Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang Fiqih Mawaris yang mempelajari siapa saja ahli waris yang berhak menerima warisan dan bagian warisan mereka.
2) Sumber hukum kewarisan adalah Al-Quran dan hadis yang menjelaskan secara rinci bagian warisan untuk berbagai hubungan kekerabatan.
3) Tujuan kewarisan Islam adalah mencegah pertikaian antar ahli waris dengan menentukan
1. Fiqih Mawaris
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (,)موارث yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya
menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari
suatu kaum kepada kaum lain.
Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik
yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang
legal secara syar’i.
Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak
milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai
dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.
Sedangkanm istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-
siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta
bagian-bagian tertentu yang diterimanya.
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal
apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama
faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan
kadarnya.Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah
ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah
(kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan
B. TUJUAN KEWARISAN ISLAM
Adapun tujuan kewarisan dalam Islam dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1. Penetapan bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas,
bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikan antara ahli waris. Karena dengan
ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli waris harus mengikuti ketentuan
syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan keinginan masing-masing.
2. Baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa jahiliyah
hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian kewarisan yang
berkeadilan berimbang. Dalam artian masing-masing berhak menerima warisan sesuai
dengan porposi beban dan tanggung jawabnya.
BAB II
HUKUM DAN SUMBER HUKUM KEWARISAN
A. HUKUM KEWARISAN
Dalam hukum kewarisan terdapat dua hal, yaitu, hukum membagi harta warisan
menurut ketentuan syari’at Islam dan hukum mempelajari dan mengajarkannya.
1. Hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam
2. Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang telah ditentukan
nash yang sharih adalah suatu keharusan, selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh
dalil nash yang lain yang menunjukkan ketidak-wajibannya.
Dalam hal ini kita dapat merujuk nash al-Quran maupun al-Hadis yang berkaitan
dengan hal tersebut, yaitu :
a. Surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14 :
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa
ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah
kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa’ : 13).
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke dalam neraka sedang ia
kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’ : 13-14).
b. Hadis Rasulullah SAW.
Bagilah harta (warisan) antara ahli-ahli waris menurut kitabullah (al-Quran).
(H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Berdasarkan nash al-Quran dan al-Hadis tersebut, maka diisyaratkan keharusan
(kewajiban) membagi harta warisan menurut ketentuan al-Quran dan al-Hadis. Tetapi
selain pemindahan hak kepemilikan melalui kewarisan, adanya ketentuan wasiat dan
hibah. Sehingga terhadap orang lain yang tidak mendapatkan harta melalui kewarisan
dapat diberikan melalui wasiat atau hibah. Demikian pula bagi ahli waris yang merasa
tidak membutuhkan dan tidak mau menerima pembagian harta warisan, dapat
memberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan melalui hibah.
Dalam Undang-undang Kewarisan Mesir adanya ketentuan wasiat wajibah bagi
cucu perempuan dari garis perempuan yang tidak memperoleh harta warisan karena
sebagai zawil arham. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam ditemukan pula
ketentuan wasiat wajibah bagi orang tua angkat atau anak angkat. Hal tersebut menurut
penulis langkah yang tepat demi mewujudkan keadilan dengan tanpa menyalahi
ketentuan syari’at.
2. Hukum mempelajari dan mengajarkannya.
Islam mengatur ketentuan pembagian harta waris secara rinci agar tidak terjadinya
perselisihan dan pertikaian antara ahli waris. Hal tersebut seringkali terjadi jika seseorang
meninggal dunia, menimbulkan perselisihan bagi ahli warisnya dalam pembagian harta,
bahkan tidak jarang terjadi pertikaian. Seabagai antisipasi hal tersebut, maka ditentukan
secara rinci tentang pembagian harta warisan sebagai pedoman.
Dengan telah ditetapkannya pembagian harta warisan dalam Islam, maka harus ada
orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga orang-orang yang telah
mempelajarinya dapat merealisasikan didalam pembagian harta warisan bagi umat Islam.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris adalah
wajib kifayah. Dalam artian apabila telah ada sebagian orang yang melakukannya
(memenuhinya) maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak
ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka semua orang menanggung
dosa.
3. Dalam hadis Nabi dinyatakan ; Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah kepada
orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku
adalah orang yang bakal terengut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua
orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun yang
dapat memberikan fatwa kepada mereka. (H.R. Ahmad, Nasai dan al-Daruqutny).
Berdasarkan hadis tersebut, ditempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu
faraidh dengan perintah mempelajari dan mengajarkan al-Quran, menandakan betapa
pentingnya ilmu faraidh tersebut. Hal tersebut sebagai upaya mewujudkan pembagian
warisan yang berkeadilan dan menurut ketentuan syariat Islam. Terlebih kecenderungan
manusia yang materialistik, maka ketentuan pembagian warisan tersebut sangat penting agar
terhindarnya konflik dan perselisihan.
B. SUMBER HUKUM KEWARISAN
Hukum kewarisan bersumber pada al-Quran dan al-Hadis yang menjelaskan ketentuan
hukum kewarisan.
1. Al-Quran
a. Surat an-Nisa’ ayat 7 :
Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa’ : 7).
Menurut ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak
mewarisi harta yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut
menghapuskan tradisi yang berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak menerima
warisan hanya laki-laki yang dewasa saja.
b. Surat al-Ahzab ayat 6 :
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari mereka sendiri
dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai
hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah
daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin kecuali kalau kamu mau
berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama), adalah yang demikian itu telah
tertulis dalam kitab (Allah). (Al-Ahzab : 6).
Berdasarkan ayat tersebut, orang-orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan lebih berhak mewarisi harta seseorang yang meninggal dunia daripada
orang lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan, jika mau berbuat baik kepada orang
lain (seagama) dengan melalui hibah atau wasiat.
c. Surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 :
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
4. beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. (An-Nisa’ :
11).
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai naka, maka para isteri meperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun. (An-Nisa’ : 12).
Kedua ayat tersebut menjelaskan secara rinci bagian-bagian ahli waris baik
yang termasuk ashabul furudl maupun ashabah.
Ayat-ayat lain yang berhubungan dengan kewarisan adalah
al-Baqarah 180, An-nisa’ 8,9,176 dan al-Anfal 75.
2. Al-Hadis
a. Riwayat Bukhari dan Muslim.
Nabi SAW. bersabda; Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang
yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat
kekerabatannya). (H.R. Bukhari dan Muslim).
b. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak
mewarisi orang muslim. (H.R. Bukhari dan Muslim).
c. Riwayat Bukhari dan Muslim dari Sa’ad ibn Abi Waqqas tentang batas maksimal
pelaksanaan wasiat.
Rasulullah SAW. datang menjengukku pada tahun haji wada’ diwaktu aku
menderita sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau,” wahai Rasulullah, aku
sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang berada sementara
tidak ada yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah aku
sedekah (wasiat) kan dua peretiga hartaku? “Jangan” jawab Rasul. Aku bertanya
“setengah”? “jangan” jawab Rasul. Aku bertanya “sepertiga”? Rasul menjawab
“sepertiga” sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli
warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka
5. dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang. (H.R. Bukhari dan
Muslim).
BAB III
ASAS KEWARISAN ISLAM
Berdasarkan nash baik al-Quran maupun al-Hadis, maka kita dapat merumuskan asas-asas
kewarisan Islam sebagai berikut :
A. ASAS IJBARI
Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang
masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara
ijbari. Kata ijbari secara etimologis mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan
sesuatu diluar kehendak sendiri.
Hal tersebut berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal kepada ahli
warisnya berlangsung dengan sendirinya berdasarkan ketetapan Allah, tanpa bergantung
kepada kepada ahli waris atau pewaris.
Adapun asas ijbari dalam kewarisan Islam terjadi dalam hal :
a. Segi peralihan harta
b. Segi jumlah pembagian
c. Segi kepada siapa harta itu beralih.
B. ASAS BILATERAL
Asas bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa seseorang menerima warisan dari
kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki maupun
perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7.
Amir syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak menerima warisan dari
pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak mendapat
warisan dari kedua pihak orang tuanya.
Demikian pula dapat dilihat dari surat an-nisa’ ayat 12, bahwa baik duda maupun janda
saling mewarisi, saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya.
Kemudian sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa’ ayat 33, menurut Hazairin bahwa, cucu
baik laki-laki maupun perempuan mewarisi menggantikan ibu atau bapaknya.
C. ASAS INDIVIDUAL
Asas individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan Islam, harta peninggalan
yang ditinggalkan dibagi secara individual secara pribadi langsung kepada masing-masing.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat pada surat an-nisa’ ayat 11,
yaitu ;
a. Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan
b. Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih baginya dua pertiga dari harta peninggalan
c. Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua harta peninggalan.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai
pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan kewajiban, yang
dalam istilah ushul fiqih disebut “ahliyat al-wujub”. Akan tetapi berlaku pula ketentuan lain
yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam ushul fiqih disebut “ahliyatul ada”. Dalam
artian pembagian harta tersebut diberikan kepada seseorang secara individual, dengan catatan
adanya kecakapan orang tersebut.
6. D. Asas keadilan berimbang
Hak waris yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan pelanjutan
tanggung jawab pewaris kepada keluarganya (ahli waris), sehingga kadar yang diterima oleh
ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang.
Seorang laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan, sehingga
suatu hal yang wajar jika bagiannya dua kali bagian perempuan. Tanggung jawab tersebut
dari ayat al-Quran :
1) Al-Baqarah 23 :
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah : 23).
2) An-Nisa’ 34 :
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihi
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena itu mereka
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….(Q.S. An-Nisa’ : 34).
3) Ath-Thalaq 6 :
Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmua….(Ath-Thalaq : 6).
E. ASAS KEWARISAN SEMATAAKIBAT KEMATIAN
Hukum kewarisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta melalui cara kewarisan,
dilakukan setelah orang yang mempunyai harta meninggal. Hal tersebut dapat dikaji dari
penggunaan kata-kata warasa.
Hubungan kewarisan Islam dengan kewarisan Nasional di Indonesia sampai saat ini
belum terdapat suatu kesatuan hukum kewarisan yang dapat diterapkan secara universal bagi
seluruh warga negara Indonesia. Oleh karenanya hukum kewarisan yang diterapkan bagi
warga negara Indonesia berbeda-beda mengingat penggolongan dari warga negara.
Penggolongan tersebut adalah :
1) Bagi warga negara Indonesia asli
Bagi warga negara Indonesia asli pada prinsipnya berlaku Hukum Adat. Yang
dalam hal ini sudah barang tentu terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah
yang lain. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan sifat kekeluargaan mereka
masing-masing.
Sifat kekeluargaan (keturunan) dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu ;
a. Sistem Patrilinial, yaitu ditarik menurut garis bapak
b. Sistem Matrilinial, yang ditarik menurut garis ibu.
c. Sistem Parental, yang ditarik menurut garis ibu-bapak.
2) Bagi warga negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam
Bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam, selain dipengaruhi hukum
kewarisan adat, juga banyak dipengaruhi oleh kewarisan Islam.
Berkaitan dengan hal tersbut, hendaknya hukum kewarisan yang berlaku di
masing-masing daerah (hukum kewarisan adat) harus disesuaikan dan berpedoman pada
kewarisan Islam. Sebab umat Islam mengatur segala aspek kehidupan bagi umatnya.
3) Bagi orang-orang Arab
Pada umumnya seluruh hukum kewarisan Islam berlaku bagi orang-orang Arab di
Indonesia.
7. 4) Bagi orang Tionghoa da Eropa
5) Bagi orang Tionghoa dan Eropa, bagi mereka berlaku hukum warisan yang termuat dalam
Burgelijk Wetboek (BW) buku II pasal 830 sampai dengan pasal 1130.
BAB IV
UNSUR-UNSUR DAN SYARAT KEWARISAN
A. UNSUR KEWARISAN
Dalam kewarisan Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu :
1. Maurus.
Maurus atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang diamaksdukan
hal tersebut adalah :
a. Kebendaan yan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda
tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah (denda wajib)
yang dibayarkan kepadanya.
b. Hak-hak kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari
suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya.
c. Benda-benda yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak syuf’ah, hak
memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya.
d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang
digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang sudah
dibayar tetapi barang belum diterima.
2. Muwaris.
Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan
hartanya.
3. Waris.
Waris, adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena
mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab
perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya.
B. SYARAT KEWARISAN
Adapun syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;
1. Matinya muwaris.
Kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :
a. Mati haqiqy.
Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan
dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy.
Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya orang
yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka terhadap
orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus
terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal.
c. Mati taqdiry (menurut dugaan).
Mati taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang kuat.
Semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak diketem,ukan jasadnya, maka
8. orang tersebut berdasarkan dugaan kuat dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang
yang pergi kemedan peperangan, yang secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah
sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat
bahwa ia telah meninggal.
2. Hidupnya waris.
Dalam hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris,
berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaiatan dengan bayi yang masih berada
dalam kandungan akan dibahas secara khusus.
3. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi.
Tidak ada penghalang kewariosan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal-hal yang
menjad penghalang kewarisan.
BAB V
SEBAB-SEBAB ADANYA KEWARISAN MENURUT ISLAM
Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan
kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’.
A. HUBUNGAN KEKERABATAN
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak
mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya seseorang yang
tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai)
maka dapat hilang.
Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman
Allah :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’ : 7).
Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75 : …Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).
B. HUBUNGAN PERKAWINAN
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah
perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini,
terpenuhinya rukun dan syarat secara agama. Tentang syarat administrative masih terdapat
perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal
ini. Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum
positif, Pen.) tetapi ketentuan agama.
Disebagian negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat
dihukum penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi
perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrative (hukum positif)
akan dapat menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan terhadap suatu perkawinan
karena tidak adanya bukti tertulis (secara administratif).
Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan
yang masih utuh atau dianggap masih utuh. Yang dimaksud dengan perkawinan yang
9. dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama
dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut
dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa
memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua
orang saksi dan wali.
Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya
meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula sebaliknya, suami berhak
mewarisi harta isterinya.
C. HUBUNGAN KARENA SEBAB AL-WALA’
Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;
1) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak
emansipasi) budak.
2) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan
sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain.
Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab
telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki
dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-
muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang
lain melalui suatu perjanjian. Misalnya seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan
engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda)
untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan
menagambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak
pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala.
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6
(seperenam) dari harta peninggalan. Terhadap wala al-muwalah menurut jumhur ulama
demikian pula Undang-undang Kewarisan Mesir telah dinasakah melaluisurat al-Anfal ayat
75 :
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
BAB VI
SEBAB-SEBAB YANG MENJADI
PENGHALANG KEWARISAN
Hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang terhalang untuk mewarisi
( الرث موانع ) ada tiga macam, yaitu : (Perbudakan, Pembunuhan, Berlainan
A. PERBUDAKAN
Perbudakan menjadi penghalang untuk mewarisi berdasarkan adanya petunjuk umum
yang menyatakan budak tidak memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum. Hal ini
berdasarkan surat al-Anfal ayat 75 :
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang
tidak dapat bertindak terhadap sesutupun…(Q.S. Al-Anfal : 75).
Mafhum ayat tersebut menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap untuk mengurusi
hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hak-hak kebendaannya sepenuhnya berada
10. ditangan tuannya. Dan status kekerabatan dengan keluarganya sudah putus. Sebagaimana
dinyatakan oleh Drs. Fatchur Rahman, bahwa budak tidak dapat mewarisi karena :
a. Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik;
b. Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus dan karenanya ia sudah
menjadi keluarga asing (bukan keluarganya).
Menurut Ali Ahmad Al-Juejawy, budak itu tidak dapat mewarisi harta peninggalan
tuannya bila tuannya meninggal, disebabkan budak itu sendiri berstatus sebagai harta milik
bagi tuannya.
Kitab Undang-undang Kewarisan Mesir tidak memuat pasal tentang penghalang
mewarisi karena perbudakan, karena di negara tersebut perbudakan dilarang oleh undang-
undang.
Hal tersebut merupakan hal yang sangat positif, karena pada hakikatnya Islam tidak
menghendaki adanya perbudakan. Hal tersebut dapat kita perhatikan dari gencarnya Islam
menghapuskan perbudakan dengan adanya hukuman yang diberikan kepada seseorang
berupa pembebasan budak. Budak adalah tetap manusia yang mempunyai harkat dan
martabat, hanya karena statusnya yang tidak memiliki kecakapan apapun. Hal tersebut
terjadi karena masa jahiliyah (sebelum Islam dating) budak diposisikan dengan cara yang
tidak terhormat, dapat diperlakukan apa saja dan dianggap seperti barang/harta. Sehingga
ajaran Islam yang sangat memperhatikan keadaan dan kondisi suatu masyarakat, tidak
dengan serta merta (secara totalitas) menghapuskan tradisi tersebut. Proses tasyri’ yang
sedemikian dapat juga kita perhatikan dari proses pengharaman khamar (minuman keras)
yang dilakukan dengan bertahap.
B. PEMBUNUHAN
Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap al-muwarris menyebabkannya
tidak dapat mewarisi hartanya. Demikian kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama. Hal
tersebut merupakan hal yang cukup beralasan, karena tidak menutup kemungkinan untuk
menguasai harta seseorang membunuh orang lain. Karena motivasi yang tidak baik tersebut,
maka terhadap orang yang membunuh tidak diperkenankan dan tidak berhak mewarisi harta
peninggalannya.
Terhadap masalah ini, golongan khawarij, yang memisahkan diri dari Ali bin Abi
Thalib dan Muawiyah, menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Quran bersifat
umum dan tidak mengecualikan si pembunuh. Karena ayat-ayat kewarisan hanya memberi
petunjuk umum, sehingga keumuman ayat-ayat tersebut harus diamalkan.
Dalam hal ini mereka hanya mengacu pada keumuman ayat-ayat kewarisan. Padahal
dalam hadis nabi Muhammad SAW. adanya pengecualian terhadap pembunuh. Adapun dasar
hukum yang dipergunakan oleh mayoritas (jumhur) ulama yang menyatakan pembunuh
terhalang untuk mewarisi adalah;
1. Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas :
Rasulullah SAW. bersabda : Barang siapa membunuh seseorang korban, maka ia
tidak dapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya.
(Begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya atau anaknya sendiri. Maka bagi
pembunuh tidak berhak menerima warisan. (H.R. Ahmad).
2. Riwayat An-Nasai :
Tidak ada hak bagi pembunuh sedikitpun untuk mewarisi. (H.R. An-Nasai).
11. Berdasarkan hadis-hadis tersebut, maka secara jelas dinyatakan pembunuh terhalang
untuk mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Hal tersebut, walaupun tidak ada ahli waris
lain selain dirinya, ataupun yang dibunuhnya orang tua atau anaknya. Yang menjadi
permasalahan adalah, mengingat banyaknya jenis dan macam pembunuhan. Apakah secara
keseluruhan pembunuhan menjadi penghalang untuk mewarisi. Dalam hal ini ada beberapa
pendapat, yaitu :
C. BERLAINAN AGAMA
Terhadap orang yang berlainan agama, maka hal tersebut dalam Islam menjadi
penghalang mewarisi. Semisal seorang muslim tidak dapat mewarisi harta peninggalan
orang yang beragama non Islam.
Adapun dasar hukumnya adalah hadis rasulullah SAW. : Orang Islam tidak mewarisi
harta orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi harta orang Islam.
Kemudian hadis riwayat Ashab Al-Sunan (Imam Abu daud, Al-Tirmizi, Al-Nasai, dan
Ibnu majah) :
Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda.
Dalam hal ini nabi Muhammad SAW. ketika membagikan harta warisan paman beliau,
Abu Thalib, orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi SAW. yang meninggal
sebelum masuk Islam, oleh nabi harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya
yang masih kafoir, yaitu, ‘Uqail dan Talib. Sedangkan terhadap anak-anaknya yang sudah
masuk Islam, yaitu Ali dan Ja’far, tidak diberi bagian.
Dalam hal ini terdapat permasalahan, yaitu apabila pewaris masuk Islam sesudah
meninggalnya orang yang mewarisi, dan harta peninggalan (ketika ia masuk Islam) belum
dibagikan. Ada beberapa pendapat sebagai berikut :
1. Jumhur ulama tetap berpendapat terhalangnya orang tersebut untuk mewarisi hartanya.
Karena yang menyebabkan timbulnya hak mewarisi adalah sejak (karena) kematian
orang yang mewarisi, bukan saat dimulainya pembagian harta waris.
2. Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, menyatakan bahwa pewaris tersebut tidak
terhalang, dengan alas an predikat “berlainan agama’ sudah hilang sebelum pembagian
harta warisan.
3. Fuqaha aliran Imamiyah berpendapat sama dengan Ahmad bin Hanbal, tidak terhalang,
karena harta peninggalan itu belum menjadi milik harta waris secara tetap, sebelum
dibagi-bagikan kepada ahli waris
BAB VII
AHLI WARIS, HARTA YANG HARUS DIKELUARKAN,
HAJIB DAN MAHJUB
A. AHLI WARIS
Ahli Waris ialah orang yang berhak menerima warisan, ditinjau jenisnya dapat dibagi
dua, yaitu zawil furud dan ashobah.
Penggolongan ahli waris ahli waris ada dua jenis lelaki dan perempuan .
1. Ahli Waris lelaki terdiri dari.
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki sampai keatas dari garis anak laki-laki.
c. Ayah
12. d. Kakek sampai keatas garis ayah
e. Saudara laki-laki kandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara kandung sampai kebawah.
i. Anak laki-laki saudara seayah sampai kebawah.
j. Paman kandung
k. Paman seayah
l. Anak paman kandung sampai kebawah.
m. Anak paman seayah sampai kebawah.
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan
2. Ahli Waris wanita terdiri dari
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan sampai kebawah dari anak laki-laki.
c. Ibu
d. Nenek sampai keatas dari garis ibu
e. Nenek sampai keatas dari garis ayah
f. Saudara perempuan kandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Yang Saudara perempuan seibu.
i. Isteri
j. Wanita yang memerdekakan
Ditinjau dari sudut pembagian, Ahli waris terbagi dua yaitu : Ashhabul furudh dan
Ashobah.
1. Ashabul furudh yaitu orang yang mendapat bagian tertentu. Terdiri dari
a. Yang dapat bagian ½ harta.
o Anak perempuan kalau sendiri
o Cucu perempuan kalau sendiri
o Saudara perempuan kandung kalau sendiri
o Saudara perempuan seayah kalau sendiri
o Suami
b. Yang mendapat bagian ¼ harta
o Suami dengan anak atau cucu
o Isteri atau beberapa kalau tidak ada (anak atau cucu)
c. Yang mendapat 1/8
o Isteri atau beberapa isteri dengan anak atau cucu.
d. Yang mendapat 2/3
o dua anak perempuan atau lebih
o dua cucu perempuan atau lebih
o dua saudara perempuan kandung atau lebih
o dua saudara perempuan seayah atau lebih
e. Yang mendapat 1/3
13. o Ibu jika tidak ada anak, cucu dari grs anak laki-laki, dua saudara kandung/seayah
atau seibu.
o Dua atau lebih anak ibu baik laki-laki atau perempuan
f. Yang mendapat 1/6
o Ibu bersama anak lk, cucu lk atau dua atau lebih saudara perempuan kandung atau
perempuan seibu.
o Nenek garis ibu jika tidak ada ibu dan terus keatas
o Nenek garis ayah jika tidak ada ibu dan ayah terus keatas
o Satu atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki bersama satu anak perempuan
kandung
o Satu atau lebih saudara perempuan seayah bersama satu saudara perempuan
kandung.
o Ayah bersama anak lk atau cucu lk
o Kakek jika tidak ada ayah
o Saudara seibu satu orang, baik laki-laki atau perempuan.
2. Ahli waris ashobah yaitu para ahli waris tidak mendapat bagian tertentu tetapi mereka
dapat menghabiskan bagian sisa ashhabul furud. Ashobah terbagi tiga jenis yaitu ashabah
binafsihi, ashobah bighairi dan ashobah menghabiskan bagian tertentu
a. Ashobah binafsihi adalah yang ashobah dengan sndirinya. Tertib ashobah binafsihi
sebagai berikut:
o Anak laki-laki
o Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus kebawah
o Ayah
o Kakek dari garis ayah keatas
o Saudara laki-laki kandung
o Saudara laki-laki seayah
o Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai kebawah
o Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai kebawah
o Paman kandung
o Paman seayah
o Anak laki-laki paman kandung sampai kebawah
o Anak laki-laki paman seayah sampai kebawah
o Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal
b. Ashobah dengan dengan saudaranya
o Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.
o Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
o Saudara perempkuan kandung bersama saudara laki-laki kandung atau saudara laki-
laki seayah.
o Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah.
c. Menghabiskan bagian tertentu
o Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu perempuan satu atau lebih
(2/3).
o Saudara perempuan kandung bersama saudara perempuan seayah (2/3)
B. Harta yang harus dikeluarkan
14. Harta yang harus dikeluarkan sebelum dibagikan kepada ahli waris:
1. Biaya jenazah
2. Utang yang belum dibayar
3. Zakar yang belum dikeluarkan
4. Wasiat
C. Hajib dan mahjub
1. Nenek dari garis ibu gugur haknya karena adanya ibu.
2. Nenek dari garis ayah gugur haknya karena adanya ayah dan ibu
3. Saudara seibu gugur haknya baik laki-laki ataupun perempuan oleh:
a. anak kandung laki/perempuan
b. cucu baik laki-laki/perempuan dari garis laki-laki
c. bapak
d. kakek
4. Saudara seayah baik laki-laki/perempuan gugur haknya oleh :
a. ayah
b. anak laki-laki kandung
c. cucu laki-laki dari garis laki-laki
d. Saudara laki-laki kandung
5. Saudara laki-laki/perempuan kandung gugur haknya oleh:
a. anak laki-laki
b. cucu laki-laki dari garis anak laki-laki
c. ayah
6. Jika semua ahli waris itu laki-laki yang dapat bagian ialah.
a. suami
b. ayah
c. anak laki-laki
7. Jika semua ahli waris itu semuanya perempuan dan ada semua, maka yang dapat warisan
ialah:
a. Isteri
b. Anak perempuan
c. Cucu perempuan
d. Ibu
e. Saudara perempuan kandung
8. Urutan pembagian antara saudara laki-laki kandung/ saudara laki-laki seayah sampai
kebawah dan urutan paman kandung / paman seayah sampai kebawah.
a. Saudara laki-laki kandung menggugurkan saudara seayah( L/P )
b. Saudara laki-laki seayah menggugurkan anak lk saudara kandung
c. Anak laki-laki saudara kandung menggugurkan anak lk saudara seayah
d. Anak laki-laki saudara seayah menggugurkan cucu lk saudara kandung.
e. Cucu laki-laki saudara kandung menggugurkan cucu lk saudara seayah dts
f. Cucu laki-laki saudara seayah menggugurkan Paman kandung
g. Paman kandung menggugurkan paman seayah
h. Paman seayah menggugurkan anak laki-laki paman kandung
i. Anak laki-laki paman kandung menggugurkan anak lk paman seayah
15. j. Anaklaki-laki paman seayah menggugurkan cucu lk paman kandung
k. Cucu laki-laki paman kandung menggugurkan cucu lk paman seayah.
b. demikian seterusnya.
BAB VIII
Warisan dalam UU No 7 Tahun 1989
Hukum waris dalam Islam ialah berasal dari wahyu Allah dan diperjelas oleh
RasulNya. Hukum waris ini diciptakan untuk dilaksanakan secara wajib oleh seluruh umat
Islam. Semenjak hukum itu diciptakan tidak pernah mengalami perubahan, karena perbuatan
mengubah hukum Allah ialah dosa. Semenjak dsahulu sampai sekarang umat Islam
senantiasa memegang teguh hukum waris yang diciptakan Allah yang bersumber pada kitab
suci Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah.
Dalam Undang undang no 7 Tahun 1989, hukum waris itu dicamtumkan secara
sistematis dalam 5 bab yang tersebar atas 37 fasal dengan perincian sebagai berikut:
Bab. I : Terdiri atas 1 pasal , ketentuan umum.
Bab. II : Terdiri atas 5 pasal, berisi tentang ahli waris
Bab. III. : Terdiri atas 16 pasal, berisi tentang besarnya bagian ahli waris
Bab. IV : Terdiri atas 2 pasal, berisi tentang aul dan rad.
Bab. V : Terdiri atas 13 pasal, berisi masalah wasiat
Demikianlah selayang pandang tentang Undang-Undang no 7 tahun 1989, Prinsipnya
sama dengan hukum yang bersumber dengan Al-Qur’an dan Hadits.
BAB IX
CARA MENGHITUNG, MEMBAGIKAN WARISAN
Contoh Kasus
Pertanyaan :
Seseorang Meninggal dunia meninggalkan harta warisan senilai
Rp 66.000.000.00. Ahli waris terdiri dari kakek, bapak, dan 2anak laki-laki. Berapa bagian
masing-masing?
Jawab :
Untuk dapat menjawab kasus ini mari kita buka materi yang terdapat pada
BAB VII, disana dikatakan bahwa Bapak mendapatkan bagian 1/6
penyelesainnya adalah 1 x Rp 66.000.000.00 / 6 = Rp 11.000.000.00 jadi bapak mendapatkan
bagian sejumlah Rp 11.000.000.00, sedangkan 2 Anak laki-laki adalah asobah/sisa, maka
Penyelesainnya Rp 66.000.000.00 - Rp 11.000.000.00 = Rp 55.000.000.00, seorang anak laki-
laki adalah Rp 55.000.000.00 / 2 = Rp 27.500.000.00
Bagiman adengan kakek, kakek tidak memiliki hak waris karena terhalang oleh ayah.
PENUTUP
Demikian materi makalah Fikih Mawaris dapat saya suguhkan, semoga dengan uraian
sederhana ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya selaku penyusun dan para pembaca yang
budiman pada umumnya.
16. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Agus Nadzar S.pd selaku Dosen mata
kuliah Fikih Mawaris yang telah memberikan tugas makalah sehingga penyusun mendapat
pengalaman dan pengetahuan baru mengenai ilmufiqih mawaris. Semoga dengan ini kita semua
dapat meningkatkan kualitas ilmu kita scara maksimalsehingga kita menjadi hamba Alloh yang
bermanfaat dengan injin-Nya.