1. PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM ZAKAT
2. KRITERIA MAMPU DALAM BERZAKAT FITRAH
3. KADAR ZAKAT FITRAH
4. BOLEHKAH ZAKAT FITRAH DALAM BENTUK UANG?
5. KEPADA SIAPAKAH ZAKAT FITRAH DIBAYARKAN
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)Anas Wibowo
KH. Shiddiq al-Jawi, Maret 2020. POKOK BAHASAN:
1. HADITS TENTANG LARANGAN TAS’IIR (KEBIJAKAN PENETAPAN HARGA)
2. PENGERTIAN TAS’IIR
3. HUKUM TAS’IIR
4. KRITIK TERHADAP PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN TAS’IIR
5. BAGAIMANA PENGUASA MENGATASI MELONJAKNYA HARGA?
Dalam kehidupan ini umat ISLAM banyak yang menjadi perampok,teroris,koruptor,gembel dll.Intinya yang jelek menjadi baju umat Islam.Apakah demikian adanya?
MAKALAH PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP ABRSI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan seksual berlainan jenis tidak dapat dihindarkan, karena ini merupakan tuntutan biologis untuk mengembangkan keturunannya dan juga merupakan rahmat Allah yang tidak ternilai. Bagi makhluk selain manusia dalam melakukan hubungan seks, akibatnya kurang dan tidak diperhitungkan. Akan tetapi bagi manusia hal ini akan berakibat fatal apabila tidak melalui saluran yang semestinya dan tidak memikirkan akibat sampingnya.
Hubungan seks sangat erat kaitannya dengan aborsi, karena dengan hubungan inilah awal terjadinya perubahan antara sel-sel dari kedua jenis makhluk itu, baik yang dikehendaki atau tidak. Bagi yang menghendaki terjadinya pembuahan tersebut menilainya sebagai anugerah Allah, tetapi bagi yang tidak menghendakinya ada yang menganggapnya sebagai malapetaka yang harus dihindari walaupun bertentangan dengan hukum dan moral. Cara menghindari setelah terjadinya pembuahan inilah yang disebut aborsi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi aborsi?
2. Bagaimana tinjauan hukum aborsi menurut Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi aborsi
2. Untuk memahami tinjauan hukum aborsi menurut Islam
Bahaya Komunisme by Shiddiq al-Jawi 27 juni 2020Anas Wibowo
Bahaya Komunisme Bagi Aqidah, Syariah, Dan Dakwah Islam
Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi
Yogyakarta 27 Juni 2020
Pengertian Komunisme
Bahaya Komunisme Bagi Aqidah Islam
Bahaya Komunisme Bagi Syariah Dan Dakwah Islam
Bahaya Komunisme Bagi Umat Manusia
Kapitalisme Juga Bahaya
The Library Technology Prototyping Service at IllinoisJim Hahn
An overview of the Technology Prototyping Services at the University of Illinois. The service creates efficiencies in library services (e.g. chat software, data visualization web content, mobile app modules) and helps unit libraries roll out new services through design of middleware, APIs and lightweight web-services. An overview of the developed services will be delivered along with discussion of managing, staffing and integrating the work into IT production.
1. PENGERTIAN DAN MACAM-MACAM ZAKAT
2. KRITERIA MAMPU DALAM BERZAKAT FITRAH
3. KADAR ZAKAT FITRAH
4. BOLEHKAH ZAKAT FITRAH DALAM BENTUK UANG?
5. KEPADA SIAPAKAH ZAKAT FITRAH DIBAYARKAN
Hukum Tas’iir (Kebijakan Penetapan Harga)Anas Wibowo
KH. Shiddiq al-Jawi, Maret 2020. POKOK BAHASAN:
1. HADITS TENTANG LARANGAN TAS’IIR (KEBIJAKAN PENETAPAN HARGA)
2. PENGERTIAN TAS’IIR
3. HUKUM TAS’IIR
4. KRITIK TERHADAP PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN TAS’IIR
5. BAGAIMANA PENGUASA MENGATASI MELONJAKNYA HARGA?
Dalam kehidupan ini umat ISLAM banyak yang menjadi perampok,teroris,koruptor,gembel dll.Intinya yang jelek menjadi baju umat Islam.Apakah demikian adanya?
MAKALAH PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP ABRSI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan seksual berlainan jenis tidak dapat dihindarkan, karena ini merupakan tuntutan biologis untuk mengembangkan keturunannya dan juga merupakan rahmat Allah yang tidak ternilai. Bagi makhluk selain manusia dalam melakukan hubungan seks, akibatnya kurang dan tidak diperhitungkan. Akan tetapi bagi manusia hal ini akan berakibat fatal apabila tidak melalui saluran yang semestinya dan tidak memikirkan akibat sampingnya.
Hubungan seks sangat erat kaitannya dengan aborsi, karena dengan hubungan inilah awal terjadinya perubahan antara sel-sel dari kedua jenis makhluk itu, baik yang dikehendaki atau tidak. Bagi yang menghendaki terjadinya pembuahan tersebut menilainya sebagai anugerah Allah, tetapi bagi yang tidak menghendakinya ada yang menganggapnya sebagai malapetaka yang harus dihindari walaupun bertentangan dengan hukum dan moral. Cara menghindari setelah terjadinya pembuahan inilah yang disebut aborsi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi aborsi?
2. Bagaimana tinjauan hukum aborsi menurut Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi aborsi
2. Untuk memahami tinjauan hukum aborsi menurut Islam
Bahaya Komunisme by Shiddiq al-Jawi 27 juni 2020Anas Wibowo
Bahaya Komunisme Bagi Aqidah, Syariah, Dan Dakwah Islam
Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi
Yogyakarta 27 Juni 2020
Pengertian Komunisme
Bahaya Komunisme Bagi Aqidah Islam
Bahaya Komunisme Bagi Syariah Dan Dakwah Islam
Bahaya Komunisme Bagi Umat Manusia
Kapitalisme Juga Bahaya
The Library Technology Prototyping Service at IllinoisJim Hahn
An overview of the Technology Prototyping Services at the University of Illinois. The service creates efficiencies in library services (e.g. chat software, data visualization web content, mobile app modules) and helps unit libraries roll out new services through design of middleware, APIs and lightweight web-services. An overview of the developed services will be delivered along with discussion of managing, staffing and integrating the work into IT production.
A fast paced presentations on the evolution of the WCM industry for the coming year.
(creative commons credits to http://www.flickr.com/photos/ashleighthompson)
Setup, activate, explore and learn how to use your MOVOX Mobile Application including; managing incoming calls, voicemail menu and settings, voicemail to email, call forwarding and other mobile application features.
Janice Hughes, Redshift, Preparing for changedcmsdigital
Janice Hughes of Redshift, presentation on "Preparing for change" TV content seminar, 16 July 2012, part of the Communications Review. Find out more at http://dcmscommsreview.readandcomment.com/tv
Customer data management - great tool for increasing salesМаксим Остархов
В презентации рассматривается влияние качества данных о клиентах на эффективность маркетинговых кампаний. Данные о клиентах рассматривается как инструмент увеличения эффективности продаж.
BERAMAL DENGAN IKHLAS DAN TINGKAH LAKU TERPUJIYunisa Astuti
MAKALAH HADITS BAB I II III
TEMA : " BERAMAL DENGAN IKHLAS DAN TINGKAH LAKU TERPUJI"
TERDIRI DARI 6 RUMUSAN MASALAH YAITU MENGENAI NIAT, KONSISTEN DALAM BERAMAL, RIYA, PERILAKU DENGAN AKHLAK, KEJUJURAN, PERTOLONGAN ALLAH SWT
Mengedepankan wacana tentang Edmund Husserl tidak boleh tidak harus menyentuh core ideanya tentang filsafat, yaitu “Fenomenologi”, sebab dialah yang – paling tidak hingga saat ini – dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Bertens, dalam salah satu tulisannya, menyatakan bahwa selaku pendiri aliran fenomenologi, Husserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini secara amat mendalam.[1] Sebegitu mendalamnya pengaruh pemikiran Edmund Husserl terhadap pemikiran filsafat abad ini, Delfgaauw, seorang filosof Belanda, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa filsafat jaman kita (ini) dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).[2]
Bahagia dalam kehidupan dunia adalah dambaan setiap insan. Jika dia orang yang beriman, maka dia juga berharap bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Namun, tidak semua orang yang berkeinginan baik bisa meraih impiannya. Salah satu dari sekian banyak orang yang bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat adalah al-Mukhbitûn. Siapakah mereka? Apakah kriteria-kriteria mereka?
Ibrahim ibn Adham, ketika menjawab pertanyaan penduduk Basrah, “kenapa doa-doa kami tak pernah dikabulkan oleh Allah?” Beliau menyatakan bahwa ada sepuluh persoalan yang menjadi penyebab tidak terkabulnya serangkain doa, salah satu di antaranya yang terpenting adalah: “banyak memakan nikmat Tuhanmu, akan tetapi tidak mensyukurinya”.
TAWAKKAL adalah sebuah sikap yang – seharusnya – dipilih oleh setiap muslim, di mana pun, kapan pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun. Tetapi, ternyata untuk memilihnya tidak semudah yang kita katakan. Selalu saja ada kendala yang menjadikan diri kita tak mampu bersikap tawakkal. Bahkan, karena kesalahfahaman kita terhadap makna tawakkal, bukan tidak mungkin ‘kita’ akan terjebak pada sikap yang salah.
Pada bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari ‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ menyelamatkan Nabi Musa ’alaihis salâm dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Bersyukur atas karunia Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ kepadanya, Nabi Musa ’alaihis salâm akhirnya berpuasa pada hari ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi kita (Muhammad) shallallâhu ‘alaihi wa sallam, melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah beliau bersabda, فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ (Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian [kaum Yahudi]).
Pesan moral dari kisah ashhabul kahfi.pdf (muhsin hariyanto)Muhsin Hariyanto
Kisah-kisah dalam al-Quran, dalam pandangan para mufassir, selalu mengisyaratkan ‘ibrah yang sarat makna. Setiap pembaca kisah ini, bahkan mungkin akan menangkap isyarat yang berbeda-beda, karena kemampuan mereka yang tidak sama, atau karena mereka memiliki sudut-pandang yang berbeda terhadap kisah-kisah itu. Tak terkecuali terhadap kisah Ash-hâbul Kahfi. Kisah ini, menurut para mufassir sangat sarat dengan pesan moral. Dan siapa pun yang bisa membaca isyarat pesan moral di dalamnya akan mampu bercerita kembali dengan berbagai perspektif.
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa BaratEldi Mardiansyah
Di dalamnya mencakup Presentasi tentang Pendampingan Individu 2 Pendidikan Guru Penggerak Aangkatan ke 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat tahun 2024 yang bertemakan Visi dan Prakarsa Perubahan pada SMP Negeri 4 Ciemas. Penulis adalah seorang Calon Guru Penggerak bernama Eldi Mardiansyah, seorang guru bahasa Inggris kelahiran Bogor.
PERSENTASI AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF.pptx
Bid’ah, apakah itu
1. Page 1 of 10
UNIVERSITY RESIDENCE - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KARASIBAZHU
(Kajian Rabu Siang Ba’da Zhuhur)
Bid’ah: “Apakah Itu?”
Apakah bid’ah itu? Inilah pertanyaan sederhana yang – ternyata –
memerlukan jawaban yang tidak sederhana. Karena, persoalan
bid’ah adalah persoalan yang sangat memerlukan jawaban yang
akurat. Semua orang harus terbuka untuk menjelajah dalam
rangka menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan sederhana
ini. Sebab, dengan jawaban yang tuntas terhadap pertanyaan ini,
semua pertanyaan tentang bid’ah pun – dengan prasyarat
kejujuran dan keterbukaan -- akan terjawab dengan tepat dan
memuaskan.
A. Pengertian Bid’ah
Al-Bid’ah ()البدعة – dalam pengertian umum -- sama artinya dengan
al-ikhtira’ (,)االختراع yang bermakna al-Îdâ’ (,)اإليداع yaitu sesuatu (penemuan)
yang baru, kreasi atau sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh
sebelumnya.1
Bid’ah secara bahasa (etimologi) adalah: “hal yang baru dalam
agama setelah agama ini sempurna”.2
Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah
wafatnya Nabi (Muhammad) shallallâhu ‘alaihi wa sallam berupa kemauan
nafsu dan amal perbuatan.3
Apabila dikatakan: “Aku membuat bid’ah,
artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan tanpa adanya contoh
sebelumnya...” Asal kata bid’ah berarti menciptakan tanpa contoh
sebelumnya.4
Di antaranya adalah firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ:
“Allah pencipta langit dan bumi...” (QS al-Baqarah/2: 117)
1
Menurut Imam ath-Thurthusyi dalam al-Hawâdits wal Bida’, hal. 40,
dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari.
2
Ar-Razi, Mukhtârush Shihâh, hal. 44.
3
Al-Fairuzabadi, Al-Qâmûs al Muhîth, Ibnnu Manzhur, Lisânul ‘Arab dan
Ibnu Taimiyah, Al-Fatâwâ.
4
Ibnu Faris, Mu’jamul Maqâyis fil Lughah, hal. 119.
2. Page 2 of 10
Yakni, bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh
sebelumnya.5
Bid’ah secara istilah (terminologi) memiliki beberapa definisi yang
saling melengkapi menurut penjelasan para ulama, di antaranya:
Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh: Beliau rahimahullâh
mengungkapkan: “Bid’ah dalam Islam adalah segala yang tidak disyari’atkan
oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud
perintah wajib atau bentuk anjuran.”6
Bid’ah itu sendiri ada dua macam. Pertama, bid’ah dalam bentuk
ucapan atau keyakinan. Kedua, bid’ah dalam bentuk perbuatan dan ibadah.
Bentuk kedua ini mencakup juga bentuk pertama, sebagaimana bentuk
pertama dapat menggiring pada bentuk yang kedua.7
Atau dengan kata lain,
hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan.
Sedangkan hukum asal dalam masalah mu’amalah (keduniaan) dibolehkan
kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Ibadah asal mulanya tidak diperbolehkan, kecuali yang
disyari’atkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Dan segala sesuatu (selain ibadah)
asal mulanya diperbolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah.8
Beliau (Ibnu Taimiyyah rahimahullâh) juga menyatakan: “Bid’ah
adalah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam , atau ijma’ para ulama as-Salaf berupa ibadah
maupun keyakinan, seperti pandangan kalangan al-Khawarij, ar-Rafidhah,
al-Qadariyyah dan al-Jahmiyyah. Mereka beribadah dengan tarian dan
nyanyian dalam masjid. Demikian juga mereka beribadah dengan cara
mencukur jenggot, mengkonsumsi ganja dan berbagai bid’ah lainnya yang
dijadikan sebagai ibadah oleh sebagian golongan yang bertentangan dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam . Wallâhu
a’lam.”9
Imam asy-Syathibi rahimahullâh (wafat tahun 790 H.),
menyatakan:10
5
Lihat: Ar-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât li Alfâzhil Qur-ân, hal. 111,
dalam materi (kata) bada’a.
6
Ibnu Taimiyyah Majmû’ Fatâwâ, juz IV, hal. 107-108.
7
Ibid., juz XXII, hal. 306.
8
Ibid., juz IV, hal. 196.
9
Ibid., juz XVIII, hal. 346 dan juz XXXV, hal. 414.
10
Asy-Syathibi, Al-I’tisham, hal. 50, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin
Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi, tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet.
3. Page 3 of 10
.
“Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan
maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Subhânahu wa
Ta'âlâ.”
Ungkapan: “Cara baru dalam agama,” maksudnya bahwa cara yang
dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi
sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam
syari’at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya ada cara
yang berdasarkan pedoman dalam syari’at, tetapi juga ada cara yang tidak
mempunyai pedoman dalam syari’at. Maka, cara dalam agama yang
termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada
dasar-nya dalam syari’at.
Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari
syari’at. Sebab bid’ah adalah sesuatu yang ke luar dari apa yang telah
ditetapkan dalam syari’at.
Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu
yang diada-adakan dalam agama itu pada hakikatnya tidak ada dalam
syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti
mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga
mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang tidak ada ketentuannya dalam
syari’at.
Ungkapan “untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada
Allah”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para
pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia
diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya seperti disebutkan
dalam firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” (QS adz-Dzâriyât/51: 56). Seakan-akan orang yang membuat
bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk
beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang
telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum
II/Dâr Ibni ‘Affân, 1414 H.
4. Page 4 of 10
belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta
mengulang-ulanginya.11
Beliau rahimahullâh juga mengungkapkan definisi lain: “Bid’ah
adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai
ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan
syari’at.”12
Beliau rahimahullâh menetapkan definisi yang kedua tersebut bahwa
kebiasaan itu bila dilihat sebagai kebiasaan semata tidak akan mengandung
kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau
diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid’ah.
Dengan cara itu, berarti beliau telah mengkorelasikan berbagai definisi yang
ada. Beliau memberikan contoh untuk kebiasaan yang pasti mengandung
nilai ibadah, seperti jual beli, pernikahan, perceraian, penyewaan, hukum
pidana,... karena semuanya itu diikat oleh berbagai hal, persyaratan dan
kaedah-kaedah syari’at yang tidak menyediakan pilihan lain bagi seorang
muslim selain ketetapan baku itu.13
Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat th. 795 H.)
rahimahullâh14
, Beliau rahimahullâh menyebutkan: “Yang dimaksud dengan
bid’ah adalah yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang
mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at
yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan
sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang
yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama,
namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan
sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya
dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan
dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun batin.
Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang
menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak
lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.
Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al-Khaththab rahimahullâh,
ketika beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat
malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di
11
Lihat: ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, ‘Ilmu Ushûlil Bida’, hal. 24-25.
12
Al-I’tishâm , hal. 51.
13
Al-I’tishâm, juz II, hal. 568, 569, 570, 594. Lihat juga Sa’id bin Wahf al-
Qahthaniy, Nûrus Sunnah wa Zhulumâtul Bid’ah, hal. 30-31.
14
Ibnu Rajab al-Hanbali, Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, hal. 501, cet. II, Dâr
Ibnul Jauzi, th. 1420 H. tahqiq Thariq bin ‘Awadillah bin Muhammad. Lihat: Nûrus
Sunnah wa Zhulumâtul Bid’ah, hal. 30-31.
5. Page 5 of 10
masjid. Ketika beliau rahimahullâh keluar, dan melihat mereka shalat
berjamaah. Maka beliau rahimahullâh berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah
yang semacam ini.”15
B. Pembagian Bid’ah16
1. Bid’ah Haqîqiyyah
Bid’ah Haqîqiyyah adalah bid’ah yang tidak memiliki indikasi sama
sekali dari syar’i baik dari Kitabullah, as-Sunnah ataupun Ijma’. Serta tidak
ada dalil yang digunakan oleh para ulama baik secara global maupun rinci.
Oleh sebab itu, disebut sebagai bid’ah karena ia merupakan hal yang dibuat-
buat dalam perkara agama tanpa contoh sebelumnya.17
Di antara contohnya adalah bid’ahnya perkataan Jahmiyyah yang
menafikan Sifat-Sifat Allah, bid’ah(nya) Qadariyyah, bid’ah(nya) Murji’ah
dan lainnya yang mereka mengatakan apa-apa yang tidak dikatakan oleh
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya radhiyallâhu
anhum.
Contoh lain adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan hidup
kependetaan (seperti pendeta) dan mengadakan perayaan Maulid Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Isra’ Mi’raj dan lainnya, rangkaian upacara
kultural (budaya), yang dianggapnya sebagai bagian dari syariat Islam
(kewajiban dalam beragama), yang harus dilaksanakan sebagai pemenuhan
atas ketentuan syari’at Islam.
2. Bid’ah Idhâfiyyah18
Adapun Bid’ah Idhâfiyyah adalah bid’ah yang mempunyai dua sisi.
Pertama, terdapat hubungannya dengan dalil. Maka dari sisi ini dia bukan
bid’ah. Kedua, tidak ada hubungannya samasekali dengan dalil melainkan
seperti apa yang terdapat dalam bid’ah haqîqiyyah. Artinya ditinjau dari satu
sisi ia adalah ‘Sunnah’, karena bersandar kepada as-Sunnah, namun ditinjau
dari sisi lain ia adalah bid’ah karena hanya berlandaskan pada ‘syubhat’
(asumsi), dan bukan dengan dalil yang jelas.
15
Shahîhul Bukhâriy, hadits no. 2010.
16
Lihat al-I’tishaam, juz I, hal. 367 dan seterusnya.
17
Ibid.
18
Para ulama – pada umumnya, saat ini – menjelaskan bahwa “Bid’ah
Idhâfiyyah”, yaitu bid’ah yang bermakna: “sesuatu yang pada dasarnya bukan agama,
sehingga hukumnya “mubah atau masuk dalam kategori sunnah”, tetapi dilakukan
dalam konteks ibadah atau pelaksanaan ajaran agama Islam yang tidak mendapatkan
legitimasi keagamaan dari dalil-dalil agama, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah”.
6. Page 6 of 10
Adapun perbedaan antara keduanya dari sisi makna adalah bahwa
dari sisi asalnya terdapat dalil padanya. Tetapi jika dilihat dari sisi cara, sifat,
kondisi pelaksanaannya atau perinciannya, tidak ada dalil sama sekali,
padahal kala itu ‘ia’ membutuhkan dalil. Bid’ah semacam itu kebanyakan
terjadi dalam ibadah dan bukan ‘kebiasaan’ (budaya) semata.
Atas dasar ini, maka bid’ah haqîqiyyah lebih besar dosanya karena
dilakukan langsung oleh pelakunya tanpa perantara, sebagai pelanggaran
murni dan sangat jelas telah keluar dari syari’at, seperti ucapan kaum
Qadariyyah yang menyatakan baik dan buruk menurut akal, mengingkari
hadits ahad sebagai hujjah,19
mengingkari adanya Ijma’, mengingkari
haramnya khamr, mengatakan bahwa para Imam adalah ma’shum
(terpelihara dari dosa)20
... dan hal-hal lain yang seperti itu.21
Dikatakan bid’ah idhâfiyyah, artinya bahwa bid’ah itu jika ditinjau
dari satu sisi disyari’atkan, tetapi dari sisi lain ia hanyalah pendapat belaka.
Sebab dari sisi orang yang membuat bid’ah itu, dalam sebagian kondisinya,
masuk dalam kategori pendapat pribadi dan tidak didukung oleh dalil-dalil
dari setiap sisi.22
Sebagai contoh bid’ah di sini adalah ‘dzikir jama’i’. Tidak diragukan
lagi bahwa dzikir dianjurkan dalam syari’at Islam, namun apabila
dilaksanakan dengan berjama’ah, beramai-ramai (massal) dan dengan satu
suara, maka amalan ini tidak ada contohnya dalam syari’at Islam.
Contoh kongkret (yang lain) dari bid’ah ini misalnya: “makan dan
minum”. Perbuatan ini pada dasarnya boleh dikejakan oleh siapa pun.
Tetapi, perbuatan ini menjadi “bid’ah” andaikata dilakukan dengan
“kaifiyyât” (tata-cara) tertentu, di tempat dan waktu tertentu dan dengan
maksud-maksud tertentu, yang ketika mengerjakannya dimaksudkan untuk
mengerjakan sesuatu yang dianggap atau diasumsikan sebagai pengamalan
keagamaan yang diyakini sebagai sesuatu yang diajarkan oleh syari’at Islam.
Misalnya makan-minum dalam rangka menyambut datangnya “bulan
Muharram”, dengan disertai keyakinan bahwa pada saat itu orang Islam
disyari’atkan untuk menyambutnya dengan makan-minum sebagaimana
yang dilakukannya, padahal tidak ada satu pun ketentuan syari’at Islam yang
menentukannya demikian. Atau yang pada mulanya berkategori sunnah.
Seperti: “membaca al-Quran”. Membacanya di sembarang waktu adalah
sunnah, tetapi ketika “membaca al-Quran” tersebut kita tentukan waktunya
19
Sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berpendapat
bahwa hanya hadits mutawatirlah yang bisa dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah. Lihat
kitab ‘Ilmu Ushûlil Bida’ (hal. 148).
20
Seperti yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyyah.
21
Al-I’tishâm, juz I, hal. 221.
22
Ibid.
7. Page 7 of 10
dengan prosedur standar, yang ketika menentukannya disertai “keyakinan”
bahwa ketentuan itu adalah bersifat “syar’iyyah”, padahal tidak ada satu pun
ketentuan agama yang mengajarkannya, maka perbuatan itu pun dapat
dikategorikan “bid’ah”. Contoh kongkretnya adalah: upacara ritual
“Yasinan”. Membaca surat Yasin adalah bagian dari sunnah Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang dapat dirujuk dalilnya dari keumuman
perintah “membaca al-Quran”. Tetapi, begitu kita tentukan suratnya “harus
Yâsîn”, di tempat tertentu, pada waktu tertentu, dengan prosedur tertentu,
yang – penentuan-penentuan tersebut -- tidak mendapatkan legitimasi
syari’ah (tidak ada nash (teks) al-Quran dan atau as-Sunnahnya yang
mengajarkannya), maka perbuatan tersebut termasuk “bid’ah”.
C. Hukum Bid’ah Dalam Agama Islam
Sesungguhnya agama Islam sudah sempurna setelah wafatnya
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QSS al-
Mâidah/5: 3)
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan semua
risalah, tidak ada satupun yang ditinggalkan. Beliau (Rasulullah) shallallâhu
‘alaihi wa sallam telah menunaikan amanah dan menasihati umatnya.
Kewajiban seluruh umat mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi
Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah
yang diada-adakan. Wajib bagi seluruh umat untuk mengikuti beliau (Nabi)
shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan tidak berbuat bid’ah serta tidak mengadakan
perkara-perkara yang baru karena setiap yang baru dalam agama adalah
bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.
Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat
dan haram, berdasarkan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
.
8. Page 8 of 10
“Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara
yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”23
Demikian juga sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam:
.
“Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang
bukan bagian darinya, maka ia tertolak.”24
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-
buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak.
Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya
berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.
Ada bid’ah yang menyebabkan kekufuran (Bid’ah Kufriyah), seperti
berthawaf keliling kuburan untuk mendekatkan diri kepada para
penghuninya, memersembahkan sembelihan dan nadzar kepada kuburan-
kuburan itu, berdo’a kepada mereka, meminta keselamatan kepada mereka,
demikian juga pendapat kalangan Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Rafidhah.
Ada juga bid’ah yang menjadi sarana kemusyrikan, seperti
mendirikan bangunan di atas kuburan, shalat dan berdoa di atas kuburan
dan mengkhususkan ibadah di sisi kubur.
Ada juga perbuatan bid’ah yang bernilai kemaksiatan, seperti bid’ah
membujang -- yakni menghindari pernikahan -- puasa sambil berdiri di terik
panas matahari, mengebiri kemaluan dengan niat menahan syahwat dan
lain-lain.25
23
HR Abu Dawud, Sunan Abî Dâwud, juz IV, hal. 200, hadits no. 4607; At-
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz V, hal. 44, hadits no. 2676, Ahmad bin Hanbal,
Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz IV, hal. 126, hadits no. 17184; Al-Hakim, Al-
Mustadrak, juz I, hal. 176, jadits no. 332. dan Ibnu Majah, Sunan ibn Mâjah, juz I, hal.
31, hadits no. 45 dan 46, dari Sahabat Irbadh bin Sariyah radhiyallâhu ‘anhu, hasan
shahîh.
24
HR Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz III, hal. 241, hadits no. 2697;
Muslim, Shahîh Muslim, juz V, hal. 132, hadits no. 45898; Ibnu Majah, Sunan ibn
Mâjah, juz I, hal. 10, hadits no. 14; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal,
juz VI, hal. 270, hadits no. 26372, Ibnu Hibban, Shahîh ibn Hibban, juz I, hal. 209,
hadits no. 27 dan Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubrâ, juz X, hal. 150, hadits no. 21041,
dari ‘Aisyah radhiyallâhu anhâ.
25
Lihat: Al-Baihaqi dari Abdullah bin Umar, Al-Madkhal Ilâ as-Sunan al-
Kubrâ, juz I, hal. 141, hadits no. 139; Kitâbut Tauhîd, hal. 82 oleh Syaikh Shalih bin
9. Page 9 of 10
Para ulama di kalangan ‘Ahlus Sunnah’ telah sepakat tentang
wajibnya mengikuti al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush
Shâlih, yaitu tiga generasi yang terbaik (Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in)
yang disaksikan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka adalah
sebaik-baik manusia. Mereka juga sepakat tentang keharamannya bid’ah dan
setiap bid’ah adalah sesat dan kebinasaan, tidak ada di dalam Islam bid’ah
yang hasanah.
Ibnu ‘Umar radhiyallâhu anhumâ berkata:
.
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik.”26
Imam Sufyan ats-Tsaury rahimahullâh (wafat th. 161 H.)27
berkata:
.
“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiyatan dan pelaku
kemaksiyatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiyatannya sedangkan
pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.”28
Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahari
(beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada zamannya, wafat th.
329 H.) rahimahullâh berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apa
pun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian
pula kebid’ahan yang terjadi pada umat ini berasal dari perkara kecil dan
remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh,
Fauzan al-Fauzan dan Nûrus Sunnah wa Zhulumâtul Bid’ah, hal. 76-77.
26
Riwayat al-Lalika-i dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, juz
I, hal. 192, hadits no. 126, Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibânah, juz I, hal. 339,
hadits no. 205. Lihat: ‘Ilmu Ushûlil Bid’ah, hal. 92.
27
Nama lengkap beliau adalah Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri, Abu
‘Abdillah al-Kufi, seorang hafizh yang tsiqah, faqih, ahli ibadah dan Imâmul Hujjah.
Beliau wafat tahun 161 H pada usia 64 tahun. Lihat biografi beliau dalam kitab
Taqrîbut Tahdzîb, juz I, hal. 371.
28
Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushûl I’tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah,
hadits no. 238; Ibnu Taimiyah, At-Tuhafh al-‘Irâqiyyah Fî al-A’mâl al-Qalbiyyah, juz I,
hal. 4 dan Al-Qahthani, Al-Walâ wal Barâ’, juz I, hal. 116.
10. Page 10 of 10
lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan
akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari,
pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”29
Khâtimah.
Dalam penutup tulisan ini, saya ingin menegaskan dengan kalimat
pendek. Kata “Bid’ah” selalu terkait dengan sesuatu yang ditambah-
tambahkan atau diada-adakan. Tetapi, tidak semua yang ditambah-
tambahkan atau diada-adakan setelah Rasulullah saw secara mutlak dapat
kita artikan “Bid’ah.
Umat Islam telah melakukan inovasi-inovasi – yang relatif – baru,
yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan Salaf al-Shâlih, tetapi
sama sekai tidak dapat disebut bid’ah, karena sama-sekali tidak terkait
dengan masalah ibadah dan ketentuan agama. Bahkan dalam beberapa hal
telah menunjukkan “pengamalan” ajaran agama Islam secara kongkret
dalam wilayah “mu’âmalah-dunyâwiyyah”. Misalnya: “pengembangan Ilmu
dan Teknologi dan penerapan-penerapan teori keilmuan dan teknologi yang
selaras dengan tujuan syariat Islam itu sendiri”. Inilah yang oleh para ulama
disebut dengan istilah ikhtirâ’.
Di dalam bangunan teori keilmuan Islam ada istilah yang dikenal
dengan sebutan: “al-mashlahah al-mursalah” (kemashlahatan yang terlepas),
yang bermakna: “memelihara maksud agama, dengan cara menolak segala
macam kerusakan, atas dasar keinginan untuk memelihara kemashlahatan
yang tidak – secara tekstual – ditunjukkan oleh nash (teks) al-Quran maupun
as-Sunnah, tetapi dapat dipahami secara tersirat bahwa nash (teks) al-Quran
maupun as-Sunnah menghendakinya. Inilah yang – kemudian dalam
wacana umat Islam – dikatakan sebagai “Kontekstualisasi Doktrin Islam”.
Akhirnya, penulis berharap “mudah-mudahan tulisan ini bisa
mengingatkan kepada kita, utama seluruh warga Muhammadiyah, untuk
selalu bersikap kritis dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
29
Al-Barbahari, Syarhus Sunnah lil Imâm al-Barbahâriy, hadits no. 7, tahqiq
Khalid bin Qasim ar-Radadi, cet. II, Darus Salaf, th. 1418 H.