Dokumen tersebut membahas tentang arti dan pentingnya memiliki sifat qanaah (merasa cukup) dalam kehidupan. Sifat qanaah merupakan sikap merasa cukup dan ridha terhadap karunia dan rezeki yang diberikan Allah serta tidak terlena oleh tipu daya dunia. Memiliki sifat qanaah membutuhkan lima hal yaitu menerima apa adanya, memohon tambahan rezeki dengan ikhtiar, menerima taqdir Allah dengan sabar,
Mengedepankan wacana tentang Edmund Husserl tidak boleh tidak harus menyentuh core ideanya tentang filsafat, yaitu “Fenomenologi”, sebab dialah yang – paling tidak hingga saat ini – dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Bertens, dalam salah satu tulisannya, menyatakan bahwa selaku pendiri aliran fenomenologi, Husserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini secara amat mendalam.[1] Sebegitu mendalamnya pengaruh pemikiran Edmund Husserl terhadap pemikiran filsafat abad ini, Delfgaauw, seorang filosof Belanda, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa filsafat jaman kita (ini) dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).[2]
Bahagia dalam kehidupan dunia adalah dambaan setiap insan. Jika dia orang yang beriman, maka dia juga berharap bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Namun, tidak semua orang yang berkeinginan baik bisa meraih impiannya. Salah satu dari sekian banyak orang yang bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat adalah al-Mukhbitûn. Siapakah mereka? Apakah kriteria-kriteria mereka?
Ibrahim ibn Adham, ketika menjawab pertanyaan penduduk Basrah, “kenapa doa-doa kami tak pernah dikabulkan oleh Allah?” Beliau menyatakan bahwa ada sepuluh persoalan yang menjadi penyebab tidak terkabulnya serangkain doa, salah satu di antaranya yang terpenting adalah: “banyak memakan nikmat Tuhanmu, akan tetapi tidak mensyukurinya”.
TAWAKKAL adalah sebuah sikap yang – seharusnya – dipilih oleh setiap muslim, di mana pun, kapan pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun. Tetapi, ternyata untuk memilihnya tidak semudah yang kita katakan. Selalu saja ada kendala yang menjadikan diri kita tak mampu bersikap tawakkal. Bahkan, karena kesalahfahaman kita terhadap makna tawakkal, bukan tidak mungkin ‘kita’ akan terjebak pada sikap yang salah.
Pada bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari ‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ menyelamatkan Nabi Musa ’alaihis salâm dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Bersyukur atas karunia Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ kepadanya, Nabi Musa ’alaihis salâm akhirnya berpuasa pada hari ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi kita (Muhammad) shallallâhu ‘alaihi wa sallam, melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah beliau bersabda, فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ (Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian [kaum Yahudi]).
Pesan moral dari kisah ashhabul kahfi.pdf (muhsin hariyanto)Muhsin Hariyanto
Kisah-kisah dalam al-Quran, dalam pandangan para mufassir, selalu mengisyaratkan ‘ibrah yang sarat makna. Setiap pembaca kisah ini, bahkan mungkin akan menangkap isyarat yang berbeda-beda, karena kemampuan mereka yang tidak sama, atau karena mereka memiliki sudut-pandang yang berbeda terhadap kisah-kisah itu. Tak terkecuali terhadap kisah Ash-hâbul Kahfi. Kisah ini, menurut para mufassir sangat sarat dengan pesan moral. Dan siapa pun yang bisa membaca isyarat pesan moral di dalamnya akan mampu bercerita kembali dengan berbagai perspektif.
1. 1
Memupuk Jiwa Qanâ’ah
Hidup di dunia memang penuh kesibukan. Sibuk belajar, sibuk
bekerja, sibuk mencari kedudukan dan setumpuk kesibukan lainnya. Tidak
jarang, kesibukan-kesibukan duniawi itu melalaikan manusia terhadap
kewajibannya untuk mengabdi kepada Allah SWT, padahal, kesibukan-
kesibukan duniawi itu pada hakikatnya hanyalah sekadar ‘alat’ untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
Agar tidak terjun bebas dalam mengejar kehidupan duniawi, seorang
mukmin (orang yang beriman) yang baik dituntut agar memiliki jiwa qanâ’ah.
Secara harfiyah, qanâ’ah artinya adalah merasa cukup. Dalam istilah agama,
qanâ’ah kemudian dimaknai sebagai suatu sikap merasa cukup dan ridha atas
karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT.
Rasulullah saw bersabda:
ًعِرَو ْن
ُ
ك-اًعِن
َ
ق ْن
ُ
كَو ، ِاسَاّنل
َ
دَب
ْ
ع
َ
أ ْن
ُ
ك
َ
ت-ِاسَاّنل َر
َ
ك
ْ
ش
َ
أ ْن
ُ
ك
َ
ت
“Jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau akan menjadi orang yang
paling ahli ibadah; dan jadilah engkau yang selalu merasa cukup (qanâ’ah),
niscaya engkau menjadi orang yang paling pandai bersyukur.” (Hadits Riwayat
Ibnu Majah dari Abu Hurairah r.a., Sunan ibn Mâjah, juz V, hal. 229, hadits
no. 4217)
Memiliki sifat qanâ’ah bukan berarti mengharuskan seseorang untuk
menjadi pasrah dan apatis. Pasrah dan apatis bukanlah sifat yang baik. Sikap
pasrah dan apatis adalah sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Allah SWT
melarang umat manusia untuk berputus asa terhadap rahmat Allah
sebagaimana yang terdapat di dalam al-Quran,
َ
لَو ِهيِخ
َ
أَو
َ
فُوسُي نِم وا ُّس َّسَحَت
َ
ف واُب
َ
ه
ْ
اذ َ
ِيِنَب اَيِ
َ
اّل ِِْوَر نِم واُس
َ
َْي
َ
َ
ۖ
َ
ونُرِف
َ
َك
ْ
ال ُمْو
َ
ق
ْ
ال
َ
لِإ ِ
َ
اّل ِِْوَر نِم ُس
َ
َْي
َ
ي
َ
ل
ُ
ه
َ
ّنِإ
“Hai anak-anakku, Pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS
Yûsuf/12: 87).
Berbeda dengan sikap pasrah dan apatis, sikap qanâ’ah memerlukan
upaya dan ikhtiar. HAMKA, dalam bukunya Tasawuf Modern, memersyaratkan
lima perkara untuk menjadi seorang yang bersikap qanâ’ah.
2. 2
Pertama, menerima dengan rela akan apa yang ada. Orang yang rela
menerima segala bentuk karunia dan rezeki yang diberikan Allah adalah orang
yang benar-benar berbahagia. Kebahagiaan seseorang tidaklah diukur sejauh
mana ia memiliki harta tetapi lebih pada sejauh mana ia merasa puas terhadap
apa yang dimilikinya. Orang yang memiliki orientasi hidup pada upaya
pencarian harta adalah orang yang tidak pernah puas. Akibatnya, ia akan
berusaha dengan berbagai cara untuk memperoleh harta tersebut walaupun
dengan menghalalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Dikhawatirkan,
perilaku seperti ini akan melalaikannya dari mengingat Allah.
Kedua, memohon kepada Allah tambahan rezeki yang pantas disertai
dengan ikhtiar dan usaha. Berdoa saja tidak cukup. Diperlukan kerja keras
untuk mendapatkan tambahan rezeki dari Allah. Berikhtiar adalah merupakan
kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Allah tidak akan merubah
keadaan seseorang sebelum orang tersebut berusaha dan bekerja keras untuk
merubahnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS al-Ra’d/13: 11,
...ْمِه ِّس
ُ
ّنف
َ
َِب اَم واُ ر
ِِي
َ
غ
ُ
ي ٰ ََّتَح ٍمْو
َ
قِب اَم ُ ر
ِِي
َ
غ
ُ
ي
َ
ل َ َ
اّل
َ
نِإ...
"… sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu kaum kecuali
mereka sendiri yang mengubahnya…" Ikhtiar dan usaha inilah yang
membedakan antara sikap qanâ’ah dengan sikap pasrah dan putus asa.
Ketiga, menerima dengan sabar segala taqdîr Allah. Menerima taqdir
dan ketentuan Allah adalah bagian fundamental dari keimanan seseorang.
Orang yang sabar terhadap taqdir dan ketentuan Allah adalah orang yang
menyadari bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan meliputi langit dan bumi.
Karena itu, cobaan apa pun yang datang dari Allah harus dihadapi dengan
penuh kesabaran. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS al-Baqarah/2:
177,
...ِس
ْ
ََ ْ
اْل َنيِحَو ِءاَ َ
الرَّضَو ِءاَس
ْ
ََ ْ
اْل ِِف َينِرِاب َالّصَوَۗينِ
َ
اَّل
َ
كِئٰـ
َ
ول
ُ
أ
وا
ُ
ق
َ
د َصۖ
َ
ون
ُ
ق
َ
تُم
ْ
ال ُم
ُ
ه
َ
كِئٰـ
َ
ول
ُ
أَو
“…dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa”.
Keempat, bertawakkal kepada Allah. Tawakkal berarti berserah diri
kepada Allah. Orang yang beriman sudah sepantasnya menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah. Segala rintangan dan halangan yang dihadapi dalam
kehidupan akan menjadi ringan jika semua itu diserahkan kepada Allah. Hal
ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Thalaq ayat 3 yang berbunyi,
"Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya".
3. 3
Kelima, tidak tertipu oleh tipu daya dunia. Orang yang qanâ’ah
adalah orang yang meyakini bahwa gemerlap kehidupan dunia hanya bersifat
sementara. Harta benda, kedudukan, keluarga, sahabat, dan segala urusan
dunia akan berlalu jika seseorang telah dipanggil menghadap Allah. Karena itu,
kecintaan terhadap dunia tidak boleh melalaikan seseorang dari tujuan
utamanya dalam menggapai ridha Allah. Hal ini sejalan dengan peringatan
Allah dalam QS al-Munâfiqûn/63: 9,
اَه
ُ
ي
َ
أ اَيِر
ْ
كِذ نَع ْم
ُ
ك
ُ
د
َ
لْو
َ
أ
َ
لَو ْم
ُ
ك
ُ
الَو
ْ
م
َ
أ ْم
ُ
كِه
ْ
ل
ُ
ت
َ
ل واُنَآم َينِ
َ
اَّل
ِ
َ
اّلۚ
َ
ذ
ْ
لَع
ْ
ف
َ
ي نَمَوٰ
َ
ونُ ِِارَْ
ْاخ ُم
ُ
ه
َ
كِئٰـ
َ
ول
ُ
َ
َ
ف
َ
كِل
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian
maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”
Orang yang memiliki sifat qanâ’ah adalah orang yang bahagia. Orang
yang memiliki sifat qanâ’ah laksana orang yang memiliki harta yang banyak.
Itulah makna tersirat dari hadits Rasulullah SAW yang berbunyi,
ُد
َ
ف
ْ
ن
َ
ي
َ
ل
ٌ
الَم
ُ
ةَاع
َ
ن
َ
ق
ْ
الَن
ْ
ف
َ
ي
َ
ل ٌ ْ
ْن
َ
ك َو
"Qanâ’ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang tidak akan
lenyap."(Hadits Riwayat Ath-Thabrani dari Jabir bin Abdullah). Dengan
qanâ’ah, seseorang akan tetap mampu menjaga dirinya agar tetap dalam iman
dan takwa kepada Allah SWT.
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
Yogyakarta, 26 Maret 2016