanjikan jauh lebih besar dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan yang pasti diberikan itu dapat memompa semangat juang da’i untuk terus berada di jalan dakwah dan memerjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Maka balasan Allah SWT itu seyogianya tervisualisasi dengan baik pada diri da’i dakwah. Seakan-akan semua balasan itu ada di pelupuk mata, إِطنَّك الَّكذِطيننَلّ قَلّككابلُمْ واا رَلّبُّهنَلّككاب اللَّكُمْ كك ثُمْ ككمَّك اسْ تككتَلّقَلّابمُمْ واا تَلّتَلّنَلّككزَّكلُمْ عَلّلَلّيْ تهِطككمُمْ الْ تمَلّلَلّئِطكَلّككةُمْ أَلّلَّك تَلّخَلّككابفُمْ واا وَلّلَلّ تَلّحْ تزَلّنُمْ ككواا وَلّأَلّبْ تشِطككرُمْ وا بِطابلْ تجَلّنَّكككةِط الَّكتِطككي كُمْ نتُمْ ككمْ ت تُمْ واعَلّككدُمْ ونَلّ ﴿ ٣٠ ﴾ نَلّحْ تنُمْ أَلّوْ تلِطيَلّابؤُمْ كُمْ مْ ت فِطي الْ تحَلّيَلّابةِط الدُّهنْ تيَلّاب وَلّفِطككي الْ تخِطككرَلّةِط وَلّلَلّكُمْ ككمْ ت فِطيهَلّككاب مَلّككاب تَلّشْ تتَلّهِطي أَلّنفُمْ سُمْ كُمْ مْ ت وَلّلَلّكُمْ مْ ت فِطيهَلّاب مَلّاب تَلّدَّكعُمْ وانَلّ ﴿ ٣١ ﴾ نُمْ زُمْ لًا مّنْنْ ت غَلّفُمْ وارٍ رَّكحِطيمٍ ﴿ ٣٢﴾ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memeroleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memeroleh apa yang kamu inginkan dan memeroleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai 11
  • 12. hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Fushshilat/41: 30-32) Bila balasan yang dijanjikan Allah SWT senantiasa terngiang-ngiang dalam benak da’i, maka tidak ada alasan untuk takut dan pengecut. Rasulullah s.a.w. mengingatkan Abdullah bin Harits yang mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam. Namun ia perlu mengajukan dua syarat yang memang terjadi pada dirinya. Pertama, tidak dibebankan infak karena dia orang yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan tidak pula diwajibkan berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab, “Wahai Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk surga?” Maka Abdullah menandaskan, “Kalau begitu, ya Rasulullah, aku akan berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah SWT” Begitulah akhirnya Abdullah bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah tanpa rasa takut dan lemah. As-Syajâ’ah atau keberanian tentu saja berbeda dengan bersikap ‘nekat’, “ngawur” atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy-Syajâ’ah adalah keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqân). Bukan keberanian yang tanpa perhitungan yang melahirkan kenekatan, namun juga bukan terlalu perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan. Perwujudan sikap asy-syajâ’ah dalam kehidupan ini amatlah banyak terlebih dalam memerjuangkan dakwah. Implementasinya bisa bermacam-macam. Di antaranya a. Quwwah al-Ihtimâl (Memiliki Daya Tahan Yang Besar) Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah. Begitu banyak orang yang tidak memiliki daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut, menyerah atau berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan sulit dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri dari persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Apalagi dalam perjuangan dakwah untuk mencapai kemenangannya. 12
  • 13. Daya tahan yang besar terhadap tekanan memberikan kemampuan menanggung beban-beban berat sendirian tanpa menyertakan yang lainnya. Malah ia ingin saudara-saudaranya tidak boleh mengalami kesulitan lantaran dirinya. Bila perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain. Begitulah kekuatan daya tahan da’i dakwah yang patriotik. Khubaib bin ‘Adiy pernah ditawari Abu Sufyan ketika akan dieksekusi mati. “Wahai Hubaib, bagaimana kalau dirimu digantikan oleh Muhammad yang akan menduduki kursi pesakitan itu.” Khubaib menjawab, “Demi Allah yang diriku dalam genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad menggantikan diriku begini. Kalau sekiranya aku tahu bahwa Muhammad sekarang ini tertusuk duri, maka aku tidak bisa tenang dan aku beserta keluargaku akan menggantikannya menderita karena tertusuk duri.” Inilah daya tahan yang kuat, berani menanggung beban risiko sendirian dan tidak ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya. b. Ash-Sharâhah fî al-Haq (Berterus Terang pada Kebenaran) Keterusterangan dalam kebenaran sebagai indikasi keberanian. Sekalipun hal itu akan mengundang ekses padanya. Terkadang ada yang tidak bisa menerimanya. Ada juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya. Bahkan ada pula yang tidak siap mendengarnya lalu membunuhnya. Mengatakan yang benar dengan terus terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi dampak yang bakal muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi s.a.w, قُمْ لِط الْ تحَلّقَّك، و وَلّإِطنْ ت كَلّابنَلّ مُمْ رًّاا “Katakan yang benar meskipun itu pahit” (HR al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, VII/21, hadits no. 4592 dan HR Ibnu Hibban, Shahîh ibn Hibbân, II/76, hadits no. 361, dari Abu Dzar) Dan berkata benar di hadapan penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas saja dibutuhkan keberanian menanggung segala risiko bila kita senantiasa berterus terang dalam kebenaran. Tidak sedikit orang tergelincir dalam bersikap lalu ia berdusta atau diam karena khawatir akan risiko-risikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal sangat mungkin penguasa itu mendapatkan hidayah bila seseorang 13
  • 14. menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya. Ada seorang penguasa zhalim menginsafi dirinya. Sang penguasa menangis atas nasihat yang diucapkan seorang ulama yang berani memaparkan kebenaran padanya. Sikap berani menyampaikan kebenaran yang mengandung risiko berat menjadi harga diri seorang da’i dalam memerjuangkan dakwah. Para musuh tidak akan menganggap miring pada orang-orang yang mempunyai sikap ini. Malah mungkin sangat dipandang. Paling tidak sang penguasa akan gentar menghadapinya. c. Kitmân as Sirr (Kemampuan Menjaga Rahasia) Kemampuan menyimpan rahasia merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab. Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi musuh-musuh Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia dengan serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah tanggungan yang harus disimpan dengan baik meski berisiko tinggi. Ia bukanlah sesuatu yang diumbar-umbar kepada orang yang tidak berhak. Apalagi terhadap kerahasiaan dakwah. Karena terbongkarnya sebuah kerahasiaan akan berakibat fatal. Sangat banyak operasional dakwah berantakan karena tersiarnya rahasia dakwah. Menyimpan rahasia bukanlah hal yang gampang. Ia merupakan pekerjaan berat yang tidak sembarang orang mampu melakukannya. Hanya orang-orang yang berani dan terampil menyimpan rahasia sajalah yang dapat melakukannya. Karenanya sahabat Rasulullah s.a.w. yang memiliki kemampuan ini tidaklah banyak. Mereka adalah sahabat pilihan Nabi s.a.w. untuk bisa menjaganya. Ada pepatah yang menyatakan bahwa selamatnya manusia tergantung dalam menjaga lidahnya. Tentu juga termasuk di dalamnya adalah menjaga kerahasiaan. Ini sangat ditentukan oleh keberanian menanggung beban akibat dari rahasia yang dipikulnya. Huzaifah ibn al-Yaman r.a. seorang sahabat Nabi s.a.w. yang dikenal dengan sebutan Shâhib as-Sirr (Penyimpan Rahasia). Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia berani menghadapi konsekuensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi yang membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang pernah ia ungkapkan pada Rasulullah s.a.w. “Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati, akantetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.” 14
  • 15. d. Al-‘Itirâf bi al-Khatha’ (Mengakui Kesalahan) Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak mau mengakui kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”. Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah adalah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan, dan bertanggung jawab. Memang mengakui kesalahan tidaklah mudah. Kadang ada rasa malu, perasaan takut dikucilkan, perasaan cemas akan pandangan sinis orang lain karena kesalahannya. Padahal mengakui kesalahan diri sendiri sangat menguntungkan. Sebab ia lantas bisa melihat kesalahan dirinya. Ia pun tidak menyalahkan orang lain. Ia juga akan cepat memerbaiki dirinya. Dan berani mengakui kesalahannya akan membuka pintu keinsafan selebar-lebarnya. Allah SWT memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam a.s. ketika melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan yang menggodanya. Akan tetapi ia lebih memberatkan dirinya sehingga terbukalah pintu ampunan untuknya. “Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (Al ‘Araf: 23) e. Al-Inshâf min ad-Dzât (Bersikap Objektif Pada Diri Sendiri) Ada orang yang cenderung bersikap over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap under estimasi terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak objektif. Orang yang berani akan bersikap objektif, dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk. Objektif dalam memandang diri sendiri akan membuka kesempatan pada orang lain untuk ikut berperan serta. Malah ia akan sangat berhajat pada keberadaan orang lain. Karena ia tahu benar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun tidak akan meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak secara optimal dari potensi miliknya. 15
  • 16. Umar bin Abdul Aziz saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya. “Aku bukanlah orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian akan tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu bantulah diriku dalam menunaikan amanah ini.” Begitulah layaknya orang yang berani memandang kemampuan dirinya secara objektif. f. Milk an-Nafs ‘inda al-Ghadhab (Menahan Nafsu pada Saat Marah) Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa lakukan itu dipandang sebagai orang kuat karena kemampuannya menahan amarah. Amarah dapat menggelincirkan manusia pada sikap serampangan. Ia akan kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang keliru. Malah ia tak akan pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya. Oleh karena itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari amarah. Sampai-sampai Rasulullah s.a.w. mengajarkan untuk tidak amarah berulang-ulang. Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah dari setan. Setan diciptakan dari api. Dan api bisa mati ketika disiram dengan air. Dan api bisa mati ketika disiram dengan air. Siramlah ‘api kemarahan’ dengan ‘air kesabaran’. Khâtimah Keberanian adalah kelaziman dalam dakwah dan menjadi sikap yang melekat dalam diri Sang ‘Dâ’i’. Ia adalah identitas pengemban amanah umat untuk bisa menunaikan tugas berat yang diusungnya, dalam ruang dan waktu yang tak terbatas. Ingatlah selalu senandung as-Sâbiqûn al-Awwalûn min an-Du’ât (Para Dai Senior) yang – dengan mantapnya – telah menggumam: “Di dalam hatiku selalu terdengar suara Nabi s.a.w. yang memerintahkan, ‘berjihadlah, berjuanglah dan lelahkanlah dirimu.’ Dan berseru, ‘menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah kamu selamanya orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah karena kita punya hari esok dan harapan’.” Wallâhu A’lamu bish-Shawâb. 16
  • 17. (Dikutip dan diselaraskan dari http://www.dakwatuna.com/2008/05/673/berani-di-jalan-dakwah/) 17