Dokumen tersebut membahas temuan beberapa lembaga mengenai kasus penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi oleh aparat kepolisian di Indonesia dalam beberapa periode tertentu. Temuan-temuan tersebut menunjukkan masih terjadinya praktik penyiksaan oleh polisi dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku penyiksaan.
UNCAT Ratifikasi dan Praktik Penyiksaan Oleh Aparat Kepolisian di Indonesia
1. The United Nations Convention Against Torture and Other
Cruel, Inhuman, Or Degrading Treatment Or Punishment
(UNCAT)
UNCAT/konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi, dan merendahkan martabat manusia merupakan sebuah bentuk upaya universal
untuk secara efektif menghapus seluruh praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi
lainnya diseluruh dunia. Sehingga sudah sepantasnya menjadi perhatian seluruh negara-negara
dunia untuk saling memastikan dihapuskannya praktik penyiksaan baik yang dilegalkan dalam
bentuk hukuman perundang-undangan.
Secara normatif Indonesia sudah meratifikasi UNCAT melalui UU no 5 tahun 1998 tentang
konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia dengan deklarasi terhadap pasal 20 dan
reservasi/ persyaratan terhadap pasal 30 ayat 1 konvensi ini. Namun ratifikasi terhadap UNCAT
ini tidak dibarengi dengan reformasi berbagai ketentuan hukum terkait, sehingga pemberkaluan
UNCAT di Indonesia masih terkesan pincang
2. Peraturan dan Sanki Polri Terhadap Pelanggaran Profesi
Dalam menjalankan tugasnya, Polri tidak saja terikat pada UU No. 2/2002 dan tunduk pada kekuasan peradilan
umum, melainkan juga terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (KEPP),
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 34 Ayat (1) UU. Terhadap masing-masing pelanggaran, memiliki
mekanisme dan sanksi yang berbeda. Jika terdapat unsur tindak pidana maka berkas perkara akan diberikan
kepada Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) yang kemudian akan dilanjutkan dengan pemeriksaan di
pengadilan umum; 1. Jika terdapat unsur pelanggaran kode etik maka berkas perkara akan dilimpahkan kepada
atasan yang berhak menghukum (Ankum) yang selanjutnya akan dibuat komisi kode etik Polri.
2. Jika terdapat unsur pelanggaran disiplin maka berkas perkara akan dilimpahkan kepada atasan yang berhak
menghukum (Ankum) yang selanjutnya akan diperiksa dalam sidang disiplin.
Sementara itu, berkaitan dengan sanksi, terhadap masing-masing pelanggaran juga memiliki sanksi yang berbeda,
yakni jika terbukti pelanggaran yang dilakukan kepolisian adalah pelanggaran yang memiliki unsur pidana, maka
sanksi yang diberikan didasarkan pada ketentuan pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Sementara itu, jika terbukti yang terjadi adalah pelanggaran kode etik maka sanksi yang diberikan
berupa, dinyatakan sebagai perbuatan tercela; Diperintahkan untuk menyatakan penyesalan dan minta maaf secara
terbatas dan terbuka; Mengikuti pembinaan ulang profesi; Tidak layak lagi untuk menjalankan profesi kepolisian.
Adapun jika terbukti yang terjadi adalah pelanggaran disiplin maka sanksinya berupa: 1. Teguran tertulis; 2.
Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun; 3. Penundaan kenaikan gaji berkala; 4. Penundaan
kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) tahun; 5. Mutasi yang bersifat demosi; 6. Pembebasan dari jabatan; dan 7.
Penempatan dalam tempat khusus selama 21 (dua puluh satu) hari.
3. 2019-2020 Temuan Kasus Torture (Penyiksaan) Oleh
Aparat Kepolisian
Temuan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, salah satu lembaga bantuan hukum
advokasi HAM) dari periode juni 2019 hingga mei 2020 terdapat 62 kasus penyiksaan dan tindakan tidak
manusiawi, dari 62 kasus itu tercatat 220 korban dengan rincian 199 ornag luka-luka dan 21 orang tewas. Terjadi
pada kasus seperti salah tangkap, pembubaran aksi, penyiksaan anak dan penyiksaan tahanan. Pratik-praktik
penyiksaan dan tindakan kejam lainnya sering digunakan sebagi metode penyidikan dan artikulasi relasi kuasa
ketika praktik-praktik penyiksaan dan tindakan kejam lainnya dilakukan sebagai jalan pintas untuk mendapat
pengakuan dari tersangka dan atau korban juga menjadi ajang bagi polisi untuk menunjukkan relasi kuasanya
sehingga timbul tindakan-tindakan arogansi aparat penegak hukum terhadap masyarakat. Akibatnya, korban yang
statusnya juga belum menjadi tersangka pun, ketika berada dibawah penguasaan polisi rentan menjadi korban
penyiksaan dan tindakan kejam lainnya. Dalam jenis kasus praktik penyiksaan didominasi oleh kasus salah
tangkap menemukan praktik penyiksaan kerap kali terjadi pada kasus salah tangkap dan tindakan maladministrasi
kepolisian dalam penahanan dan penangkapan yang tidak sesuai dengan PERKAP No 8 Tahun 2009. Dominasi
kasus salah tangkap semain menegaskan bahwa praktik penyiksaan berkaitan erat dengan artikulasi relasi kuasa
antar penegak hukum denga korban/terduga pelaku yang disangkakan. Yang sebagian besar menyasar pada warga
sipil atau yang belum terbukti bersalah. Pemukulan dan penendangan merupakan metode yang paling umum
dipakai dalam peristiwa penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Korban biasanya dipukuli dengan
tangan kosong maupun dengan benda seperti kayu, rotan, hingga palu besi digunakan untuk memperoleh
keterangan maupun sebagai bentuk penegakan hukuman. Dalam beberapa peristiwa, korban yang sudah tak
berdaya terus dipukuli oleh pelaku hingga berujung kemajian. Metode ini menyebabkan luka-luka seperti luka
lebam, lecet hingga kerusakan pada tulang dan fungsi organ tubuh bagian dalam. Metode penyiksaan seperti ini
juga mengakibatkan tekan dalam bentuk psikologis bagi korban yang mengalaminya.
4. Surat KIP (keterbukaan Infomasi Publik) POLRI Agustus
2019-Feburari 2020
Sedangkan dalam surat mendukung validitas data pemantauan media, Kontras mengirimkan
surat. Bedasarkan data keterangan jawaban Polri menemukan 38 kasus kekerasan anggota
kepolisian yng mereka temui dalam periode Agustus 2019-Feburari 2020. 38 kasus tersebut
diproses sebagi pelanggaran disiplin sebanyak 23 kasus dan pelanggaran KEPP sebanyak 15
kasus. Kasus yang telah selesai disidang disiplin 9 kasus dan sidang komisi KEPP 6 kasus.
Tidak ada satu kasus pun yang berlanjut ke proses pidana. Dominasi praktik penyiksaan oleh
Polri menunjukan hal ini patut menjadi perhatian bagi Koprs Bhayangkara untuk meningkatkan
kembali model pengawasan dengan memantau tendensi, potensi serta peluang terjadinya
penyalahgunaan wewenang dengan melakukan praktik penyiksaan. Pemantauan ini mesti
dilakukan secara menyeluruh dan terus menerus, terutama dalam proses rekrutmen dan seleksi,
mekanisme supervisi serta sejauh mana kontrol formal internal yang sudah dan akan dibangun
dapat mencegah penyalahgunaan wewenang secara efektif. Keseluruhan kasus tersebut
diselesaikan secara internal dan tidak ada yang dilanjutkna ke ranah pidana. Hal ini
menunjukkan mekanisme internal lembaga negara dalam memeriksa dugaan kekerasan yang
dilakukan oleh anggotanya justru berpotensi digunakan sebagai tameng untuk melindungi para
aparat pelaku kekerasan dari sanksi pidana yang sejatinya merupakan amanat pasal 12 UNCAT
(negara wajib memastikan adanya pengadilan secara segera dan imparsil setiap kali ada dugaan
kuat perihal terjadinya peristiwa penyiksaan diwilayahnya).
5. Data OMBUSMAN; Kepolisian Menjadi Lembaga
Terlapor Terbanyak Mencapai 669 Aduan
Data Ombudsman menerima jauh lebih banyak laporan pengaduan terkait tindak
kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Periode Juni 2020 - Mei 2021 angka
ini mencapai 669 aduan yang masuk dengan kasus yang mendominasi adalah
dugaan maladministrasi, seperti penundaan berlarut, penyimpangan prosedur,
dan tidak memberikan pelayanan. Banyaknya pengaduan maladministrasi,
seperti tidak membawa surat perintah penangkapan atau surat terkait upaya
paksa kepolisian dan penangkapan korban tanpa pernah dipanggil menjadi saksi
terlebih dahulu. Banyaknya aduan yang masuk terkait tindak kekerasan oleh
aparat kepolisian menunjukkan mekanisme pengawasan eksternal yang masih
lemah dan belum berjalan secara efektif. Padahal, pengawasan yang ketat
sangatlah diperlukan karena anggota kepolisian memiliki kewenangan diskresi
dan pengabaian terhadapnya dapat menjadi celah bagi tindakan yang sewenang-
wenang yang bisa menimbulkan korban jiwa, seperti penggunaan senjata api dan
pengeroyokan.
6. Impunitas Polri; Kultur Kekerasan dan Lemahnya Penegakan Hukum
Dalam konteks kultur polri masih memiliki masalah yakni impunitas, sebagaimana data tidak
ada satupun kasus penyiksaan oleh aparat Polri yang diselesai secara tuntas melalui peradilan
pidana, yang mana ini sangat perbanding terbalik dengan kasus-kasus kekerasaan yang
dilakukan oleh masyarakat sipil. Padahal, proses hukum aparat POLRI secara pidana melalui
peradilan umum merupakan suatu hal yang sangat dimungkinkan dan dipromosikan dalam
hukum positif yang saat ini berlaku. Pasal 28 peraturan KAPOLRI Nomor 14/2011 telah
menegaskan bahwa penerapan sanksi tuntutan pidana dan atau perdata kepada anggota yang
diberi sanksi.
Mekanisme pengawasan oleh Propam tidak berjalan secara efektif karena masih banyak kasus
yang tidak terungkap atau cenderung ditutup-tutupi (Contoh kasus Alm sahbudin di Bengkulu
Utara terjadi stagnansi proses kasus dugaan praktik penyiksaan yang berujung kematian dengan
pernyataan pihak kepolisian yang menutupi penyebabnya). Menyoroti kecenderungan Propam
yang lebih sering menyelesaikan kasus kekerasan melalui mekanisme internalnya sendiri,
seperti sidang dewan etik dan profesi, bukannya langsung memprosesnya melalui peradilan
umum seperti yang telah diatur dalam UU Kepolisian (UU No 2 tahun 2002). Banyak dari
pelaku kekerasan hanya diberikan sanksi berupa mutasi non-job dan bukan pemecatan atau
bahkan dikenakan pidana. Pemberian sanksi yang tidak tegas ini tentu tidak menimbulkan efek
jera bagi pelaku kekerasan dan membuka celah bagi keberulangan kekerasan itu kembali.
7. Selain melalui Propam, pengawasan antar satuan tingkatan POLRI juga perlu diperketat
guna mempersempit ruang pelanggaran dan kesewenang-wenangan. Banyak tindak
kekerasan yang terjadi akibat longgarnya pengawasan antar satuan tingkatan. Polri
seharusnya dapat menanggulangi permasalahan ini dengan memberikan pembinaan
terhadap anggotanya secara maksimal, melakukan fungsi kontrol dan evaluasi dengan
baik, dan menegakkan hukum dengan pemberian sanksi sesuai dengan tindak kekerasan
yang dilakukan agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Longgarnya pengawasan
antar satuan tingkatan ini salah satunya menjadi alasan tingkat kekerasan polisi cenderung
tinggi.
Ketidak mungkinan secara De Jure atau De Facto untuk membawa pelaku pelanggaran
hak asasi manusia guna mempertanggung jawabkan perbuatannya baik dalam proses
peradilan kiriminal, sipil, administratif, atau disipliner menyebabkan praktik penyiksaan
terus menerus terjadi. Terlebih lagi, model penegakan hukum yang dilakukan kepada
aktor-aktor penyiksaan hanya ditindak ditingkat internal yang pengawasannya dilakukan
dari mereka yang sesama profesi. Besar dugaan adanya pemakluman kasus dari yang
dilakukna para pelaku penyiksaan. Sehingga konsekuensi lanjutannnya ialah mereka tidak
dapat dijadikan objek pemeriksaan yang dapat memungkinkan terciptanya penuntutan,
penahanan, pengadilan dan apabila dianggap bersalah, penghukuman dengan hukuman
yang sesuai, serta melakukan reparasi hak-hak kedapa para korban mereka karena negara
memiliki kewajiban untuk memastikan fisik dan mental korban.
8. Pembenahan
Penghormatan dan penagakan hak asasi manusia merupakan komitmen negara untuk memberikan perlindungan bagi
setiap orang, termasuk salah satunya untuk bebas dari penyikasaan. Perkembangan hukum serta kelembagaan terhadap
situasi penyiksaan adalah pekerjaan rumah yang masih dimiliki oleh negara untuk bergerak secara konsisten menuju
penghapusan praktik penyiksaan serta tindakan tidak manusiawi lainnya. Secara umum, praktik penyiksaan masih terus
berlangsung akibat.
A) Sistem hukum dan peraturan perundang-undangan yang tidak memadai yang ditandai dengan lebarnya jarak antara
peraturan domestik denfgan standard internasional hak asasi manusia.
B) kultur kekerasan dan penyiksaan dimana penyiksaan sangat dekat dengan kultur kekerasaan di lingkungan aparat
penegak hukum, alat-alat negara dan di masyarakat yang menjadikan penyiksaan menjadi hal yang lumrah dan ditoleransi
dengan pengatas namaan keamanan negara dan ketertiban sosial.
C) Politik impunitas dan penegakan hukum yang tumpul. Hal ini ditandai dengan lemahnya dan kegagalan penegakan
hulkum dan penghukuman terhadap pelaku-pelaku penyiksaan, tidak terjaminnya hak-hak korban penyiksaan dan rentan
terus berulang sedangkan pola penyiksaan masih berkutat pada pemaksaan pemidanaan.
Kasus kekerasan yang terjadi antar satuan tingkatan menunjukkan tidak efektifnya mekanisme pengawasan Polri baik itu
yang bersifat internal maupun eksternal. Hal ini merupakan suatu kesalahan yang fatal karena pengawasan terhadap kerja-
kerja Polri berkaitan erat dengan hak asasi manusia. Lemahnya fungsi ini berperan banyak melanggengkan impunitas di
tubuh Polri yang akibatnya adalah pembatasan atau bahkan penghilangan hak-hak dasar warga sipil. Yang menjadi
pekerjaan Polri sendiri atau tanggung jawab negara adalah coba untuk merubah kultur kekerasan yang ada didalm tubuh
Polri, aparat mengesampingkan hak dari konstitusional dari warganegra dan banyak hal hal lain juga. Disimpulkan bahwa
pemerintah belum dapat menciptakan ruang yang aman dan nyaman kepada masyarakatnya.
9. Sebagai bentuk akunstabilitas dan perbaiknya terhadap institusi yang dominan
terjadinya praktik-praktik penyiksaan, sudah saatnya membuka diri untuk
mengevaluasi secara menyeluruh dengan melibatkan pengawasan eksternal.
Memastikan bahwa anggota Polri yang terlibat dalam kasus penyiksaan diproses
secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku, dengan mekanisme hukum yang
transparan dan dapat diakses oleh publik. Institusi-institusi negara yang independen
yang memiliki mandat untuk melakukan fungsi pengawasan, pemantauan,
perlindungan dan pemulihan secara ketat harus menggunakan alat ukur terpercaya
untuk mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan penyiksaan. Institusi
eksternal tersebut harus dipastikan dapat bersinergi dengan institusi negara lainnya
untuk memastikan adanya mekanisme pencegahan, penghukuman atas kejahatan
penyiksaan yang masih berjalan, dan memberikan perlindungan kepada saksi serta
pemulihan hak-hak korban sesuai dengan standar instrumen hukum HAM
internasional. Polisi memiliki banyak alat perlengkapan hukum yang sangat humanis
sangat menjunjung HAM, namun pada kenyataannya hukum undang-undang itu tidak
semulus pada tulisan-tulisannya. Bagaimana PERKAP HAM yang sudah tumpul
kembali diaktifasi dan dioptimalkan sesuai dalam praktik kerjanya, lalu sejauh mana
evaluasinya. Bagaimana setiap anggota Polri wajib mengetahui prinsip-prinsip HAM
dan konvensi yang telah diratifikasi.
10. ini tidaklah mengejutkan jika masyarakat percaya jargon
#percumalaporpolisi mengingat hasil ombusman saja Lembaga yang
berwenang tidak ditanggapi apalagi kasus masyarakat yang undue delay
peti es, mending ganti satpam BCA aja.