SlideShare a Scribd company logo
1 of 30
RINGKASAN
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
PANCASILA, DEMOKRASI, DAN PENCEGAHAN KORUPSI
Penulis : Achmad Ubaedillah
Penerbit : Prenadamedia Group (Edisi Pertama, 2015)
ISBN : 978-602-0895-05-5
BAB I
A. Pendidikan Kewarganegaraan dan Reaktualisasi Pancasila
Sejak reformasi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi,
mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003,
diwujudkan dengan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam
pelaksanaannya Pendidikan Kewarganegaraan ini mengacu pada Surat Keputusan
Dirjen Dikti No. 267/Dikti/Kep./2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi, yang selanjutnya, diperbarui dengan Surat Keputusan Dirjen Dikti No.
38/Dikti/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian di perguruan tinggi.
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya adalah menjadikan
warga negara Indonesia yang cerdas, bermartabat, dan aktif dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Namun pada kenyataannya, alih-alih mewujudkan
tujuan-tujuan mulia Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya di era Orde Baru,
telah dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara
indoktrinasi nilai-nilai Pancasila dan manipulasi terhadap makna sebenarnya
demokrasi.
Dalam konteks pendidikan formal, keberadaan Pendidikan
Kewarganegaraan melalui pola-pola pembelajaran yang humanis dan partisipatif
merupakan salah satu cara yang sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, di mana nilai
dan prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya (genuine democracy) dapat
dipraktikkan di ruang-ruang kelas dan perkuliahan.
Pendidikan Kewarganegaraan dengan pijakan pembangunan karakter
bangsa (character nation building) ini sangat relevan untuk dilakukan saat ini di
mana perilaku berdemokrasi di Indonesia masih banyak disalahpahami oleh
kebanyakan warga negara Indonesia. Demokrasi masih banyak dipahami sebatas
kebebasan bertindak dan berekspresi tanpa menghiraukan hak-hak asasi orang lain.
Bahkan dengan alasan demokrasi masyarakat saat berunjuk rasa dengan mudah
bertindak anarkis (vandalisme) dengan cara pengrusakan fasilitas umum
(kendaraan, marka jalan, pos penjagaan, toko, perkantoran, rumah sakit, sekolah,
dan sebagainya) maupun mengganggu ketertiban umum atau memaksa orang lain
untuk mengikuti unjuk rasa yang mereka lakukan.
B. Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) atau Civics memiliki
banyak pengertian dan istilah. Tidak jauh berbeda dengan pengertian ini,
Muhammad Numan Somantri merumuskan pengertian Civics sebagai Ilmu
Kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan: (a) manusia
dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi,
politik); (b) individu-dividu dengan negara. Jauh sebelum itu, Edmonson (1958)
menyatakan bahwa makna Civics selalu didefinisikan sebagai sebuah studi tentang
pemerintahan dan kewarganegaraan yang terkait dengan kewajiban, hak, dan hak-
hak istimewa warga negara. Pengertian ini menunjukkan bahwa Civics merupakan
cabang dari ilmu 3 politik, sebagaimana tertuang dalam Dictionary of Education.
Istilah lain yang hampir sama maknanya dengan Civics adalah Citizenship.
Dalam hubungan ini Stanley E. Dimond, seperti dikutip Somantri, menjelaskan
rumusan sebagai berikut: “Citizenship as it relates to school activities has two-fold
meaings. In a narrow-sense, citizenship includes only legal status in country and
the activities closely related to the political function-voting, governmental
organization, holding of office, and legal right and responsibility...” (Citizenship
sebagaimana keberhubungan dengan kegiatan-kegiatan sekolah mempunyai dua
pengertian dalam arti sempit, citizenship hanya mencakup status hukum warga
negara dalam sebuah negara, organisasi pemerintah, mengelola kekuasaan, hak-hak
hukum dan tanggung jawab). Dari perspektif ini, Civics dan Citizenship erat
kaitannya dengan urusan warga negara dan negara.
Hal penting dari rumusan Dimond di atas adalah keterkaitan citizenship
dengan kegiatan belajar di sekolah mengingat pentingnya disiplin pengetahuan ini
bagi kehidupan warga negara dengan sesamanya maupun dengan negara di mana
mereka berada. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, makna penting citizenship
telah melahirkan gerakan warga negara (civic community) yang sadar akan
pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam catatan sejarahnya, Pendidikan Kewarganegaraan muncul dari
gagasan yang lahir dari pandangan masyarakat yang memandang penting
pendidikan ini. Salah satu contoh pandangan tersebut adalah gerakan community
civics yang dipelopori oleh W.A. Dunn pada 1907. Gerakan ini merupakan
permulaan yang menghendaki mata pelajaran tentang kewarganegaraan (Civic
Education) lebih fungsional bagi para peserta didik dengan menghadapkan mereka
kepada lingkungan atau kehidupan seharihari (sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya), baik yang berskala lokal maupun internasional. Bersamaan dengan
timbulnya gerakan community civics versi Dunn, lahir gerakan serupa, yaitu
gerakan Civic Education atau juga biasa disebut dengan istilah Citizenship
Education (Pendidikan Kewarganegaraan).
Istilah Civic Education oleh banyak ahli diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan istilah Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewargaan.
Istilah Pendidikan Kewargaan dengan orientasinya sebagai media penguatan warga
negara dalam berdemokrasi untuk pertama kali oleh rektor Institut Agama Islam
egeri (IAIN) “Syarif Hidayatullah” jakarta Profesor Azyumardi Azra. Tidak lama
setelah munculnya gerakan Reformasi, pada tahun 2000 Mata Kuliah Pendidikan
Kewargaan (Civic Education) dengan pengertian dan tujuan seperti di atas untuk
pertama kalinya dilaksanakan di lingkungan IAIN jakarta (kini Universitas Islam
Negeri atau UIN jakarta), dan selanjutnya didiseminasikan ke seluruh Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri di Indonesia. Adapun istilah Pendidikan
Kewarganegaraan diwakili antara lain oleh beberapa pakar Pendidikan
Kewarganegaraan: Zamroni, Muhammad Numan Somantri, dan Udin S.
Winataputra.
Pemahaman lain tentang Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses
yang dilakukan oleh lembaga pendidikan di mana seseorang mempelajari orientasi,
sikap, dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political
knowledge, awareness, attitude, political edicacy, dan political participation serta
kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional.
Menurut Somantri, Pendidikan Kewarganegaraan ditandai oleh ciri-ciri
sebagai berikut: (a) Civic Education adalah kegiatan yang meliputi seluruh program
sekolah; (b) Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan mengajar yang
dapat menumbuhkan hidup dan perilaku yang lebih baik dalam masyarakat
demokratis; dan (c) dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut
pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi, dan syarat-syarat objektif untuk
hidup bernegara. Dengan kata lain, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education) adalah suatu program pendidikan yang berusaha menggabungkan
unsur-unsur substantif dari komponen Civic Education di atas melalui model
pembelajaran yang demokratis, interaktif, serta humanis dalam lingkungan yang
demokratis.
Agar Pendidikan Kewarganegaraan mencapai tujuan maksimal, diperlukan
beberapa persyaratan sebagai berikut: pertama, lingkungan kelas haruslah
demokratis; kedua,materi tentang demokrasi dan HAM tidak dapat diajarkan secara
verbalistis, melainkan harus melalui situasi dan pengalaman yang dikenal oleh
peserta didik; dan ketiga, model pembelajaran yang dikembangkan adalah model
pembelajaran interaktif. Unsur ketiga ini biasa juga dikenal dengan istilah model
pembelajaran kolaboratif atau pembelajaran aktif (active learning).
C. Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) bagi
Pembangunan Budaya Demokrasi di Indonesia
Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, demokrasi bukanlah sebuah wacana, pola
pikir, atau perilaku yang dapat dibangun sekali jadi. Menurutnya, demokrasi adalah
proses di mana masyarakat dan negara berperan di dalamnya untuk membangun
kultur dan sistem kehidupan yang dapat menciptakan kesejahteraan, menegakkan
keadilan baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dari sudut pandang ini,
demokrasi dapat tercipta apabila masyarakat dan pemerintah bersama-sama
membangun kesadaran akan pentingnya demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Proses demokratisasi Indonesia membutuhkan topangan budaya demokrasi
yang genuine. Tanpa dukungan budaya demokrasi, proses transisi demokrasi masih
rentan terhadap berbagai ancaman budaya dan perilaku tidak demokratis warisan
masa lalu, seperti perilaku anarkis dalam menyuarakan pendapat, politik uang
(money politics), pengerahan massa untuk tujuan politik, dan penggunaan simbol-
simbol primordial (suku dan agama) dalam berpolitik.
Melihat pada kenyataan tersebut, menurut Azra, Indonesia membutuhkan
sebuah demokrasi keadaban (civilitized democracy) atau apa yang dikatakan oleh
Robert W. Heffner sebagai keadaban demokrasi (democratic civility). Namun
demikian, menuju tatanan demokrasi keadaban yang lebih genuine dan autentik
bukanlah hal yang mudah dan instan; sebaliknya membutuhkan proses pengenalan,
pembelajaran, dan pengamalan (learning by doing), serta pendalaman (deepening)
demokrasi. Proses panjang ini tidak lain dilakukan dalam rangka mengembangkan
budaya demokratis (democratic culture) di Indonesia. Salah satu cara untuk
mengembangkan kultur demokratis berkeadaban dimaksud adalah melalui program
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) yang dilakukan melalui cara-cara
pembelajaran demokratis oleh pengajar yang demokratis untuk tujuan
menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi.
Terdapat dua alasan, menurut Azra, mengapa Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia dalam membangun
demokrasinya. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political
illiteracy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi dan
lembaga-lembaganya di kalangan warga negara.
Kedua, meningkatnya political apathism (apatisme politik) yang
ditunjukkan dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam proses-proses
politik. Jika demokrasi merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar atau
dimundurkan (point of no return) bagi bangsa Indonesia, maka Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) adalah salah satu upaya penyemaian budaya
demokrasi. Langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan Pendidikan
Kewarganegaraan.
BAB II
A. Reaktualisasi Pancasila
Merupakan upaya dalam rangka perjuangan menjadikan demokrasi sejalan
dengan makna demokrasi yang tersirat dalam sila keempat Pancasila.
Upaya memperjuangkan Pancasila dengan cara mengaktualisasikannya
dengan semangat dan tuntutan zaman yang berubah tidak lain karena Pancasila pada
dasarnya merupakan falsafah atau pemikiran mendalam tentang tata cara hidup
bersama sebagai bangsa yang bersifat terbuka dan elastis yang dirumuskan oleh
para pendiri bangsa dan diwariskan kepada seluruh bangsa Indonesia. Karakteristik
ini secara tersurat dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada
peringatan ke-61hari lahir Pancasila 2006. Menurut Presiden Indonesia keenam ini,
“Pancasila adalah falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka. Open ideology, living
ideology. Bukan dogma solusi yang statis dan menakutkan. Pancasila kita hendak
kita letakkan secara terhormat. Sebagaimana saya katakan, sebagai sumber
pencerahan, menjadi sumber insprasi, dan sekaligus sumber solusi atas masalah-
masalah yang hendakkita pecahkan”.
Gagasan rejuvenasi Pancasila dan sejenisnya ini merupakan agenda
nasional yang mendesak diwujudkan dan mengundang keterlibatan kalangan
intelektual untuk berperan aktif, selain peran pemerintahyang harus membuka
peluang seluas-luasnya bagi munculnya beragam tafsir kontekstual dan segar atas
dasar negara Pancasila. Bersamaan dengan ini, pemerintah juga harus secara
sungguh-sungguh dan konsekuen menjadikan Pancasila sebagai rujukan dan
orientasi kebijakan pembangunan nasional. Dengan ungkapan lain, sebagai sebuah
sistem nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang digali dari kebudayaan
dan pengalaman Indonesia, Pancasila harus ditempatkan sebagai cita-cita etis dan
hukum dan juga sebagai etika berpolitik warga bangsa.
Sebagai etika politik, sila-sila Pancasila yang saling terkait harus menjadi
orientasi praktik politik sehari-hari. Misalnya, Sila Pertama “Ketuhanan Yang
Maha Esa” yang mengandung prinsip spiritualitas harus bersinergi dengan prinsip
Sila Kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” di mana cara-cara meraih
kekuasaan politik dilakukan sebagai media untuk menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan di dunia sebagai pesan universal semua agama.
B. Empat Konsensus Dasar Indonesia
1. Pancasila: Pengertian Etimologis, Historis, dan Terminologis
Pancasila terdiri dari dua kata, panca artinya “lima” dan sila artinya
“dasar”. Secara harfiah, Pancasila memiliki pengertian “dasar yang memiliki
lima unsur”.
Secara historis, munculnya Pancasila tak bisa dilepaskan dari situasi
perjuangan bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan. Keinginan lepas dari
belenggu penjajahan asing dan belenggu pemikiran ideologi dunia saat itu,
yakni liberalisme dan komunisme, para tokoh bangsa antara lain Soekarno
dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai dari negerinya sendiri yang akan
dijadikan panduan dan dasar bagi Indonesia merdeka. Panduan dan dasar
negara Indonesia, menurut Soekarno, mestilah bukan meminjam dari unsur-
unsur asing yang tidak sepenuhnya sesuai dengan jati diri bangsa, tetapi harus
digali dari rahim kebudayaan Indonesia sendiri. Tanpa nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang di tanah kelahirannya, tegas Soekarno, akan sulit bagi bangsa
Indonesia untuk mencapai cita-cita kemerdekaannya. Suasana kebatinan ingin
lepas dari dua kungkungan inilah Pancasila seyogianya diposisikan, sehingga
keinginan-keinginan sebagian pihak yang hendak membawa Indonesia ke arah
tatanan demokrasi liberal maupun sosialisme dapat diingatkan kembali pada
konteks sejarah lahirnya Pancasila yang berusaha menggabungkan segala
kebaikan yang terdapat pada ideologi dan pemikiran asing. Upaya sungguh-
sungguh ini terbukti mendapatkan apresiasi setidaknya dari tokoh filsuf Inggris
Bertrand Russel seperti dinyatakan Latif bahwa Pancasila merupakan sintesis
kreatif antara Declaration of American Independence (yang merepresentasikan
ideologi demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang
merepresentasikan ideologi komunis).
Gagasan Pancasila dibahas untuknpertama kali di dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), salah
seorang peserta sidang Dr. Radjiman Widyodiningrat melontarkan gagasan
tentang rumusan sebuah dasar negara bagi Indonesia yang akan dibentuk.
Merespons gagasan ini, sejumlah tokoh pergerakan nasional, antara lain
Mohammad Yamin, Prof. Seopomo, dan Soekarno masing-masing
menguraikan buah pikiran mereka tentang dasar negara pada perhelatan resmi
tersebut.
Secara terminologis, eksistensi Pancasila tidak dapat dipisahkan dari
situasi menjelang lahirnya negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Sebagai konsekuensi dari lahirnya Indonesia yang membutuhkan alat-alat
kelengkapan sebagai negara yang berdaulat, maka kehadiran Pancasila diikuti
pula oleh kelahiran konstitusi UUD 1945. Sehari setelah Soekarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, pada 18 Agustus 1945 sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Pancasila dan
Undang-undang dasar negara Indonesia yang disebut dengan Undang-Undang
Dasar 45. Pengesahan UUD ’45 ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Melakukan beberapa perubahan pada rumusan Piagam Jakarta yang
kemudian berfungsi sebagai Pembukaan UUD ’45.
2. Menetapkan rancangan hukum dasar yang telah diterima Badan Penyidik
pada 17 Juli 1945, setelah mengalami berbagai perubahan karena berkaitan
dengan perubahan Piagam Jakarta, kemudian berfungsi sebagai Undang-
Undang Dasar 1945.
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden Pertama.
4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai Badan
Musyawarah Darurat.
Berdasarkan pengesahan tersebut, susunan UUD ”45 kemudian dibagi
menjadi dua bagian: bagian pembukaan dan bagian pasal yang terdiri dari 37
pasal, 1 aturan peralihan yang terdiri dari 4 pasal dan 1 aturan tambahan yang
terdiri atas 2 ayat. Pada bagian pembukaan konstitusi UUD '45 inilah kelima
sila pada Pancasila tercantum sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945)
UUD NRI 1945 adalah konstitusi negara Republik Indonesia.
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan negara. Semua konstitusi di mana pun mengandung
kekuasaan pemerintah negara terhadap seluruh aset kehidupan masyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Kekuasaan itu harus diatur dan dibatasi agar tidak
disalahgunakan secara absolut. Oleh karenanya perlu ada pembatasan-
pembatasan terhadap kekuasaan yang tertuang dalam konstitusn negara.
Dengan kata lain, konstitusi adalah pengaturan mengenai pembatasan atau
pengawasan (check and balance) terhadap kekuasaan pemerintahnegara.
Konstitusi tertulis yang mengatur kekuasaan pemerintah negara
Indonesia diwujudkan dalam UUD 1945. Sebagaihukum dasar, perumusan
UUD 1945 disusun secara sistematis mulai dari prinsip yang bersifat umum
dan mendasar sampai ke prinsip yang bersifat khusus dan perinci. Sebagai
hukum dasar, UUD 1945 bukan hanya merupakan dokumen hukum tetapi juga
mengandung aspek lain seperti pandangan hidup, cita-cita dan falsafah yang
merupakan nilai-nilai luhur bangsa dan menjadi landasan dalam
penyelenggaraan negara.
3. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sebelum 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah menunjukkan cita-
citanya untuk mendirikan sebuah negara bangsa (nation state). Pembentukan
organisasi pergerakan seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (SII, 1911),
manifestor politik (1925), dan Sumpah Pemuda (1928) merupakan peristiwa
sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya untuk
menjadi sebuah negara yang bebas dari belenggu penjajahan. Proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah memberi identitas baru bagi Indonesia
sebagai bangsa yang merdeka sekaligus memberi wadah bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Bentuk negara kesatuan atau konsep satu nusa
dikembangkan oleh para pendiri bangsa saat mereka bermusyawarah dalam
sidang-sidang BPUPKI sebelum momentumkemerdekaan. Setelah melewati
persidangan yang memunculkan beragam konsep tentang negara ' yang hendak
didirikan, dari konsep negara kerajaan dengan sistem federal, negara republik
dengan sistem unitaris, negara republik dengan sistem federal, pada akhirnya
disepakati bahwa bentuk negara yang akan didirikan adalah negara republik
dengan sistem unitaris integralistik. Konsep negara kesatuan ini selanjutnya
dituangkan dalam rancangan Undang-Undang Dasar hasil BPUPKI, yang
kemudian disahkan menjadi bentuk negara serta disepakati secara nasional
pada sidang PPKI.
Dalam UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan pada Pasal 1 yang
menyatakan bahwa, “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik.” Negara yang akan dibetuk adalah sebuah negara yang berbentuk
Republik dengan arti bahwa negara Indonesia yang akan dijadikan wadah bagi
seluruh kehidupan bangsa nanti harus merupakan sebuah kesatuan yang utuh,
secara politik maupun pertahanan, sekalipun majemuk secara kultural,
geografis, Bahasa, keyakinan dan sebagainya, mengingat Indonesia sebagai
rentetan kepulauan. Konsep NKRI pada perkembangan selanjutnya telah
melahirkan cara pandang tentang jati diri sebagai bangsa yang majemuk dan
bagaimana mendelinsikan dirinya ditengah kehidupan dan pergaulan dengan
bangsa-bangsa lain. Konsepsi diri inilah yang kemudian biasa disebut dengan
istilah wawasan kebangsaan.
4. Bhinneka Tunggal Ika
Unsur terakhir dari empat konsensus dasar nasional Indonesia adalah
prinsip kemajemukan dalam kesatuan. Jika Amerika Serikat memiliki “E
Pluribus Unum” (Dari Banyak, Satu), yang substansinya bahwa kemajemukan
yang dimiliki oleh bangsa Amerika dijadikan kekuatan untuk bersatu atau
kemajemukan untuk kesatuan cita-cita dan tujuan sebagai sebuah bangsa,
Indonesia telah diwariskan oleh Mpu Tantular (pujangga Nusantara abad XIV)
dalam kitabnya Sutasoma dengan sesanti inklusif Nusantara “Bhinneka
Tunggal Ika” yang menekankan semangat persatuan antara umat beragama
pada waktu itu. Asal kata Bhinneka Tunggal Ika adalah dari kata Bhinna yang
artinya “berbeda”, Tunggal yang artinya satu, dan Ika artinya “itu . Untaian
kata tersebut dapat diberi makna “berbeda—beda namun tetap manunggal
satu”.
BAB III
A. Apakah Identitas Itu?
Identitas sering dihubungkan dengan atribut yang disematkan kepada
individu yang sebenarnya memiliki sifat majemuk. Misalnya atribut kelamin (pria
atau wanita) yang hadir secara kodrati pada seseorang bisa bergandeng dengan
atribut-atribut kodrati lainnya yang tidak bisa ditolak seseorang sejak ia lahir,
seperti agama, suku, ras, kasta maupun kebangsaan. Selain identitas atau atribut
yang bersifat kodrati (diberikan oleh Tuhan sejak lahir), ia juga bersifat non-kodrati
atau bisa dibuat akibat dari usaha seseorang. Misalnya kelas pendidikan, ekonomi,
sosial, dan agama. Dua jenis atribut atau lebih bisa melekat pada setiap individu.
Seorang Muslim adalah Batak dan pada saat yang sama beridentitas kelas
menengah, kelas terdidik, dan sebagainya.
Identitas bisa berdampak positif juga bisa berdampak negatif. Iika identitas
tersebut dapat menimbulkan rasa bangga, baik bagi dirinya maupun komunitasnya,
maka identitas bernilai positif. Sebaliknya identitas dapat melahirkan masalah
manakala ia menjadi alasan untuk berkonflik bahkan berperang. Banyak contoh
konflik yang tidak lepas dari persoalan identitas kelompok, seperti konflik suku,
ras, dan agama yang sering terjadi di berbagai belahan dunia. Konflik suku di
Rwanda (suku Tutsi dan Hutsi), konflik agama di India (Hindu-Muslim), di Serbia
(Katolik dan Islam), di Palestina (Islam dan Yahudi), di Irak (Sunni dan Syfah).
Konflik serupa terjadi pula di sejumlah daerah di Indonesia, seperti konflik suku di
Kalimantan Barat antara suku Dayak dan Madura, atau konflik bernuansa
keyakinan di Ambon antara komunitas Kristen dan Muslim.
Identitas dipahami pula sebagai ungkapan nilai-nilai budaya yang dimiliki
suatu komunitas, kelompok, atau bangsa yang bersifat khas dan membedakannya
dengan kelompok atau bangsa yang lain. Kekhasan yang melekat pada sebuah
bangsa ini dikenal secara umum dengan sebutan “identitas nasional.”Identitas yang
melekat pada suatu bangsa tidaklah bersifat statis. Identitas adalah sesuatu yang
dapat dibentukoleh suatu individu atau kelompok.
Secara teoretis identitas hakikatnya adalah sesuatu yang dinamis dan
beragam ekspresi: individu ataupun kelompok yang terlibat dalam prosesnya
hanyalah bersifat parsial dan tidak lengkap. Identitas teramat sering dibentukoleh
praktik-praktik yang khas dan kejadian-kejadian yang saling terkait satu dengan
lainnya. Dalam kenyataan sehari-hari identitas dapat berupa pengakuan subjektif
yang dijelaskan oleh seseorang atau kelompok untuk dikenali oleh pihak luar atau
pernyataan orang luar yang disematkan kepada kelompok tersebut. Penyematan
pihak luar terhadap suatu kelompok kadang kala tidak sesuai dengan kenyataannya.
Penyematan bisa saja terbentuk atas reduksi hakikat seseorang atau kelompok yang
sesungguhnya majemuk.
Reduksi sering kali melahirkan stereotip (atau atribut) yang dapat
mengotakkan seseorang atau kelompok ke dalam suatu identitas yang bukan
sebenarnya. Proses ini sering disebut dengan istilah politisasi identitas untuk
kepentingan subjektif seseorang, kelompok atau lembaga negara. Politisasi
identitas ini tak jarang melahirkan tindakan diskriminasi kelompok dominan
terhadap kelompok minoritas. Agar hal ini tidak terjadi gagasan tentang pendidikan
multikultural bagi Indonesia yang majemuk menjadi salah satu tawaran solusi yang
diharapkan mampu menjadikan Indonesia rumah bagi semua komponen bangsa
yang ada dengan beragam identitasnya.
B. Unsur-unsur Pembentuk Identitas Nasional Indonesia
Identitas nasional Indonesia terbentuk oleh bermacam unsur, fisik, dan non
fisik. Salah satu identitas yang melekat pada bangsa Indonesia adalah sebutan
sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Kemajemukan bangsa Indonesia ini
tecermin pada ungkapan sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat pada simbol
nasional Burung Garuda dengan lima simbol yang mewakili sila-sila dalam dasar
negara Pancasila. Kemajemukan ini merupakan perpaduan dari unsur-unsur yang
menjadi inti identitas Indonesia: sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama, dan
bahasa.
Menurut catatan sejarah, sebelum menjadi sebuah negara bangsa (nation
state), Nusantara pernah mengalami masa kejayaan yang gemilang. Dua kerajaan
besar yakni Sriwijaya dan Majapahit dikenal sebagai pusat-pusat kekuasaan di
Nusantara yang pengaruhnya menembus batas-batas teritorial di mana dua kerajaan
ini berdiri. Kebesaran dua kerajaan tersebut turut menjadi rujukan semangat
perjuangan manusia Nusantara pada abad-abad berikutnya ketika penjajahan asing
menancapkan kekuatan imperialismenya. Semangat juang manusia Nusantara
dalam mengusir penjajah dari tanah kelahirannya telah menjadi ciri khas tersendiri
bagi cikal bakal bangsa Indonesia yang kemudian menjadi salah satu unsur
pembentuk identitas nasionalnya sebagai bangsa yang pantang menyerah dan
pejuang kebasan. Hal ini tecermin dalam konstitusi Indonesia di mana Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit menyatakan dukungan bangsa
Indonesia bagi kemerdekaan setiap bangsa di dunia
Kemajemukan alamiah bangsa Indonesia yang tecermin dalam ribuan suku,
bahasa, dan budaya, dan kesatuan atas kemajemukan bangsa yang bersifat khas
merupakan gambaran bahwa Indonesia adalah kesatuan atas keberagaman yang
secara simbolik diungkapkan dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang
dicengkeram kuat oleh kuku burung elang Garuda. Dengan demikian tidaklah keliru
jika terdapat ungkapan umum, “bukanlah Indonesia jika tidak majemuk”.
Keragaman agama dan keyakinan merupakan identitas lain dari
kemajemukan alamiah bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa menjadikannya unsur
paling penting dalam konstitusi negara, sebagai upaya wajib negara untuk
melindungi rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang harus tetap dipelihara dan
disyukuri bangsa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah unsur lain pembentuk identitas nasional bangsa
Indonesia. Keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dijamin oleh
konstitusi negara, UUD 1945. Ribuan pulau, etnis dan keragaman budaya dan
keyakinan dapat dipersatukan dengan bahasa Indonesia, yang sebelumnya
merupakan bahasa pengantar (lingua franca), bahasa transaksi perdagangan dan
pergaulan, masyarakat yang mendiami kepulauan yang tersebar di seluruh
Nusantara.
C. Wawasan Nusantara
Bangsa Indonesia telah merumuskan identitas nasionalnya dengan apa yang
disebut sebagai konsep Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara. Dua
konsep ini merupakan cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungannya. Melalui konsep diri ini, bangsa Indonesia memiliki ukuran dan
kategori siapa dirinya dan bagaimana berbuat dan memandang dunia luar. Jika
konsep Wawasan Kebangsaan banyak menekankan aspek nilai yang terkandung
pada empat konsensus dasar bangsa Indonesia, sebagaimana dibahas pada bab
sebelumnya, bagian ini akan menjelaskan sekilas tentang konsep Wawasan
Nusantara yang lebih bersifat teritorial. Namun demikian, terdapat kesamaan tujuan
esensial dari kedua wawasan nasional ini: adalah untuk mewujudkan rasa persatuan
dan kesatuan serta bangga dan cinta negeri di kalangan warga negara Indonesia.
Dalam Desain Induk PemantapanWawasan Kebangsaan Tahun 2012-2024
yang disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan
(Menko Polhukam) dijelaskan bahwa Wawasan Nusantara adalah kesamaan
persepsi pada segenap komponen bangsa Indonesia sebagai dasar bagi
terbangunnya rasa dan semangat nasional yang tinggi dalam semua aspek
kehidupan nasional, sebagai faktor pendorong untuk berbuat dan berprestasi bagi
kejayaan negara dan bangsa. Wawasan Nusantara mencakup bagaimana
implementasi dari realitas konstelasi geografis dan keragaman yang dimiliki NKRI
sebagai negara kepulauan yang memiliki konsep kesatuan yang padu: ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
D. Globalisasi dan Ketahanan Nasional
Secara umum globalisasi adalah sebuah gambaran tentang semakin tinggi
ketergantungan di antara sesama masyarakat dunia, baik budaya maupun ekonomi.
Istilah globalisasi juga sering dihubungkan dengan sirkulasi gagasan, bahasa, dan
budaya populer yang melintasi batas negara. Fenomena global ini acap kali
disederhanakan oleh kalangan ahli sebagai gejala kecenderungan dunia menuju
sebuah perkampungan global (global village) di mana interaksi manusia
berlangsung tanpa halangan batas geograiis. Hal ini tentunya sebagai bagian tak
terpisahkan dari kemajuan teknologi informasi yang menyediakan fasilitas
komunikasi secara murah dan mudah. Pada saat yang sama, isu-isu dunia di bidang
politik, ekonomi, demokrasi, dan HAM dengan begitu cepat dapat memengaruhi
situasi yang terjadi di suatu negara.
Globalisasi adalah fenomena duniaberwajah banyak. Globalisasi sering
diidentikkan dengan: (1) lnternasionalisasi, yaitu hubungan antarnegara, meluasnya
arus perdagangan dan penanaman modal; (2) Liberalisasi, yaitu pencabutan
pembatasan-pembatasan pemerintah untuk membuka ekonomi tanpa pagar
(border-less world) dalam hambatan perdagangan, pembatasan keluar masuk mata
uang, kendali devisa, dan izin masuk suatu negara (visa); (3) Universalisasi, yaitu
ragam selera atau gaya hidup seperti pakaian, makanan, kendaraan, di seluruh
pelosok penjuru dunia; (4) Westernisasi atau Amerikanisasi, yaitu ragam hidup
model budaya Barat atau Amerika; dan (5) de-teritorialisasi, yaitu perubahan-
perubahangeografis sehingga ruang sosial dalam perbatasan, tempat, dan jarak
menjadi berubah.
Dengan demikian, peningkatan saling keterkaitan antara seseorang atau satu
bangsa dengan bangsa lainnya telah menggiring dunia ke arah pembentukan sebuah
perkampungan global (global village). Perkampungan global merupakan kenyataan
sosial yang saling terpisah secara fisik tetapi saling berhubungan dan memengaruhi
secara nonfisik. Harga minyak bumi di pasaran dunia, misalnya, akan memengaruhi
harga bahan bakar minyak Indonesia, fluktuasi harga tomat di Eropa akan
berdampak pada harga tomat di pasar tradisional di Indonesia. Hal serupa terjadi
pula dalam bidang sosial, politik, dan kebudayaan.
Terdapat banyak faktor yang mendorong terjadinya globalisasi antara lain
pertumbuhan kapitalisme, maraknya inovasi teknologi komunikasi dan informasi
serta diciptakannya regulasi-regulasi yang meningkatkan persaingan dalam skala
besar dan luas seperti hak cipta, standardisasi teknis dan prosedural dalam produk
dan sistem produksi serta penghapusan hambatan perdagangan.
Gelombang globalisasi yang tidak mungkin dihindari oleh semua bangsa di
dunia sangat berkaitan dengan ketahanan nasional masing-masing bangsa tersebut.
Ketahanan nasional Indonesia yang pada hakikatnya sebagai suatu kondisi dinamis
bangsa dalam menghadapi dan mengatasi ancaman, gangguan, hambatan dan
tantangan (AGHT) dari luar maupun dari dalam yang dapat membahayakan
integritas, identitas, kelangsungan hidup sebagai bangsa dan negara, dapat menjadi
rujukan bersama dalam menangkal hal-hal negatif dan mengambil manfaat sebesar-
besarnya dari globalisasi. Dalam konteks ini, globalisasi tidak harus dibenci dan
dijauhi, tetapi harus digali manfaatnya untuk kesejahteraan bersama, dan pada saat
yang sama diminimalisasi mudaratnya. Peluang dan tantangan yang ditimbulkan
oleh globalisasi dapat direspons dengan komitmen dan kebijakan pemerintah.
BAB IV
A. Definisi Good and Clean Governance
Secara umum, pengertian good governance adalah interaksi seimbang
antara lembaga pemerintahan dan masyarakat dan kalangan swasta, di mana
lembaga pemerintah memberlakukan kebijakan yang seimbang untuk
perkembangan masyarakat dan sektor swasta. Leftwich menjelaskan good
governance sebagai administrasi yang sehat, dan sekaligus juga politik yang
demokratis, plus serangkaian keutamaan yang non-ekonomis, seperti kesamaan,
keseimbangan gender, menghormati hukum, toleransi sosial, kultural, dan
individual. Sementara UN-ESCAP menyatakan bahwa good governance adalah
proses pengambilan keputusan dan proses dalam mengimplementasikan atau tidak
mengimplementasikan suatu keputusan. John Healey dan Mark Robinson
mengatakan bahwa good governance adalah kegiatan organisasi negara yang
berimplikasi pada perumusan kebijakan yang berefek pada pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat.
Dari pengertian di atas tampak bahwa pengertian good governance
merupakan konsep yang kolektif, yang melibatkan seluruh tindakan atau tingkah
laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi urusan publik
untuk mewujudkan nilai-nilai good dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks
ini, pengertian good governance tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan
semata, tetapi menyangkut semua lembaga baik pemerintah maupun non-
pemerintah (lembaga swadaya masyarakat) dengan istilah good corporate.
Good governance juga berimplikasi pada prinsip-prinsip organisasi yang
akuntabel, transparan, partisipatif, keterbukaan, dan berbasis pada penguatan serta
penegakan hukum. Bahkan, prinsip-prinsip good governance dapat pula diterapkan
dalam pengelolaan lembaga sosial dan kemasyarakatan dari yang paling sederhana
hingga yang berskala besar, seperti arisan, pengajian, perkumpulan olahraga di
tingkat rukun tetangga (RT), organisasi kelas, hingga organisasi di atasnya.
Di Indonesia, substansi good governance dapat dipadankan dengan istilah
pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah
sikap di mana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai
tingkatan pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya,
politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya, pemerintahanyang bersih (clean
government) adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, dan
bertanggung jawab.
Sejalan dengan prinsip di atas pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam
proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak
secara sinergis, tidak saling berbenturan, dan memperoleh dukungan dari rakyat.
Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan
biaya yang sangat minimal dengan hasil yang maksimal. Faktor lain yang tak kalah
penting, suatu pemerintahan dapat dikatakan baik jika produktivitas bersinergi
dengan peningkatan indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek
produktivitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.
Untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi di atas, proses pembentukan
pemerintahan yang berlangsung secara demokratis mutlak dilakukan. Sebagai
sebuah paradigma pengelolaan lembaga negara, good and clean governance dapat
terwujud secara maksimal jika ditopang oleh tiga unsur yang saling terkait: Unsur
Negara, unsur swasta dan unsur masyarakat sipil. Negara melalui birokrasri
pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan publik dari perspektif
birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Birokrasi populis adalah tata kelola
pemerintahan yang berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan
masyarakat. Sistem pemerintahan negara yang bersih (clean government) adalah
kunci penting dalam pelaksanaan good governance.
Prasetijo dalam Sedarmayanti, menegaskan bahwa dalam konteks birokrasi
Indonesia Clean Government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kepemerintahan yang mampu menciptakan keadaan yang memberi rasa nyaman
dan menyenangkan bagi para pihak dalam suasana kepemimpinan yang demokratis
menuju masyarakat yang adil dan berkesejahteraan berdasarkan Pancasila. Para
pihak yang dimaksud dalam kepemerintahan ini adalah kelembagaan yang ada di 5
dalam eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga pihak ini harus saling bekerja
sama, berkoordinasi, bersinergi dalam menjalankan pemerintahandan
pembangunan. Berkaitan dengan good governance, Mardiasmo mengemukakan
bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan
kepemerintahan yang baik.
B. Prinsip-prinsip Good Governance
Menurut UNDP, karakteristik good governance adalah sebagai berikut;
1. Participation (partisipasi); setiap warga negara mempunyai suara dalam
pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi
institusi yang mewakili kepentinganya. Bentuk partisipasi menyeluruh ini
dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Untuk mendorong partisipasi
masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor
kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus
diminimalisasi.
2. Rule of Law (berbasis hukum); kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan
tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. Sehubungan
dengan hal tersebut, realisasi wujud good and clean governance, harus
diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukumyang
mengandung unsur-unsursebagai berikut:
a. Supremasi hukum (supremacy of law), yakni setiap tindakan unsur-unsur
kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan
ber bangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas
dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen
Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah
atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang
dimilikinya).
b. Kepastian hukum (legal certainty), bahwa setiap kehidupan berbangsa dan
bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan
tidak bertentangan antara satu dengan lainnya.
c. Hukum yang responsif, yakni aturan-aturanhukum disusun berdasarkan
aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan
publik secara adil.
d. Penegakan hukum yang konsisten dan tidak diskriminatif, yakni
penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk
itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki integritas moral dan
bertanggung jawab terhadap kebenaran hukum.
e. Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari
pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya.
3. Transparency Transparency (terbuka); transparansi yang dibangun atas dasar
kebebasan arus informasi. Hal ini mutlak dilakukan dalam rangka
menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana pemerintahan, baik
pusat maupun yang di bawahnya. Dalam pengelolaan negara terdapat delapan
unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:
a. Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
b. Kekayaan pejabat publik.
c. Pemberian penghargaan.
d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan,
kesehatan.
e. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
f. Keamanan dan ketertiban.
g. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehiduapan masyarakat.
4. Responsiveness (responsif); setiap lembaga dan proses penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan harus mencoba melayani setiap stakeholders.
Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua
etika, yakni etika individual dan sosial kualifikasi etika individual menuntut
pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria'kapabilitas dan loyalitas
profesional. Adapun etik sosial menuntut mereka agar memiliki sensitivitas
terhadap berbagai kebutuhan publik.
5. Consensus Orientation (orientasi konsensus); good governance menjadi
perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi
kepenting yang lebih luas. Sekalipun para pejabat pada tingkatan tertentu dapat
mengambil kebijakan secara personal sesuai batas kewenangannya, tetapi
menyangkut kebijakan-kebijakan penting dan bersifat publik harus diputuskan
secara bersama dengan seluruh unsur terkait. Kebijakan individual hanya dapat
dilakukan sebatas menyangkut teknis pelaksanaan kebijakan, sesuai batas
kewenangannya. Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks
pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah
persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara
partisipatif, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat
yang terwakili. Selain itu, semakin banyak yang melakukan pengawasan serta
kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum, maka akan semakin tinggi tingkat
kehati-hatiannya, dan akuntabilitas pelaksanaannya dapat semakin
dipertanggungjawabkan.
6. Equity (kesetaraan); semua warga negara mempunyai kesempatan untuk
meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Asas kesetaraan (equity)
adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas kesetaraan ini
mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintahuntuk bersikap dan berperilaku
adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku,
jenis kelamin, dan kelas sosial.
7. Effectiveness and efficiency (efektif dan efisien); proses-proses dan lembaga-
lembaga menghasilkan produknya sesuai dengan yang telah digariskan, dengan
menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. Adapun asas
efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai
untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan tersebut termasuk dalam
kategori pemerintahan yang efisien.
8. Accountability (akuntabel); para pembuat keputusan dalam pemerintahan,
sektor swasta, dan masyarakat (civil society), bertanggung jawab kepada
publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Itu sebabnya menjadi penting
diberlakukannya Standard Operating Procedure (SOP) dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan atau dalam penyelenggaraan kewenangan/ pelaksanaan
kelijakan. Untuk menunjang akuntabilitas, pengawasan menjadi kunci utama
evuluasi dan kontrol dari pelaksanaan SOP yang sudah ditetapkan.
Di luar dari delapan prinsip di atas, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) menambahkan beberapa prinsip dalam pelaksanaan good and
clean governance, seperti: (1) Wawasan ke depan, (2) Demokrasi, (3)
Profesionalisme dan kompetensi, (4) Desentralisasi, (5) Kemitraan dengan dunia
usaha swasta dan masyarakat, (6) Komitmen pada pengurangan kesenjangan, dan
(7) Komitmen pada lingkungan hidup.
BAB V
A. Korupsi Penghambat Utama Tata Kelola Pemerintahan Baik dan Bersih
Arus deras demokrasi di Indonesia menghadapi kendala sangat serius yakni
perilaku korup di kalangan penyelenggara negara, pegawai pemerintah, maupun
wakil rakyat. Hampir setiap hari masyarakat dibanjiri dengan berita kasus-kasus
penyalahgunaan kekuasaan melalui, di antaranya, tindakanpencurian uang rakyat.
Hal yang sangat memprihatinkan, partai politik dan dunia pendidikan pun ternyata
tidak bebas dari praktik-praktik korupsi. Otonomi daerah yang selama ini dilakukan
masih diwarnai oleh pengalihan tradisi korupsi di pusat ke daerah. Tindakan
penyalahgunaan Anggaran Pembangunan dan Biaya Daerah (APBD) yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan anggota legislatif (DPRD) tak
kalah ramainya diberitakan oleh media massa. Pengawasan yang dilakukan oleh
sejumlah lembaga, seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), seakan belum cukup untuk mengikis tindakan korupsi di aparatur negara.
Kasus-kasus korupsi Indonesia tidaklah berdiri sendiri. Tindakan korupsi
banyak melibatkan kalangan eksekutif dan anggota legislatif di saat mereka
melakukan dan menentukan anggaran pembangunan hingga penyelenggaraan
tender proyek dan pelaksanaan proyek pembangunan. Dapat dibayangkan berapa
kerugian negara jika korupsi sudah dilakukan oleh penyelenggara negara sejak dari
hulu hingga ke hilir pembangunan. Praktik penyelewengan uang dan aset negara ini
masih diramaikan oleh praktik politik uang (money politics) dalam pemilihan
kepala daerah dan pimpinan partai politik maupun suap menyuap yang dilakukan
oleh masyarakat terhadap pejabat publik dan aparat penegak hukum. Dalam hal ini,
tidaklah mengherankan jika posisi Indonesia masih tertinggal oleh banyak negara
di dunia dalam hal pemberantasan korupsi. Prestasi yang tidak signifikan dibanding
dengan capaian Indonesia dalam hal berdemokrasi.
Kondisi korupsi Indonesia semakin buruk karena tindakan korupsi
dilakukan oleh aktor-aktor politik, baik di lembaga parlemen maupun lembaga-
lembaga negara lainnya. Dalam perspektif negara modern, sistem politik demokrasi
dengan check and balancenya diharapkan mampu menekan semaksimal mungkin
godaan politik di kalangan penyelenggara negara dan para politisi, baik melalui
modus dalam proses penyusunan perundang-unndangan maupun pada tahap
pelaksanaan peraturan yang dibuat bersama antara pemerintah dan anggota
legislatif. Dalam koridor ini tentu saja kontrol media dan masyarakat sangat penting
peranannya dalam mengawasi tindakan korupsi para wakil rakyat dan elite
eksekutif di pusat ataupun di daerah.
Hal-hal terkait dengan korupsi politik yang mendesak dilakukan adalah,
demikian Kristiadi menekankan, pengawasan terhadap tata kelola keuangan parpol.
Pertama, kejelasan atau transparansi atas dana pemasukan partai dari unsur
sumbangan. Kejelasan asal usul dan jumlah dana sumbangan yang mengalir ke
partai politik dari seseorang atau lembaga harus dilaporkan kepada publik dan
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Semua sumbangan berupa
barang dan jasa harus sesuai dengan harga pasar. Kedua, kejelasan serupa harus
pula dilakukan dalam hal pengeluaran parpol maupun kandidat anggota legislatif
dan eksekutif dengan dana yang mereka gunakan selama kegiatan pemilu maupun
kegiatan kepartaian.
Ketiga, keharusan partai politik membuat pelaporan keuangan dengan
menunjuk secara resmi seseorang dengan kualifikasi sebagai akuntan publik serta
bersedia kapan saja untuk memberikan keterangan secara transparan dan kauntabel
kepada konstituen dan masyarakat luas terkait dengan keuangan partai. Keempat,
menggunakan prinsip-prinsip tranparansi dalam penyusunan laporan keuangan
partai. Kelima, memberikan sanksi yang jelas pada anggota partaiyang melakukan
pelanggaran dalam hal penggunaan keuangan partai.
Hal yang tak kalah penting dari pengawasan terhadap sirkulasi dana partai
politik adalah sikap kritis publik terhadap kemungkinan kedekatan pengusaha
dengan tokoh politik. Kedekatan yang terjadi antara pengusaha dan tokoh partai
politik ini banyak terjadi pada saat menjelang Pemilihan Umum atau Pemilukada.
Selain persekongkolan antara pegusaha dengan elite parpol dapat berpotensi
terganggunya kaderisasi di internal parpol, fenomena ini acapkali berakibat pada
tindakan korupsi. Persekongkolan antara keduanya dapat dalam betuk masuknya
pengusaha ke dalam posisi penting dalam kepengurusan parpol atau menjadi
kandidat anggota legislatif yang diusung oleh parpol tersebut.
Praktik politik kotor yang didasari saling membutuhkan antara pengusaha
dan parpol ini tentu saja menjadi penyebab ancaman terhadap prinsip-prinsip
kaderisasi dan demokrasi yang sehat di lingkungan parpol. Dalam hal ini, politik
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip saling mengambil keuntungan sesaat antara
elite parpol yang membutuhkan modal politik dan pengusaha yang mengincar
posisi politik di lembaga legislatif atau eksekutif. Modus kongkalingkong yang
didasari prinsip pragmatis-mutualisme antara elite parpol dengan pengusaha ini
sangat bertolak belakang dari prinsip dan ciri dari suatu partai politik modern.
Praktik-praktik kolusi antara pengusaha dan elite parpol ini utamanya marak terjadi
di masa-masa menjelang pendaftaran calon legislatif dan kepala daerah dan waktu
kampanye.
Menururt Sugiarto (2009), untuk mencegah praktik penyalahgunaan dana
kampanye setidaknya ada enam cara untuk mengontrol aliran dalam kampanye
politik (Sugiarto, 2009): Pertama, melakukan pembatasan dana kampanye,
sebagaimana dilakukan di banyak negara. Kedua, pelarangan sumbangan dari luar
negeri, sebagai tindakan pencegahan atas kemungkinan campur tangan asing dalam
kebijakan politik setelah pemilu. Ketiga, pembatasan penggunaan dana kampanye,
dalam rangka mengurangi ketergantungan parpol kepada lembaga donor,
perusahaan maupun perorangan. Keempat, pembatasan waktu kampanye, dengan
maksud mengurangi peredaran uang sepanjang masa kampanye. Hal yang dapat
menopang kualitas pemilu dan demokrasi adalah pembatasan waktu tayangan iklan
baik parpol peserta pemilu maupun calon presiden, kepala daerah dan anggota
legislatif.
Kelima, transparansi publik terkait dengan dana para kandidat dan parpol.
Dana politik mereka harus siap untuk dilakukan audit dan verifikasi tentang asal
usul dan ke mana dana mereka digunakan. Keenam,memperkuat sumber dana yang
berasa dari swadaya masyarakat dengan tujuan mengurangi ketergatungan parpol
terhadap kucuran dana sumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
donator maupun organisasi penyandang dana. Untuk mengurangi ketergantungan
finansial ini, parpol dapat menggalang kegiatan-kegiatan penggalangan dana (fund
raising) sebagaimana banyak dilakukan parpol maupun politisi di negara-negara
demokrasi.
B. Korupsi dan Nasib Demokrasi Indonesia
Korupsi identik dengan kekuasaan. Ungkapan klasik Lord Acton, “power
tends to corrupt” (kekuasaan cenderung korup) menyiratkan kesimpulan yang
sangat jelas bahwa siapa pun yang memiliki kekuasaan, dia memiliki peluang lebih
besar untuk melakukan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaannya dalam berbagai
macam dan cara. Menurut Sugiarto, demokrasi yang hanya memberikan peluang
bagi pencari kekuasaan untukbebas melakukan korupsi pada akhirnya hanya akan
merusak sistem politik dan ekonomi. Dengan kata lain, praktik berdemokrasi belum
seluruhnya menjamin hilangnya praktik korupsi di kalangan penyelenggara negara,
jika demokrasi sekadar dijalankan sebatas prosedural untuk memperoleh dan
melanggengkan kekuasaan. Demokrasi idelanya harus dijalankan secara
bermartabat dan substansial, sehingga ia dapat menjadi media pendidikan karakter
masyarakat.
Nasib demokrasi ditentukan oleh sejauh mana budaya korupsi dapat
dihilangkan. Kedengarannya utopis, tapi jika korupsi tetap berlangsung, khususnya
di dunia politik nasional, maka nasib demokrasi akan mengalami kesuraman bahkan
kebangkrutan demokrasi. Demokrasi akan berlangsung tanpa etika. Kebijakan
publik akan dikorbankan untuk kepentingan pribadi dan kelompok maupun parpol.
Hal ini terjadi akibat langsung dari proses politik, baik pemilihan anggota legislatif
maupun kepala daerah, tidak sepi dari praktik politik uang (money politic).
Kekhawatiran ini bukanlah tanpa alasan. Sepanjang pemilu dan pemilihan
kepala daerah dengan sistem demokrasi, pada kenyataannya belum berhasil
menghilangkan praktik korupsi. Malah sebaliknya, dengan dalih demokrasi calon
anggota legislatifdan kepala daerah dengan bebas membagikan uang dan fasilitas
yang mereka miliki untuk merebut hati rakyat. Pemilihan umum demokratis yang
seharusnya menjadi ajang kontrak politik berupa program kerja dengan Visi dan
misi untuk memajukan kesejahteraan rakyat selama satu periode antara calon
legislatif maupun kepala daerah dengan pemilihnya direduksi oleh transaksi dagang
murah melalui pemberian uang. Peristiwa pemilu yang seharusnya berlangsung
secara damai, tanpa paksaan, menyenangkan, penuh kompetisi yang sehat dan
berlangsung murah disulap menjadi sekadar jual beli suara antara pemilik modal
dan pemilih. Tidak berlebihan jika ada kesimpulan bahwa demokrasi Indonesia
pada dasarnya belum berubah secara substansial dengan praktik demokrasi di masa
lalu, di mana kelompok orang kaya warisan masa lalu menjelma menjadi sebuah
oligarki politik yang mengendalikan pelaksanaan demokrasi melalui kekuatan
modal uang dan sumber daya lainnya seperti media elektronik (televisi dan radio)
dan media massa.
Akibat langsung dari oligarki politik yang menyelinap dalam sistem
demokrasi ini peran pers sebagai salah satu pilar utama demokrasi menjadi hilang.
Hal ini terjadi karena pers akan lebih mewakili kepentingan pemilik modal daripada
menyuarakan aspirasi rakyat. Alih-alih menjadi pilar demokrasi, pers tidak
independen sangat berpotensi sebagai ancaman bagi demokrasi itu senditi. Jika
kondisi ini terjadi, pers akan diam terhadap kasus-kasus korupsi, apalagi jika
korupsi melibatkan sang pemilik modal. Selain pers yang bebas dan mencerahkan,
peran organisasi masyarakat (Ormas atau LSM), dan organisasi kalangan
profesional dapat memerankan sebagai pilar penegak demokrasi.
Usaha pencegahan korupsi dapat pula dilakukan oleh lembaga pendidikan,
khususnya perguruan tinggi, yang memiliki peran strategis bagi penguatan
demokrasi dan kampanye antikorupsi. Mahasiswa dan dosen dapat menjadi agen
intelektual yang tetap kritis dan solutif terhadap semua kebijakan pemerintah yang
dianggap memilik potensi untuk disalahgunakan. Hal yang tak kalah penting dari
posisi strategis mahasiswa sebagai agen perubahan di Indonesia, mereka tidak boleh
lengah dari kemungkinan pembelokan sistem demokrasi dari tujuan dan
prosedurnya yang ideal.
Dari sekian jumlah pilar demokrasi di atas, kelompok mahasiswa dan
cendekiawan dianggap sebagai komponen masyarakat sipil yang diharapkan selalu
hadir menjadi kekuatan pengimbang negara atau kekuasaan yang sesuai dengan
karakternya cenderung bertindak korup. Untuk memutus akar budaya korupsi di
Indonesia, mahasiswa dapat berperanmenjadi penggiat antikorupsi di lingkungan
kampus, melalui sikap berani bertanya dan mengawasi pelaksanaan semua
kebijakan yang dijalankan birokrasi kampus. Selain ikut menentukan masa depan
bangsa, kepedulian generasi muda terhadap masa depan demokrasi dapat
ditunjukkan melalui sikap kritis terhadap segala kemungkinan lahirnya tindakan
korupsi di lingkungan terdekat maupun di tengah masyarakat luas.
BAB VI
A. Masyarakat Sipil
Dalam wacana akademik Barat, masyarakat sipil (civil society) identik
dengan lawan negara (state), dalam pola interaksi antara negara (state) dan yang
diperintah (governed). Termasuk ke dalam yang diperintah, meskipun tidak
terbatas, adalah organisasi-organisasi di luar negara yang terlibat dalam aktivitas
pelayanan, dan advokasi, organisasi nonprofit, yayasan swasta, perkumpulan kaum
profesional, gerakan sosial, dan jaringan para aktivis. Persamaan di antara
organisasi-organisasi komponen masyarakat sipil tersebut adalah sifat nonprofitnya
dan cara mereka mencapai tujuannya melalui modus-modus tanpa kekerasan
(James, 2007).
Unsur penting masyarakat di luar struktur negara (state) demokrasi telah
banyak diutarakan banyak ahli. Komponen masyarakat tersebut dalam kosakata
bahasa Indonesia biasa diistilahkan dengan sebutan masyarakat sipil (civil society)
atau masyarakat madani. Seperti halnya demokrasi, masyarakat sipil lahir untuk
pertama kalinya dalam perjalanan sejarah politik di Barat. Kalangan ahli
mendefinisikan karakter masyarakat sipil sebagai komunitas sosial dan politik yang
pada umumnya memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan lembaga negara.
Interaksi antara Masyarakat Sipil dan negara mengalami banyak ragam, dari yang
bersifat saling berlawanan, bekerja sama hingga mendominasi salah satunya
terhadap yang lain. Perbedaan sifat dan pola hubungan antara keduanya sangat
ditentukan oleh sistem politik pada negara.
Di kawasan Asia Tenggara, khususnya di kalangan cendekiawan Muslim,
wacana masyarakat sipil banyak disamakan dengan istilah “masyarakat madani”.
Munculnya wacana masyarakat madani tidak bisa dilepaskan dari respons kalangan
pemikir Muslim kawasan ini terhadap gelombang demokratisasi yang semakin
berkembang pada era 1990-an. Istilah ini untuk pertama kalinya digagas oleh
cendekiawan Muslim asal Malaysia, Anwar Ibrahim. Berbeda dengan prinsip
masyarakat sipil di Barat yang berorientasi penuh pada kebebasan individu,
menurut mantan Perdana Menteri Malaysia itu, masyarakat madani adalah sebuah
sistem sosial yang tumbuh berdasarkan prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif
dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang
berdasarkan undang-undang, dan bukan nafsu atau keinginan individu. Menurutnya
pula, masyarakat madani memiliki ciri-cirinya yang khas: kemajemukan budaya
(multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan
menghargai. Meminjam istilah Malik Bennabi, Anwar menjelaskan watak
masyarakat madani yang ia maksudkan sebagai guiding ideas, dalam melaksanakan
ide-ide yang mendasari keberadaannya, yaitu prinsip moral, keadilan, kesamaan,
musyawarah, dan demokrasi.
Sejalan dengan gagasan di atas, Dawam Rahardjo mendefinisikan
masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada
nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam masyarakat madani, warga
negara bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif, dan solidaritas
kemanusiaan yang bersifat nonnegara. Selanjutnya, Rahardjo menjelaskan, dasar
utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang
didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan
permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.
Pandangan ini tampaknya terlalu ideal, bahkan utopis. Karakter masyarakat madani
yang menghindarkan diri dari konflik dan permusuhanadalah hampir mustahil bagi
masyarakat modern yang bebas. Konflik dalam masyarakat terbuka adalah hal yang
niscaya dan tidak bisa dihindari. Namun yang lebih utama adalah bagaimana
komponen masyarakat madani memandang konflik sebagai hal yang biasa dan
harus diselesaikan melalui cara-cara damai, bermartabat serta tanpa kekerasan.
Adapun menurut Azyumardi Azra, masyarakat madani lebih dari sekadar
gerakan prodemokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat
berkualitas dan bertamaddun (civility). Hal ini sejalan dengan pandangan tokoh
cendekiawan Muslim Indonesia Nurcholish Madjid, sesuai makna akar katanya
yang berasal dari kata tamaddun (Arab) atau civility (Inggris), istilah masyarakat
madani mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima
pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial. Dari paparan para
cendekiawan di atas, tampak tegas nuansa peradaban dan moralitas begitu kuat
dalam perumusan dan cita-cita ideal masyarakat madani. Sayangnya, istilah ini
pernah dinilai mengandung semangat cita-cita inklusif politik Islam di Indonesia,
di mana istilah ini sering dikaitkan dengan sejarah Piagam Madinah di zaman Nabi
Muhammad SAW.
B. Masyarakat Madani
Istilah masyarakat madani sering dikaitkan dengan istilah masyarakat sipil
Islam (civil Islam). Dalam bukunya yang berjudul “Civil Islam” antropolog
Amerika Robert Hefner menjelaskan, masyarakat madani tidak muncul dengan
sendirinya. Ia membutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi prasyarat
terwujudnya tatanan masyarakat madani. Faktor-faktor tersebut merupakan satu
kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter khas masyarakat madani.
Beberapa unsur pokok yang harus dimiliki oleh masyarakat madani, yaitu adanya
wilayah publik yang bebas (free public sphere), demokrasi, toleransi, kemajemukan
(pluralism), dan keadilan sosial (social justice).
Free public sphere adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk
mengemukakan pendapat warga masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua
warga negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial
dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar civil
society. Mengacu pada Arendt dan Habermas, ruang publik dapat diartikan sebagai
wilayah bebas di mana semua warga negara memiliki akses penuh dalam kegiatan
yang bersifat publik. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang
sesungguhnya, ketiadaan wilayah publik bebas ini pada suatu negara dapat menjadi
suasana tidak bebas di mana negara akan mengontrol warga negara dalam
menyalurkan pandangan sosial-politiknya.
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society
yang murni (genuine). Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud.
Secara umum, demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan
dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara.
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan.
Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu
pandangan Nurcholish Madjid adalah persoalan ajaran dan kewajiban
melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan
yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu
harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil society.
Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima
kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk
menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat Tuhan
yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang
proporsional atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh
aspek kehidupan: ekonomi, politik, pengetahuan, dan kesempatan. Dengan
pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan dominasi salah satu
aspek kehidupan yang dilakukan oleh negara maupun kelompok atau golongan
tertentu atas kelompok lainnya. Hal ini dapat terus berjalan dengan baik jika
demokrasi dilaksanakan sebagai mekanisme politik dan sosial sekaligus, di mana
pelaksanaannya harus diorientasikan pada tercapainya keadilan dalam kehidupan
politik, sosial, dan ekonomi secara berimbang.
C. LSM dan Pemberdayaan Masyarakat Sipil
Irawati Hermantyo menyebutkan keberadaan LSM menjadi sangat penting
di dalam membangun sinergi dengan program—program pemerintah. Seiring
dengan perkembangan demokrasi, peran LSM tidaklagi semata-mata mengejar
peningkatan produksi tetapi lebih kepada pemberdayaan masyarakat. Kehadiran
Dompet Dhu'afa serta lembaga nonprofit sejenis menjadi kekuatan baru di dalam
masyarakat sipil. Bagaimana pun juga, demokrasi memberikan penekanan pada
peran serta bersama masyarakat dan pemerintahyang secara bersama-sama
membangun keadaban demokrasi.
Memasuki era pasar bebas, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa
persaingan yang dihadapi bukan lagi persaingan internal Indonesia, tetapi juga
persaingan dengan bangsa lain. Untuk menunjukkan kemandirian dan daya saing
bangsa, kemandirian komunitas ekonomi dan ormas menjadi penting. Pemerintah
harus memiliki komitmen kuat dalam pemberdayaan dan penguatan kelompok
Masyarakat Sipil ini, melalui program dan kebijakan yang bertujuan membangun
potensi yang mereka miliki.
Keberadaan LSM yang bersinergi dengan program pemerintah menjadi
keharusan, sebagai alat untuk pemberdayaan, yang disebut Dadang Solihin dalam
Hidayat S, akan membantu masyarakat mencapai (1) peningkatan standar hidup,
(2) peningkatan percaya diri masyarakat, (3) peningkatan kebebasan setiap orang.
Konsep LSM yang berkembang ini dikenal pula dengan konsep Community Based
Development. Ada tiga karakter utama dari LSM yang mengembangkan
Community Based Development: (1) berbasis pada sumber daya masyarakat, (2)
berbasis pada partisipasi masyarakat, dan (3) bersifat berkelanjutan.
Pengembangan LSM ini cukup berbeda dengan LSM yang berkembang di
masa-masa sebelumnya. Iika, di era sebelum reformasi, LSM yang berkembang
lebih banyak berbasis pada masyarakat dengan mengedepankan komunitas
primordial, seperti Muhammadiyah, NU, Persis, PGI, dan sebagainya. Di era
reformasi keberadaan dan peran LSM mengalami perubahan yang signifikan, tidak
lagi membatasi diri pada pengembangan yang bersifat primordial maupun
komunitas tertentu, tetapi berkembang menjadi sebuah organisasi non-profit yang
lebih akuntabel dengan jaringan luas. Sebut saja salah satunya lembaga sosial
Dompet Dhuafa (DD) yang awalnya didirikan oleh karyawan Koran Republika, kini
DD telah berkembang menjadi sebuah lembaga sosial dengan manajemen modern
dengan cakupan kegiatan sosial yanga beragam. Seperti DD, masih banyak lagi
lembaga sosial di luar pemerintahyang menambah jumlah LSM di Indonesia
dengan basis kegiatan sosial yang inklusif dan beragam.
Gerakan masyarakat sipil juga semakin beragam dan signifikan. Lewat
jejaring media sosial, gerakan masyarakat sipil telah menjelma menjadi
perkumpulan solidaritas di dunia maya (netizen), yang telah berperan penting dalam
mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah dan non-pemerintah yang dianggap
tidak memihak pada kepentingan publik. Gerakan komunitas netizen ini akan
semakin penting dan mewarnai perjalan demokrasi di Indonesia, seiring dengan
pelaksanaan Pemilu yang akan semakin meningkatkan pemanfaatan teknologi
informasi. Masyarakat Sipil Virtual inilah yang akan banyak mewarnai dinamika
demokrasi Indonesia mendatang.

More Related Content

Similar to Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi

Makalah civic baron
Makalah civic baronMakalah civic baron
Makalah civic baronAfriantob
 
Alfi nugraha 2 ib03(fix)
Alfi nugraha 2 ib03(fix)Alfi nugraha 2 ib03(fix)
Alfi nugraha 2 ib03(fix)Alfi Nugraha
 
Alfi nugraha 2 ib03(fix)
Alfi nugraha 2 ib03(fix)Alfi nugraha 2 ib03(fix)
Alfi nugraha 2 ib03(fix)Alfi Nugraha
 
Latar belakang pendidikan kewarganegaraan bg 1
Latar belakang pendidikan kewarganegaraan bg 1Latar belakang pendidikan kewarganegaraan bg 1
Latar belakang pendidikan kewarganegaraan bg 1Doan Gabriel Silalahi
 
Musni Umar: Pendidikan Politik dan Pembumian Nilai nilai Pancasila
Musni Umar: Pendidikan Politik dan Pembumian Nilai nilai PancasilaMusni Umar: Pendidikan Politik dan Pembumian Nilai nilai Pancasila
Musni Umar: Pendidikan Politik dan Pembumian Nilai nilai Pancasilamusniumar
 
pptpembaruankel-220516142550-072482fe.pdf
pptpembaruankel-220516142550-072482fe.pdfpptpembaruankel-220516142550-072482fe.pdf
pptpembaruankel-220516142550-072482fe.pdfAgusjoya
 
PPT PEMBARUAN KEL. 5 MODUL 5.pptx
PPT PEMBARUAN KEL. 5 MODUL 5.pptxPPT PEMBARUAN KEL. 5 MODUL 5.pptx
PPT PEMBARUAN KEL. 5 MODUL 5.pptxRiantiLz
 
Makalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniMakalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniFauzan 'Math
 
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Sebagai Sarana Pendidikan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)  Sebagai Sarana PendidikanPendidikan Kewarganegaraan (PKn)  Sebagai Sarana Pendidikan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Sebagai Sarana PendidikanR. Herawati Suryanegara
 
Demokrasi dan pendidikan demokrasi di indonesia, amerika dan china
Demokrasi dan pendidikan demokrasi di indonesia, amerika dan chinaDemokrasi dan pendidikan demokrasi di indonesia, amerika dan china
Demokrasi dan pendidikan demokrasi di indonesia, amerika dan chinaPia Pi'ul
 
Tugas bab i landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraan
Tugas bab i landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraanTugas bab i landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraan
Tugas bab i landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraansawaludin
 
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)Lidya Dalovya
 
Alfi nugraha tugas 1
Alfi nugraha tugas 1Alfi nugraha tugas 1
Alfi nugraha tugas 1Alfi Nugraha
 

Similar to Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi (20)

Makalah civic baron
Makalah civic baronMakalah civic baron
Makalah civic baron
 
01 pengantar kwn
01 pengantar kwn 01 pengantar kwn
01 pengantar kwn
 
Ade folder
Ade folderAde folder
Ade folder
 
Jati diri p kn
Jati diri p knJati diri p kn
Jati diri p kn
 
Alfi nugraha 2 ib03(fix)
Alfi nugraha 2 ib03(fix)Alfi nugraha 2 ib03(fix)
Alfi nugraha 2 ib03(fix)
 
Alfi nugraha 2 ib03(fix)
Alfi nugraha 2 ib03(fix)Alfi nugraha 2 ib03(fix)
Alfi nugraha 2 ib03(fix)
 
Kewarganegaraan
KewarganegaraanKewarganegaraan
Kewarganegaraan
 
Latar belakang pendidikan kewarganegaraan bg 1
Latar belakang pendidikan kewarganegaraan bg 1Latar belakang pendidikan kewarganegaraan bg 1
Latar belakang pendidikan kewarganegaraan bg 1
 
Musni Umar: Pendidikan Politik dan Pembumian Nilai nilai Pancasila
Musni Umar: Pendidikan Politik dan Pembumian Nilai nilai PancasilaMusni Umar: Pendidikan Politik dan Pembumian Nilai nilai Pancasila
Musni Umar: Pendidikan Politik dan Pembumian Nilai nilai Pancasila
 
pptpembaruankel-220516142550-072482fe.pdf
pptpembaruankel-220516142550-072482fe.pdfpptpembaruankel-220516142550-072482fe.pdf
pptpembaruankel-220516142550-072482fe.pdf
 
PPT PEMBARUAN KEL. 5 MODUL 5.pptx
PPT PEMBARUAN KEL. 5 MODUL 5.pptxPPT PEMBARUAN KEL. 5 MODUL 5.pptx
PPT PEMBARUAN KEL. 5 MODUL 5.pptx
 
Makalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniMakalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat Madani
 
aaaa
aaaaaaaa
aaaa
 
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Sebagai Sarana Pendidikan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)  Sebagai Sarana PendidikanPendidikan Kewarganegaraan (PKn)  Sebagai Sarana Pendidikan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Sebagai Sarana Pendidikan
 
Demokrasi dan pendidikan demokrasi di indonesia, amerika dan china
Demokrasi dan pendidikan demokrasi di indonesia, amerika dan chinaDemokrasi dan pendidikan demokrasi di indonesia, amerika dan china
Demokrasi dan pendidikan demokrasi di indonesia, amerika dan china
 
Civics,CC, dan Ce
Civics,CC, dan CeCivics,CC, dan Ce
Civics,CC, dan Ce
 
Tugas bab i landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraan
Tugas bab i landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraanTugas bab i landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraan
Tugas bab i landasan ilmiah pendidikan kewarganegaraan
 
Civic education
Civic educationCivic education
Civic education
 
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
Tugas civic education (lidya mar'athus sholihah 2012730136)
 
Alfi nugraha tugas 1
Alfi nugraha tugas 1Alfi nugraha tugas 1
Alfi nugraha tugas 1
 

More from Maulana Sakti

Laporan PKPA PBF PT Indofarma Global Medika Cabang Medan
Laporan PKPA PBF PT Indofarma Global Medika Cabang MedanLaporan PKPA PBF PT Indofarma Global Medika Cabang Medan
Laporan PKPA PBF PT Indofarma Global Medika Cabang MedanMaulana Sakti
 
Kasus Pasien Kanker Ovarium dan Anemia
Kasus Pasien Kanker Ovarium dan AnemiaKasus Pasien Kanker Ovarium dan Anemia
Kasus Pasien Kanker Ovarium dan AnemiaMaulana Sakti
 
Laporan Kasus Kanker Ovarium dan Anemia
Laporan Kasus Kanker Ovarium dan AnemiaLaporan Kasus Kanker Ovarium dan Anemia
Laporan Kasus Kanker Ovarium dan AnemiaMaulana Sakti
 
Kemoterapi, Manajemen Ekstravasasi, serta Algoritma Efek Samping Kemoterapi
Kemoterapi, Manajemen Ekstravasasi, serta Algoritma Efek Samping KemoterapiKemoterapi, Manajemen Ekstravasasi, serta Algoritma Efek Samping Kemoterapi
Kemoterapi, Manajemen Ekstravasasi, serta Algoritma Efek Samping KemoterapiMaulana Sakti
 
Ringkasan Ketentuan Umum Farmakope Indonesia Edisi III dan IV
Ringkasan Ketentuan Umum Farmakope Indonesia Edisi III dan IVRingkasan Ketentuan Umum Farmakope Indonesia Edisi III dan IV
Ringkasan Ketentuan Umum Farmakope Indonesia Edisi III dan IVMaulana Sakti
 
Praregistrasi Suspensi Oral Ampisilin
Praregistrasi Suspensi Oral AmpisilinPraregistrasi Suspensi Oral Ampisilin
Praregistrasi Suspensi Oral AmpisilinMaulana Sakti
 
Praregistrasi Suspensi Oral Ampisilin
Praregistrasi Suspensi Oral AmpisilinPraregistrasi Suspensi Oral Ampisilin
Praregistrasi Suspensi Oral AmpisilinMaulana Sakti
 
Studi Kasus Drug Related Problems
Studi Kasus Drug Related ProblemsStudi Kasus Drug Related Problems
Studi Kasus Drug Related ProblemsMaulana Sakti
 
Summary of Pharmacists's Ethics and Discipline Course
Summary of Pharmacists's Ethics and Discipline CourseSummary of Pharmacists's Ethics and Discipline Course
Summary of Pharmacists's Ethics and Discipline CourseMaulana Sakti
 
Etik dan Disiplin Apoteker Kelompok 1
Etik dan Disiplin Apoteker Kelompok 1Etik dan Disiplin Apoteker Kelompok 1
Etik dan Disiplin Apoteker Kelompok 1Maulana Sakti
 
Etik dan Disiplin apoteker
Etik dan Disiplin apotekerEtik dan Disiplin apoteker
Etik dan Disiplin apotekerMaulana Sakti
 
Suspensi Nanopartikel Kitosan sebagai Obat Luka
Suspensi Nanopartikel Kitosan sebagai Obat LukaSuspensi Nanopartikel Kitosan sebagai Obat Luka
Suspensi Nanopartikel Kitosan sebagai Obat LukaMaulana Sakti
 
Oral Anthelmintic Intraruminal Delivery
Oral Anthelmintic Intraruminal DeliveryOral Anthelmintic Intraruminal Delivery
Oral Anthelmintic Intraruminal DeliveryMaulana Sakti
 
Formulasi Sediaan Veteriner dan Herbisida
Formulasi Sediaan Veteriner dan HerbisidaFormulasi Sediaan Veteriner dan Herbisida
Formulasi Sediaan Veteriner dan HerbisidaMaulana Sakti
 
Microencapsulation for Cosmetic Application
Microencapsulation for Cosmetic ApplicationMicroencapsulation for Cosmetic Application
Microencapsulation for Cosmetic ApplicationMaulana Sakti
 
Reaksi Reduksi dari Aldehida Aromatis
Reaksi Reduksi dari Aldehida AromatisReaksi Reduksi dari Aldehida Aromatis
Reaksi Reduksi dari Aldehida AromatisMaulana Sakti
 
Presentasi Rancangan Obat - Studi In Silico HKSA Senyawa Turunan Benzimidazole
Presentasi Rancangan Obat - Studi In Silico HKSA Senyawa Turunan BenzimidazolePresentasi Rancangan Obat - Studi In Silico HKSA Senyawa Turunan Benzimidazole
Presentasi Rancangan Obat - Studi In Silico HKSA Senyawa Turunan BenzimidazoleMaulana Sakti
 
Pemberian Obat Rute Parenteral dan Desain Injeksi Susteined Release
Pemberian Obat Rute Parenteral dan Desain Injeksi Susteined ReleasePemberian Obat Rute Parenteral dan Desain Injeksi Susteined Release
Pemberian Obat Rute Parenteral dan Desain Injeksi Susteined ReleaseMaulana Sakti
 
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
Wawasan Nusantara dan Ketahanan NasionalWawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
Wawasan Nusantara dan Ketahanan NasionalMaulana Sakti
 

More from Maulana Sakti (20)

Laporan PKPA PBF PT Indofarma Global Medika Cabang Medan
Laporan PKPA PBF PT Indofarma Global Medika Cabang MedanLaporan PKPA PBF PT Indofarma Global Medika Cabang Medan
Laporan PKPA PBF PT Indofarma Global Medika Cabang Medan
 
Laporan PKPA Apotek
Laporan PKPA ApotekLaporan PKPA Apotek
Laporan PKPA Apotek
 
Kasus Pasien Kanker Ovarium dan Anemia
Kasus Pasien Kanker Ovarium dan AnemiaKasus Pasien Kanker Ovarium dan Anemia
Kasus Pasien Kanker Ovarium dan Anemia
 
Laporan Kasus Kanker Ovarium dan Anemia
Laporan Kasus Kanker Ovarium dan AnemiaLaporan Kasus Kanker Ovarium dan Anemia
Laporan Kasus Kanker Ovarium dan Anemia
 
Kemoterapi, Manajemen Ekstravasasi, serta Algoritma Efek Samping Kemoterapi
Kemoterapi, Manajemen Ekstravasasi, serta Algoritma Efek Samping KemoterapiKemoterapi, Manajemen Ekstravasasi, serta Algoritma Efek Samping Kemoterapi
Kemoterapi, Manajemen Ekstravasasi, serta Algoritma Efek Samping Kemoterapi
 
Ringkasan Ketentuan Umum Farmakope Indonesia Edisi III dan IV
Ringkasan Ketentuan Umum Farmakope Indonesia Edisi III dan IVRingkasan Ketentuan Umum Farmakope Indonesia Edisi III dan IV
Ringkasan Ketentuan Umum Farmakope Indonesia Edisi III dan IV
 
Praregistrasi Suspensi Oral Ampisilin
Praregistrasi Suspensi Oral AmpisilinPraregistrasi Suspensi Oral Ampisilin
Praregistrasi Suspensi Oral Ampisilin
 
Praregistrasi Suspensi Oral Ampisilin
Praregistrasi Suspensi Oral AmpisilinPraregistrasi Suspensi Oral Ampisilin
Praregistrasi Suspensi Oral Ampisilin
 
Studi Kasus Drug Related Problems
Studi Kasus Drug Related ProblemsStudi Kasus Drug Related Problems
Studi Kasus Drug Related Problems
 
Summary of Pharmacists's Ethics and Discipline Course
Summary of Pharmacists's Ethics and Discipline CourseSummary of Pharmacists's Ethics and Discipline Course
Summary of Pharmacists's Ethics and Discipline Course
 
Etik dan Disiplin Apoteker Kelompok 1
Etik dan Disiplin Apoteker Kelompok 1Etik dan Disiplin Apoteker Kelompok 1
Etik dan Disiplin Apoteker Kelompok 1
 
Etik dan Disiplin apoteker
Etik dan Disiplin apotekerEtik dan Disiplin apoteker
Etik dan Disiplin apoteker
 
Suspensi Nanopartikel Kitosan sebagai Obat Luka
Suspensi Nanopartikel Kitosan sebagai Obat LukaSuspensi Nanopartikel Kitosan sebagai Obat Luka
Suspensi Nanopartikel Kitosan sebagai Obat Luka
 
Oral Anthelmintic Intraruminal Delivery
Oral Anthelmintic Intraruminal DeliveryOral Anthelmintic Intraruminal Delivery
Oral Anthelmintic Intraruminal Delivery
 
Formulasi Sediaan Veteriner dan Herbisida
Formulasi Sediaan Veteriner dan HerbisidaFormulasi Sediaan Veteriner dan Herbisida
Formulasi Sediaan Veteriner dan Herbisida
 
Microencapsulation for Cosmetic Application
Microencapsulation for Cosmetic ApplicationMicroencapsulation for Cosmetic Application
Microencapsulation for Cosmetic Application
 
Reaksi Reduksi dari Aldehida Aromatis
Reaksi Reduksi dari Aldehida AromatisReaksi Reduksi dari Aldehida Aromatis
Reaksi Reduksi dari Aldehida Aromatis
 
Presentasi Rancangan Obat - Studi In Silico HKSA Senyawa Turunan Benzimidazole
Presentasi Rancangan Obat - Studi In Silico HKSA Senyawa Turunan BenzimidazolePresentasi Rancangan Obat - Studi In Silico HKSA Senyawa Turunan Benzimidazole
Presentasi Rancangan Obat - Studi In Silico HKSA Senyawa Turunan Benzimidazole
 
Pemberian Obat Rute Parenteral dan Desain Injeksi Susteined Release
Pemberian Obat Rute Parenteral dan Desain Injeksi Susteined ReleasePemberian Obat Rute Parenteral dan Desain Injeksi Susteined Release
Pemberian Obat Rute Parenteral dan Desain Injeksi Susteined Release
 
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
Wawasan Nusantara dan Ketahanan NasionalWawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
 

Recently uploaded

Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdf
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdfdemontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdf
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdfIndri117648
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxModul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxherisriwahyuni
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)3HerisaSintia
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxarnisariningsih98
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxDwiYuniarti14
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxalalfardilah
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxHeruFebrianto3
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau tripletMelianaJayasaputra
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxJamhuriIshak
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxBambang440423
 
Ppt tentang perkembangan Moral Pada Anak
Ppt tentang perkembangan Moral Pada AnakPpt tentang perkembangan Moral Pada Anak
Ppt tentang perkembangan Moral Pada Anakbekamalayniasinta
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxSyaimarChandra1
 

Recently uploaded (20)

Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdf
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdfdemontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdf
demontrasi kontekstual modul 1.2.a. 6.pdf
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxModul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
 
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
 
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptxPPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
PPT Materi Jenis - Jenis Alat Pembayaran Tunai dan Non-tunai.pptx
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
04-Gemelli.- kehamilan ganda- duo atau triplet
 
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptxBAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptxJurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
Jurnal Dwi mingguan modul 1.2-gurupenggerak.pptx
 
Ppt tentang perkembangan Moral Pada Anak
Ppt tentang perkembangan Moral Pada AnakPpt tentang perkembangan Moral Pada Anak
Ppt tentang perkembangan Moral Pada Anak
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
 

Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi

  • 1. RINGKASAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PANCASILA, DEMOKRASI, DAN PENCEGAHAN KORUPSI Penulis : Achmad Ubaedillah Penerbit : Prenadamedia Group (Edisi Pertama, 2015) ISBN : 978-602-0895-05-5 BAB I A. Pendidikan Kewarganegaraan dan Reaktualisasi Pancasila Sejak reformasi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi, mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, diwujudkan dengan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam pelaksanaannya Pendidikan Kewarganegaraan ini mengacu pada Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 267/Dikti/Kep./2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, yang selanjutnya, diperbarui dengan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di perguruan tinggi. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya adalah menjadikan warga negara Indonesia yang cerdas, bermartabat, dan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun pada kenyataannya, alih-alih mewujudkan tujuan-tujuan mulia Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya di era Orde Baru, telah dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara indoktrinasi nilai-nilai Pancasila dan manipulasi terhadap makna sebenarnya demokrasi. Dalam konteks pendidikan formal, keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan melalui pola-pola pembelajaran yang humanis dan partisipatif merupakan salah satu cara yang sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, di mana nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya (genuine democracy) dapat dipraktikkan di ruang-ruang kelas dan perkuliahan.
  • 2. Pendidikan Kewarganegaraan dengan pijakan pembangunan karakter bangsa (character nation building) ini sangat relevan untuk dilakukan saat ini di mana perilaku berdemokrasi di Indonesia masih banyak disalahpahami oleh kebanyakan warga negara Indonesia. Demokrasi masih banyak dipahami sebatas kebebasan bertindak dan berekspresi tanpa menghiraukan hak-hak asasi orang lain. Bahkan dengan alasan demokrasi masyarakat saat berunjuk rasa dengan mudah bertindak anarkis (vandalisme) dengan cara pengrusakan fasilitas umum (kendaraan, marka jalan, pos penjagaan, toko, perkantoran, rumah sakit, sekolah, dan sebagainya) maupun mengganggu ketertiban umum atau memaksa orang lain untuk mengikuti unjuk rasa yang mereka lakukan. B. Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) atau Civics memiliki banyak pengertian dan istilah. Tidak jauh berbeda dengan pengertian ini, Muhammad Numan Somantri merumuskan pengertian Civics sebagai Ilmu Kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan: (a) manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi, politik); (b) individu-dividu dengan negara. Jauh sebelum itu, Edmonson (1958) menyatakan bahwa makna Civics selalu didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pemerintahan dan kewarganegaraan yang terkait dengan kewajiban, hak, dan hak- hak istimewa warga negara. Pengertian ini menunjukkan bahwa Civics merupakan cabang dari ilmu 3 politik, sebagaimana tertuang dalam Dictionary of Education. Istilah lain yang hampir sama maknanya dengan Civics adalah Citizenship. Dalam hubungan ini Stanley E. Dimond, seperti dikutip Somantri, menjelaskan rumusan sebagai berikut: “Citizenship as it relates to school activities has two-fold meaings. In a narrow-sense, citizenship includes only legal status in country and the activities closely related to the political function-voting, governmental organization, holding of office, and legal right and responsibility...” (Citizenship sebagaimana keberhubungan dengan kegiatan-kegiatan sekolah mempunyai dua pengertian dalam arti sempit, citizenship hanya mencakup status hukum warga negara dalam sebuah negara, organisasi pemerintah, mengelola kekuasaan, hak-hak
  • 3. hukum dan tanggung jawab). Dari perspektif ini, Civics dan Citizenship erat kaitannya dengan urusan warga negara dan negara. Hal penting dari rumusan Dimond di atas adalah keterkaitan citizenship dengan kegiatan belajar di sekolah mengingat pentingnya disiplin pengetahuan ini bagi kehidupan warga negara dengan sesamanya maupun dengan negara di mana mereka berada. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, makna penting citizenship telah melahirkan gerakan warga negara (civic community) yang sadar akan pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam catatan sejarahnya, Pendidikan Kewarganegaraan muncul dari gagasan yang lahir dari pandangan masyarakat yang memandang penting pendidikan ini. Salah satu contoh pandangan tersebut adalah gerakan community civics yang dipelopori oleh W.A. Dunn pada 1907. Gerakan ini merupakan permulaan yang menghendaki mata pelajaran tentang kewarganegaraan (Civic Education) lebih fungsional bagi para peserta didik dengan menghadapkan mereka kepada lingkungan atau kehidupan seharihari (sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya), baik yang berskala lokal maupun internasional. Bersamaan dengan timbulnya gerakan community civics versi Dunn, lahir gerakan serupa, yaitu gerakan Civic Education atau juga biasa disebut dengan istilah Citizenship Education (Pendidikan Kewarganegaraan). Istilah Civic Education oleh banyak ahli diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewargaan. Istilah Pendidikan Kewargaan dengan orientasinya sebagai media penguatan warga negara dalam berdemokrasi untuk pertama kali oleh rektor Institut Agama Islam egeri (IAIN) “Syarif Hidayatullah” jakarta Profesor Azyumardi Azra. Tidak lama setelah munculnya gerakan Reformasi, pada tahun 2000 Mata Kuliah Pendidikan Kewargaan (Civic Education) dengan pengertian dan tujuan seperti di atas untuk pertama kalinya dilaksanakan di lingkungan IAIN jakarta (kini Universitas Islam Negeri atau UIN jakarta), dan selanjutnya didiseminasikan ke seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Indonesia. Adapun istilah Pendidikan Kewarganegaraan diwakili antara lain oleh beberapa pakar Pendidikan Kewarganegaraan: Zamroni, Muhammad Numan Somantri, dan Udin S. Winataputra.
  • 4. Pemahaman lain tentang Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan di mana seseorang mempelajari orientasi, sikap, dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political edicacy, dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional. Menurut Somantri, Pendidikan Kewarganegaraan ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut: (a) Civic Education adalah kegiatan yang meliputi seluruh program sekolah; (b) Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan perilaku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis; dan (c) dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi, dan syarat-syarat objektif untuk hidup bernegara. Dengan kata lain, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah suatu program pendidikan yang berusaha menggabungkan unsur-unsur substantif dari komponen Civic Education di atas melalui model pembelajaran yang demokratis, interaktif, serta humanis dalam lingkungan yang demokratis. Agar Pendidikan Kewarganegaraan mencapai tujuan maksimal, diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut: pertama, lingkungan kelas haruslah demokratis; kedua,materi tentang demokrasi dan HAM tidak dapat diajarkan secara verbalistis, melainkan harus melalui situasi dan pengalaman yang dikenal oleh peserta didik; dan ketiga, model pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran interaktif. Unsur ketiga ini biasa juga dikenal dengan istilah model pembelajaran kolaboratif atau pembelajaran aktif (active learning). C. Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) bagi Pembangunan Budaya Demokrasi di Indonesia Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, demokrasi bukanlah sebuah wacana, pola pikir, atau perilaku yang dapat dibangun sekali jadi. Menurutnya, demokrasi adalah proses di mana masyarakat dan negara berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan sistem kehidupan yang dapat menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dari sudut pandang ini, demokrasi dapat tercipta apabila masyarakat dan pemerintah bersama-sama
  • 5. membangun kesadaran akan pentingnya demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses demokratisasi Indonesia membutuhkan topangan budaya demokrasi yang genuine. Tanpa dukungan budaya demokrasi, proses transisi demokrasi masih rentan terhadap berbagai ancaman budaya dan perilaku tidak demokratis warisan masa lalu, seperti perilaku anarkis dalam menyuarakan pendapat, politik uang (money politics), pengerahan massa untuk tujuan politik, dan penggunaan simbol- simbol primordial (suku dan agama) dalam berpolitik. Melihat pada kenyataan tersebut, menurut Azra, Indonesia membutuhkan sebuah demokrasi keadaban (civilitized democracy) atau apa yang dikatakan oleh Robert W. Heffner sebagai keadaban demokrasi (democratic civility). Namun demikian, menuju tatanan demokrasi keadaban yang lebih genuine dan autentik bukanlah hal yang mudah dan instan; sebaliknya membutuhkan proses pengenalan, pembelajaran, dan pengamalan (learning by doing), serta pendalaman (deepening) demokrasi. Proses panjang ini tidak lain dilakukan dalam rangka mengembangkan budaya demokratis (democratic culture) di Indonesia. Salah satu cara untuk mengembangkan kultur demokratis berkeadaban dimaksud adalah melalui program Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) yang dilakukan melalui cara-cara pembelajaran demokratis oleh pengajar yang demokratis untuk tujuan menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi. Terdapat dua alasan, menurut Azra, mengapa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia dalam membangun demokrasinya. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political illiteracy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya di kalangan warga negara. Kedua, meningkatnya political apathism (apatisme politik) yang ditunjukkan dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam proses-proses politik. Jika demokrasi merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar atau dimundurkan (point of no return) bagi bangsa Indonesia, maka Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah salah satu upaya penyemaian budaya demokrasi. Langkah yang dapat dilakukan adalah melakukan Pendidikan Kewarganegaraan.
  • 6. BAB II A. Reaktualisasi Pancasila Merupakan upaya dalam rangka perjuangan menjadikan demokrasi sejalan dengan makna demokrasi yang tersirat dalam sila keempat Pancasila. Upaya memperjuangkan Pancasila dengan cara mengaktualisasikannya dengan semangat dan tuntutan zaman yang berubah tidak lain karena Pancasila pada dasarnya merupakan falsafah atau pemikiran mendalam tentang tata cara hidup bersama sebagai bangsa yang bersifat terbuka dan elastis yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa dan diwariskan kepada seluruh bangsa Indonesia. Karakteristik ini secara tersurat dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada peringatan ke-61hari lahir Pancasila 2006. Menurut Presiden Indonesia keenam ini, “Pancasila adalah falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka. Open ideology, living ideology. Bukan dogma solusi yang statis dan menakutkan. Pancasila kita hendak kita letakkan secara terhormat. Sebagaimana saya katakan, sebagai sumber pencerahan, menjadi sumber insprasi, dan sekaligus sumber solusi atas masalah- masalah yang hendakkita pecahkan”. Gagasan rejuvenasi Pancasila dan sejenisnya ini merupakan agenda nasional yang mendesak diwujudkan dan mengundang keterlibatan kalangan intelektual untuk berperan aktif, selain peran pemerintahyang harus membuka peluang seluas-luasnya bagi munculnya beragam tafsir kontekstual dan segar atas dasar negara Pancasila. Bersamaan dengan ini, pemerintah juga harus secara sungguh-sungguh dan konsekuen menjadikan Pancasila sebagai rujukan dan orientasi kebijakan pembangunan nasional. Dengan ungkapan lain, sebagai sebuah sistem nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang digali dari kebudayaan dan pengalaman Indonesia, Pancasila harus ditempatkan sebagai cita-cita etis dan hukum dan juga sebagai etika berpolitik warga bangsa. Sebagai etika politik, sila-sila Pancasila yang saling terkait harus menjadi orientasi praktik politik sehari-hari. Misalnya, Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mengandung prinsip spiritualitas harus bersinergi dengan prinsip Sila Kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” di mana cara-cara meraih kekuasaan politik dilakukan sebagai media untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan di dunia sebagai pesan universal semua agama.
  • 7. B. Empat Konsensus Dasar Indonesia 1. Pancasila: Pengertian Etimologis, Historis, dan Terminologis Pancasila terdiri dari dua kata, panca artinya “lima” dan sila artinya “dasar”. Secara harfiah, Pancasila memiliki pengertian “dasar yang memiliki lima unsur”. Secara historis, munculnya Pancasila tak bisa dilepaskan dari situasi perjuangan bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan. Keinginan lepas dari belenggu penjajahan asing dan belenggu pemikiran ideologi dunia saat itu, yakni liberalisme dan komunisme, para tokoh bangsa antara lain Soekarno dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai dari negerinya sendiri yang akan dijadikan panduan dan dasar bagi Indonesia merdeka. Panduan dan dasar negara Indonesia, menurut Soekarno, mestilah bukan meminjam dari unsur- unsur asing yang tidak sepenuhnya sesuai dengan jati diri bangsa, tetapi harus digali dari rahim kebudayaan Indonesia sendiri. Tanpa nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tanah kelahirannya, tegas Soekarno, akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita kemerdekaannya. Suasana kebatinan ingin lepas dari dua kungkungan inilah Pancasila seyogianya diposisikan, sehingga keinginan-keinginan sebagian pihak yang hendak membawa Indonesia ke arah tatanan demokrasi liberal maupun sosialisme dapat diingatkan kembali pada konteks sejarah lahirnya Pancasila yang berusaha menggabungkan segala kebaikan yang terdapat pada ideologi dan pemikiran asing. Upaya sungguh- sungguh ini terbukti mendapatkan apresiasi setidaknya dari tokoh filsuf Inggris Bertrand Russel seperti dinyatakan Latif bahwa Pancasila merupakan sintesis kreatif antara Declaration of American Independence (yang merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang merepresentasikan ideologi komunis). Gagasan Pancasila dibahas untuknpertama kali di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), salah seorang peserta sidang Dr. Radjiman Widyodiningrat melontarkan gagasan tentang rumusan sebuah dasar negara bagi Indonesia yang akan dibentuk. Merespons gagasan ini, sejumlah tokoh pergerakan nasional, antara lain Mohammad Yamin, Prof. Seopomo, dan Soekarno masing-masing
  • 8. menguraikan buah pikiran mereka tentang dasar negara pada perhelatan resmi tersebut. Secara terminologis, eksistensi Pancasila tidak dapat dipisahkan dari situasi menjelang lahirnya negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Sebagai konsekuensi dari lahirnya Indonesia yang membutuhkan alat-alat kelengkapan sebagai negara yang berdaulat, maka kehadiran Pancasila diikuti pula oleh kelahiran konstitusi UUD 1945. Sehari setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, pada 18 Agustus 1945 sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Pancasila dan Undang-undang dasar negara Indonesia yang disebut dengan Undang-Undang Dasar 45. Pengesahan UUD ’45 ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Melakukan beberapa perubahan pada rumusan Piagam Jakarta yang kemudian berfungsi sebagai Pembukaan UUD ’45. 2. Menetapkan rancangan hukum dasar yang telah diterima Badan Penyidik pada 17 Juli 1945, setelah mengalami berbagai perubahan karena berkaitan dengan perubahan Piagam Jakarta, kemudian berfungsi sebagai Undang- Undang Dasar 1945. 3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden Pertama. 4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai Badan Musyawarah Darurat. Berdasarkan pengesahan tersebut, susunan UUD ”45 kemudian dibagi menjadi dua bagian: bagian pembukaan dan bagian pasal yang terdiri dari 37 pasal, 1 aturan peralihan yang terdiri dari 4 pasal dan 1 aturan tambahan yang terdiri atas 2 ayat. Pada bagian pembukaan konstitusi UUD '45 inilah kelima sila pada Pancasila tercantum sebagai berikut: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. 3. Persatuan Indonesia. 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  • 9. 2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) UUD NRI 1945 adalah konstitusi negara Republik Indonesia. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan negara. Semua konstitusi di mana pun mengandung kekuasaan pemerintah negara terhadap seluruh aset kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kekuasaan itu harus diatur dan dibatasi agar tidak disalahgunakan secara absolut. Oleh karenanya perlu ada pembatasan- pembatasan terhadap kekuasaan yang tertuang dalam konstitusn negara. Dengan kata lain, konstitusi adalah pengaturan mengenai pembatasan atau pengawasan (check and balance) terhadap kekuasaan pemerintahnegara. Konstitusi tertulis yang mengatur kekuasaan pemerintah negara Indonesia diwujudkan dalam UUD 1945. Sebagaihukum dasar, perumusan UUD 1945 disusun secara sistematis mulai dari prinsip yang bersifat umum dan mendasar sampai ke prinsip yang bersifat khusus dan perinci. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 bukan hanya merupakan dokumen hukum tetapi juga mengandung aspek lain seperti pandangan hidup, cita-cita dan falsafah yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa dan menjadi landasan dalam penyelenggaraan negara. 3. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Sebelum 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah menunjukkan cita- citanya untuk mendirikan sebuah negara bangsa (nation state). Pembentukan organisasi pergerakan seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (SII, 1911), manifestor politik (1925), dan Sumpah Pemuda (1928) merupakan peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya untuk menjadi sebuah negara yang bebas dari belenggu penjajahan. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah memberi identitas baru bagi Indonesia sebagai bangsa yang merdeka sekaligus memberi wadah bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk negara kesatuan atau konsep satu nusa dikembangkan oleh para pendiri bangsa saat mereka bermusyawarah dalam sidang-sidang BPUPKI sebelum momentumkemerdekaan. Setelah melewati persidangan yang memunculkan beragam konsep tentang negara ' yang hendak
  • 10. didirikan, dari konsep negara kerajaan dengan sistem federal, negara republik dengan sistem unitaris, negara republik dengan sistem federal, pada akhirnya disepakati bahwa bentuk negara yang akan didirikan adalah negara republik dengan sistem unitaris integralistik. Konsep negara kesatuan ini selanjutnya dituangkan dalam rancangan Undang-Undang Dasar hasil BPUPKI, yang kemudian disahkan menjadi bentuk negara serta disepakati secara nasional pada sidang PPKI. Dalam UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan pada Pasal 1 yang menyatakan bahwa, “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Negara yang akan dibetuk adalah sebuah negara yang berbentuk Republik dengan arti bahwa negara Indonesia yang akan dijadikan wadah bagi seluruh kehidupan bangsa nanti harus merupakan sebuah kesatuan yang utuh, secara politik maupun pertahanan, sekalipun majemuk secara kultural, geografis, Bahasa, keyakinan dan sebagainya, mengingat Indonesia sebagai rentetan kepulauan. Konsep NKRI pada perkembangan selanjutnya telah melahirkan cara pandang tentang jati diri sebagai bangsa yang majemuk dan bagaimana mendelinsikan dirinya ditengah kehidupan dan pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Konsepsi diri inilah yang kemudian biasa disebut dengan istilah wawasan kebangsaan. 4. Bhinneka Tunggal Ika Unsur terakhir dari empat konsensus dasar nasional Indonesia adalah prinsip kemajemukan dalam kesatuan. Jika Amerika Serikat memiliki “E Pluribus Unum” (Dari Banyak, Satu), yang substansinya bahwa kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Amerika dijadikan kekuatan untuk bersatu atau kemajemukan untuk kesatuan cita-cita dan tujuan sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah diwariskan oleh Mpu Tantular (pujangga Nusantara abad XIV) dalam kitabnya Sutasoma dengan sesanti inklusif Nusantara “Bhinneka Tunggal Ika” yang menekankan semangat persatuan antara umat beragama pada waktu itu. Asal kata Bhinneka Tunggal Ika adalah dari kata Bhinna yang artinya “berbeda”, Tunggal yang artinya satu, dan Ika artinya “itu . Untaian kata tersebut dapat diberi makna “berbeda—beda namun tetap manunggal satu”.
  • 11. BAB III A. Apakah Identitas Itu? Identitas sering dihubungkan dengan atribut yang disematkan kepada individu yang sebenarnya memiliki sifat majemuk. Misalnya atribut kelamin (pria atau wanita) yang hadir secara kodrati pada seseorang bisa bergandeng dengan atribut-atribut kodrati lainnya yang tidak bisa ditolak seseorang sejak ia lahir, seperti agama, suku, ras, kasta maupun kebangsaan. Selain identitas atau atribut yang bersifat kodrati (diberikan oleh Tuhan sejak lahir), ia juga bersifat non-kodrati atau bisa dibuat akibat dari usaha seseorang. Misalnya kelas pendidikan, ekonomi, sosial, dan agama. Dua jenis atribut atau lebih bisa melekat pada setiap individu. Seorang Muslim adalah Batak dan pada saat yang sama beridentitas kelas menengah, kelas terdidik, dan sebagainya. Identitas bisa berdampak positif juga bisa berdampak negatif. Iika identitas tersebut dapat menimbulkan rasa bangga, baik bagi dirinya maupun komunitasnya, maka identitas bernilai positif. Sebaliknya identitas dapat melahirkan masalah manakala ia menjadi alasan untuk berkonflik bahkan berperang. Banyak contoh konflik yang tidak lepas dari persoalan identitas kelompok, seperti konflik suku, ras, dan agama yang sering terjadi di berbagai belahan dunia. Konflik suku di Rwanda (suku Tutsi dan Hutsi), konflik agama di India (Hindu-Muslim), di Serbia (Katolik dan Islam), di Palestina (Islam dan Yahudi), di Irak (Sunni dan Syfah). Konflik serupa terjadi pula di sejumlah daerah di Indonesia, seperti konflik suku di Kalimantan Barat antara suku Dayak dan Madura, atau konflik bernuansa keyakinan di Ambon antara komunitas Kristen dan Muslim. Identitas dipahami pula sebagai ungkapan nilai-nilai budaya yang dimiliki suatu komunitas, kelompok, atau bangsa yang bersifat khas dan membedakannya dengan kelompok atau bangsa yang lain. Kekhasan yang melekat pada sebuah bangsa ini dikenal secara umum dengan sebutan “identitas nasional.”Identitas yang melekat pada suatu bangsa tidaklah bersifat statis. Identitas adalah sesuatu yang dapat dibentukoleh suatu individu atau kelompok. Secara teoretis identitas hakikatnya adalah sesuatu yang dinamis dan beragam ekspresi: individu ataupun kelompok yang terlibat dalam prosesnya hanyalah bersifat parsial dan tidak lengkap. Identitas teramat sering dibentukoleh
  • 12. praktik-praktik yang khas dan kejadian-kejadian yang saling terkait satu dengan lainnya. Dalam kenyataan sehari-hari identitas dapat berupa pengakuan subjektif yang dijelaskan oleh seseorang atau kelompok untuk dikenali oleh pihak luar atau pernyataan orang luar yang disematkan kepada kelompok tersebut. Penyematan pihak luar terhadap suatu kelompok kadang kala tidak sesuai dengan kenyataannya. Penyematan bisa saja terbentuk atas reduksi hakikat seseorang atau kelompok yang sesungguhnya majemuk. Reduksi sering kali melahirkan stereotip (atau atribut) yang dapat mengotakkan seseorang atau kelompok ke dalam suatu identitas yang bukan sebenarnya. Proses ini sering disebut dengan istilah politisasi identitas untuk kepentingan subjektif seseorang, kelompok atau lembaga negara. Politisasi identitas ini tak jarang melahirkan tindakan diskriminasi kelompok dominan terhadap kelompok minoritas. Agar hal ini tidak terjadi gagasan tentang pendidikan multikultural bagi Indonesia yang majemuk menjadi salah satu tawaran solusi yang diharapkan mampu menjadikan Indonesia rumah bagi semua komponen bangsa yang ada dengan beragam identitasnya. B. Unsur-unsur Pembentuk Identitas Nasional Indonesia Identitas nasional Indonesia terbentuk oleh bermacam unsur, fisik, dan non fisik. Salah satu identitas yang melekat pada bangsa Indonesia adalah sebutan sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Kemajemukan bangsa Indonesia ini tecermin pada ungkapan sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat pada simbol nasional Burung Garuda dengan lima simbol yang mewakili sila-sila dalam dasar negara Pancasila. Kemajemukan ini merupakan perpaduan dari unsur-unsur yang menjadi inti identitas Indonesia: sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama, dan bahasa. Menurut catatan sejarah, sebelum menjadi sebuah negara bangsa (nation state), Nusantara pernah mengalami masa kejayaan yang gemilang. Dua kerajaan besar yakni Sriwijaya dan Majapahit dikenal sebagai pusat-pusat kekuasaan di Nusantara yang pengaruhnya menembus batas-batas teritorial di mana dua kerajaan ini berdiri. Kebesaran dua kerajaan tersebut turut menjadi rujukan semangat perjuangan manusia Nusantara pada abad-abad berikutnya ketika penjajahan asing
  • 13. menancapkan kekuatan imperialismenya. Semangat juang manusia Nusantara dalam mengusir penjajah dari tanah kelahirannya telah menjadi ciri khas tersendiri bagi cikal bakal bangsa Indonesia yang kemudian menjadi salah satu unsur pembentuk identitas nasionalnya sebagai bangsa yang pantang menyerah dan pejuang kebasan. Hal ini tecermin dalam konstitusi Indonesia di mana Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit menyatakan dukungan bangsa Indonesia bagi kemerdekaan setiap bangsa di dunia Kemajemukan alamiah bangsa Indonesia yang tecermin dalam ribuan suku, bahasa, dan budaya, dan kesatuan atas kemajemukan bangsa yang bersifat khas merupakan gambaran bahwa Indonesia adalah kesatuan atas keberagaman yang secara simbolik diungkapkan dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang dicengkeram kuat oleh kuku burung elang Garuda. Dengan demikian tidaklah keliru jika terdapat ungkapan umum, “bukanlah Indonesia jika tidak majemuk”. Keragaman agama dan keyakinan merupakan identitas lain dari kemajemukan alamiah bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa menjadikannya unsur paling penting dalam konstitusi negara, sebagai upaya wajib negara untuk melindungi rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang harus tetap dipelihara dan disyukuri bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah unsur lain pembentuk identitas nasional bangsa Indonesia. Keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dijamin oleh konstitusi negara, UUD 1945. Ribuan pulau, etnis dan keragaman budaya dan keyakinan dapat dipersatukan dengan bahasa Indonesia, yang sebelumnya merupakan bahasa pengantar (lingua franca), bahasa transaksi perdagangan dan pergaulan, masyarakat yang mendiami kepulauan yang tersebar di seluruh Nusantara. C. Wawasan Nusantara Bangsa Indonesia telah merumuskan identitas nasionalnya dengan apa yang disebut sebagai konsep Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara. Dua konsep ini merupakan cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya. Melalui konsep diri ini, bangsa Indonesia memiliki ukuran dan kategori siapa dirinya dan bagaimana berbuat dan memandang dunia luar. Jika
  • 14. konsep Wawasan Kebangsaan banyak menekankan aspek nilai yang terkandung pada empat konsensus dasar bangsa Indonesia, sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya, bagian ini akan menjelaskan sekilas tentang konsep Wawasan Nusantara yang lebih bersifat teritorial. Namun demikian, terdapat kesamaan tujuan esensial dari kedua wawasan nasional ini: adalah untuk mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan serta bangga dan cinta negeri di kalangan warga negara Indonesia. Dalam Desain Induk PemantapanWawasan Kebangsaan Tahun 2012-2024 yang disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) dijelaskan bahwa Wawasan Nusantara adalah kesamaan persepsi pada segenap komponen bangsa Indonesia sebagai dasar bagi terbangunnya rasa dan semangat nasional yang tinggi dalam semua aspek kehidupan nasional, sebagai faktor pendorong untuk berbuat dan berprestasi bagi kejayaan negara dan bangsa. Wawasan Nusantara mencakup bagaimana implementasi dari realitas konstelasi geografis dan keragaman yang dimiliki NKRI sebagai negara kepulauan yang memiliki konsep kesatuan yang padu: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. D. Globalisasi dan Ketahanan Nasional Secara umum globalisasi adalah sebuah gambaran tentang semakin tinggi ketergantungan di antara sesama masyarakat dunia, baik budaya maupun ekonomi. Istilah globalisasi juga sering dihubungkan dengan sirkulasi gagasan, bahasa, dan budaya populer yang melintasi batas negara. Fenomena global ini acap kali disederhanakan oleh kalangan ahli sebagai gejala kecenderungan dunia menuju sebuah perkampungan global (global village) di mana interaksi manusia berlangsung tanpa halangan batas geograiis. Hal ini tentunya sebagai bagian tak terpisahkan dari kemajuan teknologi informasi yang menyediakan fasilitas komunikasi secara murah dan mudah. Pada saat yang sama, isu-isu dunia di bidang politik, ekonomi, demokrasi, dan HAM dengan begitu cepat dapat memengaruhi situasi yang terjadi di suatu negara. Globalisasi adalah fenomena duniaberwajah banyak. Globalisasi sering diidentikkan dengan: (1) lnternasionalisasi, yaitu hubungan antarnegara, meluasnya arus perdagangan dan penanaman modal; (2) Liberalisasi, yaitu pencabutan
  • 15. pembatasan-pembatasan pemerintah untuk membuka ekonomi tanpa pagar (border-less world) dalam hambatan perdagangan, pembatasan keluar masuk mata uang, kendali devisa, dan izin masuk suatu negara (visa); (3) Universalisasi, yaitu ragam selera atau gaya hidup seperti pakaian, makanan, kendaraan, di seluruh pelosok penjuru dunia; (4) Westernisasi atau Amerikanisasi, yaitu ragam hidup model budaya Barat atau Amerika; dan (5) de-teritorialisasi, yaitu perubahan- perubahangeografis sehingga ruang sosial dalam perbatasan, tempat, dan jarak menjadi berubah. Dengan demikian, peningkatan saling keterkaitan antara seseorang atau satu bangsa dengan bangsa lainnya telah menggiring dunia ke arah pembentukan sebuah perkampungan global (global village). Perkampungan global merupakan kenyataan sosial yang saling terpisah secara fisik tetapi saling berhubungan dan memengaruhi secara nonfisik. Harga minyak bumi di pasaran dunia, misalnya, akan memengaruhi harga bahan bakar minyak Indonesia, fluktuasi harga tomat di Eropa akan berdampak pada harga tomat di pasar tradisional di Indonesia. Hal serupa terjadi pula dalam bidang sosial, politik, dan kebudayaan. Terdapat banyak faktor yang mendorong terjadinya globalisasi antara lain pertumbuhan kapitalisme, maraknya inovasi teknologi komunikasi dan informasi serta diciptakannya regulasi-regulasi yang meningkatkan persaingan dalam skala besar dan luas seperti hak cipta, standardisasi teknis dan prosedural dalam produk dan sistem produksi serta penghapusan hambatan perdagangan. Gelombang globalisasi yang tidak mungkin dihindari oleh semua bangsa di dunia sangat berkaitan dengan ketahanan nasional masing-masing bangsa tersebut. Ketahanan nasional Indonesia yang pada hakikatnya sebagai suatu kondisi dinamis bangsa dalam menghadapi dan mengatasi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (AGHT) dari luar maupun dari dalam yang dapat membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup sebagai bangsa dan negara, dapat menjadi rujukan bersama dalam menangkal hal-hal negatif dan mengambil manfaat sebesar- besarnya dari globalisasi. Dalam konteks ini, globalisasi tidak harus dibenci dan dijauhi, tetapi harus digali manfaatnya untuk kesejahteraan bersama, dan pada saat yang sama diminimalisasi mudaratnya. Peluang dan tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi dapat direspons dengan komitmen dan kebijakan pemerintah.
  • 16. BAB IV A. Definisi Good and Clean Governance Secara umum, pengertian good governance adalah interaksi seimbang antara lembaga pemerintahan dan masyarakat dan kalangan swasta, di mana lembaga pemerintah memberlakukan kebijakan yang seimbang untuk perkembangan masyarakat dan sektor swasta. Leftwich menjelaskan good governance sebagai administrasi yang sehat, dan sekaligus juga politik yang demokratis, plus serangkaian keutamaan yang non-ekonomis, seperti kesamaan, keseimbangan gender, menghormati hukum, toleransi sosial, kultural, dan individual. Sementara UN-ESCAP menyatakan bahwa good governance adalah proses pengambilan keputusan dan proses dalam mengimplementasikan atau tidak mengimplementasikan suatu keputusan. John Healey dan Mark Robinson mengatakan bahwa good governance adalah kegiatan organisasi negara yang berimplikasi pada perumusan kebijakan yang berefek pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dari pengertian di atas tampak bahwa pengertian good governance merupakan konsep yang kolektif, yang melibatkan seluruh tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai good dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, pengertian good governance tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan semata, tetapi menyangkut semua lembaga baik pemerintah maupun non- pemerintah (lembaga swadaya masyarakat) dengan istilah good corporate. Good governance juga berimplikasi pada prinsip-prinsip organisasi yang akuntabel, transparan, partisipatif, keterbukaan, dan berbasis pada penguatan serta penegakan hukum. Bahkan, prinsip-prinsip good governance dapat pula diterapkan dalam pengelolaan lembaga sosial dan kemasyarakatan dari yang paling sederhana hingga yang berskala besar, seperti arisan, pengajian, perkumpulan olahraga di tingkat rukun tetangga (RT), organisasi kelas, hingga organisasi di atasnya. Di Indonesia, substansi good governance dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah sikap di mana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai tingkatan pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya,
  • 17. politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya, pemerintahanyang bersih (clean government) adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, dan bertanggung jawab. Sejalan dengan prinsip di atas pemerintahan yang baik itu berarti baik dalam proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, dan memperoleh dukungan dari rakyat. Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal dengan hasil yang maksimal. Faktor lain yang tak kalah penting, suatu pemerintahan dapat dikatakan baik jika produktivitas bersinergi dengan peningkatan indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek produktivitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya. Untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi di atas, proses pembentukan pemerintahan yang berlangsung secara demokratis mutlak dilakukan. Sebagai sebuah paradigma pengelolaan lembaga negara, good and clean governance dapat terwujud secara maksimal jika ditopang oleh tiga unsur yang saling terkait: Unsur Negara, unsur swasta dan unsur masyarakat sipil. Negara melalui birokrasri pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan publik dari perspektif birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Birokrasi populis adalah tata kelola pemerintahan yang berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Sistem pemerintahan negara yang bersih (clean government) adalah kunci penting dalam pelaksanaan good governance. Prasetijo dalam Sedarmayanti, menegaskan bahwa dalam konteks birokrasi Indonesia Clean Government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kepemerintahan yang mampu menciptakan keadaan yang memberi rasa nyaman dan menyenangkan bagi para pihak dalam suasana kepemimpinan yang demokratis menuju masyarakat yang adil dan berkesejahteraan berdasarkan Pancasila. Para pihak yang dimaksud dalam kepemerintahan ini adalah kelembagaan yang ada di 5 dalam eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketiga pihak ini harus saling bekerja sama, berkoordinasi, bersinergi dalam menjalankan pemerintahandan pembangunan. Berkaitan dengan good governance, Mardiasmo mengemukakan bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan kepemerintahan yang baik.
  • 18. B. Prinsip-prinsip Good Governance Menurut UNDP, karakteristik good governance adalah sebagai berikut; 1. Participation (partisipasi); setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi yang mewakili kepentinganya. Bentuk partisipasi menyeluruh ini dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisasi. 2. Rule of Law (berbasis hukum); kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi wujud good and clean governance, harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukumyang mengandung unsur-unsursebagai berikut: a. Supremasi hukum (supremacy of law), yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan ber bangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang dimilikinya). b. Kepastian hukum (legal certainty), bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan lainnya. c. Hukum yang responsif, yakni aturan-aturanhukum disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil. d. Penegakan hukum yang konsisten dan tidak diskriminatif, yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawab terhadap kebenaran hukum.
  • 19. e. Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya. 3. Transparency Transparency (terbuka); transparansi yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Hal ini mutlak dilakukan dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana pemerintahan, baik pusat maupun yang di bawahnya. Dalam pengelolaan negara terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu: a. Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan. b. Kekayaan pejabat publik. c. Pemberian penghargaan. d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan, kesehatan. e. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik. f. Keamanan dan ketertiban. g. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehiduapan masyarakat. 4. Responsiveness (responsif); setiap lembaga dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus mencoba melayani setiap stakeholders. Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni etika individual dan sosial kualifikasi etika individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria'kapabilitas dan loyalitas profesional. Adapun etik sosial menuntut mereka agar memiliki sensitivitas terhadap berbagai kebutuhan publik. 5. Consensus Orientation (orientasi konsensus); good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepenting yang lebih luas. Sekalipun para pejabat pada tingkatan tertentu dapat mengambil kebijakan secara personal sesuai batas kewenangannya, tetapi menyangkut kebijakan-kebijakan penting dan bersifat publik harus diputuskan secara bersama dengan seluruh unsur terkait. Kebijakan individual hanya dapat dilakukan sebatas menyangkut teknis pelaksanaan kebijakan, sesuai batas kewenangannya. Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
  • 20. Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Selain itu, semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum, maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya, dan akuntabilitas pelaksanaannya dapat semakin dipertanggungjawabkan. 6. Equity (kesetaraan); semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Asas kesetaraan (equity) adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas kesetaraan ini mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintahuntuk bersikap dan berperilaku adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin, dan kelas sosial. 7. Effectiveness and efficiency (efektif dan efisien); proses-proses dan lembaga- lembaga menghasilkan produknya sesuai dengan yang telah digariskan, dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. Adapun asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan tersebut termasuk dalam kategori pemerintahan yang efisien. 8. Accountability (akuntabel); para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat (civil society), bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Itu sebabnya menjadi penting diberlakukannya Standard Operating Procedure (SOP) dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan atau dalam penyelenggaraan kewenangan/ pelaksanaan kelijakan. Untuk menunjang akuntabilitas, pengawasan menjadi kunci utama evuluasi dan kontrol dari pelaksanaan SOP yang sudah ditetapkan. Di luar dari delapan prinsip di atas, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menambahkan beberapa prinsip dalam pelaksanaan good and clean governance, seperti: (1) Wawasan ke depan, (2) Demokrasi, (3) Profesionalisme dan kompetensi, (4) Desentralisasi, (5) Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat, (6) Komitmen pada pengurangan kesenjangan, dan (7) Komitmen pada lingkungan hidup.
  • 21. BAB V A. Korupsi Penghambat Utama Tata Kelola Pemerintahan Baik dan Bersih Arus deras demokrasi di Indonesia menghadapi kendala sangat serius yakni perilaku korup di kalangan penyelenggara negara, pegawai pemerintah, maupun wakil rakyat. Hampir setiap hari masyarakat dibanjiri dengan berita kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan melalui, di antaranya, tindakanpencurian uang rakyat. Hal yang sangat memprihatinkan, partai politik dan dunia pendidikan pun ternyata tidak bebas dari praktik-praktik korupsi. Otonomi daerah yang selama ini dilakukan masih diwarnai oleh pengalihan tradisi korupsi di pusat ke daerah. Tindakan penyalahgunaan Anggaran Pembangunan dan Biaya Daerah (APBD) yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan anggota legislatif (DPRD) tak kalah ramainya diberitakan oleh media massa. Pengawasan yang dilakukan oleh sejumlah lembaga, seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seakan belum cukup untuk mengikis tindakan korupsi di aparatur negara. Kasus-kasus korupsi Indonesia tidaklah berdiri sendiri. Tindakan korupsi banyak melibatkan kalangan eksekutif dan anggota legislatif di saat mereka melakukan dan menentukan anggaran pembangunan hingga penyelenggaraan tender proyek dan pelaksanaan proyek pembangunan. Dapat dibayangkan berapa kerugian negara jika korupsi sudah dilakukan oleh penyelenggara negara sejak dari hulu hingga ke hilir pembangunan. Praktik penyelewengan uang dan aset negara ini masih diramaikan oleh praktik politik uang (money politics) dalam pemilihan kepala daerah dan pimpinan partai politik maupun suap menyuap yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pejabat publik dan aparat penegak hukum. Dalam hal ini, tidaklah mengherankan jika posisi Indonesia masih tertinggal oleh banyak negara di dunia dalam hal pemberantasan korupsi. Prestasi yang tidak signifikan dibanding dengan capaian Indonesia dalam hal berdemokrasi. Kondisi korupsi Indonesia semakin buruk karena tindakan korupsi dilakukan oleh aktor-aktor politik, baik di lembaga parlemen maupun lembaga- lembaga negara lainnya. Dalam perspektif negara modern, sistem politik demokrasi dengan check and balancenya diharapkan mampu menekan semaksimal mungkin godaan politik di kalangan penyelenggara negara dan para politisi, baik melalui
  • 22. modus dalam proses penyusunan perundang-unndangan maupun pada tahap pelaksanaan peraturan yang dibuat bersama antara pemerintah dan anggota legislatif. Dalam koridor ini tentu saja kontrol media dan masyarakat sangat penting peranannya dalam mengawasi tindakan korupsi para wakil rakyat dan elite eksekutif di pusat ataupun di daerah. Hal-hal terkait dengan korupsi politik yang mendesak dilakukan adalah, demikian Kristiadi menekankan, pengawasan terhadap tata kelola keuangan parpol. Pertama, kejelasan atau transparansi atas dana pemasukan partai dari unsur sumbangan. Kejelasan asal usul dan jumlah dana sumbangan yang mengalir ke partai politik dari seseorang atau lembaga harus dilaporkan kepada publik dan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Semua sumbangan berupa barang dan jasa harus sesuai dengan harga pasar. Kedua, kejelasan serupa harus pula dilakukan dalam hal pengeluaran parpol maupun kandidat anggota legislatif dan eksekutif dengan dana yang mereka gunakan selama kegiatan pemilu maupun kegiatan kepartaian. Ketiga, keharusan partai politik membuat pelaporan keuangan dengan menunjuk secara resmi seseorang dengan kualifikasi sebagai akuntan publik serta bersedia kapan saja untuk memberikan keterangan secara transparan dan kauntabel kepada konstituen dan masyarakat luas terkait dengan keuangan partai. Keempat, menggunakan prinsip-prinsip tranparansi dalam penyusunan laporan keuangan partai. Kelima, memberikan sanksi yang jelas pada anggota partaiyang melakukan pelanggaran dalam hal penggunaan keuangan partai. Hal yang tak kalah penting dari pengawasan terhadap sirkulasi dana partai politik adalah sikap kritis publik terhadap kemungkinan kedekatan pengusaha dengan tokoh politik. Kedekatan yang terjadi antara pengusaha dan tokoh partai politik ini banyak terjadi pada saat menjelang Pemilihan Umum atau Pemilukada. Selain persekongkolan antara pegusaha dengan elite parpol dapat berpotensi terganggunya kaderisasi di internal parpol, fenomena ini acapkali berakibat pada tindakan korupsi. Persekongkolan antara keduanya dapat dalam betuk masuknya pengusaha ke dalam posisi penting dalam kepengurusan parpol atau menjadi kandidat anggota legislatif yang diusung oleh parpol tersebut.
  • 23. Praktik politik kotor yang didasari saling membutuhkan antara pengusaha dan parpol ini tentu saja menjadi penyebab ancaman terhadap prinsip-prinsip kaderisasi dan demokrasi yang sehat di lingkungan parpol. Dalam hal ini, politik dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip saling mengambil keuntungan sesaat antara elite parpol yang membutuhkan modal politik dan pengusaha yang mengincar posisi politik di lembaga legislatif atau eksekutif. Modus kongkalingkong yang didasari prinsip pragmatis-mutualisme antara elite parpol dengan pengusaha ini sangat bertolak belakang dari prinsip dan ciri dari suatu partai politik modern. Praktik-praktik kolusi antara pengusaha dan elite parpol ini utamanya marak terjadi di masa-masa menjelang pendaftaran calon legislatif dan kepala daerah dan waktu kampanye. Menururt Sugiarto (2009), untuk mencegah praktik penyalahgunaan dana kampanye setidaknya ada enam cara untuk mengontrol aliran dalam kampanye politik (Sugiarto, 2009): Pertama, melakukan pembatasan dana kampanye, sebagaimana dilakukan di banyak negara. Kedua, pelarangan sumbangan dari luar negeri, sebagai tindakan pencegahan atas kemungkinan campur tangan asing dalam kebijakan politik setelah pemilu. Ketiga, pembatasan penggunaan dana kampanye, dalam rangka mengurangi ketergantungan parpol kepada lembaga donor, perusahaan maupun perorangan. Keempat, pembatasan waktu kampanye, dengan maksud mengurangi peredaran uang sepanjang masa kampanye. Hal yang dapat menopang kualitas pemilu dan demokrasi adalah pembatasan waktu tayangan iklan baik parpol peserta pemilu maupun calon presiden, kepala daerah dan anggota legislatif. Kelima, transparansi publik terkait dengan dana para kandidat dan parpol. Dana politik mereka harus siap untuk dilakukan audit dan verifikasi tentang asal usul dan ke mana dana mereka digunakan. Keenam,memperkuat sumber dana yang berasa dari swadaya masyarakat dengan tujuan mengurangi ketergatungan parpol terhadap kucuran dana sumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), donator maupun organisasi penyandang dana. Untuk mengurangi ketergantungan finansial ini, parpol dapat menggalang kegiatan-kegiatan penggalangan dana (fund raising) sebagaimana banyak dilakukan parpol maupun politisi di negara-negara demokrasi.
  • 24. B. Korupsi dan Nasib Demokrasi Indonesia Korupsi identik dengan kekuasaan. Ungkapan klasik Lord Acton, “power tends to corrupt” (kekuasaan cenderung korup) menyiratkan kesimpulan yang sangat jelas bahwa siapa pun yang memiliki kekuasaan, dia memiliki peluang lebih besar untuk melakukan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaannya dalam berbagai macam dan cara. Menurut Sugiarto, demokrasi yang hanya memberikan peluang bagi pencari kekuasaan untukbebas melakukan korupsi pada akhirnya hanya akan merusak sistem politik dan ekonomi. Dengan kata lain, praktik berdemokrasi belum seluruhnya menjamin hilangnya praktik korupsi di kalangan penyelenggara negara, jika demokrasi sekadar dijalankan sebatas prosedural untuk memperoleh dan melanggengkan kekuasaan. Demokrasi idelanya harus dijalankan secara bermartabat dan substansial, sehingga ia dapat menjadi media pendidikan karakter masyarakat. Nasib demokrasi ditentukan oleh sejauh mana budaya korupsi dapat dihilangkan. Kedengarannya utopis, tapi jika korupsi tetap berlangsung, khususnya di dunia politik nasional, maka nasib demokrasi akan mengalami kesuraman bahkan kebangkrutan demokrasi. Demokrasi akan berlangsung tanpa etika. Kebijakan publik akan dikorbankan untuk kepentingan pribadi dan kelompok maupun parpol. Hal ini terjadi akibat langsung dari proses politik, baik pemilihan anggota legislatif maupun kepala daerah, tidak sepi dari praktik politik uang (money politic). Kekhawatiran ini bukanlah tanpa alasan. Sepanjang pemilu dan pemilihan kepala daerah dengan sistem demokrasi, pada kenyataannya belum berhasil menghilangkan praktik korupsi. Malah sebaliknya, dengan dalih demokrasi calon anggota legislatifdan kepala daerah dengan bebas membagikan uang dan fasilitas yang mereka miliki untuk merebut hati rakyat. Pemilihan umum demokratis yang seharusnya menjadi ajang kontrak politik berupa program kerja dengan Visi dan misi untuk memajukan kesejahteraan rakyat selama satu periode antara calon legislatif maupun kepala daerah dengan pemilihnya direduksi oleh transaksi dagang murah melalui pemberian uang. Peristiwa pemilu yang seharusnya berlangsung secara damai, tanpa paksaan, menyenangkan, penuh kompetisi yang sehat dan berlangsung murah disulap menjadi sekadar jual beli suara antara pemilik modal dan pemilih. Tidak berlebihan jika ada kesimpulan bahwa demokrasi Indonesia
  • 25. pada dasarnya belum berubah secara substansial dengan praktik demokrasi di masa lalu, di mana kelompok orang kaya warisan masa lalu menjelma menjadi sebuah oligarki politik yang mengendalikan pelaksanaan demokrasi melalui kekuatan modal uang dan sumber daya lainnya seperti media elektronik (televisi dan radio) dan media massa. Akibat langsung dari oligarki politik yang menyelinap dalam sistem demokrasi ini peran pers sebagai salah satu pilar utama demokrasi menjadi hilang. Hal ini terjadi karena pers akan lebih mewakili kepentingan pemilik modal daripada menyuarakan aspirasi rakyat. Alih-alih menjadi pilar demokrasi, pers tidak independen sangat berpotensi sebagai ancaman bagi demokrasi itu senditi. Jika kondisi ini terjadi, pers akan diam terhadap kasus-kasus korupsi, apalagi jika korupsi melibatkan sang pemilik modal. Selain pers yang bebas dan mencerahkan, peran organisasi masyarakat (Ormas atau LSM), dan organisasi kalangan profesional dapat memerankan sebagai pilar penegak demokrasi. Usaha pencegahan korupsi dapat pula dilakukan oleh lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, yang memiliki peran strategis bagi penguatan demokrasi dan kampanye antikorupsi. Mahasiswa dan dosen dapat menjadi agen intelektual yang tetap kritis dan solutif terhadap semua kebijakan pemerintah yang dianggap memilik potensi untuk disalahgunakan. Hal yang tak kalah penting dari posisi strategis mahasiswa sebagai agen perubahan di Indonesia, mereka tidak boleh lengah dari kemungkinan pembelokan sistem demokrasi dari tujuan dan prosedurnya yang ideal. Dari sekian jumlah pilar demokrasi di atas, kelompok mahasiswa dan cendekiawan dianggap sebagai komponen masyarakat sipil yang diharapkan selalu hadir menjadi kekuatan pengimbang negara atau kekuasaan yang sesuai dengan karakternya cenderung bertindak korup. Untuk memutus akar budaya korupsi di Indonesia, mahasiswa dapat berperanmenjadi penggiat antikorupsi di lingkungan kampus, melalui sikap berani bertanya dan mengawasi pelaksanaan semua kebijakan yang dijalankan birokrasi kampus. Selain ikut menentukan masa depan bangsa, kepedulian generasi muda terhadap masa depan demokrasi dapat ditunjukkan melalui sikap kritis terhadap segala kemungkinan lahirnya tindakan korupsi di lingkungan terdekat maupun di tengah masyarakat luas.
  • 26. BAB VI A. Masyarakat Sipil Dalam wacana akademik Barat, masyarakat sipil (civil society) identik dengan lawan negara (state), dalam pola interaksi antara negara (state) dan yang diperintah (governed). Termasuk ke dalam yang diperintah, meskipun tidak terbatas, adalah organisasi-organisasi di luar negara yang terlibat dalam aktivitas pelayanan, dan advokasi, organisasi nonprofit, yayasan swasta, perkumpulan kaum profesional, gerakan sosial, dan jaringan para aktivis. Persamaan di antara organisasi-organisasi komponen masyarakat sipil tersebut adalah sifat nonprofitnya dan cara mereka mencapai tujuannya melalui modus-modus tanpa kekerasan (James, 2007). Unsur penting masyarakat di luar struktur negara (state) demokrasi telah banyak diutarakan banyak ahli. Komponen masyarakat tersebut dalam kosakata bahasa Indonesia biasa diistilahkan dengan sebutan masyarakat sipil (civil society) atau masyarakat madani. Seperti halnya demokrasi, masyarakat sipil lahir untuk pertama kalinya dalam perjalanan sejarah politik di Barat. Kalangan ahli mendefinisikan karakter masyarakat sipil sebagai komunitas sosial dan politik yang pada umumnya memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan lembaga negara. Interaksi antara Masyarakat Sipil dan negara mengalami banyak ragam, dari yang bersifat saling berlawanan, bekerja sama hingga mendominasi salah satunya terhadap yang lain. Perbedaan sifat dan pola hubungan antara keduanya sangat ditentukan oleh sistem politik pada negara. Di kawasan Asia Tenggara, khususnya di kalangan cendekiawan Muslim, wacana masyarakat sipil banyak disamakan dengan istilah “masyarakat madani”. Munculnya wacana masyarakat madani tidak bisa dilepaskan dari respons kalangan pemikir Muslim kawasan ini terhadap gelombang demokratisasi yang semakin berkembang pada era 1990-an. Istilah ini untuk pertama kalinya digagas oleh cendekiawan Muslim asal Malaysia, Anwar Ibrahim. Berbeda dengan prinsip masyarakat sipil di Barat yang berorientasi penuh pada kebebasan individu, menurut mantan Perdana Menteri Malaysia itu, masyarakat madani adalah sebuah sistem sosial yang tumbuh berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif
  • 27. dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang, dan bukan nafsu atau keinginan individu. Menurutnya pula, masyarakat madani memiliki ciri-cirinya yang khas: kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan menghargai. Meminjam istilah Malik Bennabi, Anwar menjelaskan watak masyarakat madani yang ia maksudkan sebagai guiding ideas, dalam melaksanakan ide-ide yang mendasari keberadaannya, yaitu prinsip moral, keadilan, kesamaan, musyawarah, dan demokrasi. Sejalan dengan gagasan di atas, Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam masyarakat madani, warga negara bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat nonnegara. Selanjutnya, Rahardjo menjelaskan, dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan. Pandangan ini tampaknya terlalu ideal, bahkan utopis. Karakter masyarakat madani yang menghindarkan diri dari konflik dan permusuhanadalah hampir mustahil bagi masyarakat modern yang bebas. Konflik dalam masyarakat terbuka adalah hal yang niscaya dan tidak bisa dihindari. Namun yang lebih utama adalah bagaimana komponen masyarakat madani memandang konflik sebagai hal yang biasa dan harus diselesaikan melalui cara-cara damai, bermartabat serta tanpa kekerasan. Adapun menurut Azyumardi Azra, masyarakat madani lebih dari sekadar gerakan prodemokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas dan bertamaddun (civility). Hal ini sejalan dengan pandangan tokoh cendekiawan Muslim Indonesia Nurcholish Madjid, sesuai makna akar katanya yang berasal dari kata tamaddun (Arab) atau civility (Inggris), istilah masyarakat madani mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial. Dari paparan para cendekiawan di atas, tampak tegas nuansa peradaban dan moralitas begitu kuat dalam perumusan dan cita-cita ideal masyarakat madani. Sayangnya, istilah ini pernah dinilai mengandung semangat cita-cita inklusif politik Islam di Indonesia,
  • 28. di mana istilah ini sering dikaitkan dengan sejarah Piagam Madinah di zaman Nabi Muhammad SAW. B. Masyarakat Madani Istilah masyarakat madani sering dikaitkan dengan istilah masyarakat sipil Islam (civil Islam). Dalam bukunya yang berjudul “Civil Islam” antropolog Amerika Robert Hefner menjelaskan, masyarakat madani tidak muncul dengan sendirinya. Ia membutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi prasyarat terwujudnya tatanan masyarakat madani. Faktor-faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter khas masyarakat madani. Beberapa unsur pokok yang harus dimiliki oleh masyarakat madani, yaitu adanya wilayah publik yang bebas (free public sphere), demokrasi, toleransi, kemajemukan (pluralism), dan keadilan sosial (social justice). Free public sphere adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat warga masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua warga negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar civil society. Mengacu pada Arendt dan Habermas, ruang publik dapat diartikan sebagai wilayah bebas di mana semua warga negara memiliki akses penuh dalam kegiatan yang bersifat publik. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang sesungguhnya, ketiadaan wilayah publik bebas ini pada suatu negara dapat menjadi suasana tidak bebas di mana negara akan mengontrol warga negara dalam menyalurkan pandangan sosial-politiknya. Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum, demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara. Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu pandangan Nurcholish Madjid adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan
  • 29. yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar. Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil society. Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat. Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, pengetahuan, dan kesempatan. Dengan pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan dominasi salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh negara maupun kelompok atau golongan tertentu atas kelompok lainnya. Hal ini dapat terus berjalan dengan baik jika demokrasi dilaksanakan sebagai mekanisme politik dan sosial sekaligus, di mana pelaksanaannya harus diorientasikan pada tercapainya keadilan dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi secara berimbang. C. LSM dan Pemberdayaan Masyarakat Sipil Irawati Hermantyo menyebutkan keberadaan LSM menjadi sangat penting di dalam membangun sinergi dengan program—program pemerintah. Seiring dengan perkembangan demokrasi, peran LSM tidaklagi semata-mata mengejar peningkatan produksi tetapi lebih kepada pemberdayaan masyarakat. Kehadiran Dompet Dhu'afa serta lembaga nonprofit sejenis menjadi kekuatan baru di dalam masyarakat sipil. Bagaimana pun juga, demokrasi memberikan penekanan pada peran serta bersama masyarakat dan pemerintahyang secara bersama-sama membangun keadaban demokrasi. Memasuki era pasar bebas, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa persaingan yang dihadapi bukan lagi persaingan internal Indonesia, tetapi juga persaingan dengan bangsa lain. Untuk menunjukkan kemandirian dan daya saing bangsa, kemandirian komunitas ekonomi dan ormas menjadi penting. Pemerintah harus memiliki komitmen kuat dalam pemberdayaan dan penguatan kelompok
  • 30. Masyarakat Sipil ini, melalui program dan kebijakan yang bertujuan membangun potensi yang mereka miliki. Keberadaan LSM yang bersinergi dengan program pemerintah menjadi keharusan, sebagai alat untuk pemberdayaan, yang disebut Dadang Solihin dalam Hidayat S, akan membantu masyarakat mencapai (1) peningkatan standar hidup, (2) peningkatan percaya diri masyarakat, (3) peningkatan kebebasan setiap orang. Konsep LSM yang berkembang ini dikenal pula dengan konsep Community Based Development. Ada tiga karakter utama dari LSM yang mengembangkan Community Based Development: (1) berbasis pada sumber daya masyarakat, (2) berbasis pada partisipasi masyarakat, dan (3) bersifat berkelanjutan. Pengembangan LSM ini cukup berbeda dengan LSM yang berkembang di masa-masa sebelumnya. Iika, di era sebelum reformasi, LSM yang berkembang lebih banyak berbasis pada masyarakat dengan mengedepankan komunitas primordial, seperti Muhammadiyah, NU, Persis, PGI, dan sebagainya. Di era reformasi keberadaan dan peran LSM mengalami perubahan yang signifikan, tidak lagi membatasi diri pada pengembangan yang bersifat primordial maupun komunitas tertentu, tetapi berkembang menjadi sebuah organisasi non-profit yang lebih akuntabel dengan jaringan luas. Sebut saja salah satunya lembaga sosial Dompet Dhuafa (DD) yang awalnya didirikan oleh karyawan Koran Republika, kini DD telah berkembang menjadi sebuah lembaga sosial dengan manajemen modern dengan cakupan kegiatan sosial yanga beragam. Seperti DD, masih banyak lagi lembaga sosial di luar pemerintahyang menambah jumlah LSM di Indonesia dengan basis kegiatan sosial yang inklusif dan beragam. Gerakan masyarakat sipil juga semakin beragam dan signifikan. Lewat jejaring media sosial, gerakan masyarakat sipil telah menjelma menjadi perkumpulan solidaritas di dunia maya (netizen), yang telah berperan penting dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah dan non-pemerintah yang dianggap tidak memihak pada kepentingan publik. Gerakan komunitas netizen ini akan semakin penting dan mewarnai perjalan demokrasi di Indonesia, seiring dengan pelaksanaan Pemilu yang akan semakin meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi. Masyarakat Sipil Virtual inilah yang akan banyak mewarnai dinamika demokrasi Indonesia mendatang.