Makalah ini membahas tentang evaluasi kinerja dan kompensasi, termasuk pengertian evaluasi kinerja, tujuan evaluasi kinerja, dan pengukuran kinerja SDM menggunakan HR Scorecard.
1. MAKALAH
EVALUASI KINERJA DAN KONPENSASI
Disusun untuk memenuhi tugas
Dosen : Ade Fauji,SE.,MM
Oleh
NAMA : MAMAN
NIM : 11150475
KELAS : 7H - MSDM
JURUSAN : MANAJEMEN
KONSENTRASI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
PROGRAM PENDIDIKAN : STRATA-1 (S1)
UNIVERSITAS BINA BANGSA
SERANG
2018
2. KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya ucapkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmatnyalah maka saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.Berikut
ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “evaluasi kinerja dan konpensasi”,
yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mengetahui dan
mempelajari materi evaluasi kinerja dan konpensasi..Melalui kata pengantar ini penulis lebih
dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan
ada tulisan yang saya buat kurang tepat.Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan
penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat
memberikan manfaat.
Serang ,…..….2018
penyusun
3. BAB I
PENGERTIAN DAN FUNGSI EVALUASI KINERJA SDM
1.1 Pengertian evaluasi
Evaluasi atau penilaian berarti tindakan untuk menentukan nilai sesuatu. Dalam arti luas
evaluasi adalah suatu proses dalam merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi
yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan. Untuk lebih memahami
apa yang dimaksud dengan evaluasi, maka dapat dikatakan bahwa :
1. .Kegiatan evaluasi merupakan proses yang sistematis. Yang dimaksud dengan proses
sistematis ialah kegiatan yang terencana dan dilakukan secara berkesinambungan yang
dilakukan pada permulaan, selama program berlangsung dan pada akhir program setelah
program dianggap selesai.
2. Di dalam kegiatan evaluasi diperlukan berbagai informasi atau data yang menyangkut objek
yang sedang dievaluasi. Dalam hal ini berkaitan dengan perilaku, penampilan, hasil ulangan
atau pekerjaan rumah, nilai semester dan sebagainya.
3. Dalam setiap kegiatan evaluasi, tidak lepas dari tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Hal ini
karena setiap kegiatan penilaian memerlukan suatu criteria tertentu sebagai acuan dalam
menentukan batas ketercapaian objek yang dinilai.
Berkaitan dengan bimbingan dan konseling, maka yang dimaksud dengan evaluasi bimbingan
dan konseling adalah segala upaya, tindakan atau proses untuk menentukan derajat kualitas
kemajuan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program bimbingan dan konseling di
sekolah dengan mengacu pada criteria atau patokan-patokan tertentu sesuai dengan program
bimbingan dan konseling (Juntika, 2005: 57)
1.2. Pengertian Evaluasi/Penilaian kinerja
Evaluasi kinerja atau penilaian prestasi karyawan yang dikemukakan Leon C. Menggison
(1981:310) dalam Mangkunegara (2000:69) adalah sebagai berikut: ”penilaian prestasi kerja
(Performance Appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukkan
apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggng jawabnya”.
Selanjutnya Andrew E. Sikula (1981:2005) yang dikutip oleh Mangkunegara (2000:69)
mengemukakan bahwa ”penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan
pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penafsiran atau
penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa obyek orang ataupun sesuatu (barang)”.
Selanjutnya Menurut Siswanto (2001:35) penilaian kinerja adalah: ” suatu kegiatan yang
dilakukan oleh Manajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja tenaga kerja dengan cara
membandingkan kinerja atas kinerja dengan uraian / deskripsi pekerjaan dalam suatu periode
tertentu biasanya setiap akhir tahun.” Anderson dan Clancy (1991) sendiri mendefinisikan
4. pengukuran kinerja sebagai: “Feedback from the accountant to management that provides
information about how well the actions represent the plans; it also identifies where managers
may need to make corrections or adjustments in future planning andcontrolling activities”
sedangkan Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan pengukuran kinerja
sebagai: “the activity of measuring the performance of an activity or the value chain”. Dari
kedua definisi terakhir Mangkunegara (2005:47) menyimpulkan bahwa pengukuran atau
penilaian kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam
rantai nilai yang ada pada peruisahaan. Hasil pengukuran tersebut digunakan sebagai umpan
balik yang memberikan informasi tentang prestasi, pelaksanaan suatu rencana dan apa yang
diperlukan perusahaan dalam penyesuaian-penyesuaian dan pengendalian.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja adalah
penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan
kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat,
memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat melaksanakan
pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan
dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan
1.3 Fungsi penilaian kinerja
Fungsi penilain Kinerja ditinjau dari berbagai perspektif pengembangan
perusaahan,khusus manajemen SDM,yaitu:
Dokumentasi.Untuk memperoleh data yang pasti,sistematik,dan faktual dalam penentuan nilai
suatu perkerjaan.
1. posisi tawar.Untuk memungkinkan manajemen melakukan negosiasi yang objektif dan
rasional dengan serikat buruh (kalau ada) atau langsung dengan karyawan.
2. perbaikan kinerja.Umpan balik pelaksanaan kerja yang bermanfaat bagi
karyawan,manejer,dan spesialis personil dalam bentuk kegiatan untuk meningkatkan atau
memperbaiki kinerja karyawan.
3. penyesuaian kompensasi.Penilain perkerjaan membantu pengambil keputusan dalam
penyesuaian ganti-rugi ,menentukan siapa yang perlu dinaikan upahnya-bonus atau
kompensasi lainnya.Banyak perusahaan mengabulakan sebagian atau semua dari bonus dan
peningkatan upah mareka atas dasar penileian kinerja.
4. keputusan penempatan.Membantu dalam promosi,keputusan penampatan,perpindahan ,dan
penurunan pangkat pada umumnya didasarkan pada masa lampau atau mengantisipasi
kinerja.sering promsi adalah untuk kinerja yang lalu.
5. pelatihan dan pengembangan.kinerja buruk mengindikasikan ada nya suatu kebutuhan untuk
latihan.Demikian juga,kinerja baik dapat mencerminkan adanya potensi yang belum
digunakan dan harus dikembangkan.
5. 6. perencanaan dan pengembangan karier.Umpan balik penilain kinerja dapat digunakan
sebagai panduan dalam perencanaan dan pengembangan karier karyawan,penyusunan
program pengembangan karier yang tepat,dap
at menyelaskan antara kebutuhan karyawan dengan kepentingan perusahaan.
7. Evaluasi proses staffing.prestasi kerja yang baik atau buruk mencerminkan kekuatan atau
kelemahan prosedur staffing dapertemen SDM.
8. Defisiensi proses penempatan karyawan.kinerja yang baik atau jelek mengesiyaratkan
kekuatan atau kelemahan prosedur penempatan karyawan di daperteman SDM.
9. ketidakakuratan informasi.Kinerja lemah menandakan adanya kesalahan di dalam informasih
analisis perkerjaan,perencanaan SDM atau sistim informasih manajemen SDM. pemakaian
informasi yang tidak akurat dapat mengakibatkan proses rekeutmen,pelatihan,atau
pengaambilan keputusan tidak sesuai.
10. kesalahan dalam merancang pekerjaan.kinerja yang lemah mungkin merupakan suatu gejala
dari rancangan perkerjaan yang kurang tepat.Melalui penilaian kinerja dapat membantu
mendiagnosiskesalahan ini.
Artinya,jika urain pekerjaan tidak tepat ,apalagi tidak lengkap,wewenang dan tanggung
jawab tidak seimbang,jalur pertanggung jawaban kabur dan berbagai kelemahn lainnya
berakibat pada prestasi kerja yang kurang memuaskan.
1.4 Kriteria penilaian
1. Yang dapat berfungsi sebagai penilai dalam penilaian kinerja, ialah:
a. Atasan (atasan langsung dan atasan tidak langsung)
b. Bawahan langsung ( jika karyawan yang dinilai mempunyai bawahan langsung)
2. Pada umumnya karyawan hanya dinilai oleh atasannya ( baik oleh atasan langsung maupun
tidak langsung). Penilaian oleh rekan dan oleh bawahan hampir tidak pernah dilaksanakan
kecuali untuk keperluan riset.
3. Karyawan yang berada dalam keadaan yang sangat tergantung kepada atasannya, jika
penilaian kinerja hanya dilakukan oleh atasan langsungnya. Atasannya dapat berlaku
seolah-olah sebagai dewa yang menentukan nasib karyawannya.
4. Untuk mengindari atau meringankan keadaan ketergantungan tersebut dilakukan dibeberapa
usaha lain dengan mengadakan penilaian kinerja yang terbuka atau dengan menambah
jumlah atasan yang menilai kinerja karyawan.
6. BAB II
HR SCORE CARD ( PENGUKURAN KINERJA SDM)
2.1 Pengertian Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja adalah proses di mana organisasi menetapkan parameter hasil untuk
dicapai oleh program, investasi, dan akusisi yang dilakukan. Proses pengukuran kinerja
seringkali membutuhkan penggunaan bukti statistik untuk menentukan tingkat kemajuan
suatu organisasi dalam meraih tujuannya. Tujuan mendasar di balik dilakukannya pengukuran
adalah untuk meningkatkan kinerja secara umum.
Pengukuran Kinerja juga merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan
didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator masukan,
keluaran, hasil, manfaat, dan dampak.. Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk
menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang
telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi.
Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja juga
digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran (James Whittaker, 1993)
Sedangkan menurut Junaedi (2002 : 380-381) “Pengukuran kinerja merupakan proses
mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi melalui
hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa, ataupun proses”. Artinya, setiap kegiatan
perusahaan harus dapat diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah
perusahaan di masa yang akan datang yang dinyatakan dalam misi dan visi perusahaan.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sistem pengukuran kinerja adalah suatu
sistem yang bertujuan untuk membantu manajer perusahaan menilai pencapaian suatu strategi
melalui alat ukur keuangan dan non keuangan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan
sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu
rencana dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas
perencanaan dan pengendalian.
2.2 Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja
Batasan tentang pengukuran kinerja adalah sebagai usaha formal yang dilakukan oleh
organisasi untuk mengevaluasi hasil kegiatan yang telah dilaksanakan secara periodik
berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan pokok dari
pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan
mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar menghasilkan tindakan yang
diinginkan (Mulyadi & Setyawan 1999: 227).
7. Secara umum tujuan dilakukan pengukuran kinerja adalah untuk (Gordon, 1993 : 36) :
1. Meningkatkan motivasi karyawan dalam memberikan kontribusi kepada organisasi.
2. Memberikan dasar untuk mengevaluasi kualitas kinerja masing-masing karyawan.
3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan sebagai dasar untuk
menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan dan pengembangan karyawan.
4. Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan karyawan, seperti produksi,
transfer dan pemberhentian.
Pengukuran kinerja dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap
pengukuran. Tahap persiapan atas penentuan bagian yang akan diukur, penetapan kriteria yang
dipakai untuk mengukur kinerja, dan pengukuran kinerja yang sesungguhnya. Sedangkan tahap
pengukuran terdiri atas pembanding kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan
sebelumnya dan kinerja yang diinginkan (Mulyadi, 2001: 251).
Pengukuran kinerja memerlukan alat ukur yang tepat. Dasar filosofi yang dapat dipakai
dalam merencanakan sistem pengukuran prestasi harus disesuaikan dengan strategi perusahaan,
tujuan dan struktur organisasi perusahaan. Sistem pengukuran kinerja yang efektif adalah sistem
pengukuran yang dapat memudahkan manajemen untuk melaksanakan proses pengendalian dan
memberikan motivasi kepada manajemen untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya.
Manfaat sistem pengukuran kinerja adalah (Mulyadi & Setyawan, 1999: 212-225):
1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggannya dan membuat seluruh personil terlibat
dalam upaya pemberi kepuasan kepada pelanggan.
2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata-rantai pelanggan
dan pemasok internal.
3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan
terhadap pemborosan tersebut.
4. Membuat suatu tujuan strategi yang masanya masih kabur menjadi lebih kongkrit sehingga
mempercepat proses pembelajaran perusahaan.
2.3 Prinsip Pengukuran Kinerja
Dalam pengukuran kinerja terdapat beberapa prinsip-prinsip yaitu:
1. Seluruh aktivitas kerja yang signifikan harus diukur.
2. Pekerjaan yang tidak diukur atau dinilai tidak dapat dikelola karena darinya tidak
ada informasi yang bersifat obyektif untuk menentukan nilainya.
3. Kerja yang tak diukur selayaknya diminimalisir atau bahkan ditiadakan.
8. 4. Keluaran kinerja yang diharapkan harus ditetapkan untuk seluruh kerja yang diukur.
5. Hasil keluaran menyediakan dasar untuk menetapkan akuntabilitas hasil alih-alih sekedar
mengetahui tingkat usaha.
6. Mendefinisikan kinerja dalam artian hasil kerja semacam apa yang diinginkan adalah cara
manajer dan pengawas untuk membuat penugasan kerja dari mereka menjadi operasional.
7. Pelaporan kinerja dan analisis variansi harus dilakukan secara kerap.
8. Pelaporan yang kerap memungkinkan adanya tindakan korektif yang segera dan tepat waktu.
9. Tindakan korektif yang tepat waktu begitu dibutuhkan untuk manajemen kendali yang
efektif.
2.4 Ukuran Pengukuran Kinerja
Terdapat tiga macam ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja secara
kuantitatif yaitu :
1) Ukuran Kriteria Tunggal (Single Criterium).
Yaitu ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja
manajernya. Jika kriteria tunggal digunakan untuk mengukur kinerjanya, orang akan
cenderung memusatkan usahanya kepada kriteria tersebut sebagai akibat diabaikannya
kriteria yang lain yang kemungkinan sama pentingnya dalam menentukan sukses atau
tidaknya perusahaan atau bagiannya.
Sebagai contoh manajer produksi diukur kinerjanya dari tercapainya target kuantitas
produk yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu kemungkinan akan mengabaikan
pertimbangan penting lainnya mengenai mutu, biaya, pemeliharaan equipment dan sumber
daya manusia.
2) Ukuran Kriteria Beragam (Multiple Criterium)
Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran dalam menilai kinerja
manajernya. Kriteria ini merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria tunggal dalam
pengukuran kinerja. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga
seorang manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria. Tujuan penggunaan kriteria ini
adalah agar manajer yang diukur kinerjanya mengerahkan usahanya kepada berbagai kinerja.
Contohnya manajer divisi suatu perusahaan diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria
antara lain profitabilitas, pangsa pasar, produktifitas, pengembangan karyawan, tanggung
jawab masyarakat, keseimbangan antara sasaran jangka pendek dan sasaran jangka panjang.
Karena dalam ukuran kriteria beragan tidak ditentukan bobot tiap-tiap kinerja untuk
menentukan kinerja keseluruhan manajer yang diukur kinerjanya, maka manajer akan
cenderung mengarahkan usahanya, perhatian, dan sumber daya perusahaannya kepada
kegiatan yang menurut persepsinya menjanjikan perbaikan yang terbesar kinerjanya secara
keseluruhan. Tanpa ada penentuan bobot resmi tiap aspek kinerja yang dinilai didalam
menilai kinerja menyeluruh manajer, akan mendorong manajer yang diukur kinerjanya
menggunakan pertimbangan dan persepsinya masing-masing didalam memberikan bobot
terhadap beragan kriteria yang digunakan untuk menilai kinerjanya.
9. 3) Ukuran Kriteria Gabungan (Composite Criterium)
Yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran memperhitungkan
bobot masing-masing ukuran dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh
kinerja manajernya. Karena disadari bahwa beberapa tujuan lebih panting bagi perusahaan
secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan yang lain, beberapa perusahaan memberikan
bobot angka tertentu kepada beragan kriteria kinerja untuk mendapatkan ukuran tunggal
kinerja manajer, setelah memperhitungkan bobot beragam kriteria kinerja masing-masing.
2.5 Sistem Pegukuran Kinerja
Untuk mengukur kinerja, dapat digunakan beberapa ukuran kinerja. Beberapa ukuran
kinerja yang meliputi; kuantitas kerja, kualitas kerja, pengetahuan tentang pekerjaan,
kemampuan mengemukakan pendapat, pengambilan keputusan, perencanaan kerja dan daerah
organisasi kerja. Ukuran prestasi yang lebih disederhana terdapat tiga kreteria untuk mengukur
kinerja, pertama; kuantitas kerja, yaitu jumlah yang harus dikerjakan, kedua, kualitas kerja, yaitu
mutu yang dihasilkan, dan ketiga, ketepatan waktu, yaitu kesesuaiannya dengan waktu yang
telah ditetapkan.
Menurut Cascio (2003: 336-337), kriteria sistem pengukuran kinerja adalah sebagai
berikut:
1. Relevan (relevance). Relevan mempunyai makna (1) terdapat kaitan yang erat antara standar
untuk pelerjaan tertentu dengan tujuan organisasi, dan (2) terdapat keterkaitan yang jelas
antara elemen-elemen kritis suatu pekerjaan yang telah diidentifikasi melalui analisis jabatan
dengan dimensi-dimensi yang akan dinilai dalam form penilaian.
2. Sensitivitas (sensitivity). Sensitivitas berarti adanya kemampuan sistem penilaian kinerja
dalam membedakan pegawai yang efektif dan pegawai yang tidak efektif.
3. Reliabilitas (reliability). Reliabilitas dalam konteks ini berarti konsistensi penilaian. Dengan
kata lain sekalipun instrumen tersebut digunakan oleh dua orang yang berbeda dalam menilai
seorang pegawai, hasil penilaiannya akan cenderung sama.
4. Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa pengukuran kinerja yang
dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya.
5. Praktis (practicality). Praktis berarti bahwa instrumen penilaian yang disepakati mudah
dimenegerti oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses penilaian tersebut.
Pendapat senada dikemukakan oleh Noe et al (2003: 332-335), bahwa kriteria sistem
pengukuran kinerja yang efektif terdiri dari beberapa aspek sebagai berikut:
1. Mempunyai Keterkaitan yang Strategis (strategic congruence). Suatu pengukuran kinerja
dikatakan mempunyai keterkaitan yang strategis jika sistem pengukuran kinerjanya
menggambarkan atau berkaitan dengan tujuan-tujuan organisasi. Sebagai contoh, jika
organisasi tersebut menekankan pada pentingnya pelayanan pada pelanggan, maka
10. pengukuran kinerja yang digunakan harus mampu menilai seberapa jauh pegawai melakukan
pelayanan terhadap pelanggannya.
2. Validitas (validity). Suatu pengukuran kinerja dikatakan valid apabila hanya mengukur dan
menilai aspek-aspek yang relevan dengan kinerja yang diharapkan.
3. Reliabilitas (reliability). Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi pengukuran kinerja yang
digunakan. Salah satu cara untuk menilai reliabilitas suatu pengukuran kinerja adalah dengan
membandingkan dua penilai yang menilai kinerja seorang pegawai. Jika nilai dari kedua
penilai tersebut relatif sama, maka dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut reliabel.
4. Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa pengukuran kinerja yang
dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya. Hal ini menjadi suatu
perhatian serius mengingat sekalipun suatu pengukuran kinerja valid dan reliabel, akan tetapi
cukup banyak menghabiskan waktu si penilai, sehingga si penilai tidak nyaman
menggunakannya.
5. 5. Spesifisitas (specificity). Spesifisitas adalah batasan-batasan dimana pengukuran kinerja
yang diharapkan disampaikan kepada para pegawai sehingga para pegawai memahami apa
yang diharapkan dari mereka dan bagaimana cara untuk mencapai kinerja tersebut.
Spesifisitas berkaitan erat dengan tujuan strategis dan tujuan pengembangan manajemen
kinerja.
Dari pendapat Casio dan Noe et al, ternyata suatu instrumen penilaian kinerja harus
didesain sedemikian rupa. Instrumen penilaian kinerja, berdasarkan konsep Casio dan Noe et
al, terutama harus berkaitan dengan apa yang dikerjakan oleh pegawai. Mengingat jenis dan
fungsi pegawai dalam suatu organisasi tidak sama, maka nampaknya, tidak ada instrumen
yang sama untuk menilai seluruh pegawai dengan berbagai pekerjaan yang berbeda.
2.5 Balanced Scorecard
Balanced Scorecard merupakan konsep manajemen yang diperkenalkan Robert Kaplan
tahun 1992, sebagai perkembangan dari konsep pengukuran kinerja (performance measurement)
yang mengukur perusahaan. Robert Kaplan mempertajam konsep pengukuran kinerja dengan
menentukan suatu pendekatan efektif yang seimbang (balanced) dalam mengukur kinerja strategi
perusahaan. Pendekatan tersebut berdasarkan empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan,
proses bisnis internal dan pembelajaran dan pertumbuhan. Keempat perspektif ini menawarkan
suatu keseimbangan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang, hasil yang
diinginkan (Outcome) dan pemicu kinerja (performance drivers) dari hasil tersebut, dantolok
ukur yang keras dan lunak serta subjektif.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai Balanced Scorecard, berikut ini dikemukakan
pengertian Balanced Scorecard menurut beberapa ahli, di antaranya:Amin Widjaja Tunggal,
(2002:1) “Balanced Scorecard juga menunjukkan bagaimana perusahaan menyempurnakan
prestasi keuangannya.”
Sedangkan Teuku Mirza, (1997: 14) “Tujuan dan pengukuran dalam Balanced Scorecard
bukan hanya penggabungan dari ukuran-ukuran keuangan dan non-keuangan yang ada,
11. melainkan merupakan hasil dari suatu proses atas bawah (top-down) berdasarkan misi dan
strategi dari suatu unit usaha, misi dan strategi tersebut harus diterjemahkan dalam tujuan dan
pengukuran yang lebih nyata”.
Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen strategik atau lebih tepat
dinamakan “Strategic based responsibility accounting system” yang menjabarkan misi dan
strategi suatu organisasi ke dalam tujuan operasional dan tolok ukur kinerja perusahaan tersebut.
Konsep,balancedscorecard.berkembang.sejalan.dengan,perkembangan.implementasinyaBalanced
scorecard terdiri dari dua kata yaitu balanced dan scorecard. Scorecard artinya kartu
skor,maksudnya adalah kartu skor yang akan digunakan untuk merencanakan skor yang
diwujudkan di masa yang akan datang. Sedangkan balanced artinya berimbang, maksudnya
adalah untuk mengukur kinerja seseorang atau organisasi diukur secara berimbang dari dua
perspektif yaitu keuangan dan non keuangan, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan
ekstern (Mulyadi, 2005).Pada awalnya, balanced scorecard ditujukan untuk memperbaiki sistem
pengukuran kinerja eksekutif. Sebelum tahun 1990-an eksekutif hanya diukur kinerjanya dari
aspek keuangan, akibatnya fokus perhatian dan usaha eksekutif lebih dicurahkan untuk
mewujudkan kinerja keuangan dan kecendrungan mengabaikan kinerja non keuangan. Pada
tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG, mensponsori
studi tentang “Mengukur Kinerja Organisasi Masa Depan”. Studi ini didorong oleh kesadaran
bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh semua perusahaan untuk
mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai.Balanced scorecard digunakan untuk
menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta
kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa
untuk mengukur kinerja eksekutif masa depan, diperlukan ukuran yang komprehensif yang
mencakup empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran
dan pertumbuhan. Ukuran ini disebut dengan balanced scorecard.Balanced scorecard yang baik
harus memenuhi beberapa kriteria antara lain sebagai berikut :
1. Dapat mendefinisikan tujuan strategi jangka panjang dari masing – masing perspektif
(outcomes) dan mekanisme untuk mencapai tujuan tersebut (performance driver).
2. Setiap ukuran kinerja harus merupakan elemen dalam suatu hubungan sebab akibat (cause
and effect relationship).
3. Terkait dengan keuangan, artinya strategi perbaikan seperti peningkatan kualitas, pemenuhan
kepuasan pelanggan, atau inovasi yang dilakukan harus berdampak pada peningkatan
pendapatan perusahaan.
Langkah-langkah balanced scorecard meliputi empat proses manajemen baru. Pendekatan ini
mengkombinasikan antara tujuan strategi jangka panjang dengan peristiwa jangka pendek.
Keempat proses tersebut menurut (Kaplan dan Norton, 1996) antara lain :
1. Menterjemahkan visi, misi dan strategi perusahaan.
2. Untuk menentukan ukuran kinerja, visi organisasi perlu dijabarkan dalam tujuan dan
sasaran. Visi adalah gambaran kondisi yang akan diwujudkan oleh perusahaan di masa
12. mendatang. Untuk mewujudkan kondisi yang digambarkan dalam visi, perusahaan perlu
merumuskan strategi. Tujuan ini menjadi salah satu landasan bagi perumusan strategi untuk
mewujudkannya. Dalam proses perencanaan strategik, tujuan ini kemudian dijabarkan ke
dalam sasaran strategik dengan ukuran pencapaiannya.
Mengkomunisasikan dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis balanced
scorecard.
3. Dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan kepada tiap karyawan apa yang dilakukan
perusahaan untuk mencapai apa yang menjadi keinginan para pemegang saham dan
konsumen. Hal ini bertujuan untuk mencapai kinerja karyawan yang baik.
4. Merencanakan, menetapkan sasaran, menyelaraskan berbagai inisiatif rencana bisnis.
Memungkinkan organisasi mengintergrasikan antara rencana bisnis dan rencana keuangan
mereka. Balanced scorecard sebagai dasar untuk mengalokasikan sumber daya dan mengatur
mana yang lebih penting untuk diprioritaskan, akan menggerakan kearah tujuan jangka
panjang perusahaan secara menyeluruh.
5. Meningkatkan Umpan Balik dan pembelajaran strategis
Proses keempat ini akan memberikan strategis learning kepada perusahaan. Dengan balanced
scorecard sebagai pusat sistem perusahaan, maka perusahaan melakukan monitoring terhadap
apa yang telah dihasilkan perusahaan dalam jangka pendek.
2.5.1 Empat Perspektif Balanced Scorecard
Balanced scorecard adalah konsep yang mengukur kinerja suatu organisasi dari empat perspektif,
yaitu perspektif finansial, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal, perspektif
pertumbuhan dan pembelajaran. Konsep balanced scorecard ini pada dasarnya merupakan
penerjemahaan strategi dan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam jangka
panjang, yang kemudian diukur dan dimonitoring secara berkelanjutan .
Menurut Kaplan dan Norton (1996), balanced scorecrad memiliki empat perspektif, antara lain :
1. Perspektif Keuangan (Financial Perspective)
2. Balanced scorecard menggunakan tolok ukur kinerja keuangan, seperti laba bersih dan ROI
(Return On Investment), karena tolok ukur tersebut secara umum digunakan dalam organisasi
yang mencari keuntungan atau provit. Tolok ukur keuangan memberikan bahasa umum untuk
menganalisis perusahaan. Orang-orang yang menyediakan dana untuk perusahaan, seperti
lembaga keuangan dan pemegang saham, sangat mengandalkan tolok ukur kinerja keuangan
dalam memutuskan hal yang berhubungan dengan dana.
3. Tolok ukur keuangan yang di design dengan baik dapat memberikan gambaran yang akurat
untuk keberhasilan suatu organisasi. Tolok ukur keuangan adalah penting, akan tetapi tidak
cukup untuk mengarahkan kinerja dalam menciptakan nilai (value). Tolok ukur non
keuangan juga tidak memadai untuk menyatakan angka paling bawah (bottom line).
Balanced scorecard mencari suatu keseimbangan dan tolok ukur kinerja yang multiple-baik
13. keuangan maupun non keuangan untuk mengarahkan kinerja organisasional terhadap
keberhasilan.
4. Perspektif Pelanggan (Customer Perspective)
Perspektif Pelanggan berfokus pada bagaimana organsasi memperhatikan bagaimana
pelanggannya agar berhasil. Mengetahui palanggan dan harapan mereka tidaklah cukup, suatu
organisasi juga harus memberikan insentif kepada manajer dan karyawan yang dapat memenuhi
harapan pelanggan. Bill Mariot mengatakan “Take care of you employee and they take care of
your customer”. Perhatikan karyawan anda dan mereka akan memperhatikan pelanggan anda.
Perusahaan antara lain menggunakan tolok ukur kinerja berikut, pada waktu mempertimbangkan
perspektif pelanggan yaitu :Kepuasan pelanggan (customer satisfaction)
Retensi pelanggan (customer retention)Pangsa pasar (market share)Pelanggan yang profitable
Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Business Process Perspective)Terdapat hubungan
sebab akibat antara perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dengan perspektif bisnis internal
dan proses produksi. Karyawan yang melakukan pekerjaan merupakan sumber ide baru yang
terbaik untuk proses usaha yang lebih baik. Hubungan pemasok adalah kritikal untuk
keberhasilan, khususnya dalam usaha eceran dan perakitan manufacturing.Perusahaan tergantung
pemasok mengirimkan barang dan jasa tepat pada waktunya, dengan harga yang rendah dan
dengan mutu yang tinggi. Perusahaan dapat berhenti berproduksi apabila terjadi problema
dengan pemasok. Pelanggan menilai barang dan jasa yang diterima dapat diandalkan dan tepat
pada waktunya. Pemasok dapat memuaskan pelanggan apabila mereka memegang jumlah
persediaan yang banyak untuk meyakinkan pelanggan bahwa barang –barang yang diminati
tersedia ditangan.Akan tetapi biaya penanganan dan penyimpanan persediaan menjadi tinggi, dan
kemungkinan mengalami keusangan persediaan. Untuk menghindari persediaan yang berlebihan,
alternatif yang mungkin adalah membuat pemasok mengurangi throughput time. Throughput
time adalah total waktu dari waktu pesanan diterima oleh perusahaan sampai dengan pelanggan
menerima produk. Memperpendek throughput time dapat berguna apabila pelanggan
menginginkan barang dan jasa segera mungkin.Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (Learn
and Growth / Infrastucture PerspectiveUntuk tujuan insentif, perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan berfokus pada kemampuan manusia. Manajer bertanggung jawab untuk
mengembangkan kemampuan karyawan. Tolok ukur konci untuk menilai kinerja manajer adalah
kepuasan karyawan, retensi karyawan, dan produktivitas karyawan. Kepuasan karyawan
mengakui bahwa moral karyawan adalah penting untuk memperbaiki produktivitas, mutu,
kepuasan pelanggan, dan ketanggapan terhadap situasi. Manajer dapat mengukur kepuasan
dengan mengirim survei, mewawancara karyawan, mengamati karyawan pada saat
bekerja.Kepuasan karyawan mengakui bahwa karyawan yang mengembangkan modal intelektual
khusus organisasi adalah merupakan aktiva non keuangan yang bernilai bagi perusahaan. Lagi
pula adalah sangat mahal menemukan dan menerima orang yang berbakat untuk menggantikan
orang yang meninggalkan perusahaan. Perputaran karyawan diukur dengan persentase orang
14. yang keluar setiap tahun, hal ini merupakan tolok ukur umum untuk retensi.Produktivitas
karyawan mengakui pentingnya pengeluaran setiap karyawan, pengeluaran dapat diukur dalam
arti tolok ukur fisik seperti halaman yang diproduksi, atau dalam tolok ukur keuangan seperti
pendapatan setiap karyawan, laba setiap karyawan. Suatu sitem insentif yang baik akan
mendorong manajer meningkatkan kepuasan karyawan yang tinggi, perputaran karyawan yang
rendah dan produktivitas karyawan yang tinggi.
2.5.2 Implementasi Balanced Scorecard
Organisasi sangat membutuhkan untuk menerapkan balanced scorecard sebagai satu set
ukuran kinerja yang multi dimensi. Hal ini mencerminkan kebutuhan untuk mengukur semua
bidang kinerja yang penting bagi keberhasilan organisasi. Pendekatan yang paling luas dikenal
sebagai pengukuran kinerja. Balanced scorecard sekarang banyak digunakan sebagai
pengembangan strategi dan sebagai alat eksekusi yang dikembangkan dalam lingkungan
operasional.
Balanced scorecard menerjemahkan visi dan misi serta strategi perusahaan ke dalam
seperangkat ukuran kinerja yang dimengerti (indikator), sehingga strategi dapat dipahami,
dikomunikasikan dan diukur, dengan demikian berfungsi untuk semua kegiatan. Selain itu,
indikator memungkinkan pemantauan tingkat akurasi pelaksanaan strategi (Kaplan dan Norton,
1996). Balanced scorecard telah banyak diterapkan sebagai alat ukur kinerja baik dalam bisnis
manufaktur dan jasa. Penerapannya adalah dengan berfokus pada keempat perspektif Balanced
scorecard.
Pembahasan mengenai pengukuran kinerja dengan menggunakan balanced scorecard
lebih sering dilakukan dalam konteks penerapannya pada perusahaan atau organisasi yang
bertujuan mencari laba (Profit-seeking Organisations). Jarang sekali ada pembahasan mengenai
penerapan balanced scorecard pada organisasi nirlaba (not-for profit organisations) atau
organisasi dengan karakteristik khusus seperti koperasi yang ditandai relational contracting,
yakni saat owner dan consumer adalah orang yang sama, serta dimana mutual benefit anggota
menjadi prioritasnya yang utama (Merchant, 1998). Pada organisasi-organisasi semacam ini
keberhasilan haruslah lebih didasarkan pada kesuksesan pencapaian misi secara luas daripada
sekedar perolehan keuntungan.
Pengukuran aspek keuangan ternyata tidak mampu menangkap aktivitas-aktivitas yang
menciptakan nilai (value-creating activities) dari aktiva-aktiva tidak berwujud seperti :
1. Keterampilan, kompetensi, dan motivasi para pegawai
2. Database dan teknologi informasi
3. Proses operasi yang efisien dan responsif
4. Inovasi dalam produk dan jasa
5. Hubungan dan kesetiaan pelanggan, serta
6. Adanya dukungan politis, peraturan perundang-undangan, dan dari masyarakat (Kaplan dan
Norton, 2000).
Dengan Balanced scorecard para manajer perusahaan akan mampu mengukur bagaimana unit
bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan tetap mempertimbangkan kepentingan-
15. kepentingan masa yang akan datang. Balanced scorecard memungkinkan untuk mengukur apa
yang telah diinvestasikan dalam pengembangan sumber daya manusia, sistem dan prosedur,
demi kebaikan kinerja di masa depan. Melalui metode yang sama dapat di nilai pula apa yang
telah dibina dalam intangible assets seperti merk dan loyalitas pelanggan
2.5.3 Analisis dan Pembahasan Aplikasi Balanced Scorecard
Dalam penelitian Balanced Scorecard Sebagai Alat Pengukuran Kinerja Manajemen (
Studi Kasus Pada PT Sari Husada ). Irwan Susanto, Abdullah Taman dan Sukirno
mengemukakan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur kinerja manajemen PT Sari
Husada dengan metode balanced scorecard, yaitu pada empat perspektif kinerja balanced
scorecard, dan hubungan antar perspektif dalam membentuk kinerja manajemen secara
komprehensif.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, menggunakan metode survei dengan
teknik ex post facto, yakni hanya mencari data yang ada tanpa memberi perlakuan atau
manipulasi variabel maupun subjek yang diteliti. Analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif dan sasaran dari penelitian ini adalah mencari atau menggambarkan fakta secara
faktual tentang pengendalian manajemen dan efektivitas kinerja dengan menggunakan metode
balanced scorecard.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari strategi PT Sari Husada dengan dua strategi
yaitu strategi produksi dan strategi pemasaran cukup berhasil dalam meningkatkan kinerja
perusahaan dalam empat perspektif balanced scorecard. Ukuran kinerja balanced scorecard tahun
2000 dan 2001 dari perspektif keuangan cukup baik dengan meningkatnya nilai ROI sebesar
2,41 % (tumbuh 7,7 %) dan ROE sebesar 4,3 % (tumbuh 15 %).
Peningkatan tersebut dipicu pertumbuhan pendapatan yang lebih besar daripada
pertumbuhan biaya. Demikian pula pertumbuhan nilai kas perusahaan meningkat pada tahun
2001 daripada tahun 2000 sebagai wujud peningkatan kinerja keuangan perusahaan dalam
pengelolaan kas. Dari perspektif konsumen, kinerja PT Sari Husada cukup baik dengan
sedikitnya keluhan yang masuk dan banyak umpan balik serta hubungan baik dengan konsumen
terbukti adanya konsultasi dari konsumen kepada perusahaan. Loyalitas konsumen cukup baik
dengan dipertahankannya pangsa pasar 50 – 60 % dari total produsen makanan bayi di Indonesia.
Perspektif proses bisnis internal cukup baik dengan adanya inovasi produk baru walaupun
intensitas untuk tahun 2001 lebih kecil daripada tahun 2000.
Peralatan baru juga mengalami pertumbuhan dengan meningkatnya jumlah anggaran
yang dihabiskan lebih besar di banding tahun 2000. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
mengemukakan kinerja yang cukup baik tercermin dari berkurangnya jumlah karyawan pada
tahun 2001 yang diindikasikan bahwa terjadi pengoptimalan terhadap sumber daya yang ada.
Jumlah pelatihan yang diselenggarakan bertambah dari 91 buah pelatihan menjadi 98 pelatihan
walaupun jumlah peserta menurun dari tahun 2000.
Dengan Balanced scorecard para manajer perusahaan akan mampu mengukur bagaimana
unit bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan tetap mempertimbangkan
kepentingan-kepentingan masa yang akan datang. Balanced scorecard memungkinkan untuk
16. mengukur apa yang telah diinvestasikan dalam pengembangan sumber daya manusia, sistem dan
prosedur, demi kebaikan kinerja di masa depan.
17. BAB III
MOTIVASI DAN KEPUASAN KERJA
3.1. Pengertian Motivasi Kerja
Menurut Luthan (1992) Motivasi berasal dari kata latin movere, artinya “bergerak”. Motivasi
merupakan suatu proses yang dimulai dengan adanya kekurangan psikologis atau kebutuhan
yang menimbulkan suatu dorongan dengan maksud mencapai suatu tujuan atau insentif.
Pengertian proses motivasi ini dapat dipahami melalui hubungan antara kebutuhan, dorongan dan
insentif (tujuan). Motivasi dalam dunia kerja adalahsuatu yang dapat menimbulkan semangat
atau dorongan kerja. Menurut As’ad (2004) motivasi kerja dalam psikologi karya biasa disebut
pendorong semangat kerja. Kuat dan lemahnya motivasi seseorang tenaga kerja ikut menentukan
besar kecilnya prestasinya.
Menurut Munandar (2001) motivasi kerja memiliki hubungan dengan prestasi kerja. Prestasi
kerja adalah hasil dari interaksi anatar motivasi kerja, kemampuan, dan peluang.
Bila kerja rendah, maka prestasi kerja akan rendah meskipun kemampuannya ada dan baik, serta
memiliki peluang. Motivasi kerja seseorang dapat bersifat proaktif atau reaktif. Pada motivasi
yang proaktif seseorang akan berusaha meningkatkan kemampuan-kemampuannya sesuai
dengan yang dituntut oleh pekerjaanya atau akan berusaha untuk mencari, menemukan atau
menciptakan peluang dimana ia akan menggunakan kemampuan-kemampuannya untuk dapat
berprestasi tinggi. Sebaliknya motivasi yang bersifat reaktif cenderung menunggu upaya ata
tawaran dari lingkunganya
Menurut Martoyo (2000) motivasi kerja adalah suatu yang menimbulkan dorongan atau
semangat kerja. Menurut Gitosudarmo dan Mulyono (1999) motivasi adalah suatu faktor yang
mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan atau kegiatan tertentu, oleh karena itu
motivasi sering kali diartikan pula sebagai faktor pendorong perilaku seseorang. Motivasi dan
dorongan kepada karyawan untuk bersedia bekerja bersama demi tercapainya tujuan bersama ini
terdapat dua macam yaitu :
1. Motivasi Finansial dorongan yang dilakukan dengan memberikan imbalan finansial
kepada karyawan.
2. Motivasi nonfinansial dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk finansial/uang, akan
tetapi berupa hal-hal seperti penghargaan, pendekatan manusia dan lain – lain.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang
mendorong dilakukannya suatu tindakan (action atau activities)dan memberikan kekuatan
yang mengarahkan kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurai
ketidakseimbangan.
18. 2.2. KEPUASAN KERJA
Dikemukan oleh Robbin (2001) bahwa kepuasan kerja adalah sikap yang umum terhadap
suatu pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja
dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Pendapat lain bahwa
kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang dimiliki oleh para individu sehubungan dengan
jabatan atau pekerjaan mereka (Winardi,1992). Selain itu pendapat Indrawidjaja (2000)
bahwa kepuasan kerja secar umum menyangkut berbagai hal seperti kognisi, emosi, dan
kecenderungan perilaku seseorang. Adapun yang menentukan kepuasan kerja adalah :
Kerja yang secara mental menantang pegawai yang cenderung menyukai pekerjaan yang
memberikan kesempatan menggunakan keterampilan dan kemampuan dalam bekerja
Gagasan yang pantas pegawai menginginkan sistem upah/gaji dan kebijakan promosi yang
asil, tidak meragukan san sesuai dengan pengharapan mereka.
Kondisi kerja mendukung pegawai peduli lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi
maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik
Rekan sekerja yang mendukung adanya interaksi sosial antara sesama pegawai yang saling
mendukung meningkatkan kepuasan kerja
Jangan melupakan kesesuaian antara kepribadian pekerjaan, Holand dalam Robbin (2001)
mengungkapkan bahwa kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang pegawai dan
pengharapan akan menghasilkan individual yang lebih terpuaskan
Ada dalam gen bahwa 30% dari kepuasan individual dapat dijelaskan oelh keturunan.
Dalam mengelola personalia (Kepegawaian) harus senantiasa memonitor kepuasan kerja,
karena hal itu mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja,
keluhan dan masalah personalia vital lainnya (Handoko,2000). Oleh karena itu fungsi
personalia emmpunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung, selain itu berbagai
kebijakan dalam kegiatan personalia berdampak pada iklim organisasi memberikan suatu
lingkungan kerja yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan bagi anggota
organisasiyang akhirnya memenuhi kepuasan kerja anggota organisasi.
3.4. Teori – teori tentang Motivasi Kerja
Adapun ulasan teorinya adalah sebagai berikut :
a. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow
Menurut teori Maslow, setiap kebutuhan harus dipenuhi sebelum memotivasi perilaku
berikutnya; dalam situasi kerja, ini berarti bahwa orang-orang mengerahkan usaha untuk mengisi
kepuasan kebutuhan yang terendah.
1. Physiological needs (kebutuhan bersifat biologis) suatu kebutuhan yang sangat
mendasar. Contohnya: kita memerlukan makan, air, dan udara untuk hidup. Kebutuhan
ini merupakan kebutuhan yang sangat primer, karena kebutuhan ini telah ada sejak lahir.
Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka individu berhenti eksistensinya.
2. Safety needs (kebutuhan rasa aman) kebutuhan untuk merasa aman baik secara fisik
maupun psikologis dari gangguan. Apabila kebutuhan ini diterapkan dalam dunia kerja
maka individu membutuhkan keamanan jiwanya ketika bekerja.
19. 3. Social needs (kebutuhan-kebutuhan sosial) Manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial, sehingga mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan sosial
4. Esteem needs (kebutuhan akan harga diri) Penghargaan meliputi faktor internal,
sebagai contoh, harga diri, kepercayaan diri, otonomi, dan prestasi; dan faktor eksternal.
Dalam dunia kerja, kebutuhan harga diri dapat terungkap dalam keinginan untuk dipuji
dan keinginan untuk diakui prestasi kerjanya.
5. Self Actualization Kebutuhan akan aktualisasi diri, termasuk kemampuan berkembang,
kemampuan mencapai sesuatu, kemampuan mencukupi diri sendiri. pada tingkatan ini,
contohnya karyawan cenderung untuk selalu mengembangkan diri dan berbuat yang
terbaik.Teori Maslow telah dipublikasikan lebih dari setengah abad yang.Itu adalah
penelitian yang cukup menarik minat pada saat itu, namun ketertarikan ini hampir
seluruhnya mati beberapa tahun lalu disebabkan adanya nonsupport untuk proposisi
dasar.Di antara praktisi manajer, mahasiswa, dan banyak konsultan manajemen,
bagaimanapun, "segitiga Maslow" telah sangat influental.
b. Teori ERG Alderfer
Sebuah teori motivasi kerja didasarkan pada hirarki kebutuhan Maslow, tetapi menggabungkan
perubahan penting, diusulkan oleh Alderfer. Teori ERG mengadakan hipotesis tiga set kebutuhan
mulai dari yang paling tinggi ke paling konkret (dasar).
Existence (E)merupakan kebutuhan akan substansi material, seperti keinginan untuk
memperoleh makanan, air, perumahan, uang, mebel, dan mobil. Kebutuhan ini merupakan
kebutuhan fisiological dan rasa aman dari Maslow.
Relatedness (R)merupakan kebutuhan untuk memelihara hubungan antarpribadi yang penting.
Individu berkeinginan untuk berkomunikasi secara terbuka dengan orang lain yang dianggap
penting dalam kehidupan mereka dan mempunyai hubungan yang bermakna dengan keluarga,
teman dan rekan kerja. Growth (G) merupakan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki seseorang
untuk mengembangkan kecakapan mereka secara penuh. Selain kebutuhan aktualisasi, juga
termasuk bagian intrinsik dari kebutuhan harga diri Maslow.
Menurut ERG Theory, jika upaya untuk memenuhi kebutuhan pada satu level itu secara terus
menerus mengalami frustasi, individu mungkin mengalami kemunduran (jatuh lagi) kepada
perilaku kebutuhan yang lebih konkret.
c. Teori Dua Faktor Herzberg
Penelitian Herzberg menghasilkan dua kesimpulan khusus mengenai teori tersebut yaitu:
1. Serangkaian kondisi ekstrinsik kondisi kerja ekstrinsik seperti upah dan kondisi kerja
tersebut bersifat ekstren tehadap pekerjaan sepeti: jaminan status, prosedur, perusahaan,
mutu supervisi dan mutu hubungan antara pribadi diantara rekan kerja, atasan dengan
bawahan.
2. Serangkaian kondisi intrinsik kondisi kerja intrinsik seperti tantangan pekerjaan atau
rasa berprestasi, melakukan pekerjaan yang baik, terbentuk dalam pekerjaan itu sendiri.
Faktor-faktor dari rangkaian kondisi intrinsik dsebut pemuas atau motivator yang
20. meliputi: prestasi (achivement), pengakuan (recognation), tanggung jawab
(responsibility), kemajuan (advencement), dan kemungkinan berkembang (the possibility
of growth).
d. Teori Motivasi Berprestasi McClelland
Menurut David McClelland (dalam Anoraga & Suyati, 1995) ada tiga macam motif atau
kebutuhan yang relevan dengan situasi kerja, yaitu:
1. The need for achievement (nAch), yaitu kebutuhan untuk berprestasi, untuk mencapai
sukses.
2. The need for power (nPow), kebutuhan untuk dapat memerintah orang lain.
3. The need for affiliation (nAff), kebutuhan akan kawan, hubungan akrab antar pribadi.
Karyawan yang memiliki nAch tinggi lebih senang menghadapi tantangan untuk berprestasi dari
pada imbalannya. Perilaku diarahkan ke tujuan dengan kesukaran menengah. Karyawan yang
memiliki nPow tinggi, punya semangat kompetisi lebih pada jabatan dari pada prestasi. Ia adalah
tipe seorang yang senang apabila diberi jabatan yang dapat memerintah orang lain. Sedangkan
pada karyawan yang memiliki nAff tinggi, kurang kompetitif. Mereka lebih senang berkawan,
kooperatif dan hubungan antar personal yang akrab.
3.5. Teori Kognitif Motivasi Kerja
a. Teori Penetapan Tujuan
Teori ini dikemukakan oleh Locke (dalam Berry, 1998). Locke berpendapat bahwa maksud-
maksud untuk bekerja kearah suatu tujuan merupakan sumber utama dari motivasi kerja. Artinya,
tujuan memberitahukan karyawan apa yang perlu dikerjakan dan betapa banyak upaya akan
dihabiskan.
Lima komponen dasar tujuan untuk meningkatkan tingkat motivasi karyawan, yaitu:
1. tujuan harus jelas (misalnya jumlah unit yang harus diselesaikan)
2. tujuan harus mempunyai tingkat kesulitan menengah sampai tinggi
3. karyawan harus menerima tujuan itu
4. karyawan harus menerima umpan balik mengenai kemajuannya dalam usaha mencapai
tujuan tersebut
5. tujuan yang ditentukan secara partisipasif lebih baik dari pada tujuan yang ditentukan begitu
saja.
b. Teori Keadilan (Equilty Theory)
Teori keadilan dari Adam menunjukkan bagaimana upah dapat memotivasi. Individu dalam
dunia kerja akan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Apabila terdapat
ketidakwajaran akan mempengaruhi tingkat usahanya untuk bekerja dengan baik. Ia membuat
perbandingan sosial dengan orang lain dalam pekerjaan yang dapat menyebabkan mereka merasa
dibayar wajar atau tidak wajar. Perasaan ketidakadilan mengakibatkan perubahan kinerja.
Menurut Adam, bahwa keadaan tegangan negatif akan memberikan motivasi untuk melakukan
sesuatu dalam mengoreksinya.
21. 3.6. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Motivasi dan Kepuasan Kerja
Adapun yang menjadi faktornya adalah sebagai berikut :
a. Pekerja itu sendiri( Work It Self) setiap pekerjaan memerlukan suatu
keterampilan tertentu sesuai dengan bidangnya masing-masing
b. Atasan (Supervisor) atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan
bawahannya
c. Teman sekerja (Workers)faktor yang menghubungkan pegawai dengan pegawai
atau pegawai dengan atasannya, baik yang sama ataupun yang beda pekerjaannya
d. Promosi (Promotion) faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya
kesempatan untuk memperoleh peningkatan karier selam bekerja
e. Gaji/upah (Pay) aktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap
layak atau tidak
22. BAB IV
MENGELOLA POTENSI KECERDASAN DAN EMOSIONAL SDM
4.1 Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional atau hati (Emotional Quotient, EQ) : Kemampuan untuk mengenal diri
sendiri, kesadaran diri, kepekaan sosial, empati dan kemampauan untuk berkomunikasi secara
baik dengan orang lain. Termasuk kepekaan mengenai waktu yang tepat, kepatutan secara sosial,
keberanian mengakui kelemahan, serta menyatakan dan menghormati perbedaan.
Emotional Quotient (EQ) merupakan kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif
menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh
yang manusiawi (Cooper dan Sawaf, dalam Armansyah, 2002). Peter Salovey dan Jack Mayer
(dalam Armansyah, 2002) mendefenisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami
perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu
perkembangan emosi dan intelektual.Goleman (Armansyah, 2002) mempopulerkan pendapat
para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi secara
aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang
konvensional tersebut. Ia menyebutnya dengan istilah kecerdasan emosional dan
mengkaitkannya dengan kemampuan untuk mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk
mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut, kemampuan untuk berempati,
dan lain-lain. Jika kita tidak mampu mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan
mampu untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif.
Penelitian tentang EQ dengan menggunakan instrumen BarOn EQ-i membagi EQ ke dalam
lima skala: Skala intrapersonal: penghargaan diri, emosional kesadaran diri, ketegasan,
kebebasan, aktualisasi diri; Skala interpersonal: empati, pertanggungjawaban sosial, hubungan
interpersonal; Skala kemampuan penyesuaian diri: tes kenyataan, flexibilitas, pemecahan
masalah; Skala manajemen stress: daya tahan stress, kontrol impuls (gerak hati); Skala suasana
hati umum: optimisme, kebahagiaan (Stein dan Book, dalam Armansyah, 2002). Spiritual
Quotient (SQ) adalah aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses
berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna Zohar dan Marshal, dalam Armansyah,
2002). Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini dalam pandangan Danah Zohar dan Ian Marshal
meliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri,
fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang sesuatu secara holistik, serta
berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya,
dan lain-lain.Bagi Danah Zohar dan Ian Marshal spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan
kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab menurutnya seorang humanis ataupun
23. atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Hal ini berbeda dengan pandangan Ary Ginanjar
Agustian (2001) bahwa penemuan tentang SQ ini justru telah membuktikan kebenaran agama
Islam tentang konsep fitrah sebagai pusat spiritualitas. Dalam kajian Zohar dan Marshal, pusat
spiritualitas secara neuro-biologis disebut God Spot yang terletak pada bagian kanan depan otak.
God Spot ini akan bersinar saat terjadi aktivitas spiritual. Dalam konsep Islam, God Spot itu
diasosiakan dengan nurani, mata hati atau fitrah. Fitrah adalah pusat pengendali kebenaran yang
secara built-in ada pada diri manusia yang dihunjamkan oleh Allah SWT pada jiwa manusia pada
saat perjanjian primordial (QS. al-A’raf : 179).
Pada tahun 1995an, berdasar berbagai hasil penelitian para pakar Psikologi dan Neurologi,
Daniel Goleman mempopulerkan konsep Kecerdasan Emosional atau populer dengan singkatan
EQ. Konsep ini menyatakan bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan
rasional atau intelektual; bahkan dalam kehidupan sosial EQ bisa lebih berperan dibanding IQ
4.2. Kecerdasan Spiritual
Spiritual adalah keyakinan yang berhubungan dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta,
contohnya seseorang yang percaya kepada Allah sebagai pencipta atau Penguasa (Achir Yani
S.Hamid 1999).
Spiritual adalah keyakinan atau hubungan dengan suatu kekuatan yang paling tinggi, kekuatan
kreatif, makhluk yang berketuhanan, atau sumber keterbatasan enegi (Ozier, Erb, Blais &
Wilkinson, 1995).
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan dengan suatu kekuatan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk
mendapatkan pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan
(Carson, 1089).
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengna dunia
luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress
emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia.
(Kozie, Eerb.Blais & Wilkinson, 1995; Murray & Zentner, 1993).
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
menarik makna dari setiap kejadian yang dialaminya.
Disaat EQ masih hangat dalam pembicaraan para ahli atau praktisi, pada awal tahun 2000-an,
Danah Zohar dan Ian Marshal mengungkapkan ada kecerdasan lain yang lebih paripurna yaitu
Spiritual Quotient (SQ). Mereka merangkum berbagai penelitian sekaligus menyajikan model
SQ sebagai kecerdasan paripurna (Ultimate Intellegence).
24. Akan tetapi, SQ yang dikenalkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshal belum menyentuh aspek
ketuhanan dalam kaitannya dengan nilai-nilai agama. Aktivitas spiritual tersebut dapat juga
dilakukan oleh seorang Atheis dalam bentuk kontemplasi atau perenungan tentang makna hidup
atau sering juga disebut meditasi. Pada tahun 2001, Ary Ginanjar Agustian memberikan sentuhan
spiritualitas Islam pada IQ, EQ, dan SQ dalam bukunya, “Rahasia sukses membangun
kecerdasan emosi dan spiritual berdasarkan 6 rukun Iman dan 5 rukun Islam”. Ary Ginanjar
Agustian menyatakan bahwa IQ baru sebagai syarat perlu tetapi tidak cukup untuk meraih
kesuksesan. Sementara EQ yang dipahami hanya sebatas hubungan antar manusia. Sementara
SQ sering dipahami sebagai sikap menghindar dari kehidupan dunia.
Hal ini mengakibatkan lahirnya manusia yang berorientasi pada dunia dan di sisi lain ada
manusia yang lari dari permasalahan dunia untuk menemukan kehidupan yang damai. Dalam
Islam kehidupan dunia dan akhirat harus terintegrasi dalam pikiran, sikap dan perilaku seorang
muslim.
4.3. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan pikiran atau mental (Intelligence Quotient (IQ) : Kemampuan manusia untuk
menganalisis, berpikir, dan menentukan hubungan sebab-akibat, berpikir secara abstrak,
menggunakan bahasa, memvisualisasikan sesuatu dan memahami sesuatu.
Kecerdasan intelektual atau sering disebut dengan istilah IQ (intelligence quotient) sempat
dimitoskan sebagai satu-satunya kriteria kecerdasan manusia. Adalah Sir Francis Galton
ilmuwan yang memelopori studi IQ dengan mengembangkan tes sensori (1883). Galton
berpendapat bahwa makin bagus sensori seseorang makin cerdas dia. Dalam bukunya Heredity
Genius (1869) yang kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet dan Simon. Dengan kecerdasan
intelektual atau rasional kita mampu memahami, menganalisa, membandingkan, dan mengambil
hikmah dari setiap masalah, peristiwa, dan kejadian yang terjadi pada masa lalu, saat ini, dan
masa yang akan datang. Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya kita menggunakan cara
berpikir seperti ini. Bahkan konon, perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat sebagian
besar terjadi karena berfungsinya secara optimal cara berpikir rasional. IQ pada umumnya
mengukur kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat (memory), daya
nalar (reasoning), perbendaharaan kata, dan pemecahan masalah. Mitos ini dipatahkan oleh
Daniel Goleman yang memperkenalkan kecerdasan emosional atau disingkat EQ (emotional
quotient) dalam bukunya Working with Emotional Intelligence (1990) dengan menunjukkan
bukti empirik dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa orang-orang yang IQnya tinggi
tidak terjamin hidupnya akan sukses. Sebaliknya orang yang memiliki EQ tinggi, banyak yang
menempati posisi kunci di dunia eksekutif. Asumsi ini diperkuat oleh Danah Zohar, sarjana
fisika dan filsafat di MIT (Massachussetts Institute of Technology) yang memelopori munculnya
kecerdasan spiritual atau disingkat SQ (spiritual quotient) dalam bukunya Spiritual Intelligence –
The Ultimate Intelligence (2000)
25. BAB V
MEMBANGUN KAPABILITAS DAN KOMPETENSI SDM
5.1. Pengertian dan sumber keunggulan kompetitif
Barney (1991) mengemukakan empat kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu sumber daya
dapat disebut sebagai sumber keunggulan kompetitif berkelanjutan sebagai berikut:
merupakan sumber daya organisasional yang sangat berharga (valuable), terutama dalam
kaitannya dengan kemampuan untuk mengeksploitasi kesempatan dan atau menetralisasi
ancaman dari lingkungan perusahaan.
relative sulit untuk dikembangkan, sehingga menjadi langka di lingkungan kompetitif.
sangat sulit untuk ditiru atau diimitasi.
tidak dapat dengan muddah digantikan substitute yang secara strategis signifikan.
masalahnya adalah bagaimana “menterjemahkan” berbagai strategi, kebijakan dan
praktik MSDM menjadi keunggulan kompetitif berkelanjutan.
5.2.Membangun kapabilitas sumber daya manusia
Modal manusia dalam organisasi sangat berharga karena kemampuan yang dimiliki dari manusia
Sebagai bagian dari peran strategis, manajer SDM sering dipandang bertanggung jawab untuk
memperluas kemampuan sumber daya manusia dalam sebuah organisasi. Dewasa ini penekanan
tersebut difokuskan pada kompetensi karyawan dalam organisasi demi kebutuhan organisasi
untuk tumbuh dimasa depan. manajemen SDM harus memimpin dalam mengembangkan
kompetensi yang dimiliki karyawan dalam beberapa cara. Pertama, kemampuan yang diperlukan
harus diidentifikasi dan dikaitkan dengan kerja dalam organisasi. identifikasi ini sering
memerlukan kerjasama aktif antara profesional HR dan manajer operasional. Selanjutnya,
penilaian terhadap kemampuan setiap karyawan. Pendekatan ini mensyaratkan bahwa perlunya
identifikasi pemahaman kompetensi secara mendalam. Misalnya, dalam perusahaan dengan 100
karyawan, direktur HR mengembangkan rencana karir dan grafik suksesi untuk menentukan
apakah perusahaan memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk mengoperasikan dan
mengelola pertumbuhan serta mengharapkan peningkatan sebesar 70% selama empat tahun
mendatang. Setelah perbandingan kesenjangan "antara kemampuan yang diperlukan dalam
organisasi dan kompentensi i karyawan diidentifikasi, kemudian langkah selanjutnya adalah
membangun dan merancang pelatihan dan kegiatan . Fokus dalam memberikan bimbingan
kepada seluruh karyawan dan menciptakan kesadaran tentang kemungkinan pertumbuhan karir
dalam organisasi. Kepada seluruh pegawai diharapkan, terus meningkatkan kemampuan mereka
26. dan mengetahui bahwa ada peluang pertumbuhan dalam organisasi yang dapat mengakibatkan
kepuasan kerja yang lebih besar dan lebih lama kerja dengan organisasi tersebut.
5.3.Kompetensi SDM berkarier di Bidang Sumber Daya Manusia
Menurut Covey, Roger dan Rebecca Merrill (1994), kompetensi tersebut mencakup:
a. Kompetensi teknis : pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil- hasil yang telah
disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif- alternatif
baru
b. Kompetensi Konseptual: kemampuan untuk melihat gambar besar, untuk menguji
berbagai pengandaian dan pengubah prespektif
c. Kompetensi untuk hidup : dan saling ketergantungan kemampuan secara efektif dengan
orang lain, termasuk kemampuan untuk mendengar, berkomunikasi, mendapat alternatif
ketiga.
27. BAB VI
KONSEP AUDIT KINERJA DAN PELAKSANAAN AUDIT KINERJA
6.1 Penjelasan audit kinerja
Audit kinerja dapat dilaksanakan oleh external auditor maupun internal auditor. Sesuai
amanat UU No. 15 Tahun 2004 dan PP No. 60 Tahun 2008. UU No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara memberikan mandat dan
kewenangan kepada BPK – sebagai lembaga pemeriksa eksternal – untuk melaksanakan audit
kinerja. Di sisi lain, PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah juga
memberikan kewenangan pada Aparat Pengawas Intern Pemerintah untuk melaksanakan audit
kinerja, sebagai suatu bentuk pengawasan. Dengan demikian, auditor eksternal dan auditor
internal perlu berkoordinasi dalam melaksanakan audit kinerja. Jangan sampai terjadi
overlapping. Keduanya harus menjaga hubungan dan komunikasi yang harmonis agar tercipta
konfigurasi audit kinerja yang baik.
Audit kinerja. Audit kinerja saat ini merupakan genderang perang bagi Kementerian dan
lembaga setelah keluan Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Kementerian dan Lembaga
Pemerintah sangat komitmennya untuk meningkatkan praktik dan kapasitasnya di bidang audit
kinerja. Bagaimana perkembangan audit sektor publik? Apa manfaat yang bisa diperoleh?
Bagaimana Pendekatan digunakan? Setelah pemerintah mengeluarkan UU KIP No 14 Tahun
2008 serta memuat dalalembaran negara Republik Indonesia. Masyarakat berkeingan
mengetahui sejauman uang negara yang berasl dari sektor pajak yang dibayar warga negara
Republik Indonesia yang taat pajak apakah dikelola dengan baik Dalam arti, apakah uang negara
digunakan untuk memperoleh sumber daya dengan hemat (spend less), digunakan secara efisien
(spend well), serta dapat memberikan hasil optimal yang membawa manfaat bagi masyarakat
(spend wisely).
Audit kinerja merupakan metamorfosis dari audit intern (internal audit) yang kemudian
berkembang menjadi audit operasional (operational audit) dan selanjutnya menjadi audit
manajemen (management audit). Audit manajemen berfokus pada penilaian aspek ekonomi dan
efisiensi. Audit manajemen kemudian dilengkapi dengan audit program (program audit) yang
bertujuan untuk menilai efektivitas. Koalisi antara audit manajemen dan audit program inilah
yang disebut sebagai audit kinerja (performance audit).
Audit kinerja merupakan salah satu jenis audit yang dilakukan sebagai pengembangan
diri audit keuangan. Audit kinerja untuk menilai tingkat keberhasilan kinerja suatu
Kementerian/Lembaga Pemerintah, untuk memastikan sesuai atau tidaknya sasaran yang
kegiatan yang menggunakan anggaran. Oleh karena audit kinerja (performence audit merupakan
28. perluasan dari audit keuangan yang meliputi : ekonomi, efisien dan efektifitas, maka auditor
yang akan melaksanakan kegiatan harus memperoleh informasi tentan organisasi, meliputi
struktur organisasi, prosedur kerja dan sistem informasi dan pelaporan keuangan dan kegiatan
kepada manajemen.
6.2. Manfaat Audit Kinerja,
Audit kinerja dalam pelaksanaannya dapat mengidentifikasi berbagai masalah yang
menuntut adanya pemeriksaan lebih rinci antara lain :
1. Pengukuran standar atu penetapan penjabaran tujuan oleh manajemen dalam pengukuran
hasil kerja, produktifitas, efisiensi, atau penggunaan barang/jasa yang kurang tepat.
2. Tiadanya kejelasan prosedur tertulis atau prosedur berbelitbelit, sehingga bisa ditafsirkan
salah atau tidak konsiten dan menambah pelayanan menjadi lama.
3. Personil yang kurang cakap, sehingga menimbulkan kelambatan dan kekurangan lainnya,
termasuk kegagalan menerima tanggung jawab yang besar
4. Beberapa pekerjaan duplikasi atau tumpang tindih, sehingga terjadi pemborosan dan
saling lempar tanggung jawab.
5. Anggaran yang dipakai tidak tepat sasaran
6. Pola pembiyaan yang terlalu mewah kurang bermanfaat tidak efisien.
7. Penggunaan pekerjaan tertangguh, menumpuk dan penyelesaian terlambat.
8. Banyak pekerja terlalu besar, koordinasi buruk dan personil banyak tidak punya tugas
9. Pengorganisasian terlau besar, koordinasi buruk dan personil banyak tidak punya tugas
10. Pengadaan barang terlalu banyak dengan harga mahal persedian menumpuk. Dengan
adanya audit kinerja seperti diatas segera dapat dihindari. Masalah diatas dapat diuji dan
dianalisis serta dicari solosi agar kedepan kondisi lebih baik, maka audit kinerja sangat
bermanfaat bagi Kementerian/Lembaga
11. Kehati-hati/kewaspadaan dan kebijakan yang tepat dalam penggunaan sumber daya
dengan selalu membandingkan berbagai alternatif biaya dengan manfaatnya
12. Kesadaran biaya para pejabat eksekutif yang cukup tinggi dalam pengunaan
dana/anggaran
13. Kesadaran biaya para pejabat dalam melakasanakan berbagai pekerjaan/prosedur
14. Perencanaan akan semakin baik dengan terarah dan terpadu
15. Para pengawai akan semakinkompeten, rajin dan disiplin
16. Prsedur menjadi sederhana dan efisien, tepi aman, sehingga pelaksanaan yang lancer
17. Supervisi kinerja para pejabat akan semakinefektif
18. Ketidakkompetenan, ketikberean, pemborosan, ketikefesienan dan kecurangan akan
mudah terdeteksi.
6.2.1. Kesimpulan
Pemeriksaan manajemen pada dasarnya sama dengan pemeriksaan keuangan
Prosedur/teknik pemeriksaan yang diterapkan pada umumnya sama hanya persepsi, kerangka
berpikir, pendekatan dan ruang lingkupnya saja yang berlainan. Audit kinerja bermanfaat untuk
29. membantu pimpinan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, serta memberikan
informasi yang bermutu, tepat waktu untuk pengambilan keputusan, dalam rangka pencapaian
tujuan yaitu efesiensi dan efektif
6.3. Prosedur dan Pelaksanaan Audit Kinerja
6.3.1 Prosedur
Secara umum, prosedur pelaksanaan audit adalah sebagai berikut:
1. Persiapan Audit Kinerja
2. Pengujian Pengendalian Manajemen
3. Pengukuran dan Pengujian Key Performance Indicator (KPI) atau yang disebut
Indikator Kinerja Kunci (IKK).
4. Review Operasional
5. Pembuatan Kertas Kerja Audit (KKA)
6. Pelaporan
7. Pemantauan Tindak Lanjut
Deskripsi Prosedur Pelaksanaan Audit Kinerja BUMN/BUMD
1. Perencanaan Audit Kinerja
Dalam Pedoman Pelaksanaan Audit Kinerja, Perencanaan audit merupakan langkah
penting yang dilakukan untuk memenuhi standar audit. Dalam perencanaan audit perlu
memperhatikan perkiraan waktu dan petugas audit, selain itu juga mempertimbangkan
perencanaan lainnya yang meliputi:
a. Sumber dan cara memperoleh informasi yang cukup mengenai auditan
b. Hasil audit yang diperoleh pada tahap sebelumnya.
2. Prosedur Pelaksanaan Audit Kinerja
Pengertian Prosedur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 703) adalah tahap-
tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas.
Menurut Setyawan (1988: 35), prosedur adalah langkah-langkah yang harus dilaksanakan
guna mencapai tujuan pemeriksaan. Pelaksanaan Audit Kinerja oleh kantor akan
berdasarkan prosedur yang terdiri dari tahapan Audit Kinerja yang menguraikan tentang
bagaimana langkah kerja Audit Kinerja itu dilakukan.
A. Persiapan Audit Kinerja
Dalam tahap ini dilakukan kegiatan-kegiatan yang merupakan tahap awal dari rangkaian
Audit Kinerja sebagai dasar penyusunan Program Kerja Audit Tahap berikutnya. Tahap
ini meliputi:
a. Pembicaraan pendahuluan dengan auditan
30. b. Pengumpulan informasi umum dalam pengenalan terhadap kegiatan yang diaudit
c. Pengidentifikasian aspek manajemen atau bidang masalah yang menunjukkan
kelemahan dan perlu dilakukan pengujian lebih lanjut.
d. Pembuatan ikhtisar hasil persiapan Audit Kinerja.
Dalam pengumpulan informasi kegiatan persiapan Audit Kinerja mencakup:
1. Organisasi
2. Peraturan perundangan yang berlaku
3. Tujuan, Visi, Misi, sasaran, strategi dan kegiatan usaha
4. Sistem dan prosedur
5. Data keuangan
6. Informasi lainnya yang relevan
Simpulan Hasil Persiapan Audit Kinerja yang disusun setelah kegiatan persiapan Audit
Kinerja selesai. Simpulan hasil Audit Kinerja ini antara lain meliputi mengenai
kelemahan-kelemahan yang harus dikembangkan lebih lanjut dalam tahap audit
berikutnya. Dari simpulan tersebut dibuat program audit tahap pengujian pengendalian
manajemen. (Deputi Bidang Akuntan Negara, 2001: 8-15).
B. Pengujian Pengendalian Manajemen
Pada tahap ini harus dilakukan pengujian atas:
1. Sistem pengendalian manajemen
2. Penerapan good cooperate governance (GCG) oleh manajemen auditan dan jajarannya
Pengendalian manajemen adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris,
manajemen dan personil lain dalam perusahaan yang dirancang untuk memberikan
keyakinan memadai tentang pencapaian tiga kelompok tujuan utama yaitu:
a) Efektivitas dan efisiensi operasi
b) Keandalan pelaporan keuangan
c) Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
Dalam Pengujian penerapan Good Cooperate Governance (GCG) oleh manajemen,
Auditor wajib melakukan pengujian penerapan prinsip-prinsip GCG oleh manajemen
dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Prinsip dasar GCG yang harus diterapkan oleh manajemen auditan sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002
adalah sebagai berikut:
1.Transparansi dalam mengemukakan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan
2. Kemandirian
3. Akuntabilitas
4. Pertanggungjawaban
5. Kewajaran
31. b. Dalam melakukan pengujian penerapan GCG oleh manajemen, auditor minimal perlu
memanfaatkan dan mengembangkan indikator/parameter yang relevan. Dan dari hasil
pengujian tersebut kemudian dibuat simpulan mengenai penerapan GCG.
c. Jika ditemukan kelemahan yang signifikan segera dibuat manajemen letter (ML).
(Deputi Bidang Akuntan Negara: 15-18)
C. Pengukuran dan Pengujian Indikator Kinerja Kunci
Dalam tahap ini dilakukan penilaian atas proses penetapan indikator kinerja, juga
membandingan antara pencapaiaan indicator kinerja dengan target. Kesenjangan yang ada harus
dianalisis sehingga diperoleh penyebab sebenarnya. Indikator Kinerja adalah diskripsi kuantitatif
dan kualitatif dari kinerja yang dapat digunakan oleh manajemen sebagai salah satu alat untuk
menilai dan melihat perkembangan yang dicapai selama ini atau dalam jangka waktu tertentu.
Tujuan pengujian atas pengukuran capaian indikator kinerja kunci yaitu untuk menilai efisiensi
dan efektifitas beberapa aktivitas utama, guna menyarankan dan mendorong pengembangan
rencana aksi untuk peningkatan kinerja. Rencana aksi dikembangkan oleh manajemen auditan
(Focus Group), dan kemajuan yang dibuat dalam implementasi rencana akan direview secara
periodik.
Diharapkan manajemen auditan mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Tujuan akhir tersebut
akan dicapai melalui berbagai tujuan setiap kegiatan review yaitu:
1. Menentukan kekuatan dan kelemahan utama yang dimiliki
perusahaan
2. Menentukan implikasi operasional dan strategis dari kekuatan dan kelemahan tersebut diatas
3. Mengidentifikasi area-area yang perlu perbaikan
4. Mengembangkan rencana aksi perbaikan atas area-area tersebut diatas.
(Deputi Bidang Akuntan Negara: 20-23)
D. ReviewOperasional
Pada tahap ini dilakukan review yang sistematis atas prosedur metode, organisasi, program atau
kegiatan-kegiatan dengan tujuan untuk mengevaluasi sejauh mana pencapaiaan suatu
tujuan/sasaran secara ekonomis, efisien, dan efektif.
Informasi mengenai praktek terbaik (best practice) pada perusahaan sejenis perlu diperoleh
sebagai pembanding (benchmark). Selain itu perlu perlu dilakukannya pula penilaian tingkat
kesehatan dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku dan evaluasi perkembangan usaha
perusahaan.
Tujuan dari fase ini adalah untuk mendapatkan informasi detail/rinci untuk menguji kinerja dari
aktivitas yang direview dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Review operasional dapat mengarah pada beberapa atau seluruh sasaran berikut:
1. kehematan, efisiensi dan/atau efektivitas
2. keandalan dan integritas sistem dan prosedur
3. Pengendalian manajemen dan akuntabilitas
32. 4. Perlindungan terhadap aktiva
5. Kepatuhan pada peraturan, kebijakan dan prosedur, dan/atau
6. Aspek-aspek lingkungan
(Brigita Lahutung, 07301541, Manajemen Keuangan)
Terdapat dua pendekatan review pokok:
a. Review hasil secara langsung Pendekatan ini berfokus pada outcome dan output
(berfokus pada penilaian hasil yang ingin dicapai). Pendekatan ini secara khusus layak
dimana terdapat data yang tersedia untuk menghitung indikator kinerja kunci bagi
aktivitas. Jika hasil memuaskan, resiko karena kesalahan yang serius dalam dan
mengimplementasikan aktivitas menjadi minimal.
b. b.Review sistem pengendalian pendekatan ini berfokus pada sistem dan pengendalian.
Pendekatan ini dirancang untuk menentukan apakah organisasi telah memiliki sistem
pengendalian yang cukup untuk menyediakan jaminan yang layak atas pencapaian hasil
yang diinginkan. Review dirancang untuk melakukan analisis, review dan pengujian atas
komponen kunci dari sistem pengendalian untuk meyakinkan bahwa hal itu telah
dirancang dan diterapkan secaralayak.Hasil akhir dari review operasional adalah
merekomendasikan peningkatan dan solusipraktis yang dapat dimplementasikan
manajemen.(Deputi Bidang Akuntan Negara: 30-35)
c. Kertas Kerja Audit
Kertas Kerja Audit adalah catatan yang dibuat dan data yang dikumpulkan pemeriksa
secara sistematis pada saat melaksanakan tugas pemeriksaan. Kertas kerja audit memuat
informasi yang memadai dan bukti yang mendukung kesimpulan dan
pertimbanganauditor.
Manfaat Kertas kerja audit adalah:
1. Memberikan dukungan utama terhadap Laporan Audit Kinerja.
2. Merupakan alat bagi atasan untuk mereview dan mengawasi pekerjaan para pelaksana
audit.
3. Merupakan alat pembuktian yang mendukung kesimpulan dan rekomendasi signifikan
dari auditor.
4. Menyajikan data untuk keperluan referensi.
Syarat pembuatan Kertas kerja audit:
a. Lengkap
b.Bebas dari kesalahan, baik kesalahan hitung/kalimat maupun kesalahan penyajian
informasi.
c. Didasarkan pada fakta dan argumentasi yang rasional.
d. Sistematis, bersih, mudah diikuti, dan rapi.
e. Memuat hal-hal penting yang relevan dengan audit.
f. Dalam kertas kerja audit harus mencantumkan kesimpulan hasil audit dan komentar
33. atau catatan dari reviewer.
(Deputi Bidang Akuntan Negara: 41-43)
d. Pelaporan Hasil Audit
Laporan hasil Audit Kinerja merupakan laporan hasil analisis dan interprestasi atas
keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya yang
dilaporkan oleh auditor.
Pelaporan Audit Kinerja meliputi:
1. Hasil penilaian atas kewajaran IKK
2. Hasil Review Operasional beserta kelemahan yang ditemukan
3. Rekomendasi yang telah disepakati
4. Hasil pengujian atas laporan (hasil) pengujian tingkat kesehatan perusahaan
5. Analisis perkembangan usaha
Tujuan pelaporan Audit Kinerja:
a. Memberikan informasi yang relevan dan objektif mengenai kinerja auditan kepada
pihak terkait
b. Menyajikan analisis dan interprestasi atas kondisi kinerja auditan serta memberikan
c. Menyediakan informasi untuk penetapan kebijakan dalam rangka penugasan
berikutnya.
(Deputi Bidang Akuntan Negara: 52-55)
e. .Pemantauan tindak lanjut hasil audit kinerja tindak lanjut adalah pelaksanaan atas
rekomendasi hasil Audit Kinerja yang telah disampaikan dan disetujui oleh manajemen
auditan. Suatu hasil Audit Kinerja baru dikatakan berhasil apabila rekomendasi praktis
yang dikembangkan bersama dilaksanakan oleh manajemen. Pelaksanaan tindak lanjut itu
sendiri merupakan tanggung jawab manajemen, akan tetapi auditor berkewajiban
memantau pelaksanaan rekomendasi yang telah dikembangkan bersama tersebut, guna
mendorong percepatan pelaksanaan tindak lanjut sesuai dengan yang telah
rekomendasikan. (Deputi Bidang Akuntan Negara: 63)