Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496 dan meliputi wilayah Daya, Pedir, Lidie, dan Nakur. Pada tahun 1524, wilayah Pasai juga menjadi bagian dari Aceh. Kesultanan ini berusaha memperluas wilayah dan melawan penjajahan Portugis. Beberapa sultan penting adalah Sultan Salahuddin (1530-1539), Sultan Alauddin Riayat Syah (1539-1571), dan Sultan Iskandar Muda (1607
1. Kelompok 3
Nama :
• Gilang Riski Hendrayana
• Dwi Suprianto
• Kalangga
Madrasah Aliyah Negeri Klaten
Tahun 2014/2015
2. Awal Mula Berdirinya Kerajaan Aceh
Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua
pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar
luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa
Portugis serta negara-negara Islam. Namun disamping
pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu
“Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut
Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati
sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra
Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata
merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain
pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu
menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun
hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasaiMalaka dan sekitarnya. Dari situlah
pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil
melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada
tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada
dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan
3. peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari
belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan
Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai.
Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut
juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh
(Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap untuk
menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun
rencana itu gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut
justru berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka
dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan
rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis.
Hal tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun melaporkan
rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden,
2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk terus-
menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di
Indonesia. Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh,
dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis,
4. termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng
yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah seorang
istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap
saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden,
2008: 387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan Ibrahim. Ia
menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil.
Ia mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukan
Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September
1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu dari Sultan Ibrahim
menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut
Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575. Hingga akhirnya
ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha mengambangkan
kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan
hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan
Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya
ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan penyerangan terhadap
Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya. Mereka
berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan sanak saudaranya untuk memimpin
daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan
Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
5. Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung adalah orang
berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan
Ali Ri’ayat Syah. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur dan
mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama
baik dari nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada
tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat
Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan Aceh
dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah
atau Sultan Muda hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)
Kesultanan Aceh didirikan oleh
Sultan Ali Mughayat Syahpada tahun 1496.Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan
Lamuri,kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup
Daya,Pedir,Lidie,Nakur.Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari
kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528,
Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian
berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-
Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.
Gunongan dan Kandang Baginda (Balai Kembang Cahaya).
Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam
Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda.
6. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah
berubah menjadi Kraton Meuligoe yang digunakan sebagai
Pedopo Gubernur Aceh. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena
ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu,
Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah
terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan
arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra
Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek
Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan beserta Taman Ghairah
yang luas dipusat Kota Banda Aceh.
Kesusateraan Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam
bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal diantaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan
tokoh heroik Malem Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh Angkatan
Laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Bhikayat Malem Diwa, hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee,
Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad, hikayat Perang Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah
Abdullah Hadat dan hikayat Perang Sabi. Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah
Bustanus Salatin (taman para raja) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Taj al-salatin (1603),
Sulalat al-Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh
yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang
Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahidin (Perhiasan
Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir,
Syair Dagang dan Syair Perahu.
7. Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tengga.
Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an
Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke
dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang
menjadi kitab pengantar di dayah
sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan
arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab
fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.
Tradisi kesultanan
• Tradisi Meugang
• Tradisi Peusijuk
• Tradisi Tung Dara Baro
• Tradisi Minum Kopi
• Tradisi Kenduri Apam
• Tradisi Mano Meupa
• Tradisi Pelantikan Sultan Aceh
8. Silsilah raja raja kerajaan dan gubenur aceh darussalam
Silsilah raja raja kerajaan dan gubenur aceh darussalam
sultan alaidin ali mughayat syah 916-936 H (1511 - 1530 M)
sultan salahuddin 939-945 H (1530 - 1539M)
sultan alaidin riayat syah II, terkenal dengan nama AL Qahhar 945 - 979 H (1539 - 1571M)
sultan husain alaidin riayat syah III, 979 - 987 H (1571 - 1579 M)
sultan muda bin husain syah, usia 7 bulan, menjadi raja selama 28 hari
sultan mughal seri alam pariaman syah,987 H (1579M) selama 20 hari
sultan zainal abidin, 987 - 988 H (1579 - 1580 M)
sultan aialidin mansyur syah, 989 -995H (1581 -1587M)
sultan mugyat bujang, 995 - 997 H (1587 - 1589M)
sultan alaidin riayat syah IV, 997 - 1011 H (1589 - 1604M)
sultan muda ali riayat syah V 1011 - 1015 H (1604 - 1607M)
sultan iskandar muda dharma wangsa perkasa alam syah 1016 - 1045H (1607 - 1636M)
sultan mughayat syah iskandar sani,1045 - 1050 H (1636 - 1641M)
sultanah sri ratu tajul alam safiatuddin johan berdaulat, 1050-1086H (1641 - 1671M)
sultanah sri ratu nurul alam naqiatuddin (anak angkat safiatuddin), 1086 - 1088 H (1675-1678 M)
sultanah sri ratu zakiatuddin inayat syah (putri dari naqiatuddin) 1088 - 1098 H (1678 - 1688M)
sultanah sri ratu kemalat syah (anak angkat safiatuddin) 1098 - 1109 H (1688 - 1699M)
sultan badrul alam syarif hasyim jamalul lail 1110 - 1113 H (1699 - 1702M)
9. sultan perkasa alam syarif lamtoi bin syarif ibrahim. 1113 - 1115H (1702 -1703 M)
sultan jamalul alam badrul munir bin syarif hasyim 1115 - 1139 H (1703 - 1726M)
sultan jauharul alam imaduddin,1139H (1729M)
sultan syamsul alam wandi teubeueng
sultan alaidin maharaja lila ahmad syah 1139 - 1147H (1727 - 1735H)
sultan alaidin johan syah 1147 - 1174 (1735-1760M)
sultan alaidin mahmud syah 1174 -1195 H (1760 - 1781M)
sultan alaidin muhammad syah 1195 -1209 H (1781 - 1795M)
sultan husain alaidin jauharul alamsyah,1209 -1238 H (1795-1823M)
sultan alaidin muhammad daud syah 1238 - 1251 H (1823 - 1836M)
sultan sulaiman ali alaidin iskandar syah 1251-1286 H (1836 - 1870 M)
sultan alaidin mahmud syah 1286 - 1290 H (1870 - 1874M)
sultan alaidin muhammad daud syah, 1290 -.....H (1884 -1903 M)
sultan alaiddin muhammad daud syah adalah sultan terakhir dari kerajaan
aceh darussalam, beliau berjuang dan bergerilya selama 29 tahun dan
beliau tidak pernah menyerahkan kedaulatan negaranya kepada pihak
belanda.
pada tahun 1903 beliau ditangkap oleh belanda dan diasingkan ke ambon,
maluku dan terakhir dipindahkan ke jawa. beliau mangkat dijakarta pada
tahun 1939.
10. Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh
orangkaya atau hulubalang.
Hikayat Aceh
menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena
perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan
harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan
kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu
dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid
al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera
mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya
sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan
Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[3]
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (1607-1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh
menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh
melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal
perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat
Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama
Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.
11. Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan
pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia
seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan
untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah pimpinan Sultan
Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa Sultan Iskandar Muda,
Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-
perdagangan, hubungan internasional memperkuat armada perangnya, serta mampu
mengembangakan dan memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka
pun semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di bawah pimpinan
Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan
rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat
Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun
1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya
Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615.
Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
12. Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu Aceh yang
bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah mengirimkan utusannya ke Turki
dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan
Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh
dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan Aceh
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama
ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti
Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam
bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh
Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil Dalam hubungan ekonomi-perdagangan
dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Perancis, Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-
komoditas yang diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih
dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air
mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh
sendiri antara lain kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan
(Poesponegoro: 2010, 31) Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan
lancar. Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomianKerajaan Aceh,
dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal
inilah yang menjadikan kerajaan ini
menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol di Asia
Tenggara
13. Kemunduran
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan
Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak,
Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda.
Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Diplomat_Aceh_ke_Penang
Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan
Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin
mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi
Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan
Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa
harus melalui pelabuhan sultan di ibukota.
14. Lada
menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama
lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah
menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa
pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid
raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti
pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan
berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini
mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah
Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan
Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (
1795-1824),
seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan
mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam.
Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang
dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan.
Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan
kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah
(1857-1870).
15. Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah
rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti
ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat
pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun
1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk
meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh
angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk
kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpinoleh Teuku Paya Bakong dan Habib
Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib
bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan
pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan
justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di
Riau.
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan
dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan
Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai
Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari
negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk
mencari bantuan ke sekutu lama Turki .
16. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di
Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan
yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan
ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai
Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873
setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883 ,namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak
Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.