2. Pengertian harta
1. Memiliki unsur ekonomis
2. Memiliki unsur manfaat atau jasa
yang diperoleh dari suatu barang
Macam-macam dan fungsi harta:
1. Harta sebagai alat barter dan
sebagai nilai tukar
2. Harta diam dan bergerak
2
3. Kepemilikan Harta
1. Harta milik Allah
2. Harta Individu (pribadi)
3. Harta milik Bersama
Keuntungan dari Harta
a) Batas maksimal keuntungan
b) Ketetapan Majelis Ulama Fiqh mengenai
Standarisasi harga
Pandangan Ekonomi Islam tentang Harta
Prinsip-prinsip memperoleh dan membelanjakan
harta
3
4. Pengertian Harta
Harta menurut para ahli fiqh terdiri atas :
Pertama, memiliki unsur nilai ekonomis.
Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari suatu barang.
Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan
berdasarkan urf (kebiasaan/ adat) yang berlaku di tengah masyarakat. As-
Suyuti berpendapat bahwa istilah Maal hanya untuk barang yang memiliki
nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan, dan dikenakan ganti rugi bagi yang
merusak atau melenyapkannya.
Dengan demikian tempat bergantungnya status al-maal terletak pada nilai
ekonomis (al-qimah) suatu barang berdasarkan urf. Besar kecilnya al-qimah
dalam harta tergantung pada besar kecilnya manfaat suatu barang. Faktor
manfaat menjadi patokan dalam menetapkan nilai ekonomis suatu barang.
Maka manfaat suatu barang menjadi tujuan dari semua jenis harta.
Harta tidak akan bernilai kecuali bila diperbolehkan menggunakannya secara
syariat.
Perbedaan antara materi dengan nilai: Materi bisa berwujud hanya ketika
seluruh manusia atau sebagian diantara mereka menggunakannya sebagai
materi sedangkan Nilai berlaku bila dibolehkan oleh ajaran syariat. (minuman
keras, babi, bangkai, bunga semuanya termasuk harta dan materi, tetapi tidak
bisa dikatakan sebagai barang bernilai)
4
5. Macam-macam Harta Harta diam/tetap adalah harta yang tidak mungkin dapat
dipindahkan (tanah, bangunan permanen)
Harta bergerak adalah yang dapat dengan cepat dipindahkan dan
dialihkan
Fungsi Harta
Harta sebagai alat barter dan sebagai nilai tukar
Alat barter memiliki kesamaan yang tersebar di pasar tanpa ada
perbedaan yang berarti dalam penggunaannya (berbentuk barang
takaran, barang timbangan, barang bilangan, yang masing-masing
tidak memiliki perbedaan nilai).
Sementara nilai tukar tidak ada yang sejenisnya di pasaran, kalaupun
ada, nilainya jelas berbeda (seperti hewan, batu mulia dan
sejenisnya).
Konsekuensi dari perbedaan antara alat barter dan nilai tukar adalah
jika nilai barter (nilai riil) itu harus diganti dengan yang sama
dengannya jika terjadi kecurangan, sedangkan nilai tukar (nilai
nominal) hanya cukup ditukar dengan yang senilai dengannya saja.
5
6. Keuntungan dari Harta
Keuntungan adalah selisih harta antara harga pokok dan biaya yang dikeluarkan
dengan penjualan.
Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan mencari keuntungan. Asal mencari
keuntungan adalah disyariatkan dalam Islam, kecuali jika diambil dengan cara
haram/riba.
Batas maksimal keuntungan: tidak ada dalil dalam syariat sehubungan dengan
jumlah tertentu dari keuntungan sehingga jika melebihi jumlah tersebut dianggap
haram asalkan keuntungan tersebut tidak mengandung unsur penipuan,
manipulasi, monopoli, memanfaatkan keluguan pembeli atau ketidaktahuannya,
kondisi yang terpepet atau sedang membutuhkan.
Ketetapan Majelis Ulama Fiqh mengenai Standarisasi harga: (muktamar
Islam V di Kuwait pada tanggal 10-15 Desember 1988 tentang pembatasan
keuntungan para pedagang). Diantaranya berisi tentang:
Hukum asal yang diakui oleh nash dan kaidah-kaidah syariah adalah membiarkan
umat bebas dalam jual beli dalam mengoperasikan harta benda mereka dalam
bingkai syariah Islam
Tidak ada standarisasi keuntungan tertentu yang mengikat para pedagang dalam
melakukan berbagai transaksi jual beli mereka.
Tidak diperbolehkannya adanya unsur manipulasi, monopoli, memanfaatkan
kelengahan pembeli dan lain-lain
Pemerintah tidak diperbolehkan menentukan standarisasi harga kecuali kalau
melihat adanya ketidakberesan di pasar dan ketidakberesan harga karena berbagai
faktor
6
7. Kepemilikan harta
1. Harta milik Allah
Pada dasarnya semua harta pemilik mutlaknya adalah Allah swt, sedangkan
manusia diberikan kesempatan memilikinya hanya bersifat sementara.
2. Harta Individu (pribadi)
Dalam ekonomi Islam mengakui kepemilikan individu, dengan satu konsep
khusus, yakni konsep khilafah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi
yang diberi kekuasaan dalam mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi
dengan syarat sesuai dengan segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri.
Harta dinyatakan sebagai milik manusia, sebagai hasil usahanya. Al-Qur’an
menggunakan istilah al-milku dan al-kasbu (QS 111:2) untuk menunjukkan
kepemilikan individu ini. Dengan pengakuan hak milik perseorangan ini, Islam
juga menjamin keselamatan harta dan perlindungan harta secara hukum.
3. Harta milik Bersama
Islam juga mengakui kepemilikan bersama (syirkah) dan kepemilikan negara.
Kepemilikan bersama diakui pada bentuk-bentuk kerjasama antar manusia yang
bermanfaat bagi kedua belah pihak dan atas kerelaan bersama. Kepemilikan
Negara diakui pada asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam) yang
pengelolaannya atau pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa
secara keseluruhan.
7
8. Pandangan Ekonomi Islam tentang Harta
Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka
bumi ini adalah ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat
relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan
memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7).
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut :
1. harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah
pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda
dari tiada.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran:
14). Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan,
kesombongan serta kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).
3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran
Islam atau tidak (al-Anfal: 28)
4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan
perintahNyadan melaksanakan muamalah si antara sesama manusia,
melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-
134). 8
9. Ketiga, Pemilikan harta dapat dilakukan
melalui usaha (‘amal) atau mata pencaharian
(Ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan
aturanNya. (al-Baqarah:267)
Keempat, dilarang mencari harta , berusaha
atau bekerja yang melupakan mati (at-
Takatsur:1-2), melupakan
Zikrullah/mengingat ALLAH (al-
Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat
(an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan
hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-
Hasyr: 7)
9
10. Kelima: dilarang menempuh usaha yang
haram, seperti melalui kegiatan riba (al-
Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli
barang yang haram (al-maidah :90-91),
mencuri merampok (al-Maidah :38),
curang dalam takaran dan timbangan (al-
Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang
batil dan merugikan (al-Baqarah:188),
dan melalui suap menyuap (HR Imam
Ahmad).
10
11. Prinsip Memperoleh dan Membelanjakan Harta
1. Prinsip Sirkulasi dan perputaran. Artinya harta memiliki
fungsi ekonomis yang harus senantiasa diberdayakan agar
aktifitas ekonomi berjalan sehat. Maka harta harus
berputar dan bergerak di kalangan masyarakat baik dalam
bentuk konsumsi atau investasi.sarana yang diterapkan oleh
syari’at untuk merealisasikan prinsip ini adalah dengan
larangan menumpuk harta, monopoli terutama pada
kebutuhan pokok, larangan riba, berjudi, menipu.
2. Prinsip jauhi konflik. Artinya harta jangan sampai menjadi
konflik antar sesama manusia. Untuk itu diperintahkan
aturan dokumentasi, pencatatan/akuntansi, al-isyhad/saksi,
jaminan (rahn/gadai).
3. Prinsip Keadilan. Prinsip keadilan dimaksudkan untuk
meminimalisasi kesenjangan sosial yang ada akibat
perbedaan kepemilikan harta secara individu. Terdapat dua
metode untuk merealisasikan keadilan dalam harta yaitu
perintah untuk zakat infak shadaqah, dan larangan terhadap
penghamburan (Israf/mubazir).
11