Argumen amaliyah nahdhiyyah di bulan ramadhanaswajanu
Secara umum, kita dapat mengetahui dengan pasti dan yakin, bahwasanya peristiwa-peristiwa dan kasus-kasus dalam bidang ibadah atau muamalah, tidak terhitung dan tidak terbatas. Kita juga tahu secara pasti bahwa tidak semua kasus ada teksnya bahkan ini tak terpikirkan. Ketika teks-teks itu merupakan sesuatu yang terbatas, sementara fenomena sosial tidak terbatas, maka sesuatu yang tidak terbatas itu tidak bisa tercakup semua oleh yang terbatas. Tentu sudah menjadi keharusan untuk melakukan ijtihad dan qiyas. Sehingga dapat dipastikan akan ada ijtihad dalam setiap persoalan (dari para ahlinya). (Al-Milal wan Nihal, juz I hal 164)
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo'a, "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang yang wafat mendahului kami dengan membawa iman. Dan janganlah Engkau memberikan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al-Hasyr: 10)
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah SWT dengan menyebut nama seorang Nabi atau Wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.” (Al-Hafizh Al-‘Abdari, Al-Syarh Al-Qiyam, Hal.378)
TAWAKKAL adalah sebuah sikap yang – seharusnya – dipilih oleh setiap muslim, di mana pun, kapan pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun. Tetapi, ternyata untuk memilihnya tidak semudah yang kita katakan. Selalu saja ada kendala yang menjadikan diri kita tak mampu bersikap tawakkal. Bahkan, karena kesalahfahaman kita terhadap makna tawakkal, bukan tidak mungkin ‘kita’ akan terjebak pada sikap yang salah.
Argumen amaliyah nahdhiyyah di bulan ramadhanaswajanu
Secara umum, kita dapat mengetahui dengan pasti dan yakin, bahwasanya peristiwa-peristiwa dan kasus-kasus dalam bidang ibadah atau muamalah, tidak terhitung dan tidak terbatas. Kita juga tahu secara pasti bahwa tidak semua kasus ada teksnya bahkan ini tak terpikirkan. Ketika teks-teks itu merupakan sesuatu yang terbatas, sementara fenomena sosial tidak terbatas, maka sesuatu yang tidak terbatas itu tidak bisa tercakup semua oleh yang terbatas. Tentu sudah menjadi keharusan untuk melakukan ijtihad dan qiyas. Sehingga dapat dipastikan akan ada ijtihad dalam setiap persoalan (dari para ahlinya). (Al-Milal wan Nihal, juz I hal 164)
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo'a, "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan orang-orang yang wafat mendahului kami dengan membawa iman. Dan janganlah Engkau memberikan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al-Hasyr: 10)
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah SWT dengan menyebut nama seorang Nabi atau Wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.” (Al-Hafizh Al-‘Abdari, Al-Syarh Al-Qiyam, Hal.378)
TAWAKKAL adalah sebuah sikap yang – seharusnya – dipilih oleh setiap muslim, di mana pun, kapan pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun. Tetapi, ternyata untuk memilihnya tidak semudah yang kita katakan. Selalu saja ada kendala yang menjadikan diri kita tak mampu bersikap tawakkal. Bahkan, karena kesalahfahaman kita terhadap makna tawakkal, bukan tidak mungkin ‘kita’ akan terjebak pada sikap yang salah.
Bahagia dalam kehidupan dunia adalah dambaan setiap insan. Jika dia orang yang beriman, maka dia juga berharap bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Namun, tidak semua orang yang berkeinginan baik bisa meraih impiannya. Salah satu dari sekian banyak orang yang bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat adalah al-Mukhbitûn. Siapakah mereka? Apakah kriteria-kriteria mereka?
Shalat berjamah sangat penting bagi kaum muslimin. Dengan cara hikmah dan bijaksana, sebagai mubaligh, kita ajak mereka kembali masjid. Bahasa yang santun, tanpa menggurui, adalalah sasaran dari khutbah ini.
Rujukan :
- Tafsir at-Tabaari, Imam at-Tabaari
- Shahih Muslim, Imam Muslim
- Tarikhul khuafa
- Muktarul hadisun nabawiyah, Sayyid Ahmad Al-Hasimy
- Kitab fada'il 'amal, Maulana Zakaria al-Khandahlawi (terj.)
- dan Muntakhab ahadis, Maulana Yusuf al-Khandahlawi
Mengedepankan wacana tentang Edmund Husserl tidak boleh tidak harus menyentuh core ideanya tentang filsafat, yaitu “Fenomenologi”, sebab dialah yang – paling tidak hingga saat ini – dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Bertens, dalam salah satu tulisannya, menyatakan bahwa selaku pendiri aliran fenomenologi, Husserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini secara amat mendalam.[1] Sebegitu mendalamnya pengaruh pemikiran Edmund Husserl terhadap pemikiran filsafat abad ini, Delfgaauw, seorang filosof Belanda, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa filsafat jaman kita (ini) dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).[2]
Ibrahim ibn Adham, ketika menjawab pertanyaan penduduk Basrah, “kenapa doa-doa kami tak pernah dikabulkan oleh Allah?” Beliau menyatakan bahwa ada sepuluh persoalan yang menjadi penyebab tidak terkabulnya serangkain doa, salah satu di antaranya yang terpenting adalah: “banyak memakan nikmat Tuhanmu, akan tetapi tidak mensyukurinya”.
Pada bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari ‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ menyelamatkan Nabi Musa ’alaihis salâm dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Bersyukur atas karunia Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ kepadanya, Nabi Musa ’alaihis salâm akhirnya berpuasa pada hari ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi kita (Muhammad) shallallâhu ‘alaihi wa sallam, melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah beliau bersabda, فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ (Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian [kaum Yahudi]).
Pesan moral dari kisah ashhabul kahfi.pdf (muhsin hariyanto)Muhsin Hariyanto
Kisah-kisah dalam al-Quran, dalam pandangan para mufassir, selalu mengisyaratkan ‘ibrah yang sarat makna. Setiap pembaca kisah ini, bahkan mungkin akan menangkap isyarat yang berbeda-beda, karena kemampuan mereka yang tidak sama, atau karena mereka memiliki sudut-pandang yang berbeda terhadap kisah-kisah itu. Tak terkecuali terhadap kisah Ash-hâbul Kahfi. Kisah ini, menurut para mufassir sangat sarat dengan pesan moral. Dan siapa pun yang bisa membaca isyarat pesan moral di dalamnya akan mampu bercerita kembali dengan berbagai perspektif.
Bacalah al quran tetapi jangan sampai mengganggu orang lain
1. 1
PENGAJIAN SELASA PETANG BA’DA MAGHRIB
KAJIAN HADITS TEMATIK
MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA
Bacalah Al-Quran,
Tetapi Jangan Sampai Mengganggu Yang Lain
ADA sebuah fenomena yang sering terjadi di sebagian masjid di negeri
kita tercinta (Indonesia), yaitu: “adanya sebagian pengurus masjid yang
memutar ‘kaset mengaji’ atau ‘kaset shalawatan’, sehingga mengganggu orang
lain yang sedang shalat atau membaca al-Qur’an atau orang yang sedang
berdzikir. Ada lagi di sebagian tempat yang membaca al-Qur’an melalui
lisannya dengan suara keras, sedang orang-orang yang ada di sampingnya
dari kalangan orang-orang yang sedang shalat, berdzikir, atau majelis ta’lim
yang sedang berlangsung. Mereka semua merasa terganggu. Sementara yang
membaca al-Qur’an dengan suara keras tadi santai saja dan tak merasa
bersalah dengan sikapnya itu.”
Fenomena yang seperti ini amat perlu kita kaji hukumnya agar kita
semua memahaminya.
Pertanyaan utamanya, yang sering ditanyakan oleh para jamaah
masjid: “Apa hukum membaca al-Qur’an di masjid dengan suara yang tinggi
sehingga menyebabkan gangguan bagi orang-orang yang sedang shalat?”
Ada sebagian ulama yang menyatakan, bahwa “Hukum seseorang
membaca al-Qur’an di masjid dengan kondisi yang memberikan gangguan
dengannya bagi yang lain dari orang-orang yang sedang shalat atau mengajar,
atau membaca al-Qur’an; hukum perkara itu adalah haram, karena
terjerumusnya ia ke dalam sesuatu yang dilarang oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi
wa sallam.” Berdasarkan hadits Nabi Shallallâhu alaihi wa sallam.
Diriwayatkan, bahwa suatu saat Nabi Shallallâhu alaihi wa sallam
pernah keluar menemui kerumunan orang, ketika mereka sedang
melaksanakan shalat, sementara suara mereka tinggi (keras) dalam membaca
al-Qur’an.
Berkenaan dengan hal itu, beliau pun bersabda,
َ
ّ
نِإ
َ
فَََ
ِ
ّل َصُم
ْ
الََ ِاج
َ
ن
ُ
يََ
ُ
هّّبَرََْر
ُ
ظ
ْ
نَي
ْ
ل
َ
فَاَمِبََِهيِاج
َ
ن
ُ
يََِهِبََ
َ
لَوََْرَه
ْ َ
َيََْم
ُ
ك ُض
ْ
عَبَ
َ
َ ََعََض
ْ
عَبََِآنْر
ُ
ق
ْ
الِب
2. 2
“Sesungguhnya orang yang sedang shalat bermunajat (berbincang secara lirih) dengan
Rabb -nya. Karenanya, hendaklah ia memerhatikan dengan apa ia munajati Rabb
(Tuhan)-nya dan janganlah sebagian orang di antara kalian mengeraskan suaranya
atas yang lain dalam membaca al-Qur’an.”. (Hadits Riwayat Malik bin Anas dari
Al-Bayadhiy, Al-Muwaththa’, juz I, hal. 80, hadits no. 177)
Hadits ini diriwayatkan juga – dengan redaksi yang berbeda -- oleh An-
Nasâi,
“Sungguh bukanlah [dia] orang yang tengah mengerjakan shalat, kecuali dia
bermunajat (berkomunikasi) dengan Rabb (Tuhan)-nya. Maka janganlah sebagian
orang di antara kalian mengeraskan suaranya atas yang lain dalam membaca al-
Qur’an.” (Hadits Riwayat an-Nasâi dari salah seorang sahabat Anshar [yang
tak disebut namanya], Sunan an-Nasâi, juz III, hal. 387, hadits no. 3350)
Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
َ
ُ
كُدَح
َ
َأْم
َ
ل
ْ
عَي
ْ
ل
َ
َف
ُ
هّّبََر ِاج
َ
ن
ُ
َي
ُ
ه
ّ
ّنِإ
َ
َفِة
َ
َل َّالص َِِفَام
َ
اَق
َ
ذِإَْم
ُ
ك
َ
دَح
َ
َأ
ّ
نِإَاَم
َ
أَْم
َِة
َ
َل َّالص َِِفِةَاءَرِق
ْ
الَِبض
ْ
عََب
َ َََعْم
ُ
ك ُض
ْ
عََبْرَه
ْ َ
ََي
َ
لََو
ُ
هّّبََر ِاج
َ
ن
ُ
اَيَم
"Ketahuilah, jika salah seorang dari kalian melakukan shalat, sungguh ia sedang
berkomunikasi dengan Rabb (Tuhan)-nya. Maka hendaklah salah seorang dari
kalian mengetahui apa yang ia panjatkan kepada Allah dan janganlah sebagian
kalian mengeraskan bacaannya di atas bacaan sebagian yang lain dalam shalat."
(Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abdullah bin Umar, Musnad Ahmad ibn
Hanbal, juz II, hal. 36, hadits no. 4928)
Berkaitan dengan hal itu, Abul Walid al-Bajiy rahimahullâh berkata
dalam menjelaskan alasan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang untuk
mengangkat suara saat membaca al-Qur’an dalam shalat sunnah, sedang
saudaranya juga melaksanakan shalat sunnah, “karena, di dalam hal itu terdapat
gangguan kepada yang lain dan halangan untuk melaksanakan shalat dengan
khusyu’, konsentrasi hati untuk melaksnakan shalat, dan perhatian seseorang terhadap
sesuatu yang ia ucapkan kepada Rabb-nya berupa bacaan al-Qur’an. Jika mengangkat
suara dalam membaca al-Qur’an adalah terlarang ketika itu (yakni, dalam kondisi
shalat), karena mengganggu orang-orang yang shalat, kalau ada larangan untuk
mengangkat suara saat berbicara dan lainnya, maka tentunya lebih utama (untuk
dilarang) berdasarkan sesuatu yang telah kami sebutkan; juga karena di dalam
3. 3
perbuatan itu terdapat perendahan terhadap masjid-masjid, serta tidak
menghormatinya, tidak membersihkannya sebagaimana wajibnya, dan tidak
menfokuskannya untuk tujuan masjid itu dibangun, yakni mengingat Allah Ta’ala“.
(Lihat: Al-Muntaqâ Syarh al-Muwaththâ’, juz I, hal. 185)
Dari pembahasan di atas, dapatlah diambil beberapa pelajaran yang
berharga:
1. Membaca al-Qur’an dengan suara keras, sehingga mengganggu orang lain
yang sedang shalat atau bermajelis ilmu adalah terlarang.
2. Niat yang baik tidaklah cukup dalam membenarkan suatu perkara yang
keliru. Karenanya, Nabi -- Shallallâhu ‘alaihi wa sallam -- melarang
seseorang membaca al-Qur’an jika mengganggu yang lain, walaupun si
pembaca berniat baik.
3. Jika suara bacaan al-Qur’an saja terlarang jika mengganggu orang lain,
maka tentunya suara-suara lain yang mubah lebih terlarang lagi jika
menimbulkan gangguan. Terlebih lagi jika suara itu haram.
4. Hendaknya seseorang melirihkan suara dalam berdoa. Demikian pula
saat membaca al-Qur’an, jika dia takut bacaannya bisa berakibat
mengganggu orang lain.
Yogyakarta, 19 Februari 2016