Teks ini membahas tentang keanekaragaman makrozoobentos di muara sungai Belawan. Penelitian menunjukkan adanya 15 genus makrozoobentos yang dikelompokkan ke dalam 2 filum, 4 kelas, 7 ordo dan 12 famili. Indeks kepadatan tertinggi ditunjukkan oleh Littorina sebesar 42,672 ind./m2 yang ditemukan di stasiun II. Faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, kadar oksigen terlarut, kandungan organ
keanekaragaman makrozoobentos di muara sungai belawan
1. Jurnal Biologi Sumatera, Juli 2007, hlm. 37 – 41
ISSN 1907-5537
Vol. 2, No. 2
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI MUARA
SUNGAI BELAWAN
Mayang Sari Yeanny
Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara,
Jln. Bioteknologi No. 1, Kampus USU, Padang Bulan, Medan 20155
Abstract
Diversity of Macrozoobenthic in Belawan river in Medan. Sampling station was determined by using
purposive random sampling. The result showed that fifteen generas of macrozoobenthic, which were
categorized into two phylums, four classes, seven orders, twelve families. The highest index of the population
density was shown by Littorina 42.672 ind./m2
which found in stasion II. The highest index of the diversity was
found in station III: 1.67 and the lowest was found in station I: 1.52. The highest index of the equaitability was
found in station I: 0.95 and the lowest was found in station II: 0.90. The diversity of macrozoobenthic was
effected by some environment factors such as; temperature, salinity, DO, the content of organic substrate, that
were significant effected and pH was highly significant effected
Keywords: macrozoobenthic, diversity, Belawan River
PENDAHULUAN
Sungai Belawan merupakan sumber air yang
sangat penting fungsinya dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Salah satu bagian sungai
adalah muara. Muara merupakan penggabungan
beberapa sungai yang menyatu dan menbentuk suatu
daerah yang lebih besar, dimana dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Sungai Belawan Medan merupakan
salah satu sungai yang mempunyai panjang 74 km.
Dimana aliran sungai Belawan melawati kawasan
pemukiman, industri, Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) dan pertambakan. Dengan adanya aktivitas
tersebut, akan mempengaruhi lingkungan sehingga
mengganggu kehidupan organisme air.
Salah satu organisme air adalah
makrozoobentos. Makrozoobentos adalah organisme
yang hidup di dasar perairan, hidup sesil, merayap,
atau menggali lubang. Kelimpahan dan
keanekaragamannya sangat dipengaruhi oleh toleransi
dan sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan.
Kisaran toleransi dari makrozoobentos terhadap
lingkungan berbeda-beda (Wilhm, 1975 dalam
Marsaulina, 1994). Sejauh ini keanekaragaman
Makrozoobentos di Muara Sungai Belawan belum
diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui
keanekaragaman Makrozoobentos di Muara Sungai
Belawan. (2) Mengetahui pengaruh faktor fisik kimia
terhadap keanekaragaman makrozoobentos di muara
Sungai Belawan Medan.
BAHAN DAN METODE
Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan adalah Purposive
Random Sampling sebanyak 3 (tiga) stasiun. Pada
setiap stasiun dilakukan 3 kali pengambilan sampel.
Pengambilan sampel menggunakan eckmamn grab
yang dilakukan dengan cara menurunkannya dalam
keadaan terbuka sampai dasar sungai, kemudian
pengait ditarik sehingga eckmann grab secara
otomatis tertutup bersamaan dengan masuknya
substrat. Sampel yang didapat disortir menngunakan
metode hand sorting dengan bantuan ayakan,
selanjutnya dibersihkan dengan air dan dimasukkan ke
dalam botol sampel yang telah berisi formalin 4%
selama 1 hari, kemudian dicuci dengan akuades dan
dikeringanginkan, lalu masukkan kembali ke dalam
botol koleksi yang telah diberikan alkohol 70%
sebagai pengawet dan diberi label (Suin, 2002).
Sampel dibawa ke Laboratorium Ekologi untuk
diamati dengan menggunakan mikroskop stereo dan
alat bantu cawan petri, pinset serta kuas, lalu
diidentifikasi dengan menggunakan buku acuan
Edmonson dan Dharma (1988).
Pengukuran Faktor Fisik Kimia Air
Pengukuran faktor fisik kimia air yang diukur
dalam penelitian ini adalah: suhu, penetrasi cahaya,
kedalaman, pH, salinitas, DO (Dissolved Oygene),
BOD5 (Biochemical Oxygene Demand) dan
kandungan organik substrat. Sebagian dilakukan
langsung di lapangan dan sebagian lagi diukur di
laboratorium.
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah menghitung
kepadatan populasi, kerapatan relatif, frekwensi
kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wiener, indeks
ekuitabilitas, dan analisa korelasi dengan persanaan
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
2. YEANNY J. Biologi Sumatera38
a. Kepadatan Populasi (K)
sampelnpengambilaareaLuas
jenissuatuindividuJumlah
K =
b. Kepadatan Relatif (KR)
KR =
N
ni
Σ
x 100%
Dengan ni : jumlah individu spesies i
NΣ : total individu seluruh jenis
c. Frekwensi Kehadiran (FK)
%100x
plottotalJumlah
jenissuatuditempatiplotJumlah
FK =
Dengan nilai FK: 0-25% (sangat jarang); 25-50%
(jarang); 50-75% (sering); >75%
(sangat sering)
d. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H1
)
H1
= -Σ pi ln pi
Dengan H1
= indeks diversitas Shannon Wiener
pi = proporsi spesies ke-i
ln = logaritma nature
pi = Σ ni/N (Perbandingan jumlah
individu suatu jenis dengan
keselurahan jenis)
dengan nilai H1
:
0<H1
<2,302 = keanekaragaman rendah
2,302<H1
<6,907 = keanekaragaman sedang
H1
> 6,907 = keanekaragaman tinggi
e. Indeks Equitabilitas (E)
Indeks Equitabilitas (E) =
max
`
H
H
Dengan:
H1
= indeks diversitas Shannon-wiener
Hmax = keanekaragaman spesies maksimum
= ln S (dimana S banyaknya spesies)
dengan nilai E berkisar antara 0-1
f. Analisis Kolerasi
Nilai Kolerasi diperoleh dari persamaan:
22
.
.
yx
yx
r
Σ
Σ
=
Dengan r = koefisien kolerasi
x = Variabel x (indeks Keanekaragaman)
y = Variabel y (faktor fisik kimia)
Selanjutnya dihutung dengan uji (t) menurut Michael
(1984) dengan persamaan:
2
1
2
r
nr
t
−
−
=
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor Fisik Kimia Perairan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
nilai rata-rata faktor fisik kimia air pada setiap stasiun
pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Nilai rata-rata faktor fisik kimia air pada
setiap stasiun pengamatan
Stasiun
No Parameter Satuan
I II III
1. Suhu o
C 32,00 33,33 33,17
2. Penetrasi
cahaya
cm 26,67 66,67 61,67
3. Kedalaman m 2,33 6,80 6,67
4. pH - 6,23 6,80 6,87
5 DO mg/l 4,73 4,4 4,3
6. Salinitas o
/oo
18,00 18,33 19,33
7. BOD5 mg/l 0,93 0,90 0,83
8. Substrat dasar Lumpur
berpasir,
Lumpur
berbatu
Lumpur
berpasir
Lumpur
berbatu
9. Kandungan
organik
subsrat
% 5,95 6,38 6,03
Keterangan:
Stasiun I = Lokasi Pemukiman Penduduk
Stasiun II = Lokasi PLTU
Stasiun III = Lokasi Pelabuhan Lama
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa suhu ketiga
stasiun berkisar 32,00 – 33,00 o
C denga suhu tertinggi
pada stasiun II sebesar 33,33 o
C, dan yang terendah
pada stasiun I sebesar 32,00 o
C. Rendahnya suhu pada
stasiun I disebabkan kondisi yang lebih ternaungi oleh
tumbuhan bakau dibandung kedua stasiun lainnya (I
dan III). Menurut Odum (1988) suhu ekosistem
perairan selain dipengaruhi oleh penetrasi cahaya,
pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya,
ketinggian kanopi (penutup vegetasi) dari pepohonan
yang di pinggiran perairan.
Penetrasi cahaya ketiga stasiun berkisar 26,67
– 66,67 cm, tertinggi di stasiun II sebesar 26,67 cm
dan terendah di stasiun I sebesar 66,67 cm.
Rendahnya penetrasi cahaya di stasiun I disekan oleh
aktivitas masyarakat seperti pertambakan, perikanan
dan pembuangan limbah masyarakat. Sastrawidjaya
(1991) menyatakan bahwa cahaya matahari tidak
dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan
suspensi atau bahan terlarut terlalu tinggi, akibatnya
akan mempengaruhi proses fotosintasis di dalam
perairan tersebut.
Kedalaman pada ketiga stasiun berkisar 2,33
– 12,00 m. Kedalaman terendah pada stasiun I sebasar
2,33 dan tertinggi pada stasiun II. Tingginya
kedalaman pada stasiun II disebabkan karena stasiun
ini merupakan lokasi PLTU yang berdekatan dengan
laut.
Derajat Keasaman atau kebasaan (pH) pada
stasiun penelitian rata-rata mnendekati netral berkisar
6,23-6,87. pH tertinggi pada stasiun III sebesar 6,23
dan terendah pada stasiun I sebesar 6,87, namun
keseruhan pH sangat mendukung kehidupan
makrozoobentos. Sutrisno (1987) menyatakan, pH
yang optimal untuk spesies makrozoobentos berkisar
6,0-8,0.
Universitas Sumatera Utara
3. Vol. 2, 2007 J. Biologi Sumatera 39
Oksigen terlarut (DO) pada ketiga stasiun
berkisar 4,33-4,73. DO tertinggi pada stasiun I sebesar
4,73 dan terendah pada stasiun III sebesar 4,33.
Tingginya DO pada stasiun I berkaitan dengan
rendahnya suhu perairan tersebut. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Sastrawijaya (1991), bahwa suhu
mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan
oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air
akan menurun. Namun secara keseluruhan kandungan
oksigen semua stasiun sangat mendukung kehidupan
organisme perairan.
Salinitas pada ketiga stasiun berkisar 18,00-
19,33o
/oo. Salinitas tertinggi pada stasiun III sebesar
19,33o
/oo dan terendah pada stasiun I sebesar 18,00o
/oo.
Tingginya salinitas pada stasiun III disebabkan lebih
dekat dengan laut bebas. Nybakken (1992),
menyatakan adanya penambahan air tawar yang
mengalir masuk ke perauran laut (muara) dapat
menurunkan salinitas.
BOD5 pada ketiga stasiun berkisar 0,833-
0,933 mg/l. BOD5 tertinggi pada stasiun I sebesar
0,933 mg/l dan terendah pada stasiun III sebesar 0,833
mg/l. Tingginya BOD5 pada stasiun I disebabkan
banyaknya limbah dari aktivitas masyarakat seperti
pertambakan, perikanan dan pembuangan limbah
masyarakat sehingga oksigen yang dibutuhkan untuk
mengurai bahan tersebut semakin sedikit. Brower et
al., (1990), menyatakan jika konsumsi oksigen pada
periode lima hari berkisar 5 ppm maka perairan
tersebut tergolong baik, sedangkan jika berkisar 10-20
ppm maka perairan tersebut menunjukkan tingkat
pencemaran oleh materio organik.
Substrat dasar pada ketiga stasiun terdiri dari
lumpur berpasir dan lumpur berbatu. Kondisi substrat
yang demikian karena muara merupakan kumpulan
dari anak sungai sehingga sedimen lumpur
terakumulasi dan substrat lumpur yang dominan. Jenis
substrat dapat menyebabkan perbedaan jenis
makrozoobentos yang hidup pada masing-masing
stasiun tersebut (Nybakken, 1992).
Kandungan organik subsrat pada ketiga
stasiun berkisar 5,95-6,38% dengan nilai tertinggi
didapatkan pada stasiun I sebesar 6,38%, dan terendah
distasiun I sebesar 5,95%. Secara keseluruhan nilai
kandungan organik yang dapat pada ketiga
stasiunpenelitian tergolong tinggi. Menurut Pusat
Penelitian Tanah (1983) dalam Djaenuddin et al.,
(1994), kriteria tinggi rendahnya kandungan organik
substrat/tanah berdasarkan persentase adalah sebagai
berikut; <1% (sangat rendah); 1-2% (rendah); 2,01-
3% (sedang); 3,01-5% (tinggi); >5,01% (sangat
tinggi);
Jenis-Jenis Makrozoobentos yang Didapat pada
Setiap Stasiun
Berdasarkan hasil penelitian dip[eroleh jenis-
jenis makrozoobentos yang didapatkan pada beberapa
stasiun lokasi penelItian seperti Tabel 2. Pada Tabel
tersebut dapat dilihat makrozoobentos yang
didapatkan sebanyak 15 genus yang di kelompokkan
dalam 2 phylum, 4 kelas, 7 ordo dan 12 famili.
Makrozoobentos yang paling banyak ditemukan
adalah dari kelas Gastropoda, ini disebabkan kondisi
lingkungan sesuai dengan kehidupannya. Menurut
Hutchinson (1993), Gastropoda merupakan hewan
yang dapat hidup dan berkembang dengan baik pada
berbagai jenis substrat yang memiliki kesediaan
makanan dan kehidupannya selalu dipengaruhi oleh
kondisi fisik kimia perairan seperti, suhu, pH maupun
oksigen terlarut.
Tabel 2. Jenis-jenis Makrozoobentos yang didapatkan di Muara Percut Sei Tuan
Phylum Kelas Ordo Famili Genus
Annelida Oligochaeta Opisthopora Tubificidae Tubifex
Moluska Bivalvia Toxodonta Arcidae Anadara
Gastropoda Archaegastropoda Trocidae Monodonta
Basommatophora Physidae Physa
Mesogastropoda Cymatiidae Cymatium
Linatella
Epitoiniidae Epitonium
Littorinidae Littorina
Pleuroceridae Goniobasis
Pleurocera
Phylum Kelas Ordo Famili Genus
Potamididae Telescopium
Neogastropoda Melongnidae Pugilina
Muricidae Chicoreus
Murex
Pelecypoda Heterodonta Sphaeriidae Sphaerium
Keterangan:
B : Bawah
T : Tengah
A : Atas
- : tidak ditemukan
Universitas Sumatera Utara
4. YEANNY J. Biologi Sumatera40
Tabel 3. Nilai kepadatan (ind./m2
), Kepadatan Relatif (%) dan Frekwensi Kehadiran (%) pada setiap stasiun
penelitian
I II III
TAKSA
K KR FK K KR FK K KR FK
Tubifex 26,67 37,50 100
Anadara 10,67 14,29 33,33
Monodonta 10,67 15,39 66,67 16,00 14,99 66,67
Physa 16,00 14,99 66,67
Cymatium 10,67 14,29 66,67
Linatella 10,67 10,00 33,33
Epitonium 5,33 7,13 33,33
Littorina 5,33 7,68 33,33 42,67 39,99 66,67
Goniobasis 16,00 23,08 100
Pleurocera 21,33 30,76 100
Telescopium 10,67 10,00 33,33
Pugilina 10,67 10,00 33,33
Chicoreus 10,67 14,29 33,33
Murex 10,67 14,29 66,67
Sphaerium 16,00 23,08 66,67
Total 69,33 100 106,69 100 74,69 100
Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan
Frekwensi Relatif Makrozoobentos
Hasil penelitian mendapatkan nilai kepadatan,
kapadatan relatif dan frekwensi relatif di stasiun
seperti tertera pada Tabel 3. Dari Tabel tersebut dapat
dilihat bahwa bahwa genus Littorina yang paling
banyak dijumpai diantara ketiga stasiun penelitian
yaitu sebesar 42,67 ind./m2
(K), 39,99% (KR) dan
33,33% (FK) yang terdapat stasiun II. Tingginya
genus ini disebabkan substrat dasar perairan lumpur
berpasir mendukung keberadaannya. Dharma (1988)
menyatakan genus Littorina banyak dijumpai pada
perairan dengan substrat lumpur berpasir disekitar
muara.
Indeks Keanekaragaman (H1
) dan Indeks
Keseragaman (E)
Dari Tabel indeks keanekaragaman (H1
) pada
ketiga stasiun berkisar 1,52-1,67. Indeks
keanekaragaman (H1
) tertinggi sebesar 1,67 pada
stasiun III dan terendah pada stasiun I sebesar 1,52.
Keanekaragaman makrozoobentos pada ketiga stasiun
penelitian tergolong rendah. Menurut Kreb (1985),
Keanekaragaman rendah bila 0<H1
<2,30,
Keanekaragaman sedang bila 2,302<H1
<6,907,
Keanekaragaman tinggi bila H1
< 6,907.
Tabel 4. Nilai Keanekaragaman (H1
) dan Nilai
Keseragaman (E) Makrozoobentos
Stasiun
Indeks
I II III
Indeks keanekaragaman (H1
) 1,52 1,62 1,67
Indeks Keseragaman (E) 0,95 0,90 0,93
Indeks Keseragaman (E) ketiga stasiun
penelitian berkisar 0,904 – 0,947 dengan indeks
keseragaman tertinggi pada stasiun I sebesar 0,947
dan terendah pada stasiun II sebesar 0,904. Secara
keseluruhan indeks keseragaman ketiga stasiun
tergolong tingg, yang berarti penyebaran individu
sangat seragam dan merata. Menurut Kreb (1985)
indeks keseragaman (E) berkisar 0-1. Bila nilai
mendekati 0 berarti keseragaman rendah karena
adanya jenis yang mendominasi dan bila mendekati 1,
keseragaman tinggi yang menunjukkan tidak ada jenis
yang mendominasi.
Analisa Kolerasi Keanekaragaman Makrozoobentos
dengan Faktor Fisik Kimia Perairan
Berdasarkan pengukuran faktorfisik kimia
perairan yang telah dilakukan pada setiap stasiun
penelitian, dan dikolerasikan dengan Indeks
Keanekaragaman (Diversitas Shannon-Wiener) maka
diperoleh nilai kolerasi seperti terlihat pada tabel
berikut:
Tabel 5. Nilai analisis kolerasi keanekaragaman
Makrozoobentos dengan Faktor Fisik Kimia
Perairan
No Parameter r t
1. Suhu 1,00 44,43*
2. Penetrasi cahaya 0,96 3,26tn
3. Kedalaman 0,86 1,69tn
4. pH 1,00 100,82**
5. DO 0,99 13,05*
6. Salinitas 1,00 55,03*
7. BOD 0,99 12,036tn
8. Kandungan organik
subsrat
0,99 26,02*
Keterangan:
tn = tidak berpengaruh
* = berpengaruh nyata
** = berpengaruh sangat nyata
Universitas Sumatera Utara
5. Vol. 2, 2007 J. Biologi Sumatera 41
Dari Tabel 5 hasil analisis kolerasi antara
faktor fisik kimia perairan dengan indeks
keanekaragaman dengan uji t memberikan hasil
bahwa suhu, DO, Salinitas dan kandungan organik
sustrat berpengaruh nyata terhadap keanekaragaman
makrozoobentos, sedangkan pH memberi pengaruh
sangat nyata terhadap keanekaragaman
makrozoobentos.
Suhu berpengaruh nyata terhadap
keanekaragaman makrozoobentos disebabkan
makrozoobentos memiliki kisaran toleransi untuk
dapat hidup baik di tempat tersebut. Oksigen terlarut
salah satu faktor penting dalam suatu perairan untuk
kelangsungan hidup makrozoobentos. Menurut
Sastrawijaya (1991), untuk mempertahankan
hidupnya, organisme air bergantung pada oksigen
terlarut. Salinitas berpengaruh terhadap kehidupan
makrozoobentos antara lain mempengaruhi laju
pertumbuhan, jumlah makanan yang dikomsumsi,
nilai konversi makanan dan daya kelangsungan hidup
biota air. Kandungan organik substrat memberi
pengaruh karena habitat dari makrozoobentos terdapat
di substrat dasar perairan. Menurut Hutchinson
(1993), keanekaragaman makrozoobentos di perairan
juga dipengaruhi oleh jenis substrat dan kandungan
organik substrat. Derajat Keasaman (pH) sangat
penting mendukung kelangsungan hidup organisme
akuatik karena pH dapat mempengaruhi jenis dan
susunan zat dalam lingkungan perairan dan
tersedianya unsur hara serta toksisitas unsur renik.
Sastrawijaya (1991) kondisi perairan yang sangat
asam atau basa akan membahayakan kelangsungan
hidup organisme karena akan menyebabkan
terganggunya metabolisme dan respirasi, dimana pH
yang rendah menyebabkan mobilitas kelangsungan
hidup organisme perairan. Dari penelitian tentang
keanekaragaman makrozoobentos di muara sungai
Belawan dapat disimpulkan sebagai barikut: (1)
Secara keseluruhan makrozoobentos yang didapatkan
sebanyak 15 genera dari 12 famili, 7 ordo, 4 kelas dan
2 filum. (2) Kepadatan makrozobentos tertinggi
terdapat pada genus Littorina sebasar 42,672 ind./m2
(stasiun II) dan terendah pada genus Epitonium
sebesar 5,328 ind./m2
(stasiun III). (3)
Keanekaragaman pada ketiga stasiun tergolong rendah
(1,52-1,67) dan keseragaman tergolong tinggi (0,90-
0,95). (4) Suhu, DO, Salinitas, dan kandungan organik
berpengaruh nyata sedangkan pH berpengaruh sangat
nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Brower, J. E. H. Z. Jerrold & Car I. N. Von Ende.
1990. Field and Laboratory Methods for
General Ecology. Third Edition. Wm C.
Brown publisher USA, New York. hlm. 52.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia.
Cetakan pertama. Sarana Graha, Jakarta hlm
4-27
Edmonson, W.T. 1963. Fresh Water Biologi. Second
Edition. Jhon Willey & Sons, inc, New York.
hlm. 274-285
Krebs.C. J. 1985. Experimental Analysis of
Distribubution of Abudance Third edition.
Harper & Row Publisher, New York. hal.
186-187
Marsaulina, L. 1994. Keberadaan dan
Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai
Semayang Kecamatan Sunggal. Karya tulis.
Lembaga Penelitian USU, Medan hlm 2, 6-10
Michael, P. 1984. Metode Ekologi untuk Penyelidikan
Ladang dan Laboratorium. UI Pres, Jakarta.
hlm. 140,168.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu
Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia, Jakarta
hlm. 45-48.
Odum, E.P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga.
Gadjah Mada University Pres. Yogyakarta.
hlm. 373,397.
Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan.
Rineka Cipta. Jakarta. hlm. 35, 83-87.
Suin, N. M. 2002. Metode Ekologi. Universitas
Andalas, Padang. hlm. 58-59.
Universitas Sumatera Utara