1. Pendidikan Kewarganegaraan berkembang sebagai mata pelajaran di sekolah untuk membentuk karakter warga negara.
2. Perkembangan konsep citizenship education dan civic education dimulai di Amerika Serikat pada 1880-an, kemudian berkembang di Indonesia dengan berbagai pendekatan.
3. Pendidikan Kewarganegaraan berperan penting dalam pendidikan multikultural untuk membentuk warga negara yang menerima perbedaan budaya.
2. Pendidikan Kewaragangeraan (civic education) merupakan subjek pembelajaran yang mengemban misi untuk membentuk kpribadian bangsa, yakni sebagai upaya sadar dalam “nation and character building”. Dalam konteks ini peran Pendidikan Kewarganegara (PKn) bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara sangat strategis. Suatu negara demokratis pada akhirnya harus berstandar pada pengetahuan, keterampilan dan kebajikan dari warganegaranya dan orang-orang yang mereka pilih untuk menduduki jabatan publik.
3. Warganegara yang demokratis merupakan salah satu kecenderungan nasional dan menglobal. Upaya tersebut dilakukan melalui Pendidikan Kewarganegaraan, baik dalam pengertian citizenship education maupun civic education. Namun, bagaimana landasan ilmiah Pendidikan Kewarganegaraan tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut pada bab ini akan dibahas perkembangan citizenship education dan civic education, yang mencakup perkembangan historis epistimologis terutama di Amerika Serikat dan di Indonesia sendiri. Selanjutnya akan dibahas pula unsur-unsur yang menopang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu kajian ilmiah, yakni unsur ontologi, epistimologi, maupun aksiologi Pendidikan Kewarganegaraan dan kajian tentang bagamana kaitan PKn dan masyarakat multikultural.
8. Objek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praksis pendidikan kewarganegaraan yang secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan sosial-kutural kewarganegaraan masyarakat.
9.
10. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37). Ketentuan ini lebih jelas dan diperkuat lagi pada Pasal 37 bagian Penjelasan dari Undang-Undang tersebut bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Dengan adanya ketentuan UU tersebut maka kedudukan pendidikan kewarganegaraan sebagai basis pengembangan masyarakat multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia semakin jelas dan mantap.
11. Secara epistimologis, pendidikan kewarganegaraan dikembangkan dalam tradisi citizenship education yang tujuannya sesuai dengan tujuan nasional masing-masing negara. Namun secara umum, tujuan negara mengembangkan pendidikan kewarganegaraan adalah agar setiap warganegara menjadi warganegara yang baik (to be good citizenship), yakni warganegara yang memiliki kecerdasan, baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab; dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
12. Terkait dengan pendidikan multikultural, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peranan penting dalam rangka mempersiapkan peserta didik menjadi warganegara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan multikultural di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Tilaar (2004:192), yaitu membina pribadi-pribadi bangsa Indonesia yang mempunyai kebudayaan sukunya masing-masing, memelihara dan mengembangkannya, serta sekaligus membangun bangsa indonesia dengan kebudayaan Indonesia sebagaimana yang diamanatkan di dalam UUD 1945.
13. Di samping itu, arti penting pendidikan kewarganegaraan bagi pendidikan multikultural di Indonesia didasarkan atas lima dimensi pendidikan multikultural sebagaimana dikemukakan oleh Bank (Tilaar, 2004:138), yaitu:
14. content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
15. the knowledge construction process, membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
16. an equity paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
18. empowering school culture, melatih kelompok untuk berpartisipasi, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
19. Kelima dimensi tersebut, memerlukan dukungan kompetensi/karakteristik yang harus nampak pada diri warganegara. Cogan (1998:115) mengkonstruksi karakteritik yang harus dimiliki warganegara sebagai berikut:
20. the ability to look at and approach problems as a member of a global society(kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global)
21. the ability to work with others in a cooperative way and to take responsibility for one’s roles/duties within society (kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat)
22. the ability to understand, accept, appreciate and tolerate cultural differences(kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya)
23. the capacity to think in a critical and systemic way (kemampuan berpikir kritis dan sistematis)
24. the willingness to resolve conflict and in a non-violent manner (kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan)
25. the willingness to change one’s lifestyle and consumption habits to protect the environment (kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan)
26. the ability to be sensitive towards and to defend human rights (eg, rights of women, ethnic minorities, etc), and (memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis, dsb)
29. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa pengembangan konsep dan paradigma "citizenship education" dan "civic education" dirintis dan dikembangkan sebagai kegiatan akademis dan kurikuler oleh Amerika Serikat (USA) pada tahun 1880-an. Istilah-istilah "civics, dan "civic education", lebih cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk mata pelajaran di sekolah yang memiliki tujuan utama mengembangkan siswa sebagai warga negara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Sedangkan di Indonesia “civic” mulai dikembangkan dan dimasukkan dalam kurikulum sekolah pada tahun 1960-an.
30. Selain itu, berdasarkan uraian diatas juga kita dapat mengetahui pendidikan multikultural melalui pendidikan kewarganegaraan menemukan relevansinya untuk konteks Indonesia. Sebagai sebuah konsep, pendidikan multikultural sejalan dengan semangat semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan yang sangat adil dan demokratis ini memiliki pengertian bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda tetapi dalam kesatuan Indonesia. Semboyan ini mengandung seni manajemen untuk mengatur keragaman Indonesia (the art of managing diversity).Daftar Pustaka<br />Budimansyah dan Suryadi. (2008). PKn dan masyarakat multikultural. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.<br />Winataputra dan Budimansyah. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.<br />Abdulkarim. (2011). Disampaikan pada perkulyahan Inovasi Pendidikan Kewarganegaraan tanggal 06 Februari 2011.<br />