RUU Jabatan Hakim dan Kemandirian Hakim membahas sejarah perubahan status hakim di Indonesia dari pegawai negeri menjadi pejabat negara. RUU ini diharapkan dapat menjamin kemandirian hakim sesuai prinsip negara hukum dengan mengubah konsep kolonial yang memposisikan hakim sebagai pegawai negeri. Harmonisasi peraturan perundang-undangan diperlukan untuk menyelesaikan dualisme status hakim.
1. “RUU JABATAN HAKIM DAN KEMANDIRIAN HAKIM”
Oleh :
Lanka Asmar
Hakim Pengadilan Agama Balige
(dimuat Koran Waspada Medan hari Senin tanggal 23 Maret 2015)
Tugas hakim adalah melaksanakan keadilan. Oleh karena itu, seorang hakim
harus menjaga segala tingkah lakunya dan menjaga kebersihan pribadinya dari
perbuatan yang menjatuhkan martabatnya sebagai hakim. Hakim tidak boleh
terpengaruh dengan keadaan sekelilingnya atau tekanan dari siapa pun dan harus
tegar dari segala hantaman dari pihak mana pun. Untuk mengontrol hakim dari
tindakan tercela, maka hakim harus tunduk kepada Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim. Berdasarkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan Nomor 02/PB/P.KY/09/2012 dijelaskan bahwa
perilaku hakim adalah sikap, ucapan, dan atau perbuatan yang dilakukan oleh
seorang hakim dalam kapasitas pribadinya yang dapat dilakukan kapan saja
termasuk perbuatan yang dilakukan pada waktu melaksanakan tugas profesi.
Kode Etik Perilaku Hakim menuntut seorang hakim agar menjadi seorang
yang mulia, bayangkan mengeluarkan ucapan yang kotor saja dilarang baik ketika di
dalam persidangan maupun di luar persidangan. Menurut Abdul Manan dalam buku
Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan dijelaskan seorang hakim tidak
dibenarkan bersenda gurau secara berlebihan, hal ini akan menjatuhkan martabat
dan wibawa seorang hakim.
Sejarah Kemandirian Hakim
Pada tahun 1945, praktek kekuasaan kehakiman ditentukan oleh pasal 24
dan 25 UUD 1945 dan dipengaruhi oleh prinsip-prinsip peraturan pada masa kolonial
yaitu dalam “Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie”
(Reglement tentang Organisasi Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan / RO) yang
tertera dalam Staatblad 23/1847 jucto Staatblad 57/1848. Prinsip yang terkandung
dalam (R.O) adalah : Pertama. Pengangkatan seorang hakim dilakukan oleh
seorang Gubernur Jenderal setelah lolos memenuhi persyaratan dan seleksi yang
2. dilakukan sebagaimana ditentukan Undang-undang. Kedua. Bahwa hakim adalah
Pegawai Negeri (ambtenaar) yang khusus bertugas melaksanakan peradilan dalam
rangka tujuan menegakkan hukum dan Undang-undang. Ketiga. Bahwa sebagai
pegawai negeri (ambtenaar) di dalam menjalankan tugasnya berada di bawah
pengawasan badan pengadilan tertinggi. Keempat. Jabatan Hakim tidak boleh
dirangkap oleh jabatan lain. Kelima. Hakim dapat diberhentikan atas dasar alasan-
alasan yang ditentukan oleh Undang-undang.
Kemudian pada tahun 1950, pada masa berlaku Konstitusi RIS UU Nomor 1
Tahun 1950, kedudukan hakim tidak jauh berbeda dengan (R.O) yaitu Pertama.
Hakim adalah pegawai negeri yang ditentukan oleh Undang-undang. Kedua. Hakim
dapat diberhentikan atas dasar Undang-undang. Ketiga. Hakim bertugas untuk
menegakkan hukum dan Undang-undang berdasarkan ketentuan Undang-undang.
Keempat. Bahwa dalam menjalankan tugasnya hakim berada dibawah pengawasan
Mahkamah Agung. Oleh karena masa berlaku Konstitusi RIS adalah 1 tahun, maka
tidak banyak yang dicatat dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Pada masa berlaku UUD 1945 dan UU Nomor 19 Tahun 1964 kedudukan
hakim tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Namun terdapat beberapa
perubahan yaitu : Pertama. Tugas Hakim adalah sebagai penegak hukum revolusi di
bawah pimpinan pemimpin besar revolusi yaitu Presiden. Kedua. Presiden dapat
campur tangan di dalam urusan peradilan yang dilakukan oleh hakim. Ketiga. Hakim
dalam menjalankan tugasnya berada di bawah pengurusan dan pengawasan 2
kekuasaan yaitu yudikatif yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan eksekutif yaitu
Departemen yang meliputi pengawasan, pengaturan organisasi, administrasi dan
finansial para hakim. Kemudian pada masa ini UU Nomor 19 Tahun 1964 menjadi
sasaran kritik dan dituntut untuk melakukan pembaruan terhadapnya, diantaranya
persoalan tentang diragukan pengadilan yang baik bila para hakim berkedudukan
sebagai pegawai negeri. Tetapi konsep ideal status hakim belum tercapai.
Kemudian setelah berlaku UU Nomor 6 Tahun 1969 terjadi kekosongan bagaimana
kedudukan dan tugas hakim menurut Undang-undang.
Selanjutnya, pada masa berlaku UU Nomor 14 Tahun 1970 kedudukan serta
tugas hakim pada dasarnya sama dengan konsep yang berlaku pada “Reglement op
de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie” (Reglement tentang
3. Organisasi Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan / RO). Menurut HM. Kosnoe
dalam buku Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut UUD 1945 dijelaskan bahwa
praktek pengaturan kedudukan hakim sebagai pegawai negeri sipil / PNS
(ambtenaar) adalah pengaruh pemikiran dan praktek pada masa kolonial. Sehingga
tetap menjadi persoalan ketika dikaitkan dengan keinginan mengimplementasikan
kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Perubahan status hakim dari PNS menjadi Pejabat Negara terwujud setelah
disahkan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999. Yang mana pada pasal 11 ayat 1
huruf (d) dinyatakan hakim termasuk pejabat negara.
Pada tahun 2009 kembali terjadi perubahan undang-undang yang mengatur
bidang peradilan yaitu UU Nomor 48 Tahun 2009. Pada pasal 19 UU No. 48 Tahun
2009 dinyatakan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi adalah Pejabat Negara. Proses
rekrument hakim pun berubah, tidak lagi diterima dari jalur PNS. Misalnya syarat
menjadi Hakim Pengadilan Agama berdasarkan pasal 13 ayat 1 huruf (f) UU No. 7
Tahun 1989 adalah PNS, namun berdasarkan pasal 13 ayat ayat 1 huruf (a) s/d (j)
UU Nomor 50 Tahun 2009 unsur hakim dari PNS menjadi hilang. Begitu juga halnya
dengan pasal 122 huruf (e) dan (f) UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara dinyatakan hakim adalah pejabat negara.
Namun, peraturan perundang-undangan menyangkut status hakim antara
satu dengan yang lain masih tidak harmonis. Bahkan dalam data kependudukan (E
KTP) profesi hakim tidak dicantumkan sebagai pekerjaan. Lembaga legislatif dituntut
untuk dapat membuat kajian-kajian menyusun suatu peraturan perundang-undangan
dengan baik, agar dualisme status hakim yang mengandung konflik norma dan
norma yang kabur (vage normen) dapat terselesaikan.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan
mengandung konsekuensi adanya supremasi hukum, yaitu setiap peraturan
perundangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu perlu harmonisasi peraturan
perundang-undangan. Harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses
penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-undangan sebagai
bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai tujuan hukum.
Peraturan perundang-undangan yang baik harus taat kepada “asas lex superior
4. derogat legi inferior” (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang
rendah/asas hirarki), “asas lex specialis derogat legi generalis” (asas penafsiran
hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan “asas lex
posterior derogat legi priori” (pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling
baru melumpuhkan peraturan yang lama).
Harapan RUU Jabatan Hakim
Menurut Van der Vlies sebagaimana dikutip Hamid S Attamimi membedakan
2 kategori asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
(beginselen van behoorlijk regelgeving) yaitu asas formal dan asas material. Asas
formal meliputi : asas tujuan jelas, asas lembaga tepat, asas perlunya pengaturan,
asas dapat dilaksanakan, asas konsesus. Sedangkan asas material yaitu asas
kejelasan terminologi dan sistematika, asas bahwa peraturan perundang-undangan
mudah dikenali, asas persamaan, asas kepastian hukum, asas pelaksanaan hukum
sesuai dengan keadaan individual.
Rancangan Undang-undang yang disusun harus berdasar Program Legislasi
Nasional. Baik rancangan dari DPR, Presiden, maupun DPD. Dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan yang harmonis, perlu diperhatikan tata hukum
nasional yang baik yaitu Pertama. Sumber dasar hukum yaitu Pancasila. Kedua.
Cita-cita hukum nasional. Ketiga. Politik hukum nasional. Keempat. Pertingkatan
hukum nasional. Kelima. Mekanisme pengembangan hukum nasional. Keenam.
Lembaga yang menangani hukum nasional. Ketujuh. Kesadaran hukum masyarakat.
Pembahasan RUU dilakukan dalam 2 tahap pembicaraan. Pembicaraan
tingkat I (satu) adalah dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan
Legislasi, Rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Pembicaraan tingkat II
dalam rapat paripurna.
RUU Jabatan hakim merupakan salah satu upaya mewujudkan kemandirian
hakim. Kemandirian hakim bukan kemerdekaan yang absolut, karena hakim dalam
menjalankan tupoksinya selalu dibatasi oleh hukum dan keadilan. Diharapkan
Naskah akademik RUU Jabatan Hakim yang berasal dari DPR dapat
memperhatikan aspirasi para hakim. Moh. Mahfud MD dalam bukunya Membangun
5. Politk Hukum Menegakkan Konstitusi, menjelaskan bahwa peletakkan hakim
sebagai pegawai negeri, sangat memungkinkan terjadinya intervensi atas
kebebasan hakim karena persoalan struktural, psikologis, dan watak korps serta
birokrasi yang membawa atau menuntut ikatan tertentu. Tentunya pendapat
tersebut, hendaknya menjadi perhatian dalam pembahasan RUU Jabatan Hakim.
Penutup
Kemandirian hakim dalam negara hukum (rechtsstaat) adalah mutlak. Hal ini
sesuai dengan prinsip “The International Commission of Jurist” yaitu peradilan bebas
dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary). RUU Jabatan Hakim
diharapkan dapat menyerap aspirasi hakim dalam penyusunannya. Semoga RUU
Jabatan Hakim dapat mengubah konsep dari “Reglement op de Rechterlijke
Organisatie en het Beleid der Justitie” (Reglement tentang Organisasi Kehakiman
dan Kebijaksanaan Peradilan / RO) yang merupakan konsep kolonial yang
memposisikan hakim sebagai Pegawai Negeri (ambtenaar).