Dinasti Umayyah berkuasa selama 91 tahun di bawah 14 khalifah dengan ibu kota Damaskus. Mereka memperkenalkan lembaga-lembaga pemerintahan Islam dan memberikan kontribusi besar pada peradaban Islam, khususnya di bidang seni, militer, perdagangan, dan kerajinan. Namun, sistem keturunan yang digunakan dan konflik internal membawa kemunduran dinasti ini.
Peran dan kontribusi bani umayyah bagi peradaban islam
1. PERAN DAN KONTRIBUSI BANI UMAYYAH BAGI PERADABAN ISLAM
1. Sejarah dinasti Umayyah
Merupakan sebuah dinasti yang di dirikan oleh keturunan Ummayah atas rintisan Muawiyah (
661-680) yang berpusat di Damaskus Syria. Nama Dinasti ini di nisbatkan pada Umayyah Ibn
‘Abd Syams Ibn ‘Abd Manaf seorang pemimpin suku Quraisy pada zaman jahiliah. Bani
Umayyah masuk Islam setelah terjadinya Fathul Makkah.
2. Khalifah dinasti Umayyah
Dinasti ini memerintah selama 91 tahun dan di perintah oleh 14 orang khalifah dengan ibu
kota Damaskus . Di lihat dari perkembanganya terbagi menjadi 3 masa:
a. Masa Permulaan
Masa ini di tandai dengan usaha-usaha Muawiyyah meletakkan dasar-dasar pemerintahan dan
orientasi kekuasaan .
b. Masa Pertengahan ( masa kejayaan )
Masa ini di mulai pada masa pemerintahan ‘Abd Al Malik dengan keberhasilanya
menyempurnakan administrasi pemerintahan . Masa setelahnya Walid 1 merupakan periode
kemenangan, kemakmuran, dan kejayaan. Negara di tandai dengan meluasnya islam ke barat dan
ke timur kemudian beban hidup masyarakat mulai ringan , pendirian kota dan gedung-gedung
umum seperti masjid dan kantor.
c. Masa Kemunduran
Masa ini di mulai sepeninggal khalifah Umar Ibd ‘Abd Al Aziz karena terjadi beberapa konflik
perselisihan.
3. Sistem Pemerintahan
Menggunakan sistem monarki hereditas ( kerajaan turun-temurun). Di antara perkembangan-
perkembangan dalam sistem pemerintahan adalah sebagi berikut :
a. Di bentuk pasukan bertombak pengawal raja
b. Pembangunan bagian khusus di dalam masjid untuk pengamanan ketika shalat
c. Memperkenalkan materi resmi untuk pengriman memorandum yang berasal dari khalifah
d. Mendirikan balai-balai pendaftaran
2. e. Memberi perhatian terhadap jawatan pos untuk berkembang menjadi susunan teratur untuk
menghubungkan berbagai bagian negara .
f. Disusunnya dewan dewan yang memiliki tugas tertentu dalam pemerintahan.
ada masa Abd Al Malik, pelaksanaan pemerintahan dibentuk oleh 4 departemen pokok :
Kementerian pajak tanah (diwan Al Kharaj) yang tugasnya mengawasi departemen keuangan.
Kementerian pengesahan (diwan Al Khatam) yang tugasnya merancang dan mengesahkan
ordonansi pemerintahan.
Kementerian surat menyurat (diwan Al Rasail) yang tugasnya mengontrol permasalahan di
daerah daerah dan semua komunikasi gubernur
Kementerian urusan perpajakan (diwan Al Mustaghallat)
g. Melakukan perluasan wilayah ke daerah Tunis, Khurasan (timur), Lahore, Byzantium (barat)
dan wilayah sekitarnya.
4. Perkembangan peradaban
a. Seni
Seni bangunan pada masa bani Umayyah lebih tertumpu pada bangunan sipil berupa kota kota
dan bangunan agama berupa masjid masjid. Pembangunan berbagai gedung dengan percampuran
Persia, Romawi, Dan Arab
b. Organisasi militer
Pembentukan organisasi militer angkatan darat (al jund), angkatan laut (al bahriyyah), dan
kepolisian (as syurthah),
c. Perdagangan
Lalu lintas darat melelui jalan Sutera untuk memperdagangkan sutera, keramik, obat obatan, dan
wewangian. Lalu lintas lautan untuk mencari rempah rempah, bumbu, anbar, kasturi, permata,
logam mulia, dan gading dan bulu buluan.
d. Kerajinan
Pembuatan Thiraz (bordiran), mendirikan pabrik kain. dibuatnya tempat lukisan di dalam istana.
e. Reformasi fiksal
3. Dalam perpajakan negara, semua dikenai pajak tanah, baik muslim maupun non muslim, tetapi
untuk pajak lain semisal pajak kepala, hanya dibebankan pada pihak non muslim saja serta
beberapa pajak yang lain yang amat menekan non muslim, sehingga muncul suatu pertentangan
dari golongan non muslim di suatu hari untuk menumbangkan kekuasaan Umayyah.
.
Beberapa faktor kemunduran bani Umayyah adalah sebagai berikut :
1. Sistem pergantian khalifah melalui jalur keturunan merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi
Arab yang lebih menekankan pada senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Sehingga menyebabkan
persaingan dalam kalangan istana
2. Terdapatnya gerakan gerakan oposisi dari aliran aliran islam seperti Syiah dan Khawarij yang
banyak menyedot kekuatan pemerintah
3. Terjadinya pertentangan etnis antar suku Arabia Utara (bani Qays) dan Arabia selatan (Bani
Kalb) sejak sebelum islam semakin meruncing. Selain itu juga mayoritasnya golongan Mawali
dari Irak dan sekitarnya yang tidak puas terhadap dengan status mawali yang menggambarkan
inferioritas dan ditambah pula keangkuhan bangsa Arab.
4. Sikap hidup mewah dalam kalangan istana, sehingga anak anak khalifah tidak sanggup memikul
beban ketika menjadi penguasa
5. Perhatian penguasa terhadap parkembangan islam sangatlah kurang
6. Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh Al Abbas Ibn Abd Al Muthallib yang mendapat
dukungan dari Bani Hasyim, kaum Syiah dan kaum mawali
Demikianlah kekuasaan bani Umayyah di timur yang telah memperkenalkan lembaga
lembaga istimewa dari pemerintahan islam dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pembentukan dan pengembangan peradaban islam.
Yatim, Badri. 1995. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Rofiq, Choirul Ahmad. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Ponorogo : STAIN Po Press
PERADABAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH I
(Sebuah Analisis Terhadap Perubahan Sistem Syûrâ ke Sistem Kerajaan)
4. I. Pendahuluan
Dalam al-Qur’an maupun al-Hadiś tidak terpadat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan
pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal Nabi Muhammad Saw selain petunjuk yang
sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang
bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah kiranya salah satu sebab utama
mengapa pada empat al-Khulafâ’ al-Râsyidîn ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola
musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam. (Sjadzali, 1993: 21).
Abû Bakr menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang
berlangsung pada hari kedua setelah Nabi Muhammad Saw wafat dan sebelum jenazah beliau
dimakamkan. (Sjadzali, 1993: 21). ‘Umar bin Khattâb mendapatkan kepercayaan sebagai
khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam satu forum musyawarah yang terbuka, tetapi
melalui penunjukan atau wasiat oleh pendahulunya. Abû Bakr mengadakan konsultasi tertutup
dengan beberapa sahabat senior yang kebetulan menengoknya ketika sakit di rumahnya. Para
sahabat senior tersebut pada dasarnya semua mendukung maksud Abû Bakr meskipun ada
beberapa di antaranya yang menyampaikan catatan. (Sjadzali, 1993: 23-24). ‘Uśmân bin ‘Affân
menjadi khalifah yang ketiga melalui proses pemilihan oleh sekelompok orang yang nama-
namanya sudah ditentukan oleh ‘Umar bin Khattâb sebelum beliau wafat. (Sjadzali, 1993: 25).
Sedankan ‘Alî bin Abî Tâlib diangkat menjadi khalifah yang keempat melalui pemilihan, yang
penyelenggaraannya jauh dari sempurna. Setelah para pemberontak membunuh ‘Uśmân bin
‘Affân, mereka mendesak ‘Alî bin Abî Tâlib agar bersedia diangkat menjadi khalifah. (Sjadzali,
1993: 27).
Ketika ‘Alî bin Abî Tâlib wafat, berakhirlah satu era, era al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, dan berakhir
pula tradis pengisian jabatan kepala negara melalui musyawarah. Mu’âwiyah bin Abî Sufyân
mendapatkan kedudukan sebagai khalifah tidak melalui musyawarah lagi atau persetujuan dari
tokoh-tokoh masyarakat, tetapi melalui ketajaman pedang dan tipu muslihat. Kemudian
menjelang akhir hayatnya ia menunjuk Yâzid, anaknya, sebagai calon penggantinya. Dan itulah
awal dari lahirnya sistem monarki atau kerajaan, yaitu pengisian jabatan kepala negara yang
ditentukan atas dasar keturunan, dan dari situ pulalah dibangun Dinasti Umayyah. (Sjadzali,
1993: 34).
II. Pembahasan
A. Garis Besar Sejarah Bani Umayyah
Sejarah Bani Umayyah tak dapat dilepaskan dari sejarah sebelumnya, yaitu krisis kepemimpinan
yang melanda umat Islam pasca-terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. Sejarah mencatat
bahwa setelah terbunuhnya Khalifah Utsman, bibit konflik mulai muncul. Umat Islam mulai
mengalami konflik internal antara beberapa faksi yang ada, seperti Perang Jamal antara faksi
umm al-mukminîn Aisyah dan Zubair bin Awwam r.a. dengan faksi Ali. Konflik juga terjadi
pada Perang Shiffin antara Muawiyah dan Ali. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
Konflik ini bermuara pada aktivitas pemberontakan yang berakibat pada terbunuhnya Khalifah
Utsman di akhir kepemimpinannya. Ketika Ali menggantikan Utsman, umat Islam
terfaksionalisasi menjadi beberapa kelompok, seperti kelompok Aisyah r.a., kelompok Ali, dan
kelompok Muawiyah yang pada waktu itu menjadi gubernur di Syam (Syiria dan sekitarnya).
Faksionalisasi ini pada gilirannya melahirkan pergumulan politik yang begitu tajam hingga
beberapa periode khilafah di era Dinasti Umayyah. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
5. Pada Perang Shiffin, ada dua golongan yang berseteru akibat krisis kepemimpinan tersebut, yaitu
golongan Khalifah Ali dan golongan Muawiyah. Golongan Muawiyah yang mempertanyakan
legitimasi politik dari Khalifah Ali menyusun kekuatan, ditambah dukungan dari Amr bin Ash
yang menjadi gubernur Mesir. Sementara itu, golongan Ali tidak merespon gerakan yang
dibangun oleh Muawiyah, sehingga kedua belah pihak sama-sama show of force di Shiffin, tepi
Sungai Jordan. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
Perang Shiffin ini kemudian melahirkan gagasan untuk bertahkim, yaitu mengangkat sumpah di
hadapan al-Qur’an dan atas nama Allah Swt bahwa kedua belah pihak akan melepaskan diri dari
kekuasaan dan akan menyerahkan kepemimpinan pada umat. Pada saat itu, golongan Khalifah
Ali ra. menunjuk Abu Musa al-Asy’ari, seorang dari Bani Abdussyams dan muhajirin yang
termasuk golongan awal masuk Islam serta terlibat dalam hijrah ke Abissinia. Sementara itu,
golongan Muawiyah menunjuk Amr bin Ash seagai negosiator. Amr bin Ash sendiri adalah
muhajirin dan merupakan panglima umat Islam ketika tentara muslimin menaklukkan Mesir di
era Khalifah Umar bin Khattab. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
Peristiwa tahkîm tentu saja sangat diingat karena mengubah sejarah pada waktu itu. Golongan
Ali menerima usulan dan segera melepaskan kepemimpinan. Akan tetapi, Amr bin Ash ternyata,
di luar dugaan, menyatakan bahwa khalifah yang sah adalah Muawiyah. Karena hal ini adalah
sumpah, maka sebagai konsesi Khalifah Ali membagi wilayah menjadi dua: wilayah Hijaz,
Yaman, dan Nejd (Semenanjung Arabia) menjadi kekuasaan Ali, sementara Syam dan Mesir di
bawah Muawiyah. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
Hasil konsesi tersebut menimbulkan implikasi lanjutan berupa terfragmentasinya kekuatan Ali
menjadi tiga: Syi’ah , Khawarij , dan kelompok yang setia dengan khalifah Islam. Dua kelompok
pertama kemudian bertransformasi menjadi faksi teologis dan tidak lagi berafiliasi kepada
kekuatan umat yang utama pada waktu itu. Pada perkembangannya, kelompok Khawarij
melakukan tindakan takfîr kepada tiga tokoh umat yang berkonflik pada waktu itu: Ali,
Muawiyah, dan Amr bin Ash. Kelompok ini akhirnya mengutus pengikutnya untuk membunuh
ketiga orang tersebut, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam di
Kufah, selepas Shalat Subuh. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
Meninggalnya Ali kemudian berimplikasi pada vacuum of power di tubuh umat Islam. Orang-
orang Hijaz mengangkat bai’at kepada Hasan bin Ali, tetapi Hasan menolak bai’at dan membuat
perjanjian denga Muawiyah. Isi perjanjian tersebut salah satunya adalah mempersilakan
Muawiyah untuk menjadi khalifah, tetapi dengan catatan Muawiyah menghentikan sikapnya
untuk mencaci-maki Ali di mimbar Jum’at. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
Syarat yang lainnya, yaitu: Muawiyah mesti memerintah berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah;
senantiasa menghormati dan memuliakan keluarga Nabi Muhammad Saw; pemilihan jawatan
khalifah selepasnya hendaklah dibuat secara syûrâ.(Tamaddun Islam, tt:
http://www.google.co.id)
Sebagai implikasinya, kedudukan Muawiyah bertambah kuat hingga akhirnya ia berhasil
mengkonsolidasi kekuatannya dengan mendirikan Dinasti Umayyah. Fase ini menjadi era baru
pergantian kepemimpinan di tubuh umat Islam pada waktu itu. (Umar, tt:
http://www.google.co.id).
B. Masa Pemerintahan Bani Umayyah I
Khalifah yang berkuasa pada masa Bani Umayyah I (Damaskus), yaitu:
1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61H/661-680M
2. Yazid I bin Muawiyah, 61-64H/680-683M
6. 3. Muawiyah II bin Yazid, 64-65H/683-684M
4. Marwah I bin al-Hakam, 65-66H/684-685M
5. Abdullah bin Zubair bin Awwam, (Peralihan pemerintahan, bukan Bani Umayyah)
6. Abdul Malik bin Marwan, 66-86H/685-705M
7. Al-Walid bin Abdul Malik, 86-97H/705-715M
8. Sulaiman bin Abdul Malik, 97-99H/715-717M
9. Umar II bin Abdul Aziz, 99-102H/717-720M
10. Yazid II bin Abdul Malik, 102-106H/720-724M
11. Hisyam bin Abdul Malik, 106-126H/724-743M
12. Al-Walid II bin Yazid II, 126-127H/743-744M
13. Yazid III bin al-Walid, 127H/744M
14. Ibrahim bin al-Walid, 127H/744M
15. Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira), 127-133H/744-750M (Bani
Umayyah, tt: http://www.wikipedia.org)
Pada makalah ini, penyusun memaparkan secara singkat beberapa khalifah tersebut di atas (tidak
seluruhnya) karena keterbatasan ruang.
1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61H/661-680M
Muawiyah I bin Abu Sufyan adalah pendiri Daulah Umayyah dan menjabat sebagai khalifah
pertama. Beliau adalah putra dari Abu Sufyan bin Harb, seorang pemuka suku Quraisy yang
masuk Islam pasca Fathu Makkah. Muawiyah sebagai putra Abu Sufyan kemudian terlibat dalam
serangkaina aktivitas penaklukkan di era Khalifah Abu Bakar dan Umar, serta menjadi gubernur
di Syam pada era Khalifah Utsman. Pada era tersebut, beliau berkedudukan tetap di Damaskus
(sekarang ibu kota Suriah).
Kebijakan pertama yang ia lakukan adalah memindahkan ibu kota dari Madinah al-Munawwarah
ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan
wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Utsman dan Ali. Di samping itu,
kebijakan yang lain adalah dengan mengatur birokrasi baru yang berciri khas Syam dengan strata
Arab dan Mawali (ajam atau non Arab).
Secara kenegaraan, Muawiyah mengubah bentuk pemerintahan dari model khulafâ’ al-râsyidîn
yang menggunakan konsep syûrâ pada mekanisme pergantian kepemimpinan menjadi bentuk
kerajaan dengan “pewarisan kekuasaan” pada putranya. Muawiyah adalah seorang politisi yang
cukup faham strategi. Ia menetapkan beberapa kebijakan pada lawan politiknya, seperti
mengurangi hak politik Hasan bin Ali serta mempersiapkan putranya untuk menggantikannya
agar kedudukan politiknya kuat.
Namun dalam perspektif lain, Muawiyah memiliki kontribusi besar dalam perubahan struktur
sosial dan politik umat pada waktu itu. Muawiyah memisahkan qâdi dan ulama, sehingga posisi
qâdi atau hakim menjadi sebuah jabatan profesi. Beliau juga memodernisasi militer sehingga
lebih profesional dalam menjalankan tugas, kendati sering digunakan untuk menghadapi lawan-
lawan politiknya.
Muawiyah juga memiliki prestasi lain di bidang politik luar negeri. Penyebaran Islam ke luar
yang telah dimulai sejak era Umar bin Khattab diteruskan oleh Muawiyah dengan mengirim
pasukan ke Afrika Utara (wilayah Maroko sampai Tunisia) untuk menghadapi pasukan Barbar
yang menguasai daerah tersebut dan sering mengancam wilayah Mesir. Sebagai respons,
Gubernur Mesir, Amr bin Ash menunjuk panglima Uqbah untuk menghadapi kekuatan Barbar
dan akhirnya berhasil menguasai Qairawan di Maroko sampai ke sebelah selatan Tunisia.
7. Muawiyah meninggal dunia dalam usia 80 tahun dan menunjuk Yazid bin Muawiyah sebagai
putra mahkota. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
2. Yazid I bin Muawiyah, 61-64H/680-683M
Khalifah Yazid merupakan putra dari Muawiyah. Beliau lahir pada tahun 22H/643M. pada tahun
679M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat
sebagai khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh
di Madinah tidak mau mengangkat bai’at kepadanya. Khalifah Yazid kemudian mengirim surat
kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk mengangkat bai’at kepada Yazid beserta
warga Hijaz secara keseluruhan. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein
bin Ali dan Abdullah bin Zubair.
Bersamaan dengan itu, pengikut Ali melakukan rekonsolidasi kekuatan. Perlawanan terhadap
Bani Umayyah dimulai oleh Husein bin Ali. Pada tahun 680M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah
atas permintaan pengikut Ali yang ada di sekitar Kufah dan mengangkat Husein sebagai
khalifah. Akan tetapi, rombongan Husein yang tidak didukung oleh milisi atau tentara kemudian
dihadang oleh pasukan Khalifah Yazid.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah daerah yang sekarang masuk ke
wilayah Irak secara teritorial. Tentara Husein yang tidak bersenjata lengkap kalah dan Husein
sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedangkan tubuhnya
dikubur di Karbala.
Pasca kematian Husein, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubair sebagai khalifah.
Abdullah bin Zubair adalah putra dari Zubair bin Awwam, seorang sahabat nabi yang juga
adalah golongan awal masuk Islam. Ibunya adalah Asma’ binti Abu Bakar, putri Abu Bakar Ash-
Shiddiq yang berkontribusi penuh sebagai penjamin rahasia dan pemberi bekal kepada
Rasulullah Saw ketika berhijrah. Posisi ayahnya sangat dihormati di kalangan muhajirin, dan
ayahnya juga bersama Aisyah terlibat pada Perang Jamal. Posisi Abdullah bin Zubair menguat
tanpa bisa dicegah oleh Khalifah Yazid sebelum kematiannya.
Khalifah Yazid meninggal pada tahun 64H/683M dalam usia 38 tahun dan masa
pemerintahannya ialah tiga tahun dan enam bulan. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
3. Muawiyah II bin Yazid, 64-65H/683-684M
Muawiyah II bin Yazid menjabat sebagai khalifah pada tahun 683-684M dalam usia 23 tahun.
Berbeda dengan ayahnya, ia bukan seorang yang berwatak keras atau menyukai peperangan. Tak
banyak literatur yang membahas tentang khalifah ini secara lengkap. Ia memerintah hanya
selama enam bulan, karena kelemahan posisinya secara politis, dan menyerahkan tampuk
kepemimpinan pada Marwan bin Hakam. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
4. Marwah I bin al-Hakam, 65-66H/684-685M
Sebelumnya, Marwan bin Hakam adalah penasehat khalifah Utsman bin Affan dan turut berada
di barisan Muawiyah ketika awal-awal Dinasti Umayyah dan konflik dengan Ali. Masa
pemerintahannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam.
Hal menarik yang patut dicatat adalah menguatnya pengaruh Abdullah bin Zubair bin Awwam di
daerah Hijaz, Nejd, dan Yaman sehingga ia berhasil mengonsolidasi kekuatan pada era tersebut.
Abdullah bin Zubair telah bertransformasi menjadi kekuatan penekan (pressure group) yang
sangat efektif; ia mengorganisasi kekuatan militer di Mekkah dan Madinah serta menjadi
khalifah setelah dibai’at oleh orang-orang Hijaz.
8. Khalfiah Marwan bin Hakam masih belum dapat mencegah kekuatan Abdullah bin Zubair secara
penuh. Khalifah Marwan wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan
18 hari. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
5. Abdul Malik bin Marwan, 66-86H/685-705M
Abdul Malik bin Marwan dilantik sebagai khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685M.
di bawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan. Hal yang terlebih
dulu dilakukan oleh Khalifah Abdul Malik adalah menyatukan kembali kekuatan politik Bani
Umayyah yang sempat terpecah di era sebelumnya. Khalifah Abdul Malik kemudian
mengorganisasi kekuatan militer untuk menghadapi kelompok Abdullah bin Zubair yang
menguasai Hijaz.
Pada akhirnya, kekuatan Abdullah bin Zubair terdesak. Pasukan Bani Umayyah dapat menguasai
kota Mekkah, benteng pertahanan terakhir dari Abdullah bin Zubair dan membunuh Abdullah
bin Zubair. Dikuasainya Hijaz ini kemudian mengakhiri pemberontakan orang-orang Hijaz dan
secara otomatis menyatukan kembali kekuatan Bani Umayyagh pada satu kepemimpinan.
Khalifah Abdul Malik adalah khalifah yang tegas, perkasa dan negarawan yang cakap dan
berhasil memulihkan kembali kekuatan dunia Islam. Ia memiliki kontribusi penting dalam tata
moneter dunia Islam, antara lain diperkenalkannya Dinar dan Dirham yang dicetak oleh
pemerintah pada waktu itu. Tata administrasi dan birokrasi pemerintahan juga dipertegas, antara
lain dengan dibentuknya berbagai lembaga pemerintahan yang kemudian mengatur urusan-
urusan umat Islam.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga memiliki kontribusi dalam penyebaran Islam. Politik
Luar Negeri yang berbasis pada penyebaran agama Islam keluar daerah juga menuai hasil yang
sangat signifikan, antara lain dengan berhasil dikuasainya Balkh, Bukhara, Khawarizm,
Farghana, dan Samarkand di Asia Kecil yang sekarang masuk ke teritori negara Uzbekistan serta
Kazakhstan.
Pasukannya juga meneruskan penyebaran Islam ke Timur, antara lain ke Balokhistan (Khurasan
sebelah Timur), Sind, dan Punjab (sekarang Pakistan). Prestasi lain, Khalifah Abdul Malik bin
Marwan juga merencanakan penyebaran ke Eropa dengan penunjukan Musa bin Nushair sebagai
Gubernur Afrika Utara dan menyiapkan armada untuk menyeberang ke Andalusia, menghadapi
kekaisaran Gothik yang berada di daerah tersebut. Namun, rencananya belum berhasil
direalisasikan. Beliau wafat pada tahun 705M dalam usia 60 tahun. (Umar, tt:
http://www.google.co.id).
C. Kontribusi Bani Umayyah I Terhadap Peradaban Islam
1. Bidang Militer
a. Membentuk kesatuan militer dengan gaya militer Persia
b. Membagi tentara Kerajaan Umayyah menjadi lima pasukan, yaitu:
1) Pasukan Tengah
2) Pasukan Sayap Kanan
3) Pasukan Sayap Kiri
4) Pasukan Barisan Depan
5) Pasukan Barisan Belakang
c. Membentuk angkatan perang yang teratur dan dilengkapi dengan peralatan perang modern
d. Angkatan militer terdiri dari:
1) Pasukan berkuda
9. 2) Pasukan berkendaraan
3) Pasukan jalan kaki
e. Angkatan militer dilatih untuk menghadapi perang di musim dingin dan panas
f. Angkatan laut dibentuk dengan membina 1.700 kapal perang serta pangkalan laut yang
berpusat di Tunisia, Syiria dan Iskandariyah
g. Pada awalnya pemilihan anggota tentara secara suka rela kemudian diganti menjadi bagi yang
memenuhi syarat saja
h. Dewan al-Jund dibentuk untuk mengurus hal kemiliteran
2. Bidang Pendidikan
a. Khalifah Muawiyah sangat memperhatikan perkembangan pendidikan
b. Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah tokoh ulama dalam bidang al-Qur’an, Tafsir, Hadis,
dan Nahwu
c. Kota Basrah menjadi pusat penyebaran ilmu
d. Bahasa Arab adalah bahasa pengantar utama Kerajaan Umayyah
e. Perkembangan ilmu tidak hanya dalam bidang keagamaan tapi juga ilmu sejarah dan geografi
sudah mulai dipelajari
f. Kegiatan penulisan, pembukaan dan pembinaan perpustakaan digencarkan
3. Bidang Ekonomi
a. Memajukan pertanian dan perdagangan
b. Membuat irigasi dan mengadakan penelitian untuk memajukan sektor pertanian
c. Membangun jalan dan pelabuhan untuk memajukan sektor perdagangan
d. Mengadakan kapal perang khusus untuk mengawasi sektor kelautan
e. Mendirikan perusahaan kerajinan tangan seperti membuat kiswah ka’bah, sutera dan lain-lain
f. Membina baitul mal untuk mengatur pendapatan negara, yaitu: kharaj, jizyah, zakat, usyur,
fay, dan ghanimah. (tamadun Islam, tt: http://google.co.id)
D. Analisis Terhadap Perubahan Sistem Syûrâ ke Sistem Kerajaan
Sejarah mencatat bahwa Muawiyah mengubah bentuk pemerintahan dari model khulafâ’ al-
râsyidîn yang menggunakan konsep syûrâ pada mekanisme pergantian kepemimpinan menjadi
bentuk kerajaan dengan “pewarisan kekuasaan” pada putranya, Yazid bin Muawiyah sebagai
putra mahkota. (Umar, tt: http://www.google.co.id). Sistem kerajaan ini diteruskan oleh para
keturunan Bani Umayyah yang berkuasa selama 90 tahun.
Menurut penyusun, pergantian sistem tersebut sudah merupakan cita-cita Bani Umayyah sekian
lama. Mereka tidak pernah rela berada di bawah penguasa yang bukan berasal dari Bani
Umayyah terlebih-lebih jika berasal dari Bani Hasyim. Sebaliknya, mereka ingin selalu berkuasa
atas suku-suku yang lainnya (terutama terhadap Bani Hasyim). Penyusun berpendapat demikian
dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Di masa pra-Islam, Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim yang juga merupakan
klan suku Quraisy. Bani Umayyah lebih berperan di dalam masyarakat Mekkah. Merekalah yang
menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung pada para pengunjung
Ka’bah. Sementara Bani Hasyim adalah orang-orang yang berekonomi sederhana. Akan tetapi
Nabi Muhammad Saw adalah seorang dari Bani Hasyim. Ketika agama Islam mulai berkembang
dan mendapatkan pengikut, Bani Umayyah merasa bahwa kekuasaan dan perekonomiannya
terancam. Oleh sebab itu, mereka menjadi penentang utama terhadap perjuangan Nabi
Muhammad Saw, tetapi tidak pernah berhasil melumpuhkannya. Abu Sufyan bin Harb, salah
seorang anggota klan Umayyah, sering kali menjadi jenderal dalam beberapa peperangan
10. melawan pihak Nabi Muhammad Saw. Setelah Islam menjadi kuat dan dapat merebut Mekkah,
Abu Sufyan dan pihaknya menyerah, tetapi Nabi Muhammad Saw memberi kebebasan kepada
mereka. Di antara mereka adalah Muawiyah bin Abi Sufyan yang, sebagaimana sisa-sisa
penduduk Mekkah lainnya, kemudian masuk Islam. (Ensiklopedi Islam, 2002: 130).
2. Di masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Bani Umayyah merasa rendah karena kelas mereka
berada di bawah kelas kaum Anshar dan Muhajirin. Abu Bakar menyatakan bahwa mereka
adalah angkatan yang paling kemudian masuk Islam, dan untuk menjadi setingkat dengan kedua
kaum di atas, mereka harus mengikuti perang dalam membela Islam. (Ensiklopedi Islam, 2002:
130).
3. Ketika Ali menggantikan Utsman, umat Islam terfaksionalisasi menjadi beberapa kelompok,
seperti Aisyah ra., kelompok Ali ra., dan kelompok Muawiyah ra. faksionalisasi ini pada
gilirannya melahirkan pergumulan politik yang begitu tajam hingga beberapa periode khilafah di
era Dinasti Umayyah. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
4. Muawiyah tidak menolak posisi khalifah yang ditawarkan oleh Hasan bin Ali walaupun
dengan beberapa syarat. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
5. Muawiyah melanggar perjanjian dengan Hasan bin Ali bahwa pergantian khalifah setelahnya
harus dilakukan dengan sistem syûrâ. Pada kenyataannya, Muawiyah mengubah sistem syûrâ
dengan sistem kerajaan. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
6. Sikap perlawanan Muawiyah terhadap siapa saja yang ingin merongrong kekuasannya diwarisi
oleh penerusnya, misalnya Yazid bin Muawiyah yang melawan kukuatan yang diusung oleh
Husein bin Ali hingga terjadi pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah daerah yang
sekarang masuk wilayah Irak secara teritorial. Tentara Husein yang tidak bersenjata lengkap
kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus,sedang
tubuhnya dikubur di Karbala. (Umar, tt: http://www.google.co.id).
Ini antara lain bukti sejarah akan kerakusan kekuasaan Bani Umayyah sehingga ketika mereka
mendapatkan kesempatan tidak disia-siakan untuk mengubah sistem syûrâ menjadi sistem
kerajaan agar kekuasaan tetap berada dalam genggaman keturunan mereka.
III. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini, penyusun menyimpulkan bahwa dalam al-Qur’an
maupun al-Hadiś tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat
atau kepala negara sepeninggal Nabi Muhammad Saw selain petunjuk yang sifatnya sangat
umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana
musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah kiranya salah satu sebab utama mengapa pada
empat al-Khulafâ’ al-Râsyidîn ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola musyawarah yang
ditempuhnya beraneka ragam.
Sistem syûrâ yang digunakan oleh empat al-Khulafâ’ al-Râsyidîn diubah menjadi sistem
kerajaan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Penggantian sistem tersebut merupakan cita-cita Bani
Umayyah sekian lama. Mereka tidak pernah rela berada di bawah penguasa yang bukan berasal
dari Bani Umayyah terlebih-lebih jika berasal dari Bani Hasyim. Sebaliknya, mereka ingin selalu
berkuasa atas suku-suku yang lainnya (terutama terhadap Bani Hasyim). Wa Allâh a’lam bi al-
sawâb.
REFERENSI
Ali, Mursyidi, Sejarah Perang Shiffin, http://www.OjieWeblog.com
11. Benih Fikrah Pengkarifan Dalam Sejarah Islam, http://millah.Ibrahim.com
Definition of Qadhi, http://encyclopedia2.thefreedictionary.com
Ensiklopedi Islam, Jilid 5, Cet.10, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2002.
Peradaban, http://id.wikipedia.org
Perang Jamal, http://ms.wikipedia.org
Shiasite.net, The Bani Umayyah, http://www.google.co.id
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran, Edisi 5,UI-Press,
Jakarta,1993.
Tamaddun Islam: Kerajaan Bani Umayyah, http://www.google.co.id
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah, Sejarah Khilafah Bani Umayyah: Konstruksi Kekuasaan,
Oposisi, dan Politik Luar Negeri, http://www.google.co.id
‘Ali, Tim Ulin Nuha Ma’had, Dirasatul Firaq: Kajian tentang Aliran-aliran Sesat Dalam Islam,
Cet.2, Pustaka Arafah, Surakarta, 2003.
Bani Umayyah, http://wikipedia.org