tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
TEORI MEDIA KOMUNIKASI
1. 1
Kata Pengantar
Bismillahirohmanirrohim
Puji syukur bagi Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelaisakan makalah ini. Judul makalah ini adalah
“Teori Komunikasi Massa” sebagai salah satu tugas terstuktur dalam mata kuliah Media
Komunikasi Dakwah.
Mengingat begitu pentingnya kita mengetahui pembuatan presentasi yang benar,
maka melalui makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui bagaimana teknik
pembuatan makalah. Pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terimakasih kepada
Bapak Imam Suprabowo sebagai pembimbing mata kuliah Media Komunikasi Dakwah yang
telah membimbing kami hingga hasil makalah ini dapat kami presentasikan.
Namun penulis menyadari, jika ada kekurangan dari hasil makalah ini kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun penulis. Semoga tulisan ini memberi
informasi yang berguna bagi pembacanya.
Yogyakarta, 10 Desember 2014
Penulis
2. 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 3
BAB II BIODATA ................................................................................................................ 4
BAB III KEGIATAN .............................................................................................................. 6
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................................................. 9
3. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. TafsiranQS. Thaha ayat 44
QS. Thaha ayat 44:
﴿ الا ق َابَّنا بَاَّنا َنخاا نُ َنَننْ َننَخَُْنَ َاََنْنا َنَونْ َنَننْ َيَْنََنَنن ﴾
Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".
Ayat diatas adalah perintah Allah kepada Musa dan Harun untuk berdakwah
kepada Fir’aun setelah berdakwah secara umum, karena jika Fir’aun sudah mau untuk
mendengarkan, menerima dakwah dan ikut beriman kepadaNya, niscaya seluruh
orang Mesir juga akan ikut menerima dakwah dan ikut beriman kepadaNya karena
menurut mereka “Manusia mengikuti agama raja mereka”. Faktor dari semua
malapetaka yang terjadi di negeri Mesir yang luas itu adalah Fir’aun karena penyebab
dari kemajuan atau kemunduran, kebahagian dan kesengsaraan suatu bangsa, sebelum
segala sesuatu yang lain, adalah para pemimpin dan otoritas dari bangsa tersebut.
Metode yang diperintahkan Allah kepada Musa yaitu dengan “Berbicaralah
kepada Fir’aun dengan perkataan yang lemah lembut, agar lebih dapat menyentuh dan
lebih dapat menariknya dalam menerima dakwahnya. Karena, dengan perkataan yang
lemah lembut, orang yang memiliki hati durhaka akan halus, dan orang-orang yang
sombong akan hancur”.
Dalam Terjemah Tafsir Al-Maraghi menjelaskan, bahwa kata la’alla itu
berarti mudah-mudahan. Dalam kata tersebut dapat dipahami dengan setelah kata
tersebut mengandung kata harapan. Yaitu, jalankanlah risalah, kerjakanlah apa yang
Aku serukan kepada kalian, dan berusahalah dalam mengerjakannya, agar pekerjaan
tersebut dapat memperoleh hasil dan tidak gagal,: dia berusaha dengan
4. 4
kemampuannya dan berjuang sampai puncak usahanya dengan harapan segala
perbuatannya dapat mendatangkan keberhasilan, kemenangan, dan keuntungan1.
Kesimpulan dari tafsir QS. Thaha ayat 44 adalah Allah memerintahkan kepada
Harun dan Musa untuk berdakwah kepada Fir’aun dengan metode perkataan yang
lemah lembut. Dan mereka diperintahkan agar berharap bahwa perbuatan mereka
akan mendatangkan buah keberhasilan yaitu membawa Fir’aun kepada jalan yang
lurus. Dan sudah seperti biasanya, bahwa seseorang yang mengharapkan sesuatu,
pasti mencarinya dan orang yang berputus asa pasti akan berputus asa. Maka, Allah
menyuruh kepada Musa dan Harun agar selalu menegakkan hujjah dan
mematahahkan alas an Fir’aun, sekalipun petunjuknya tidak bermanfaat baginya.
(Musthafa Al-Maraghi, Ahmad. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV.
Toha Putra)
Langkah pertama dalam memerintahkan yang makruf dan mencegah yang
mungkar serta membimbing masyarakat adalah berbicara dengan lemah lembut.
Bahkan dalam menghadapi lawan yang paling tiranik, perkataan yang mula-mula
diucapkan haruslah perkataan yang lemah lembut dan baik. Kita tidak boleh berputus
asa bahwa orang lain akan terbimbing2.
B. TeoriKritis
Teori kebudayaan kritis yang lebih maju memiliki sejumlah konsepsi yang
berbeda mengenai hubungan antara media dan kebudayaan. Adapun karakteristik teori
kritis adalah: 3
1. Teori-teori itu cenderung bersifat meluas (makrosopic), yaitu menguji efek-efek
media secara luas dan bersifat budaya.
2. Teori kebudayaan kritis diakui secara terbuka memiliki motif-motif politik yang
didasarkan atas ajaran neo-marxis (berdasarkan politik aliran kiri).
3. Tujuan penganut teori ini adalah untuk mendorong perubahan dalam hal kebijakan
pemerintah atas media, dan mendorong perubahan pada media dalam sistem
kebudayaan. Teori ini menganggap media massa memiliki kekuasaan.
1 Ahmad Mustafa.AlTerjemah Tafsir Al-Maraghi, jilid 16,Hal.203-205
2 Allamah Kamal Faqih Imani, TafsirNurul Qur’an, Jakarta:Al-Huda, hal.421
3 Merissan,dkk.Teori Komunikasi Massa. Bogor. Ghai Indonesia.Hal 152.
5. 5
4. Teori kebudayaan kritis menyelidiki dan menjelaskan bagaimana kelompok
tertentu menggunakan media massa untuk mempertahankan kekuasaan dan posisi
istimewa mereka. Mereka selalu memusatkan perhatian pada penerapan atau
penggunaan kekuasaan.
Menurut Brian Fay (1975), ada berbagai variasi pemikiran dalam kelompok teori
kritis yaitu:4
1. Teori kritis berupaya untuk memahami sistem yang sudah baku yang telah
diterima masyarakat (struktur kekuasaan, kepercayaan, ideologi) namun tradisi
kritis memberikan perhatian utama pada kepentingan siapa saja yang lebih
dilayani oleh struktur kekuasaan yang ada.
2. Teori kritis menunjukkan ketertarikannya untuk mengemukakan adanya suatu
bentuk penindasan sosial dan mengusulkan suatu pengaturan kekuasaan dalam
upaya dalam mendukung emansipasi dan mendukung terwujudnya masyarakat
yang lebih bebas dan lebih terpenuhi kebutuhannya.
3. Para pendukung teori kritis berusaha untuk memadukan antara teori dan tindakan.
Hubungan antara teori dan tindakan ini digambarkan dalam ungkapan, to read the
world with an eye towards shaping it (membaca dunia dengan mata tertuju pada
upaya untuk mengubahnya).
Pada bidang komunikasi, penganut tradisi kritis secara khusus menunjukkan
ketertarikannya pada bagaimana pesan dapat mendukung penindasan di masyarakat.
Walaupun para pendukung teori kritis tertarik pada tindakan sosial, namun mereka juga fokus
pada wacana dan teks yang mendukung kekuasaan tertentu, mendukung untuk mengurangi
atau meniadakan kepentingan kelompok atau kelas masyarakat tertentu. Analisis wacana teori
kritis memberikan perhatiannya pada teks yang menyatakan suatu sikap yang mendukung
penindasan dengan tanpa memisahkannya dengan faktor-faktor lain yang ada pada
keseluruhan sistem kekuasaan yang mendukung penindasan.
Teori kritis memiliki gagasan bahwa media massa berfungsi memberikan pembenaran
(justifikasi) dan mendukung status quo dengan mengorbankan masyarakat. Para pendukung
teori ini percaya bahwa masyarakat ditindas oleh pemilik modal, yaitu mereka yang
menguasai alat produksi: tanah dan pabrik. Masyarakat juga ditindas oleh mereka yang
mengontrol kebudayaan, yaitu lembaga superstruktur yang tidak lain adalah media massa.
4 Ibid.,hal 153.
6. 6
Teori budaya kritis juga memberikan perhatian pada bagaimana faktor ekonomi dan
berbagai faktor lainnya memengaruhi isi media massa yang menghasilkan distorsi dan bias
terhadap isi berita dan liputan berita sehingga mengutungkan mereka yang berkuasa.
Kelompom teori kritis yang memberikan perhatian terhadap hal ini disebut dengan istilah
riset produksi berita adalah W. Lance Bennet (1988), yang menyatakan adanya empat
ketentuan (konvensi)berama dalam produksi berita yang digunakan media di AS yang (sadar
atau tidak sadar) mendukung kepentingan mereka yang berkuasa. Keempat konvensi itu
adalah: personalisasi berita, dramatisasi berita, fragmentasi berita, dan normalisasi berita.5
Personaliasasi berita. Kebanyakan berita membahas tentang manusia. Jika media
ingin melaporkan cerita mengenai kehidupan orang kecil yang menderita, misalnya
cerita mengenai tunawisma, maka laporan berita akan tertuju pada satu orang atau
satu keluarga sebagai pusat cerita. Cerita mengenai penderitaan orang kecil biasanya
menarik perhatian dan karenanya mampu meningkatkan peringkat (rating) acara.
Namun menurut Bennett, tayangna itu telah mengurangi persoalan penting sosial dan
akan memberikan dua kemungkinan hasil, yaitu bahwa masalah tunawisma itu akan
diabaikan publik sebagai kasus spesifik yang hanya berlaku bagi orang yang
ditampilkan dalam cerita, dan masyarakat tidak memperoleh konteks sosial dan
politik dalam cerita tersebut sehingga tidak membuka ruang bagi adanya tindakan
publik (public action).
Dramatisasi berita. Sebagaimana program hiburan, maka berita yang disajikan media
massa, khususnya televise, harus dikemas sedemikian rupa agar terlihat menarik
dengan cara didramatisir. Cerita harus memiliki pahlawan dan harus ada yang
dipersalahkan (kambing hitam), konflik harus diidentifikasi, dan harus ada
pertarungan. Sekali lagi, satu masalah sosial yang penting tereduksi menjadi
pertunjukan sinetron., film atau bahkan guyonan. Perhatian yang seharusnya lebih
besar pada esensi persoalan untuk mengatasi masalah menjadi tersepelekan. Media
sering kali menimbulkan pro-kontra menjadi konflik antara tokoh, kelompok
organisasi yang mendukung dengan mereka yang menolak. Perdebatan mengenai
anggaran pendidikan diparlemen, misalnya, berubah menjadi konflik antara presiden
versus DPR. Berita mengenai budaya atau kesenian Indonesia yang muncul di Negara
tetangga Malaysia berubah menjadi seolah-olah konflik antarnegara.
5 Ibid.,154.
7. 7
Fragmentasi berita. Tuntutan waktu dan biaya yang dialami pekerja media seringkali
menghasilkan berita yang singkat dan sepotong-sepotong. Tidak banyak ruang yang
tersedia untuk memberikan perpektif dan konteks bagi berita yang disajikan. Menurut
Bennett, reporter cenderung menghindari pemberian konteks dalam menulis berita–
menghubungkan berita yang dibuat dengan peristiwa lain yang terjadi saat ini atau
masa lalu. Hal ini disebabkan reporter harus mengambil keputusan terhadap berbagai
peristiwa terkait, yang mana lebih penting. Tentu saja, pilihannya menjadi subjektif,
sehingga dihindari. Dalam hal ini, reporter lebih suka mendapatkan komentar dari
berbagai pihak mengenai suatu isu dan kemudian meramu komentar tersebut seolah
semuanya valid dan layak untuk ditampilkan.
Normalisasi berita. Media massa dalam menyampaikan berita cenderung lebih banyak
menggunakan cara pandang atau perspektif pemerintah atau penguasa, khususnya
dalam berita-berita mengenai bencana, baik bencana alam atau bencana sebagai hasil
ulah manusia. Misalnya, dalam peristiwa kecelakaan jatuhnya pesawat terbang,
laporan media hanya tertuju pada informasi yang disampaikan pihak yang berwenang
(pemerintah). Dengan kata lain, apa yang terjadi adalah sesuatu yang buruk tetapi
pihak otoritas berupaya menjadikan hal tersebut sebagai sesuatu yang biasa atau
normal. Reporter tidak terlalu berkeinginan untuk menyajikan suatu informasi dengan
sudut pandang yang berbeda dengan apa yang disampaikan pihak berwenang.
Menurut Bennet cara-cara produksi berita sebagaimana yang diuraikan di atas adalah
upaya yang dilakukan media guna memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa sistem
akan bekerja jika mereka yang berkuasa dibiarkan bekerja melaksanakan tugas mereka.
Setiap gagasan untuk melakukan tindakan sosial dengan maksud melakukan perubahan
secara bermakna akan selalu ditindas.
C. Teori Difusi Inovasi
Sebuah teori yang diarahkan pada aspek pengaruh media yang agak berbeda
adalah teori difusi inovasi (Rogers, 1983). Teori ini difokuskan pada cara
komunikasi, khususnya komunikasi massa, mempengaruhi orang untuk melaksanakan
(mengadopsi) sesuatu yang baru atau berbeda.
Difusi mengacu pada menyebarnya informasi baru, inovasi atau proses baru ke
seluruh masyarakat. Inovasi ini dapat bermacam-macam misalnya lensa kontak,
8. 8
komputer, food processor, sasaran keprilakuan dalam pengajaran, belajar melalui
pengalaman, atau pengajaran multimedia. Adopsi mengacu pada reaksi positif orang
terhadap inovasi dan pemanfaatannya. Dalam proses adopsi, William McEwen (1975)
mengidentifikasi tiga tahap umum:
1. Pada tahap akuisisi (perolehan) informasi, orang memperoleh dan memahami
informasi tentang inovasi. Misalnya, seorang guru belajar tentang ancangan baru
untuk memberikan kuliah di kelas besar.
2. Pada tahap evalusi informasi, orang mengevaluasi informasi tentang inovasi.
Misalnya, guru tadi menyadari bahwa metode yang baru itu lebih efektif daripada
metode yang lama.
3. Pada tahap adopsi atau penolakan orang mengadopsi (melaksanakan) atau menolak
inovasi. Misalnya, guru tersebut mulai mengajar dengan menggunakan metode baru
ini.
Jelas bahwa orang tidak memilih untuk mengadopsi atau menolak inovasi
pada waktu yang bersamaan. Peneliti dalam bidang difusi informasi membedakan
lima tipe adopter (Gambar 0.1).
GAMBAR 0.1 Lima tipe adopter dalam populasi
Inovator, mereka yang pertama-tama mengadopsi inovasi, belum tentu adalah
pencentus gagasan baru ini, tetapi merekalah yang memperkenalkannya secara cukup
luas. Adaptor awal, kadang-kadang dinamai “pembawa pengaruh” , melegitimasi
gagasan dan membuatnya diterima oleh masyarakat pada umumnya. Mayoritas awal
mengikuti pembawa pengaruh dan melegitimasi lebih jauh inovasi ini.
9. 9
Mayoritas Akhir mengadopsi inovasi agak belakangan. Orang-orang dalam
kelompok ini mungkin mengikuti pembawa pengaruh atau mayoritas awal. Akhirnya,
kelompok yang tertinggal (laggards), kelompok terakhir yang mengadopsi inovasi,
mungkin mengikuti jejak orang-orang dari tiga kelompok terdahulu.
Kelima kelompok ini mencakup hampir 100% populasi. Bagian sisanya adalah
kepala batu (diehards). Ini adalah kelompok yang tidak pernah mengadopsi inovasi.
Inilah jurumasak yang tidak pernah menggunakan blender atau food processor, guru
yang tidak mau menggunakan teknik pengajaran yang baru, dan seterusnya. Ada
beberapa situasi di mana tidak terdapat kelompok kepala batu. Misalnya, seorang guru
mungkin ingin terus menggunakan buku teks tertentu. Tetapi jika kalau buku ini tidak
dicetak lagi, ia terpaksa berubah dan bergabung dengan kelompok yang tertinggal
(laggards).
Pada umumnya, adopter awal – inovator jika dibandingkan dengan kelompok
yang tertinggal – berusia lebih muda ketimbang adopter akhir dan berstatus
sosioekonomi lebih tinggi pula. Mereka memiliki pekerjaan yang bersifat lebih
spesialis, lebih empatik dan kurang dogmatik. Mereka lebih terbuka terhadap
perubahan dan lebih banyak memanfaatkan informasi yang ada. Mereka mempunyai
orientasi yang lebih kosmopolitan dan pada umumnya merupakan pemuka
masyarakat.6
6 Joseph A. Devito, KOMUNIKASI ANTARMANUSIA Kuliah Dasar, Edisi Kelima (Jakarta:Professional Books,
1997),hlm. 526-527