Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan
tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang
teknis kepolisian.Dalam menjalankan tugas sebagai hamba hukum polisi senantiasa menghormati
hukum dan hak asasi manusia.Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan
kepolisian tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral.
Penyaringan-penyaringan perkara yang masuk ke dalam proses peradilan pidana merupakan
perwujudan dari kebutuhan-kebutuhan praktis sistem peradilan pidana, baik karena tujuan dan
asas maupun karena semakin beragamnya aliran-aliran modern saat ini, baik pada lingkup
perkembangan hukum pidana maupun kriminologi yang disadari atau tidak disadari, langsung atau
tidak langsung mempengaruhi nilai-nilai perkembangan yang ada pada masyarakat dewasa ini.
Hukum tidak mungkin mengatur seluruh persoalan secara rinci dan di pihak lain hukum selalu
ketinggalan dari perkembangan yang terjadi dalam tata kehidupan masyarakat.
Untuk mencegah dilakukannya tindakan yang tidak perlu oleh aparat kepolisian selaku penegak
hukum akibat kekosongan dalam hukum atau terdapat lebih dari satu peraturan perundang-
undangan yang mengatur hal yang sama atau peraturan perundang-undangan tertentu yang tidak
efektif, maka dalam pelaksanaan tugas dianut asas kewajiban atau plichtmatigheid yang dalam
pelaksanaanya terlihat dalam bentuk bentuk diskresi.
Penerapan Diskresi Kepolisian (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002) dalam Penghentian
Penyidikan Tindak Pidana Saat Ini, menurut Prof. Dr. H. R. Abdussalam, S.ik, S.H., M.H. dalam
Bukunyan dan berdasarkan interview dengan Anggota Sat Reskrim Polres Musi Banyuasin
menjelaskan bahwa, hukum Kepolisian sebagai hukum posistif dalam disiplin hukum merumuskan 5
(lima ) syarat untuk melakukan tindakan lain sebagaimana terdapat dalam KUHAP dan Undang –
Undang Nomor 2 Tahun 2002 yaitu :Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,
Tindakanselarasdengan kewajiban hukumyangmengharuskandilakukannyatindakanjabatan,
Tindakan jabatannya harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya,
Tindakan atas perundangan yanglayakberdasarkankeadaanmemaksa, Tindakan tersebut harus
menghormati hak asasi manusia.
Kelemahan Diskresi Kepolisian Dalam Tindakan Penghentian Penyidikantindak pidana adalah:Masih
Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia, Oknum Aparat; danPengetahuan Penyidik.
1. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
9
TINJAUAN YURIDIS TENTANG DISKRESI KEPOLISIAN
(PASAL 18 UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2002)
GUNA PENGHENTIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
DI POLRES MUSI BANYUASIN
Oleh : M. Afrizal, S.H., M.H. (NIDN. 0221049302)
Penulis adalah dosen tetap di STIH Rahmaniyah Sekayu
Abstrak
Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan pelaksanaan profesi artinya dalam menjalankan
tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang
teknis kepolisian.Dalam menjalankan tugas sebagai hamba hukum polisi senantiasa menghormati
hukum dan hak asasi manusia.Oleh karena itu dalam menjalankan profesinya setiap insan
kepolisian tunduk pada kode etik profesi sebagai landasan moral.
Penyaringan-penyaringan perkara yang masuk ke dalam proses peradilan pidana merupakan
perwujudan dari kebutuhan-kebutuhan praktis sistem peradilan pidana, baik karena tujuan dan
asas maupun karena semakin beragamnya aliran-aliran modern saat ini, baik pada lingkup
perkembangan hukum pidana maupun kriminologi yang disadari atau tidak disadari, langsung atau
tidak langsung mempengaruhi nilai-nilai perkembangan yang ada pada masyarakat dewasa ini.
Hukum tidak mungkin mengatur seluruh persoalan secara rinci dan di pihak lain hukum selalu
ketinggalan dari perkembangan yang terjadi dalam tata kehidupan masyarakat.
Untuk mencegah dilakukannya tindakan yang tidak perlu oleh aparat kepolisian selaku penegak
hukum akibat kekosongan dalam hukum atau terdapat lebih dari satu peraturan perundang-
undangan yang mengatur hal yang sama atau peraturan perundang-undangan tertentu yang tidak
efektif, maka dalam pelaksanaan tugas dianut asas kewajiban atau plichtmatigheid yang dalam
pelaksanaanya terlihat dalam bentuk bentuk diskresi.
Penerapan Diskresi Kepolisian (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002) dalam Penghentian
Penyidikan Tindak Pidana Saat Ini, menurut Prof. Dr. H. R. Abdussalam, S.ik, S.H., M.H. dalam
Bukunyan dan berdasarkan interview dengan Anggota Sat Reskrim Polres Musi Banyuasin
menjelaskan bahwa, hukum Kepolisian sebagai hukum posistif dalam disiplin hukum merumuskan 5
(lima ) syarat untuk melakukan tindakan lain sebagaimana terdapat dalam KUHAP dan Undang –
Undang Nomor 2 Tahun 2002 yaitu :Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,
Tindakanselarasdengan kewajiban hukumyangmengharuskandilakukannyatindakanjabatan,
Tindakan jabatannya harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya,
Tindakan atas perundangan yanglayakberdasarkankeadaanmemaksa, Tindakan tersebut harus
menghormati hak asasi manusia.
Kelemahan Diskresi Kepolisian Dalam Tindakan Penghentian Penyidikantindak pidana adalah:Masih
Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia, Oknum Aparat; danPengetahuan Penyidik.
Kata Kunci : tindak pidana, penyidikan, diskresi kepolisian
A. PENDAHULUAN
Peran Polisi secara umum dikenal
sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai
aparat penegak hukum dalam proses
pidana.Polisi adalah aparat penegak hukum
jalanan yang langsung berhadapan dengan
masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal 2 UU
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat”. Pasal 4 UU
No.2 Tahun 2002 juga menegaskan
“Kepolisian Negara RI bertujuan untuk
2. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
10
mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia”.
Penyelenggaraan fungsi kepolisian
merupakan pelaksanaan profesi artinya
dalam menjalankan tugas seorang anggota
Polri menggunakan kemampuan profesinya
terutama keahlian di bidang teknis
kepolisian.Dalam menjalankan tugas sebagai
hamba hukum polisi senantiasa
menghormati hukum dan hak asasi
manusia.Oleh karena itu dalam menjalankan
profesinya setiap insan kepolisian tunduk
pada kode etik profesi sebagai landasan
moral.
Keberhasilan penyelenggaraan fungsi
kepolisian dengan tanpa meninggalkan etika
profesi sangat dipengaruhi oleh kinerja polisi
yang direfleksikan dalam sikap dan perilaku
pada saat menjalankan tugas dan
wewenangnya.Dalam Pasal 13 UU Kepolisian
ditegaskan tugas pokok kepolisian adalah
memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, dan
memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat.
Ada berbagai hukum yang berlaku di
Indonesia salah satunya adalah hukum
pidana.Hukum pidana ini bertujuan untuk
mencegah atau menghambat perbuatan-
perbuatan masyarakat yang tidak sesuai
dengan aturan-aturan hukum yang berlaku,
karena bentuk hukum pidana merupakan
bagian dari pada keseluruan hukum yang
berlaku di suatu negara, serta meletakkan
dasar-dasar dan aturan-aturan.
Menurut Moeljatno hukum pidana
adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana
yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidan tertentu bagi
barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal
apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
3) Menentukan dengan cara yang
bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar larangan
tersebut.1
Dengan demikian hukum bukan suatu
karya seni yang adanya hanya untuk
dinikmati oleh orang-orang yang menikmati
saja, bukan pula suatu kebudayaan yang
hanya ada untuk bahan pengkajian secara
sosial-rasional tetapi hukum diciptakan
untuk dilaksanakan, sehingga hukum itu
sendiri tidak menjadi mati karena mati
kefungsiannya.
Penyaringan-penyaringan perkara yang
masuk ke dalam proses peradilan pidana
merupakan perwujudan dari kebutuhan-
kebutuhan praktis sistem peradilan pidana,
baik karena tujuan dan asas maupun karena
semakin beragamnya aliran-aliran modern
1Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT.
Rineka Cipta, Jakarta. 2008, hlm 1
3. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
11
saat ini, baik pada lingkup perkembangan
hukum pidana maupun kriminologi yang
disadari atau tidak disadari, langsung atau
tidak langsung mempengaruhi nilai-nilai
perkembangan yang ada pada masyarakat
dewasa ini. Hukum tidak mungkin mengatur
seluruh persoalan secara rinci dan di pihak
lain hukum selalu ketinggalan dari
perkembangan yang terjadi dalam tata
kehidupan masyarakat.
Untuk memberikan gambaran yang lebih
khusus mengenai hukum pidana, maka
pengertian hukum pidana yang diungkapkan
Simons dalam bukunya Leeboek Nederlandas
strafrecht, memberikan definisi sebagai
berikut : “Hukum pidana adalah
kesemuannya perintah-perintah dan
larangan-larangan yang diadakan oleh
negara dan yang diancam dengan suatu
nestapa (pidana) barang siapa yang tidak
mentaatinya, kesemuannya aturan-aturan
untuk mengadakan (menjatuhi) dan
menjalankan pidana tersebut”.2
Dari definisi di atas maka dapat
dijabarkan bahwa hukum pidana
mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan pidana, perbuatan
yang bertentangan dengan hukum
pidana yang berlaku.
2. Adanya pidana, penderitaan atau
nestapa yang dibebankan terhadap orang
yang melakukan perbuatan yang
dilarang.
3. Adanya pelaku atau orang yang telah
melakukan perbuatan yang dilarang
menurut aturan-aturan hukum pidana
yang berlaku.
2Ibid, hlm. 8
Ketiga unsur-unsur tersebut merupakan
rangkaian yang saling berhubungan satu
sama.Hukum pidana merupakan hukum
yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang beserta
sanksi pidana yang dijatuhkannya kepada
pelaku. Untuk dapat dipidana menurut
Bambang Waluyo harus terpenuhi beberapa
unsur seperti:
1. Perbuatan yang dapat diancam dengan
hukuman (Strafbare feiten) misalnya :
a. mengambil barang milik orang lain;
b. dengan sengaja merampas nyawa orang
lain.
2. Siapa-siapa yang dapat dihukum atau
dengan perkataan lain mengatur
pertanggungan jawab terhadap hukum
pidana.
3. Hukum apa yang dapat dijatuhkan
terhadap orang yang melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang atau juga disebut
hukum penetentiair.3
“Perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana yang disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.”4
Asas legalitas menjamin agar tidak ada
kesewenang-wenangan dalam menetapkan
perbuatan yang dapat dikategorikan dalam
suatu rumusan delik.Rumusan delik
merupakan landasan untuk pengambilan
keputusan yang lebih lanjut.Ada kalahnya
dalam menetapkan pidana juga
3 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan,
Sinar Grafika, Jakarta 2008, hlm 6-7
4Moeljatno, op.cit. hlm.59
4. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
12
memperhatikan hal-hal yang menjadi dasar
pertimbangan pemberatan.
Penyidik setelah menerima hasil laporan
penyelidik tentang terjadinya suatu peristiwa
yang patut diduga merupakan tindak pidana
wajib segera melakukan tindakan
Penyidikan yang diperlukan (pasal 106
KUHAP). Kata ”patut diduga” dalam hal ini
memberikan keleluasaan bagi penyidik untuk
menentukannya dan begitu juga berdasarkan
wewenang yang dimilkinya menurut pasal 7
ayat (1) KUHAP, penyidik berwenang untuk
melakukan penyidikan namun juga
berwenang untuk menghentikan penyidikan
dan atau mengadakan tindakan lain menurut
hukum bertanggung jawab.
Untuk mencegah dilakukannya tindakan
yang tidak perlu oleh aparat kepolisian
selaku penegak hukum akibat kekosongan
dalam hukum atau terdapat lebih dari satu
peraturan perundang-undangan yang
mengatur hal yang sama atau peraturan
perundang-undangan tertentu yang tidak
efektif, maka dalam pelaksanaan tugas
dianut asas kewajiban atau plichtmatigheid
yang dalam pelaksanaanya terlihat dalam
bentuk bentuk diskresi.5
Berdasarkan uraian diatas dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana cara penerapan diskresi
Kepolisian (pasal 18 Undang-undang
Nomor 2 tahun 2002) untuk penghentian
penyidikan tindak pidana saat ini ?
2. Bagaimana kelemahan diskresi
kepolisian dalam tindakan penghentian
penyidikan ?
5Momo Kelana, 1998, Memahami Undang-
Undang Kepolisian, Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian, Jakarta, hlm. 93.
B. METODEPENELITIAN
Ruang lingkup penelitian ini adalah
Tinjauan yuridis tentang diskresi kepolisian
(Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 tahun
2002) untuk penghentian penyidikan tindak
pidana di Polres Musi Banyuasin.
Adapun tujuan penelitian ini adalah
Untuk mengetahui bagaimana cara
penerapan diskresi Kepolisian (pasal 18
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002) untuk
penghentian penyidikan tindak pidana saat
ini dan Untuk mengetahui kelemahan
diskresi kepolisian dalam tindakan
penghentian penyidikan.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Penerapan Diskresi Kepolisian (Pasal
18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002) dalam Penghentian Penyidikan
Tindak Pidana Saat Ini.
Dalam melaksanakan tindakan Diskresi
kepolisian tersebut menggunakan asas - asas
berdasarkan pada kewajiban. Menurut
putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung)
Belanda tanggal 9 Maret 1917, suatu
tindakan dapat dianggap rechtmatigheid (sah
sesuaidengan hukum) sekalipun tanpa
pemberian kuasa secara khusus oleh
Undang - Undang, asal berdasarkan
kewajiban kewajiban menurut Undang -
Undang. Di Negara Belanda dinamakan asas
plictmatigheid (kesesuaian dengan
kewajiban).6
Agar tindakan diskresi Kepolisian tidak
dapat dituntut di depan hukum, maka
tindakan diskresi tersebut harus
berdasarkan kepada batas - batas
6
https://id.scribd.com/doc/69213036/Makalah-
diskresi-kepolisian
5. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
13
kewajibannya. Untuk dapat menentukan
batas - batas kewajibannya dan sekaligus
untuk dapat membatasi tindakan tersebut
terdapat 4 (empat) sub asas dari asas
kewajiban, yaitu :
a. otwendig noodzakelijk (keperluan),
b. Sachlik, zakelyk(objektif)ataupribadi.
c. Zweckmassig, doelmatigheid (tujuan),
d. Evenredig (keseimbangan),
Prof. Dr. H. R. Abdussalam, S.ik, S.H.,
M.H. dalam bukunya, hukum Kepolisian
sebagai hukum posistif dalam disiplin
hukum merumuskan 5 (lima ) syarat untuk
melakukan tindakan lain sebagaimana
terdapat dalam KUHAP dan Undang –
undang nomor 2 tahun 2002 yaitu :
1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan
hukum adalah tindakan - tindakan yang
dibenarkan menurut hukum perundang -
undangantetapi tidak diatur dalam KUHAP
dan Undang - undang nomor 2
tahun2002, yaitu : tindakan karena
terpaksa oleh suatu kekuasaan yang
tidak dapat dihindarkan (pasal 48
KUHAP), mempertahankan dirinya atau
orang lain (pasal 49 ayat 1 KUHAP),
pembelaan darurat (pasal 49 ayat 2
KUHP), tindakan untuk melaksakan
suatu peraturan perun dangan (pasal 50
KUHP) dan tindakan memaksa dengan
kekerasan terhadap orang - orang supaya
merekamenurut perintah dan petunjuk -
petunjuk yang diberikan polisipada
waktu mencegah kecelakaan dan
mengatur lalu lintas di jalan umum.7
2) Tindakanselarasdengan
kewajiban hukumyangmengharuskandila
7Wawancara Dengan Bapak Tohirin, Kanit
Pidsus Polres Musi Banyuasin, Tanggal 28 Maret
2016.
kukannyatindakanjabatanadalah
tindakan hanya diambilapabila betul -
betul diperlukan untuk meniadakan
suatu gangguanatau untuk mencegah
terjadinya suatu gangguan.
3) Tindakan jabatannya harus patut
dan masuk akal dan termasukdalam
lingkungan jabatannya adalah tindakan
itu merupakantindakan atau jalan yang
paling tepat untuk
mengelakkangangguan secara sempurna
dan paling tepat agar kerugian
dapatdiperkecil atau juga segala
tindakan yang sesuai dengankepentingan
hukum, yang menurut pendapat umum
tidak bolehberlebih - lebihan untuk
mencapai tujuan dengan
memperhatikanusul - usul orang yang
bersangkutan.
4) Tindakan atas perundangan
yang layak berdasarkan keadaanmemaks
a adalah tindakan tersebut harus ada
keseimbanganantara sifat (kerasnya
lunaknya) tindakan atau sarana
yangdigunakan pada satu pihak dan
besar kecilnya suatu gangguanatau berat
ringannya suatu objek yang harus
ditindak pada pihaklain. Tindakan
tersebut harus menghormati hak asasi
manusia adalahtindakan tersebut tidak
didasarkan atas kepentingan pribadi
ataugolongan atau karena dendam
pribadi. Jadi dalam bertindak harusada
keseimbangan antara hak asasi yang
dilanggar oleh pelanggarhukum dengan
kewajiban hukumnya.8
8Abdussalam, Hukum Kepolisian Sebagai
Hukum Positif Dalam Disiplin Hukum, Restu Agung,
Jakarta, 2009, hlm.50-52.
6. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
14
Jadi sekalipun Undang-undang Nomor 2
Tahun 2002 pasal 15 ayat (2),Pasal 16 ayat
(1) dan (2) tersebut belum memberikan
regulasi secara tegas dan jelas mengenai
kewenangan diskresi,namun setidaknya
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 telah
memberikan peluang dalam penggunaan
atau pelaksanaan kewenangan diskresi bagi
Aparat Kepolisian Republik Indonesia,dimana
aparat kepolisian diberikan hak untuk
melakukan tindakan lain dalam proses
penyelidikan dan penyidikan sepanjang
tindakan tersebut dianggap
bertanggungjawab secara hukum serta
memenuhi syarat pelaksanaan sebagaimana
yang telah ditentukan secara yuridis normatif
dalam pasal 6 ayat (2),namun dalam
prakteknya kewenangan diskresi inisangat
jarang dilakukan oleh aparat kepolisian,
karena seperti kasus pencurian ringan,
penggelapan/ penipuan ringan, dan
penganiayaan ringan merupakan delik
biasa,akan tetapi diskresi kepolisian dapat
diselesaikan secara ADR ( alternatife dispoote
resolution) atau diselesaikan secara damai
oleh kedua belah pihak yaitu pihak terlapor
dan korban.9
2. Kelemahan Diskresi Kepolisian Dalam
Tindakan Penghentian Penyidikan
J. Goldstein (1960) mencatat bahwa
diskresi yang dilakukan Pejabat Polisi
merupakan keputusan-keputusan yang
hampir tidak kelihatan. Ini disebabkan
adanya diskresi Pejabat Polisi kebanyakan
tidak dipahami dan dihargai oleh masyarakat
karena tidak diakui oleh para pimpinan dan
9Wawancara Dengan Bapak Tohirin, Kanit
Pidsus Polres Musi Banyuasin, Tanggal 28 Maret
2016.
pejabat-pejabat negara.Penggunaan diskresi
oleh anggota juga jarang sekali diamati
secara teliti oleh masyarakat, anggota DPR,
Pengadilan, dan para pimpinan Kepolisian
termasuk para perwira lapangan.
Anggota patroli dan reserse bekerja
sendiri atau bersama mitra yang saling
mendukung.Seringnya terjadi situasi dimana
korban dan pelapor tidak mau
memperpanjang urusannya dengan Polisi.
Adanya situasi dimana pejabat Polisi
tidak melakukan penahanan dan tidak
membuat laporan atas kejadiantersebut -
yang merupakan hal yang sering
terjadi.Situasi diatas menyebabkan
penggunaan diskresi tidak dapat dievaluasi.
Hal ini berakibat bahwa penggunaan diskresi
berpotensi menimbulkan masalah,
diantaranya:
a. Lack of Accountability.
b. Unpredictability.
c. Inkonsistensi.
d. Diskriminasi dan inkonsistensi.
Beberapa hal yang menjadi Kelemahan
bagi penyidik dalam menggunakan wewenang
diskresinya pada saat penyidikan tindak
pidana adalah:
a. Masih Lemahnya Penegakan Hukum di
Indonesia.
b. Oknum Aparat
c. Pengetahuan Penyidik
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, disimpulkan antara sebagai
berikut:
1. Penerapan Diskresi Kepolisian (Pasal 18
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002)
dalam Penghentian Penyidikan Tindak
7. EDISI III VOLUME 6 YUSTITIA RAHMANIYAH
15
Pidana Saat Ini, menurut Prof. Dr. H. R.
Abdussalam, S.ik, S.H., M.H. dalam
Bukunyan dan berdasarkan interview
dengan Anggota Sat Reskrim Polres Musi
Banyuasin menjelaskan bahwa, hukum
Kepolisian sebagai hukum posistif dalam
disiplin hukum merumuskan 5 (lima )
syarat untuk melakukan tindakan lain
sebagaimana terdapat dalam KUHAP dan
Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002
yaitu :
a. Tidak bertentangan dengan suatu
aturan hukum;
b. Tindakanselarasdengan
kewajiban hukumyangmengharuskan
dilakukannyatindakanjabatan;
c. Tindakan jabatannya harus patut
dan masuk akal dan termasukdalam
lingkungan jabatannya ;
d. Tindakan atas perundangan
yang layak berdasarkan keadaanmem
aksa;
e. Tindakan tersebut harus menghormati
hak asasi manusia.
2. Kelemahan Diskresi Kepolisian Dalam
Tindakan Penghentian Penyidikantindak
pidana adalah:
a. Masih Lemahnya Penegakan Hukum
di Indonesia.
b. Oknum Aparat; dan
c. Pengetahuan Penyidik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, Hukum Kepolisian Sebagai
Hukum Positif Dalam Disiplin Hukum,
Restu Agung, Jakarta, 2009.
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan,
Sinar Grafika, Jakarta 2008.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT.
Rineka Cipta, Jakarta. 2008.
Momo Kelana, 1998, Memahami Undang-
Undang Kepolisian, Perguruan Tinggi
IlmuKepolisian, Jakarta.
https://id.scribd.com/doc/69213036/Makal
ah-diskresi-kepolisian