1. 1
DAFTAR ISI
STATUS TERSANGKA DAN PERLINDUNGAN HAM
Sampe L Purba 4
POLITIK JOKOWI
Prayitno Ramelan 7
HUKUM PRAPERADILAN DI INDONESIA
Romli Atmasasmita 11
ANTARA KASUS BW, AS, DAN KASUS AU
Ma’mun Murod Al Barbasy 14
KUNJUNGAN KE MALAYSIA DAN POROS MARITIM
Dinna Wisnu 18
PAK JOKOWI, (MAAF) TOLONG HORMATI BIROKRASI!
Tito Sulistio 21
SEANDAINYA
Mudji Sutrisno 25
UJI PUBLIK DALAM PILKADA
Janedjri M Gaffar 29
MENGENAL PLATFORM PARTAI PERINDO
Abdul Khaliq Ahmad 32
MALA PROHIBITA ABRAHAM SAMAD
Moh Mahfud MD 36
PULIHKAN CITRA KPK DAN POLRI
Marwan Mas 39
JOKOWI, PRABOWO, DAN PETUGAS PARTAI
M Bambang Pranowo 42
GOVERNABILITAS JOKOWI
M Alfan Alfian 45
MOBIL PROTON DAN MISTERI HENDROPRIYONO
Tjipta Lesmana 48
MIMPI PDIP MENYAPU PILKADA
Didik Supriyanto 51
KEWENANGAN MINUS ETIKA
2. 2
Danang Girindra Wardana 54
UJI PUBLIK CALON KEPALA DAERAH
Farouk Muhammad 58
JURUS PENDEKAR MABUK
Amzulian Rifai 62
KOREA UTARA DAN KAA
Dinna Wisnu 65
MEMOTRET WAJAH POLITIK KPK
Ma’mun Murod Al-Barbasy 68
MEMBACA JOKO WIDODO
Komaruddin Hidayat 71
KENANGAN SPORTIVITAS POLRI
Moh Mahfud MD 74
DPR (BUKAN) ANUTAN RAKYAT
Victor Silaen 77
PERINDO: MENGGAGAS POLITIK KESEJAHTERAAN
Mardiansyah SP 80
PENGUATAN KPK KITA
Anas Urbaningrum 83
IMPLIKASI HUKUM DAN POLITIK JIKA BG DILANTIK
Tjipta Lesmana 86
KPK DAN POLRI PASCAVONIS PRAPERADILAN
Ahmad Yani 89
ABOLISIONIST ATAU RETENTIONIST?
Dinna Wisnu 92
MOMENTUM REVISI UU KPK
Romli Atmasasmita 96
PROBLEM DEMOKRATISASI PARTAI POLITIK
Airlangga Pribadi Kusman 99
SOLUSI ELEGAN JOKOWI?
Iding Rosyidin 102
TEKA-TEKI DI BALIK SIKAP PRESIDEN
Sudjito 105
3. 3
HORMATI PUTUSAN HAKIM
Marwan Mas 108
PUTUSAN HAKIM SARPIN YANG MENCERAHKAN
Romli Atmasasmita 111
ISTANA RAJAWALI ATAU ISTANA KAMPRET?
Bambang Soesatyo 114
MENCARI PEMUTUS SENGKETA PILKADA
Refly Harun 118
PRIORITAS LANGKAH MENYELAMATKAN POLRI
Reza Indragiri Amriel 122
SEKALI LAGI TENTANG MUBAHALAH ANAS
Ma’mun Murod Al-Barbasy 125
GAYA DIPLOMASI
Dinna Wisnu 128
MEWASPADAI SEKTARIANISME DI TIMTENG
Hasibullah Satrawi 131
MASALAH EKSEKUSI HUKUMAN MATI
Frans H Winarta 135
POLITIK AMIEN RAIS
Bawono Kumoro 139
KOMPROMI PENYELAMATAN KPK
Moh Mahfud MD 142
ETIKA HAKIM SARPIN
Romli Atmasasmita 145
ANTARA TRADISI, KETOKOHAN, DAN AMBISI
Firman Noor 148
KACAU, PENEGAKAN HUKUM DI REPUBLIK INI!
Tjipta Lesmana 151
MATAHARI REFORMASI ITU KINI KIAN MEREDUP
Laode Ida 154
SAAT KPK LEMPAR HANDUK
Marwan Mas 157
PEMIMPIN BERANI MENGAMBIL KEPUTUSAN
Frans H Winarta 160
4. 4
Status Tersangka dan Perlindungan HAM
Koran SINDO
3 Februari 2015
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Kecuali karena tertangkap tangan, pada umumnya untuk seseorang dinyatakan jadi tersangka
harus melalui kegiatan penyelidikan, atau pengumpulan bahan keterangan yang dapat
berawal dari laporan, pengaduan, keadaan, maupun rangkaian peristiwa.
KUHAP tidak menjelaskan pengertian bukti permulaan. Juga tidak mempersyaratkan berapa
banyak jumlah dan jenis bukti permulaan tersebut. KUHAP bahkan tidak menjelaskan atau
menentukan berapa lama seseorang menyandang status tersangka, baru akan dilimpahkan ke
tahapan penuntutan. Yang diatur oleh KUHAP adalah kecukupan dan kelengkapan alat bukti
sebagai persyaratan dilimpahkan dari tahapan penuntutan untuk diperiksa dalam sidang
pengadilan, serta lamanya penahanan kepada tersangka atau terdakwa pada setiap tahapan
pemeriksaan.
Bukti permulaan tidak sama dengan alat bukti. Bukti permulaan pada saat penyelidikan dapat
saja berubah dengan alat bukti yang lain sejalan dengan perkembangan penyidikan.
Mengingat diskresi, kewenangan dan subjektivitas yang besar kepada penegak hukum dapat
berpengaruh secara langsung terhadap kebebasan asasi dan status hukum seseorang, maka
mutlak perlu ada instrumen hukum, acuan, prosedur tetap, protokol dan pedoman yang
mengikat dan dapat diuji serta dipertanggungjawabkan secara profesional, internal maupun
eksternal kepada publik.
Beberapa aturan yang baik dan mengikuti logika berpikir tersebut dalam criminal justice
system dikemukakan sebagai contoh. Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara
Pidana (Mahkejapol) diatur dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri
Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02- KP.10.06 Tahun
1984, No. KEP- 076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/ 04/III/1984.
Di Kepolisian ada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman
Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup
merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan
minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur
dalam Pasal 184 KUHAP.
Di lingkungan Kejaksaan Agung ada Peraturan Jaksa Agung RI No Per-
5. 5
036/A/JA/09/2011tentang Standar Operasi Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak
Pidana Umum. Ada juga Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Jaksa Agung RI No. Kep 1/1121/2005 dan Kep. IAIJ.A1121/2005. Namun, ini lebih pada
kerja sama institusional dalam rangka implementasi pelaksanaan tugas dan kewenangan
seperti pelatihan dan pertukaran informasi, dan bukan dalam kaitannya dengan teknis
penanganan perkara.
Pada perkara pidana umum, ruang perlindungan pengujian atas hak-hak tersangka relatif
lebih luas, karena ada persebaran kewenangan dan internal check antara instansi kepolisian
pada lingkup penyelidikan hingga penyidikan dan kejaksaan pada lingkup penuntutan dan
pelimpahan perkaranya ke pengadilan.
Gelar perkara, pemberian petunjuk oleh penuntut umum (kejaksaan) kepada penyidik
(kepolisian) untuk melengkapi dan menyempurnakan berkas perkara, pelibatan penasihat
hukum pada setiap tahapan pemeriksaan, mekanisme praperadilan adalah bagian dari due
process of law dalam criminal justice system yang diatur oleh KUHAP.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi memberikan tugas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Adapun tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-undang ini juga memberikan kewenangan dalam rangka pelaksanaan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan untuk melakukan penyadapan dan perekaman. Bukti permulaan
yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti,
termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan baik secara biasa maupun elektronik, atau optik.
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang
diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada
Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalau dalam KUHAP dibedakan institusi yang berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Undang-Undang KPK menyatukannya
di dalam institusi tersebut.
Tidak disebutkan dalam undang-undang bahwa apabila bukti permulaan yang cukup telah
terpenuhi maka seseorang akan otomatis atau pasti akan menjadi tersangka. Yang disebutkan
adalah jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang
cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja
terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 44).
Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal
6. 6
penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan undang-undang
ini (Pasal 46). Namun tidak dijelaskan prosedur khusus seperti apa yang akan berlaku.
Kembali kepada pokok tulisan ini, mengingat penetapan seseorang menjadi tersangka tidak
ada batas waktunya, maka adalah penting untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi
manusia serta demi kepastian hukum, ada aturan yang mengikat dan memberi akibat hukum
baik terhadap para penegak hukum, dan instansinya. Itulah juga salah satu implementasi
esensi asas praduga tak bersalah. Perbaikan KUHAP yang akan datang hendaknya mengatur
hal tersebut.
Asas fundamental universal hak-hak asasi manusia menyatakan bahwa segala kuasa, hak,
kewenangan, dan diskresi yang diberikan kepada suatu institusi atau perorangan yang
membatasi dan mengekang hak asasi orang lain, harus ditetapkan dengan peraturan
publik/perundang-undangan.
Catatan penting lainnya adalah, dalam hal ada suatu hal yang diatur oleh undang-undang lain
dikesampingkan atau tidak diberlakukan berdasarkan undang-undang yang khusus, maka
pengaturannya juga harus dengan undang-undang. Tidak boleh suatu pengecualian dari
undang-undang, akan diatur oleh aturan yang lebih rendah dari undang-undang. Itulah esensi
asas lex specialist derogates lex generalist.
SAMPE L PURBA
Pemerhati Hukum; Alumni Pendidikan Reguler Lemhanas RI
7. 7
Politik Jokowi
Koran SINDO
3 Februari 2015
Masyarakat kini lebih menyukai sesuatu yang praktis, semua disingkat. Misalnya nama-nama
tokoh nasional seperti SBY, Jokowi, JK merupakan singkatan populer.
Kini muncul singkatan populer (BG) yang sebenarnya adalah nama dari Komjen Polisi Budi
Gunawan. BG banyak menyedot perhatian media karena setelah ia dipilih Presiden sebagai
calon tunggal kepala Polri baru menggantikan Sutarman, namanya diajukan dan disetujui
DPR. Tetapi oleh KPK, justru BG ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi (korupsi).
Masalah BG yang banyak menuai pendapat pro dan kontra melibatkan beberapa pihak
menyangkut masalah citra, korupsi, emosi, harga diri, keputusan pimpinan nasional dan
banyak pernik lain. Semua sebenarnya wajar, tetapi menjadi sangat penting karena
menyangkut ranah politik dan hukum.
Setelah bergulir lebih dua pekan, masyarakat luas kini menunggu keputusan Presiden apakah
akan melantik atau membatalkan BG sebagai kepala Polri dan menunjuk yang lain. Dalam
keputusannya terdahulu, Presiden Jokowi menempuh kebijakan jalan tengah, memutuskan
menunda pelantikan BG, tetapi tidak membatalkan.
Penulis mencoba mengulas dari sudut pandang intelijen terhadap masalah ini hingga
menemukan di mana bermuaranya. Dalam terminologi intelijen, analisis serupa disebut
sebagai sebuah ramalan intelijen.
Antara Intelstrat, Politisasi, dan Kriminalisasi
Intelijen selalu melihat dan mengukur masalah strategis dari pakem intelstrat (intelijen
strategis) yang terdiri atas sembilan komponen yaitu Ipoleksosbudhankam plus komponen
biografi, demografi, dan sejarah. Apabila menghadapi musuh, fokus yang dinilai adalah
kekuatan, kemampuan, kerawanan, dan niat lawan (K3N).
Nah, dalam konteks masalah pencalonan BG sebagai kepala Polri baru, yang mengemuka
diberitakan adalah bidang hukum dan politik. Konflik mengarah kepada perseteruan antara
KPK dan Polri. Dalam perkembangannya, para ahli dan praktisi hukum menuduh ada upaya
politisasi, sementara dari elite politik menuduh terjadi kriminalisasi.
Tampaknya Presiden juga diarahkan oleh media untuk menilai kasus pada dua sisi tersebut.
Analisis tersebut yang menjadi komoditas utama media kemudian melibatkan Presiden
sebagai decision maker.
8. 8
Di sisi lain intelijen menilai analisis tidak komprehensif karena ada informasi penting yang
tertinggal. Bisa terlihat dalam beberapa diskusi serta pemberitaan media, kesimpulan banyak
yang tidak tepat, walau mampu membentuk dan memengaruhi opini publik. Dalam hal ini,
menurut penulis, banyak yang tidak mengetahui bahwa Presiden kemudian mengukur kasus
BG yang berkembang ke arah konflik KPK dan Polri dengan sudut pandang intelijen.
Walau masalah BG tidak memenuhi seluruh aspek sembilan komponen, apabila diurai, kasus
akan valid paling tidak mayoritas dari komponen intelstrat terpenuhi. Awalnya setelah
pengajuan BG ke DPR untuk mengikuti uji kelayakan, hingar-bingar yang muncul
menempatkan Presiden sebagai pihak yang bukan anti-korupsi. Banyak yang heran, mengapa
BG yang namanya distabilo KPK kok masih diajukan sebagai calon tunggal kepala Polri?
Mengapa? Hingga di sini banyak yang tidak mendapat informasi akurat mestinya. Ada
komponen intelstrat yang tidak terbaca publik bila diteliti dari komponen sejarah, ideologi,
politik, sosial, biografi misalnya. Banyak yang meng-underestimate Jokowi dalam masalah
ini yang menuduhnya naif tetap bersikukuh soal BG.
Publik mengetahui bahwa BG adalah mantan ajudan Megawati saat menjadi presiden (tiga
tahun). Tanpa mendapat informasi intelijen, publik bisa menyimpulkan ada pengaruh
psikologis dan politis dari Teuku Umar dengan masuknya BG sebagai calon utama kepala
Polri. Kita lihat saja, beberapa elite PDIP, parpol koalisi mengeluarkan statement agar
Presiden segera melantik BG. Belum lagi ada yang marah kepada KPK karena menetapkan
BG sebagai tersangka.
Para kader PDIP, tokoh Nasdem, dan tokoh besar yang dekat dengan Megawati bisa
diterjemahkan dan semakin menegaskan bahwa BG adalah benar calon PDIP (baca Mega).
Mereka menekan Presiden untuk segera melantiknya. Plt. Sekjen PDIP (Hasto) bahkan
menyerang KPK dengan menyudutkan ketua KPK. Belum lagi ada kader yang menyentuh
soal pelengseran. Rasanya kurang smart dan kurang cerdik, tetapi inilah dunia politik yang
penuh dengan trik.
Pertanyaannya, apakah Jokowi tidak setia kepada ”Ratu Banteng”? Banyak yang keliru
menilai Jokowi di sini. Pemilihan dan pengajuan BG setelah Kompolnas mengajukan
sembilan nama calon kepadanya adalah gambaran kesetiaannya kepada orang yang
menjadikannya pimpinan nasional.
Memang tidak dapat disangkal bahwa BG mempunyai kekuatan lobi politik serta pendukung
yang kuat di kalangan PDIP itu. Intelstrat menilai semua sudah diperhitungkan oleh Jokowi.
Dalam masa kepemimpinannya yang 100 hari, Jokowi banyak belajar dalam menghadapi
praktik politik kotor di Tanah Air pastinya.
Tampaknya memang ada pihak yang mencoba memanfaatkan konflik dan mencoba
menggiring Presiden ke killing ground sebagai titik awal untuk dihabisi. Hal serupa juga
pernah dilakukan terhadap Presiden SBY. Upaya pembaruan dan revolusi mental ala Jokowi
9. 9
jelas tidak disukai oleh pihak-pihak tertentu. Ini sudah terbaca.
Arah Strategi Presiden
Awalnya timbul pertanyaan penulis, mengapa dalam kasus BG ini sepertinya Presiden lebih
kepada ”solo karier”? Ke mana para pembantu-pembantunya di kabinet? Pernyataan Pak
Tedjo sebagai Menko Polhukam yang mengoordinasikan bidang politik, hukum, keamanan,
intelijen, kejaksaan, dan lain-lainnya justru mengherankan karena mengundang polemik dan
menjadi kontraproduktif di media dengan bahasa politik tergelincir.
Dalam perkembangan selanjutnya, semua bagi penulis menjadi lebih terang, di mana Jokowi
sebenarnya memainkan strategi lepas libat. Di satu sisi melepaskan dan memenuhi semua
keinginan BG, parpol, Kompolnas, dan para pendukung BG, dengan mengajukan BG ke
DPR. Selanjutnya Presiden melibatkan banyak pihak untuk ikut masuk dalam pusaran konflik
yang terjadi.
Kini Presiden menunjukkan bahwa walau demikian banyak pihak yang meributkan masalah
BG, masalah penangkapan komisioner KPK, keputusan akhir ada di tangannya, melantik atau
tidak melantik (membatalkan), serta mengeluarkan keppres pemberhentian komisioner KPK.
Itu saja sebenarnya muara masalah ini. Semua akan selesai apabila keputusannya yang pro-
rakyat dan anti-korupsi keluar.
Jokowi sangat paham bahwa sesuai dengan komitmennya yang anti-korupsi, dia tidak akan
mau berhadapan dengan rakyat yang anti-korupsi. Di lain sisi, Presiden mampu menstabilkan
kondisi DPR setelah bertemu Prabowo karena sadar bahwa dari komponen intelstrat sejarah,
bahaya pelengseran dirinya bisa berasal dari DPR atau bisa juga dari rakyat. Jokowi harus
menjaga stabilitas politik, menjaga kesetiaan pendukungnya, serta juga menjaga hati dan
perasaan ”Ibu Ketuanya”.
Presiden Jokowi dengan senyumnya yang khas mengatakan bahwa dia tidak akan
mengintervensi hukum, di mana BG kini mempraperadilankan KPK. Sidang di Pengadilan
Jakarta Selatan yang dimulai Senin (2/2/2015), diperkirakan pada minggu pertama Februari
ini akan selesai. Dalam hal ini Presiden memahami upaya perlawanan BG atas sangkaan
KPK.
Tampaknya masalah usia pencalonan BG sebagai kepala Polri hanya menunggu waktu. Kunci
waktunya adalah sidang praperadilan itu. Solusi yang diambil dan akan cantik bagi Presiden,
penulis perkirakan BG akan mengundurkan diri sebagai calon setelah praperadilan.
Kemudian Presiden akan meminta Kompolnas kembali mengajukan calon kepala Polri
baru. Kompolnas menunjukkan indikasi akan menyaring calon baru, kemudian meminta
clearance ke PPATK dan KPK. Kemudian proses akan berjalan sesuai prosedur dan UU yang
berlaku.
10. 10
Indikasi kekuatan politis Presiden yang didasari dukungan ketua umum PDIP terlihat setelah
pertemuan beberapa tokoh KIH di Kebagusan pada Jumat (30/1/2015). KIH sudah berpikir
bahwa ada kepentingan yang lebih besar dalam waktu dekat yaitu akan dilangsungkan
pilkada, bila bertahan dalam mendukung BG, mereka akan rugi, mengalami penurunan
elektabilitasnya. Mungkin ini pertimbangannya, di samping jelas pengaruh kuat dari ketua
umum PDIP. KIH tidak ingin disalip KMP pastinya dan melihat Prabowo saat bertemu
Presiden telah memainkan jurus cantik, menyatakan setelah pertemuan dengan Jokowi, ”Saya
yakin beliau mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya dan beliau akan
memilih yang terbaik,” katanya.
Prabowo sebagai tokoh utama KMP memberikan signal agar dicari saja calon kepala Polri
baru. Di samping melaporkan kepada Presiden bahwa dirinya dipilih sebagai presiden
Federasi Pencak Silat Dunia. Ia meminta kepada Presiden untuk bersedia diangkat sebagai
pendekar pencak silat Indonesia. Inilah sebuah bentuk dukungan moril kepada Jokowi saat
beberapa kader PDIP melakukan tekanan.
Nah, demikian perkiraan atau ramalan intelijen tentang kemelut pencalonan Komjen Budi
Gunawan sebagai kepala Polri. Jokowi berhasil mendapat kesamaan pandangan tokoh-tokoh,
relawan, serta kekuatan nasional yang mayoritas menghendaki KPK dan Polri sebagai
institusi yang perlu diselamatkan, bukan pribadi-pribadi. Selain itu, dalam proses kita bisa
melihat Jokowi tetap setia dan menghormati Megawati yang telah memilihnya sebagai
capres.
Yang jelas dan tidak tertulis, Jokowi menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan moril
Prabowo. Presiden Jokowi kini menemukan bukti kebenaran peribahasa yang mengatakan
”The enemy of my enemy is my friend.” Walau perlahan, ia sedang berproses, tertempa
dengan ATHG sebagai pemimpin. Suatu saat ia akan matang dan berpeluang menjadi
pemimpin besar di negeri ini. Kekuasaan itu sudah di tangannya, tinggal bagaimana
mengolahnya secara bijak.
MARSDA TNI (PUR) PRAYITNO RAMELAN
Pengamat Intelijen
www.ramalanintelijen.net
11. 11
Hukum Praperadilan di Indonesia
Koran SINDO
4 Februari 2015
Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di
Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya. Bahkan hukum
praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana.
Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum
acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang
yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana. Sebelumnya seseorang yang terlibat itu
dianggap sebagai objek, lalu berkembang dipandang sebagai subjek yang wajib memperoleh
perlindungan hukum tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi, politik dll.
Filosofi hukum acara pidana Indonesia yang baru dalam bentuk UU RI Nomor 8/1981 juga
telah sejalan dengan UU RI Nomor 12/1995 tentang Pengesahan ICCPR. Di dalamnya antara
lain ditegaskan mengenai perlindungan minimum (minimum gurarantees) terhadap setiap
orang yang telah diduga melakukan tindak pidana (Pasal 14 angka 3 huruf b) dan jaminan
upaya pemulihan dari negara terhadap setiap orang dari perlakuan aparatur hukum sekalipun
di dalam melaksanakan jabatannya (Pasal 2 angka 3 huruf a dan b).
***
Hukum praperadilan mengatur hak tersangka/terdakwa mengajukan keberatan terhadap
perlakuan aparatur hukum dalam empat hal: penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, dan penghentian penuntutan.
Dalam praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan UU tidak dapat menjangkau fakta
perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi
seseorang sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata
dari negara.
Peristiwa ini pernah terjadi dalam kasus Sengkon dan Karta atas kekeliruan mengenai orang
(error in persona) yang baru ditemukan setelah kedua orang ini menjalani hukuman sehingga
diakui kemudian dibolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara
pidana. Lalu muncullah pengakuan alat bukti elektronik dalam beberapa undang-undang
pidana khusus yang semula tidak diakui dalam KUHAP. Yang terkini lahir beberapa putusan
mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui
merupakan wilayah kewenangan praperadilan.
12. 12
Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam kenyataan masyarakat menurut
pendapat saya bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di
negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian
dari sistem hukum yang bersangkutan.
Peristiwa hukum yang terjadi sekalipun tidak diatur dalam suatu UU (hukum tertulis)
menurut penulis merupakan bagian dari dinamika kehidupan masyarakat dalam mencari,
memperoleh, dan menemukan keadilan sebagai salah satu tujuan hukum di samping kepastian
hukum dan kemanfaatan.
Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm.) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum”
(legal-breakthrough) atau hukum yang pro-rakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar
Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai
keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang
fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian
hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga
memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang
berkembang dan terkini.
Jika hukum diperlakukan secara konservatif atau hanya mempertahankan status quo, akan
dihasilkan hukum yang tidak aspiratif terhadap perkembangan kehidupan masyarakat atau
bukan hukum yang baik. Di sinilah makna perkembangan hukum yang sesungguhnya dalam
pandangan aliran sociological jurisprudence yang berbeda atau bertentangan dengan
pandangan aliran positivisme hukum yang memandang hukum sebagai suatu sistem norma
dan logika (system of norms and logic).
Cara pandang pertama telah diwujudkan dalam ketentuan Pasal 5 UU RI Nomor 48/2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.” Aturan tersebut sudah tentu merupakan pedoman dan rujukan para hakim di
Indonesia dalam penanganan setiap perkara, termasuk perkara praperadilan.
***
Setiap tindakan hukum oleh aparatur hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia
merupakan hasil dari suatu proses panjang sejak penyelidikan sampai pemeriksaan di
pengadilan; bukan suatu tindakan hukum yang serta-merta dan tergesa-gesa karena tindakan
hukum tersebut bersinggungan dengan hak-hak asasi seseorang.
Kulminasi dari serangkaian tindakan hukum tersebut seharusnya dapat mencerminkan
ketelitian dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan hukum pidana yaitu kebenaran material. Atas dasar itu, setiap tindakan hukum sejak
13. 13
penyelidikan sampai penuntutan harus memenuhi asas akuntabilitas, profesionalitas, dan
integritas serta transparansi, terlebih tindakan hukum dimaksud telah ditentukan di dalam
KUHAP.
Dalam membaca dan memahami hukum praperadilan berdasarkan KUHAP, terpenting adalah
tidak melihat dan memahaminya hanya sebagai suatu norma kewenangan penegak hukum,
termasuk KPK, melainkan harus dipandang juga sebagai wujud perlindungan hak asasi
seseorang tersangka sebagaimana telah diamanatkan di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945:
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di muka hukum.”
Wujud perlindungan hak asasi dimaksud juga telah diatur di dalam KUHAP yang merupakan
ketentuan tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka
sidang pengadilan.
Berdasarkan uraian ini, tidaklah aneh dan tidak mustahil jika wilayah hukum praperadilan
tidak hanya mempersoalkan kebenaran langkah hukum dalam keempat hal sebagaimana
tercantum dalam Pasal 77 KUHAP, melainkan juga termasuk tindakan hukum lain yang
bersinggungan dengan perlindungan hak asasi setiap tersangka.
Peristiwa penetapan tersangka yang dilanjutkan pada penangkapan dan penahanan
merupakan conditio sine qua non, bukan merupakan conditio cum qua non dari proses
penyelidikan dan penyidikan. Maka jika dalam kedua prosedur tersebut terjadi perbuatan
melawan hukum, proses penetapan tersangka juga termasuk penangkapan dan penahanannya
adalah cacat hukum dan dapat dibatalkan (vernietegbaar).
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
14. 14
Antara Kasus BW, AS, dan Kasus AU
Koran SINDO
4 Februari 2015
Dalam tiga minggu terakhir, publik disuguhi tontonan ”drama politik” yang berbalut hukum.
Pertama, penetapan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka terkait kasus rekening gendut
sehari setelah Jokowi menetapkan sebagai calon tunggal Kapolri. Kedua, ditangkapnya
Bambang Widjojanto (BW) sekaligus ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan sebagai
perekayasa saksi palsu Pilkada Kotawaringin Barat.
Ketiga, konferensi pers Plt. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait pertemuan Abraham
Samad (AS) dengan beberapa petinggi PDI-P berkenaan rencana AS sebagai calon wakil
presiden mendampingi Joko Widodo. AS memang termasuk salah satu nominator cawapres
untuk mendampingi Joko Widodo.
Lantas apa kaitannya dengan Anas Urbaningrum (AU)? Kalau menilik kasus yang dialami
BW dan AS tentu saja tak ada kaitan dengan AU. Cara publik merespons kasus BW dan AS
juga berbeda dengan cara merespons kasus AU. Padahal fakta-fakta yang mengiringi kasus
AU, mulai saat ditetapkan sebagai tersangka sampai proses persidangan, nyaris tak berbeda
jauh dengan kasus yang dialami BW saat ditangkap Bareskrim.
Munculnya nama AS dalam pusaran ”drama politik” ini juga tak berbeda jauh dengan yang
dialami AU selama menjalani persidangkan, di mana AU didakwa oleh JPU KPK --salah
satunya-- karena ingin menjadi presiden. Bedanya, AS dituduh berkeinginan menjadi
cawapres.
Yang Sama antara Kasus BW dan Kasus AU
Sesaat setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim dalam posisinya sebagai tersangka, BW
membuat pernyataan pers. Ada beberapa poin pernyataan BW yang menarik dan
mengandung kesamaan saat AU ditersangkakan oleh KPK.
Dalam pernyataannya, BW tak lupa ”jualan anak”. BW seakan ingin menunjukkan kepada
publik bahwa anaknya yang masih kecil dan tak tahu apa-apa harus ”dilibatkan” dalam kasus
yang menimpa dirinya. Atau BW ingin menunjukkan kepada anaknya kalau dirinya telah
diperlakukan semena-mena oleh Bareskrim. ”Jualan anak” ini cukup berhasil menyita
perhatian publik.
Mungkin BW tidak berpikir bahwa saat AS selaku Ketua KPK membocorkan sprindik AU,
saat itu AU juga mempunyai empat anak yang masih kecil-kecil. Seperti halnya BW yang
15. 15
mempunyai anak, saat sprindik AU dibocorkan, kira-kira bagaimana perasaan anak-anak AU
saat mengetahui abahnya dizalimi KPK melalui sprindik yang sengaja dibocorkan.
BW juga menyoal sangkaan Bareskrim yang dinilai tidak tepat. BW mungkin lupa ketika
menetapkan AU sebagai tersangka juga dengan surat dakwaan yang tak jelas: ”...dan atau
proyek-proyek lainnya”. Bagaimana mungkin, KPK menetapkan status tersangka seseorang
begitu kabur?
BW dan pendukungnya menyebut bahwa penangkapan BW bak menangkap seorang teroris,
di mana puluhan Brimob dengan bersenjata lengkap dikerahkan. Apakah BW tidak ingat
ketika sekadar untuk menggeledah rumah AU, KPK berlaku arogan dengan mengerahkan
puluhan Brimob bersenjata lengkap?
Seperti pendukung BW, saat itu pun pendukung AU sempat berkomentar yang sama terkait
sikap KPK yang bak menggerebek teroris. BW juga menyampaikan soal perlakuan Bareskrim
yang dinilai intimidatif, termasuk kata-kata tak patut yang keluar dari mulut petugas saat
penangkapan. Apakah BW lupa ketika menjelang penahanan AU, sikap AS dan BW juga
arogan? Bahkan AS sampai mengeluarkan pernyataan yang tak patut: ”Pastinya saya akan
panggil ini Anas. Dengar ya kata-kata saya, saya akan panggil Anas. Saya ingatkan kepada
Anas lewat forum ini sekali lagi dia tidak datang saya akan memerintahkan penyidik saya
untuk memanggil paksa,” (7/1/2014).
BW dan pendukungnya juga mempertanyakan soal tiga alat bukti yang digunakan Bareskrim
untuk menahan BW. Sama, ketika AU ditersangkakan, pendukung AU pun mempertanyakan
dua alat bukti yang digunakan KPK. Hingga akhir persidangan, AU tak pernah tahu dua alat
bukti dimaksud, dan juga tidak tahu bukti terkait ”dan atau proyek-proyek lainnya”.
Ketika BW jadi tersangka, pendukungnya memenuhi kantor KPK, padahal BW ditahan tidak
dalam kapasitas sebagai pimpinan KPK, tapi sebagai pribadi yang terkena kasus hukum.
Semestinya solidaritas dukungan juga dilakukan di rumah BW. Ketika aksi dilakukan di
gedung KPK itu menjadi bias dan tidak netral. Akan timbul opini yang menyesatkan di
bahwa seakan-akan pimpinan KPK tidak bisa salah. Karenanya, kalau ada pimpinan KPK
terkena kasus hukum, maka akan dicap sebagai kriminalisasi KPK.
Ketika AU menjadi tersangka, pendukungnya pun kumpul di kediaman AU di Duren Sawit,
bukan di Kantor Partai Demokrat, simbol institusi yang dinilai turut andil dalam
menersangkakan AU. Kenapa para pendukung BW berjubel memenuhi gedung KPK?
Karena diyakini ada yang salah dalam menersangkakan BW. Sama, pendukung AU pun
meyakini ada yang salah dari KPK dalam menersangkakan AU. Pendukung AU meyakini ada
nuansa politik yang begitu dominan dalam penetapan AU sebagai tersangka.
Amoral Pimpinan KPK Berpolitik
16. 16
Tak berbeda dengan kasus BW, pemberitaan terkait pernyataan Hasto Kristiyanto yang
menyebut bahwa AS sempat bertemu dengan petinggi PDI-P terkait pencawapresan AS, juga
mempunyai kemiripan ketika AU didakwa oleh JPU KPK bahwa AU berkeinginan menjadi
presiden, sebuah dakwaan yang disebut AU sebagai imajiner.
Ketika AS diyakini mempunyai niatan ingin jadi cawapres, berkembang pernyataan publik
yang bernada membela AS: ”sebagai warga negara, apanya yang salah kalau Samad
berkeinginan menjadi cawapres”. Ironisnya, ketika AU didakwa JPU karena ”ingin menjadi
presiden”, ”publik” diam membisu seakan mengamini dakwaan JPU. Sebagian lainnya
berkomentar sinis dengan menyebut bahwa AU dinilai terlalu cepat dan ambisius ingin
menjadi presiden.
Ini rasanya komentar publik yang tidak jujur. Komentar publik yang aneh. Mestinya
komentar ”apanya yang salah...” itu disematkan ke AU bukan ke AS. Sebagai ketua umum
partai, apanya yang salah dan aneh kalau AU berkeinginan menjadi presiden? Sangat wajar
AU berkeinginan menjadi presiden. Tidak ada yang dilanggar baik secara konstitusional
maupun moral politik.
Justru harus dipandang aneh dan amoral ketika ketua KPK berkeinginan menjadi cawapres.
Itu ibarat orang laki-laki salat hanya dengan memakai celana yang panjangnya dari pusar
hingga di bawah lutut tanpa memakai baju. Secara fikih tentu salatnya sah, karena aurat laki-
laki memang antara pusar dan di bawah lutut. Tapi pertanyaannya, apakah patut salat hanya
dengan menutup aurat yang minimalis?
Secara konstitusi, memang tidak salah AS berkeinginan menjadi cawapres, karena itu hak
setiap warga negara. Tapi secara moral, apakah patut sebagai ketua KPK yang dalam
menjalankan tugas harus betul-betul mengedepankan integritas moral lalu berkeinginan
menjadi wapres? Lantas di mana integritas moralnya? Moralitas itu nilainya di atas konstitusi
ataupun aturan apa pun, dan ini semestinya menjadi perhatian bagi pejabat-pejabat publik.
Pelajaran Berharga
Sulit untuk mengatakan bahwa proses penetapan status tersangka AU, BG, BW, dan mungkin
sebentar lagi akan menimpa AS sebagai kasus hukum murni. AU jadi tersangka setelah
didahului dengan sprindik bocor. BG tersangka hanya selang sehari setelah ditetapkan
sebagai calon tunggal Kapolri.
BW menjadi tersangka begitu mendadak saat mengantar anaknya sekolah. Dan bila AS
nantinya ditetapkan menjadi tersangka, kemungkinan kasus pemalsuan dokumen akan
dijadikan sebagai alasan menetapkan AS sebagai tersangka, sesuatu yang selama ini
dipandang lumrah dan sepele.
Kasus yang mendera AU, BW, AS, dan BG ini harus menjadi media introspeksi (muhasabah)
bagi institusi penegak hukum. Ke depan, transparansi penegakan hukum, utamanya dalam
17. 17
penetapan tersangka, harus dikedepankan. Institusi penegak hukum harus menyampaikan
secara terbuka alat bukti yang dijadikan sebagai alasan untuk menersangkakan seseorang. Hal
ini penting dilakukan untuk menghindari tuduhan adanya invisible hand dalam proses
penetapan tersangka. Selain itu, hukum adalah ranah publik, sudah semestinya publik juga
mengetahui prosesnya. Tidak sepatutnya proses hukum ditutup-tutupi.
Bukan hanya itu, penetapan status tersangka juga terkait dengan seseorang yang mempunyai
harga diri (marwah), mempunyai sanak keluarga dan sahabat. Semestinya aspek keadilan
harus benar-benar dikedepankan, bukan karena nafsu atau orderan politik. Sehingga jangan
sampai ada penzaliman dalam penetapan seseorang menjadi tersangka.
Siapa pun, termasuk aparat penegak hukum, pasti juga akan merasakan sakit bila dirinya
mendapat perlakuan tidak adil proses penegakan hukum. Dan biasanya seseorang memang
baru akan merasakan arti ketidakadilan bila yang bersangkutan sudah mengalami
”ketidakadilan”.
Ketika belum, mungkin sulit untuk bisa merasakan atau berempati bagaimana menderitanya
menjadi orang yang terzalimi secara hukum. Sekarang BW, BG, dan --mungkin menyusul--
AS sudah dan akan bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang terzalimi.
Semoga!
MA’MUN MUROD AL BARBASY
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ; Fungsionaris Pimpinan Nasional
Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
18. 18
Kunjungan ke Malaysia dan Poros Maritim
Koran SINDO
4 Februari 2015
Besok, 5 Februari 2015, adalah kunjungan kenegaraan pertama Presiden Joko Widodo
(Jokowi) dalam kerangka kerja sama bilateral dan beliau memilih untuk mengunjungi
Malaysia. Sebelumnya, Jokowi telah berkunjung ke China dalam kerangka APEC, Myanmar
dalam kerangka KTT ASEAN dan Australia dalam rangka KTT G-20.
Pilihan mengunjungi Malaysia adalah cara untuk menyampaikan kepada masyarakat di dalam
negeri dan luar negeri tentang isu yang menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Yaitu, tentang
relasi Indonesia dengan negara-negara tetangga, dan dalam hal Malaysia terkait isu
perbatasan dan tenaga kerja migran.
Saya pribadi tertarik untuk melihat apakah kedua negara akan membicarakan politik luar
negeri yang terkait dengan pertahanan dan keamanan. Bagaimana atau diskusi apa yang akan
muncul dari Malaysia terkait masalah perbatasan dalam konteks gagasan Poros Maritim. Hal
ini tidak hanya penting dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, tetapi juga
dalam kaitan strategi Indonesia sebagai negara penting di kawasan Asia Tenggara.
Meskipun tidak banyak dibahas di dalam negeri, ada keresahan dari negara-negara tetangga
termasuk Malaysia terkait keputusan pemerintahan Jokowi untuk menenggelamkan perahu-
perahu nelayan yang masuk dan mengambil sumber daya kelautan di wilayah perairan
Indonesia. Dari pihak Indonesia, kegiatan ini dianggap sebagai penegakan hukum, tetapi di
mata negara-negara lain, cara yang diambil dianggap sebagai unjuk kekuatan yang entah di
mana akan berujung.
Secara diplomatis, negara-negara tetangga kita menyambut baik gagasan Poros Maritim
terutama dengan peluang investasi yang dibuka oleh pemerintah Indonesia terkait dengan
proyek-proyek ratusan triliun rupiah untuk membangun pelabuhan-pelabuhan di beberapa
kepulauan. Namun demikian, rasa optimistis itu juga disertai dengan kecemasan tentang
kemungkinan investasi yang lebih besar dari pemerintah Indonesia di bidang pertahanan dan
kemananan di laut.
Negara-negara tetangga kita masih menunggu langkah-langkah konkret Jokowi untuk
meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan di laut. Setidaknya ada 3 alasan untuk ini.
Pertama, pemerintahan Jokowi telah memilih untuk mengebom dan menenggelamkan kapal
asing yang masuk tanpa izin untuk mencuri kekayaan laut Indonesia. Dalam hubungan
internasional, penggunaan kekuatan militer di laut adalah bagian dari gunboat diplomacy di
mana kekuatan Angkatan Laut dipakai untuk menggentarkan siapa pun yang memasuki
perairan Indonesia agar merekat tidak berani mengusik kedaulatan wilayah.
19. 19
Dalam gunboat diplomacy, efek yang diharapkan berbeda dengan kegiatan showing the flag
(unjuk bendera di batas wilayah) di mana penjaga laut semata akan menegur siapa pun yang
melintas batas tetapi tidak untuk unjuk kekuasaan.
Cara keras yang dipilih Jokowi erat kaitannya dengan kebiasaan negara yang ingin unjuk
kekuasaan agar dianggap sebagai hegemoni (penguasa) di suatu kawasan. Dalam sejarahnya,
gunboat diplomacy bahkan merupakan instrumen imperialisme. Pertanyaannya kemudian,
apa saja hal-hal yang harus diwaspadai oleh negara tetangga terkait intensi tersebut? Apakah
akan terjadi konflik seputar penentuan batas negara?
Kedua, dalam meningkatkan kapasitas penjagaan perbatasan, biasanya ada ideologi politik
yang menjadi basis kebijakan. Misalnya untuk menjalin kerja sama militer yang lebih kuat
dengan negara tertentu, bersinergi dengan negara-negara tertentu, atau menggenjot industri
pertahanan di Tanah Air.
Dalam konteks Indonesia, meskipun untuk kebutuhan militer sehari-hari sudah mampu
dipenuhi dari industri pertahanan domestik, untuk kebutuhan teknologi canggih, khususnya
untuk menjaga wilayah-wilayah laut dalam dan udara, Indonesia masih tergantung pada
industri militer di Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan China. Pertanyaannya kemudian, kerja
sama pertahanan seperti apa yang patut diantisipasi negara-negara tetangga? Akankah terjadi
penajaman keberpihakan pada AS atau China di Asia Tenggara?
Ketiga, penegakan hukum adalah hal lazim bagi semua negara, tetapi ketika langkah
penegakan hukum tidak berjalan sepenuhnya, muncul keresahan tentang arah yang
sesungguhnya dari kebijakan Jokowi di laut. Misalnya saja Automatic Identification System
menangkap ada 22 kapal nelayan yang berasal dari China yang melakukan penangkapan ikan
secara ilegal di perairan Indonesia. Dari jumlah tersebut, angkatan laut kita dapat menggiring
8 kapal dan sisanya masih bebas berkeliaran atau kabur.
Kabarnya Menteri Kelautan dan Perikanan sudah mengirimkan surat kepada Duta Besar
China untuk membicarakan hal ini, tetapi sampai saat ini belum ada kabar selanjutnya.
Mungkin ini urusan diplomasi yang membutuhkan kerahasiaan, tetapi kalau isunya adalah
penegakan hukum sebagaimana disampaikan oleh Menteri Luar Negeri dan Presiden Jokowi
dalam sejumlah kesempatan, mengapa ada rahasia? Apakah ini sekadar masalah teknis karena
Indonesia belum punya kemampuan menangkapi kapal-kapal asal China yang bandel ataukah
ada pengecualian tertentu?
Dari sini semoga dapat tergambarkan bahwa pilihan Jokowi untuk memberi perhatian pada
pengembangan Poros Maritim dan menegakkan hukum di batas wilayah bukanlah hal yang
tunggal dimensi kebijakannya. Ada efek-efek samping bagi upaya diplomasi. Patutlah diingat
bahwa di Asia Tenggara masih belum tuntas masalah sengketa di Laut China Selatan. Ada
Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan China yang terjerat masalah
dalam sengketa tersebut. Indonesia mendukung upaya penyelesaian sengketa lewat
mekanisme code of conduct, tetapi sampai hari ini belum terlihat ada kemajuan yang berarti
20. 20
dalam pencapaian kesepakatan lewat cara itu. Bahkan informasi terkini menunjukkan bahwa
China telah membangun pulau-pulau buatan yang dijadikan tempat persinggahan kapal induk
militer di karang Fiery Cross di Kepulauan Spratly.
Menjaga kedaulatan wilayah adalah hal yang penting, tetapi lebih penting lagi strategi yang
dipilih dan dilaksanakan untuk mencapai kedaulatan wilayah. Hari ini kita telah mengirimkan
pesan yang keras terhadap negara tetangga terkait dengan illegal fishing dan mereka tentu
berharap kita tidak diskriminatif dan memberikan pengecualian kepada negara tertentu.
Sampai saat ini belum ada nota protes yang keras dari negara-negara yang kapalnya telah atau
akan ditenggelamkan, meski demikian kita harus siap apabila terjadi pembalasan. Kesiapan
itu tidak hanya dari sisi diplomatik, tetapi juga dari sisi ekonomis apabila negara-negara yang
kapalnya ditenggelamkan menurunkan derajat kerja sama dan bantuan ekonomi yang
diperlukan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur kita. Apabila kita tidak siap maka
gagasan Poros Maritim-lah yang akan menjadi korban.
Semoga Presiden Jokowi memperhitungkan segala langkah dan konsekuensi jangka panjang
dari kegiatan diplomasi beliau, termasuk ketika mengunjungi Malaysia.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
21. 21
Pak Jokowi, (Maaf), Tolong Hormati
Birokrasi!
Koran SINDO
5 Februari 2015
Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia ketujuh yang sangat saya hormati.
Selamat! Saat ini Bapak telah lebih dari 100 hari me-manage republik ini. Negara dengan
penduduk terbesar keempat di dunia. Negara dengan jumlah pegawai negeri sipil yang
mencapai 4,5 juta orang ditambah dengan lebih dari sejuta tentara, paramiliter, dan cadangan.
Jumlah yang besar.
Bapak Jokowi yang baru jadi presiden, memimpin jajaran birokrat dalam suatu organisasi
yang berbasis birokrasi bukan pekerjaan mudah. Birokrasi, asal kata bureaucracy, pada
dasarnya adalah suatu jenis organisasi yang lazim dipergunakan dalam suatu pemerintahan
modern, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat administratif. Organisasi yang Bapak
pimpin ini biasanya bersifat komando dengan bentuk piramida. Dalam operasionalnya,
piramida ini mengerucut tajam ke atas untuk pengambilan keputusan dan tanggung jawab.
Organisasi semacam ini biasanya tidak mempunyai fleksibilitas dalam beroperasi, bahkan
cenderung kaku, karena tugasnya mengoperasikan secara terpadu alur kerja organisasi
pemerintahan yang besar dan kompleks. Output utama dari para birokrat biasanya adalah
kebijakan.
Bapak Presiden yang pernah jadi Wali Kota Solo, dari pengalaman saya mendaftar di
birokrasi, menjadi seorang birokrat murni di Indonesia sangat tidak mudah. Butuh kerja
keras, pendidikan dan waktu yang panjang, serta persaingan yang ketat untuk mencapai
puncak karier. Bapak, nuwun sewu mengingatkan, sampai masa Orde Baru, selama hampir 45
tahun usia republik ini, tidak pernah ada jalan pintas untuk naik ke atas di pemerintahan.
Semua ada jalur jabatan, jalur pendidikan formal dan terstruktur, ada urut kacangnya.
Syarat utamanya adalah lulusan S-1 yang diakui negara, lalu si calon mengikuti ujian
bersama puluhan ribu orang. Ujian yang tidak mudah, karena seorang puteri presiden pun
bisa tidak lulus. Jika lulus, interviu akan dilakukan oleh pejabat tinggi di departemen yang dia
minati. Semua memakan waktu hampir enam bulan penantian.
Lulus sebagai calon pegawai negeri, penempatan dan pendidikan di departemen sudah
menunggu. Setiap departemen dan kedirjenan sudah mempunyai struktur pendidikan yang
baik. Setahun pertama selain kadang menunggu waktu jatah tempat untuk pendidikan
22. 22
internal, si calon pegawai negeri sipil (PNS) itu akan ikut bekerja seperti layaknya seorang
trainee.
Secara kasatmata perlu belasan tahun bagi seorang pegawai negeri untuk mencapai tingkatan
eselon 1/dirjen, menjadi panglima perang lapangan. Seorang eselon 1 dari pegawai negeri
sipil, secara pendidikan biasanya bergelar S3/doktor, mempunyai pengetahuan yang nyaris
sempurna tentang pekerjaan yang dia geluti, mempunyai network yang pastinya baik, serta
teruji loyalitas terhadap negara dengan belasan tahun pengabdian yang sudah dilakukan.
Yang penting juga adalah mengerti tata kerja pola memanajemen dan berhubungan dengan
birokrasi.
Karena itu, secara logika tidak ada yang lebih pantas menjadi pimpinan departemen, menjadi
menteri dibandingkan para birokrat itu. Inilah yang selama 45 tahun merdeka dipraktikkan,
terutama untuk departemen teknis oleh para pemimpin negara terdahulu. Semua menteri yang
sukses berlatar belakang birokrat karier, dari jajaran eselon 1. Pak Sumarlin, Pak Hartarto,
Pak Marie Muhammad adalah beberapa nama yang kiprahnya masih terdengar sampai
sekarang.
Bapak Jokowi yang baru saja menunjuk para pembantunya, reformasi sepertinya mengubah
pandangan tentang kemampuan para birokrat. Entah pengertian tentang Reformasi yang
ngawur atau pemimpin negaranya yang ngawur, tapi menjadi pimpinan birokrasi
pemerintahan termasuk menjadi menteri sepertinya lebih mementingkan kepopuleran,
ketokohan bahkan saat terakhir kedekatan dengan pimpinan negara atau pimpinan partai.
Menjadi menteri sepertinya dianggap bukan sesuatu yang penting untuk kelancaran jalannya
pemerintahan. Secara bodoh bahkan dengan enteng ada tokoh pemerintahan yang
mengatakan bahwa menteri itu jabatan politik. Lah, kalau menteri jabatan politik, presiden
serta wapres juga jabatan politik, lalu siapa yang menjadi direktur mengelola negara ini?
Ingat bahwa karena autopilot pesawat bisa kecelakaan.
Bapak Jokowi, yang Presiden Indonesia, beberapa tahun ini, maaf mengatakan, dengan
seenaknya, memanfaatkan kekuatan politik yang dimiliki, ditunjuklah oleh Presiden para
menteri yang bukan hanya tidak berasal dari birokrasi, tidak mempunyai latar belakang
mumpuni, bahkan ada yang tidak dikenal oleh Presiden!
Menjadi menteri seperti pertunjukan mencari idola di televisi. Kepopuleran serta keberanian
berkoar-koar dengan seenaknya sepertinya menjadi syarat utama selain kedekatan dengan
tokoh politik. Dilantiklah dengan upacara yang lagi-lagi seperti show pertunjukan di media
para menteri itu.
Bapak Jokowi yang sedang menilai para menteri, menteri pilihan Bapak atau yang diusulkan
partai, sepertinya memang hebat! Para menteri itu hanya butuh waktu beberapa minggu
bahkan ada yang beberapa hari untuk menganggap dirinya telah mengerti dan bisa
memecahkan masalah pemerintahan. Mereka langsung mengambil keputusan, mengeluarkan
23. 23
kebijaksanaan, bahkan juga mencabut beberapa kebijaksanaan yang sebelumnya telah dibuat
dengan pemikiran yang mendalam dari semua segi dan melibatkan departemen yang terkait.
Pertanyaan memang, apakah para menteri itu memang para jenius, yang bisa langsung
memecahkan problema yang sudah dihadapi para birokrat selama puluhan tahun atau
sebenarnya hanyalah badut politik yang sok tahu yang ingin memanfaatkan kesempatan
jabatan yang dimiliki untuk mengambil posisi politik lebih tinggi?
Bapak Presiden Jokowi yang diharapkan membela birokrasi, banyak kebijakan sebagai output
kerja menteri Bapak yang lebih berupa keputusan bisnis semata. Beberapa peraturan, bukan
kebijakan publik, yang dibuat para menteri itu seperti keputusan para direktur dalam
mengelola perseroan. Pelarangan-pelarangan tanpa perhitungan, peraturan-peraturan yang
lebih berbau publisitas sesaat, bahkan bergaya blusukan secara serampangan, sebagai suatu
pemborosan banyak dipertontonkan para pembantu Bapak.
Para menteri berebut mempertontonkan pelecehan hasil olah pikir para birokrasi yang telah
teruji itu. Pelarangan yang dibuat bahkan sudah menyentuh area pribadi para birokrat.
Penunjukan para staf khusus sepertinya meremehkan kemampuan para dirjen atau direktur.
Pertanyaan memang, apakah 4,5 juta PNS itu dianggap demikian bodohnya oleh para
pembantu Bapak sehingga mereka dengan mudah mengubah kebijakan dalam sekejap dan
harus mengambil tenaga khusus dari luar dengan mengabaikan birokrasi? Apakah mencari
keuntungan itu tugas departemen, tugas menteri? Apakah berhemat itu lebih penting dari
tugas negara menjadi lokomotif stimulus pembangunan dengan menciptakan multiplier effect
untuk kesejahteraan masyarakat? Apakah pegawai pemerintahan itu harus terlihat miskin?
Bapak Presiden yang telah bersumpah sesuai konstitusi untuk memegang teguh konstitusi,
menjalankan segala undang-undang, sesuai UU No. 5 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
fungsi PNS terutama adalah melayani publik dan menjadi unsur perekat persatuan dan
kesatuan bangsa. Fungsi ini wajib hukumnya dikoordinasi oleh para menteri, yang walaupun
bukan PNS, walaupun hanya pembantu kontrakan presiden, walaupun jenius, harus
mengutamakan fungsi pelayanan dan perekat kesatuan bangsa.
Bukan tugas menteri menghitung-hitung keuntungan seperti fungsi seorang direktur di
perseroan. Bukan fungsi semua menteri blusukan, memboroskan uang rakyat bergaya seperti
Presiden mencari popularitas semu. Tugas menteri kerja melayani publik, memastikan negara
jadi lokomotif pembangunan, dan yang wajib tidak meremehkan birokrasi yang suatu saat
akan mereka tinggalkan.
Bapak Presiden Jokowi yang didukung mayoritas rakyat, semoga Bapak tetap sehat, tetap
eling. Bagi sebagian menteri Bapak, mungkin ini masa kampanye mereka, buat jajaran
birokrasi ini adalah hidup mereka sebagai ujung tombak pemerintahan, tapi buat bapak
Presiden, punten Pak, this is governing, not campaigning!
25. 25
Seandainya
Koran SINDO
5 Februari 2015
Seandainya kita melanjutkan dan mewujudkan dasar pikiran pendiri bangsa dalam
menjalankan politik luar negeri yang “bebas dan aktif”, sejarah akan mencatat betapa
pemikiran para pendiri bangsa Republik Indonesia itu visioner mendasar.
Pemikiran tersebut berparadigma non-blok jauh menampakkan arah bacaan pikiran mereka
dalam kesadaran tinggi budi jernih bahwa peta persaingan ada pada dua kekuatan besar
antara blok Timur (baca: Rusia dan kawan-kawan) dan blok Barat (baca: Amerika Serikat
dan kawan-kawan).
Artinya, bangsa ini besar dengan penduduk banyak, kaya bineka tambang, dan alam, namun
selalu dijadikan rebutan kolonialis hingga untuk merdeka dan berdaulat pun harus berjuang
terus dengan budi jernih dan nurani hening melawan superpower yang mau menguasai
dunia.
Politik luar negeri non-blok terbukti visioner ketika konteks perkembangan pasca-Perang
Dingin dan perkembangan globalisasi ekonomi pasar menaruh berhadap-hadapan
menghadapi tiga kekuatan saat ini yaitu blok Amerika dan sekutunya Eropa Barat, blok Rusia
dan kawan-kawannya pasca-Glasnost, serta China dengan perkembangan ekonominya pasca-
Deng Xiaoping. Apalagi kekuatan-kekuatan ekonomi “baru” pasca-Perang Dunia II yaitu
Jepang, India, dan Korea masuk dalam kancah perebutan pasar jualnya.
Mengapa konsep non-blok --dalam bahasa politik luar negeri “bebas-aktif”-- tahan dan
cemerlang sebagai prinsip berelasi internasional dengan negara-negara lain? Karena pikiran
budi jernih pendiri bangsa menempatkan pikiran sebagai pelita hati (ungkapan teks
kebijaksanaan hidup negeri ini dalam ekspresi pepatah peribahasa).
Yang berarti pertimbangan budi akal sehat dengan hening menimbang realitas peta dunia
diproses pertama-tama dalam kepentingan bangsa Indonesia yaitu agar bangsa ini terus
berdaulat lantaran rakyatnya berada dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa yang
salah satunya melalui pendidikan. Kepentingan bangsa yang cerdas dan berdaulat menjadi
batu penjuru tatkala berhadapan dengan persaingan dan konflik-konflik kepentingan lain
yang beragam dan bineka.
Seakan kepentingan mewujudkan kehidupan bangsa dalam ungkapan manusia-manusia
Indonesia yang merdeka berdaulat berprinsip dan tidak menggadaikan diri bahkan tega
melacur diri untuk keuntungan-keuntungannya saat dirayu oleh kolonialis-kolonialis “wajah
baru”. Para kolonialis wajah baru ini hadir dalam aktivitas pengerukan hasil bumi tambang
26. 26
sampai hasil laut, bahkan yang dikandung Tanah Air sebagai Bumi Pertiwi.
Pandangan sudah dirumus tegas-tegas oleh pendiri bangsa untuk generasi ke generasi dalam
bahasa konstitusi yaitu kekayaan alam dan kandungan Tanah Air digarap demi sebesar-
besarnya kemakmuran dan sejahteranya rakyat. Dalam bahasa cultural studies dan logika
kebudayaan sebagai ranah nilai alias yang dihayati dan dikonsepkan sebagai yang berharga
dalam kehidupan ini, pikiran mendasar para pendiri bangsa di atas merupakan “teks”.
Artinya, hasil pertimbangan dari proses diskresi budi dan nurani yang lama, yang selalu harus
memilih pertimbangan yang benar ketika kepentingan pendek, praktis, pragmatis, teknis yang
menjanjikan hasil guna dan manfaat besar, tetapi hanya untuk segelintir pengambil putusan
sedangkan untuk kemaslahatan sejahtera rakyat banyak “kalah”.
Di sini “teks” menjadi bahasa rumus prinsip yang benar dari kehidupan, yang baik, yang suci,
dan yang indah sehingga manakala “teks” non-blok dan bebas aktif dilanjutkan oleh
pemerintah-pemerintah RI pascagenerasi pendiri bangsa di sana bisa dievaluasi sebagai
langkah-langkah kontekstualisasi.
Jujur dalam membaca kontekstualisasi dari “teks”, kita pernah melupakan non-blok kita dan
memilih salah satu superpower dari yang kini untunglah kita siuman sadar kembali untuk
kembali ke “teks” dasar para pendiri bangsa kita. Dengan begitu, tanah dan air yang berarti
daratan pulau dan lautan disadari paradigma pikirannya sebagai lautan di dalamnya
bertaburan pulau-pulau kita sehingga lautan (baca: maritim)-lah penyambung Nusantara
menjadi Indonesia.
***
Seandainya proses membuat pertimbangan atau diskresi konsisten mengikuti prinsip
musyawarah untuk mufakat sebagaimana tertulis sebagai “teks” oleh para pendiri bangsa
dalam dasar negara berpancasila. Teks itu lahir karena mereka “jenius” membaca jernih
dengan budi dan hening nurani bahwa bangsa majemuk suku, beragam kekayaan religi,
berbineka pikiran bijaksana mengenai refleksi-refleksi lokal kehidupan ini tidak bisa
memutuskan sebuah keputusan yang mendengarkan keragaman dan kebinekaan itu tanpa cara
diskresi musyawarah!
Tidak bisa dipercepat atas nama efisiensi dengan kalah dan menang sebagai kalkulasi
putusan. Mengapa kita dalam tahap-tahap kontekstualisasi (baca: melaksanakan “teks”
diskresi musyawarah mufakat) lalu mengadopsi yang dianggap bernilai dan berharga dengan
dalih “demokrasi” melalui voting yang mayoritas menang lalu yang minoritas
kalah? Kelirukah cara menimbang kita dalam membaca esensi kemajemukan bangsa ini lalu
dijalanpintasi dengan menang dan kalah lewat voting?
Ruang musyawarah mensyaratkan kesediaan rendah hati menaruh diri untuk mendengarkan
posisi-posisi lawan maupun kawan. Ruang ini dengan rendah hati harus dibersihkan dahulu
27. 27
dari pertimbangan like and dislike, senang atau benci.
Ia ruang bermusyawarah yang belajar dari kenyataan lapangan, menaruh diri para posisi yang
diperjuangkan yaitu kepentingan bersama, kesejahteraan publik. Saat mufakat diambil, ia
harus diproses tidak dalam kalkulasi menang-menangan, tetapi terbaik untuk semuanya.
Di sinilah muncul dua dilema apabila kontras antarnilai ditimbang seakan-akan tidak bisa
dipilih. Itu terungkap dalam buah simalakama yaitu memilih yang satu akan mati ibu,
sedangkan bila memilih yang kedua akan mati ayah. Maka harus berani masuk ke
pertimbangan “minus malum“ sebagai dilema yang memperhadapkan antara pilihan yang
buruk dan pilihan yang “lebih buruk”.
Itulah proses musyawarah mufakat harus mengambil keputusan untuk yang dampak
negatifnya lebih kecil atau paling kecil dibandingkan yang buruk lain. Minus malum,
harfiahnya adalah mengambil jeleknya (=malum) paling minus atau paling sedikit.
***
Seandainya “teks” menimbang dalam “konteks” pelaksanaannya disadari bersama harus
diproses pertimbangan budi dan diskresi “nurani”. Syaratnya adalah mau rendah hati
memprosesnya melalui blusukan sejati untuk mendengar pertimbangan-pertimbangan. Selain
itu perlu paham prosedur serta tata cara sebuah wewenang atau kekuasaan yang harusnya
melayani namun di kebanyakan orang kita yang feodalistik dan berperilaku tuan dan bos
begitu jadi pemimpin atau pimpinan apa pun tanpa kecuali.
Jika kesemuanya tak dijalani, lalu yang terjadi adalah dua gejala sama-sama keliru, namun
nyata. Pertama, langsung melintasi hierarki yang ada dengan cara bypass dengan alasan
mempercepat hasil putusan. Akibatnya yang merasa tidak dimintai permisi (di-kulonuwuni)
akan tersinggung Sementara yang kedua, mereka-mereka yang berlindung di balik baju
feodalisme prosedural akan menggugat atas nama formalisme tata cara yang dilupakan bahwa
ini media atau sarana, dan bukan substansi atau tujuan.
Namun, keduanya sama-sama keliru lantaran “payung” (baca: ruang pertimbangan)
seharusnya adalah bersama-sama bermusyawarah, berkomunikasi. Tetapi, bukanlah antar kita
justru berkomunikasi antarsesama warga bangsa ini yang sedang krisis “trust“: sukar untuk
saling mempercayai, apalagi ranah politik sebagai kontekstualisasi.
Teks musyawarah itu sekarang ini punya indikasi tunaetika apalagi moralitas pengguna
politik untuk kesejahteraan bersama. Apalagi “rekrutmen” partai politik antara mereka-
mereka yang masih negarawan seperti para pendiri bangsa dan mereka yang cari kuasa,
kedudukan, dan cari makan tampil palsu dan keruh di layar selubung eksotisme visualisasi
rebutan selfie panggung pencitraan-pencitraan.
Padahal dalam bahasa hukum sumpah jabatan atau keputusan-keputusan pengadilan dan
28. 28
bahkan keputusan tour of duty di sana ada rumusan kontekstual jelas-jelas yaitu:
”menimbang, mempelajari, lalu memutuskan”.
Seandainya tulisan berjudul ”seandainya” ini sudi dibaca dengan hati dan budi jernih, pastilah
proses menegara dan membangsa Indonesia akan selangkah demi selangkah mewujud
sebagai berdaulat dan berperadaban.
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara; Dosen Pascasarjana UI; Budayawan
29. 29
Uji Publik dalam Pilkada
Koran SINDO
6 Februari 2015
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu) telah disetujui oleh DPR.
Walaupun belum disahkan sebagai undang-undang (UU) oleh Presiden hingga tulisan ini
dibuat, secara konstitusional Perppu tersebut sudah pasti akan menjadi landasan hukum
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Paling lambat 30 hari setelah persetujuan DPR,
Perppu itu dengan sendirinya akan menjadi UU. Bahkan, DPR pun saat ini telah membahas
perubahan yang akan dilakukan terhadap Perppu yang telah disetujui.
Terdapat perubahan mendasar di dalam Perppu Pemilihan Kepala Daerah, jika dibandingkan
ketentuan sebelumnya. Salah satu di antaranya adanya tahapan uji publik sebagai persyaratan
yang harus dilalui oleh setiap orang yang akan menjadi calon kepala daerah. Namun
demikian, uji publik tidak bersifat menggugurkan. Uji publik dilaksanakan sebelum
pendaftaran calon kepala daerah.
Setiap orang yang mengikuti uji publik akan mendapatkan surat keterangan telah mengikuti
uji publik. Surat ini menjadi salah satu persyaratan pada saat mendaftar sebagai calon kepala
daerah. Artinya, uji publik tidak bersifat menggugurkan, tidak ada pernyataan lulus atau tidak
lulus uji publik.
Terdapat beberapa hal penting di dalam ketentuan umum Perppu Pemilihan Kepala Daerah
tentang uji publik. Pertama, uji publik merupakan pengujian kompetensi dan
integritas. Kedua, uji publik dilaksanakan secara terbuka. Ketiga, uji publik dilaksanakan
oleh panitia yang bersifat mandiri yang dibentuk oleh komisi pemilihan umum provinsi atau
kabupaten/kota.
Tujuan uji publik menurut penjelasan umum Perppu adalah untuk menciptakan kualitas
kepala daerah yang memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas, serta memenuhi unsur
akseptabilitas. Kapabilitas sudah terangkum dalam unsur kompetensi yang telah ditegaskan
dalam ketentuan umum. Karena itu, tujuan uji publik sesungguhnya meliputi tiga aspek, yaitu
kompetensi, integritas, dan akseptabilitas.
Manfaat Uji Publik
Adanya mekanisme uji publik setidaknya memberikan tiga manfaat penting dalam proses
pemilihan kepala daerah. Pertama, uji publik merupakan bagian dari proses seleksi internal
partai politik yang melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini memiliki arti penting bagi
30. 30
proses demokratisasi internal partai politik yang selama ini di beberapa daerah sangat kuat
dengan karakter oligarki. Penentuan calon tidak lagi hanya oleh internal partai politik yang
kadang terdistorsi oleh hubungan politik praktis, tetapi juga harus memperhatikan kualitas
dan integritas calon yang akan diuji oleh publik.
Agar manfaat ini dapat diperoleh, sudah sewajarnya partai politik mengajukan lebih dari satu
calon untuk mengikuti uji publik. Dengan adanya lebih dari satu calon, masyarakat juga akan
dapat menilai apakah partai memerhatikan atau mengesampingkan proses uji publik.
Kedua, uji publik dapat ditempatkan sebagai bagian dari kampanye calon yang objektif.
Semua calon memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menunjukkan kapasitas dan
integritasnya agar dapat meyakinkan partai pengusung serta pemilih.
Ketiga, melalui uji publik, terdapat perluasan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan
kepala daerah. Jika sebelumnya masyarakat tidak memiliki peran menentukan calon yang
diusung oleh partai politik, melalui uji publik suara masyarakat sedikit banyak akan ikut
menentukan keputusan partai.
Mekanisme Uji Publik
Salah satu kelemahan dalam Perppu adalah tidak mengatur mekanisme uji publik secara
detail. Ketentuan Pasal 38 Perppu hanya menentukan bahwa setiap WNI yang mendaftar
sebagai bakal calon kepala daerah wajib mengikuti uji publik. Parpol atau gabungan parpol
dapat mengusulkan lebih dari satu bakal calon untuk mengikuti uji publik. Setiap bakal calon
yang mengikuti uji publik mendapatkan surat keterangan telah mengikuti uji publik.
Mekanisme uji publik harus memosisikan pihak yang melakukan pengujian adalah publik,
bukan panitia. Tugas panitia hanyalah menjalankan tahapan, mengeksplorasi bakal calon, dan
memastikan adanya partisipasi publik.
Panitia tidak memberikan penilaian terhadap calon. Publiklah yang memberikan penilaian.
Tantangannya di sini adalah bagaimana penilaian publik itu dapat diketahui atau diukur
terutama oleh parpol yang mengajukan. Tanpa adanya alat ukur ini uji publik dapat
kehilangan makna.
Mekanisme uji publik juga harus mampu menunjukkan kepada publik kapasitas dan integritas
calon. Untuk mengetahui kapasitas dan integritas dapat saja dilakukan melalui ujian tertentu
yang akan menghasilkan nilai kuantitatif tertentu. Namun jika hal ini dilakukan, berarti
penilaian telah dilakukan oleh panitia dan akan menghasilkan peringkat bakal calon
berdasarkan nilai yang diperoleh. Karena itu, cara untuk menunjukkan kepada publik
bagaimana kapasitas dan integritas bakal calon adalah melalui rekam jejak dan forum tanya-
jawab secara terbuka. Persoalannya kemudian kembali pada bagaimana penilaian publik
dapat diketahui dan diukur setelah publik mengetahui rekam jejak dan mengikuti forum
dialog.
31. 31
Untuk mencapai tujuan uji publik dan menjawab permasalahan yang muncul, mekanisme uji
publik dapat dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama, semua bakal calon menyampaikan
riwayat hidup yang memuat rekam jejak. Panitia mengumumkan secara luas riwayat hidup
dan rekam jejak kepada seluruh masyarakat.
Kedua, masyarakat dipersilakan memberikan masukan dan informasi terkait dengan rekam
jejak kapasitas dan integritas bakal calon. Masukan dan informasi dari masyarakat ini juga
diumumkan kepada masyarakat luas.
Ketiga, dibuat forum terbuka di mana setiap calon dapat menyampaikan kapasitas dan
integritasnya serta panitia melakukan pendalaman dan klarifikasi berdasarkan masukan dan
informasi dari masyarakat.
Hasil dari semua proses tersebut, baik dari rekam jejak, informasi masyarakat, maupun dari
forum dialog, diumumkan kepada publik dan disampaikan kepada parpol pengusul atau calon
perseorangan dengan harapan dapat menjadi instrumen untuk mengetahui penilaian publik.
Kunci keberhasilan uji publik ada pada dua hal. Pertama, keseriusan parpol pengusul
memanfaatkan uji publik sebagai bagian dari seleksi internal. Misalnya, parpol dapat
melakukan survei mandiri terhadap bakal calon yang diajukan setelah adanya uji publik untuk
mengetahui calon mana yang lebih diterima oleh masyarakat.
Kedua, tingkat partisipasi publik. Tanpa adanya partisipasi publik, tidak akan diketahui
kapasitas dan integritas calon, dan pengambilan keputusan kembali milik sepenuhnya partai
politik.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
32. 32
Mengenal Platform Partai Perindo
Koran SINDO
6 Februari 2015
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, pada 23 Januari 2014 yang
menetapkan pemilu legislatif dan pemilu presiden diselenggarakan secara serentak mulai
2019, merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan politik dan demokrasi di
Indonesia. Implikasi dari putusan tersebut, maka peta politik nasional dan sistem pemilu di
Indonesia berubah secara signifikan.
Dalam era baru penyelenggaraan pemilu itu, keberadaan dan peranan partai politik, tidak
terkecuali partai politik baru, menjadi sangat strategis dalam kehidupan demokrasi di
Indonesia. Apalagi, keberadaan partai politik mendapatkan jaminan konstitusional yang
sangat kuat dalam kehidupan bernegara, karena secara eksplisit diatur dan dicantumkan
dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ”Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah
partai politik”, dan dalam Pasal 6A ayat (2) yang berbunyi ”Pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Tantangan bagi partai politik, khususnya partai politik baru, semakin tidak ringan pada
Pemilu 2019. Partai harus mampu memulihkan kembali kepercayaan publik yang merosot
terhadap partai politik. Partai juga harus mampu memenuhi persyaratan dan regulasi
kepesertaan yang semakin ketat, mampu menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan
kompeten, serta mampu menyiapkan dukungan logistik dan infrastruktur partai yang
memadai.
Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah partai politik baru
harus memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif untuk memenangkan
perebutan dukungan, kepercayaan, dan simpati rakyat, sehingga partai unggul dalam
perolehan suara pada Pemilu 2019 kelak.
Keunggulan itu dapat tercermin dari ideologi, prinsip perjuangan, jati diri, visi dan misi,
platform, dan modal perjuangan suatu partai politik yang dirumuskan secara jelas dan
spesifik dibandingkan dengan partai politik lainnya.
Pembentukan Partai Perindo
Bertolak dari pemahaman atas peluang dan tantangan di atas, maka di tengah ingar-bingar
ketegangan politik antara kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih
(KMP) di parlemen setelah penyelenggaraan Pilpres 2014 yang lalu, dibentuklah sebuah
33. 33
partai politik baru yang luput dari perhatian publik. Partai politik itu adalah Partai Perindo
(Persatuan Indonesia) pimpinan Hary Tanoesoedibjo, seorang tokoh nasional dan pengusaha
sukses di bidang media yang sebelumnya pernah bergabung di Partai Nasdem dan Partai
Hanura.
Pembentukan partai ini bukanlah secara tiba-tiba, melainkan telah dipersiapkan cikal
bakalnya jauh-jauh hari dalam bentuk ormas Perindo yang dideklarasikan di Jakarta pada 24
Februari 2013 oleh Hary Tanoesoedibjo bersama tokoh nasional lainnya.
Meski sebagai partai politik baru, Partai Perindo telah memiliki badan hukum yang sah
berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.HH-03.AH.11.01 Tahun 2014 tertanggal 08 Oktober 2014. Dengan status badan hukum,
berarti satu tahapan verifikasi yang wajib diikuti Partai Perindo telah terlampaui. Tahapan
selanjutnya yang mesti dilewati adalah verifikasi yang dilakukan KPU lolos sebagai partai
politik peserta pemilu. Dengan status sebagai partai peserta pemilu, Partai Perindo akan ikut
menentukan dalam kompetisi politik tahun 2019 yang akan datang.
”Persatuan Indonesia” sebagai nama partai diambil dari isi sila ketiga Pancasila. Penggunaan
nama tersebut tentu mengandung maksud dan tujuan, dasar pertimbangan filosofis, serta
konsekuensi logis yang harus dapat dipertanggungjawabkan.
Partai Perindo memahami realitas sejarah bahwa masalah persatuan di Indonesia senantiasa
mengalami pasang-surut seiring dengan dinamika dan perkembangan bangsa dan negara.
Persatuan bangsa bukanlah sesuatu yang given, melainkan sesuatu yang dinamis dan harus
terus diperjuangkan.
Partai Perindo menjadikan Pancasila sebagai ideologi partai dan meyakini bahwa Pancasila
adalah ideologi yang benar, tepat, dan menyelamatkan, karena telah teruji dan terbukti
mampu melewati dengan selamat berbagai ujian dan cobaan disintegrasi dalam proses
perjalanan bangsa, dan tetap berhasil mempersatukan bangsa yang sangat majemuk ini.
Bagi Partai Perindo, Pancasila merupakan sumber inspirasi dan motivasi, serta rujukan
sekaligus tolok ukur keberhasilan perjuangan partai dalam proses pembangunan bangsa.
Konsekuensi logis dari penggunaan nama tersebut, maka Partai Perindo harus mampu
berperan sebagai garda terdepan Persatuan Indonesia. Partai Perindo harus senantiasa proaktif
mengingatkan seluruh komponen bangsa mengenai urgensi persatuan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Partai Perindo digagas sebagai partai modern yang merupakan hasil perpaduan dari
karakteristik partai kader dan partai massa. Jati diri partai secara singkat dapat dirumuskan
sebagai ”Partai modern yang menjadi garda terdepan Persatuan Indonesia, menjunjung tinggi
prinsip keadilan, memelihara nilai-nilai luhur budaya bangsa, berbasis pada kekuatan rakyat,
dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
34. 34
Sebagai partai modern, Partai Perindo harus dikelola secara profesional dan berdasarkan
sistem; mengembangkan budaya organisasi yang egaliter, transparan, dan demokratis;
menerapkan reward and punishment serta merit system dalam kepemimpinan partai;
merencanakan program partai secara sistematis, rasional, terukur, dan terpadu; serta mampu
menjalankan fungsi-fungsi pendidikan politik, rekrutmen politik, komunikasi politik, agregasi
kepentingan, manajemen konflik, dan artikulasi ideologi partai ke dalam program dan
kebijakan, dalam rangka mewujudkan tujuan partai.
Adapun tujuan Partai Perindo yang hendak diwujudkan itu, yaitu (1) Mempertahankan dan
mengamalkan Pancasila serta menegakkan UUD 1945, (2) Mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, (3)
Menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (4)
Mewujudkan negara yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Platform Perjuangan
Faktor distingtif dari suatu partai politik, selain ideologi adalah platform perjuangan. Dari
platform itulah dapat dikenali orientasi dan program perjuangan partai politik untuk mencapai
visi dan misi, serta tujuan yang telah ditetapkan.
Demikian halnya dengan Partai Perindo yang telah merumuskan secara jelas platform
perjuangannya dalam Garis Besar Perjuangan Partai (GBPP). yang memuat tata nilai dan
konsepsi perjuangannya. Partai Perindo memiliki wisi, yaitu mewujudkan Indonesia yang
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, serta berkemajuan, bermartabat, berbudaya, dan
sejahtera.
Sementara misinya adalah (1) Mewujudkan pemerintahan yang berkeadilan, yang
menjunjung tinggi nilai-nilai hukum sesuai dengan UUD 1945; (2) Mewujudkan
pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk Indonesia yang mandiri
dan bermartabat; (3) Mewujudkan Indonesia yang berdaulat, bermartabat dalam rangka
menjaga keutuhan NKRI; (4) Menciptakan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
(5) Menegakkan hak dan kewajiban asasi manusia dan supremasi hukum yang sesuai
Pancasila dan UUD 1945 untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum guna melindungi
kehidupan rakyat, bangsa dan negara; dan (6) Mendorong tumbuhnya ekonomi nasional yang
berkontribusi langsung pada kesejahteraan warga negara Indonesia.
Platform perjuangan Partai Perindo adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi
seluruh rakyat Indonesia dengan fokus pada perbaikan secara signifikan kondisi ekonomi
untuk meningkatkan income per kapita, mengurangi kesenjangan sosial, dan memperluas
lapangan kerja; pelayanan pendidikan yang makin merata, bermutu dan terjangkau; serta
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang memadai, sehingga secara keseluruhan
kebijakan partai dapat meningkatkan taraf hidup rakyat yang layak sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab.
35. 35
Untuk mewujudkan kesejahteraan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat haruslah
melalui suatu perubahan yang menyeluruh, sistematis, terpadu dan terarah, yakni perubahan
yang dikehendaki (intended change) dan direncanakan (planned change), baik di bidang
politik, ekonomi, sosial, maupun budaya, terutama dalam merumuskan rencana kebijakan,
subjek, proses, dan objek perubahan di dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, Partai Perindo
menyatakan kesungguhan untuk menjadi kekuatan perubahan bersama-sama dengan unsur
masyarakat lainnya.
Partai Perindo mendorong secara optimal terwujudnya Indonesia sebagai negara
kesejahteraan (welfare state) yang berdasarkan Pancasila, karena telah memenuhi lima
prinsip, meliputi: (1) cabang produksi yang penting dan menyangkut hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara; (2) usaha-usaha swasta di luar cabang-cabang produksi yang
menyangkut hajat hidup orang banyak diperbolehkan, tetapi negara melakukan pengaturan,
agar tidak merugikan kesejahteraan rakyat; (3) negara terlibat langsung dalam usaha-usaha
kesejahteraan rakyat; (4) negara mengembangkan sistem perpajakan progresif; dan (5)
pembuatan keputusan publik dilakukan secara demokratis.
Pada akhirnya, apabila kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia dapat
dicapai, Persatuan Indonesia akan kukuh. Partai Perindo berkeyakinan bahwa Indonesia
Sejahtera sebagaimana semboyan ”Gemah Ripah Loh Jinawi” dan ”Baldatun Thoyyibatun
Warobbun Ghofur” dapat diwujudkan dengan kerja keras yang berlandaskan pada Tujuh
Nilai dan Prinsip Perjuangan, yaitu Persatuan, Keadilan, Kejujuran, Gotong Royong,
Musyawarah, Anti-diskriminasi, dan Perubahan.
Keyakinan itu bertambah besar karena adanya dukungan modal perjuangan yang dimiliki
partai, berupa ideologi Pancasila, figur utama yang berkarakter, sumber daya manusia yang
unggul, jaringan media yang kuat, infrastruktur yang memadai, modal sosial yang besar, serta
keberpihakan pada rakyat kecil yang sungguh-sungguh.
ABDUL KHALIQ AHMAD
Wakil Sekjen DPP Partai Perindo dan Mantan Anggota DPR RI
36. 36
Mala Prohibita Abraham Samad
Koran SINDO
7 Februari 2015
Krisis hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri ditingkahi berita
bahwa Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka kasus pidana karena perbuatan yang
dilakukannya sekitar delapan tahun yang lalu.
Kesan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Samad digiring ke kasus pidana
sebagai balasan Polri atas tindakan KPK yang telah menjadikan Budi Gunawan sebagai
tersangka tindak pidana korupsi sehingga pencalonannya sebagai kapolri menjadi terganjal.
Belum jelas dan masih simpang siur, apa kasus tersebut dan bagaimana posisi Samad di
dalamnya.
Wakapolri Badrodin Haiti mengakui Polri telah mengeluarkan surat perintah penyidikan
(sprindik) untuk Abraham Samad, tetapi yang bersangkutan belum menjadi tersangka.
Namun sumber Polri juga menyebutkan bahwa Abraham Samad resmi menjadi tersangka
karena pemalsuan dokumen di Sulawesi.
Kasus yang disangkakan adalah memalsukan dokumen kependudukan seseorang untuk
mendapatkan paspor dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga. Kisahnya, seperti
yang termuat dalam pemberitaan pers, ada seseorang ingin memiliki paspor yang dikeluarkan
oleh Kantor Imigrasi Makassar, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kartu tanda
penduduk Makassar karena bertempat tinggal di provinsi lain.
Oleh Abraham Samad diusahakan agar yang bersangkutan dapat memiliki bukti
kependudukan dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga tanpa ada dokumen
perpindahan yang sah dari daerah asalnya. Dengan itu pencantuman di dalam KK itulah yang
bersangkutan bisa mengurus dan mendapatkan paspor. Perbuatan yang dilakukan Samad pada
tahun 2007 itu sekarang diangkat sebagai kasus pemalsuan dokumen dan, konon, Samad
sudah dijadikan tersangka dalam kasus ini.
Kalau cerita yang saya tangkap dari pemberitaan pers itu benar, sekali lagi kalau itu benar,
maka dijadikannya Samad sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen itu sangatlah
berlebihan. Tak mengherankan jika kemudian dikatakan, dalam istilah yang banyak dipakai
oleh umum meski tak sepenuhnya tepat, Samad menjadi sasaran kriminalisasi karena konflik
antara KPK dan Polri.
Perbuatan Samad menolong orang itu memang melanggar aturan, tetapi tidak merugikan
siapa pun, tidak mengandung niat jahat dan sampai sekarang paspor itu tidak juga
dipergunakan untuk suatu kejahatan.
37. 37
Di dalam hukum apa yang dilakukan Samad itu bisa tergolong mala prohibita, yaitu
melakukan perbuatan yang melanggar hukum karena diatur demikian oleh hukum, tetapi
belum tentu ada yang dirugikan. Selain mala prohibita, di dalam hukum ada juga mala in se,
yakni suatu perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan disebut jahat di dalam undang-
undang, tetapi perbuatan itu memang merusak karena menabrak kewajaran, bertentangan
dengan moral, dan melanggar prinsip umum kehidupan masyarakat yang beradab.
Membunuh atau merampok, misalnya, merupakan mala in se, sebab selain diatur di dalam
undang-undang, perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat. Tapi kalau kita menerobos
lampu merah di tengah malam yang sepi, hal itu merupakan mala prohibita, jelas melanggar
aturan, tetapi tidak ada yang dirugikan. Kalau kita lupa membawa SIM saat menyopir di jalan
umum, maka itu juga merupakan mala prohibita yang tidak mengandung mala in se karena
meski melanggar aturan sebenarnya tidak ada yang dirugikan atau dirusak di tengah-tengah
masyarakat.
Apakah melakukan mala prohibita itu salah? Ya, tentu salah karena melanggar aturan. Tapi,
dalam praktiknya, hal-hal seperti itu tidak dibesar-besarkan sebagai kasus kriminal, bahkan
banyak yang dibiarkan begitu saja. Di Jakarta ini, misalnya, bisa ribuan pejabat yang selain
memiliki KTP Jakarta juga masih memiliki KTP dari daerah asalnya. Ada hakim yang
memiliki KTP aktif sampai enam karena sering berpindah tugas, tetapi tidak sempat
mengurus dokumen-dokumen kepindahannya. Ada yang membuat SIM, tetapi kertas
ujiannya diantar ke rumah untuk ditandatangani dengan jawaban yang sudah lengkap.
Sebenarnya pelaksanaan hukum kita selama ini memang cenderung menerapkan
permakluman untuk tidak terlalu mempersoalkan mala prohibita yang tidak disertai dengan
mala in se. Polri bukannya tak tahu ini. Pada 2012 oleh Kabareskrim Sutarman saya diundang
dalam satu pertemuan Reskrim Polri se-Indonesia untuk memberi ceramah tentang
restorative justice.
Saat itu saya mengatakan bahwa ide restorative justice yang menghendaki penyelesaian
masalah hukum tertentu secara harmoni dan tak membawa kasus ke pengadilan kecuali
mengandung mala in se adalah ide hukum yang bersumber dan berakar dalam budaya hukum
Indonesia. Mahkamah Agung pun membuat kebijakan agar kasus-kasus pidana tertentu yang
tidak mengandung mala in se bisa diselesaikan tanpa ribut-ribut ke pengadilan dengan
mengenakan denda maksimal di lapangan.
Ternyata, kawan-kawan Polri mengatakan, sudah lama Polri menerapkan restorative justice.
Banyak kasus pelanggaran hukum yang tidak dibawa ke pengadilan karena hanya
mengandung mala prohibita tanpa mengandung mala in se yang berarti. Polri mengambil
penyelesaian damai, tidak membesar-besarkan, dan menjaga harmoni.
“Kalau tidak demikian, berapa ratus ribu kasus pelanggaran hukum yang harus kami bawa ke
pengadilan. Polri justru menyelesaikan secara baik di luar pengadilan,” kata Bekto Suprapto,
38. 38
mantan Kapolda Papua yang saat itu juga menjadi pembicara bersama saya dan Prof Achmad
Ali.
Kita berharap agar kasus Samad soal pencantuman nama seseorang di dalam kartu keluarga
untuk mengurus paspor itu dianggap sebagai mala prohibita yang tidak disertai mala in se.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
39. 39
Pulihkan Citra KPK dan Polri
Koran SINDO
7 Februari 2015
Tidak mungkin dimungkiri, kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri membuat
citra dan wibawa kedua lembaga penegak hukum tergerus. Publik melihat KPK dan Polri
saling berhadapan, padahal yang diduga bermasalah hanya individu.
Yang terjadi saat ini adalah yang ketiga kalinya, sehingga seharusnya sudah diketahui akar
masalahnya agar tidak melebar ke mana-mana. Rakyat butuh kepastian, rakyat butuh KPK
untuk memberantas korupsi. Rakyat juga butuh Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Yang paling kompeten menyelesaikan kisruh adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), tetapi
terkesan lambat yang membuat perseteruan berkembang menjadi bola liar, bahkan cenderung
mengarah pada fitnah yang tidak rasional. Misalnya tudingan rekayasa dan kriminalisasi,
penetapan tersangka karena ada kepentingan politis, atau karena balas dendam.
Persoalan hukum atas status tersangka dan pelaporan dugaan tindak pidana harus berjalan
sesuai hukum yang berlaku. Tudingan miring yang belum tentu benar itu membuat publik
terbelah, ada yang gigih membela KPK dan ada juga yang mendukung Polri. Itu terlihat di
kantor KPK saat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap penyidik Bareskrim
Polri, dan saat sidang pertama praperadilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
(2/2/2015).
Maka itu, tidak boleh membiarkan kedua institusi penegak hukum itu terus berhadap-
hadapan, hanya karena persoalan individu yang sarat politisasi. Memang persoalan individu
tidak bisa dilepaskan dari kaitannya dengan institusi lantaran merekalah yang menggerakkan
pelaksanaan fungsi dan wewenang institusi, tetapi tidak boleh digiring menjadi perseteruan
institusi.
Jalan Keluar
Agar rakyat kembali percaya kepada kedua penegak hukum itu harus ada jalan keluar karena
pangkal persoalan selalu sama, yaitu proses hukum terhadap individu pejabatnya. Seteru
pertama yang populer disebut ”cicak-buaya” karena dua wakil ketua KPK, Bibit Samad
Rianto dan Chandra Hamzah (Bibit-Chandra), dijadikan tersangka dugaan penyalahgunaan
wewenang oleh Bareskrim Polri. Seteru kedua dan ketiga karena perwira tinggi Polri diproses
hukum oleh KPK lantaran diduga terkait kasus korupsi.
40. 40
Mengembalikan citra dan wibawa keduanya, perlu menggelorakan ”save KPK, save Polri,
save pemberantasan korupsi ”. Semua tudingan harus dibuktikan secara hukum tanpa
intervensi. Paling tidak ada tiga solusi yang bisa dipilih untuk memulihkan citra KPK-Polri
sekaligus dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Pertama, jika semua pimpinan KPK jadi tersangka, berarti mereka akan diberhentikan
sementara dari jabatannya sesuai Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 30/2002 tentang KPK. Dalam
kondisi seperti itu, KPK akan lumpuh, tidak bisa melaksanakan fungsinya memberantas
korupsi. Maka itu, Presiden Jokowi perlu mengeluarkan perppu pergantian sementara
pimpinan KPK sampai selesai masa jabatannya Desember 2015. Presiden juga membentuk
panitia seleksi pimpinan KPK paling lambat enam bulan sebelum berakhir masa jabatan
pimpinan KPK, untuk memilih calon komisioner KPK secara permanen.
Tetapi melihat persoalan hukum yang menimpa pimpinan KPK terkait dugaan tindak pidana
masa lalunya, perlu memikirkan jalan keluar agar tidak ada kesan mencari-cari kesalahan
untuk sekadar dijadikan tersangka karena akan diberhentikan sementara dari
jabatannya. Wajar jika publik mulai mempertanyakan hasil verifikasi panitia seleksi calon
pimpinan KPK dan uji kelayakan dan kepatutan DPR yang menganggap tidak ada persoalan
moral dan persoalan hukum sehingga pimpinan KPK jilid ketiga dipilih.
Kedua, Presiden segera mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR untuk mendapat
persetujuan dan segera dilantik. Jikapun BG menggugat praperadilan harus dihargai sebagai
upaya mencari keadilan. Polri harus dijaga citranya sebagai alat negara yang menjaga
kamtibmas dengan tugas: melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan
hukum (Pasal 30 ayat (4) UUD 1945).
Ketiga, Indonesia sebagai negara hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,
maka kasus BG, kasus BW, dan pimpinan KPK lain yang juga dilapor ke polisi harus
diproses hukum secara profesional, transparan, dan objektif. Apalagi, Presiden Jokowi dalam
konferensi pers (26/1/2015) meminta agar proses hukum di KPK dan Polri dilaksanakan
secara transparan, terang benderang dan tidak ada kriminalisasi.
Saling Mendukung
Menyikapi seteru yang sudah memasuki ruang publik maka wajar kalau kalangan aktivis anti-
korupsi dan berbagai elemen masyarakat mendesak agar KPK tidak dilumpuhkan.
Profesionalitas penyidik dan pimpinan KPK menjerat elite-elite politik dan pejabat negara
yang diduga terlibat korupsi, menjadi taruhan apakah korupsi yang sudah menjadi penyakit
kronis itu bisa dihentikan, atau paling tidak dikurangi intensitasnya.
Realitas di masyarakat tidak mungkin ditutupi, mereka sangat percaya pada KPK dalam
pemberantasan korupsi. Tidak mengherankan apabila banyak elemen masyarakat di seluruh
pelosok negeri yang rela berdiri di depan membela KPK.
41. 41
KPK dan Polri harus berada pada posisi setara dan saling mendukung dalam upaya
pemberantasan korupsi. Seteru yang berlarut justru membuat para koruptor dan calon
koruptor yang antre di berbagai institusi negara bersorak-sorai.
Salah satu upaya Presiden untuk menyatukan sikap kedua institusi itu dengan membentuk tim
independen dari tokoh masyarakat yang berkompeten dan dikenal memiliki integritas tinggi.
Tim itulah yang diharapkan membantu mencari solusi yang tepat guna mengakhiri
perseteruan. Namun, tidak boleh ada intervensi terhadap perlaksanaan teknis penyidikan yang
dilakukan kedua institusi hukum itu.
Akhirnya, untuk mengembalikan citra Polri, Presiden harus segera memilih dan melantik
kapolri baru. Begitu pula KPK, harus dijaga dari kemungkinan tidak bisa melaksanakan tugas
dan fungsinya. Keduanya harus diisi sosok yang tidak berpotensi menimbulkan persoalan di
kemudian hari. Momentum seleksi pimpinan baru KPK pertengahan tahun ini, perlu
dijadikan landasan untuk mencari pimpinan KPK yang betul-betul tidak punya beban masa
lalu yang bisa diungkap.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum, Universitas Bosowa 45, Makassar
42. 42
Jokowi, Prabowo, dan Petugas Partai
Koran SINDO
7 Februari 2015
Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Istana Bogor (29/1) mengejutkan publik. Mengejutkan
karena ada kesan pertemuan tersebut menyimpan sesuatu yang sangat berarti. Apalagi setelah
pertemuan itu, Prabowo menyatakan akan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden
Jokowi. Termasuk, tentu saja, soal pelantikan atau pembatalan pelantikan Budi Gunawan
sebagai kapolri.
Seperti kita ketahui, penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri telah menuai
protes publik karena dia ditengarai mempunyai rekening gendut yang tidak sesuai dengan
penghasilannya sebagai pejabat di Polri. Karena faktor rekening gendut inilah, kemudian
KPK mengumumkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Kasus ini kemudian
berkembang liar–bukan hanya pro-kontra penunjukan BG sebagai kapolri, melainkan juga
”jegal-menjegal adu kekuatan” antara Polri dan KPK.
Dalam pusaran masalah ini, pada awalnya KPK ”menang” karena berhasil ”menersangkakan”
BG sebagai koruptor (rekening gendut), tapi kemudian polisi” berhasil” membalasnya. Empat
pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Zulkarnaen, dan Adnan Pandu Praja
sebagai ”tersangka” dan ”calon tersangka”. Secara praktis, empat pimpinan KPK yang tersisa
(setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya) menjadi tidak berdaya.
Buya Syafii Maarif menyatakan, pilihan calon tunggal kapolri untuk Budi Gunawan bukanlah
inisiatif Jokowi. Publik pun sebetulnya tahu, siapa yang memaksakan Budi Gunawan sebagai
calon kapolri meski sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Dan publik tahu, Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) sangat mendukung Budi Gunawan. Bahkan anehnya, DPR pun akhirnya
menyetujui pencalonan BG tersebut. Ini memang aneh, DPR sebagai wakil rakyat yang tahu
aspirasi rakyat, tapi keputusannya bertentangan dengan kehendak rakyat.
Ada pertanyaan, apakah persetujuan DPR memang murni untuk mendukung BG, atau
sebaliknya ingin menjungkalkan Presiden Jokowi agar terjerembap dalam dilema? Kita tak
tahu. Tapi toh arah politik bisa diterka. Akibat pusaran masalah BG ini, Republik jadi kacau
dan Jokowi tersandera.
Mestinya, dalam ”filosofi bahasa” jika ada masalah dalam kenegaraan maka kembalikan (re)
ke rakyat (publik). Jadi penentunya adalah rakyat. Kita tahu, rakyat cenderung membela siapa
dan menolak siapa. Presiden Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dan Koalisi Merah
Putih (KMP) pasti tahu rakyat cenderung ke mana. Tapi anehnya, tokoh-tokoh politik
pengusung Jokowi memilih BG. Barangkali inilah misteri perpolitikan Indonesia.
43. 43
Dalam kondisi inilah, negeri seakan ”tergoyang”. Presiden menghadapi dilema. Partai politik
menghadapi dilema. Dan, rakyat pun merasakan dilema. Dalam kondisi inilah, Prabowo
Subianto hadir menemui Jokowi dan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden.
Kenapa tiba-tiba Prabowo mau mendukung apa pun yang diputuskan Presiden? Itulah jiwa
nasionalisme seorang prajurit bila melihat kondisi bangsanya ”kacau”. Bagi seorang prajurit
yang sudah disumpah untuk mengabdi kepada negara, kestabilan negara dan NKRI adalah
final. Prabowo sebagai prajurit sejati tahu betul apa yang harus dilakukannya, yaitu
mendukung keputusan Presiden. Ini karena Presiden adalah pimpinan tertinggi negara.
Negara hanya akan stabil bila presidennya kuat dan berani memutuskan sesuatu berdasarkan
aspirasi rakyat.
Dari konteks inilah, kita melihat kehadiran Prabowo di Istana Bogor untuk mendukung apa
pun yang diputuskan Presiden. Jiwa besar yang bersandarkan pada nasionalisme dan NKRI
inilah kiranya yang mendorong Prabowo menemui Jokowi di Istana Bogor. Padahal kalau
dilihat dari layar belakang sebelumnya, sebagai pimpinan KMP, mestinya Prabowo
berseberangan dengan arah politik Jokowi yang didukung KIH.
Tapi sebagai seorang prajurit Saptamarga, Prabowo justru memilih sebaliknya untuk
mendukung apa pun keputusan Presiden. Pertimbangan Prabowo, jelas, Presiden perlu
didukung untuk kestabilan politik. Kita tahu saat ini, posisi Presiden secara politik lemah
karena beliau bukan pimpinan partai. Ini berbeda dengan SBY, di mana beliau adalah
pimpinan partai pemenang pemilu.
Sedangkan Jokowi, meski didukung partai pemenang pemilu (PDIP), Jokowi bukanlah
pimpinan partai. Megawati sebagai ketua umum PDIP menyatakan Jokowi adalah kader
partai, dan karena itu beliau sebagai presiden adalah mengemban tugas partai. Pernyataan ini
jelas bertentangan dengan filosofi politik kenegaraan, di mana bila seorang kader atau
pimpinan partai menjadi presiden maka selesailah tugas partai karena dia telah menjadi
”petugas” rakyat seluruh negara.
Dalam bahasa politik, presiden adalah mandataris rakyat sebuah negara. Jadi presiden bukan
petugas partai. Tugas partai sudah selesai karena dia harus menjalankan tugas negara. Ketika
seorang politikus menjadi presiden, kata Kennedy, maka tugas partai pun berakhir. Di
pundaknya kini memikul tugas negara dan menjalankan amanat rakyat.
Apalagi, Jokowi terpilih dengan suara lebih dari 57% sedangkan suara PDIP hanya 18%. Ini
artinya, yang memilih Jokowi sebagai presiden adalah rakyat– bukan kader partai. Dengan
demikian, Jokowi adalah milik semua rakyat, simbol negara– bukan milik golongan dan
partai politik. Jika demikian, partai politik yang mengaku ”pemberi tugas” untuk Jokowi
tidak lagi menyerimpungnya.
Kasus BG dan perseteruan antara Polri dan KPK hendaklah jadi pelajaran. Jangan melawan
suara rakyat karena rakyatlah pemilik negeri ini, bukan partai politik!
45. 45
Governabilitas Jokowi
Koran SINDO
7 Februari 2015
Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mempertajam kepemimpinannya di kawah
candradimuka politik Indonesia, ataukah tengah memperlihatkan ketekoran
kepemimpinannya?
Pertanyaan tersebut mengemuka ketika sebagai Presiden, Jokowi diuji untuk menyelesaikan
kemelut konflik antarelite dalam institusi kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) hari-hari ini. Kasusnya memang dilematis dan tidak sederhana, tetapi Jokowi punya
kewenangan politik untuk memutuskan sesuatu yang dapat memengaruhi jalannya cerita di
kemudian hari.
Tetapi dalam konteks kepemimpinan, memutuskan saja tidak cukup. Pemimpin harus mampu
mengendalikan beragam sumber daya melalui pengaruhnya. Konteksnya, pengelolaan
konflik. Dalam kasus kepemimpinan politik Jokowi, sepertinya dia kurang
mempertimbangkan aspek-aspek kontestasi antarelite, sebelumnya. Yang tampak, Jokowi
banyak bergantung pada asumsi semua orang bisa diajak bekerja sesuai dengan kemauannya.
Namun bahkan dalam hal memilih para pembantu atau anggota kabinet, nyatanya Jokowi
tidak bisa melakukannya secara optimal. Dia terpaksa harus mengakomodasi ragam kekuatan
politik pendukungnya. Namun dalam perkembangannya, Jokowi berikhtiar membentuk
keseimbangan antarelite pendukungnya ataupun dengan kelompok penyeimbang.
Pascapembentukan kabinet, sesungguhnya Jokowi telah menggambar peta politik yang
dinamis. Peta itu masih akan terus berubah, setidaknya karena dua faktor. Pertama, faktor
kepentingan Jokowi untuk menjadi pemimpin yang seotentik mungkin, lepas dari bayang-
bayang figur-figur kekuatan-kekuatan politik lain.
Katakan, kalaupun memang Jokowi menyadari hal ini, dia akan bertransformasi dari ranah
”petugas partai” ke ”petugas rakyat” atau pemimpin bangsa yang sepenuhnya mandiri.
Benturan-benturan keras dengan partai-partai politik pengusungnya, apalagi khususnya PDIP
dengan ikon utamanya Megawati Soekarnoputri, pasti tidak terelakkan.
Kedua, faktor kapasitas kepemimpinan Jokowi sendiri. Ini terkait dengan bagaimana dia
sebagai pemimpin bangsa merespons kasus-kasus krusial. Kapasitas kepemimpinan merujuk
pada kecakapan memimpin serta ketepatan kebijakan dan respons terhadap perkembangan,
juga dalam menjaga momentum. Kapasitas pemimpin jelas juga terkait dengan konteks
pengambilan risiko, selain pengelolaan harapan.
46. 46
Dalam hal ini, Jokowi dapat menjadi penentu. Kalau kapasitas kepemimpinannya mantap, dia
akan mampu mengelola perubahan menuju visinya. Tetapi kalau kepemimpinannya tekor,
peta politik juga bisa berubah drastis. Ketekoran kepemimpinan tidak semata-mata terkait
dengan konteks tercabutnya dukungan politik, tetapi juga dalam hal-hal yang bermuara pada
kemerosotan daya kepemimpinan atau pengaruh di segala lini.
Kondisinya bisa jadi lebih parah ketimbang kondisi ”tidak dapat memerintah”, karena
ketekoran kepemimpinan ditandai oleh resistensi dari segala arah. Uraian di atas
dimaksudkan untuk memahami bahwa siapa pun yang menjadi presiden, juga akan
dihadapkan pada problem yang sama.
Adanya realitas kontestasi antarelite dan kelompok kepentingan tentu berpotensi
mengganggu fokus pemerintah untuk bekerja. Tetapi justru di sini, kepemimpinan politik
presiden diuji, bagaimana dia mampu menjadi integrator dan dinamisator yang produktif
sehingga politik menjadi kondusif.
Pembangunan membutuhkan kehadiran para teknokrat sebagai sosok-sosok ahli yang
berkompeten dalam mengimplementasikan program-program pembangunan. Golongan yang
tergabung dalam kabinet inilah diharapkan mampu mempercepat perwujudan visi presiden.
Namun, ini juga bukan hal statis robotik. Kabinet yang bernuansa politik, tentu membutuhkan
pendekatan kepemimpinan yang berorientasi keseimbangan dan mekanisme ”reward and
punishment” yang jelas. Maka itu, governabilitas atau daya memerintah Presiden Jokowi
tergantung, lebih-lebih, pada kapasitas kepemimpinannya.
Sejauh mana daya pengaruh dan daya geraknya mampu mengondisikan segenap potensi
sumber daya pemerintahan secara sinergis, selain kecakapannya dalam mengelola kekuasaan,
termasuk kemampuannya untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja dengan
profesional. Pun dalam menjalankan tugasnya sebagai panglima tertinggi militer.
Pemimpin memang perlu banyak masukan, formal maupun tidak formal dari berbagai
spektrum dan sumber. Kapasitas pemimpin, dalam konteks ini ialah menemukan poin-poin
penting sebagai referensi yang mendasari kebijakan (policy) yang diambilnya secara bijak
(wisdom). Dari berbagai masukan, semua akan berpulang ke dirinya.
Pemimpin perlu kesunyian di tengah keramaian. Kesunyian itulah detik-detik untuk
memutuskan yang dianggapnya terbaik, kendatipun tidak populer. Jokowi tentu akan terus
dihadapkan pada kesunyian-kesunyian itu.
Governabilitas Jokowi sebagai presiden akan efektif kalau program-program pemerintah
berjalan secara terencana dan terukur. Tentu ini terkait dengan sistem dan sarana-prasarana.
Dalam aspek tertentu, seiring dengan ikhtiar untuk melakukan terobosan-terobosan
kebijakan, pemerintahan Jokowi tampak ingin tampil beda dengan pemerintahan sebelumnya.
Artinya, sistem harus ada yang diubah.
47. 47
Perubahan sistem memang perlu waktu, selain proses adaptasi yang melibatkan semua pihak.
Namun, dia memang akan bertemu dengan berbagai keterbatasan di lapangan, tidak saja soal
sarana-prasarana, tetapi juga aspek-aspek kultur dan mentalitas. Di sinilah urgensi pemimpin
sebagai panduan moral dalam perubahan sistem yang kompleks.
Dalam kasus Jokowi, sesungguhnya dia punya modal kepercayaan (trust) yang tinggi, bahwa
dia adalah sosok ”pemimpin moralis” yang timbul dari bawah. Simbol kerakyatan masih
sering dilekatkan ke Jokowi, tetapi setidaknya hingga saat ini dia belum dilengkapi segera
dengan simbol kecakapan. Jokowi masih terkesan belum begitu cakap dalam menyelesaikan
konflik kepolisian dan KPK dewasa ini, kendatipun keriuhannya bisa semakin mereda.
Masa seratus hari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih tampak diwarnai ikhtiar adaptasi
kepemimpinan di tengah realitas kontestasi politik yang dinamis. Keriuhan politik seolah
menenggelamkan program-program baik yang bersifat terobosan pemerintah. Juga belum
optimalnya governabilitas Jokowi dalam mengarahkan sinergisitas seluruh kekuatan sumber
daya pemerintahan untuk bergerak cepat ke arah pencapaian visinya.
Apakah setelah ini akan terjadi pergerakan yang lebih cepat, stagnan, atau mundur?
Bergantung faktor kepemimpinan Jokowi sebagai penentu kebijakan-kebijakan utama di
negeri ini.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta