1. 1
Batavia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peta Batavia tahun 1888
Batavia adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda pada koloni dagang yang
sekarang tumbuh menjadi Jakarta, ibu kota Indonesia. Batavia didirikan di pelabuhan
bernama Jayakarta yang direbut dari kekuasaan Kesultanan Banten. Sebelum dikuasai
Banten, bandar ini dikenal sebagai Kalapa atau Sunda Kalapa, dan merupakan salah satu
titik perdagangan Kerajaan Sunda. Dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan
perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya di wilayah Nusantara.
Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, ketika Hindia-Belanda
jatuh ke tangan Jepang. Sebagai bagian dari de-Nederlandisasi, nama kota diganti menjadi
Jakarta. Bentuk bahasa Melayunya, yaitu "Betawi", masih tetap dipakai sampai sekarang.
Asal nama
Nama Batavia berasal dari suku Batavia, sebuah suku Germanik yang bermukim di tepi
Sungai Rhein. Bangsa Belanda dan sebagian bangsa Jerman adalah keturunan dari suku
ini.
Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar tiang tinggi yang cukup besar buatan
Belanda (VOC), dibuat pada 29 Oktober 1628, dinahkodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz.
2. 2
Tidak jelas sejarahnya, entah nama kapal tersebut yang merupakan awal dari nama
Betawi- Batavia, atau bahkan sebaliknya, pihak VOC yang menggunakan nama Batavia
untuk menamai kapalnya. Kapal tersebut akhirnya kandas di pesisir Beacon Island,
Australia Barat. Dan seluruh awaknya yang berjumlah 268 orang berlayar dengan perahu
sekoci darurat menuju kota Batavia ini.
Sejarah
Kastil Batavia, dilihat dari Kali Besar Barat oleh Andries Beeckman, sekitar tahun 1656-1658
Sunda Kelapa
Bukti tertua mengenai eksistensi permukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta
adalah Prasasti Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti
terebut berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu,
Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan Prasasti Kebon
Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul abad
sepuluh.
Permukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga dikunjungi
oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan orang Portugis, Sunda Kalapa
masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu,
Portugis telah berhasil menguasai Malaka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis
d'Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tomé Pires
untuk menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani
3. 3
perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil
oleh sang raja Pakuan Pajajaran tersebut guna memperoleh bantuan dari Portugis dalam
menghadapi ancaman Kesultanan Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan
Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika
diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda
Kalapa.
Jayakarta
Pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak pada 1526, yang dipimpin oleh
Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah
berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil
mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta berada di bawah kekuasaan Banten,
yang kini menjadi kesultanan. Orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur
ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni
orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon.
Sampai Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama
saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua
penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia
menggantikan Jayakarta (1619).
Batavia
4. 4
Peta Batavia tahun 1897
Lambang Kota Batavia
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta
sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena
pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa
lain seperti Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih
merupakan pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi
batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5
hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks
5. 5
perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya
dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi
bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok
batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia
membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa,
sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai
mempersiapkan untuk menguasai Jayakarta.
Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi
mereka izin untuk berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh
pemukiman penduduk. Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda
menguasai seluruh kota. Semula Coen ingin menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia,
namun de Heeren Seventien di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi
Batavia, untuk mengenang bangsa Batavieren.
Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibentuk[1]. Jayakarta
dibumiratakan dan dibangun benteng yang bagian depannya digali parit. Di bagian
belakang dibangun gudang juga dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat.
Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya selesai pada
tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dikelilingi oleh
tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-
mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia
menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena
gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak mau pulang.
Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652)
menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada
akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan
menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas.
6. 6
Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diubah menjadi Gemeente Batavia. Pada 8 Januari 1935
nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia[2].
Suasana pelabuhan Batavia sekitar tahun 1940
Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi "Jakarta"
oleh Jepang untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.
Penduduk
Orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19
mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak
perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak
itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti
mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang
datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.
Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena
itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita
Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (misalnya penduduk
dalam kota dan Cina Benteng di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama
dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, misalnya: di sekitar Parung).
Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya.
Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah
7. 7
besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita
pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.
Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri
dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari
segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.
Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656.
Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari
2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang
Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini
ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan
bangsa.
Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi
mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker.
Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19
mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di
Pejambon, di belakang Gereja Immanuel Jakarta. Orang Tionghoa selamanya bertambah
cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.
Foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tionghoa di
Mester atau Meester Cornelis sebutan Jatinegara pada zaman penjajahan Belanda dulu.
Penduduk Batavia yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi sebenarnya adalah
keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa.