Makalah ini membahas tiga aliran filsafat pendidikan yaitu pragmatisme, eksistensialisme, dan progresivisme. Pragmatisme muncul pada tahun 1878 di Amerika dengan tokohnya Charles Sanders Pierce. Filsafat ini menekankan bahwa ide-ide diuji melalui akibat praktisnya. Eksistensialisme berfokus pada pengalaman manusia sebagai individu. Sedangkan progresivisme yang dipopulerkan John Dewey menempatkan
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
Filsafat Pendidikan
1. TUGAS MAKALAH
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN (PRAGMATISME,
EKSISTENSIALISME. PROGRESIVISME)
Tugas ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
DISUSUN
OLEH:
NAMA KELOMPOK :
1. DEVITA SURI AIRINA (4171131009)
2. DINDA MAISYARAH (4171131010)
3. LINDA ROSITA (4173131013)
JURUSAN : KIMIA
PROGRAM : S-1 PENDIDIDKAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2017
2. DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang masalah................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah........................................................................................... 1
3. Tujuan.............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
1. Dasar Teori...................................................................................................... 2
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan .................................................................................................... 12
2. Saran............................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 13
3. KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah
dan rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah kami ini, tak lupa pula shalawat
bertangkaikan salam kami hadiahkan kepada putra Abdullah buah hati Aminah ialah Nabi
besar kita Muhammad SAW, yang selalu kita harapkan syafaatnya di hari kelak, dan semoga
kita menjadi salah satu orang yang mendapatkannya kelak. Amin.
Kami menyadari bahwa dalam proses penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari
peran dan sumbangsih pemikiran serta intervensi dari banyak pihak. Karena itu dalam
kesempatan ini, kami ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan sedalam-dalamnya
kepada semua pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan penulisan makalah ini yang
tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Terimakasih juga kami ucapkan kepada dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan Sri
Nahyanti yang telah membimbing kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini,
dengan selesainya makalah ini kami berharap agar makalah ini nantinya bisa menjadi bukti
bahwa kami telah melaksanakan tugas makalah yang dilakukan pada 28-29 September 2017.
Semoga makalah ini bermanfaat. Amin.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan sehingga kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini bermanfaat. Amin.
Medan, 01 Oktober 2017
TIM PENYUSUN
4. BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Waktu terus berjalan, pendidikan pun terus berkembang bersama hiruk pikuk
hidup dan kehidupan insan. Problem-problem pendidikan pun bermunculan begitu
cepat secepat cendawan tumbuh di musim hujan. Ilmu pendidikan bertanggungjawab
untuk memecahkan problem-problem tersebut, untuk itu tidaklah ringan tanggung
jawab yang diembannya karena begitu kompleks problem-problem yang ada di dunia
pendidikan. Tak jarang ilmu pendidikan pun meminta pertolongan pada pihak lain,
pihak filsafat pendidikan karena problem yang dihadapi berada di luar kaplingnya dan
sudah memasuki wilayah atau lingkaran hakikat. Manakala problem pendidikan
memasuki lingkaran yang substansial atau filosofis kiranya ilmu pendidikan
menyerahkan garapan itu pada filsafat pendidikan.
Filsafat pendidikan akan menjawab secara filosofis atas pertanyaan filosofis
yang muncul dari belahan dunia pendidikan. Menurut A. Chaedar Alwasilah: Filsafat
Pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat, dan isi yang ideal dari pendidikan
(Chaedar, 2008:101). Menurut Al-Syaibany: Filsafat Pendidikan adalah aktivitas
pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur,
menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Hal senada dikatakan Hasan
Langgulung: Filsafat Pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan
filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan,
mengharmoniskan, dan menerapkan nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang ingin
dicapainya (Jalaluddin, 2007:19,158). Sedang George R. Knight mengatakan: Filsafat
Pendidikan tidak berbeda dengan filsafat umum, ia merupakan filsafat umum yang
diterapkan pada pendidikan sebagai sebuah filsafat spesifik dari usaha serius manusia
(Knight, 2007:21). Berdasar pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat
pendidikan adalah ilmu yang membahas pendidikan secara filosofi, atau ilmu yang
membahas secara filosofi mengenai pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah latarbelakang munculnya aliran filsafat
pragmatisme,eksistensialisme,dan progresivisme?
2. Bagaimanakan penerapan filsafat pragmatisme,eksistensialisme, dan
progresivisme dalam pendidikan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui latarbelakang munculnya aliran filsafat
pragmatisme,eksistensialisme,dan progresivisme?
2. Untuk mengetahui penerapan filsafat pragmatisme,eksistensialisme, dan
progresivisme dalam pendidikan?
5. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Teori
1. ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME
A. Aliran Filsafat Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa
Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan
pengertian isme yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan
demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.
Aliran ini pertama kali tumbuh di Amerika pada tahun 1878. Ketika itu Charles
Sanders Pierce (1839 – 1914) menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “How to Make
Our Ideas Clear”. Namun pragmatisme sendiri lahir ketika William James membahas
makalahnya yang berjudul ”Philosophycal Conceptions and Practical Result” (1898) dan
mendaulat Pierce sebagai Bapak Pragmatisme. Selanjutnya aliran ini makin berkembang
berkat kerja keras dari William James dengan berbagai karya tulisnya. Karya tulisnya itu
antara lain adalah, “A Pluralistic Essay”, “Essay in Radical Empiricism”, “The Will to
Believe”, dan “The Varieties of Religious Experience”.John Dewey juga ikut mengambil
bagian dalam mempopulerkan aliran ini. Karya – karyanya antara lain adalah
“Democracy and Education”, “Reconstruction in Philosophy”, “How We Think”, dan
“Experience in Education”. Namun ia dan para pengikutnya lebih suka menyebut
filsafatnya sebagai Instrumentalisme.
B. Tokoh-tokoh Pragmatisme
1. Charles Sandre Peirce ( 1839 M )
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila
memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan
bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori
kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan
masalah. Dari pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme
tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta
mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat
dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis
untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
2. William James (1842-1910 M)
6. William James lahir di New York pada tahun 1842 M. Menurut William
James Pragmatisme adalah filsafat praktis karena ia memberikan kontrol untuk bertindak
bagi kebutuhan, harapan, serta keyakinan manusia untuk sebagian dari masa depannya.
Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan
bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri
sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus
dan segala yang kita anggap benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di
dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman
berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-
kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-
pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya
tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu.
Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta
kemungkinan-kemungkinan hidup.
3. John Dewey (1859-1952 M)
Menurut Dewey, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta
lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi
kebutuhan manusiawi. John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran
metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Dewey lebih suka menyebut sistemnya
dengan istilah instrumentalisme. Dalam teori inkuirinya Dewey mengembangkan
filsafatnya sebagai berikut :
Situasi di sekeliling kita itu sebagai pengalaman pertama merupakan situasi
indeterminate , maka dengan berfikir reflektif, situasi tersebut menjadi determinate, atas
refleksi kita. Pengalaman itu sendiri adalah salah satu kunci dalam filsafat
instrumentalisme.Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan
mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem
norma-norma dan nilai-nilai.
Proses inkuiri tersebut untuk sampai kepada pencitraan determinate tersebut
melalui hipotesis atau plan of actiaon yang selanjutnya diuji secara eksperimental. Dalam
proses inkuiri tersebut John Dewey bukan mencari benar salah, melainkan mencari efektif
atau tidaknya. Hasil efektif sebagai ends akan menjadi means pada inkuiri berikutnya,
sehingga akan menjadi matarantai berkelanjutan means – ends – means – end – means -
ends. Itulah Instrumentalisme John dewey.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan
tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam
bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-
pikiran itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dala
penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-
konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya.
Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang
7. kita namakan instrumentalisme.Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada
gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk
melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia
dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.
C. Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap
kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab
permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut.
Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan
waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap
selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara
eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai
puncak temuan. Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa
subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek
didik tidak lain adalah individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta
memiliki insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik
saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya,
kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian
dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda
dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang
menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan
disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam
beradaptasi dengan dunia yang berubah.
Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara
berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam
masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan
kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan
motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus
belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis.
Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi
dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan, antara lain :
Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman
untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu
organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
Kurikulum, kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat
diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat
8. menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan
kebutuhan anak tersebut.
Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif,
yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan masalah
(problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and
discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang
memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan
terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan
bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa
dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan
membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Jadi,aliran filsafat pragmatisme adalah sebuah aliran yang dimana dalam
pelaksanaannya lebibh mengutamakan keaktifan objek.Seperti sekarang ini,pada sekolah
menengah atas mulai diterapkan kurikulum 13 atau lebih dikenal dengan k-13.Pada
kurikulum ni,diutamakan agar siswa yang lebih aktif dalam kegiatan belajar
mengajar,sedangkan guru sebagai fasilitator saja.
2. ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME
A. Aliran Filsafat Eksistensialisme
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin
Heidegger (1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari
metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh hussel (1859 – 1938). Kemunculan
eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren
Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”,
dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu
sistem yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara
khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi
fenomenologi atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap
materialism dan idealisme. Pendapat materialism terhadap manusia adalah manusia
merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa
menjadi subyek. Pandangan manusia menurut idealisme : manusia hanya sebagai subyek
atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkeyakinan situasi manusia
selalu berpangkalkan eksistensi sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-
lukisan yang konkret.
Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
9. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar,
tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya
masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter atau
lainnya tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme apakah kita menjadi dokter atau
lainnya merupakan keinginan orang tua atau kita sendiri. Pendeknya, eksistensialisme
selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar manusia menjadi dirinya,
mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai diri sendiri.
B. Filsafat Eksistensialisme dalam pendidikan
1. Pengetahuan.
Pemahaman eksistensialisme terhadap Pengetahuan adalah pengetahuna manusia
tergantung kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia
terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk
memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat
perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk
merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh
dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk
menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
2. Nilai.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan.
Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan
suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun
menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling
sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-
akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat
akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin
dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus
berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil
tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut
sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi,
tujuan diperoleh dalam situasi.
3. Pendidikan.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa
eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya
bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu
manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat
pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan
hanya dilakukan oleh manusia.
10. a. Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga
dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku
secara umum.
b. Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu
berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu tingkatan
kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal
adalah kurikulum yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan
mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan
pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka
sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang
lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu
akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat
memenuhi tuntutan di atas adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni.
Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah
IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan
wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia,
memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati.
Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual
maupun emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu
perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode
apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah
kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat
membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya. Pelajar harus
didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan
yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme
menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba
membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
c. Proses belajar mengajar.
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat
diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan
percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi
yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak
dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel,
dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan
dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan
merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa.
11. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa
akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia,
sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan
ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog,
maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari
pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai
pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak
merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan
merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
d. Peranan guru.
Para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka
pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak
berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya member semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam
suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-
ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga
siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh
manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan
penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga
siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru
tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan
yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi
merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk
menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana
para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan
kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
3. ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN EKSISTENSIALISME
A. Aliran Filsafat Progresivisme
Progresivisme menurut bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan
kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan progresivisme
adalah suatu aliran yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian
sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas
yang mengarah pada pelatihan kemampuan berfikir mereka sedemikian rupa, sehingga
mereka dapat berfikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah seperti memberikan
analisis, pertimbangan, dan perbuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang
paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi.
Progresivisme berkembangan dalam permulaan abad 20 terutama di Amerika Serikat.
Progresivisme lahir sebagai pembaharuan dalam dunia (filsafat) pendidikan terutama
12. sebagai lawan terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan konvensional yang diwarisi dari
abad kesembilan belas.
Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah berpusat pada anak (child-centered). Sebagai reaksi terhadap
pelaksanan pendidikan yang berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran
(subject-centered).
Progresivisme merupakan salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang
dengan pesat pada permulaan abad ke-20 dan sangat berpengaruh dalam pembaharuan
pendidikan yang didorong oleh aliran naturalisme dan experimentalisme,
instrumentalisme, evironmentalisme dan pragmatisme sehingga penyebutan nama
progressivisme sering disebut salah satu dari nama-nama aliran tadi.
Aliran progresivisme memandang kehidupan manusia berkembang terus menerus
dalam suatu arah yang positif. Apa yang dipandang benar sekarang belum tentu benar
pada masa yang akan datang. Progresivisme dalam pandangannya selalu berhubungan
dengan pengertian “the liberal road to cultural” yakni liberal dimaksudkan sebagai
fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan bersikap terbuka, serta ingin mengetahui
dan menyelidiki demi pengembangan pengalaman.
B. Tokoh-tokoh dalam Aliran Progresivisme
1. William James (11 Januari 1842 - 26 Agustus. 1910)
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi
organik, barns mempunyai fungsi biologic dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia
menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata
pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan
ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
2. John Dewey (1859 - 1952)
Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivisme" yang lebih menekakan pada
anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Filsafat yang dianut Dewey
adalah bahwa dunia fisik itu real dan perubahan itu bukan sesuatu yang tak dapat
direncanakan. Perubahan dapat diarahkan oleh kepandaian manusia. Sekolah mesti
membuat siswa sebagai warga negara yang lebih demokratik, berpikir bebas dan cerdas.
Bagi Dewey ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh dan dikembangkan dengan
mengaplikasikan pengalaman, lalu dipakai untuk menyelesaikan persoalan baru.
Pendidikan dengan demikian adalah rekonstruksi pengalaman. Untuk memecahkan
problem, Dewey mengajarkan metode ilmiah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
sadari problem yang ada, definiskan problem itu, ajukan sejumlah hipotesis untuk
memecahkannya,uji telik konsekuensi setiap hipotesis dengan melihat pengalaman silam,
alami dan tes solusi yang paling memungkinkan.
3. Hans Vaihinger (1852 - 1933)
Dalam aliran progresif ini Proses belajar mengajar di kelas ditandai dengan beberapa hal
antara lain :
Guru merencanakan pelajaran yang membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa.
13. Guru membangkitkan minat siswa melalui permainan yang menantang siswa untuk
berpikir.
Siswa didorong untuk berinteraksi dengan sesamanya untuk membangun pemahaman
sosial.
Kurikulum menekankan studi alarm dan siswa dipajankan (exposed) terhadap
perkembangan barn dalam saintifik dan sosial.
Pendidikan sebagai proses yang terus menerus memperkaya siswa umuk tumbuh,
bukan sekedar menyiapkan siswa untuk kehidupan dewasa. Para pendidik aliran ini
sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya dalam lima hal : (1) guru
yang otoriter, (2) terlampau mengandalkan metode berbasis buku teks, (3)
pembelajaran pasif dengan mengingat fakta (4) filsafat empat tembok, yakni
terisolasinya pendidikandari kehidupan nyata, dan (5) penggunaan rasa takut atau
hukuman badan sebagai alat untuk menanamkan disiplin pada siswa.
C. Filsafat progresivisme dalam pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut aliran progresivisme sebagaimana dikemukakan Dewey
adalah menjadikan warga negara yang demokratis.
2. Kurikulum Pendidikan
Dalam bidang kurikulum, aliran progresivisme lebih mengutamakan bidang studi
seperti fisika, sejarah, keterampilan, serta hal-hal yang berguna atau langsung dapat
dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat.
3. Metode Pendidikan
Metode pendidikan yang biasanya dipergunakan oleh aliran progresivisme
diantaranya adalah :
Metode Pendidikan Aktif, Pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan
dan fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada
setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
Metode Memonitor Kegiatan Belajar, Mengikuti proses kegiatan anak belajar sendiri,
sambil memberikan bantuan-bantuan apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar
berlangsung kegiatan belajar tersebut.
Metode Penelitian Ilmiah, Pendidikan progresif merintis digunakannya metode
penelitian ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep.
Pemerintahan Pelajar, Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelajar
dalam kehidupan sekolah dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah.
Kerjasama Sekolah Dengan Keluarga, Pendidikan Progresif mengupayakan adanya
kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam rangka menciptakan kesempatan
yang seluas-luasnya bagi anak untuk mengekspresikan secara alamiah semua minat
dan kegiatan yang diperlukan anak.
14. Sekolah Sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan, Sekolah tidak hanya tempat
untuk belajar, tetapi berperanan pula sebagai laboratoriun dan pengembangan gagasan
baru pendidikan.
4. Pendidikan
Progrisivisme di dasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus terpusat pada anak
bukanlah memfokuskan pada guru atau bidang muatan.[12] Dalam pendidikan
progresivisme ini menekankan pada proses kegiatan pembelajaran yang berorientasi pada
siswa dengan menjadikan siswa sebagai “subjek", sehingga tolak ukur dalam proses
pembelajaran di sesuaikan dengan kebutuhan siswa. Dengan demikian maka aliran
progresivisme menolak semua pandangan yang berasan dari aliran yang menjadikan
siswa sebagai “objek” dari proses pembelajaran.
5. Pelajar
Kaum progresiv menganggap subjek-subjek didik adalah aktif, bukan pasif, sekolah
adalah dunia kecil (miniatur) masyarakat besar, aktifitas ruang kelas difokuskan pada
praktik pemecahan masalah, serta atmosfer sekolah diarahkan pada situasi yang
kooperatif dan demokratis. Mereka menganut prinsip pendidikan perpusat pada anak
(child-centered). Mereka menganggap bahwa anak itu unik. Anak adalah anak yang
sangat berbeda dengan orang dewasa. Anak mempunyai alur pemikiran sendiri,
mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan-harapan dan kecemasan sendiri yang
berbeda dengan orang dewasa.
6. Pengajar (guru)
Guru dalam melakukan tugasnya mempunyai peranan sebagai :
Fasilitator, orang yang menyediakan diri untuk memberikna jalan kelancaran
proses belajar sendiri siswa.
Motivator, orang yang mampu membangkitkan minat siswa untuk terus giat
belajar sendiri.
Konselor, orang yang membantu siswa menemukan dan mengatasi sendiri
masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap siswa.
Dengan demikian guru perlu mempunyai pemahaman yang baik tentang karakteristik
siswa, dan teknik-teknik memimpin perkembangan.
15. BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa
Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan
pengertian isme yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan
demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.
Filsafat eksistensialisme itu unik yakni memfokuskan pada pengalaman-pengalaman
individu.Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subyektivitas
pengalaman manusia, dan tindakan kongkret dari keberadaan manusia atas setiap skema
rasional untuk hakikat manusia atau realitas.
Progresivisme bukan merupakan suatu bangunan filsafat atau lairan filsafat yang
berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan
pada tahun 1918. Gerakan progresif terkenal luas karena reaksinya terhadap formalism
dan sekolah tradisional yang membosankan, yang menekankan disiplin keras, belajar
pasif, dan banyak hal-hal kecil yang tidak bermanfaat dalam pendidikan. Lebih jauh
gerakan ini dikenal karena dengan himbauannya kepada guru-guru: “ kami
mengharapkan perubahan, serta kemajuan yang lebih cepat setelah perang dunia
pertama”. Banyak guru yang mendukungnya, sebab gerakan pendidikan progresivisme
merupakan semacam kendaraan mutakhir untuk digelarkan.
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, masih banyak terdapat
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
sumbangsi pikiran dari para pembaca demi penyempurnaan makalah ini.
16. DAFTAR PUSTAKA
Ali, M, 2007, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Grafindo, Jakarta .
http://blogbadriyahs.blogspot.co.id/2015/12/laporan-diskusi-kelompok-aliran.html . (diakses
pada tanggal 29 September 2017 pukull 10.00 WIB).
https://www.academia.edu/24671964/MAKALAH_ALIRAN-
ALIRAN_FILSAFAT_PENDIDIKAN. (diakses pada tanggal 01 Oktober 2017 pukul 08.00
WIB).
http://teachingofhistory.blogspot.co.id/2012/06/filsafat-eksistensialisme-dalam.html. (diakses
pada tanggal 29 September 2017 pukul 08.00 WIB).
Ramadhani, F, 2016, Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan ,
https://www.academia.edu/24671964/MAKALAH_ALIRAN-
ALIRAN_FILSAFAT_PENDIDIKAN. ( diakses pada tanggal 28 September 2017
pukul 20.00 WIB ).
Purba, E, dan Yusnadi, 2017, Filsafat Pendidikan, Unimed press, Medan.