SlideShare a Scribd company logo
1 of 71
FIQH
MAWARIS
BUKU AJAR (DARAS)
Disusun Oleh:
Drs. Tgk. H. Asnawi Abdullah, MA
PENDAHULUAN
Perjalanan hidup seseorang di dunia ini yang di mulai dari lahir,
hidup berkembang dan diakhiri oleh kematian akan membawa pengaruh dan
akibat hukum kepada lingkungannya, terutama kepada orang dekat
dengannya, baik karena hubungan kekeluargaan maupun lainnya. Dan
selama hidup manusia menanggung hak dan kewajiban, baik sebagai
pribadi, anggota keluarga, masyarakat, dan sebagai seorang muslim yang
harus tunduk, taat, dan patuh kepada ketentuansyari’at dalaam seluruh
totalitas kehidupannya. Demikian juga dengan kematian yang membawa
pengaruh dan akibathukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Disamping itu kematian menimbulkan kewajiban
orang lain kepada dirinya, terutama yang berhubungan dengan pengurusaan
janazahnya, seperti memandikannya, menyalatinya, menguburkannya yang
kita kenal dengan kewajiban kifayah tentang pengurusaan janazah. Dan
timbul pula akibat hukum lain yaang terjadi secara otomatis yang yang
berkaitan dengan hak ahli waris terhadap seluruh harta peninggaalannya.
Setelah diselesaikan hal-hal lain yanag berkaitan dengan hak tirkah
seseorang yang meninggaal dunia.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya akibat hukum
yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaaian harta
peninggalaannya kepada ahli warisnya yang dalam hukum islam dikenal
dengan Hukum waris, atau ilmu mawaris, atau figh mawaris atau ilmu
faraidh. Jadi dengan meninggalnya seseorang terjadilah prosespewarisan
atau pemindahan dan pengoperan harta kekayaan seseorang yang telah
meninggal dunia. Masalah ini sangat penting karena erat sekali kaitannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Dan dalam islam sejak kematian
seseorang saat itu pula semua harta benda miliknya beralih kepada ahli
warisnya yang masih hidup.
Islam mengatur tentang hak ahli waris di dalam Al-qur’an dengan
sangat rinci, mengingat masalah pengalihan harta orang meninggal rentang
sekali untuk potensi penyimpangan dan ketidak adilan dalam membaginya
diantara ahli waris itu sendiri, siapa yang lebih kuat akan menguasai lebih
banyak, dan yang lemah akan mendapat lebih sedikit. Hal tersebut karena
pada manusia dalam kehidupan ini sebagaai makhluk hidup memiliki naluri
untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk
terpenuhinya dua naluri tersebut, Allah menciptakan dalaam diri manusia
dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat, maka dari sinilah muncul
kecenderungaan manusia untuk mendaapaatkaan dan memiliki harta dan
memerlukan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai
makhluk yang berakal manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan
dan meningkatkan daya akalnya, dan sebagai manusia yang beragama
manusia memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan
menyempurnakan agamanya, dengan demikian sebagai syarat untuk
keseimbangan hidup manusia harus memiliki lima hal yang sangat prinsip
yaitu agama, akal, jiwa, harta dan keturunan yang dalam bahasa lain disebut
dengan dharuriyat al-khamsah.
Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatullah, namun
di dalam surat Yusuf ayat 53, Allah mengingatkan bahwa nafsu itu
cenderung ke arah keburukan. Nafsu aapabila tidak dokontrol dan
dikendalikan dapat menimbulkan pertumpahan darah di atas permukaan
bumi ini, untuk mengendalikan itulah maka berbagai aturan dan ketentuan
hukum ditetapkan oleh Allah. Dan diantara aturan yang mengatur hubungan
manusia dengan sesama manusia yang ditetaapkan Allah adalah aturan
tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat
dari kematian seseorang, kemana beralih pemilikannya, siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlah dan bagaimana cara mendapatkannya.
Aturan warisan yang ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an, pada
dasarnya ketentuan Allah yang sangat jelas maksud dan arahnya, dan hal-hal
yang masih memerlukan penjelasan, baik yang bersifat menegaskan maupun
yang bersifat merinci, dijelaskan oleh Rasulullah melalui hadisnya.
Walaupun demikian, penerapannyamasih menimbulkan pemikiran dan
ijtihad yang terus dikembangkan oleh mujtahid dan ilmuan yang kemudian
dirumuskan dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif, dan aturan tersebut
kemudian ditulis dan dibukukan dalam lembaraan kitab-kitab fikih serta
menjadi menjadi pedoman bagi kaum muslimin dalam menyelesaikan
permasalahan kewarisan tersebut.Dan dengan berpijak pada aturan Allah,
maka umat Islam terpelihara dari memakan harta secara bathil, jauh dari
terjadi keributan dalam keluarga yang diakibatkan oleh hartawarisan serta
terwujudnya keadilab yang sempurna dalam pembagian harta warisan.
Amin...
BAB SATU
PENDAHULUAN
A. Pengertian Ilmu Mawaris
Kata waris berasal dari kata:
Menurut lughah berarti berpindah susuatu dari seseorang kepada orang
lain atau dari satu kelompok kepada kelompok lain baik harta, ilmu,
kesungguhan maupun kemuliaan. Sedangkan menurut Istilah ”berpindah
pemilikan dari orang mati kepada warisnya yang hidup baik harta, kebun
maupun hak yang dibangsakan kepada syara’. Dan sering juga disebut
dengan ilmu faraidh. Karena berkaitan dengan bagian ahli waris yang telah
ditentukan kadar besar kecilnya oleh syara’, oleh karena itu, para ulama
memberikan pengertian yang berbeda-beda namun secara subtansi ada
kesamaannya diantaranya :
1. Muhammad al-Syarbani mendefinisikan ilmu faraidh; ilmu figh yang
berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perthitungan
yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang
bahagian-bahagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap
pemilik hak waris
2. Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan ; Ilmu yang mempelajari tentang
siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya,
kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya
3. Mmahyiddin Abdul Hamid mendefinisikan; Ilmu yang membahas
tentang kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi setiap orang yang
berhak menerimanya (ahli waris.
4. Rifa’i Arif mendefinisikan; Kaidah-kaidah dan pokok-pokok yang
membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang telah ditentukan
bagi mereka dan cara membagikan harta peninggalan kepada ahli waris
yang berhak menerimanya.
Dari definisi diatas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu faraidh atau figh
mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta
peninggalan dari seorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang
masih hidup, baik berkaitan dengan harta yang ditinggalkannya, orang-
orang yang berhak menerimanya, bagian masing-masing ahli waris maupun
cara penyelesaian pembagian harta peninggalan.
B. Dasar hukum ilmu Mawaris
Sumber hukum ilmu Waris adalah ;
a. Al-qur’an
1).Surat an-Nisak ayat 7:
    
    
       
  
Artinya: laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang Telah ditetapkan.
2).Surat an-Nisak ayat 11:
       
      
        
      
          
       
       
       
       
       
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta.
dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
3). Surat an-Nisak ayat 12:
         
        
         
        
         
         
       
       
        
        
       
Artinya: mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. para isteri 12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris), (Allah menetapkan yang demikian
itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.
4). Surat an-Nisak ayat 176:
       
       
         
      
       
       
       
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.
b. Al-Hadis; Artinya: Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang
lebih berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih
utama (yang lebih dekat) H.R. Bukhari dan Muslim).
c. Ijmak dan ijtihad.
Ijmak dan ijtihad para sahabat, para imam Mazhab telah memberikan andil
yang besar terhadap pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan
oleh Nas yang sareh. Seperti:
1). Status saudara yang mewarisi bersama kakek yang didalam al-
Qur’an tidak dijelaskan.
2). Sistem Aul pada masalah Ahli Waris Dua atau lebih saudara
perempuan kandung bersama suami.
3). Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dari
saudara ayahnya. Yang menurut ketentuan tidak mendapat apa-apa
karena dihijab oleh saudara ayahnya, namun menurut kitab undang-
undang Hukum wasiat mesir yang berpegang pada istimbat dan
ijtihad ulama mutaqaddimin diberi bagian berdasarkan atas ”Wasiat
Mujibah”.
C. Hukum Belajar dan Mengajar Ilmu Waris/ Fara’idh
Ketentua-ketentua Syari’at Islam yang di tunjuk oleh nash-nash yang
jelas termasuk di dalamnya masalah pembagian warisan, selama tidak ada
dalil lain yang menghendaki lain, maka ianya suatu keharusan yang harus
dilaksanakan oleh seluruh umat islam. Dalam hal ini mentaati dan
melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai yang diperintahkan
Allah SWT akan mendapat fahala dan nikmat syurga-Nya, sebaliknya bagi
mereka yang tidak mengindahkannya, akan mendapat siksa dan di
masukkannya ke dalam api neraka jahannam, hal ini sebagaimana
dipahami dari firman Allah surat an-Nisak ayat 14:
       
    
Artinya: dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.
Rasulullah memerintahkan belajar dan mengajarkan ilmu fara’idh,
agar tidak terjadi perselisihan dalam membagikan harta pusaka ,
sebagaimana Hadist Rasulullah SAW yang artinya:” Pelajarilah al-Qur’an
dan ajarkannya kepada orang-orang dan pelajarilah ilmu fara’idh serta
ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya orang yang bakal direnggut
(mati) sedang ilmu itu bakal diangkat. Hampir-hampir saja dua orang yang
bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka tidak menemukan
seorangpun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka .(H.R. Ahmad,
Darul Qutni dan Nasai)
Perintah tersebut menunjukkan wajib, namun kewajiban itu gugur
bila sudah ada sebagian orang yang melaksanakannya (Kewajiban Kifayah).
Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a berkata Bersabda nabi SAW
”Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder)
yaitu ayat-ayat muhkamat (yang jelas ketentuannya), Sunnah Nabi SAW
yang dilaksanakan dan ilmu faraidh.
Artinya: Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia termasuk bagian dari
agamamu dan setengan dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan
dicabut dari ummatku.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna ”setengah dari ilmu”
Ada yang mengatakan bahwa dua itu adalah kehidupan dan kematian, dan
faraidh erat hubungannya dengan kematian. Yang lain berpendapat Ilmu
lain bersandar pada Nas dan Qias, sedangkan ilmu faraidh bersandar pada
nas saja. Yang lain lagi berpendapat bahwa ilmu tentang kepemilikan dibagi
dua satu pemilikan secara sukarela seperti pembelian, hibah dsb, dan yang
satu lagi secara paksa tidak dapat dikembalikan seperti harta warisan.
D. Sejarah Pusaka mempusakai Dan sebab waris mewarisi.
1. Pusaka mempusakai pada zaman jahiliyah
Orang-orang Arab Jahiliyah tergolong bangsa yang gemar mengembara
dan berperang, kehidupan mareka sedikit banyak tergantung pada hasil
jarahan dan rampasan perang disamping juga dari perniagaan. Dan dalam
bidang pembagian warisan mereka berpegang teguh pada tradisi yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka dan diantaranya “anak-anak yang
belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai”. Dan
Sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai pada masa itu adalah:
a. Adanya pertalian karabat yang dilengkapi kekuatan jasmani yang
sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara keluarga, hal ini
menyisihkan anak laki-laki dan kaum perempuan. Dan yang termasuk
karabat adalah Anak laki-laki, Saudara lakai-laki, paman dan anak
paman.
b. Adanya janji prasetia yang menjadi kekuatan hukum, bila salah seorang
pihak telah ,mengikrarkan janji prasetianya kepada pihak lain dan pihak
lain menyetujuinya, dan sebagai akibat dari perjanjian ini, bila salah
satu meninggal dunia, maka pihak lain dapat mempusakai seper enam
harta peninggalannya.
c. Pengangkatan anak (adopsi). Seorang yang mengambil anak orang lain
untuk dipelihara dalam keluarganya, maka Bapak angkat berstatus
sebagai Bapak angkat. Dan bila ia sudah dewasa ia dapat mempusakai
harta peninggalan Bapak angkatnya dan ini masih berlaku sampai
beberapa saat di awal Islam.
2. Pusaka mempusakai mada Zaman awal Islam.
Pada masa awal-awal Islam dan sebelum turunnya ayat mawaris,
Sebab pusaka mempusakai yang berlaku pada masa jahiliyah, dua sebab
msih berlaku yaitu ”hubungan karabat dan adopsi” dan ditambah dengan
persaudaraan muhajirin dan ansar (Muakhkhah), hal ini sebagai usaha
memperteguh dan mengabadikan persaudaraan antara keduanya.
Kemudian sistem pewarisan yang berlaku dalam masyarakat
jahiliyah dan awal Islam disempurnakan dan ada yang dibatalkan oleh Islam
melalui ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab pusaka mempusakai berdasarkan
”Muakhkhah” dibatalkah oleh firman Allah surat al-Ahzab ayat 6 :
       
         
      
      
Artinya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri[1] dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan
orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik[2] kepada
saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu Telah tertulis di
dalam Kitab (Allah).
[1] Maksudnya: orang-orang mukmin itu mencintai nabi mereka lebih dari
mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan.
[2] yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah berwasiat yang tidak
lebih dari sepertiga harta.
Sebab mempusakai yang dikhususkan anak laki-laki dewasa lagi kuat
berjuang, dinasahkan oleh firman Allah surat an-Nisa’ ayat 7
      
          
  
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang Telah ditetapkan.
Pusaka mempusakai berdasarkan adopsi dibatalkan oleh Firman Allah
surat al-Ahzab ayat 4 dan 5:
           
       
         
           
       
         
    
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar
itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu
dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia
menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
3. Sebab-sebab mempusakai setelah ayat-ayat Mawaris.
Adapun yang dimaksud dengan sebab-sebab adanya pewarisan adalah
sesuatu yang mewajibkan adanya hak mewarisi, dan sebab mewarisi itu
adalah:
a. Kekerabatan, yaitu hubungan nasab antara orang yang mewariskan
dengan orang yang mewarisi, hal ini didasarkan pada ayat-ayat
tersebut di atas.
b. Pernikahan, yaitu dengan sebab sudah menjadi suami isteri dengan
adanya akad nikah yang sah walaupun belum adanya hubungan
intim antara keduanya. Hal ini sesuai dengan kandungan ayat 12
surat an-Nisak di atas.
Talak Raji’i yang belum habis iddahnya tidak menjadi penghalang
mewarisi, karena isteri dalam talak raji’i masih dapat ruju’, dan ia
masih dihitung suami isteri.
c. Wala’ atau pemerdekaan Budak. Hal ini didasarkan pada hadis
Rasulullah dalam perkara Barirah r.a. ”Hak Wala’ itu hanya bagi
orang yang telah memerdekakan budaknya (Mutafaq alaih).
d. Baital mal, dalam hal Baitalmal menjadi salah satu sebab
mewarisi, para ahli fikih berbeda pendapat; pertama dapat
mewarisi secara mutlak, baik yang terorganisir maupun tidak,
dengan alasan kaum muslimin dibebani kewajiban membarar diyat
untuk saudaranya yang tidak mempunyai karabat, maka kedudukan
mereka bagaikan asabah dalam lingkungan karabat. Pendapat ini
dipegang oleh kalangan Malikiyah dan Imam Syafi’i dalam qaul
qadimnya. Kedua Baitulmal dapat menjadi ahli waris jika
terorganisir, dan bukan untuk kemaslahatan sosial tetapi untuk
diwarisi oleh kaum muslimin secara ushubah. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya, orang
syafi’iyah dan Malikiyah yang berpegang pada pendapat ini
beralasan pada Sabda Rasulullah ”Aku adalah ahli waris orang
yang tidak mempunyai ahli waris, aku dapat membayar dendanya
dan mewarinya” Ketiga, Baitulmal bukan penyebab mewarisi. Ini
pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, merelka beralasan
pada firman Allah surat al-Anfal ayat 75 :
e.      
        
        
Artinya : Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah
serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu
(juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam
Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
E. Peninggalan (tirkah)
Peninggalan (tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang
yang mati) secara mutlak. Yang demikian itu ditetapkan oleh Ibnu Hazm,
katanya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan warisan kepada harta,
bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia sesudah dia mati. Adapun
hak-hak, maka ia tidak diwariskan kecuali yang mengikuti harta atau dalam
pengertian harta, misalnya hak pakai, hak penghormatan, hak tinggal di
tanah yang dimonopoli untuk bangunan dan tanaman. Menurut mazhab
Maliki, Syafi'i dan Hambali, peninggalan si mayit, baik hak harta benda
maupun hak bukan harta benda.
Adapun hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu ada
empat. Keempatnya tidak sama kedudukannya, sebagiannya ada yang lebih
kuat dari yang lain sehingga ia didahulukan atas yang lain untuk dikeluarkan
dari peninggalan.
Hak-hak tersebut menurut tertib berikut :
- Biaya mengkafani dan memperlengkapinya menurut cara yang telah diatur
dalam masalah jenazah
- Melunasi hutangnya. Ibnu Hazm dan Asy-Syafi'i mendahulukan hutang
kepada Allah seperti zakat dan kifarat, atas hutang kepada manusia.
Orang-orang Hanafi menggugurkan hutang kepada Allah dengan adanya
kematian. Dengan demikian maka hutang kepada Allah itu tidak wajib
dibayar oleh ahli waris kecuali apabila mereka secara sukarela
membayarnya, atau diwasiatkan oleh mayit untuk dibayarnya. Dengan
diwasiatkannya hutang, maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada
orang lain yang dikeluarkan oleh ahli waris atau pemelihara dari
sepertiga yang tersisa setelah perawatan mayat dan hutang kepada
manusia. Ini bila dia mempunyai ahli waris. Apabila dia tidak mempunyai
ahli waris, maka wasiat hutang itu dikeluarkan dari seluruh harta.
Orang-orang Hambali mempersamakan antara hutang kepada Allah dengan
hutang kepada manusia. Demikian pula mereka sepakat bahwa hutang
hamba yang bersifat 'aini (hutang yang berhubungan dengan harta
peninggalan) itu didahulukan atas hutang muthlak.
- Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang
dibayar.
Bagi Masyarakat muslim Indonesia, disamping kewajiban yang telah
disebutkan di atas, perlu juga diperhatikan harta bersama suami isteri, yang
dalam masyarakat Aceh disebut dengan harta seuhareukat, masalah ini harus
diselesaikan lebih dahulu sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli
waris, dan barulah sisa dari itu semuanya yang disebut dengan maurus atau
harta pusaka dan dibagikan kepada ahli waris.
BAB DUA
PRINSIP DAN DASAR WARIS MEWARISI
A. Rukun dan syarat dalam pewarisan
Ada tiga rukun dalam pewarisan:
1. Adanya pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan
penyebab kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh kewarisan.
2. Orang yang mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik
nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang
hilang dan dinyatakan mati.
3. Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan
warisan. Yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan
kepada pewaris
Adapun Syarat dalam pewarisan itu ada tiga pula:
1. Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun
kematian secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian
seseorang yang hilang. Keputusan tersebut menjadikan orang yang
hilang sebagai orang yang mati secara hahiki, atau mati menurut dugaan
seperti seseoran memukul seorang perempuan yang hamil sehingga
janinnya gugur dalam keadaan mati; maka janin yang gugur itu
dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata.
2. Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun
hidupnya itu secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan secara
hukum dianggap hidup, karena mungkin ruhnya belum ditiupkan.
Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup sesudah orang yang
mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau terbakar atau tertimbun;
maka di antara mereka itu tidak ada waris mewarisi jika mereka itu
termasuk orang-orang yang saling mewaris. Dan harta masing- masing
mereka itu dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
3. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.
B. Penghalang Dalam Kewarisan
Adapun yang menjadi penghalang untuk mendapat warisan adalah
seseorang yang menjadi ahli waris, akan tetapi ia kehilangan hak
memporoleh warisan karena ada suatu sifat tertentu dan mereka disebut
mahrum, penghalang ini yang disepakati para ulama ada tiga :
1. Perbudakan: Baik orang itu menjadi budak dengan sempurna atau tidak.
2. Pembunuhan dengan sengaja yang diharamkan. Apabila pewaris
membunuh orang yang mewariskan dengan cara zhalim, maka dia
tidak lagi mewarisi, karena hadits Nabi saw bersabda : "Orang yang
membunuh itu tidak mendapatkan warisan sedikitpun".
Adapun pembunuhan yang tidak disengaja, maka para ulama berbeda
pendapat di dalamnya. Berkata Asy-Syafi'i: Setiap pembunuhan
menghalangi pewarisan, sekalipun pembunuhan itu dilakukan oleh
anak kecil atau orang gila, dan sekalipun dengan cara yang benar
seperti had atau qishash. Mazhab Maliki berkata: Sesungguhnya
pembunuhan yang menghalangi pewarisan itu adalah pembunuhan yang
sengaja bermusuhan, baik langsung ataupun mengalami perantaraan.
Undang-undang Warisan Mesir mengambil pendapat ini dalam pasal
lima belas, yang bunyinya :
"Di antara penyebab yang menghalangi pewarisan ialah membunuh orang
yang mewariskan dengan sengaja, baik pembunuh itu pelaku utama,
serikat, ataupun saksi palsu yang kesaksiannya mengakibatkan hukum
bunuh dan pelaksanaannya bagi orang yang mewariskan, jika
pembunuhan itu pembunuhan yang tidak benar atau tidak beralasan;
sedang pembunuh itu orang yang berakal dan sudah berumur lima belas
tahun; kecuali kalau dia melakukan hak membela diri yang sah.
3. Berlainan Agama
Dengan demikian seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan
seorang
kafir tidak mewarisi dari seorang muslim; karena hadits yang
diriwayatkan oleh empat orang ahli hadits, dari Usamah bin Zaid,
bahwa Nabi saw bersabda: "Seorang muslim tidak mewarisi dari
seorang kafir, seorang kafirpun tidak mewarisi dari seorang muslim".
Diriwayatkan oleh Mu'adz, Mu'awiyah, Ibnul Musayyab, Masruq dan
An-Nakha'i, bahwa sesungguhnya seorang muslim itu mewarisi dari
seorang kafir; dan tidak sebaliknya. Yang demikian itu seperti halnya
seorang muslim laki-laki boleh menikah dengan seorang kafir
perempuan dan seorang kafir laki-laki tidak boleh menikah dengan
seorang muslim perem-puan. Adapun orang-orang yang bukan muslim,
maka sebagian mereka mewarisi sebagian yang lain, karena mereka
dianggap satu agama.
B. Ahli Waris
1. Tertib kelompok ahli Ahli Waris
Kelompok Orang-orang yang berhak menerima warisan, menurut
Muhammad Ali As-Shabuni tersusun sebagai berikut :
a. Ashhaabul Furuudh
b. 'Ashabah Nasabiyah
c. Radd kepada Ashhaabul Furuudh
d. Dzawul Arhaam
e. Radd kepada salah seorang suami isteri
f. ’Asabah Sababiyah
g. Orang yang menerima wasiat melebihi sepertiga harta peninggalan atau
semua harta
h. Baitul Maal
Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima warisan menurut
kitab Undang- undang warisan yang berlaku di Mesir adalah sebagai
berikut:
a. Ashhaabul Furuudh
b. 'Ashabah Nasabiyah
c. Rodd kepada Ashhaabul Furuudh
d. Dzawul Arhaam
e. Rad ada salah seorang suami-isteri
f. habah Sababiyah
g. ang yang diakukan nasabnya kepada orang lain
h. ng yang menerima wasiat semua harta peninggalan
i. Baitu Mal
2. Jumlah Ahli waris.
Ahli waris dari kalangan laki-laki secara rinci ada 15 orang yaitu sebagai
berikut:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Ayah
d. Kakek (ayahnya ayah) terus ke atas
e. Saudara laki-laki seayah seibu (syakek)
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-lakinya sudara seayah seibu
i. Anak laki-lakinya saudara seayah
j. Saudara laki-lakinya ayah sekandung (paman)
k. Saudara laki-lakinya ayah seayah (paman seayah)
l. Anak laki-lakinya paman sekandung
m. Anak laki-lakinya paman seayah
n. Suami
o. Orang laki-laki yang memerdekakannya
Adapun ahli waris dari kalangan perempuan secara terperinci ada 10
orang yaitu sebagai berikut:
a. Anak perempuan
b. Ibu
c. Anak perempuan dari anak laki-laki (terus ke bawah)
d. Ibunya ibu (nenek dari ibu) terus ke atas
e. Ibunya bapak (nenek dari bapak) terus ke atas
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Saudara perempuan seibu
i. Isteri
j. Perempuan yang memerdekakannya
3. Ashabul Furudh Dan Bagian-Bagiannya
Ashhaabul Furuudh adalah mereka yang mempunyai bagian dari enam
bagian yang ditentukan di dalam Al-qur’an, yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan
1/6.
Ashhaabul Furuudh ada dua belas orang: empat laki-laki, yaitu ayah,
kakek yang sah dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki seibu, dan suami.
Dan delapan perempuan, yaitu isteri, anak perempuan, saudara perempuan
sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, anak
perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan nenek serta seterusnya sampai ke
atas. Berikut ini akan dijelaskan bagian dari masing-masing secara
terperinci:
a. Ayah
Berfirman Allah SWT:
"Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-
bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga".
Ayah itu mempunyai tiga ketentuan: mewarisi dengan jalan fardh,
mewarisi dengan jalan 'ashabah, dan mewarisi dengan jalan fardh dan
'ashabah secara ber barengan.
- Dengan jalan Fardh: apabila ayah bersama dengan keturunan (far'un) laki-
laki Dalam keadaan demikian, maka bagian ayah adalah seperenam.
- Dengan jalan 'ashabah: Ayah mewarisi dengan jalan 'ashobah, jika mayit
tidak mempunyai keturunan (far'un) yang laki-laki. Dengan demikian, maka
ayah mengambil semua peninggalan bila ia sendirian, atau sisa dari
Ashhaabul Furuudh bila dia bersama dengan salah seorang di antara mereka.
- Dengan jalan fardh dan 'ashobah Yang demikian terjadi bila dia bersama
dengan keturunan perempuan yang mewarisi. Dalam keadaan yang
demikian, ayah mengambil seperenam sebagai fardh, kemudian mengambil
sisa dari Ashhaabul Furuudh sebagai 'ashobah.
b. Kakek
akek ada yang shahih dan ada yang fasid. Kakek yang shahih ialah kakek
yang nasabnya dengan mayit tidak diselingi oleh perempuan, misalnya ayah
dari ayah.
Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya dengan si mayit diselingi oleh
perempuan, misalnya ayah dari ibu. Kakek yang shahih mendapatkan waris
menurut ijma'.
"Dari 'Imran bin Hushain, bahwa seorang laki-laki telah datang kepada
Rosululloh saw, lalu katanya: Sesungguhnya anak laki-laki dari anak laki-
lakiku telah mati, berapakah aku mendapatkan warisannya? Beliau
menjawab: "Engkau mendapatkan seperenam." Ketika orang itu hendak
pergi, Beliau memanggilnya dan berkata:
"Engkau mendapatkan seperenam." Dan ketika orang itu hendak pergi,
maka Beliau memanggilnya dan berkata: "Engkau mendapat seperenam
lainnya." Ketika orang itu hendak pergi, Beliau memanggilnya dan berkata:
"Sesungguhnya seperenam yang lain itu adalah tambahan." (HR Ahmad,
Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dan dia menshahihkan pula).
Hak waris kakek yang shahih itu gugur dengan adanya ayah; dan bila ayah
tidak ada, maka kakek shahih yang menggantikannya, kecuali dalam empat
masalah:
1 Ibu dari ayah itu tidak mewarisi bila ada ayah, sebab ibu dari ayah itu
gugur dengan adanya ayah dan mewarisi bersama kakek.
2 Apabila si mayit meninggalkan ibu-bapak dan seorang dari suami-isteri,
maka ibu mendapatkan sepertiga dari sisa harta sesudah bagian salah
seorang dari suami isteri. Adapun bila kakek menggantikan ayah, maka ibu
mendapatkan sepertiga dari semua harta. Masalah ini dinamakan
Umaririyah, karena masalah ini diputuskan oleh Umar. Masalah ini juga
dinamakan gharraaiyyah karena terkenalnya bagai bintang pagi. Akan tetapi
Ibnu 'Abbas menentang hal itu, dan katanya: "Sesungguhnya ibu
mendapatkan sepertiga dari keseluruhan
harta ; karena firman Allah : 'dan bagi ibunya itu sepertiga'".
3 Bila ayah didapatkan, maka terhalanglah saudara-saudara laki-laki
perempuan sekandung, dan saudara-saudara laki-laki serta saudara-saudara
perempuan sebapak. Adapun kakek, maka mereka tidak terhalang olehnya.
Ini adalah mazhab Asy-Syafi'i, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik. Sedang
Abu Hanifah berpendapat bahwa kakek menghalangi sebagaimana ayah
menghalangi mereka, tidak ada perbedaan antara kakek dan ayah. Undang-
undang Warisan Mesir telah mengambil pendapat yang pertama, dimana
dalam pasal 22 terdapat ketentuan berikut:
"Apabila kakek berkumpul dengan saudara-saudara lelaki dan saudara-
saudara perempuan seibu-sebapak, atau saudara-saudara lelaki dan
saudara-saudara perempuan seayah, maka bagi kakek ini ada dua ketentuan:
Pertama: Dia berbagi sama rata dengan merekan, seperti seorang saudara
laki-laki jika mereka itu laki-laki saja, atau laki-laki dan perempuan atau
perempuan-perempuan yang digolongkan (di'ashobahkan) dengan
keturunan perempuan.
Kedua : Dia mengambil sisa setelah Ashhaabul Furuudh dengan cara
ta’sib bila dia bersama dengan saudara-saudara perempuan yang
di'ashobahkan oleh saudara-saudara lelaki, atau di'ashobahkan oleh
keturunan perempuan menurut furudh atau pewarisan dengan jalan ta'shib
maka ketentuan yang telah dikemukakan itu manjauhkan kakek dari
pewarisan atau mengurangi bagiannya dari seperenam, maka dia dianggap
pemilik dari bagian seperenam. Dan tidak dianggap dalam pembagian
masalah kakek ini, orang yang terhalang dari saudara-saudara lelaki ataun
saudara-saudara perempuan sebapak (yang diprioritaskan dalam masalah
ini adalah hanya kakek saja, red).
c. Saudara Laki-Laki Seibu
Berfirman Allah SWT:
"Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak memeninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing- masing dari kedua jenis saudara iru
seperenam harta. Akan tetapi jika saudara- saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (Surat An-Nisaa
ayat 12).
Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan tidak mempunyai
anak,baik laki-laki maupun perempuan. Dan yang dimaksud saudara laki-
laki dan saudara perempuan dalam ayat ini ialah saudara-saudara seibu. Dari
ayat di atas jelaslah bahwa bagi mereka ada tiga ketentuan:
1 Bahwa seperenam itu untuk satu orang, baik laki-laki maupun perempuan.
2 Bahwa sepertiga itu untuk dua orang atau lebih, baik laki-laki atau
perempuan.
3 Mereka tidak mewarisi sesuatu bersama-sama dengan keturunan yang
mewarisi, seperti anak laki-laki dan anak dari anak laki-laki, dan tidak pula
mewarisi bersama dengan ashal (pokok yang menurunkan) yang laki-laki
lagi mewarisi, seperti ayah dan kakek. Maka mereka ini tidak terhalang
dengan adanya ibu atau nenek.
d. Suami
Allah SWT berfirman :
"Dan magimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkan mereka" (An-Nisaa : 12)
Ayat ini menyebutkan bahwa bagi suami ada dua ketentuan:
Ketentuan pertama:
Dia mendapatkan warisan separuh, jika tidak ada keturunan yang
mewarisi, yaitu anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, anak perempuan,
dan anak perempuan dari anak laki-laki sekalipun anak perempuan itu
diturunkan oleh anak laki-laki,baik keturunan itu dari dirinya ataupun dari
orang lain.
Ketentuan Kedua :
Dia mendapatkan warisan seperempat jika ada keturunan yang mewarisi.
Adapun keturunan yang tidak mewarisi, seperti anak perempuan dari anak
perempuan, maka dia tidak mengurangi bagian suami atau isteri.
e. Isteri
Allah SWT berfirman :
"Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperolehseperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan" (An-Nisaa' :
12).
Dari ayat di atas jelaslah bahwa bagi isteri itu ada dua ketentuan :
Ketentuan Pertama:
Hak memperoleh bagian seperempat bagi isteri terjadi bila tidak ada
keturunan yang mewarisi, baik keturunan itu dari dirinya ataupun dari orang
lain.
Ketentuan Kedua :
Hak memperoleh bagian seperdelapan terjadi bila ada keturunan yang
mewarisi. Apabila isteri itu berbilang, maka bagi mereka berbagi rata dari
seperempat atau seperdelapan bagian. Isteri yang ditalak (diceraikan)
dengan talak raj'ie itu mewarisi dari suaminya apabila suami mati sebelum
habis masa iddahnya. Orang-orang Hambali berpendapat bahwa isteri yang
ditalak sebelum dicampuri oleh suami yang mentalaknya di waktu sakit
yang menyebabkan kematian, kalau suami mati karenasakit, sedang isteri
belum menikah lagi, maka isteri itu mendapat warisan. Demikian pula bila
isteri yang ditalak yang telah dicampuri oleh suami yang mentalaknya,
selama dia belum menikah lagi, dan berada dalam masa 'iddah karena
kematian suami.
Undang-undang yang baru menganggap bahwa isteri yang ditalak bain
dalam keadaan suami sakit yang menyebabkan kematian, maka dia dihukum
sebagai isteri, jika dia tidak rela ditalak dan suami yang mentalak mati
karena penyakit, sedang dia masih berada dalam masa 'iddahnya
f. Anak Perempuan Yang Shulbiyah
Allah SWT berfirman :
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang pembagian harta pusaka untuk anak-
anakmu.Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka duapertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka dia memperoleh seperdua harta" (An-Nisaa' 12).
Ayat di atas menunjukkan bahwa anak perempuan yang shulbiyah
mempunyai tiga ketentuan:
Ketentuan Pertama:
Dia mendapatkan bagian seperdua, apabila anak perempuan itu hanya
seorang diri.
Ketentuan Kedua :
Bagian duapertiga untuk dua orang anak perempuan atau lebih, bila tidak
ada seorang anak laki-laki atau lebih. Berkata Ibnu Qudamah: Ahli ilmu
telah sepakat bahwa fardh (bagian) dari dua orang anak perempuan adalah
duapertiga, kecuali satu riwayat syadz dari Ibnu 'Abbas. Berkata Ibnu
Rusyd: Telah dikatakan bahwa pendapat yang masyhur dari Ibnu 'Abbas itu
seperti pendapat jumhur.
Ketentuan Ketiga :
Mewaris secata ta'shib. Bila dia disertai oleh seorang anak laki-laki
ataulebih banyak, maka cara memperoleh warisannya dengan jalan ta'shib;
di dalam ta'shib bagian seorang laki-laki dua kali bagian seorang
perempuan. Denikian pula bila yang laki-laki dan perempuan itu kedua-
duannya banyak.
g. Saudara Perempuan (Seibu sebapak, Sebapak dan Seibu)
Allah SWT berfirman:
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mepunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak; akan tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang; maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak dua bagian saudara perempuan" (An-
Nisa 176).
Rosululloh saw bersabda :
"Jadikanlah saudara-saudara perempuan dan anak-anak perempuan itu satu
'ashobah"
Bagi saudara perempuan sekandung ada lima ketentuan : 0 mmm
1 Separuh bagi seorang saudara perempuan sekandung bila dia tidak disertai
anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, ayah, kakek, dan
saudara laki- laki sekandung.
2 Dua pertiga bagi dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih bila
tidak ada laki-laki.
3 Apabila saudara-saudara perempuan itu hanya disertai oleh saudara laki-
laki sekandung dan orang-orang yang telah dikemukakan di atas tidak ada,
maka saudara-saudara perempuan sekandung itu di'ashobahkan; sehingga
bagian dari seorang laki-laki adalah dua kali bagian seorang perempuan.
4 Saudara-saudara perempuan sekandung menjadi 'ashobah bersama dengan
anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak-anak laki-
laki, sehingga mereka mengambil sisa harta sesudah bagian anak-anak
perempuan atau anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki.
5 Saudara-saudara perempuan sekandung itu gugur dengan adanya
keturunan laki- laki yang mewarisi, seperti anak laki-laki, dan anak laki-
laki dari anak laki- laki, serta pokok (yang menurunkan) laki-laki yang
mewarisi, seperti ayah menurut kesepakatan - da kakek - menurut Abu
Hanifah -. Pendapat Abu Hanifah ini berbeda dengan pendapat Abu
Yusuf dan Muhammad; dan perbedaan itu telah dikemukakan pada
pembicarann yang lalu.
Bagi perempuan seayah ada enam ketentuan :
1 Separuh, bila dia sendirian, tidak ada saudara perempuan seayah lainnya,
tidak ada saudara perempuan yang sekandung.
2 Dua pertiga, untuk dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
3 Seperenam, bila dia hanya bersama dengan saudara perempuan yang
sekandung,
sebagai penyempurnaan dua pertiga.
4 Mewarisi secara ta'shib bersama orang lain, bila bersamanya (seorang atau
lebih) terdapat seorang anak perempuan atau anak perempuan dari anak
laki- laki. Nereka mendapatkan sisa sesudah bagian anak perempuan atau
anak perempuan dari anak laki-laki.
5 Mereka gugur dengan adanya orang-orang berikut :
a. Pokok atau cabang laki-laki yang mewarisi.
b. Saudara laki-laki sekandung.
c. Saudara perempuan sekandung, bila menjadi 'ashobah oleh sebab anak
perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, sebab saudara
perempuan sekandung dalam hal itu menduduki tempat saudara laki-
laki sekandung. Oleh sebab itu maka dia didahulukan atas saudara laki-
laki seayah dan saudara perempuan seayah, ketika dia menjadi
'ashobah oleh sebab orang lain.
d. Dua orang saudara perempuan sekandung, kecuali bila bersama mereka
terdapat
6 saudara lelaki seayah, maka mereka di'ashobahkan, sehingga sisanya
dibagi: untuk laki-laki adalah duan bagian seorang perempuan.
Apabila mayit meninggalkan dua orang saudara perempuan sekandung,
saudara-saudara perempuan seauayh dan seorang saudara laki-laki seayah,
maka dua orang saudara perempuan sekandung itu mendapat duapertiga,
dan sisanya dibagi antara saudara-saudara perempuan seayah dan saudara
laki-laki seayah dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
h. Cucu Perempuan dari anak Laki-laki
Bagi anak-anak perempuan dari anak laki-laki ada lima ketentuan:
1 Separuh, bila anak perempuan dari anak laki-laki itu sendiri saja dan tidak
ada anak laki-laki shulbi.
2 Duaperiga bagi dua orang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki,
bila tidak ada anak laki-laki shulbi.
3 Seperenam bagi seorang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki
bila ber-samanya terdapat anak perempuan shulbiyah sebagai
penyempurnaan duapertiga; kecuali bila bersama mereka terdapat seorang
anak laki-laki yang sederajat dengan mereka (cucu laki-laki), maka
mereka di'ashobahkan; dan sisanya sesudah bagian anak perempuan
shulbiyah, dibagikan: untuk lelaki dua bagian perempuan.
4 Mereka tidak mewarisi bila ada anak laki-laki.
5 Mereka tidak mewarisi bila ada dua orang anak perempuan sulbiyah atau
lebih, kecuali bila bersama didapatkan seorang anak laki-laki dari anak
laki-laki yang sederajat dengan mereka (cucu laki-laki) atau lebih rendah
dari mereka, maka mereka di'ashobahkan
i. Ibu
Allah SWT berfirman :
"Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak, jika yang
meninggalkan itu tidak mempunyai anak, dan dia diwarisi oleh ibu-
bapaknya saja, maka ibunya mendapapatkan sepertiga. (An-Nisaa' ayat 10).
Bagi ibu itu ada tiga ketentuan :
1 Mendapatkan seperenam, bila dia bersama dengan anak laki-laki atau
seorang anak laki-laki dari anak laki-laki, atau dua orang saudara laki-laki
atau saudara perempuan secara muthlak, baik mereka itu dari fihak ayah
dan ibu, fihak ayah saja ataupun fihak ibu saja.
2 Mendapat sepertiga dari semua harta peninggalan, bila tidak didapatkan
seorangpun dari yang telah dikemukakan (dalam no. 1).
3 Mengambil sepertiga dari sisa harta bila tidak ada orang-orang yang telah
disebutkan tadi sesudah bagian seorang suami-isteri. Yang demikian itu
terdapat dalam dua masalah yang dinamakan gharraiyyah, yaitu :
Pertama: Bila si mayit meninggalkan suami dan dua orang tua.
Kedua : Bila si mayit meninggalkan isteri dan dua orang tua.
n. Nenek
"Dari Qubaishah bin Dzuaib, dia berkata: Seorang nenek telah datang
menghadap Abu Bakr, lalu dia menanyakan tentang warisannya. Abu Bakr
menjawab: "Engkau tidak mempunyai hak sedikitpun menurut Kitab Allah
dan aku tidak tahu sedikitpun berapa hakmu di dalam sunnah Rosululloh
saw. Maka pulanglah engkau sampai aku menanyakan kepada seseorang".
Kemudian Abu Bakr menanyakan kepada para shahabat. Al-Mughiroh bin
Syu'bah menjawab: "Aku pernah menyaksikan Rosululloh saw memberikan
kepada nenek seperenam fardh". Abu Bakr bertanya: "Apakah ada orang
lain bersamamu?" Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah al-Anshori,
mengatakan seperti apa yang dikatakan Al-Mughiroh bin Syu'bah. Maka
Abu Bakrpun memberikan seperenam fardh kepada si nenek. Berkata
Qubaishah: Kemudian datanglah seorang nenek yang lain kepada 'Umar,
menanyakan warisannya. 'Umar menjawab: "Engkau tidak mempunyai hak
sedikitpun menurut kitab Allah, akan tetapi seperenam itulah. Oleh sebab
itu, jika kamu berdua, maka seperenam itupun untuk kamu berdua. Siapa
saja diantara kamu berdua yang sendirian, maka seperenam itu untuknya".
(HR lima orang ahli hadits kecuali An-Nasai, dishahihkan At-Tirmidzi)
Bagi nenek yang shahihah (=nenek yang nasabnya dengan si mayit tidak
diselingi oleh kakek yang fasid. Kakek yang fasid ialah kakek yang
nasabnya dengan si mayit diselingi oleh perempuan , seperti ayah dari ibu)
ada tiga ketentuan :
1 Seperenam bila dia sendirian, dan bila lebih dari satu, maka berserikat di
dalam seperenam itu, dengan syarat sama derajatnya seperti ibu dari ibu
dan ibu dari ayah.
2 Nenek yang dekat dari jihat manapun menghalangi nenek yang jauh,
seperti ibu dari ibu (nenek) menghalangi ibu dari ibu dari ibu (buyut) dan
menghalangi juga ibu dari ayah dari ayah.
3 Nenek dari jihat manapun gugur dengan adanya ibu; dan nenek dari jihat
ayah gugur dengan adanya ayah, akan tetapi adanya ayah tidak
menggugurkan nenek dari fihak ibu. Kakek menghalangi ibunya (buyut)
sebab ibu kakek gugur haknya karena adanya kakek
Untuk lebih mudak tentang furudh-furudh dan syarat-syaratnya
masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut:
Furudhul Muqaddarah
Dan Orang-orang yang menerimanya
1. Yang Mendapat 2/3 Harta Warisan
Ahli Waris Syarat-Syaratnya
1.Dua orang atau lebih anak
perempua
Si Mayit tidak meninggalkan anak
laki-laki
2.Dua orang atau lebih cucu
perempuan dari anak laki-laki
Si mayit tidak meninggalkan :
a. Anak
b. Cucu laki-laki dari anak laki-
laki
3.Dua orang atau lebih saudara
perempuan seibu sebapak
Si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak
b. Cucu
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki seibu
sebapak
4.Dua orang atau lebih saudara
perempuan sebapak
Si mayit tidak meninggalkan :
a. Anak
b. Cucu
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki seibu
sebapak
f. Saudara laki-laki sebapak
g. Saudara perempuan seibu
sebapak
2. Yang mendapat ½ harta warisan
Ahli Waris Syarat
1. Seorang anak perempuan Si Mayit tidak meninggalkan anak
laki-laki
2. Seorang cucu perempuan
dari anak laki-laki
Si Mayit tidak meninggalkan:
a. Anak
b. Cucu laki-laki
3. Seorang saudara perempuan
seibu sebapak
Si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak laki-laki
b. Anak perempuan lebih dari
seorang
c. Cucu laki-laki
d. Cucu perempuan lebih dari
seorang
e. Saudara laki-laki seibu
sebapak
f. Bapak
g. kakek
4. Seorang saudara perempuan
sebapak
Si mayit tidak meninggalkan
a. Anak laki-laki
b. Anak perempuan lebih dari
seorang
c. Cucu laki-laki
d. Cucu perem;puan lebih dari
seorang
e. Bapak
f. Kakek
g. Saudara laki-laki seibu
sebapak
h. Saudara perempuan seibu
sebapak
i. Saudara laki-laki sebapak
5. Suami Si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak
b. cucu
3. Yang mendapat 1/3 harta warisan
Ahli Waris Syaratnya
1. Dua orang atau lebih saudara
seibu
Si Mayit tidak meninggalkan:
a. Anak
b. Cucu
c. Bapak
d. kakek
2. Ibu Si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak
b. Cucu
c. Saudara lebih seorang baik
laki-laki maupun perempuan
4. Yang Mendapat ¼ harta warisan
Ahli Waris Syaratnya
1. Suami Si mayit Meninggalkan:
a. Anak,
b. b. cucu
2. Isteri seorang atau labih Si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak
b. Cucu
5. Yang mendapat 1/6 Harta Warisan
Ahli Waris Syaratnya
1. Bapak Si mayit meninggalkan:
a. Anak
b. cucu
2. Ibu Si mayit meninggalkan
a. Anak
b. Cucu
c. Saudara lebih seorang
3. Kakek dari bapak Si mayit tidak meninggalkan bapak,
namun meninggalkan:
a. Anak
b. cucu
4. Nenek a. Dari bapak seorang atau
lebih, jika si mayit tidak
meninggalkan bapak dan ibu
b. Dari ibu, jika si mayit tidak
meninggalkan ibu
c. Apabila kedua-duanya ada,
maka seperenam dibagi rata
diantara mereka
5. Cucu perempuan dari anak
laki-laki, seorang atau lebih
Si mayit tidak meninggaalkan anak
laki-laki, namun meninggalkan
seorang anak perempuan.
Apabila cucu perempuan lebih dari
seorang, maka seperenam dibagi rata
diantara mereka
6. Saudara perempuan sebapak,
seorang atau lebih
Si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laaki-laki
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki seibu
sebapak
f. Saudara laki-laki sebapak
Namun si mayit
meninggalkan seorang
saudara perempuan seibu
sebapak (tidak lebih)
7. Seorang saudara seibu tidak
lebih (laki-laki atau
perempuan
Si mayit tidak meninggalkan :
a. Anak
b. Cucu
c. Bapak
d. kakek
6. yang mendapat 1/8 harta warisan
Ahli Waris Syaratnya
Isteri, seorang atau lebih Si mayit meninggalkan:
a. anak
b. cucu
Bila isteri lebih seorang, maka
seperdelapan dibagi rata
diantara mereka
Hijab Mahjub
Hijab adalah penutup atau penghalang. Yang dimaksud di sini adalah
penghapusan hak waris seseorang, baik penghapusan secara seluruhnya atau
hanya pengurangan bagiannya disebabkan adanya ahli waris yang lebih
dekat dengan mayit.
Hijab ada dua macam yaitu :
1. Hijab Nuqshan : penghalang yang dapat mengurangi bagian yang
seharusnya diterima oleh ahli waris.
2. Hijab Hirman : penghalang yang menyebabkan ahli waris tidak
mendapatkan warisan sama sekali karena ada ahli waris yang lebih dekat
pertalian kerabatnya.
Adapula ahli waris yang tidak bisa terhijab oleh ahli waris yang lainnya,
yaitu anak laki-laki dan anak perempuan.
Uraian ahli waris yang dapat hijab adalah sebagai berikut :
1. Ahli waris yang bisa terhijab nuqshan :
a. ibu, terhijab oleh anak, cucu dan dua orang saudara atau
lebih
b. bapak, terhijab oleh anak atau cucu
c. suami atau istri, terhijab oleh anak atau cucu
2. Ahli waris yang bisa terhijab hirman :
a. cucu laki-laki, terhijab oleh: anak laki-laki
b. kakek dari bapak, terhijab oleh: bapak
c. saudara laki-laki kandung, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) Bapak
d. saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh :
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) saudara laki-laki kandung
5) saudara perempuan kandung bersama dengan
anak/cucu perempuan
e. saudara laki-laki seibu, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) anak perempuan
3) cucu laki-laki dari anak laki-laki
4) cucu perempuan dari anak laki-laki
5) bapak
6) kakek dari pihak bapak.
f. keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung, terhijab
oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan (dari pihak anak laki-laki)
g. keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, terhijab
oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan (dari pihak anak laki-laki)
8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
h. paman kandung (saudara laki-laki kandung bapak), terhijab
oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan (dari pihak anak laki-laki)
8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
i. paman sebapak (saudara laki-laki sebapak dengan bapak)
terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki)
8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10) paman kandung
j. keponakan laki-laki paman kandung, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan (dari pihak laki-laki)
8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10) paman kandung
11) paman sebapak
k. keponakan laki-laki paman sebapak, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan dari pihak anak lak-laki)
8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10) paman kandung
11) paman sebapak
12) anak laki-laki paman kandung
l. cucu perempuan dari anak laki-laki, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) dua anak perempuan atau lebih jika tidak ada cucu
laki-laki dari anak laki-laki
m. nenek dari pihak bapak, terhijab oleh : bapak
n. nenek dari pihak ibu terhijab oleh: ibu
o. saudara perempuan kandung, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
p. saudara perempuan sebapak, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) dua saudara kandung atau lebih, jika tidak ada
saudara laki-laki sebapak
5) seorang saudara perempuan bersama anak/cucu
perempuan (dari pihak anak laki-laki)
q. saudara perempuan seibu, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) anak perempuan
3) cucu laki-laki dari anak laki-laki
4) cucu perempuan dari anak laki-laki
5) bapak
6) kakek dari pihak bapak
D. Menentukan Asal Masalah
Mengenal asal masalah dalam ilmu faraidh sangat penting agar
masing-masing ahli waris dapat mengambil haknya dengan utuh sesuai
dengan ketentuan dalam al-Qur’an. Yang dimaksud dengan ashal masalah
adalah angka pokok dalam pembagian harta pusaka. Untuk itu cara
menentukan asla maslah adalah sebagai berikut :
1. Bila ahli waris semuanya asabah, maka asal masalahnya jumlah ahli waris
itu sendiri.
2. Bila ahli waris satu orang zawil furudh, maka asal masalahnya adalah
angka penyebut dari bagian zawil furudh tersebut
3. Bila ahli waris ada beberapa kelompok zawil furudh, maka asal
masalahnya adalah angka terkecil diantara angka-angka yang dapat dibagi
dengan angka yang ada (kpk), seperti ½ dan 1/3 sama dengan 6. Dalam
hal ini ada empat Nisbah yang populer dikalangan ulama Faraidh untuk
mendapat KPK tersebut yaitu.
a. Nisbah Tamasul yaitu bila terdapat dua bilangan yang bersamaan pada
kelompok zawil Furudh seperti pada masalah ibu dan 2 saudari
kandung (1/3 dan 2/3 = 3)
b. Nisbah Tadakhul yaitu bila bagian-bagian furudh terdapat dua yang
bermasukan, maka asal masalah adalah angka yang paling besar
seperti pada kasus 1 orang anak perempuan dan suami ( ½ dan ¼ = 4)
c. Nisbah tawafuk yaitu bila ada dua bilangan yang bersesuaian pada satu
suku seperti pada kasus isteri dan satu saudara seibu, maka asal
masalahnya dengan mengkalikan salah satu penyebut dengan hasil
bagi penyebut yang lain ( ¼ dan 1/6 = 4x6/2= 12)
d. Nisbah Tabayun yaitu bila tidak terdapat antara dua bilangan pada
suatu suku yang sesuai , maka asal masalah dengan mengkalikan salah
satu kepada yang lainnya. Seperti masalah ¼ dan 1/3 = 12.
Adapun cara lain mencari asal masalah adalah dengan membagikan
semua furudh yang ada dalam dua kelompok :
Kelompok pertama : ½ , ¼, dan 1/8 dan kelompok kedua : 2/3 , 1/3 dan
1/6.
Bila fardhu-fardhu adalah kelompok pertama saja, maka asal masalahnya
adalah angka yang lebih besar dari fardhu-fardhu yang ada, begitu juga bila
fardhu-fardhu yang hanya kelompok kedua saja.
Adapun bila fardhu-fardhu bercampur dimana salah satunya dari kelompok
pertama dan yang lainnya dari kelompok kedua, maka ketentuannya sebagai
berikut :
- Bila ½ dari kelompok pertama bergabung dengan kelompok kedua maka
asal masalahnya 6
- Bila ¼ dari kelompok pertama dan boleh ada 1/2 bergabung dengan
kelompok kedua, maka asal masalahnya 12.
- Bila 1/8 dari kelompok pertama dan boleh ada ½ dan 1/4 begabung
dengan kelompok kedua maka asal masalahnya 24.
Cara Mentashih Pokok Masalah
Setelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul,
attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui
kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan
apa tujuannya,
Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima
permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti
(maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat
mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu,
untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian
yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun
menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para
ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang
menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam.
Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut:
langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya.
Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian
setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang
sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh
lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada --jumlah pokok
masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat
bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal
itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan
jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai
dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala
dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat
anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan.
Sebab setiap anak mendapat bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per
kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka
hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang
disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.
Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau
meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid
disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang
berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah.
Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus
sehingga pembaca dapat lebih memahaminya.
Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah
Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan
tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan
ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam
berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian.
Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak
mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang, penj.).
Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan
bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan
pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada
mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-
pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap
anak menerima satu bagian.
Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua
saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian
di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3)
berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan
adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.
Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok
masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya
sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu
dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara
kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian.
Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok
masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut
cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul.
Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan
delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak
perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6)
berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung
sebagai 'ashabah.
Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala
anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2).
Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari
bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok
masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok
masalah.
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara
kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian
di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga
bagian, sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga
(2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3), berarti dua bagian.
Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang
diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala
mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala
mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah
di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian
itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah
pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan
bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian,
dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan,
tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung
laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12.
Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti
enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6
sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki-
laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah tabelnya:
3
12 36
Suami ¼
3 9
Anak perempuan ½
6 18
Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6
2 6
Saudara kandung laki-laki ('ashabah)
1 3
Berdasarkan tabel tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan
keturunan anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan
3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok
masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah
hasil pentashihan.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan,
ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing
seperti berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi
27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang
berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang
berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang).
Inilah tabelnya:
5
24
27 135
Istri 1/8
3 15
Lima anak perempuan 2/3
16 80
Ayah 1/6
4 20
Ibu 1/6
4 20
Saudara kandung laki-laki (mahjub)
- -
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak
bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya
ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah
di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135.
Angka itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima
(5) itulah yang dinamakan juz'us sahm.
Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak
perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara
laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak
perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat
saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan
saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut:
28
24 672
3 istri bagiannya 1/8
3 84
7 anak perempuan 2/3
16 448
2 orang nenek 1/6
4 112
saudara kandung laki-laki ('ashabah)
1 28
Saudara laki-lah seibu (mahjub
- -
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan
jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan
bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per
kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah
dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7)
dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28.
Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us sahm
tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya
itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihan seperti
ini dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain.
C. Pembagian Harta Peninggalan
At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau
tanah. Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris
yang ada sesuai dengan hak bagian yang harus mereka terima.
Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada
beberapa cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di
kalangan ulama faraid ada dua -- dalam hal yang berkenaan dengan harta
yang dapat ditransfer.
Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita
kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya
merupakan bagian masing-masing ahli waris.
Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara
menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap
ahli waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita
bagi dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya
merupakan bagian dari masing-masing ahli waris.
Contoh Cara Pertama
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu.
Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya
seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian,
anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4
bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai
'ashabah.
Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris
yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar
adalah harga per bagian.
Jadi, bagian istri 3 bagian
x
20 dinar
=
60 dinar
Anak perempuan 12 bagian
x
20 dinar
=
240 dinar
Ibu 4 bagian
x
20 dinar
=
80 dinar
Ayah ('ashabah) 5 bagian
x
20 dinar
=
100 dinar
Total
=
480 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung
perempuan, ibu, suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki.
Sedangkan harta waris yang ada sebanyak 960 dinar. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan
menjadi 24. Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian,
suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6 yang
berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara
kandung perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti berikut:
2
12 24
24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
1/2 6 12
Suami ¼
1/4 3 6
Ibu 1/6
1/6 2 4
2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair)
1 2
Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-
masing ahli waris:
Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki 12
x
40 dinar
=
480 dinar
Suami 6
x
40 dinar
=
240 dinar
Ibu 4
x
40 dinar
=
160 dinar
Dua saudara kandung perempuan 2
x
40 dinar
=
80 dinar
Total
=
960 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua
anak laki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta
peninggalannya 3.000 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan
1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya
dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali
lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing-
masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian
(masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub.
Simak tabel berikut:
2
6 12
Empat anak perempuan
4 4
Dua anak laki-laki
3 4
Ayah
1/6 1 2
Ibu
1/6 1 2
Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub)
- -
Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar
Jadi, Jadi bagian 4 anak perempuan 4
x
250 dinar
=
1.000 dinar
dua anak laki-laki 4
x
250 dinar
=
1.000 dinar
Ibu 2
x
250 dinar
=
500 dinar
Ayah 2
x
250 dinar
=
500 dinar
Total
=
3.000 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung
perempuan, dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta
peninggalan seluruhnya 9.900 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9.
Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti
3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek
mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel berikut:
6 9
Suami
½ 3
Saudara kandung perempuan
½ 3
Saudara laki-laki seibu
1/3 2
Nenek
1/6 1
Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar
Jadi, Suami 3
x
1.100 dinar
=
3.300 dinar
Saudara perempuan kandung 3
x
1.100 dinar
=
3.300 dinar
Dua saudara laki-laki seibu 2
x
1.100 dinar
=
2.200 dinar
Nenek 1
x
1.100 dinar
=
2.200 dinar
Total
=
9.000 dinar
Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka
pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami
mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian),
dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).
Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga
mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan
kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel berikut:
12 13
Suami
¼ 3
Ibu
1/6 2
Dua anak perempuan
2/3 8
Tiga cucu perempuan
Dua cucu perempuan
'ashabah -
Jadi, Suami 3
x
585:13 dinar
=
135 dinar
Ibu 2
x
585:13 dinar
=
90 dinar
Dua anak perempuan 8
x
585:13 dinar
=
360 dinar
Total
=
585 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya
berjumlah 240 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu
mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6
bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.
12 24
Cucu pr. ket. anak laki-laki
1/2 6 12
Ibu
1/6 2 4
Suami
1/4 3 6
Dua saudara kandung ('ashabah)
1 2
Cucu pr. ket. anak laki-laki 12
x
240:24 dinar
=
120 dinar
Ibu 4
x
240:24 dinar
=
40 dinar
Suami 6
x
240:24 dinar
=
60 dinar
Dua saudara kandung ('ashabah) 2
x
240:24 dinar
=
20 dinar
Total
=
240 dinar
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung
perempuan, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu
perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak
1.500 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6,
ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3
bagian), dan sisanya --dua bagian-- menjadi hak kedua saudara perempuan
kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub.
Inilah tabelnya:
6
Ibu
1/6 1
Cucu pr. ket. anak laki-laki
1/2 3
Dua saudara kandung pr. ('ashabah)
2
Saudara perempuan seayah,
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub)
-
Masalah Dinariyah ash-Shughra
Ada dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-
dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra
memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan
setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.
Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri,
dua (2) orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4)
saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-
kan menjadi 17. Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua
orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), kedelapan saudara
perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan keempat
saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta
peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17,
dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti
ini disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:
12 17
Ke-3 istri
1/4 3
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Kedua nenek
1/6 2
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-8 sdr. pr. seayah
2/3 8
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-4 sdr. pr. seibu
1/3 4
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Masalah Dinariyah al-Kubra
Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli
waris yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari
'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya
mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2)
dinar, dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini
di kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.
Contoh masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat
meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung
laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan harta
peninggalannya 600 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri
mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian),
kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1)
bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang
saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah.
Jadi, bagian Istri 3
x
600:24 dinar
=
75 dinar
Ibu 4
x
600:24 dinar
=
100 dinar
Kedua anak perempuan 16
x
600:24 dinar
=
400 dinar
Total
=
575 dinar
Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung
perempuan mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan
demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki
dan masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian
saudara kandung perempuan. Berikut ini tabelnya:
25
24 600
Istri
1/8 3 75
Ibu
1/6 4 100
Kedua anak perempuan
2/3 16 100
12 saudara kandung laki-laki
1 saudara kandung perempuan ('ashabah)
1 24
1
Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi
Syuraih (seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih
memvonis dengan memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris
hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu
kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih
telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu
dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang
berhak menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya,
Ali bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu
meninggalkan istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki,
dan kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali
berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidak kurang."
Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut
bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara
yang diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab.
E. Asabah
'Ashobah adalah jamak dari 'aashib, seperti halnya tholabah adalah
jamak dari thoolib. 'Ashabah ini ialah anak turun dan kerabat seorang lelaki
dari fihak ayah. Mereka dinamakan 'ashobah karena kuatnya ikatan antara
sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Kata 'ashobah ini diambil dari
ucapan mereka: "Ashobal qoumu bi fulaan",bila mereka bersekutu dengan si
fulan. Maka anak laki-laki adalah satu fihak dari 'ashobah, dan ayah adalah
fihak lain; saudara laki-laki adalah satu segi dari 'ashobah sedangkan paman
(dari fihak ayah) adalah sisi yang lain.
Yang dimaksud dengan 'ashobah disini ialah mereka yang mendapatkan
sisa sesudah Ashhaabul Furuudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan
bagi mereka. Apabila tidak ada sisa sedikitpun dari mereka (ashhaabul
furuudh), maka mereka ('ashobah) tidak mendapatkan apa-apa, kecuali bila
'ashib itu seorang anak laki-laki maka dia tidak akan mendapatkan bagian,
bagaimanapun keadaannya.
Dinamakan 'ashobah juga mereka yang berhak atas semua peninggalan
bila tidak didapatkan seorangpun di antara ashhaabul furuudh, karena hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, dari Ibnu 'Abbas, bahwa
Nabi saw bersabda:"Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu
kepada pemiliknya yang berhak menurut nash; dan apa yang tersisa maka
berikanlah kepada 'ashobah laki-laki yang terdekat kepada si mayit".
Dari Abu Hurairoh ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Tidak ada bagi seorang
mukminkecuali aku lebih berhak atasnya dalam urusan dunia dan
akhiratnya. Bacalah bila kamu suka: "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang
mukmin daripada diri mereka sendiri." Oleh sebab itu, siapa saja orang
mukmin yang mati dan meninggalkan harta, maka harta itu diwariskan
kepada 'ashobahnya, siapapun mereka itu adanya.
Dan barang siapa ditinggali hutang atau beban keluarga oleh si mayit, maka
hendaklah dia datang kepadaku, karena akulah maulanya.
PEMBAGIAN 'ASHOBAH
'Ashobah itu dibagi menjadi dua bagian :
1 'Ashobah Nasabiyah,
2 'Ashobah Sababiyah.
ASHOBAH NASABIYAH
'Ashobah Nasabiyah ada tiga golongan :
1 'Ashobah binafsih
2 'Ashobah bighoirih
3 'Ashobah ma'aghoirih.
ASHOBAH BINAFSIH
'Ashobah binafsih ialah semua orang laki-laki yang nasabnya dengan si
mayit tidak diselingi oleh perempuan. 'Ashobah binafsih ada empat
golongan:
1 Bunuwwah (keanakan), dianamakan juz-ul mayyit.
2 Ubuwwah (keayahan), dinamakan ashlul mayyit.
3 Ukhuwwah (kesaudaraan), dinamakan juz-u abiih.
4 Umumah (kepamanan), dinamakan juz-ul jadd.
'ASHOBAH BIGHOIRIH
'Ashobah bighoirih adalah perempuan yang bagiannya separuh dalam
keadaan sendirian, dan duapertiga bila bersama dengan saudara
perempuannya atau lebih. Apabila bersama perempuan atau perempuan-
perempuan itu terdapat seorang saudara laki-laki, maka di saat itu mereka
semuanya menjadi 'Ashobah dengan adanyasaudara laki-laki tersebut.
Perempuan-perempuan yang menjadi 'Ashobah bighoirih ada empat :
1 Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan,
2 Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki,
3 Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan sekandung,
4 Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan seayah.
Setiap golongan dari keempat golongan ini menjadi 'Ashobah bersama
orang lain, yaitu saudara laki-laki. Pewarisan diantara mereka adalah laki-
laki mendapat dua bagian perempuan.
Perempuan-perempuan yang tidak mendapatkan bagian (fardh) bila tidak
ada saudara laki-lakinya yang 'ashib (menjadi 'ashobah) itu tidak menjadi
'ashobah bighoirih di saat adanya saudara laki-laki. Sebab seandainya
seseorang itu mati sedang dia meninggalkan seorang paman atau bibi (dari
fihak ayah), maka semua hartanya itu untuk paman, sedang bibi tidak
mendapatkan dan tidak menjadi 'ashobah bersama saudara laki-lakinya;
sebab bibi itu tidak mendapatkan bagian bila tidak bersama saudara laki-
lakinya. Demikian pula anak laki-laki dari saudara laki-laki bersama anak
perempuan dari saudara lelaki.
'ASHOBAH MA'AGHOIRIH
'Ashobah ma'aghoirih ialah setiap perempuan yang memerlukan
perempuan lain untuk menjadi 'Ashobah. 'Ashobah ma'aghoirih ini terbatas
hanya pada dua golongan dari perempuan, yaitu :
1 Saudara perempuan sekandung atau saudara-saudara perempuan
sekandung bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari
anak laki-laki.
2 Saudara perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah
bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki;
mereka mendapatkan sisa peninggalan sesudah furudh.
CARA PEWARISAN 'ASHOBAH BINAFSIH
Pada fasal terdahulu telah dikemukakan cara pewarisan untuk 'ashobah
bighoirih dan 'ashobah ma'aghoirih. Adapun cara pewarisan 'ashobah
binafsih, maka akan kami jelaskan sebagai berikut :
'Ashobah binafsih ada empat golongan, dan mewarisi menurut tertib
berikut:
1 Bunuwwah meliputi anak-anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-
laki danseterusnya ke bawah.
2 Bila jihat bunuwwah tidak didapatkan, maka peninggalan atau sisanya itu
berpindah ke jihat ubuwwah yang meliputi ayah dan kakek shahih
seterusnya keatas.
3 Bila tidak ada seorangpun dari jihat ubuwwah, maka peninggalan atau
sisanyaberpindah ke ukhuwwah. Ukhuwwah ini meliputu saudara-saudara
laki-laki sekandung, saudara-saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari
saudara laki-laki sekandung, anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki
seayah, dan seterusnya ke bawah.
4 Bila tidak ada seorang pun dari jihat ukhuwwah, maka peninggalan atau
sisanya berpindah ke jihat 'umumah tanpa ada perbedaan antara 'umumah
si mayit itu sendiri dengan 'umumah ayahnya atau 'umumah kakeknya;
hanya saja 'umumah si mayit didahulukan atas 'umumah ayahnya, dan
'umumah ayahnya didahulukan atas 'umumah kakeknya, dan begitu
seterusnya.
Bila didapatkan sejumlah orang dari satu tingkatan, maka yang paling
berhak untuk mendapatkan warisan adalah mereka yang paling dekat
kepada si mayit.
Bila terdapat sejumlah orang yang sama hubungan nasabnya dengan si
mayit dari segi jihat dan derajat, maka yang paling berhak mendapatkan
warisan adalah mereka yang paling kuat hubungan kekerabatannya dengan
si mayit.
Apabila mayit meninggalkan sejumlah orang yang sama nasab mereka
kepada dirinya dari segi jihat, derajat dan kekuatan, hubungan, maka mereka
sama-sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan kepala
mereka. Inilah makna dari ucapan fuqoha: "Sesungguhnya pendahuluan di
dalam 'ashobah binafsih adalah dengan jihat. Bila jihatnya sama, maka
dengan derajat. Bila derajatnya sama, maka dengan kekuatan hubungan.
Bila mereka sama dalam jihat, derajat dan kekuatan hubungan, maka
mereka sama-sama berhak untuk mendapatkan warisan dan peninggalan itu
dibagi rata diantara mereka menurut jumlah mereka.
'ASHOBAH SABABIYAH
'Ashib Sababi adalah maula (tuan) yang memerdekakan. Bila orang yang
memerdekakan tidak ada, maka warisan itu bagi 'ashobahnya yang laki-laki.
F. Hijab dan Mahjub
1. Definisi
Hajbu menurut bahasa berarti man'u: menghalangi, mencegah.
Maksudnya adalah terhalangnya seseorang tertentu dari semua atau sebagian
warisannya karena adanya orang lain.
Hirman ialah terhalangnya seseorang tertentu dari warisannya karena
terjadi penghalang pewarisan, seperti membunuh dan lain-lainnya.
2. Pembagian Hajb
Hajbu ada dua macam yaitu Hajbu Nuqshoon, dan Hajbu Hirman
Hajbu Nuqshon ialah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris
karena adanya orang lain. Hajbu Nuqshon ini terjadi pada lima orang :
a. Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat di waktu ada anak laki-
laki.
b. Isteri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan di waktu ada anak
lelaki
c. Ibu terhalang dari sepertig menjadi seperenam di waktu ada keturunan
yang mewarisi.
d. Anak perempuan dari anak laki-laki.
e. Saudara perempuan seayah.
Adapun Hajbu Hirman adalah terhalangnya semua warisan bagi
seseorang karena adanya orang lain, seperti terhalangnya warisan bagi
saudara laki-laki di waktu adanya anak laki-laki. Hajbu Hirman ini tidak
termasuk ke dalam warisan dari enam orang pewaris, sekalipun mereka bisa
terhalang oleh Hajbu nuqshon.
Mereka itu adalah :
1 & 2 Kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu,
3 & 4 Kedua orang anak, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan ,
5 & 6 Dua orang suami-isteri.
Hajbu Hirman itu masuk ke dalam ahli waris selain dari keenam ahli
waris tersebut di atas.
Hajbu Hirman ditegakkan atas dua asas:
1 Bahwa setiap orang mempunyai hubungan dengan si mayit karena adanya
orang lain itu, dia tidak mewarisi bila orang tersebut itu ada. Misalnya
anak laki-laki dari anak laki-laki itu tidak mewarisi bersama dengan
adanya anak laki-laki, kecuali anak-anak laki-laki dari ibu, maka mereka
itu mewarisi bersama mereka ibu, padahal mereka mempunyai hubungan
dengan si mayit karena dia.
2 Orang yang lebih dekat itu didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka
anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Apabila
mereka sama dalam derajat, maka ditarjih (diseleksi) dengan kekuatan
hubungan kekerabatannya, sperti saudara laki-laki sekandung
menghalangi saudara laki-laki seayah.
G. Perbedaan Antara Mahrum Dan Mahjub
Perbedaan antara mahrum dan mahjub itu kelihatan jelas dalam dua hal
berikut
1 Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang
membunuh (orang yang mewariskan). Sedang mahjub itu berhak
mendapatkan warisan, akan tetapi dia terhalang karena adanya orang lain
yang lebih utama darinya untuk endapatkan warisan.
2 Orang yang mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain,
maka dia tidak menghalanginya sama sekali, bahkan dia dianggap seperti
tidak ada saja. Misalnya bila seseorang mati dan meninggalkan seorang
anak laki-laki kafir dan seorang saudara laki-laki muslim; maka warisan
itu semua adalah bagi saudara laki-laki, sedang anak laki-laki tidak
mendapatkan apa-apa. Adapun orang yang mahjub (terhalang), maka
terkadang dia mempengaruhi orang lain, dia menghijabnya baik dengan
Hajbu hirman ataupun hajbu Nuqshon. Misalnya, dua tahu lebih saudara-
saudara laki-laki bersama dengan adanya ayah
dan ibu. Keduanya (saudara laki-laki) tidak mewarisi karena adanya ayah;
dan keduanya (ayah dan saudara laki-laki) menghijab ibu dari menerima
sepertiga menjadi seperenam.
BAB TIGA
PENYELESAIAN MASALAH ’AUL DAN RAD
A. 'Aul
1. Definisi
'Aul menurut bahasa berarti irtifa': mengangkat. Dikatakan 'aalal miizaan
bila timbangan itu naik, terangkat. Kata 'aul ini terkadang berarti cenderung
epada perbuatan aniaya (curang). Arti ini ditunjukkan dalam firman Allah
SWT:"Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
(ta'uuluu)" S. An-Nisaa' ayat 3).
Menurut para fuqoha, 'aul ialah bertambahnya saham dzawul furudh dan
kurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Diriwayatkan bahwa
faridhah (pembagian) harta pertama yang mengalami 'aul di dalam Islam itu
diajukan kepada 'Umar ra. Maka dia memutuskan dengan 'aul pada suami
dan dua orang saudara perempuan. Dia be kata kepada para sahabat yang
ada di sisinya:"Jika aku mulai memberikan kepada suami atau dua orang
saudara perempuan, maka idak ada hak yang sempurna bagi yang lain.
Maka berilah aku pertimbangan. Maka Abbas bin 'Abdul Mutholib pun
memberikan pertimbangan kepadanya dengan aul.dikatakan pula bahwa
yang memberikan pertimbangan itu ialah 'Ali. Sementara yang mengatakan
bahwa yang memberikan pertimbangan ialah Zaid bin Tsabit.
2. Contoh-Contoh Masalah 'Aul
a. Telah mati seorang perempuan dengan meninggalkan seorang suami, dua
orang saudara perempuan sekandung, dua orang saudara perempuan seibu
dan ibu. Masalah demikian dianamakan masalah Syuraihiyyah, sebab si
suami itu mencaci-maki Syuraih, hakim yang terkenal itu, dimana si suami
diberi bagian tiga persepuluh. Lalu dia mengelilingi kabilah-kabilah sambil
mengatakan: "Syuraihtidak memberikan kepadaku separuh dan tidak pula
sepertiga." Ketika Syuraihmengetahui hal itu, dia memanggilnya untuk
menghadap, dan memberikan hukumanta'zir kepadanya. Kata Syuraih:
"Engkau buruk bicara, dan menyembunyikan 'aul."
b. Seorang suami talah mati, sedang dia meninggalkan seorang isteri, dua
orang anak perempuan, seorang ayah, dan seorang Ibu. Masalah ini
dinamakan masalah mimbariyyah, sebab Sayyidina 'Ali ra tengah berada di
atas mimbar di Kufah, dan dia mengatakan di dalam khutbahnya: "Segala
puji bagi Allah yang telah memutuskan dengan kebenaran secara pasti, dan
membalas setiap orang dengan apa yang diausahakan, dan kepada-Nya
tempat berpulang dan kembali," lalu beliau ditanya tentang masalah itu,
maka beliau menjawab di tengah-tengah khutbahnya: "Dan isteri itu,
seperdelapan menjadi sepersembilan," kemudian beliau
melanjutkankhutbahnya.
Masalah-masalah yang dimasuki oleh Allah itu ialah masalah-masalah
yang pokok (ashal)-nya : 6 - 12 - 24.
Enam terkadang ddibesarkan menjadi tujuh, atau delapan, atau sembilan,
atau sepuluh. Dan duabelas dibesarkan menjadi tiga belas, lima belas, atau
tujuh belas. Dan dua puluh empat tidak dibesarkan kecuali menjadi dua
puluh tujuh.
Masalah-masalah yang tidak dimasuki Allah sama sekali ialah masalah-
masalah yang pokok (ashal)-nya: 2, 3, 4, 8.
Undang-undang Warisan Mesir menetapkan Allah pada fasal lima belas,
dan nashnya sebagai berikut: "Apabila bagian-bagian ashhaabul furuudh
melebihi harta peninggalan, maka harta peninggalan itu dibagi di antara
mereka menurut perbandingan bagian-bagian mereka di dalam pewarisan."
3. Cara Pemecahan Masalah-Masalah 'Aul
Cara pemecahan masalah-masalah Allah ialah harus mengetahui pokok
masalah,yakni yang menimbulkan masalah itu, dan mengetahui saham-
saham setiap ashhaabul furuudh serta mengabaikan pokonya. Kemudian
bagian-bagian mereka dikumpulkan,dan kumpulan itu dijadikan sebagai
pokok. Lalu peninggalan dibagi atas dasaritu. Dan dengan demikian, maka
akan terjadi kekurangan bagi setiap orang sesuaidengan sahamnya. Di
dalam masalah ini tidak ada kezaliman dan kecurangan.Misalnya, bagi
suami dan dua orang saudara perempuan sekandung, maka pokok
masalahnya adalah enam, untuk suami separuh, yaitu tiga, dan untuk dua
orang saudara perempuan sekandung duapertiga, yaitu empat. Maka
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN
WARISAN

More Related Content

What's hot

Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratKaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratArif Arif
 
Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Nana Cahmaxcy
 
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nyaPembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nyaHolong Marina Ops
 
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhDaftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhSuya Yahya
 
Mutlaq dan muqoyyad sangat benar
Mutlaq dan muqoyyad sangat benarMutlaq dan muqoyyad sangat benar
Mutlaq dan muqoyyad sangat benarHanifah Habibah
 
HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR SERTA KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS
HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR SERTA KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITSHADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR SERTA KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS
HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR SERTA KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITSMuhammad Rizaki
 
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)Ria Widia
 
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaranPengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaranMarhamah Saleh
 
Laporan seni baca al qur'an ppt
Laporan seni baca al qur'an pptLaporan seni baca al qur'an ppt
Laporan seni baca al qur'an pptUmmu Mawaddah
 
Presentasi Fiqh 12 (Waris)
Presentasi Fiqh 12 (Waris)Presentasi Fiqh 12 (Waris)
Presentasi Fiqh 12 (Waris)Marhamah Saleh
 

What's hot (20)

Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam daruratKaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
Kaidah2 fiqh Al yaqini yuzalu bi syak dan kebolehan dalam darurat
 
Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)Istihsan (استحسان)
Istihsan (استحسان)
 
Instrumen HAM
Instrumen HAMInstrumen HAM
Instrumen HAM
 
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nyaPembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad dan Matan-nya
 
Istilah Ulumul Hadits
Istilah Ulumul HaditsIstilah Ulumul Hadits
Istilah Ulumul Hadits
 
Fiqih - Hudud
Fiqih - HududFiqih - Hudud
Fiqih - Hudud
 
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul FiqhDaftar Pertanyaan Ushul Fiqh
Daftar Pertanyaan Ushul Fiqh
 
Mutlaq dan muqoyyad sangat benar
Mutlaq dan muqoyyad sangat benarMutlaq dan muqoyyad sangat benar
Mutlaq dan muqoyyad sangat benar
 
Jinayat
JinayatJinayat
Jinayat
 
mafhum mukhalafah
mafhum mukhalafahmafhum mukhalafah
mafhum mukhalafah
 
LK- RESUME KB-1.pdf
LK- RESUME KB-1.pdfLK- RESUME KB-1.pdf
LK- RESUME KB-1.pdf
 
Rujuk dan Iddah
Rujuk dan IddahRujuk dan Iddah
Rujuk dan Iddah
 
HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR SERTA KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS
HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR SERTA KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITSHADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR SERTA KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS
HADITS, SUNNAH, KHABAR DAN ATSAR SERTA KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS
 
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)
Filsafat dan Agama (Persamaan dan Perbedaannya)
 
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaranPengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
Pengertian, ruang lingkup fiqh muqaran
 
ilmu Rijalul Hadits
ilmu Rijalul Haditsilmu Rijalul Hadits
ilmu Rijalul Hadits
 
Laporan seni baca al qur'an ppt
Laporan seni baca al qur'an pptLaporan seni baca al qur'an ppt
Laporan seni baca al qur'an ppt
 
Presentasi Fiqh 12 (Waris)
Presentasi Fiqh 12 (Waris)Presentasi Fiqh 12 (Waris)
Presentasi Fiqh 12 (Waris)
 
Badan hukum yayasan
Badan hukum yayasanBadan hukum yayasan
Badan hukum yayasan
 
Konsep kepemilikan
Konsep kepemilikanKonsep kepemilikan
Konsep kepemilikan
 

Viewers also liked

Makalah fiqh au l rad dan warisan kakek
Makalah fiqh au l rad dan warisan kakekMakalah fiqh au l rad dan warisan kakek
Makalah fiqh au l rad dan warisan kakekumifathur
 
Makalah mawaris
Makalah mawarisMakalah mawaris
Makalah mawarisjamal din
 
Bab 2 fiqih iii mawaris
Bab 2 fiqih iii mawarisBab 2 fiqih iii mawaris
Bab 2 fiqih iii mawarisikmalabas
 
Pelaksanaan kurikulum berbasis lingkungan
Pelaksanaan kurikulum berbasis lingkunganPelaksanaan kurikulum berbasis lingkungan
Pelaksanaan kurikulum berbasis lingkunganJohnson Hutagaol
 
02 02 17_slide minggu 1-SYI34102
02 02 17_slide minggu 1-SYI3410202 02 17_slide minggu 1-SYI34102
02 02 17_slide minggu 1-SYI34102abuhannan78
 
02 02 17_slide minggu 3 - syi34102
02 02 17_slide minggu 3 - syi3410202 02 17_slide minggu 3 - syi34102
02 02 17_slide minggu 3 - syi34102abuhannan78
 
contoh silabus dan analisa keterkaitan KI KD_adiwiyata
contoh silabus dan analisa keterkaitan KI KD_adiwiyatacontoh silabus dan analisa keterkaitan KI KD_adiwiyata
contoh silabus dan analisa keterkaitan KI KD_adiwiyataKusmiati
 
3 nota faraid syi20503 syurut arkan asbab dan mawanik
3 nota faraid syi20503 syurut arkan asbab dan mawanik3 nota faraid syi20503 syurut arkan asbab dan mawanik
3 nota faraid syi20503 syurut arkan asbab dan mawanikabuhannan78
 
contoh penentuan Kkm dan rpp kelas xi sejarah Indonesia_adiwiyata
contoh penentuan Kkm dan  rpp kelas  xi sejarah Indonesia_adiwiyatacontoh penentuan Kkm dan  rpp kelas  xi sejarah Indonesia_adiwiyata
contoh penentuan Kkm dan rpp kelas xi sejarah Indonesia_adiwiyataKusmiati
 
2 nota faraid syi20503 al huquq al mutaaliqah bil tarikah
2 nota faraid syi20503 al huquq al mutaaliqah bil tarikah2 nota faraid syi20503 al huquq al mutaaliqah bil tarikah
2 nota faraid syi20503 al huquq al mutaaliqah bil tarikahabuhannan78
 
1 nota faraid syi20503 minggu pertama
1 nota faraid syi20503 minggu pertama1 nota faraid syi20503 minggu pertama
1 nota faraid syi20503 minggu pertamaabuhannan78
 
Silabus Pendidikan Lingkungan Hidup
Silabus Pendidikan Lingkungan HidupSilabus Pendidikan Lingkungan Hidup
Silabus Pendidikan Lingkungan HidupIsmail Hamim
 
Struktur ahli waris
Struktur ahli warisStruktur ahli waris
Struktur ahli warisRendy Ibnu
 
Bab5 fiqih mawaris
Bab5 fiqih mawarisBab5 fiqih mawaris
Bab5 fiqih mawarisnur hasan
 
contoh kkm dan rpp adiwiyata kelas xii
contoh kkm dan rpp adiwiyata kelas xiicontoh kkm dan rpp adiwiyata kelas xii
contoh kkm dan rpp adiwiyata kelas xiiKusmiati
 

Viewers also liked (20)

Mawaris
MawarisMawaris
Mawaris
 
013 waris-sarwat
013 waris-sarwat013 waris-sarwat
013 waris-sarwat
 
Makalah fiqh au l rad dan warisan kakek
Makalah fiqh au l rad dan warisan kakekMakalah fiqh au l rad dan warisan kakek
Makalah fiqh au l rad dan warisan kakek
 
Makalah sistem pernapasan dan saraf
Makalah sistem pernapasan dan sarafMakalah sistem pernapasan dan saraf
Makalah sistem pernapasan dan saraf
 
Makalah mawaris
Makalah mawarisMakalah mawaris
Makalah mawaris
 
Makalah sistem pernapasan
Makalah sistem pernapasanMakalah sistem pernapasan
Makalah sistem pernapasan
 
Bab 2 fiqih iii mawaris
Bab 2 fiqih iii mawarisBab 2 fiqih iii mawaris
Bab 2 fiqih iii mawaris
 
Mawaris
MawarisMawaris
Mawaris
 
Pelaksanaan kurikulum berbasis lingkungan
Pelaksanaan kurikulum berbasis lingkunganPelaksanaan kurikulum berbasis lingkungan
Pelaksanaan kurikulum berbasis lingkungan
 
02 02 17_slide minggu 1-SYI34102
02 02 17_slide minggu 1-SYI3410202 02 17_slide minggu 1-SYI34102
02 02 17_slide minggu 1-SYI34102
 
02 02 17_slide minggu 3 - syi34102
02 02 17_slide minggu 3 - syi3410202 02 17_slide minggu 3 - syi34102
02 02 17_slide minggu 3 - syi34102
 
contoh silabus dan analisa keterkaitan KI KD_adiwiyata
contoh silabus dan analisa keterkaitan KI KD_adiwiyatacontoh silabus dan analisa keterkaitan KI KD_adiwiyata
contoh silabus dan analisa keterkaitan KI KD_adiwiyata
 
3 nota faraid syi20503 syurut arkan asbab dan mawanik
3 nota faraid syi20503 syurut arkan asbab dan mawanik3 nota faraid syi20503 syurut arkan asbab dan mawanik
3 nota faraid syi20503 syurut arkan asbab dan mawanik
 
contoh penentuan Kkm dan rpp kelas xi sejarah Indonesia_adiwiyata
contoh penentuan Kkm dan  rpp kelas  xi sejarah Indonesia_adiwiyatacontoh penentuan Kkm dan  rpp kelas  xi sejarah Indonesia_adiwiyata
contoh penentuan Kkm dan rpp kelas xi sejarah Indonesia_adiwiyata
 
2 nota faraid syi20503 al huquq al mutaaliqah bil tarikah
2 nota faraid syi20503 al huquq al mutaaliqah bil tarikah2 nota faraid syi20503 al huquq al mutaaliqah bil tarikah
2 nota faraid syi20503 al huquq al mutaaliqah bil tarikah
 
1 nota faraid syi20503 minggu pertama
1 nota faraid syi20503 minggu pertama1 nota faraid syi20503 minggu pertama
1 nota faraid syi20503 minggu pertama
 
Silabus Pendidikan Lingkungan Hidup
Silabus Pendidikan Lingkungan HidupSilabus Pendidikan Lingkungan Hidup
Silabus Pendidikan Lingkungan Hidup
 
Struktur ahli waris
Struktur ahli warisStruktur ahli waris
Struktur ahli waris
 
Bab5 fiqih mawaris
Bab5 fiqih mawarisBab5 fiqih mawaris
Bab5 fiqih mawaris
 
contoh kkm dan rpp adiwiyata kelas xii
contoh kkm dan rpp adiwiyata kelas xiicontoh kkm dan rpp adiwiyata kelas xii
contoh kkm dan rpp adiwiyata kelas xii
 

Similar to WARISAN

Faraaidh kuliah 1
Faraaidh kuliah 1Faraaidh kuliah 1
Faraaidh kuliah 1ezz_ally
 
KEL 7-PPT AGAMA- Ilmu Faroid Pembagian Harta waris dan Ahli Waris.pptx
KEL 7-PPT AGAMA- Ilmu Faroid Pembagian Harta waris dan Ahli Waris.pptxKEL 7-PPT AGAMA- Ilmu Faroid Pembagian Harta waris dan Ahli Waris.pptx
KEL 7-PPT AGAMA- Ilmu Faroid Pembagian Harta waris dan Ahli Waris.pptxMohammadSyaifudin2
 
Powerpoint bab warisan dalam hukum islam.pptx
Powerpoint bab warisan dalam hukum islam.pptxPowerpoint bab warisan dalam hukum islam.pptx
Powerpoint bab warisan dalam hukum islam.pptxSitiMuzayyanah8
 
Makalah mawaris
Makalah mawarisMakalah mawaris
Makalah mawarisWarna Net
 
Pedoman menciptakan keluarga berdasarkan Agama
Pedoman menciptakan keluarga berdasarkan AgamaPedoman menciptakan keluarga berdasarkan Agama
Pedoman menciptakan keluarga berdasarkan Agamapjj_kemenkes
 
Hukum Warisan(Faraid) Dalam Islam
Hukum Warisan(Faraid) Dalam IslamHukum Warisan(Faraid) Dalam Islam
Hukum Warisan(Faraid) Dalam IslamIlliyin Studio
 
MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMMATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMmudanp.com
 
4 hukum waris islam dan permasalahannya
4 hukum waris islam dan permasalahannya4 hukum waris islam dan permasalahannya
4 hukum waris islam dan permasalahannyaMuhammad Musta'in
 
Id 05 summary_of_the_islamic_fiqh_tuwajre
Id 05 summary_of_the_islamic_fiqh_tuwajreId 05 summary_of_the_islamic_fiqh_tuwajre
Id 05 summary_of_the_islamic_fiqh_tuwajreHellena Ifan
 
KETENTUAN WARISAN DALAM ISLAM.pptx
KETENTUAN WARISAN DALAM ISLAM.pptxKETENTUAN WARISAN DALAM ISLAM.pptx
KETENTUAN WARISAN DALAM ISLAM.pptxRaraWiriTanaya
 

Similar to WARISAN (20)

Fiqih mawaris
Fiqih mawarisFiqih mawaris
Fiqih mawaris
 
Warisan dalam islam
Warisan dalam islamWarisan dalam islam
Warisan dalam islam
 
Faraaidh kuliah 1
Faraaidh kuliah 1Faraaidh kuliah 1
Faraaidh kuliah 1
 
Faraidh
FaraidhFaraidh
Faraidh
 
KEL 7-PPT AGAMA- Ilmu Faroid Pembagian Harta waris dan Ahli Waris.pptx
KEL 7-PPT AGAMA- Ilmu Faroid Pembagian Harta waris dan Ahli Waris.pptxKEL 7-PPT AGAMA- Ilmu Faroid Pembagian Harta waris dan Ahli Waris.pptx
KEL 7-PPT AGAMA- Ilmu Faroid Pembagian Harta waris dan Ahli Waris.pptx
 
Bab xi
Bab xiBab xi
Bab xi
 
Bab xi
Bab xiBab xi
Bab xi
 
Powerpoint bab warisan dalam hukum islam.pptx
Powerpoint bab warisan dalam hukum islam.pptxPowerpoint bab warisan dalam hukum islam.pptx
Powerpoint bab warisan dalam hukum islam.pptx
 
Makalah mawaris
Makalah mawarisMakalah mawaris
Makalah mawaris
 
Waris menurut islam
Waris menurut islamWaris menurut islam
Waris menurut islam
 
fiqih mawarits.pptx
fiqih mawarits.pptxfiqih mawarits.pptx
fiqih mawarits.pptx
 
Kewarisan islam
Kewarisan islamKewarisan islam
Kewarisan islam
 
Pedoman menciptakan keluarga berdasarkan Agama
Pedoman menciptakan keluarga berdasarkan AgamaPedoman menciptakan keluarga berdasarkan Agama
Pedoman menciptakan keluarga berdasarkan Agama
 
Hukum Warisan(Faraid) Dalam Islam
Hukum Warisan(Faraid) Dalam IslamHukum Warisan(Faraid) Dalam Islam
Hukum Warisan(Faraid) Dalam Islam
 
MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMMATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
 
4 hukum waris islam dan permasalahannya
4 hukum waris islam dan permasalahannya4 hukum waris islam dan permasalahannya
4 hukum waris islam dan permasalahannya
 
Bahan tugas tik 2
Bahan tugas tik 2Bahan tugas tik 2
Bahan tugas tik 2
 
Id 05 summary_of_the_islamic_fiqh_tuwajre
Id 05 summary_of_the_islamic_fiqh_tuwajreId 05 summary_of_the_islamic_fiqh_tuwajre
Id 05 summary_of_the_islamic_fiqh_tuwajre
 
KETENTUAN WARISAN DALAM ISLAM.pptx
KETENTUAN WARISAN DALAM ISLAM.pptxKETENTUAN WARISAN DALAM ISLAM.pptx
KETENTUAN WARISAN DALAM ISLAM.pptx
 
HUKUM KEWARISAN.pptx
HUKUM KEWARISAN.pptxHUKUM KEWARISAN.pptx
HUKUM KEWARISAN.pptx
 

WARISAN

  • 1. FIQH MAWARIS BUKU AJAR (DARAS) Disusun Oleh: Drs. Tgk. H. Asnawi Abdullah, MA
  • 2. PENDAHULUAN Perjalanan hidup seseorang di dunia ini yang di mulai dari lahir, hidup berkembang dan diakhiri oleh kematian akan membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama kepada orang dekat dengannya, baik karena hubungan kekeluargaan maupun lainnya. Dan selama hidup manusia menanggung hak dan kewajiban, baik sebagai pribadi, anggota keluarga, masyarakat, dan sebagai seorang muslim yang harus tunduk, taat, dan patuh kepada ketentuansyari’at dalaam seluruh totalitas kehidupannya. Demikian juga dengan kematian yang membawa pengaruh dan akibathukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Disamping itu kematian menimbulkan kewajiban orang lain kepada dirinya, terutama yang berhubungan dengan pengurusaan janazahnya, seperti memandikannya, menyalatinya, menguburkannya yang kita kenal dengan kewajiban kifayah tentang pengurusaan janazah. Dan timbul pula akibat hukum lain yaang terjadi secara otomatis yang yang berkaitan dengan hak ahli waris terhadap seluruh harta peninggaalannya. Setelah diselesaikan hal-hal lain yanag berkaitan dengan hak tirkah seseorang yang meninggaal dunia. Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya akibat hukum yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaaian harta peninggalaannya kepada ahli warisnya yang dalam hukum islam dikenal dengan Hukum waris, atau ilmu mawaris, atau figh mawaris atau ilmu faraidh. Jadi dengan meninggalnya seseorang terjadilah prosespewarisan atau pemindahan dan pengoperan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia. Masalah ini sangat penting karena erat sekali kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Dan dalam islam sejak kematian seseorang saat itu pula semua harta benda miliknya beralih kepada ahli warisnya yang masih hidup. Islam mengatur tentang hak ahli waris di dalam Al-qur’an dengan sangat rinci, mengingat masalah pengalihan harta orang meninggal rentang sekali untuk potensi penyimpangan dan ketidak adilan dalam membaginya diantara ahli waris itu sendiri, siapa yang lebih kuat akan menguasai lebih banyak, dan yang lemah akan mendapat lebih sedikit. Hal tersebut karena pada manusia dalam kehidupan ini sebagaai makhluk hidup memiliki naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut, Allah menciptakan dalaam diri manusia dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat, maka dari sinilah muncul kecenderungaan manusia untuk mendaapaatkaan dan memiliki harta dan memerlukan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai makhluk yang berakal manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya, dan sebagai manusia yang beragama manusia memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan menyempurnakan agamanya, dengan demikian sebagai syarat untuk
  • 3. keseimbangan hidup manusia harus memiliki lima hal yang sangat prinsip yaitu agama, akal, jiwa, harta dan keturunan yang dalam bahasa lain disebut dengan dharuriyat al-khamsah. Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatullah, namun di dalam surat Yusuf ayat 53, Allah mengingatkan bahwa nafsu itu cenderung ke arah keburukan. Nafsu aapabila tidak dokontrol dan dikendalikan dapat menimbulkan pertumpahan darah di atas permukaan bumi ini, untuk mengendalikan itulah maka berbagai aturan dan ketentuan hukum ditetapkan oleh Allah. Dan diantara aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia yang ditetaapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari kematian seseorang, kemana beralih pemilikannya, siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlah dan bagaimana cara mendapatkannya. Aturan warisan yang ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an, pada dasarnya ketentuan Allah yang sangat jelas maksud dan arahnya, dan hal-hal yang masih memerlukan penjelasan, baik yang bersifat menegaskan maupun yang bersifat merinci, dijelaskan oleh Rasulullah melalui hadisnya. Walaupun demikian, penerapannyamasih menimbulkan pemikiran dan ijtihad yang terus dikembangkan oleh mujtahid dan ilmuan yang kemudian dirumuskan dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif, dan aturan tersebut kemudian ditulis dan dibukukan dalam lembaraan kitab-kitab fikih serta menjadi menjadi pedoman bagi kaum muslimin dalam menyelesaikan permasalahan kewarisan tersebut.Dan dengan berpijak pada aturan Allah, maka umat Islam terpelihara dari memakan harta secara bathil, jauh dari terjadi keributan dalam keluarga yang diakibatkan oleh hartawarisan serta terwujudnya keadilab yang sempurna dalam pembagian harta warisan. Amin... BAB SATU PENDAHULUAN A. Pengertian Ilmu Mawaris Kata waris berasal dari kata: Menurut lughah berarti berpindah susuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kelompok kepada kelompok lain baik harta, ilmu, kesungguhan maupun kemuliaan. Sedangkan menurut Istilah ”berpindah pemilikan dari orang mati kepada warisnya yang hidup baik harta, kebun maupun hak yang dibangsakan kepada syara’. Dan sering juga disebut
  • 4. dengan ilmu faraidh. Karena berkaitan dengan bagian ahli waris yang telah ditentukan kadar besar kecilnya oleh syara’, oleh karena itu, para ulama memberikan pengertian yang berbeda-beda namun secara subtansi ada kesamaannya diantaranya : 1. Muhammad al-Syarbani mendefinisikan ilmu faraidh; ilmu figh yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perthitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang bahagian-bahagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris 2. Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan ; Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya 3. Mmahyiddin Abdul Hamid mendefinisikan; Ilmu yang membahas tentang kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi setiap orang yang berhak menerimanya (ahli waris. 4. Rifa’i Arif mendefinisikan; Kaidah-kaidah dan pokok-pokok yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka dan cara membagikan harta peninggalan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Dari definisi diatas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu faraidh atau figh mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup, baik berkaitan dengan harta yang ditinggalkannya, orang- orang yang berhak menerimanya, bagian masing-masing ahli waris maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan. B. Dasar hukum ilmu Mawaris Sumber hukum ilmu Waris adalah ; a. Al-qur’an 1).Surat an-Nisak ayat 7:                      Artinya: laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan. 2).Surat an-Nisak ayat 11:
  • 5.                                                                                   Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. 3). Surat an-Nisak ayat 12:                                                                                   
  • 6.                  Artinya: mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri 12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris), (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. 4). Surat an-Nisak ayat 176:                                                          Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
  • 7. menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. b. Al-Hadis; Artinya: Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang lebih berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (yang lebih dekat) H.R. Bukhari dan Muslim). c. Ijmak dan ijtihad. Ijmak dan ijtihad para sahabat, para imam Mazhab telah memberikan andil yang besar terhadap pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh Nas yang sareh. Seperti: 1). Status saudara yang mewarisi bersama kakek yang didalam al- Qur’an tidak dijelaskan. 2). Sistem Aul pada masalah Ahli Waris Dua atau lebih saudara perempuan kandung bersama suami. 3). Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dari saudara ayahnya. Yang menurut ketentuan tidak mendapat apa-apa karena dihijab oleh saudara ayahnya, namun menurut kitab undang- undang Hukum wasiat mesir yang berpegang pada istimbat dan ijtihad ulama mutaqaddimin diberi bagian berdasarkan atas ”Wasiat Mujibah”. C. Hukum Belajar dan Mengajar Ilmu Waris/ Fara’idh Ketentua-ketentua Syari’at Islam yang di tunjuk oleh nash-nash yang jelas termasuk di dalamnya masalah pembagian warisan, selama tidak ada dalil lain yang menghendaki lain, maka ianya suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat islam. Dalam hal ini mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai yang diperintahkan Allah SWT akan mendapat fahala dan nikmat syurga-Nya, sebaliknya bagi mereka yang tidak mengindahkannya, akan mendapat siksa dan di masukkannya ke dalam api neraka jahannam, hal ini sebagaimana dipahami dari firman Allah surat an-Nisak ayat 14:              Artinya: dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. Rasulullah memerintahkan belajar dan mengajarkan ilmu fara’idh, agar tidak terjadi perselisihan dalam membagikan harta pusaka , sebagaimana Hadist Rasulullah SAW yang artinya:” Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkannya kepada orang-orang dan pelajarilah ilmu fara’idh serta ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya orang yang bakal direnggut
  • 8. (mati) sedang ilmu itu bakal diangkat. Hampir-hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka tidak menemukan seorangpun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka .(H.R. Ahmad, Darul Qutni dan Nasai) Perintah tersebut menunjukkan wajib, namun kewajiban itu gugur bila sudah ada sebagian orang yang melaksanakannya (Kewajiban Kifayah). Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a berkata Bersabda nabi SAW ”Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder) yaitu ayat-ayat muhkamat (yang jelas ketentuannya), Sunnah Nabi SAW yang dilaksanakan dan ilmu faraidh. Artinya: Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengan dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari ummatku. Para ulama berbeda pendapat tentang makna ”setengah dari ilmu” Ada yang mengatakan bahwa dua itu adalah kehidupan dan kematian, dan faraidh erat hubungannya dengan kematian. Yang lain berpendapat Ilmu lain bersandar pada Nas dan Qias, sedangkan ilmu faraidh bersandar pada nas saja. Yang lain lagi berpendapat bahwa ilmu tentang kepemilikan dibagi dua satu pemilikan secara sukarela seperti pembelian, hibah dsb, dan yang satu lagi secara paksa tidak dapat dikembalikan seperti harta warisan. D. Sejarah Pusaka mempusakai Dan sebab waris mewarisi. 1. Pusaka mempusakai pada zaman jahiliyah Orang-orang Arab Jahiliyah tergolong bangsa yang gemar mengembara dan berperang, kehidupan mareka sedikit banyak tergantung pada hasil jarahan dan rampasan perang disamping juga dari perniagaan. Dan dalam bidang pembagian warisan mereka berpegang teguh pada tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan diantaranya “anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai”. Dan Sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai pada masa itu adalah: a. Adanya pertalian karabat yang dilengkapi kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara keluarga, hal ini menyisihkan anak laki-laki dan kaum perempuan. Dan yang termasuk karabat adalah Anak laki-laki, Saudara lakai-laki, paman dan anak paman. b. Adanya janji prasetia yang menjadi kekuatan hukum, bila salah seorang pihak telah ,mengikrarkan janji prasetianya kepada pihak lain dan pihak lain menyetujuinya, dan sebagai akibat dari perjanjian ini, bila salah satu meninggal dunia, maka pihak lain dapat mempusakai seper enam harta peninggalannya. c. Pengangkatan anak (adopsi). Seorang yang mengambil anak orang lain untuk dipelihara dalam keluarganya, maka Bapak angkat berstatus sebagai Bapak angkat. Dan bila ia sudah dewasa ia dapat mempusakai
  • 9. harta peninggalan Bapak angkatnya dan ini masih berlaku sampai beberapa saat di awal Islam. 2. Pusaka mempusakai mada Zaman awal Islam. Pada masa awal-awal Islam dan sebelum turunnya ayat mawaris, Sebab pusaka mempusakai yang berlaku pada masa jahiliyah, dua sebab msih berlaku yaitu ”hubungan karabat dan adopsi” dan ditambah dengan persaudaraan muhajirin dan ansar (Muakhkhah), hal ini sebagai usaha memperteguh dan mengabadikan persaudaraan antara keduanya. Kemudian sistem pewarisan yang berlaku dalam masyarakat jahiliyah dan awal Islam disempurnakan dan ada yang dibatalkan oleh Islam melalui ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab pusaka mempusakai berdasarkan ”Muakhkhah” dibatalkah oleh firman Allah surat al-Ahzab ayat 6 :                                 Artinya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri[1] dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik[2] kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu Telah tertulis di dalam Kitab (Allah). [1] Maksudnya: orang-orang mukmin itu mencintai nabi mereka lebih dari mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan. [2] yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta. Sebab mempusakai yang dikhususkan anak laki-laki dewasa lagi kuat berjuang, dinasahkan oleh firman Allah surat an-Nisa’ ayat 7                      Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu- bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan. Pusaka mempusakai berdasarkan adopsi dibatalkan oleh Firman Allah surat al-Ahzab ayat 4 dan 5:                              
  • 10.                                    Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak- bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 3. Sebab-sebab mempusakai setelah ayat-ayat Mawaris. Adapun yang dimaksud dengan sebab-sebab adanya pewarisan adalah sesuatu yang mewajibkan adanya hak mewarisi, dan sebab mewarisi itu adalah: a. Kekerabatan, yaitu hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, hal ini didasarkan pada ayat-ayat tersebut di atas. b. Pernikahan, yaitu dengan sebab sudah menjadi suami isteri dengan adanya akad nikah yang sah walaupun belum adanya hubungan intim antara keduanya. Hal ini sesuai dengan kandungan ayat 12 surat an-Nisak di atas. Talak Raji’i yang belum habis iddahnya tidak menjadi penghalang mewarisi, karena isteri dalam talak raji’i masih dapat ruju’, dan ia masih dihitung suami isteri. c. Wala’ atau pemerdekaan Budak. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah dalam perkara Barirah r.a. ”Hak Wala’ itu hanya bagi orang yang telah memerdekakan budaknya (Mutafaq alaih). d. Baital mal, dalam hal Baitalmal menjadi salah satu sebab mewarisi, para ahli fikih berbeda pendapat; pertama dapat mewarisi secara mutlak, baik yang terorganisir maupun tidak, dengan alasan kaum muslimin dibebani kewajiban membarar diyat untuk saudaranya yang tidak mempunyai karabat, maka kedudukan mereka bagaikan asabah dalam lingkungan karabat. Pendapat ini dipegang oleh kalangan Malikiyah dan Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya. Kedua Baitulmal dapat menjadi ahli waris jika terorganisir, dan bukan untuk kemaslahatan sosial tetapi untuk
  • 11. diwarisi oleh kaum muslimin secara ushubah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya, orang syafi’iyah dan Malikiyah yang berpegang pada pendapat ini beralasan pada Sabda Rasulullah ”Aku adalah ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris, aku dapat membayar dendanya dan mewarinya” Ketiga, Baitulmal bukan penyebab mewarisi. Ini pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, merelka beralasan pada firman Allah surat al-Anfal ayat 75 : e.                         Artinya : Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. E. Peninggalan (tirkah) Peninggalan (tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang yang mati) secara mutlak. Yang demikian itu ditetapkan oleh Ibnu Hazm, katanya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan warisan kepada harta, bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia sesudah dia mati. Adapun hak-hak, maka ia tidak diwariskan kecuali yang mengikuti harta atau dalam pengertian harta, misalnya hak pakai, hak penghormatan, hak tinggal di tanah yang dimonopoli untuk bangunan dan tanaman. Menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali, peninggalan si mayit, baik hak harta benda maupun hak bukan harta benda. Adapun hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu ada empat. Keempatnya tidak sama kedudukannya, sebagiannya ada yang lebih kuat dari yang lain sehingga ia didahulukan atas yang lain untuk dikeluarkan dari peninggalan. Hak-hak tersebut menurut tertib berikut : - Biaya mengkafani dan memperlengkapinya menurut cara yang telah diatur dalam masalah jenazah - Melunasi hutangnya. Ibnu Hazm dan Asy-Syafi'i mendahulukan hutang kepada Allah seperti zakat dan kifarat, atas hutang kepada manusia. Orang-orang Hanafi menggugurkan hutang kepada Allah dengan adanya kematian. Dengan demikian maka hutang kepada Allah itu tidak wajib dibayar oleh ahli waris kecuali apabila mereka secara sukarela membayarnya, atau diwasiatkan oleh mayit untuk dibayarnya. Dengan diwasiatkannya hutang, maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada orang lain yang dikeluarkan oleh ahli waris atau pemelihara dari sepertiga yang tersisa setelah perawatan mayat dan hutang kepada
  • 12. manusia. Ini bila dia mempunyai ahli waris. Apabila dia tidak mempunyai ahli waris, maka wasiat hutang itu dikeluarkan dari seluruh harta. Orang-orang Hambali mempersamakan antara hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Demikian pula mereka sepakat bahwa hutang hamba yang bersifat 'aini (hutang yang berhubungan dengan harta peninggalan) itu didahulukan atas hutang muthlak. - Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang dibayar. Bagi Masyarakat muslim Indonesia, disamping kewajiban yang telah disebutkan di atas, perlu juga diperhatikan harta bersama suami isteri, yang dalam masyarakat Aceh disebut dengan harta seuhareukat, masalah ini harus diselesaikan lebih dahulu sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, dan barulah sisa dari itu semuanya yang disebut dengan maurus atau harta pusaka dan dibagikan kepada ahli waris. BAB DUA PRINSIP DAN DASAR WARIS MEWARISI A. Rukun dan syarat dalam pewarisan Ada tiga rukun dalam pewarisan: 1. Adanya pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan penyebab kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh kewarisan. 2. Orang yang mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang hilang dan dinyatakan mati.
  • 13. 3. Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan warisan. Yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris Adapun Syarat dalam pewarisan itu ada tiga pula: 1. Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun kematian secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian seseorang yang hilang. Keputusan tersebut menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati secara hahiki, atau mati menurut dugaan seperti seseoran memukul seorang perempuan yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati; maka janin yang gugur itu dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata. 2. Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya itu secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan secara hukum dianggap hidup, karena mungkin ruhnya belum ditiupkan. Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup sesudah orang yang mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau terbakar atau tertimbun; maka di antara mereka itu tidak ada waris mewarisi jika mereka itu termasuk orang-orang yang saling mewaris. Dan harta masing- masing mereka itu dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup. 3. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan. B. Penghalang Dalam Kewarisan Adapun yang menjadi penghalang untuk mendapat warisan adalah seseorang yang menjadi ahli waris, akan tetapi ia kehilangan hak memporoleh warisan karena ada suatu sifat tertentu dan mereka disebut mahrum, penghalang ini yang disepakati para ulama ada tiga : 1. Perbudakan: Baik orang itu menjadi budak dengan sempurna atau tidak. 2. Pembunuhan dengan sengaja yang diharamkan. Apabila pewaris membunuh orang yang mewariskan dengan cara zhalim, maka dia tidak lagi mewarisi, karena hadits Nabi saw bersabda : "Orang yang membunuh itu tidak mendapatkan warisan sedikitpun". Adapun pembunuhan yang tidak disengaja, maka para ulama berbeda pendapat di dalamnya. Berkata Asy-Syafi'i: Setiap pembunuhan menghalangi pewarisan, sekalipun pembunuhan itu dilakukan oleh anak kecil atau orang gila, dan sekalipun dengan cara yang benar seperti had atau qishash. Mazhab Maliki berkata: Sesungguhnya pembunuhan yang menghalangi pewarisan itu adalah pembunuhan yang sengaja bermusuhan, baik langsung ataupun mengalami perantaraan. Undang-undang Warisan Mesir mengambil pendapat ini dalam pasal lima belas, yang bunyinya : "Di antara penyebab yang menghalangi pewarisan ialah membunuh orang yang mewariskan dengan sengaja, baik pembunuh itu pelaku utama, serikat, ataupun saksi palsu yang kesaksiannya mengakibatkan hukum bunuh dan pelaksanaannya bagi orang yang mewariskan, jika
  • 14. pembunuhan itu pembunuhan yang tidak benar atau tidak beralasan; sedang pembunuh itu orang yang berakal dan sudah berumur lima belas tahun; kecuali kalau dia melakukan hak membela diri yang sah. 3. Berlainan Agama Dengan demikian seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan seorang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim; karena hadits yang diriwayatkan oleh empat orang ahli hadits, dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi saw bersabda: "Seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir, seorang kafirpun tidak mewarisi dari seorang muslim". Diriwayatkan oleh Mu'adz, Mu'awiyah, Ibnul Musayyab, Masruq dan An-Nakha'i, bahwa sesungguhnya seorang muslim itu mewarisi dari seorang kafir; dan tidak sebaliknya. Yang demikian itu seperti halnya seorang muslim laki-laki boleh menikah dengan seorang kafir perempuan dan seorang kafir laki-laki tidak boleh menikah dengan seorang muslim perem-puan. Adapun orang-orang yang bukan muslim, maka sebagian mereka mewarisi sebagian yang lain, karena mereka dianggap satu agama. B. Ahli Waris 1. Tertib kelompok ahli Ahli Waris Kelompok Orang-orang yang berhak menerima warisan, menurut Muhammad Ali As-Shabuni tersusun sebagai berikut : a. Ashhaabul Furuudh b. 'Ashabah Nasabiyah c. Radd kepada Ashhaabul Furuudh d. Dzawul Arhaam e. Radd kepada salah seorang suami isteri f. ’Asabah Sababiyah g. Orang yang menerima wasiat melebihi sepertiga harta peninggalan atau semua harta h. Baitul Maal Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima warisan menurut kitab Undang- undang warisan yang berlaku di Mesir adalah sebagai berikut: a. Ashhaabul Furuudh b. 'Ashabah Nasabiyah c. Rodd kepada Ashhaabul Furuudh d. Dzawul Arhaam e. Rad ada salah seorang suami-isteri f. habah Sababiyah g. ang yang diakukan nasabnya kepada orang lain h. ng yang menerima wasiat semua harta peninggalan i. Baitu Mal
  • 15. 2. Jumlah Ahli waris. Ahli waris dari kalangan laki-laki secara rinci ada 15 orang yaitu sebagai berikut: a. Anak laki-laki b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki c. Ayah d. Kakek (ayahnya ayah) terus ke atas e. Saudara laki-laki seayah seibu (syakek) f. Saudara laki-laki seayah g. Saudara laki-laki seibu h. Anak laki-lakinya sudara seayah seibu i. Anak laki-lakinya saudara seayah j. Saudara laki-lakinya ayah sekandung (paman) k. Saudara laki-lakinya ayah seayah (paman seayah) l. Anak laki-lakinya paman sekandung m. Anak laki-lakinya paman seayah n. Suami o. Orang laki-laki yang memerdekakannya Adapun ahli waris dari kalangan perempuan secara terperinci ada 10 orang yaitu sebagai berikut: a. Anak perempuan b. Ibu c. Anak perempuan dari anak laki-laki (terus ke bawah) d. Ibunya ibu (nenek dari ibu) terus ke atas e. Ibunya bapak (nenek dari bapak) terus ke atas f. Saudara perempuan sekandung g. Saudara perempuan seayah h. Saudara perempuan seibu i. Isteri j. Perempuan yang memerdekakannya 3. Ashabul Furudh Dan Bagian-Bagiannya Ashhaabul Furuudh adalah mereka yang mempunyai bagian dari enam bagian yang ditentukan di dalam Al-qur’an, yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6. Ashhaabul Furuudh ada dua belas orang: empat laki-laki, yaitu ayah, kakek yang sah dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki seibu, dan suami. Dan delapan perempuan, yaitu isteri, anak perempuan, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan nenek serta seterusnya sampai ke atas. Berikut ini akan dijelaskan bagian dari masing-masing secara terperinci:
  • 16. a. Ayah Berfirman Allah SWT: "Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu- bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga". Ayah itu mempunyai tiga ketentuan: mewarisi dengan jalan fardh, mewarisi dengan jalan 'ashabah, dan mewarisi dengan jalan fardh dan 'ashabah secara ber barengan. - Dengan jalan Fardh: apabila ayah bersama dengan keturunan (far'un) laki- laki Dalam keadaan demikian, maka bagian ayah adalah seperenam. - Dengan jalan 'ashabah: Ayah mewarisi dengan jalan 'ashobah, jika mayit tidak mempunyai keturunan (far'un) yang laki-laki. Dengan demikian, maka ayah mengambil semua peninggalan bila ia sendirian, atau sisa dari Ashhaabul Furuudh bila dia bersama dengan salah seorang di antara mereka. - Dengan jalan fardh dan 'ashobah Yang demikian terjadi bila dia bersama dengan keturunan perempuan yang mewarisi. Dalam keadaan yang demikian, ayah mengambil seperenam sebagai fardh, kemudian mengambil sisa dari Ashhaabul Furuudh sebagai 'ashobah. b. Kakek akek ada yang shahih dan ada yang fasid. Kakek yang shahih ialah kakek yang nasabnya dengan mayit tidak diselingi oleh perempuan, misalnya ayah dari ayah. Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya dengan si mayit diselingi oleh perempuan, misalnya ayah dari ibu. Kakek yang shahih mendapatkan waris menurut ijma'. "Dari 'Imran bin Hushain, bahwa seorang laki-laki telah datang kepada Rosululloh saw, lalu katanya: Sesungguhnya anak laki-laki dari anak laki- lakiku telah mati, berapakah aku mendapatkan warisannya? Beliau menjawab: "Engkau mendapatkan seperenam." Ketika orang itu hendak pergi, Beliau memanggilnya dan berkata: "Engkau mendapatkan seperenam." Dan ketika orang itu hendak pergi, maka Beliau memanggilnya dan berkata: "Engkau mendapat seperenam lainnya." Ketika orang itu hendak pergi, Beliau memanggilnya dan berkata: "Sesungguhnya seperenam yang lain itu adalah tambahan." (HR Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dan dia menshahihkan pula). Hak waris kakek yang shahih itu gugur dengan adanya ayah; dan bila ayah tidak ada, maka kakek shahih yang menggantikannya, kecuali dalam empat masalah: 1 Ibu dari ayah itu tidak mewarisi bila ada ayah, sebab ibu dari ayah itu gugur dengan adanya ayah dan mewarisi bersama kakek. 2 Apabila si mayit meninggalkan ibu-bapak dan seorang dari suami-isteri, maka ibu mendapatkan sepertiga dari sisa harta sesudah bagian salah
  • 17. seorang dari suami isteri. Adapun bila kakek menggantikan ayah, maka ibu mendapatkan sepertiga dari semua harta. Masalah ini dinamakan Umaririyah, karena masalah ini diputuskan oleh Umar. Masalah ini juga dinamakan gharraaiyyah karena terkenalnya bagai bintang pagi. Akan tetapi Ibnu 'Abbas menentang hal itu, dan katanya: "Sesungguhnya ibu mendapatkan sepertiga dari keseluruhan harta ; karena firman Allah : 'dan bagi ibunya itu sepertiga'". 3 Bila ayah didapatkan, maka terhalanglah saudara-saudara laki-laki perempuan sekandung, dan saudara-saudara laki-laki serta saudara-saudara perempuan sebapak. Adapun kakek, maka mereka tidak terhalang olehnya. Ini adalah mazhab Asy-Syafi'i, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik. Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa kakek menghalangi sebagaimana ayah menghalangi mereka, tidak ada perbedaan antara kakek dan ayah. Undang- undang Warisan Mesir telah mengambil pendapat yang pertama, dimana dalam pasal 22 terdapat ketentuan berikut: "Apabila kakek berkumpul dengan saudara-saudara lelaki dan saudara- saudara perempuan seibu-sebapak, atau saudara-saudara lelaki dan saudara-saudara perempuan seayah, maka bagi kakek ini ada dua ketentuan: Pertama: Dia berbagi sama rata dengan merekan, seperti seorang saudara laki-laki jika mereka itu laki-laki saja, atau laki-laki dan perempuan atau perempuan-perempuan yang digolongkan (di'ashobahkan) dengan keturunan perempuan. Kedua : Dia mengambil sisa setelah Ashhaabul Furuudh dengan cara ta’sib bila dia bersama dengan saudara-saudara perempuan yang di'ashobahkan oleh saudara-saudara lelaki, atau di'ashobahkan oleh keturunan perempuan menurut furudh atau pewarisan dengan jalan ta'shib maka ketentuan yang telah dikemukakan itu manjauhkan kakek dari pewarisan atau mengurangi bagiannya dari seperenam, maka dia dianggap pemilik dari bagian seperenam. Dan tidak dianggap dalam pembagian masalah kakek ini, orang yang terhalang dari saudara-saudara lelaki ataun saudara-saudara perempuan sebapak (yang diprioritaskan dalam masalah ini adalah hanya kakek saja, red). c. Saudara Laki-Laki Seibu Berfirman Allah SWT: "Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak memeninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing- masing dari kedua jenis saudara iru seperenam harta. Akan tetapi jika saudara- saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (Surat An-Nisaa ayat 12). Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan tidak mempunyai anak,baik laki-laki maupun perempuan. Dan yang dimaksud saudara laki-
  • 18. laki dan saudara perempuan dalam ayat ini ialah saudara-saudara seibu. Dari ayat di atas jelaslah bahwa bagi mereka ada tiga ketentuan: 1 Bahwa seperenam itu untuk satu orang, baik laki-laki maupun perempuan. 2 Bahwa sepertiga itu untuk dua orang atau lebih, baik laki-laki atau perempuan. 3 Mereka tidak mewarisi sesuatu bersama-sama dengan keturunan yang mewarisi, seperti anak laki-laki dan anak dari anak laki-laki, dan tidak pula mewarisi bersama dengan ashal (pokok yang menurunkan) yang laki-laki lagi mewarisi, seperti ayah dan kakek. Maka mereka ini tidak terhalang dengan adanya ibu atau nenek. d. Suami Allah SWT berfirman : "Dan magimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan mereka" (An-Nisaa : 12) Ayat ini menyebutkan bahwa bagi suami ada dua ketentuan: Ketentuan pertama: Dia mendapatkan warisan separuh, jika tidak ada keturunan yang mewarisi, yaitu anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, anak perempuan, dan anak perempuan dari anak laki-laki sekalipun anak perempuan itu diturunkan oleh anak laki-laki,baik keturunan itu dari dirinya ataupun dari orang lain. Ketentuan Kedua : Dia mendapatkan warisan seperempat jika ada keturunan yang mewarisi. Adapun keturunan yang tidak mewarisi, seperti anak perempuan dari anak perempuan, maka dia tidak mengurangi bagian suami atau isteri. e. Isteri Allah SWT berfirman : "Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperolehseperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan" (An-Nisaa' : 12). Dari ayat di atas jelaslah bahwa bagi isteri itu ada dua ketentuan : Ketentuan Pertama: Hak memperoleh bagian seperempat bagi isteri terjadi bila tidak ada keturunan yang mewarisi, baik keturunan itu dari dirinya ataupun dari orang lain. Ketentuan Kedua : Hak memperoleh bagian seperdelapan terjadi bila ada keturunan yang mewarisi. Apabila isteri itu berbilang, maka bagi mereka berbagi rata dari seperempat atau seperdelapan bagian. Isteri yang ditalak (diceraikan)
  • 19. dengan talak raj'ie itu mewarisi dari suaminya apabila suami mati sebelum habis masa iddahnya. Orang-orang Hambali berpendapat bahwa isteri yang ditalak sebelum dicampuri oleh suami yang mentalaknya di waktu sakit yang menyebabkan kematian, kalau suami mati karenasakit, sedang isteri belum menikah lagi, maka isteri itu mendapat warisan. Demikian pula bila isteri yang ditalak yang telah dicampuri oleh suami yang mentalaknya, selama dia belum menikah lagi, dan berada dalam masa 'iddah karena kematian suami. Undang-undang yang baru menganggap bahwa isteri yang ditalak bain dalam keadaan suami sakit yang menyebabkan kematian, maka dia dihukum sebagai isteri, jika dia tidak rela ditalak dan suami yang mentalak mati karena penyakit, sedang dia masih berada dalam masa 'iddahnya f. Anak Perempuan Yang Shulbiyah Allah SWT berfirman : "Allah mensyari'atkan bagimu tentang pembagian harta pusaka untuk anak- anakmu.Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka duapertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh seperdua harta" (An-Nisaa' 12). Ayat di atas menunjukkan bahwa anak perempuan yang shulbiyah mempunyai tiga ketentuan: Ketentuan Pertama: Dia mendapatkan bagian seperdua, apabila anak perempuan itu hanya seorang diri. Ketentuan Kedua : Bagian duapertiga untuk dua orang anak perempuan atau lebih, bila tidak ada seorang anak laki-laki atau lebih. Berkata Ibnu Qudamah: Ahli ilmu telah sepakat bahwa fardh (bagian) dari dua orang anak perempuan adalah duapertiga, kecuali satu riwayat syadz dari Ibnu 'Abbas. Berkata Ibnu Rusyd: Telah dikatakan bahwa pendapat yang masyhur dari Ibnu 'Abbas itu seperti pendapat jumhur. Ketentuan Ketiga : Mewaris secata ta'shib. Bila dia disertai oleh seorang anak laki-laki ataulebih banyak, maka cara memperoleh warisannya dengan jalan ta'shib; di dalam ta'shib bagian seorang laki-laki dua kali bagian seorang perempuan. Denikian pula bila yang laki-laki dan perempuan itu kedua- duannya banyak. g. Saudara Perempuan (Seibu sebapak, Sebapak dan Seibu) Allah SWT berfirman: "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mepunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
  • 20. ditinggalkannya, dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak; akan tetapi jika saudara perempuan itu dua orang; maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak dua bagian saudara perempuan" (An- Nisa 176). Rosululloh saw bersabda : "Jadikanlah saudara-saudara perempuan dan anak-anak perempuan itu satu 'ashobah" Bagi saudara perempuan sekandung ada lima ketentuan : 0 mmm 1 Separuh bagi seorang saudara perempuan sekandung bila dia tidak disertai anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, ayah, kakek, dan saudara laki- laki sekandung. 2 Dua pertiga bagi dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih bila tidak ada laki-laki. 3 Apabila saudara-saudara perempuan itu hanya disertai oleh saudara laki- laki sekandung dan orang-orang yang telah dikemukakan di atas tidak ada, maka saudara-saudara perempuan sekandung itu di'ashobahkan; sehingga bagian dari seorang laki-laki adalah dua kali bagian seorang perempuan. 4 Saudara-saudara perempuan sekandung menjadi 'ashobah bersama dengan anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak-anak laki- laki, sehingga mereka mengambil sisa harta sesudah bagian anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki. 5 Saudara-saudara perempuan sekandung itu gugur dengan adanya keturunan laki- laki yang mewarisi, seperti anak laki-laki, dan anak laki- laki dari anak laki- laki, serta pokok (yang menurunkan) laki-laki yang mewarisi, seperti ayah menurut kesepakatan - da kakek - menurut Abu Hanifah -. Pendapat Abu Hanifah ini berbeda dengan pendapat Abu Yusuf dan Muhammad; dan perbedaan itu telah dikemukakan pada pembicarann yang lalu. Bagi perempuan seayah ada enam ketentuan : 1 Separuh, bila dia sendirian, tidak ada saudara perempuan seayah lainnya, tidak ada saudara perempuan yang sekandung. 2 Dua pertiga, untuk dua orang saudara perempuan seayah atau lebih. 3 Seperenam, bila dia hanya bersama dengan saudara perempuan yang sekandung, sebagai penyempurnaan dua pertiga. 4 Mewarisi secara ta'shib bersama orang lain, bila bersamanya (seorang atau lebih) terdapat seorang anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki- laki. Nereka mendapatkan sisa sesudah bagian anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki. 5 Mereka gugur dengan adanya orang-orang berikut :
  • 21. a. Pokok atau cabang laki-laki yang mewarisi. b. Saudara laki-laki sekandung. c. Saudara perempuan sekandung, bila menjadi 'ashobah oleh sebab anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, sebab saudara perempuan sekandung dalam hal itu menduduki tempat saudara laki- laki sekandung. Oleh sebab itu maka dia didahulukan atas saudara laki- laki seayah dan saudara perempuan seayah, ketika dia menjadi 'ashobah oleh sebab orang lain. d. Dua orang saudara perempuan sekandung, kecuali bila bersama mereka terdapat 6 saudara lelaki seayah, maka mereka di'ashobahkan, sehingga sisanya dibagi: untuk laki-laki adalah duan bagian seorang perempuan. Apabila mayit meninggalkan dua orang saudara perempuan sekandung, saudara-saudara perempuan seauayh dan seorang saudara laki-laki seayah, maka dua orang saudara perempuan sekandung itu mendapat duapertiga, dan sisanya dibagi antara saudara-saudara perempuan seayah dan saudara laki-laki seayah dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. h. Cucu Perempuan dari anak Laki-laki Bagi anak-anak perempuan dari anak laki-laki ada lima ketentuan: 1 Separuh, bila anak perempuan dari anak laki-laki itu sendiri saja dan tidak ada anak laki-laki shulbi. 2 Duaperiga bagi dua orang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki, bila tidak ada anak laki-laki shulbi. 3 Seperenam bagi seorang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki bila ber-samanya terdapat anak perempuan shulbiyah sebagai penyempurnaan duapertiga; kecuali bila bersama mereka terdapat seorang anak laki-laki yang sederajat dengan mereka (cucu laki-laki), maka mereka di'ashobahkan; dan sisanya sesudah bagian anak perempuan shulbiyah, dibagikan: untuk lelaki dua bagian perempuan. 4 Mereka tidak mewarisi bila ada anak laki-laki. 5 Mereka tidak mewarisi bila ada dua orang anak perempuan sulbiyah atau lebih, kecuali bila bersama didapatkan seorang anak laki-laki dari anak laki-laki yang sederajat dengan mereka (cucu laki-laki) atau lebih rendah dari mereka, maka mereka di'ashobahkan i. Ibu Allah SWT berfirman : "Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak, jika yang meninggalkan itu tidak mempunyai anak, dan dia diwarisi oleh ibu- bapaknya saja, maka ibunya mendapapatkan sepertiga. (An-Nisaa' ayat 10). Bagi ibu itu ada tiga ketentuan : 1 Mendapatkan seperenam, bila dia bersama dengan anak laki-laki atau seorang anak laki-laki dari anak laki-laki, atau dua orang saudara laki-laki
  • 22. atau saudara perempuan secara muthlak, baik mereka itu dari fihak ayah dan ibu, fihak ayah saja ataupun fihak ibu saja. 2 Mendapat sepertiga dari semua harta peninggalan, bila tidak didapatkan seorangpun dari yang telah dikemukakan (dalam no. 1). 3 Mengambil sepertiga dari sisa harta bila tidak ada orang-orang yang telah disebutkan tadi sesudah bagian seorang suami-isteri. Yang demikian itu terdapat dalam dua masalah yang dinamakan gharraiyyah, yaitu : Pertama: Bila si mayit meninggalkan suami dan dua orang tua. Kedua : Bila si mayit meninggalkan isteri dan dua orang tua. n. Nenek "Dari Qubaishah bin Dzuaib, dia berkata: Seorang nenek telah datang menghadap Abu Bakr, lalu dia menanyakan tentang warisannya. Abu Bakr menjawab: "Engkau tidak mempunyai hak sedikitpun menurut Kitab Allah dan aku tidak tahu sedikitpun berapa hakmu di dalam sunnah Rosululloh saw. Maka pulanglah engkau sampai aku menanyakan kepada seseorang". Kemudian Abu Bakr menanyakan kepada para shahabat. Al-Mughiroh bin Syu'bah menjawab: "Aku pernah menyaksikan Rosululloh saw memberikan kepada nenek seperenam fardh". Abu Bakr bertanya: "Apakah ada orang lain bersamamu?" Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah al-Anshori, mengatakan seperti apa yang dikatakan Al-Mughiroh bin Syu'bah. Maka Abu Bakrpun memberikan seperenam fardh kepada si nenek. Berkata Qubaishah: Kemudian datanglah seorang nenek yang lain kepada 'Umar, menanyakan warisannya. 'Umar menjawab: "Engkau tidak mempunyai hak sedikitpun menurut kitab Allah, akan tetapi seperenam itulah. Oleh sebab itu, jika kamu berdua, maka seperenam itupun untuk kamu berdua. Siapa saja diantara kamu berdua yang sendirian, maka seperenam itu untuknya". (HR lima orang ahli hadits kecuali An-Nasai, dishahihkan At-Tirmidzi) Bagi nenek yang shahihah (=nenek yang nasabnya dengan si mayit tidak diselingi oleh kakek yang fasid. Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya dengan si mayit diselingi oleh perempuan , seperti ayah dari ibu) ada tiga ketentuan : 1 Seperenam bila dia sendirian, dan bila lebih dari satu, maka berserikat di dalam seperenam itu, dengan syarat sama derajatnya seperti ibu dari ibu dan ibu dari ayah. 2 Nenek yang dekat dari jihat manapun menghalangi nenek yang jauh, seperti ibu dari ibu (nenek) menghalangi ibu dari ibu dari ibu (buyut) dan menghalangi juga ibu dari ayah dari ayah. 3 Nenek dari jihat manapun gugur dengan adanya ibu; dan nenek dari jihat ayah gugur dengan adanya ayah, akan tetapi adanya ayah tidak menggugurkan nenek dari fihak ibu. Kakek menghalangi ibunya (buyut) sebab ibu kakek gugur haknya karena adanya kakek Untuk lebih mudak tentang furudh-furudh dan syarat-syaratnya masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut:
  • 23. Furudhul Muqaddarah Dan Orang-orang yang menerimanya 1. Yang Mendapat 2/3 Harta Warisan Ahli Waris Syarat-Syaratnya 1.Dua orang atau lebih anak perempua Si Mayit tidak meninggalkan anak laki-laki 2.Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki Si mayit tidak meninggalkan : a. Anak b. Cucu laki-laki dari anak laki- laki 3.Dua orang atau lebih saudara perempuan seibu sebapak Si mayit tidak meninggalkan: a. Anak b. Cucu c. Bapak d. Kakek e. Saudara laki-laki seibu sebapak 4.Dua orang atau lebih saudara perempuan sebapak Si mayit tidak meninggalkan : a. Anak b. Cucu c. Bapak d. Kakek e. Saudara laki-laki seibu sebapak f. Saudara laki-laki sebapak g. Saudara perempuan seibu sebapak 2. Yang mendapat ½ harta warisan Ahli Waris Syarat 1. Seorang anak perempuan Si Mayit tidak meninggalkan anak laki-laki 2. Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki Si Mayit tidak meninggalkan: a. Anak b. Cucu laki-laki
  • 24. 3. Seorang saudara perempuan seibu sebapak Si mayit tidak meninggalkan: a. Anak laki-laki b. Anak perempuan lebih dari seorang c. Cucu laki-laki d. Cucu perempuan lebih dari seorang e. Saudara laki-laki seibu sebapak f. Bapak g. kakek 4. Seorang saudara perempuan sebapak Si mayit tidak meninggalkan a. Anak laki-laki b. Anak perempuan lebih dari seorang c. Cucu laki-laki d. Cucu perem;puan lebih dari seorang e. Bapak f. Kakek g. Saudara laki-laki seibu sebapak h. Saudara perempuan seibu sebapak i. Saudara laki-laki sebapak 5. Suami Si mayit tidak meninggalkan: a. Anak b. cucu 3. Yang mendapat 1/3 harta warisan Ahli Waris Syaratnya 1. Dua orang atau lebih saudara seibu Si Mayit tidak meninggalkan: a. Anak b. Cucu c. Bapak d. kakek 2. Ibu Si mayit tidak meninggalkan: a. Anak b. Cucu c. Saudara lebih seorang baik laki-laki maupun perempuan
  • 25. 4. Yang Mendapat ¼ harta warisan Ahli Waris Syaratnya 1. Suami Si mayit Meninggalkan: a. Anak, b. b. cucu 2. Isteri seorang atau labih Si mayit tidak meninggalkan: a. Anak b. Cucu 5. Yang mendapat 1/6 Harta Warisan Ahli Waris Syaratnya 1. Bapak Si mayit meninggalkan: a. Anak b. cucu 2. Ibu Si mayit meninggalkan a. Anak b. Cucu c. Saudara lebih seorang 3. Kakek dari bapak Si mayit tidak meninggalkan bapak, namun meninggalkan: a. Anak b. cucu 4. Nenek a. Dari bapak seorang atau lebih, jika si mayit tidak meninggalkan bapak dan ibu b. Dari ibu, jika si mayit tidak meninggalkan ibu c. Apabila kedua-duanya ada, maka seperenam dibagi rata diantara mereka 5. Cucu perempuan dari anak laki-laki, seorang atau lebih Si mayit tidak meninggaalkan anak laki-laki, namun meninggalkan seorang anak perempuan. Apabila cucu perempuan lebih dari seorang, maka seperenam dibagi rata diantara mereka 6. Saudara perempuan sebapak, seorang atau lebih Si mayit tidak meninggalkan: a. Anak laki-laki b. Cucu laaki-laki c. Bapak d. Kakek e. Saudara laki-laki seibu
  • 26. sebapak f. Saudara laki-laki sebapak Namun si mayit meninggalkan seorang saudara perempuan seibu sebapak (tidak lebih) 7. Seorang saudara seibu tidak lebih (laki-laki atau perempuan Si mayit tidak meninggalkan : a. Anak b. Cucu c. Bapak d. kakek 6. yang mendapat 1/8 harta warisan Ahli Waris Syaratnya Isteri, seorang atau lebih Si mayit meninggalkan: a. anak b. cucu Bila isteri lebih seorang, maka seperdelapan dibagi rata diantara mereka Hijab Mahjub Hijab adalah penutup atau penghalang. Yang dimaksud di sini adalah penghapusan hak waris seseorang, baik penghapusan secara seluruhnya atau hanya pengurangan bagiannya disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat dengan mayit. Hijab ada dua macam yaitu : 1. Hijab Nuqshan : penghalang yang dapat mengurangi bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris. 2. Hijab Hirman : penghalang yang menyebabkan ahli waris tidak mendapatkan warisan sama sekali karena ada ahli waris yang lebih dekat pertalian kerabatnya. Adapula ahli waris yang tidak bisa terhijab oleh ahli waris yang lainnya, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan. Uraian ahli waris yang dapat hijab adalah sebagai berikut : 1. Ahli waris yang bisa terhijab nuqshan :
  • 27. a. ibu, terhijab oleh anak, cucu dan dua orang saudara atau lebih b. bapak, terhijab oleh anak atau cucu c. suami atau istri, terhijab oleh anak atau cucu 2. Ahli waris yang bisa terhijab hirman : a. cucu laki-laki, terhijab oleh: anak laki-laki b. kakek dari bapak, terhijab oleh: bapak c. saudara laki-laki kandung, terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) cucu laki-laki dari anak laki-laki 3) Bapak d. saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh : 1) anak laki-laki 2) cucu laki-laki dari anak laki-laki 3) bapak 4) saudara laki-laki kandung 5) saudara perempuan kandung bersama dengan anak/cucu perempuan e. saudara laki-laki seibu, terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) anak perempuan 3) cucu laki-laki dari anak laki-laki 4) cucu perempuan dari anak laki-laki 5) bapak 6) kakek dari pihak bapak. f. keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung, terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) cucu laki-laki dari anak laki-laki 3) bapak 4) kakek dari pihak bapak 5) saudara laki-laki kandung 6) saudara laki-laki sebapak 7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari pihak anak laki-laki) g. keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) cucu laki-laki dari anak laki-laki 3) bapak 4) kakek dari pihak bapak 5) saudara laki-laki kandung 6) saudara laki-laki sebapak
  • 28. 7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari pihak anak laki-laki) 8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung h. paman kandung (saudara laki-laki kandung bapak), terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) cucu laki-laki dari anak laki-laki 3) bapak 4) kakek dari pihak bapak 5) saudara laki-laki kandung 6) saudara laki-laki sebapak 7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari pihak anak laki-laki) 8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung 9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak i. paman sebapak (saudara laki-laki sebapak dengan bapak) terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) cucu laki-laki dari anak laki-laki 3) bapak 4) kakek dari pihak bapak 5) saudara laki-laki kandung 6) saudara laki-laki sebapak 7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki) 8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung 9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak 10) paman kandung j. keponakan laki-laki paman kandung, terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) cucu laki-laki dari anak laki-laki 3) bapak 4) kakek dari pihak bapak 5) saudara laki-laki kandung 6) saudara laki-laki sebapak 7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan (dari pihak laki-laki) 8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung 9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak 10) paman kandung 11) paman sebapak k. keponakan laki-laki paman sebapak, terhijab oleh: 1) anak laki-laki
  • 29. 2) cucu laki-laki dari anak laki-laki 3) bapak 4) kakek dari pihak bapak 5) saudara laki-laki kandung 6) saudara laki-laki sebapak 7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama anak/cucu perempuan dari pihak anak lak-laki) 8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung 9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak 10) paman kandung 11) paman sebapak 12) anak laki-laki paman kandung l. cucu perempuan dari anak laki-laki, terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) dua anak perempuan atau lebih jika tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki m. nenek dari pihak bapak, terhijab oleh : bapak n. nenek dari pihak ibu terhijab oleh: ibu o. saudara perempuan kandung, terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) cucu laki-laki dari anak laki-laki 3) bapak p. saudara perempuan sebapak, terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) cucu laki-laki dari anak laki-laki 3) bapak 4) dua saudara kandung atau lebih, jika tidak ada saudara laki-laki sebapak 5) seorang saudara perempuan bersama anak/cucu perempuan (dari pihak anak laki-laki) q. saudara perempuan seibu, terhijab oleh: 1) anak laki-laki 2) anak perempuan 3) cucu laki-laki dari anak laki-laki 4) cucu perempuan dari anak laki-laki 5) bapak 6) kakek dari pihak bapak D. Menentukan Asal Masalah Mengenal asal masalah dalam ilmu faraidh sangat penting agar masing-masing ahli waris dapat mengambil haknya dengan utuh sesuai dengan ketentuan dalam al-Qur’an. Yang dimaksud dengan ashal masalah
  • 30. adalah angka pokok dalam pembagian harta pusaka. Untuk itu cara menentukan asla maslah adalah sebagai berikut : 1. Bila ahli waris semuanya asabah, maka asal masalahnya jumlah ahli waris itu sendiri. 2. Bila ahli waris satu orang zawil furudh, maka asal masalahnya adalah angka penyebut dari bagian zawil furudh tersebut 3. Bila ahli waris ada beberapa kelompok zawil furudh, maka asal masalahnya adalah angka terkecil diantara angka-angka yang dapat dibagi dengan angka yang ada (kpk), seperti ½ dan 1/3 sama dengan 6. Dalam hal ini ada empat Nisbah yang populer dikalangan ulama Faraidh untuk mendapat KPK tersebut yaitu. a. Nisbah Tamasul yaitu bila terdapat dua bilangan yang bersamaan pada kelompok zawil Furudh seperti pada masalah ibu dan 2 saudari kandung (1/3 dan 2/3 = 3) b. Nisbah Tadakhul yaitu bila bagian-bagian furudh terdapat dua yang bermasukan, maka asal masalah adalah angka yang paling besar seperti pada kasus 1 orang anak perempuan dan suami ( ½ dan ¼ = 4) c. Nisbah tawafuk yaitu bila ada dua bilangan yang bersesuaian pada satu suku seperti pada kasus isteri dan satu saudara seibu, maka asal masalahnya dengan mengkalikan salah satu penyebut dengan hasil bagi penyebut yang lain ( ¼ dan 1/6 = 4x6/2= 12) d. Nisbah Tabayun yaitu bila tidak terdapat antara dua bilangan pada suatu suku yang sesuai , maka asal masalah dengan mengkalikan salah satu kepada yang lainnya. Seperti masalah ¼ dan 1/3 = 12. Adapun cara lain mencari asal masalah adalah dengan membagikan semua furudh yang ada dalam dua kelompok : Kelompok pertama : ½ , ¼, dan 1/8 dan kelompok kedua : 2/3 , 1/3 dan 1/6. Bila fardhu-fardhu adalah kelompok pertama saja, maka asal masalahnya adalah angka yang lebih besar dari fardhu-fardhu yang ada, begitu juga bila fardhu-fardhu yang hanya kelompok kedua saja. Adapun bila fardhu-fardhu bercampur dimana salah satunya dari kelompok pertama dan yang lainnya dari kelompok kedua, maka ketentuannya sebagai berikut : - Bila ½ dari kelompok pertama bergabung dengan kelompok kedua maka asal masalahnya 6 - Bila ¼ dari kelompok pertama dan boleh ada 1/2 bergabung dengan kelompok kedua, maka asal masalahnya 12. - Bila 1/8 dari kelompok pertama dan boleh ada ½ dan 1/4 begabung dengan kelompok kedua maka asal masalahnya 24. Cara Mentashih Pokok Masalah
  • 31. Setelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya, Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam. Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu). Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid. Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah. Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehingga pembaca dapat lebih memahaminya.
  • 32. Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang, penj.). Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan- pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima satu bagian. Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian. Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul. Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah. Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2).
  • 33. Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah. Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian. Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27). Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki- laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah tabelnya: 3 12 36 Suami ¼ 3 9
  • 34. Anak perempuan ½ 6 18 Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 2 6 Saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 3 Berdasarkan tabel tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil pentashihan. Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang). Inilah tabelnya: 5 24 27 135 Istri 1/8 3 15 Lima anak perempuan 2/3 16 80 Ayah 1/6 4 20 Ibu 1/6 4 20 Saudara kandung laki-laki (mahjub) - - Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135.
  • 35. Angka itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan juz'us sahm. Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut: Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut: 28 24 672 3 istri bagiannya 1/8 3 84 7 anak perempuan 2/3 16 448 2 orang nenek 1/6 4 112 saudara kandung laki-laki ('ashabah) 1 28 Saudara laki-lah seibu (mahjub - - Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihan seperti ini dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain. C. Pembagian Harta Peninggalan
  • 36. At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian yang harus mereka terima. Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua -- dalam hal yang berkenaan dengan harta yang dapat ditransfer. Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian masing-masing ahli waris. Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari masing-masing ahli waris. Contoh Cara Pertama Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut: Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah. Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per bagian. Jadi, bagian istri 3 bagian x 20 dinar = 60 dinar Anak perempuan 12 bagian x 20 dinar = 240 dinar Ibu 4 bagian x 20 dinar = 80 dinar
  • 37. Ayah ('ashabah) 5 bagian x 20 dinar = 100 dinar Total = 480 dinar Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu, suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada sebanyak 960 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti berikut: 2 12 24 24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 6 12 Suami ¼ 1/4 3 6 Ibu 1/6 1/6 2 4 2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair) 1 2 Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing- masing ahli waris: Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki 12 x 40 dinar = 480 dinar Suami 6 x 40 dinar = 240 dinar Ibu 4 x 40 dinar = 160 dinar Dua saudara kandung perempuan 2 x 40 dinar = 80 dinar Total = 960 dinar
  • 38. Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak laki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya 3.000 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing- masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian (masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub. Simak tabel berikut: 2 6 12 Empat anak perempuan 4 4 Dua anak laki-laki 3 4 Ayah 1/6 1 2 Ibu 1/6 1 2 Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub) - - Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar Jadi, Jadi bagian 4 anak perempuan 4 x 250 dinar = 1.000 dinar dua anak laki-laki 4 x 250 dinar = 1.000 dinar Ibu 2 x 250 dinar = 500 dinar Ayah 2 x 250 dinar = 500 dinar Total = 3.000 dinar Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya 9.900 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut:
  • 39. pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9. Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel berikut: 6 9 Suami ½ 3 Saudara kandung perempuan ½ 3 Saudara laki-laki seibu 1/3 2 Nenek 1/6 1 Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar Jadi, Suami 3 x 1.100 dinar = 3.300 dinar Saudara perempuan kandung 3 x 1.100 dinar = 3.300 dinar Dua saudara laki-laki seibu 2 x 1.100 dinar = 2.200 dinar Nenek 1 x 1.100 dinar = 2.200 dinar Total = 9.000 dinar Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka pembagiannya seperti berikut: Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian). Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel berikut:
  • 40. 12 13 Suami ¼ 3 Ibu 1/6 2 Dua anak perempuan 2/3 8 Tiga cucu perempuan Dua cucu perempuan 'ashabah - Jadi, Suami 3 x 585:13 dinar = 135 dinar Ibu 2 x 585:13 dinar = 90 dinar Dua anak perempuan 8 x 585:13 dinar = 360 dinar Total = 585 dinar Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah. 12 24 Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 6 12 Ibu 1/6 2 4 Suami 1/4 3 6 Dua saudara kandung ('ashabah) 1 2 Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 x 240:24 dinar = 120 dinar
  • 41. Ibu 4 x 240:24 dinar = 40 dinar Suami 6 x 240:24 dinar = 60 dinar Dua saudara kandung ('ashabah) 2 x 240:24 dinar = 20 dinar Total = 240 dinar Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6, ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian), dan sisanya --dua bagian-- menjadi hak kedua saudara perempuan kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub. Inilah tabelnya: 6 Ibu 1/6 1 Cucu pr. ket. anak laki-laki 1/2 3 Dua saudara kandung pr. ('ashabah) 2 Saudara perempuan seayah, Dua saudara laki-laki seayah (mahjub) - Masalah Dinariyah ash-Shughra Ada dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad- dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya menerima satu dinar. Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul- kan menjadi 17. Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua
  • 42. orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti ini disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya: 12 17 Ke-3 istri 1/4 3 masing-masing 1 bagian = 1 dinar Kedua nenek 1/6 2 masing-masing 1 bagian = 1 dinar Ke-8 sdr. pr. seayah 2/3 8 masing-masing 1 bagian = 1 dinar Ke-4 sdr. pr. seibu 1/3 4 masing-masing 1 bagian = 1 dinar Masalah Dinariyah al-Kubra Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra. Contoh masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah. Jadi, bagian Istri 3 x 600:24 dinar = 75 dinar Ibu 4 x 600:24 dinar = 100 dinar
  • 43. Kedua anak perempuan 16 x 600:24 dinar = 400 dinar Total = 575 dinar Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung perempuan. Berikut ini tabelnya: 25 24 600 Istri 1/8 3 75 Ibu 1/6 4 100 Kedua anak perempuan 2/3 16 100 12 saudara kandung laki-laki 1 saudara kandung perempuan ('ashabah) 1 24 1 Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih (seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu. Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidak kurang."
  • 44. Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab. E. Asabah 'Ashobah adalah jamak dari 'aashib, seperti halnya tholabah adalah jamak dari thoolib. 'Ashabah ini ialah anak turun dan kerabat seorang lelaki dari fihak ayah. Mereka dinamakan 'ashobah karena kuatnya ikatan antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Kata 'ashobah ini diambil dari ucapan mereka: "Ashobal qoumu bi fulaan",bila mereka bersekutu dengan si fulan. Maka anak laki-laki adalah satu fihak dari 'ashobah, dan ayah adalah fihak lain; saudara laki-laki adalah satu segi dari 'ashobah sedangkan paman (dari fihak ayah) adalah sisi yang lain. Yang dimaksud dengan 'ashobah disini ialah mereka yang mendapatkan sisa sesudah Ashhaabul Furuudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka. Apabila tidak ada sisa sedikitpun dari mereka (ashhaabul furuudh), maka mereka ('ashobah) tidak mendapatkan apa-apa, kecuali bila 'ashib itu seorang anak laki-laki maka dia tidak akan mendapatkan bagian, bagaimanapun keadaannya. Dinamakan 'ashobah juga mereka yang berhak atas semua peninggalan bila tidak didapatkan seorangpun di antara ashhaabul furuudh, karena hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, dari Ibnu 'Abbas, bahwa Nabi saw bersabda:"Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang berhak menurut nash; dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada 'ashobah laki-laki yang terdekat kepada si mayit". Dari Abu Hurairoh ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Tidak ada bagi seorang mukminkecuali aku lebih berhak atasnya dalam urusan dunia dan akhiratnya. Bacalah bila kamu suka: "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri." Oleh sebab itu, siapa saja orang mukmin yang mati dan meninggalkan harta, maka harta itu diwariskan kepada 'ashobahnya, siapapun mereka itu adanya. Dan barang siapa ditinggali hutang atau beban keluarga oleh si mayit, maka hendaklah dia datang kepadaku, karena akulah maulanya. PEMBAGIAN 'ASHOBAH 'Ashobah itu dibagi menjadi dua bagian : 1 'Ashobah Nasabiyah, 2 'Ashobah Sababiyah. ASHOBAH NASABIYAH 'Ashobah Nasabiyah ada tiga golongan : 1 'Ashobah binafsih 2 'Ashobah bighoirih 3 'Ashobah ma'aghoirih. ASHOBAH BINAFSIH
  • 45. 'Ashobah binafsih ialah semua orang laki-laki yang nasabnya dengan si mayit tidak diselingi oleh perempuan. 'Ashobah binafsih ada empat golongan: 1 Bunuwwah (keanakan), dianamakan juz-ul mayyit. 2 Ubuwwah (keayahan), dinamakan ashlul mayyit. 3 Ukhuwwah (kesaudaraan), dinamakan juz-u abiih. 4 Umumah (kepamanan), dinamakan juz-ul jadd. 'ASHOBAH BIGHOIRIH 'Ashobah bighoirih adalah perempuan yang bagiannya separuh dalam keadaan sendirian, dan duapertiga bila bersama dengan saudara perempuannya atau lebih. Apabila bersama perempuan atau perempuan- perempuan itu terdapat seorang saudara laki-laki, maka di saat itu mereka semuanya menjadi 'Ashobah dengan adanyasaudara laki-laki tersebut. Perempuan-perempuan yang menjadi 'Ashobah bighoirih ada empat : 1 Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan, 2 Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki, 3 Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan sekandung, 4 Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan seayah. Setiap golongan dari keempat golongan ini menjadi 'Ashobah bersama orang lain, yaitu saudara laki-laki. Pewarisan diantara mereka adalah laki- laki mendapat dua bagian perempuan. Perempuan-perempuan yang tidak mendapatkan bagian (fardh) bila tidak ada saudara laki-lakinya yang 'ashib (menjadi 'ashobah) itu tidak menjadi 'ashobah bighoirih di saat adanya saudara laki-laki. Sebab seandainya seseorang itu mati sedang dia meninggalkan seorang paman atau bibi (dari fihak ayah), maka semua hartanya itu untuk paman, sedang bibi tidak mendapatkan dan tidak menjadi 'ashobah bersama saudara laki-lakinya; sebab bibi itu tidak mendapatkan bagian bila tidak bersama saudara laki- lakinya. Demikian pula anak laki-laki dari saudara laki-laki bersama anak perempuan dari saudara lelaki. 'ASHOBAH MA'AGHOIRIH 'Ashobah ma'aghoirih ialah setiap perempuan yang memerlukan perempuan lain untuk menjadi 'Ashobah. 'Ashobah ma'aghoirih ini terbatas hanya pada dua golongan dari perempuan, yaitu : 1 Saudara perempuan sekandung atau saudara-saudara perempuan sekandung bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki. 2 Saudara perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki; mereka mendapatkan sisa peninggalan sesudah furudh. CARA PEWARISAN 'ASHOBAH BINAFSIH
  • 46. Pada fasal terdahulu telah dikemukakan cara pewarisan untuk 'ashobah bighoirih dan 'ashobah ma'aghoirih. Adapun cara pewarisan 'ashobah binafsih, maka akan kami jelaskan sebagai berikut : 'Ashobah binafsih ada empat golongan, dan mewarisi menurut tertib berikut: 1 Bunuwwah meliputi anak-anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki- laki danseterusnya ke bawah. 2 Bila jihat bunuwwah tidak didapatkan, maka peninggalan atau sisanya itu berpindah ke jihat ubuwwah yang meliputi ayah dan kakek shahih seterusnya keatas. 3 Bila tidak ada seorangpun dari jihat ubuwwah, maka peninggalan atau sisanyaberpindah ke ukhuwwah. Ukhuwwah ini meliputu saudara-saudara laki-laki sekandung, saudara-saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, dan seterusnya ke bawah. 4 Bila tidak ada seorang pun dari jihat ukhuwwah, maka peninggalan atau sisanya berpindah ke jihat 'umumah tanpa ada perbedaan antara 'umumah si mayit itu sendiri dengan 'umumah ayahnya atau 'umumah kakeknya; hanya saja 'umumah si mayit didahulukan atas 'umumah ayahnya, dan 'umumah ayahnya didahulukan atas 'umumah kakeknya, dan begitu seterusnya. Bila didapatkan sejumlah orang dari satu tingkatan, maka yang paling berhak untuk mendapatkan warisan adalah mereka yang paling dekat kepada si mayit. Bila terdapat sejumlah orang yang sama hubungan nasabnya dengan si mayit dari segi jihat dan derajat, maka yang paling berhak mendapatkan warisan adalah mereka yang paling kuat hubungan kekerabatannya dengan si mayit. Apabila mayit meninggalkan sejumlah orang yang sama nasab mereka kepada dirinya dari segi jihat, derajat dan kekuatan, hubungan, maka mereka sama-sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan kepala mereka. Inilah makna dari ucapan fuqoha: "Sesungguhnya pendahuluan di dalam 'ashobah binafsih adalah dengan jihat. Bila jihatnya sama, maka dengan derajat. Bila derajatnya sama, maka dengan kekuatan hubungan. Bila mereka sama dalam jihat, derajat dan kekuatan hubungan, maka mereka sama-sama berhak untuk mendapatkan warisan dan peninggalan itu dibagi rata diantara mereka menurut jumlah mereka. 'ASHOBAH SABABIYAH 'Ashib Sababi adalah maula (tuan) yang memerdekakan. Bila orang yang memerdekakan tidak ada, maka warisan itu bagi 'ashobahnya yang laki-laki. F. Hijab dan Mahjub 1. Definisi
  • 47. Hajbu menurut bahasa berarti man'u: menghalangi, mencegah. Maksudnya adalah terhalangnya seseorang tertentu dari semua atau sebagian warisannya karena adanya orang lain. Hirman ialah terhalangnya seseorang tertentu dari warisannya karena terjadi penghalang pewarisan, seperti membunuh dan lain-lainnya. 2. Pembagian Hajb Hajbu ada dua macam yaitu Hajbu Nuqshoon, dan Hajbu Hirman Hajbu Nuqshon ialah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris karena adanya orang lain. Hajbu Nuqshon ini terjadi pada lima orang : a. Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat di waktu ada anak laki- laki. b. Isteri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan di waktu ada anak lelaki c. Ibu terhalang dari sepertig menjadi seperenam di waktu ada keturunan yang mewarisi. d. Anak perempuan dari anak laki-laki. e. Saudara perempuan seayah. Adapun Hajbu Hirman adalah terhalangnya semua warisan bagi seseorang karena adanya orang lain, seperti terhalangnya warisan bagi saudara laki-laki di waktu adanya anak laki-laki. Hajbu Hirman ini tidak termasuk ke dalam warisan dari enam orang pewaris, sekalipun mereka bisa terhalang oleh Hajbu nuqshon. Mereka itu adalah : 1 & 2 Kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, 3 & 4 Kedua orang anak, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan , 5 & 6 Dua orang suami-isteri. Hajbu Hirman itu masuk ke dalam ahli waris selain dari keenam ahli waris tersebut di atas. Hajbu Hirman ditegakkan atas dua asas: 1 Bahwa setiap orang mempunyai hubungan dengan si mayit karena adanya orang lain itu, dia tidak mewarisi bila orang tersebut itu ada. Misalnya anak laki-laki dari anak laki-laki itu tidak mewarisi bersama dengan adanya anak laki-laki, kecuali anak-anak laki-laki dari ibu, maka mereka itu mewarisi bersama mereka ibu, padahal mereka mempunyai hubungan dengan si mayit karena dia. 2 Orang yang lebih dekat itu didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Apabila mereka sama dalam derajat, maka ditarjih (diseleksi) dengan kekuatan hubungan kekerabatannya, sperti saudara laki-laki sekandung menghalangi saudara laki-laki seayah. G. Perbedaan Antara Mahrum Dan Mahjub Perbedaan antara mahrum dan mahjub itu kelihatan jelas dalam dua hal berikut
  • 48. 1 Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang membunuh (orang yang mewariskan). Sedang mahjub itu berhak mendapatkan warisan, akan tetapi dia terhalang karena adanya orang lain yang lebih utama darinya untuk endapatkan warisan. 2 Orang yang mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka dia tidak menghalanginya sama sekali, bahkan dia dianggap seperti tidak ada saja. Misalnya bila seseorang mati dan meninggalkan seorang anak laki-laki kafir dan seorang saudara laki-laki muslim; maka warisan itu semua adalah bagi saudara laki-laki, sedang anak laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Adapun orang yang mahjub (terhalang), maka terkadang dia mempengaruhi orang lain, dia menghijabnya baik dengan Hajbu hirman ataupun hajbu Nuqshon. Misalnya, dua tahu lebih saudara- saudara laki-laki bersama dengan adanya ayah dan ibu. Keduanya (saudara laki-laki) tidak mewarisi karena adanya ayah; dan keduanya (ayah dan saudara laki-laki) menghijab ibu dari menerima sepertiga menjadi seperenam. BAB TIGA PENYELESAIAN MASALAH ’AUL DAN RAD A. 'Aul 1. Definisi 'Aul menurut bahasa berarti irtifa': mengangkat. Dikatakan 'aalal miizaan bila timbangan itu naik, terangkat. Kata 'aul ini terkadang berarti cenderung epada perbuatan aniaya (curang). Arti ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:"Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (ta'uuluu)" S. An-Nisaa' ayat 3). Menurut para fuqoha, 'aul ialah bertambahnya saham dzawul furudh dan kurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Diriwayatkan bahwa faridhah (pembagian) harta pertama yang mengalami 'aul di dalam Islam itu diajukan kepada 'Umar ra. Maka dia memutuskan dengan 'aul pada suami dan dua orang saudara perempuan. Dia be kata kepada para sahabat yang ada di sisinya:"Jika aku mulai memberikan kepada suami atau dua orang saudara perempuan, maka idak ada hak yang sempurna bagi yang lain. Maka berilah aku pertimbangan. Maka Abbas bin 'Abdul Mutholib pun memberikan pertimbangan kepadanya dengan aul.dikatakan pula bahwa yang memberikan pertimbangan itu ialah 'Ali. Sementara yang mengatakan bahwa yang memberikan pertimbangan ialah Zaid bin Tsabit. 2. Contoh-Contoh Masalah 'Aul
  • 49. a. Telah mati seorang perempuan dengan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara perempuan sekandung, dua orang saudara perempuan seibu dan ibu. Masalah demikian dianamakan masalah Syuraihiyyah, sebab si suami itu mencaci-maki Syuraih, hakim yang terkenal itu, dimana si suami diberi bagian tiga persepuluh. Lalu dia mengelilingi kabilah-kabilah sambil mengatakan: "Syuraihtidak memberikan kepadaku separuh dan tidak pula sepertiga." Ketika Syuraihmengetahui hal itu, dia memanggilnya untuk menghadap, dan memberikan hukumanta'zir kepadanya. Kata Syuraih: "Engkau buruk bicara, dan menyembunyikan 'aul." b. Seorang suami talah mati, sedang dia meninggalkan seorang isteri, dua orang anak perempuan, seorang ayah, dan seorang Ibu. Masalah ini dinamakan masalah mimbariyyah, sebab Sayyidina 'Ali ra tengah berada di atas mimbar di Kufah, dan dia mengatakan di dalam khutbahnya: "Segala puji bagi Allah yang telah memutuskan dengan kebenaran secara pasti, dan membalas setiap orang dengan apa yang diausahakan, dan kepada-Nya tempat berpulang dan kembali," lalu beliau ditanya tentang masalah itu, maka beliau menjawab di tengah-tengah khutbahnya: "Dan isteri itu, seperdelapan menjadi sepersembilan," kemudian beliau melanjutkankhutbahnya. Masalah-masalah yang dimasuki oleh Allah itu ialah masalah-masalah yang pokok (ashal)-nya : 6 - 12 - 24. Enam terkadang ddibesarkan menjadi tujuh, atau delapan, atau sembilan, atau sepuluh. Dan duabelas dibesarkan menjadi tiga belas, lima belas, atau tujuh belas. Dan dua puluh empat tidak dibesarkan kecuali menjadi dua puluh tujuh. Masalah-masalah yang tidak dimasuki Allah sama sekali ialah masalah- masalah yang pokok (ashal)-nya: 2, 3, 4, 8. Undang-undang Warisan Mesir menetapkan Allah pada fasal lima belas, dan nashnya sebagai berikut: "Apabila bagian-bagian ashhaabul furuudh melebihi harta peninggalan, maka harta peninggalan itu dibagi di antara mereka menurut perbandingan bagian-bagian mereka di dalam pewarisan." 3. Cara Pemecahan Masalah-Masalah 'Aul Cara pemecahan masalah-masalah Allah ialah harus mengetahui pokok masalah,yakni yang menimbulkan masalah itu, dan mengetahui saham- saham setiap ashhaabul furuudh serta mengabaikan pokonya. Kemudian bagian-bagian mereka dikumpulkan,dan kumpulan itu dijadikan sebagai pokok. Lalu peninggalan dibagi atas dasaritu. Dan dengan demikian, maka akan terjadi kekurangan bagi setiap orang sesuaidengan sahamnya. Di dalam masalah ini tidak ada kezaliman dan kecurangan.Misalnya, bagi suami dan dua orang saudara perempuan sekandung, maka pokok masalahnya adalah enam, untuk suami separuh, yaitu tiga, dan untuk dua orang saudara perempuan sekandung duapertiga, yaitu empat. Maka