SlideShare a Scribd company logo
1 of 164
1
DAFTAR ISI
PIMPINAN KPK JILID IV
Romli Atmasasmita 4
AMBANG BATAS SENGKETA PILKADA
Saldi Isra 8
DRAMA MKD DAN POLITIK PERWAKILAN
Ahmad Qisa’i 12
POLA ACAK KOMUNIKASI POLITIK
Gun Gun Heryanto 15
DRAMA POLITIK YANG MENJEMUKAN
Anna Luthfie 18
TETAP BERHARAP PADA KPK
Amzulian Rifai 21
MIMPI DEMOKRASI GUS DUR
Syaiful Arif 24
JOKOWI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Oce Madril 27
RUU PEMILU BERDASAR VONIS MK
Moh Mahfud MD 30
ETIKA DAN HUKUM
Janedjri M Gaffar 33
HUKUM DI TAHUN 2016
Margarito Kamis 36
GOLKAR DAN KEZALIMAN PEMERINTAH
Bambang Soesatyo 39
KONFLIK TAK BERTEPI: ARAB SAUDI VS IRAN
Dinna Wisnu 42
SAATNYA LEBIH BANYAK “ORANGNYA JOKOWI” JADI MENTERI
Hendri Satrio 45
KONFLIK IRAN-ARAB SAUDI DAN KOMPLEKSITAS MASA DEPAN
ISLAM
M Bambang Pranowo 48
2
KPK DI TENGAH PESIMISME PUBLIK
Jamal Wiwoho 52
DILEMA HUKUM PILKADA
Moh Mahfud MD 55
KONFLIK KLASIK: WAHABISME VS SYIISME
Faisal Ismail 58
RASA KEADILAN PUTUSAN HAKIM
Marwan Mas 61
KHITAH RESHUFFLE
Anna Luthfie 64
PERMUFAKATAN JAHAT
Romli Atmasasmita 67
PAPUA DAN RESOLUSI TAHUN BARU KEMLU
Tantowi Yahya 71
INDUSTRI HUKUM
Moh Mahfud MD 75
HAM POLISI, SIAPA PEDULI?
Reza Indragiri Amriel 78
KONSER ISIS DI SARINAH THAMRIN
Prayitno Ramelan 81
ISIS, PERANG PROXY, DAN INDONESIA
Mahfudz Siddiq 85
POLITIK PEMBERANTASAN KORUPSI
Margarito Kamis 89
(MIMPI) MENGHIDUPKAN LAGI GBHN
W Riawan Tjandra 92
GBHN, PDIP, DAN AMENDEMEN UUD 1945
Bambang Sadono 96
MENATA ULANG PARTAI POLITIK
Adi Prayitno 99
LAWAN TERORISME ITU DENGAN PENCEGAHAN
Marwan Mas 102
REVISI UU ANTITERORISME
Romli Atmasasmita 105
3
PELAYAN PUBLIK YANG SULIT MELAYANI
Amzulian Rifai 109
POLITISI MUDA, KORUPSI, DAN PEMBIAYAAN PARPOL
Ahmad Qisa’i 113
REPOSISI GOLKAR YANG “TERLAMBAT”
Ari Junaedi 116
TERORIS DAN PERLAWANAN BANDAR NARKOBA
Bambang Soesatyo 119
HAM BOLEH DILANGGAR
Moh Mahfud MD 122
MENAKAR ISU “SMS ANCAMAN”
Hery Firmansyah 125
PARTAI GOLKAR PASCA-KONSENSUS
M Alfan Alfian 128
MENANTI SOLUSI DI SURIAH
Dinna Wisnu 131
GOLKAR, PAN, DAN ARAH BARU OPOSISI
Andi Faisal Bakti 134
EFEKTIVITAS JUBIR PRESIDEN
Gun Gun Heryanto 137
KINERJA KEPOLISIAN DALAM KASUS KOPI MAUT
Mudzakkir 140
TAK BOLEH TOLERANSI ANCAMAN TERORISME
Bambang Soesatyo 143
KETIKA KONSTITUSI DIABAIKAN NEGARA
Feri Amsari 147
SUDAH KUBILANG, KPK BERANI
Moh Mahfud MD 151
FATAMORGANA PENGUATAN KPK
Aradila Caesar Ifmaini Idris 154
PERINTAH PRESIDEN SELESAIKAN KASUS NOVEL BASWEDAN
Romli Atmasasmita 157
RENCANA PEMBUBARAN DPD RI
Hendri Zainuddin 161
4
Pimpinan KPK Jilid IV
21-12-2015
Sejak awal penulis telah tidak sepakat atas hasil kinerja Panitia Seleksi (Pansel) KPK jilid IV
dengan formasi calon pimpinan (capim) KPK yang tidak berlatar belakang hukum, ekonomi,
keuangan, dan perbankan serta lebih tidak sepakat lagi dengan tidak adanya unsur pimpinan
penuntut umum non-jaksa.
Namun seleksi dilanjutkan dengan konsekuensi sebagaimana penulis perkirakan bahwa akan
terdapat pimpinan KPK jilid IV yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di
dalam Pasal 29 huruf d jo Pasal 21 (4) jo Pasal 21 ayat (5) UU KPK 2002. Diperkuat lagi
dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) dan ayat (3) UU KPK 2002.
Jika diteliti kembali bunyi pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut dan dihubungkan satu sama lain,
terbentuk suatu konfigurasi pola kepemimpinan KPK yang terdiri atas unsur pemerintah dan
masyarakat (Pasal 43 ayat 3 UU Tipikor 1999). Unsur pemerintah yang bergerak dalam
pemberantasan korupsi adalah Polri dan kejaksaan.
Keterlibatan unsur pimpinan dengan latar belakang non-hukum bersifat limitatif dan bersifat
komplementer terhadap unsur pimpinan KPK berlatar belakang hukum. Hal ini sesuai dengan
mandat kepada pimpinan KPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 UU KPK 2002 tentang
tugas KPK dan wewenang KPK sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 7 s.d. Pasal 14 UU
KPK 2002.
Intinya di sana membedakan tugas dan wewenang pro justisia (penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan) dan non-pro justisia (pencegahan dan monitoring penyelenggaraan negara) serta
latar belakang non-hukum dibatasi hanya untuk keahlian di bidang ekonomi, keuangan, dan
perbankan. Logika latar belakang keilmuan ini disebabkan relevan dengan modus operandi
tindak pidana korupsi yang selalu berkaitan dengan pengetahuan akuntansi dan perbankan.
***
Penulis tidak ingin membebankan kekeliruan kepada siapa pun untuk menghormati jerih
payah Pansel KPK jilid IV yang telah diberi kepercayaan oleh pemerintah, melainkan mari
kita prediksi kemungkinan yang akan terjadi dari aspek hukum dan bagaimana solusi
sementara yang perlu dilakukan.
Kemungkinan kinerja KPK jilid IV akan tersendat-sendat karena kekuatan hukum kelima
pimpinan KPK terletak hanya di pundak Basaria Panjaitan dan Alex Marwata yang berlatar
5
belakang hukum dan berpengalaman dalam praktik hukum. Mestinya kita sadar di dalam UU
KPK 2002 telah ditegaskan bahwa pimpinan KPK adalah ”penyidik dan penuntut umum dan
sekaligus penanggung jawab tertinggi KPK ” dan wajib bekerja ”secara kolektif, yaitu bahwa
setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh
pimpinan KPK ”. Masalah pengambilan keputusan untuk mulai melakukan penyelidikan
sampai pada peningkatan status kasus tipikor ke penyidikan dan penuntutan sangat ditentukan
oleh hasil olah laporan pengaduan masyarakat (dumas) dari sisi aspek hukum pidana,
khususnya Undang-Undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999.
Lebih dalam lagi, kelima pimpinan KPK harus memahami secara detail UU RI Nomor 31
Tahun 1999 dan turunannya UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pemahaman kedua undang-undang a quo
tidak terbatas pada pemahaman normatif setiap pasal-pasal di dalam kedua undang-undang a
quo, melainkan juga harus dipahami latar belakang aspek filosofi, sosiologi, dan yuridis serta
komparatif keberadaan UU KPK dan kedua undang-undang tersebut di dalam tataran praktis
penanganan perkara tipikor sejak penyelidikan sampai dengan penuntutan.
Selain itu pemahaman teori atau doktrin hukum pidana serta yurisprudensi Mahkamah Agung
RI dalam perkara tipikor dan TPPU merupakan prasyarat utama bagi kelima pimpinan KPK
agar penanganan perkara tipikor yang sulit pembuktiannya dapat dilaksanakan secara efektif
dan efisien. Latar belakang pendidikan ilmu hukum selain non-ilmu hukum penting untuk
menghadapi upaya hukum tersangka/terdakwa sesuai KUHAP, termasuk objek praperadilan
yang telah diperluas oleh yurisprudensi dan putusan MK RI.
***
Kebijakan pimpinan KPK yang menyerahkan sepenuhnya proses penanganan perkara tipikor
kepada penyidik dan penuntut sekalipun berasal dari Polri dan kejaksaan merupakan tindakan
yang tidak bijak dan tidak patut. Langkah itu bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal UU
KPK sebagaimana telah diuraikan di atas.
Khusus penetapan pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut dan penanggung jawab
tertinggi dalam pemberantasan korupsi yang harus diartikan bahwa tanggung jawab
sepenuhnya berada pada kelima pimpinan KPK, bukan pada penyidik dan penuntut
KPK. Tidak mungkin dan seharusnya tidak terjadi penyidik dan penuntut KPK lebih
berpengalaman dari pimpinan KPK itu sendiri dan keadaan ini dapat menimbulkan moral
hazard dalam proses penanganan kasus tipikor.
Memang benar integritas dan akuntabilitas penyidik dan penuntut KPK tidak dapat diragukan
setelah melalui tes integritas. Namun control assessment yang bersifat pro justisia terhadap
kinerja penyidikan dan penuntutan justru harus dilakukan oleh atasan yang memang memiliki
keahlian paripurna melebihi keahlian penyidik dan penuntut KPK serta sekaligus
menegakkan prinsip checks and balances. Kelemahan control assessment dari kelima
pimpinan KPK dapat mengakibatkan terjadi korban-korban penetapan tersangka yang keliru
6
secara hukum sehingga rentan terhadap pelanggaran hak asasi tersangka/terdakwa yang
seharusnya memperoleh perlindungan hukum sekaligus hak konstitusional yang
bersangkutan.
Ketentuan bahwa KPK tidak boleh menerbitkan SP3 merupakan sinyal merah bagi kelima
pimpinan KPK dalam hal penetapan tersangka. Sekali terjadi kekeliruan–tanpa bukti
permulaan yang cukup sekalipun hasil penyadapan–, kekeliruan tersebut tidak dapat
diperbaiki-dianulir. Jika hal tersebut terjadi, terjadi pula korban-korban yang tidak berdosa
yang tidak perlu seperti pemblokiran rekening yang bersangkutan/istri dan anak-anaknya
maupun pencekalan dan penyitaan harta kekayaannya tanpa dasar hukum yang kuat dan tidak
jelas.
***
Hal-hal sebagaimana telah diuraikan penulis bukan isapan jempol belaka, melainkan fakta
dari hasil pengamatan penulis terhadap kinerja KPK selama 2009 sampai dengan 2014,
termasuk hasil analisis Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP) di mana
penulis sebagai direktur LPIKP.
Kontrol eksternal terutama dari ICW dan koalisi LSM anti-korupsi masih jauh dari harapan
penulis dari sisi akuntabilitas dan integritas sebagai lembaga non-partisan dalam
pemberantasan korupsi yang diharapkan dapat membantu kinerja KPK dengan kontrol yang
ketat dan memberikan masukan introspeksi atas kinerja KPK. Alih-alih memberikan
kontribusi hukum yang bermanfaat, sebaliknya LSM Koalisi Antikorupsi hanya fokus pada
keberhasilan–output–secara kuantitatif, tetapi tidak memberikan dampak outcome secara
kualitatif mengenai ketaatan pimpinan KPK terhadap asas-asas hukum pidana pada
umumnya, khususnya asas legalitas termasuk asas non-retroaktif.
Keberadaan KPK untuk melengkapi kepolisian dan kejaksaan terbukti tidak juga dapat
menaikkan peringkat Indonesia dalam forum internasional pemberantasan korupsi. IPK
Indonesia, tahun 2014, hanya mencapai 34/100 dan peringkat 107/175, masih jauh di bawah
Singapura (IPK 84/100, peringkat 7/175), Malaysia (IPK 52/100, peringkat 50/175), dan
Filipina (IPK 38/100, peringkat 85/175).
Dari sisi penyelamatan kerugian keuangan negara yang diketahui LPIKP dari laporan tahunan
KPK, ternyata selama 2009-2014 KPK hanya berhasil menyelamatkan kerugian keuangan
negara sebesar Rp722.687.955.078, sedangkan kejaksaan Rp6.637.161.971.801 (Laporan
Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara Tahun 2009-2014).
Solusi pertama yang harus dipertimbangkan adalah merevisi UU KPK 2002, yaitu strategi
KPK mengutamakan pencegahan dan penindakan KPK hanya terbatas pada kasus korupsi
tertentu dengan memberikan perhatian pada ketentuan Pasal 11 UU KPK 2002 yang
diperluas. Selain itu strategi pencegahan juga harus memperkuat pemerintah membangun
sistem pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN bekerja sama dengan inspektorat
7
jenderal K dan SPI lembaga-lembaga negara serta pengawasan secara intensif oleh deputi
pencegahan KPK.
Solusi kedua, untuk mencegah upaya hukum tersangka korupsi, KPK perlu bekerja sama
dengan Kejaksaan Agung untuk melimpahkan tahap penuntutan perkara tipikor kepada
kejaksaan. Solusi ketiga, perlu perluasan pengertian penyelenggara negara sebagaimana
dicantumkan dalam Pasal 2 UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari KKN sehingga dapat menjangkau direksi dan pegawai
BUMN/BUMD, termasuk anak perusahaannya.
Solusi keempat, penguatan peningkatan kinerja KPK dengan mendayagunakan fungsi trigger
mechanism diperkuat oleh fungsi koordinasi dan supervisi (korsup) yang selama ini dalam
praktik tidak efektif memperkuat strategi pencegahan KPK dan memperluas fungsi tersebut
meliputi terhadap penyelenggaraan sistem birokrasi di K/L.
Solusi kesatu sampai keempat merupakan alternatif solusi ketika kelima pimpinan KPK jilid
IV harus melaksanakan UU KPK 2002—kecuali UU KPK hasil revisi melakukan perubahan
orientasi KPK jilid IV sebagaimana perkembangan terkini di Korea Selatan. KPK Korea
Selatan dibubarkan dan dialihkan ke Ombudsman dan fungsi penuntutan ke Kejaksaan
Agung.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Unpad dan Guru Besar Unpas
8
Ambang Batas Sengketa Pilkada
23-12-2015
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Serentak Tahun 2015 memasuki tahap-
tahap akhir. Setelah pemungutan suara yang berlangsung aman pada 9 Desember 2015,
rekapitulasi perhitungan dan penetapan calon terpilih pun telah selesai dilakukan.
Kini pasangan calon yang tidak menerima penetapan calon terpilih sedang berupaya
mengubah nasib melalui proses penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah
Konstitusi. Melacak tenggat waktu yang disediakan, permohonan sengketa hasil diajukan
paling lambat dalam waktu 3x24 jam sejak Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan
perolehan suara hasil pemilihan.
Berbeda dengan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah sebelumnya, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (UU No 8/2015) memberikan ambang
batas bagi pasangan calon untuk dapat mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi
(MK).
Pada penyelenggaraan pemilihan sebelumnya semua pasangan calon yang tidak menerima
hasil penetapan calon terpilih dapat mengajukan sengketa ke MK. Saat ini dengan UU No.
8/2015 tidak semua pasangan calon dapat mengajukan sengketa hasil ke Medan Merdeka
Barat. Berdasarkan ketentuan UU No 8/2015, pasangan calon yang diperkenankan untuk
mengajukan permohonan ke MK hanya dengan selisih tertentu.
Dalam Pasal 158 ayat (1) UU 8/2015 dinyatakan bahwa pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur dapat mengajukan permohonan dengan selisih peraih suara terbesar paling banyak
2%. Batas suara tersebut bila jumlah penduduk di provinsi bersangkutan sama atau di bawah
2 juta. Dalam hal jumlah penduduk 2-6 juta, batas pengajuan sengketa 1 1/2%. Penduduk
provinsi dalam kisaran 6-12 juta, ambang batasnya 1%. Terakhir, jumlah penduduk lebih
besar dari 1 juta, ambang batas 1 1/2%.
Tidak hanya diatur dalam UU No 8/2015, sebagai institusi yang memiliki wewenang untuk
menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah, secara formal, pembatasan tersebut
juga dituangkan dalam hukum acara MK. Pengaturan tersebut dapat dibaca dalam Peraturan
MK No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (PMK No. 1/2015).
Dengan ada PMK No. 1/2015 tersebut, posisi ambang batas pengajuan sengketa semakin
9
kuat. Artinya, merujuk penetapan pasangan calon terpilih hasil pemilihan serentak, dapat
dipastikan permohonan sengketa hasil ke MK menjadi sangat terbatas. Pertanyaan mendasar
yang sangat menggelitik: bagaimana jika terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, masif,
dan sistematis (TSM) dalam proses pemilihan, sementara selisih suara berada di luar ambang
batas?
Apakah dengan begitu ambang batas tersebut harus dipertahankan sehingga pasangan calon
yang terindikasi kuat meraih suara terbesar karena pelanggaran yang bersifat TSM dibiarkan
melenggang menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah? Jikalau demikian, apakah ambang
batas tidak mengukuhkan demokrasi prosedural?
Dasar Pemikiran
Jika ditelusuri pengalaman penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sedikit ke
belakang, ruang menggunakan jalur ke MK tak sepenuhnya murni digunakan pasangan calon
untuk mengoreksi kesalahan penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan
calon. Sejumlah fakta menunjukkan, sebagian pasangan yang kalah dalam proses pemilihan
seperti berupaya memakai jalur ke MK menjadi jalan pintas untuk mengoreksi suara rakyat.
Contoh yang paling menonjol, meski bentangan fakta menunjukkan terjadi selisih suara
sangat mencolok, pasangan calon yang kalah tetap memilih jalan mengajukan sengketa ke
MK. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, perbedaan suara tak mungkin dibuktikan
sebagai akibat dari kesalahan perhitungan.
Pilihan menggunakan jalur MK menjadi seperti berubah menjadi modus baru ketika muncul
alasan multitafsir mengajukan sengketa yaitu terjadi pelanggaran yang bersifat TSM. Dengan
alasan tersebut, penyelesaian sengketa ke MK tak ubahnya seperti keranjang sampah
ketidaksiapan pelaku politik kontestasi pengisian jabatan kepala daerah menerima pilihan
rakyat.
Meskipun sebagiannya terkesan coba-coba, pilihan ke MK tetap dilakukan karena
sebagiannya juga berupaya memanfaatkan kemungkinan ”perilaku liar” hakim MK. Paling
tidak, pengalaman yang menimpa Akil Mochtar menjadi bukti pemanfaatan tersebut. Tanpa
pembatasan, MK berubah menjadi tumpukan perkara penyelesaian sengketa penyelesaian
pemilihan kepala daerah.
Pada salah satu sisi, disebabkan jumlah hakim yang terbatas (yaitu sembilan orang) dan di
sisi lain jumlah permohonan sengketa yang menumpuk, MK harus lebih konsentrasi
menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah. Akibatnya, MK memiliki waktu yang
terbatas untuk menyelesaikan wewenang konstitusional terutama pengujian undang-undang
(judicial review) terhadap undang-undang dasar sebagaimana diatur Pasal 24C Ayat (1) UUD
1945.
Apalagi, sebelum dilakukan secara serentak, agenda pilkada hampir dilaksanakan sepanjang
10
tahun. Dengan penyelenggaraan demikian, sepanjang tahun pula MK harus membagi
perhatian dengan kewajiban menyelesaikan permohonan sengketa pilkada.
Karena itu, saya pernah mengemukakan, sekiranya dilakukan tanpa pengaturan yang lebih
ketat pihak-pihak yang dapat mengajukan sengketa pilkada, MK potensial kehilangan fokus
melaksanakan wewenang dalam UUD 1945 terutama judicial review. Padahal, sebagai salah
satu pemegang kekuasaan kehakiman, judicial review merupakan mahkota MK.
Demokrasi Substansial
Sejak semula, saya termasuk yang mendorong ada pembatasan persentase tertentu untuk
dapat mengajukan permohonan sengketa ke MK. Kendati demikian, pembatasan tersebut
tidak dimaksudkan untuk menghilangkan kesempatan bagi pasangan calon yang merasa
dicurangi secara total memilih jalur ke MK.
Artinya, ambang batas masih dapat diterobos melalui mekanisme pemeriksaan pendahuluan
(dismissal process) sepanjang pemohon mampu menunjukkan bukti-bukti yang sangat kuat
telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM. Bila dalam proses awal bukti-bukti tidak kuat,
ambang batas diperlakukan secara ketat.
Dalam batas penalaran yang wajar, dengan ada pemeriksaan pendahuluan, ruang
menghidupkan terobosan yang telah dilakukan MK dalam memeriksa permohonan yang
mengindikasikan ada pelanggaran yang bersifat TSM tetap bisa dipertahankan. Misalnya,
dalam Putusan No. 57/PHPU.D-VI/2008 MK menyatakan bahwa konstitusi dan Undang-
Undang MK yang menempatkan MK sebagai pengawal konstitusi sehingga berwenang
memutus perkara pelanggaran atas prinsip-prinsip pemilu dan pilkada. Selain itu, MK juga
pernah memutuskan bahwa dalam mengawal konstitusi, MK tak dapat membiarkan dirinya
dipasung oleh keadilan prosedural (procedural justice) semata-mata, melainkan juga harus
mewujudkan keadilan substansial.
Banyak kalangan percaya, ketika PMK No. 1/2015 membuka tahapan pemeriksaan
pendahuluan, MK sebetulnya tidak hendak mematikan peluang pasangan calon yang tidak
memenuhi ambang batas. Artinya, dengan ada pemeriksaan pendahuluan, semua permohonan
yang masuk ke MK akan dinilai terlebih dahulu pada tahapan ini. Sepanjang pemohon dapat
menunjukkan bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM dan bukti-
bukti tersebut mampu memberikan keyakinan pada hakim, ambang batas jangan dijadikan
sebagai instrumen untuk membunuh upaya pencarian keadilan substantif.
Bagaimana pun, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh diisi oleh mereka yang
meraih dukungan dengan cara yang curang. Dalam konteks itu, peranti ambang batas tidak
boleh dijadikan sebagai tameng guna melindungi pelanggaran yang nyata-nyata memenuhi
unsur TSM.
11
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang
12
Drama MKD dan Politik Perwakilan
23-12-2015
Kasus sidang Mahkamah Kehormatan Dewan terhadap anggota DPR RI Setya Novanto
seharusnya memberikan pembelajaran penting bagi transformasi demokrasi di Indonesia,
terutama untuk memperkuat sistem politik perwakilan.
Akhirnya Setya Novanto hanya mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR RI tanpa disertai
sanksi konkret dari MKD menunjukkan tontonan drama politik telanjang nan memuakkan.
Apalagi, pengunduran diri yang diajukan Setya Novanto bukanlah pengunduran diri dari
keanggotaan DPR RI.
Tulisan ini tidak hendak menghakimi Setya Novanto, tetapi untuk menjadi refleksi terhadap
politik perwakilan saat ini. Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (3),
peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai
politik. Artinya, yang boleh mengikuti pemilihan umum legislatif dan nanti yang memiliki
kursi di DPR/DPRD adalah partai politik, bukan individu politisi. Individu politisi hanya
menduduki kursi di lembaga legislatif karena kemurahan hati partai politik semata, bukan
karena dukungan suara yang diperolehnya. Inilah yang tersurat di dalam UUD 1945.
Penegasan soal kepesertaan pemilu legislatif ini termaktub di dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 7 tentang Peserta
Pemilu. Untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah
partai politik. Namun, di undang-undang yang sama di pasal yang berbeda, Pasal 154,
disebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/ kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda
gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara.
Di sini tersurat ada pembelokan dari mandat Undang-Undang Dasar 1945 tentang peserta
pemilu. Bila pasal tersebut dibaca (bagian yang ditulis miring), individu boleh dan sah
mengikuti pemilu legislatif selama dia menjadi anggota partai dan menjadi calon anggota
legislatif. Bila namanya dicoblos dengan sah, suara yang diberikan oleh pemilih juga sah
sebagai suara individu.
Suara tersebut juga berkontribusi pada pencapaian suara partai tempat si politisi bergabung.
Inilah salah satu penyebab terjadi drama MKD terkait Setya Novanto. Dalam pemilu
legislatif pada 2014, Setya Novanto mendapatkan suara individu yang lebih besar dari suara
partainya di daerah pemilihan NTT-2. Sebagai individu, Setya Novanto mendapatkan 85.818
13
suara sah, jauh melampaui yang diraih partainya dengan 23.911 untuk rekapitulasi suara
Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Timur II (Dapil NTT II).
Momentum Perbaikan Sistem Pemilu
Bila mengacu pada UUD 1945, sistem pemilihan umum legislatif yang berlaku seharusnya
adalah sistem daftar partai (party list) di mana hanya partai politiklah yang boleh ikut pemilu
legislatif. Pemilih hanya akan memilih salah satu partai di dalam lembar suara pemilu
legislatif supaya suaranya sah.
Nama-nama calon anggota DPR/DPRD tidak perlu ada di dalam lembar suara karena mereka
adalah individu politisi yang bernaung di dalam sebuah partai politik, bukan partai politik. Ini
berlaku bagi pemilihan anggota DPR dan DPRD, bukan DPD. Untuk menarik pemilih, nama-
nama mereka hanya dikenalkan oleh partai peserta pemilu kepada para pemilih tanpa harus
tertulis di dalam lembar kertas suara.
Dengan begitu, pemilih hanya akan fokus pada partai politik peserta pemilu, bukan pada
individu daftar calon anggota legislatif yang ditawarkan oleh masing-masing partai politik
peserta pemilu. Bila ini dilakukan, pelaksanaan pemilu legislatif akan sesuai mandat UUD
1945.
Berdasarkan aturan yang berlaku, keberhasilan Setya Novanto memperoleh suara lebih
banyak dari partainya telah mengubah konstelasi dan posisi partai politik terhadap
Novanto. Kemenangan Partai Golkar di daerah pemilihan NTT-2 adalah kontribusi besar
Novanto, yang tanpanya, Partai Golkar belum tentu bisa memenanginya. Dengan begitu, para
petinggi Partai Golkar tidak berani untuk melakukan recall kepada Novanto ketika kasus
pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden di MKD bergulir.
Hal yang sama juga seharusnya menjadi pertimbangan Partai Golkar ketika tiga anggota
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dari Fraksi Partai Golkar hadir dalam acara
konferensi pers oleh Menko Polhukam Luhut B Panjaitan ketika proses di MKD sedang
bergulir. Menko Polhukam Luhut menjadi salah satu calon saksi yang akan dipanggil di
dalam sidang tersebut.
Bila partai politik memang benar-benar berkuasa terhadap kursi-kursi yang diduduki oleh
para politisi partai di parlemen, tentu ihwal yang terkait kepantasan dan etika politik yang
terindikasi dilanggar oleh anggota dewan tersebut akan menjadi dasar bagi dewan pimpinan
partai politik untuk memberikan teguran atau bahkan sanksi disiplin partai. Karena, apa pun
yang dilakukan para individu anggota dewan tersebut tidak bisa lepas dari statusnya sebagai
kader partai politik dan karena ada dampaknya, baik positif maupun negatif.
Drama MKD dan pengesahan RUU Kodifikasi Undang-Undang Pemilu sebagai salah satu
RUU yang akan dibahas di dalam Program Legislasi Nasional 2016 harus menjadi
momentum untuk memperbaiki keadaan ini. Pembenahan terhadap aturan yang ada, terutama
14
terkait peserta pemilu sebagaimana dimandatkan UUD 1945, akan bisa memperkuat posisi
partai politik dalam upayanya mendisiplinkan anggotanya yang duduk di dewan perwakilan
supaya tetap sesuai dengan visi-misi dan program partai.
Penegasan aturan ini juga akan memberikan ruang yang luas bagi pemilih untuk menuntut
kinerja partai politik yang lebih baik atau menghukumnya di dalam pemilihan umum. Dengan
demikian, proses penguatan politik perwakilan sebagai bagian dari transformasi demokrasi di
Indonesia bisa terjadi, selangkah demi selangkah.
AHMAD QISA’I
Manajer Program di Kemitraan dan Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina
15
Pola Acak Komunikasi Politik
28-12-2015
Salah satu penanda proses politik yang riuh rendah sepanjang 2015 adalah pola acak dalam
komunikasi politik. Politisi yang bertarung tak selalu ajek dalam posisi politiknya, melainkan
berubah-ubah seiring konteks kepentingan politik yang mereka miliki.
Karena itu, kita melihat meski di atas kertas ada polarisasi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan
Koalisi Merah Putih (KMP), sejatinya dalam praktik politik sangat cair, dinamis, dan
mengedepankan politik konsensus. Beragam peristiwa politik yang hadir sepanjang tahun ini
menjadi bukti peran signifikan komunikasi politik dalam mengatasi kebuntuan hubungan.
Hubungan Semu
Realitas politik menggambarkan bahwa hubungan kekuasaan belum atau mungkin tak lagi
dipandu oleh pilihan ideologis. Dalam keacakan beragam peristiwa politik, proses
komunikasi politiknya lebih dominan mengarah ke lobi dan transaksi. Di panggung politik
kekinian, Jokowi-JK pun berkutat dengan beragam tekanan yang harus diselesaikan lewat
komunikasi antarpribadi dan lobi yang intens.
Pertama, pola hubungan DPR dengan pemerintah yang mengalami dialektika relasional.
Awal tahun ini, kita mencatat tesis Juanz Linz dalam tulisannya, The Failure of Presidential
Democracy: Comparative Perspectives (1994), bahwa sistem presidensial memunculkan pola
hubungan yang tidak harmonis akibat minimnya konsultasi dua lembaga, tidak sepenuhnya
tepat.
Linz percaya akan ada dual legitimacy karena eksekutif dan legislatif yang merasa pilihan
rakyat sama-sama merasa berhak menentukan arah kebijakan nasional sehingga
memunculkan ancaman disintegrasi, terutama saat dua lembaga ini berbeda orientasinya.
Dalam perspektif Linz, sistem pemerintahan Indonesia bisa dikategorikan sebagai
presidensialisme dengan sistem multipartai yang terfragmentasi kuat (a highly fragmented
multiparty system) dan ini dipandang sebagai kombinasi rumit yang diprediksi mengalami
kebuntuan politik.
Di awal perjalanan Jokowi-JK dan saat terjadi perebutan kekuasaan alat kelengkapan dewan
yang dipicu oleh perubahan UU MD3, tesis kebuntuan politik hampir nyata adanya.
Terutama, saat mengemukanya istilah pemerintahan yang terbelah. Hanya, situasi ini tak
berlangsung lama, ketika muncul inisiatif dari politisi untuk mengambil pola lama yang
dikembangkan hampir semua presiden pasca-Reformasi yakni model konsensus di tengah
16
pola acak yang terjadi.
Jokowi mengakomodasi tekanan partai penyokong utama kekuasaan yakni PDIP dengan
melakukan reshuffle pertama di beberapa pos dan mendepak beberapa orang yang tidak
terlalu kuat back up politiknya untuk memuluskan langkah konsensus. Tak berhenti di situ,
komunikasi dua tahap pun dijalankan Jokowi dengan hampir semua kekuatan nyata di DPR
lewat pengendalian orang-orang kunci yang bisa mengubah konfigurasi kekuatan di DPR.
Jokowi membangun kerja public relations politik dan persuasif memasukkan PAN ke dalam
gerbong partai-partai pendukung kekuasaan. Gayung bersambut, PAN pun menerima dan
mendeklarasikan secara simbolik dukungannya kepada pemerintah di Istana. Tapi, “tak ada
makan siang yang gratis!” Keberlanjutan dukungan PAN pun akan sangat dipengaruhi
konsesi politik dari pihak Jokowi. Akankah reshuffle kabinet kedua berlangsung segera untuk
mengakomodasi PAN dalam kekuasaan?
Perubahan peta sepanjang 2015 pun sangat dipengaruhi oleh konflik internal yang dialami
partai-partai di luar kekuasaan misalnya yang terjadi di Partai Golkar dan PPP. Hingga
sekarang dua partai tersebut belum mencapai rekonsiliasi yang utuh. Variabel ini pun menjadi
bacaan penting untuk melihat pola acak yang terjadi di jagat politik nasional.
Sangat mungkin, awal 2016 akan ada kejutan perubahan kongsi politik di antara partai-partai
setelah melalui fase turbulensi tahun ini. Tentu, memiliki efek domino pada pola hubungan
kuasa antara Jokowi-JK dan eksekutif yang dipimpinnya dengan legislatif yang saat ini
berada di titik nadir akibat kisruh persoalan etika dan pertarungan politik di MKD yang
meniscayakan Ketua DPR Setya Novanto mengundurkan diri.
Kedua, pola acak juga terjadi dalam penyelenggaraan demokrasi elektoral di daerah. Pilkada
serentak di 265 daerah dari 269 yang direncanakan memperlihatkan koalisi partai politik di
level nasional tidak berimbas pada peta kekuatan di daerah-daerah. Tak ada koalisi permanen,
yang ada kongsi politik pragmatis. Tak ada KIH dan KMP di pilkada, pun demikian tak ada
basis ideologi maupun kongsi berdasarkan platform partai, yang ada adalah pendekatan
struktur peluang.
Basis struktur peluang itu selalu tiga variabel dominan yakni probabilitas perolehan suara dari
paket yang didorong, biaya pertarungan (cost of entry) yang akan ditanggung siapa, dan
skema keuntungan kekuasaan (benefit of office).
Realitas tersebut meneguhkan bahwa di satu sisi keacakan pola membuat hubungan-
hubungan politik tidak buntu, tetapi juga di sisi lain berpotensi kuatnya pragmatisme berbasis
politik transaksional. Hubungan untuk tidak saling menegasikan, melainkan saling merangkul
dan mengakomodasi bisa juga semakin meneguhkan hubungan semu, palsu, artifisial, dan
saling menelikung!
Mengelola Hubungan
17
Beragam pertarungan yang mengemuka sepanjang 2015 dikhawatirkan berimbas pada rakyat
di tengah the clash of the titans. Misalnya, makin mulusnya revisi UU KPK yang tidak
bermotif penguatan, melainkan pelemahan. Diusungnya para komisioner KPK oleh politisi
Senayan yang tidak terlalu memuaskan publik sehingga melemahkan dukungan arus bawah
pada institusi ini. Tetap diakomodasinya dana aspirasi, anggaran gedung baru DPR, dan lain-
lain hasil negosiasi untuk memuluskan pengesahan APBN 2016.
Pun demikian dengan reshuffle kabinet. Sejatinya, alasan terjadi perombakan adalah
perbaikan kinerja dan performa kabinet. Karena itu, standar yang digunakan seharusnya
indeks performa kinerja para menteri yang harus dipantau oleh Jokowi selaku pemilik hak
prerogatif. Keliru jika perombakan sekadar memuaskan para pemburu kekuasaan, terutama
untuk memberi kursi pada para “pedagang” yang datang kemudian.
Tak salah jika pemerintah berupaya mencari titik keseimbangan politik dengan mengelola
hubungan. Tetapi, sejarah membuktikan koalisi besar partai politik dalam kekuasaan pun
belum menjamin tak ada gangguan dari mereka yang diberi jatah di pemerintahan. Banyak
partai yang berjalan dengan rasionalitas dan kepentingannya sendiri-sendiri sehingga tak
merasa punya tanggung jawab moral dan organisasional untuk loyal serta berkhidmat pada
rakyat melalui kejelasan posisi politiknya. Kekuasaan memang selalu memberi pilihan
dilematis antara mengelola keseimbangan politik berbasis zona nyaman elite dan mengelola
hubungan dengan poros utama kerja untuk rakyat.
Akar kekuasaan bagaimanapun bersumber dari mandat rakyat. Karena itu, jangan sampai
mengelola hubungan di tengah keacakan pola hubungan membuat penguasa abai pada
ikrarnya yakni bekerja untuk rakyat!
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
18
Drama Politik yang Menjemukan
29-12-2015
Ketika Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR sedang bersiap menyiapkan putusan
bagi Setya Novanto atas laporan pelanggaran etik anggota Dewan yang dilaporkan oleh
Menteri ESDM Sudirman Said, Presiden Joko Widodo sedang bercengkerama dengan para
pelawak dan komik, para komedian jenakata (stand-up comedy). Entah kebetulan atau tidak,
banyak pemerhati politik melihat, ini cara Jokowi menyatakan sikap. Ada yang lebih lucu
dari drama MKD di Senayan yaitu lawakan para komik.
Drama politik lainnya juga terlihat sebelumnya tentang sosok Menko Kemaritiman dan
Sumber Daya Rizal Ramli. Sesaat setelah dilantik, Rizal begitu agresif mengkritik langkah
pemerintah. Sebut saja soal pembangunan megaproyek listrik 35.000 megawatt (MW) yang
disebutnya tidak realistis dan diturunkan menjadi 16.000 MW. Persoalan proyek prestisius
Jokowi tersebut sampai membuat Rizal Ramli menantang JK untuk berdebat di hadapan
publik terkait proyek ini. Publik pun menduga-duga, apa tidak salah pilih Jokowi menunjuk
Rizal masuk dalam kabinetnya dan membawa kegaduhan di internal pemerintahan.
Sejumlah analis pun menduga ini bagian dari strategi Jokowi untuk mengimbangi pengaruh
Jusuf Kalla. Diakui atau tidak, Kalla menjadi kekuatan politik tersendiri dalam pemerintahan
ini. Pengalaman di rezim SBY di mana Kalla seakan lebih dominan dari presiden tentu
menjadi kekhawatiran sendiri bagi Jokowi dan tentu saja bagi PDIP sebagai partai politik
pengusung utamanya.
Tidak heran jika kemudian pernyataan anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu,
yang mengatakan kegaduhan satu tahun kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla lebih banyak
terletak pada Kalla yang menjadi sumbernya. Pernyataan Masinton ini pun dibantah juru
bicara wakil presiden, Husain Abdullah, yang mengatakan tuduhan yang dilemparkan
politikus PDIP tersebut justru membuat kegaduhan baru yang tidak perlu.
Di penghujung 2015 ini publik masih saja disuguhi drama politik. Sepanjang 2015 itulah
yang dominan terjadi. Panggung politik masih dipenuhi drama-drama politik yang lebih
banyak pada domain elite. Dimulai dengan terbentuknya DPR 2014-2019 yang terbelah
dengan hadirnya Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintah dan Koalisi
Merah Putih (KMP) yang berada di luar pemerintahan.
Dua kekuatan ini saling berhadapan dalam sejumlah kasus, sebut saja soal pemilihan
pimpinan DPR dan MPR, mekanisme pilkada, pemilihan kapolri, dan pemilihan jaksa agung.
Dalam sejarah, pengangkatan jaksa agung dari unsur partai politik baru kali ini terjadi.
19
Kegaduhan tidak berhenti di sini, polemik pemilihan kapolri merembet pada ketegangan
hubungan Polri dan KPK terkait penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan yang kemudian
dinilai tidak sah di praperadilan. Ketegangan ini berujung pada dinonaktifkannya dua
komisioner dan satu orang penyidik KPK karena menjadi tersangka kasus hukum yang
diyakini oleh sebagian besar kalangan sebagai upaya kriminalisasi terhadap keduanya.
Terakhir, kegaduhan dari legislatif adalah terkait revisi UU KPK yang membelah sikap,
antara pendukung revisi dan penolak revisi. Kegaduhan dari Senayan semakin lengkap
dengan terseretnya tiga legislator dalam kasus korupsi dan gratifikasi. Setidaknya sudah tiga
orang anggota DPR yang terjerat oleh KPK yakni Adriansyah (PDIP), Patrice Rio Capella
(NasDem), dan Dewie Yasin Limpo (Hanura).
Ujungnya, kasus Setya Novanto di MKD semakin merontokkan citra DPR di mata publik.
Apalagi jika melihat rekam jejak kinerja legislatif yang jauh dari harapan rakyat. Lihat saja
sepanjang 2015 ini hanya ada 3 UU yang diselesaikan dari 40 rancangan UU prioritas 2015.
Menjemukan
Lalu, apakah drama-drama politik yang disuguhkan ke publik ini berdampak baik pada citra
pemerintah di hadapan publik? Sejumlah lembaga survei menyebut terjadi penurunan
apresiasi publik pada kinerja pemerintah. Survei yang dilakukan Indo Barometer misalnya
pada satu tahun pemerintahan Oktober lalu memperlihatkan bahwa sebanyak 47,3%
responden mengaku kurang puas terhadap kinerja Jokowi-JK, sementara yang cukup puas
sekitar 44,8%.
Hal yang sama juga disebutkan oleh survei LSI yang mencatat, mereka yang puas di bidang
ekonomi hanya 29,79%, hukum 47,22%, politik 43,75%, sosial 48,39%, dan keamanan
53,85%. Kepuasan publik di sektor ekonomi tercatat paling rendah. Pengurangan subsidi
bahan bakar oleh pemerintah juga diakui menjadi pemicu turunnya apresiasi publik pada
kinerja pemerintah.
Ini menjadi potret bahwa drama-drama politik yang disuguhkan ke publik tidak serta-merta
membuat apresiasi di mata publik. Hal ini boleh jadi menguatkan sinyalemen bahwa drama
politik kaum elite menjemukan bagi publik.
Meminjam pendekatan sosiolog Erving Goffman yang mendalami teori dramaturgi yang
menyebutkan bahwa interaksi sosial itu layaknya pertunjukan teater di mana manusia adalah
aktor utamanya, baik sebagai pemeran utama maupun penonton saja. Dalam pertunjukan
teater tersebut, manusia akan mengembangkan perilaku yang berbeda agar pertunjukannya
bisa dinikmati penonton.
Selama ini publik sudah banyak disuguhi panggung depan kaum elite. Boleh jadi publik
sudah banyak tahu soal panggung belakangnya. Empat tahun sisa periode pemerintahan
mestinya harus disuguhkan kepada publik tentang cerita drama politik yang membumi,
20
merakyat, dan bermanfaat bagi kemaslahatan publik.
ANNA LUTHFIE
Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo)
21
Tetap Berharap pada KPK
30-12-2015
Rutin saja apabila setiap tahun dilakukan evaluasi terhadap tahun lalu (2015) dan ekspektasi
terhadap tahun mendatang (2016) bagi berbagai bidang.
Hukum tetap menjadi perhatian karena berbagai implikasi bagi bidang-bidang lain. Geliat
ekonomi, investasi, pariwisata, semuanya sangat terkait erat dengan bidang hukum. Kekuatan
utama yang dimiliki oleh negara-negara yang telah sangat sejahtera seperti negara-negara
Skandinavia (Swedia, Norwegia, Finlandia, dan Denmark) adalah leading-nya bidang
hukum. Hukum sebagai panglima bukan hanya basa-basi, sekadar ungkapan tertulis yang
jauh dari kenyataan.
Selain penegakan hukum yang kuat, negara-negara Skandinavia sangat terkenal dengan
rendahnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Korupsi sungguh rendah di negeri
ini sehingga mendekati angka nol. Zero KKN bukan hanya slogan, tetapi benar-benar praktik
nyata keseharian.
Kelemahan utama Indonesia justru pada dua hal itu, lemahnya penegakan hukum dan
parahnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Saking membudayanya KKN, kebanyakan
orang sudah mati rasa soal ini. Banyak yang tidak memiliki nurani lagi, tanpa alarm, dan
seakan mati rasa atas perbuatan yang masuk kategori KKN atau bukan. Pendek kata, seakan
sah saja semua perbuatan bertujuan memperkaya diri sendiri atau kelompoknya tanpa terusik
dengan berbagai ketentuan hukum.
Itu sebabnya, publik sangat ingin penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di negeri ini
berjalan dengan baik. Atas dasar itu juga, atensi publik tinggi terhadap proses seleksi anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi (KKN). Namun, apakah komisioner KPK jilid IV sekarang
ini sudah sesuai ekspektasi publik?
Tes oleh DPR
Pemerintah sepertinya telah membakukan sistem seleksi anggota lembaga-lembaga negara
seperti KPK, Komisi Yudisial, dan Ombudsman. Proses seleksi melalui Kementerian
Sekretariat Negara menggunakan panitia seleksi yang kompeten di bidangnya. Semua
anggota Pansel KPK 2015 adalah perempuan. Mungkin melalui cara ini diyakini pansel akan
lebih sulit untuk diintervensi.
Proses panjang seleksi itu menghasilkan sepuluh nama yang disampaikan kepada Komisi III
22
DPR RI. Parlemen yang berhak memilih lima dari sepuluh nama sebagai komisioner KPK
lima tahun ke depan. Memang publik telanjur memiliki ekspektasi tinggi terhadap kandidat
seperti Busro Muqoddas dan Johan Budi. Publik yang sudah telanjur mengunci dua nama ini
sebagai sosok yang ideal, baik, pas sebagai komisioner KPK dikejutkan dengan apa yang
diputuskan oleh DPR RI. Ternyata dua nama harapan publik ini justru tidak diloloskan oleh
DPR RI.
Macam-macam komentar publik muncul di berbagai media. Media sosial juga memuat
berbagai bentuk kekecewaan masyarakat atas gagalnya dua nama tersebut. Intinya, kecewa
dengan apa yang telah diputuskan DPR terhadap lima nama yang dinyatakan lulus sebagai
komisioner KPK 2016-2021. Walau publik kecewa dengan hasil yang ada, secara yuridis
tidak ada yang dilanggar oleh Komisi III DPR RI. Mereka memang diberi kewenangan untuk
memilih “secara bebas” dari calon yang diajukan. Artinya, Komisi III memiliki kebebasan
penuh untuk memilih atau tidak memilih dari alternatif yang ada.
Profil Para Komisioner
Memang undang-undang tidak mengharuskan seorang komisioner KPK berlatar belakang
sarjana hukum. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mensyaratkan
komisioner KPK antara lain berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki
keahlian dan pengalaman sekurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan,
atau perbankan.
Namun, tentu ada alasan juga mengapa undang-undang mengutamakan mereka yang berlatar
belakang sarjana hukum. KPK sangat kental dengan nuansa penegakan hukum dengan
berbagai implikasi. Lazimnya, sosok yang terbiasa dengan “hiruk-pikuk” penegakan hukum
lebih cocok berada di KPK.
Dengan pertimbangan sendiri, Komisi III DPR RI telah memilih lima orang unsur pimpinan
KPK yaitu Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Laode Muhamad Syarif,
dan Saut Situmorang. Secara yuridis semata, tidak ada yang salah dengan pilihan anggota
DPR RI ini karena memang dalam kewenangan mereka.
Harapan pada KPK
Sejak berdiri KPK, harapan kepada lembaga ini semakin menguat. Pada 2015 saja publik
telah menyaksikan beberapa tindakan tegas KPK, termasuk terhadap pejabat daerah yang
mungkin sejak lama tidak terjangkau oleh aparat hukum di daerah. Semua unsur pimpinan
DPRD Kabupaten Musi Banyuasin (Sumatera Selatan) dan Bupati Pahri Azhari beserta
istrinya telah ditahan KPK. Malah sebelumnya sekretaris jenderal partai NasDem tinggal
menunggu vonis.
Ada beberapa harapan besar kepada KPK pada 2016 ini. Pertama, kemampuan lembaga ini
menuntaskan berbagai kasus besar yang belum sempat dibawa ke pengadilan oleh komisioner
23
periode lalu. Publik masih menunggu di antaranya kelanjutan kasus BLBI dan EKTP yang
cukup menghebohkan dan mengundang ekspektasi publik yang tinggi atas penuntasannya.
Selain itu, publik juga sangat berharap KPK mampu membersihkan lembaga-lembaga hukum
dari praktik KKN. Sungguh pun masih saja sebagian menyatakan bahwa yang korup itu
hanya beberapa oknum hukum, bukan lembaganya. Namun, tetap saja kepercayaan publik
terhadap lembaga hukum tergolong rendah. Mestinya KPK memiliki nyali melakukan
penindakan terhadap para koruptor yang terus bergentayangan dan mungkin berseragam
aparat hukum.
Harapan publik lainnya terhadap KPK adalah peningkatan kemampuan melakukan
penindakan. Bagi publik justru kekhasan KPK adalah langkah penindakannya yang menonjol
ketimbang langkah pencegahan. Biarlah soal pencegahan menjadi prioritas lembaga-lembaga
lain saja. Korupsi di Indonesia memang sudah sangat keterlaluan. Langkah-langkah
penindakan yang tegas dan keras selama ini belum menimbulkan efek jera. Buktinya, praktik
KKN masih saja merata. Sepertinya tidak ada kata “jera” dalam kamus para pelaku KKN
tersebut. Atas alasan-alasan itulah, mengapa publik sangat mendambakan sosok anggota KPK
yang berani, profesional, dan lepas dari tekanan pihak mana pun.
Kini lima orang komisioner KPK yang baru telah dilantik oleh Presiden. Kita tidak pada
posisi dapat membatalkan proses yang sudah dilalui ini. Sekecewa apa pun publik, tapi yang
pasti tidak ada pelanggaran yuridis oleh DPR RI dalam proses seleksi itu karena memang
kewenangan memilih itu ada pada mereka. Terlalu dini jika meragukan lima komisioner KPK
yang baru.
Saya meyakini apabila pengawasan publik ketat bersama media yang profesional dan fokus
terhadap pemberantasan korupsi, lima komisioner KPK itu pada posisi harus bekerja secara
profesional. Mereka harus legawa menerima kritik publik yang menjelma dalam berbagai
rupa. Dalam soal pemberantasan korupsi ini, pada 2015 dan di masa-masa mendatang
harapan publik tetap tinggi kepada KPK.
PROF AMZULIAN RIFAI PhD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
24
Mimpi Demokrasi Gus Dur
30-12-2015
Telah enam tahun, sejak wafat pada 30 Desember 2009, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
meninggalkan kita. Di Haul Ke-6 ini, perlu kiranya kita menengok kembali mimpi beliau
akan republik ini terutama dalam konteks demokratisasi.
Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah pejuang demokrasi. Tidak hanya dalam pembelaan
atas minoritas beragama dan ideologi, tetapi juga emansipasi atas ketertindasan mayoritas
rakyat. Meminjam Carol C Gould, kontur demokrasi Gus Dur berada di titik seimbang antara
demokrasi politik dan demokrasi sosial. Inilah yang ia maksud dengan demokratisasi politik
menuju struktur masyarakat berkeadilan. Artinya, terwujudnya kebebasan dan partisipasi
politik menjadi syarat bagi terpenuhinya hajat hidup rakyat.
Maka tak heran jika Gus Dur menempatkan tiga nilai; syura (demokrasi), ‘adalah (keadilan),
dan musawah (persamaan) sebagai pandangan dunia (Weltanschauung) Islam. Ini berarti
Islam adalah agama demokratik yang menyerukan keadilan sosial dan persamaan hak warga
negara di hadapan hukum. Semua pemikiran dan perjuangannya bersumber dari pandangan-
dunia ini.
Dalam konteks ini terdapat tiga poin besar gagasan demokrasi Gus Dur. Pertama, demokrasi
harus ditegakkan melalui kedaulatan hukum. Inilah yang membuatnya selaku ketua Pokja
Forum Demokrasi (Fordem) menggagas perlunya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai
peradilan banding konstitusi. Ide ini sudah ia lontarkan pada 1992, jauh sebelum MK berdiri
(Wahid, 1992: 5).
Sebagaimana fungsi MK sekarang, Gus Dur saat itu menegaskan perlunya pendampingan
atas rakyat dalam menghadapi undang-undang (UU) yang mencederai keadilan dan prinsip
UUD 1945. Dalam kaca mata Jurgen Habermas, pandangan seperti ini menandai mimpi akan
tegaknya negara hukum, di mana konstitusi menjadi “engsel” penyambung keterpisahan
negara dan dunia kehidupan (Lebenswelt). Artinya, dengan mengajukan judicial review atas
UU kontra rakyat melalui MK, masyarakat politik Indonesia sedang menuju penguatan
negara hukum demokratik.
Kedua, sebagai sistem politik, demokrasi merupakan “wasit ideologi” yang adil. Ia tidak
hanya memberikan jalan bagi “Islam formalis” untuk berkontestasi dalam pemilu, namun
juga memberikan rasa aman bagi kaum sekuler dan moderat karena semua ideologi harus
disaring melalui pemilu. Kemenangan sebuah ideologi tidak ditentukan melalui revolusi,
melainkan kemampuannya memenangkan hati rakyat (Wahid, 1987:3).
25
Ketiga, karena fokus pada pengembangan struktur politik berkeadilan, pandangan Islam
demokratik Gus Dur terbebas dari sekularisasi dan integrasi (penyatuan agama dan negara).
Dalam hal ini, pemikirannya lebih dekat dengan tradisi republikanisme daripada liberalisme.
Meskipun tak sepakat dengan pendirian negara Islam di Indonesia (dan sepakat jika didirikan
di Timur Tengah), solusinya bukanlah sekularisasi, melainkan perwujudan hakikat politik
Islam melalui demokrasi. Pada titik ini, Gus Dur menekankan hakikat politik Islam yang
bersumber dari tiga nilai Weltanschauung Islam di atas, dalam perjuangan Islam dan
politiknya.
Maka itu, Gus Dur tak memerlukan negara Islam karena bahkan atas negara-bangsa (nation-
state) sendiri, hakikat politik itu harus diperjuangkan. Artinya, yang terpenting dari politik
Islam adalah mewujudkan hakikat politik, bukan formalisasi hukum Islam melalui negara. Ini
selaras dengan pandangan republikan yang menempatkan kebaikan bersama (res publica)
sebagai hakikat politik yang harus diwujudkan melalui demokrasi partisipatoris.
Dalam konteks ini kita melihat bahwa Gus Dur memang setuju dengan pemisahan agama dari
negara, tetapi menolak perceraian Islam dari politik. Hanya, meskipun tak sepakat dengan
negara Islam, Gus Dur tetap mengamini penegakan syariah dalam naungan NKRI. Penegakan
itu dilakukan melalui; (1) penerapan partikel hukum Islam (waris, nikah, wakaf, dan haji)
dalam kerangka hukum nasional; (2) menjadikan syariah sebagai etika sosial di masyarakat
(Wahid, 1982: 6). Maka itu, perjuangan Islam demokratiknya merupakan penegakan etika
sosial Islam yang mengarah pada pemenuhan hak-hak dasar manusia.
Relevansi Pemikiran
Lalu, apa relevansi gagasan Gus Dur ini? Tentu ia bermimpi bahwa politik kita tak lagi
terjebak dalam “demokrasi seolah-olah” sebagaimana dialaminya di masa Orde Baru. Sebuah
praktik manipulatif, di mana demokrasi hanya ditandai oleh keberadaan lembaga-lembaga
negara, namun raib sebagai kualitas kehidupan politik. Faktanya, Gus Dur sudah
mewujudkan mimpinya itu, melalui pemenuhan hak sipil dan politik rakyat ketika menjabat
presiden ke-4 RI. Penegakan supremasi sipil, pengembalian TNI ke barak, penghapusan
Bakorstanas, Litsus, serta Departemen Penerangan adalah upayanya agar masyarakat sipil
menikmati kebebasan berserikat dan berpendapat dalam demokrasi tak seolah-olah.
Hanya, mimpinya akan struktur masyarakat berkeadilan belum juga menjadi ujung dari
praktik demokrasi. Hal ini terjadi karena kita mengalami pergeseran kesemuan demokrasi,
dari “kesemuan institusional”, menuju “kesemuan prosedural”. Artinya, ketika kita telah
menikmati institusi dan prosedur politik demokratis, kita masuk dalam jebakan “kesemuan
prosedural” karena tujuan demokrasi dibajak oleh para pengguna prosedur tersebut.
Dalam konteks ini, kita perlu menjadikan definisi demokrasi Gus Dur sebagai batasan utama
demokrasi. Artinya, sejauh struktur masyarakat berkeadilan belum terbentuk, sejauh itu pula
demokrasi belum ditegakkan, meskipun segenap prosedurnya telah dilaksanakan. Pada titik
26
inilah umat Islam perlu bersatu untuk mewujudkan tujuan utama demokrasi. Hanya, menurut
Gus Dur, selama kaum muslim belum beranjak dari “relativisme kelompok” menuju
perjuangan kemanusiaan universal, selama itu pula agama lebih menjadi hambatan daripada
pendorong demokratisasi.
Diperlukan kesadaran untuk mendudukkan Islam “satu meja” dengan demokrasi demi
pemuliaan harkat manusia yang telah ditegaskan Alquran yang suci (17:70).
SYAIFUL ARIF
Dosen Mata Kuliah Pemikiran Gus Dur, Pascasarjana STAINU Jakarta
27
Jokowi dan Pemberantasan Korupsi
31-12-2015
Tahun 2015 adalah tahun yang berat bagi pemberantasan korupsi. Tahun yang membuat
publik khawatir akan masa depan agenda pemberantasan korupsi; semakin gencar atau tutup
buku.
Beragam serangan yang sporadis dan sistematis untuk mengerdilkan sepak terjang KPK dan
pemberantasan korupsi terus dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan eksisnya
agenda pemberantasan korupsi. Mulai dari kriminalisasi terhadap pimpinan dan staf KPK
serta pegiat-pegiat antikorupsi, sampai pada ancaman membubarkan KPK atau paling tidak
melemahkan institusi tersebut melalui revisi undang-undang.
Ironinya, hal ini terjadi di tahun awal pemerintahan yang katanya menjunjung tinggi gagasan
anti-korupsi. Pemerintah terlihat gagap dalam melindungi agenda pemberantasan korupsi.
Padahal, publik masih belum lupa janji politik Presiden Jokowi yang akan berpihak pada
pemberantasan korupsi.
Arah Kebijakan
Hingga saat ini belum terlihat jelas arah kebijakan anti-korupsi yang diusung Presiden
Jokowi. Belum ada hal baru, apalagi yang mampu berefek kejut. Inisiatif kebijakan anti-
korupsi sangat minim.
Sejauh ini Presiden hanya menerbitkan satu kebijakan yang terkait langsung dengan upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Yaitu Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun
2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2015. Inpres ini berisi
perintah kepada kementerian/lembaga pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat
program-program yang mendukung pencegahan korupsi, terutama di bidang pengadaan
barang dan jasa.
Namun, patut dicatat bahwa inpres ini adalah kebijakan yang seolah sudah menjadi tradisi di
setiap rezim pemerintahan. Seakan sudah menjadi rutinitas. Setiap tahun pemerintah
menerbitkan inpres khusus tersebut. Tradisi ini merupakan inisiatif Presiden SBY. Kala itu
SBY menerbitkan Inpres Nomor 5 tahun 2004 tentang Upaya Percepatan Pemberantasan
Korupsi. Kemudian, dilanjutkan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2012
tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang dan
Menengah. Lalu setiap tahun, SBY menerbitkan inpres yang berisi program aksi anti-korupsi
di pemerintahan.
28
Inpres yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi adalah melanjutkan tradisi yang sudah dimulai
oleh SBY. Isinya hampir sama. Tidak ada hal baru. Namun, patut dicatat bahwa telah banyak
kritik atas efektivitas program-program anti-korupsi itu. Program yang dijalankan masih
terasa sangat formalistis demi memenuhi kewajiban administrasi. Masih banyak aspek
substansi persoalan yang tidak disentuh. Akibatnya, korupsi masih tumbuh subur di
birokrasi. Bahkan, pengalaman telah membuktikan bahwa ada banyak instruksi presiden yang
diabaikan oleh jajaran birokrasi di kementerian dan pemerintah daerah.
Tantangan bagi Presiden Jokowi adalah menunjukkan orisinalitas gagasannya dalam hal
pemberantasan korupsi. Publik memilih Jokowi pada pemilihan presiden tahun lalu karena
berharap Jokowi akan mengusung gagasan orisinal yang berbeda dan lebih ampuh dari rezim
pemerintahan sebelumnya. Inilah yang ditunggu publik.
Namun jujur harus diakui, Jokowi belum bisa memenuhi janjinya. Tahun 2015 berlalu tanpa
ada inisiatif kebijakan anti-korupsi yang ampuh. Presiden Jokowi terlihat masih belum serius
mengurusi soal pemberantasan korupsi atau terkesan menghindar. Boleh jadi karena dua
alasan.
Pertama, karena Presiden disibukkan dengan persoalan ekonomi yang melilit dan gaduh
politik yang tak kunjung berhenti. Atau kedua, karena ketidakberanian Presiden untuk masuk
dalam zona perang melawan korupsi sebab boleh jadi akan berhadapan dengan kongsi
politiknya sendiri.
Komitmen dan Bernyali
Perang melawan korupsi harus dipimpin oleh panglima perang yang tegas dan bernyali.
Dibutuhkan komitmen kuat, kebijakan dan aksi nyata serta nyali untuk mengeksekusinya.
Oleh karena, korupsi berkaitan erat dengan kekuatan politik dan jaringan
kekuasaan. Komitmen dan kebijakan akan sulit dijalankan jika Presiden tidak berani
menerobos hambatan politis.
John St. Quah dalam bukunya Curbing Corruption in Asia (2006) mencatat, keberanian
presiden menjadi faktor penentu keberhasilan pemberantasan korupsi. Meneliti
pemberantasan korupsi di Asia (Mongolia, India, Filipina, Singapura, Hong Kong, dan Korea
Selatan), Quah menyimpulkan bahwa gagalnya pemberantasan korupsi di beberapa negara di
Asia, seperti Filipina, disebabkan lemahnya keberanian presiden untuk menindak pejabat dan
elite politik yang berada dalam lingkaran kekuasaannya.
Pendapat Quah ini diamini oleh Robert Klitgaard (2008) yang menempatkan keberanian
mengeksekusi program pemberantasan korupsi sebagai kunci sukses memberantas korupsi.
Undang-undang anti-korupsi dan badan khusus anti-korupsi tidaklah cukup menjamin
efektivitas pemberantasan korupsi.
Quah mencontohkan kegagalan pemberantasan korupsi pada masa pemerintahan Presiden
29
Corazon Aquino di Filipina. Walaupun Filipina pada waktu itu memiliki seperangkat UU dan
badan anti-korupsi, upaya pemberantasan korupsi tidak efektif karena absennya komitmen
politik dan keberanian untuk menghukum orang-orang yang berada di lingkaran
kekuasaannya.
Persoalan yang sama dengan pengalaman Filipina juga dihadapi Indonesia. Salah satu
hambatan utama upaya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini adalah lemahnya
dukungan politik dan keberanian Presiden. Setidaknya terlihat dari kegaduhan penegakan
hukum di tahun 2015. Hal inilah yang membuat koruptor kian bebas dalam melakukan
serangan balik terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Absennya sikap tegas Presiden bisa dengan mudah membunuh setiap upaya penegakan
hukum anti-korupsi. Presiden Jokowi harus sadar bahwa sebagai kepala negara dan
pemerintahan, kekuasaannya sangatlah besar. Kepercayaan rakyat pada Presiden juga masih
tinggi. Hal itu mestinya dimanfaatkan untuk mewujudkan gagasannya agar terciptanya
pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Tugas itu jangan didelegasikan kepada pihak lain. Harus dipimpin langsung oleh Presiden.
Sebab, tanpa dukungan dan nyali Presiden, maka kembali kita hanya akan diperdengarkan
senandung sunyi nan sedih, elegi pemberantasan korupsi di tahun-tahun mendatang.
OCE MADRIL
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas
Hukum UGM
30
RUU Pemilu Berdasar Vonis MK
02-01-2016
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) Tahun
2019, baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden/wapres (pilpres), sangatlah
penting untuk dimulai pada 2016 ini.
Ada sekurang-kurangnya dua alasan untuk melakukan itu. Pertama, berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2008, pileg kita sejak 2009 menggunakan
sistem proporsional dengan penetapan caleg terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak.
Persoalannya, apakah sistem pileg kita perlu kembali ke sistem proporsional dengan
penetapan caleg terpilih berdasar nomor urut ataukah berdasar urutan suara
terbanyak? Apakah betul MK mewajibkan penggunaan sistem proporsional berdasar urutan
suara terbanyak?
Kedua, berdasarkan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, Pileg dan Pilpres 2019 harus
dilaksanakan secara serentak pada hari yang sama. Persoalannya, bagaimana mekanisme
pencalonan dan persyaratan pengajuan pasangan capres/cawapres?
Persoalan sistem pileg memang perlu dievaluasi kembali karena cara penetapan caleg terpilih
dengan urutan suara tersebut pada Pemilu 2009 dan 2014 ternyata menimbulkan banyak
masalah serius. Di lapangan banyak terjadi kecurangan-kecurangan. Suara-suara calon yang
tak terpilih banyak ditawarkan dan dijual melalui petugas di tingkat bawah.
Banyak juga terjadi saling bantai antarcalon dalam satu partai yang sama, bahkan kader-kader
ideologis parpol yang sudah lama mengabdi kepada parpol dengan serius harus terlempar
karena kalah dengan figur-figur tamu yang lebih populer dan banyak uang. Melihat
pengalaman buruk itu, banyak yang kemudian mempersoalkan sistem penentuan caleg
terpilih dengan urutan suara terbanyak.
Apakah jika kembali ke sistem nomor urut bertentangan dengan putusan MK? Banyak yang
salah memahami vonis MK, mengira bahwa MK mewajibkan penggunaan sistem urutan
suara terbanyak. Itu jelas salah. MK tidak pernah mewajibkan pemberlakuan sistem urutan
suara terbanyak karena dua hal. Pertama, kalau soal sistem pemilu, apakah akan
menggunakan sistem distrik atau sistem proporsional, sistem proporsional terbuka atau sistem
proporsional tertutup, semua itu adalah konstitusional. Di seluruh dunia, sistem apa pun yang
ditetapkan UU dari pilihan sistem yang tersedia adalah konstitusional.
31
Kedua, yang memberlakukan sistem dengan urutan suara terbanyak adalah DPR dan
pemerintah sendiri melalui UU No. 10 Tahun 2008 yang kemudian diuji ke MK. Melalui
putusan No. 22-24/PUU-VI/2008, MK hanya mencoret ambang batas 30% dari bilangan
pemilih pembagi (BPP) sebagai ambang dimulainya penetapan dengan urutan suara
terbanyak. Tepatnya, Pasal 214 Butir c.d.e UU No. 10 Tahun 2008 menetapkan bahwa caleg
terpilih ditetapkan berdasar urutan suara terbanyak di antara para caleg yang mendapat
dukungan suara minimal 30% dari BPP.
MK hanya mencoret (membatalkan) ketentuan atau syarat ”di antara para caleg yang
mendapat dukungan suara minimal 30% dari BPP” karena hal itu tidak adil terhadap para
caleg maupun terhadap para pemilih. Kalau misalnya di suatu daerah pemilihan (dapil)
Supardjo yang terdaftar di nomor urut 1 mendapat dukungan 2.500 suara, sedangkan Sulastri
mendapat dukungan 8.900 suara dan BPP di dapil tersebut 30.000, maka dengan ambang BPP
30% caleg terpilih adalah Supardjo. Sebab meskipun Sulastri mendapat suara terbanyak,
raihannya tidak mencapai 30% dari BPP, yakni sebesar 9.000 suara. Itu tidak adil bagi caleg
maupun bagi pemilih.
MK bukan mewajibkan berlakunya sistem urutan suara terbanyak, melainkan mencoret syarat
ambang pemberlakuannya, yakni 30% dari BPP. Jadi jika sistem itu akan diubah lagi menjadi
sistem proporsional tertutup atau berdasarkan nomor urut, itu pun konstitusional. Sistem apa
pun, sistem nomor urut atau sistem urutan suara terbanyak, bahkan sistem distrik sekalipun
adalah sama-sama konstitusional sepanjang ditentukan lembaga legislatif.
Adapun mengenai pencalonan pasangan presiden/wapres yang harus dipilih secara serentak
bersama dengan calon-calon anggota legislatif, hal itu juga harus segera dibahas mekanisme
dan syarat-syaratnya. MK sendiri dalam putusannya tidak menegaskan bahwa semua parpol
peserta pemilu langsung mengajukan pasangan capres/cawapres, melainkan hanya menyebut
pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak.
Syarat-syarat parpol yang boleh mengajukan pasangan capres/cawapres itu masih
menimbulkan beragam tafsir. Banyak yang mengatakan, semua parpol yang memenuhi syarat
untuk ikut pemilu langsung memenuhi syarat pula untuk mengajukan pasangan
capres/cawapres. Tapi ada pula pendapat, pasangan capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh
parpol yang sudah pernah ikut pemilu dan mempunyai kursi di DPR berdasar hasil Pemilu
2014.
Yang lain mengatakan bahwa pasangan capres/cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan
parpol yang mempunyai kursi di DPR hasil Pemilu 2014 dengan threshold 20%. Ada juga
yang mengusulkan, parpol yang boleh mengajukan pasangan capres/cawapres adalah parpol
yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 2019, tetapi sudah berbadan hukum sebagai parpol
sekurang-kurangnya 5 tahun.
Jadi sangat penting RUU Pemilu 2019 sudah diselesaikan pada 2016. Pentingnya agar kalau
ada yang akan menguji konstitusionalitasnya ke MK, minimal untuk masalah-masalah yang
32
penting sudah bisa dilakukan sejak 2017 dan diputus sebelum pendaftaran caleg dan
pasangan capres/cawapres pada sekitar November 2018.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
33
Etika dan Hukum
04-01-2016
Salah satu fenomena menarik di tahun 2015 yang baru saja kita tinggalkan adalah
menguatnya perhatian dan tuntutan publik terhadap standar dan penegakan etika pejabat
publik.
Kesadaran tentang pentingnya etika dan penegakannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sesungguhnya telah ada sejak reformasi bergulir. Hal itu setidaknya
dapat dilihat dari pembentukan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Bernegara. Selainitu, sejak reformasi juga telah banyak dibentuk undang-undang
yang mewajibkan adanya standar etika bagi profesi atau jabatan publik tertentu. Bahkan, dari
sisi institusi juga telah terbentuk dan bekerja berbagai lembaga pengawas dan penegak etika,
antara lain Komisi Yudisial, Dewan Etik Hakim Konstitusi, Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu, dan Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada 2015 perhatian terhadap etika semakin kuat karena terjadinya beberapa kasus
pelanggaran kepatutan oleh pejabat publik yang menjadi sorotan masyarakat. Kasus-kasus itu
tidak selalu dilihat dalam perspektif hukum, namun juga disorot sebagai pelanggaran etika
dan kepatutan sehingga dapat saja terjadi suatu tindakan tidak termasuk dalam kategori
tindakan pelanggaran hukum, namun telah melanggar etika.
Semakin kuatnya etika sebagai pedoman sikap dan perilaku juga ditunjukkan oleh dua
pejabat publik setingkat direktur jenderal, yaitu Dirjen Pajak dan Dirjen Perhubungan Darat,
yang mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban etik karena merasa gagal
mengemban tugas yang diemban. Namun, masih ada sebagian pejabat dan kalangan yang
melakukan upaya pembelaan justru dengan menggunakan alasan hukum. Doktrin supremasi
hukum dijadikan sebagai dasar untuk menolak tanggung jawab etik yang harus dijalankan.
Hukum ditempatkan sebagai satu-satunya institusi sosial yang menentukan ada-tidaknya
kesalahan serta satu-satunya dasar pertanggungjawaban dan penjatuhan sanksi.
Hal ini seolah menimbulkan pertentangan antara etika dan hukum. Bahkan, pada saat terdapat
putusan yang bertentangan dapat menggerus legitimasi etik dari ketentuan hukum yang akan
semakin memperkecil ketidakpercayaan publik kepada hukum.
Antara Etika dan Hukum
Etika dan hukum tidak mungkin saling bertentangan. Prinsip ini dapat dilacak secara
genealogis dari sisi filsafat. Keduanya merupakan pedoman perilaku manusia sekaligus
34
instrumen sosial untuk mewujudkan tertib kehidupan bermasyarakat yang lahir dari
pemikiran dasar tentang manusia dan kemanusiaan. Sebagai pedoman perilaku, etika
bersumber dari ajaran-ajaran tentang kebenaran dan standar perilaku manusia yang benar.
Dari sinilah lahir etika yang merupakan filsafat perilaku manusia.
Sebagai cabang dari filsafat, tentu saja isi dari filsafat perilaku bersifat sangat abstrak dan
subjektif. Untuk menjadikan pedoman perilaku, etika dapat dijadikan sebagai instrumen
kontrol dalam membentuk kehidupan tertib sosial. Etika diturunkan menjadi norma hukum
yang dipositifkan dalam peraturan perundang-undangan. Penormaan dan pemositifan
dilakukan dengan tujuan dapat terumuskan kaidah yang penegakannya dapat dilakukan secara
objektif sehingga dapat menjadi ukuran oleh semua orang.
Mengingat hukum diturunkan dari etika, maka dapat dipastikan bahwa semua pelanggaran
hukum adalah pelanggaran etika. Sebaliknya, karena tidak semua kategori perilaku yang
benar dapat diformulasikan dalam unsur perilaku yang objektif, tidak semua pelanggaran
etika adalah pelanggaran hukum. Etika lebih melihat pada motif, kehati-hatian, dan kepatutan
yang sudah seharusnya menjadi pertimbangan pilihan tindakan, apalagi bagi pejabat publik.
Keberadaan hukum tidak menghilangkan fungsi etika sebagai pedoman perilaku dan
instrumen kontrol sosial. Bahkan dalam perkembangannya etika semakin dibutuhkan untuk
meringankan kerja hukum, yaitu untuk mencegah dan sebagai deteksi dini adanya potensi
pelanggaran hukum.
Dari perspektif ini, penegakan etika, khususnya untuk profesi atau jabatan publik, tidak lagi
dapat ditinggalkan sebagai urusan internal profesi atau jabatan publik tertentu. Tanpa adanya
pelembagaan penegakan etika, hubungan dan tindakan profesi dan jabatan yang semakin
kompleks tidak mungkin dapat dikontrol dari sisi etik.
Pelembagaan Penegakan Etika
Karena itu, kita membutuhkan peningkatan pelembagaan penegakan etika untuk mendukung
penegakan hukum. Setidaknya ada empat bentuk pelembagaan penegakan etika yang
diperlukan. Pertama, walaupun etika bersifat abstrak dan subjektif dalam bentuk kategori
perilaku yang dianggap benar, namun saat ini diperlukan penormaan etika dalam bentuk kode
perilaku yang memungkinkan menjadi acuan bagi pelaku maupun institusi penegak etika.
Tentu saja penormaan ini berbeda dengan norma hukum yang bersifat formal dan
tertutup. Kode perilaku disusun dalam bentuk prinsip atau nilai yang harus dipedomani
disertai dengan uraian perilaku yang harus dilakukan sebagai wujud dari prinsip atau nilai itu.
Pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku tidak ditentukan semata-mata oleh apakah suatu
tindakan memenuhi unsur perilaku yang ditentukan, tetapi oleh penilaian wajar apakah suatu
tindakan sesuai atau merugikan dan bertentangan dengan prinsip atau nilai yang ditentukan.
Kedua, sifat abstrak dan subjektif dari etika dan kode perilaku memberikan peran besar
35
terhadap siapa pun yang bertugas sebagai anggota lembaga penegak etika. Anggota lembaga
penegak etika berbeda dengan penegak hukum yang spesifik harus memiliki latar belakang
pendidikan hukum. Anggota lembaga penegak etika dapat berasal dari latar belakang
pendidikan apa pun, asal memiliki legitimasi etik yang tinggi. Legitimasi ini tidak hanya
dibuktikan dengan putusan formal tidak pernah melakukan pelanggaran etik dan pelanggaran
hukum, tetapi dari keseluruhan perjalanan hidup yang diakui oleh masyarakat.
Ketiga, agar dapat memilih figur yang benar-benar memiliki legitimasi etik tinggi dan tidak
mudah diintervensi, lembaga penegak etika harus dibentuk sejak awal sebelum suatu dugaan
pelanggaran etika terjadi. Artinya, lembaga ini bersifat tetap. Keanggotaan tidak boleh
ditutup hanya dari internal suatu profesi atau jabatan tertentu karena dapat terpeleset menjadi
lembaga melindungi rekan sejawat. Keanggotaan hanya dari internal juga mengingkari
pandangan bahwa anggota lembaga penegak etika harus memiliki legitimasi etik yang tinggi
terlepas dari latar belakang pendidikan dan profesi.
Keempat, keberadaan lembaga penegak etika hanya akan efektif apabila putusannya dipatuhi.
Karena itu, putusan lembaga penegak etika harus bersifat final dan mengikat. Putusan
lembaga penegak etika bukan merupakan putusan tata usaha negara yang dapat diajukan
upaya hukum. Putusan lembaga penegak etika juga berbeda dengan putusan pengadilan
karena hanya dapat menjatuhkan sanksi maksimal pemberhentian.
Dengan sendirinya terhadap suatu tindakan yang telah diputus oleh lembaga penegak etika,
tetap dapat diproses secara hukum. Bahkan ketika putusan hukum menyatakan tidak bersalah,
tidak mengganggu putusan lembaga penegak etika karena, sekali lagi, pelanggaran etika tidak
sama dengan pelanggaran hukum.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
36
Hukum di Tahun 2016
05-01-2016
Tahun 2015 berlalu sudah, dan fajar pagi pada Jumat lalu, mengawali tahun 2016,
menggantikan tahun 2015 yang telah berlalu itu.
Ada yang sungguh-sungguh berlalu, dan ada pula yang, seperti telah menjadi hukum besi tata
negara, masih memerlukan sentuhan lanjutan, entah lembut atau kasar, pemerintah. Itu bukan
lantaran, terdapat serangkaian soal pada tahun 2015 yang belum tuntas diurusi pemerintah,
tetapi begitulah pakem tata negara mutakhir. Pemerintahlah satu-satunya organ pemegang
otoritas penegakan hukum. Bagaimana otoritas itu digunakan, itulah soalnya.
Itu menjadi soal, karena sejarah pemerintahan dunia menorehkan kenyataan, setidaknya
menurut pengakuan elegan Woodrow Wilson, presiden Amerika Serikat pada Perang Dunia I,
bahwa ia tidak cukup mandiri mengambil keputusan. Selalu ada kelompok kecil, tentu
dominan, yang tak bisa diabaikan pengaruhnya, untuk tak mengatakan kemauannya.
Prinsip
Menegakkan hukum, tentu dalam langgam demokrasi, tidak sama nilainya dengan
melaksanakan hukum. Menegakkan hukum, karena makna intrinsiknya berakar dalam sejarah
sebuah bangsa, bernilai hukum dilaksanakan atas dasar nilai-nilai intrinsiknya. Dasar
intrinsik, tentu filosofis, memunculkan tuntutan agar hukum dilaksanakan oleh orang baik,
dengan cara yang baik pula.
Orang baik itu, dalam konteks ini, tidak lain adalah mereka yang tidak mengada-ada, yang
tidak memiliki kebencian atau sayang dalam melaksanakan hukum. Memayungkan nilai
intrinsik filosofis itu dalam medan hukum, disebabkan cara itu dianggap akan menghasilkan
tatanan hukum, yang di dalamnya nilai-nilai kultural kesamaan antarsesama manusia, sebagai
makhluk mulia, menemukan makna alamiah sejatinya.
Untuk memuliakan harkat dan martabat setiap orang itulah, hukum diperlukan, dan itu
pulalah sebabnya kemanusiaan setiap orang terusik kala hukum dipakai menjadi alat
penghisap keuntungan, apa pun bentuk keuntungan itu. Hukum, dalam aksioma itu, tidak
bisa, dan juga tidak pernah sah untuk digunakan sebagai sarana menghina, juga merendahkan
martabat setiap orang, siapa pun orang itu, dan apa pun beratnya pelanggaran hukum yang
dibuatnya.
Hukumlah seseorang, karena hukum memerintahkan pengenaan hukuman itu, dan bebaskan
37
siapa pun orang itu, betapa pun dia tak disukai di tengah masyarakat. Itulah aksiomanya.
Aksioma itu, di dalamnya tertanam mimpi untuk tak lagi memberi napas terhadap tindak-
tanduk tiranis. Mengagungkan manusia, karena mereka adalah manusia, adalah intisari
aksioma itu, dan itulah intisari otonomi manusia, pangkal intisari demokrasi, yang dalam
tampilan praktisnya dikerangkakan ke dalam hukum.
Karena itulah, maka memahami hukum, akan dianggap sekadar mengerti kulit hukum, bila
yang dipahami itu hanyalah teks, bukan nilai intrinsiknya. Mengandalkan interpretasi atas
teks hukum, jujur, tidak salah, tetapi sungguh terlampau jauh dari yang seharusnya.
Merangkaikan setiap teks dengan asal-usulnya, sembari menempatkan demokrasi di jantung
asal-usul lahirnya teks itu, memang bukan perkara keharusan takwil, tetapi tanpa itu,
interpretasi laksana membaringkan badan di bibir lautan, dan berenang menjadi sesuatu yang
mustahil. Berhukum bukanlah berteks ria, melainkan mencari, menemukan dan
mendemonstrasikan nilai intrinsiknya.
Harapan
Mengurusi Partai Golkar dan PPP sejak awal 2015 hingga tahun itu pergi, begitu juga dengan
urusan pencalonan kepala Kepolisian Republik Indonesia, sungguh, sebagaimana syair
sebuah lagu Koes Plus, terlalu indah untuk dilupakan, dan terlalu sedih untuk dikenang. Sama
dengan kedua kasus itu, hukum pergantian Kabareskrim, Pak Budi Waseso, jenderal bintang
tiga, yang tegas itu, jujur, terasa menyayat prinsip negara hukum demokratis.
Sedih, pilu dan pahit semua itu, betapa pun hebatnya, tidak bisa menghanguskan kenyataan
adanya gelombang gairah pemerintah mengurus pembangunan infrastruktur, moneter, serta
penciptaan lingkungan ekonomi yang memiliki daya tarik, dan kehidupan desa, termasuk
pertanian. Sayangnya, kala perlakuan pemerintah terhadap PT Freeport Indonesia, tentu di
pengujung 2015 yang menghebohkan itu, melintasi medan renungan, gelombang gairah itu
tak cukup ampuh menghilangkan rasa pilu.
Demokrasi yang mengharu biru, nyatanya tak cukup bertenaga melahirkan hukum yang
berdedikasi pada keadilan. Haru biru demokrasi, tidak di sini, tidak juga di sana, dalam
banyak hal, turut menghasilkan hukum yang melembagakan mimpi-mimpi, acap kotor, di
dalamnya. Hukum, sekalipun dalam konteks itu, menjadi alat paling universal, masuk akal,
logis, dalam memproduksi hak, wewenang, termasuk cara mengalokasikan atau
mendistribusikan hak dan wewenang itu, kepada mereka yang jatuh hati padanya.
Atur siapa yang diberi hak, maka hak itu memiliki kualifikasi spesifik, dan terbatas
jangkauannya. Hanya orang atau kelompok yang dinyatakan dalam hukum itu saja yang
memiliki kapasitas sebagai orang atau kelompok yang berhak atau yang berwenang. Hukum
dan wewenang, begitulah cara pandang hukum universal adanya dalam hukum. Bikinlah
hukumnya, dan aturlah apa yang hendak diatur, tentukan siapa pemegang wewenang, maka
semua soal hukum dari tindakan yang akan dan telah diambil pun jadi bersih.
38
Rencana pemerintah memungut dari warga negara pengguna premium dan solar, demi,
katanya, ketahanan energi nasional, mungkin tak dirangsang dengan cara pandang itu. Tetapi
hukum, tak mungkin tak diandalkan untuk tujuan itu. Hukum yang akan diciptakan, kelak
akan menjadi dasar pembentukan sebuah organ, entah apa namanya, yang memegang
wewenang pengelolaan dana, katanya ketahanan energi itu. Siapa yang meragukan validitas
pungutan dan wewenang pembentukan badan itu, pergilah ke pengadilan, mengujinya. Beres.
Wajah hukum, kata para filosof, tidak lain adalah wajah peradaban, dan wajah peradaban
tidak lain adalah wajah pengagungan nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Betapa
pun sulitnya, karena aparatur hukum masih itu dan itu saja, tetapi marilah berharap semoga
tahun 2016 menjadi tahun hukum berwajah peradaban Indonesia.
Hukum berwajah peradaban tidak lain adalah hukum yang berperikeadilan dan
berperikemanusiaan. Hukum jenis ini, menuntut pemahaman yang utuh terhadap ketuhanan
yang maha esa, yang terpatri dalam Pancasila. Perikeadilan dan perikemanusiaan, tak
mungkin tak menjadi jantung keadilan sosial, yang dengannya, kesatuan politik dan
administrasi negara tercinta ini merebak indah dan menemukan elannya. Pancasila, tak
mungkin membenarkan hukum menjadi alat pemukul warga yang berbeda haluan mimpinya
di tahun 2016 ini. Semoga!
MARGARITO KAMIS
Doktor Tata Negara dan Dosen FH. Univ. Khairun Ternate
39
Golkar dan Kezaliman Pemerintah
05-01-2016
Cara pemerintah menyikapi persoalan Partai Golongan Karya (Golkar) sungguh tidak
bijaksana dan zalim.
Sikap itu sama sekali tidak bermuatan prinsip gentlemanship. Tampak jelas bahwa
pemerintah justru berpolitik dalam menyikapi persoalan legalitas kepengurusan Partai
Golkar. Politik keberpihakan pada sekelompok politisi yang jelas-jelas ilegal dalam struktur
Partai Golkar.
Tahun 2016 mungkin tidak beda dengan 2015 yang sarat gaduh. Sebab, masih di awal tahun
saja, pemerintah kembali menyulut gaduh. Alih-alih memadamkan bara konflik di tubuh
Partai Golkar, pemerintah justru membiarkan dan memperuncing pertikaian itu. Bukannya
menyelesaikan masalah dengan penuh kebijaksanaan, pemerintah justru meninggalkan
gelanggang persoalan dengan sikap yang sangat-sangat tidak bertanggung jawab. Padahal,
sebagai regulator, pemerintah berwenang dan punya kompetensi untuk menyelesaikan
persoalan. Akan tetapi, dengan penuh kesadaran dan terencana, pemerintah memang tidak
ingin menggunakan wewenang dan kompetensi itu.
Kepada publik, pemerintah ingin menunjukkan posisinya yang independen alias tidak
memihak. Sayang, dengan bersikap abstain seperti itu, pemerintah sebenarnya sedang
mempertontonkan perilaku konyol. Sebab, dengan mudah, publik pun bisa menerjemahkan
sikap abstain itu sebagai kegiatan pemerintah merekayasa sekaligus mengeskalasi persoalan
internal di tubuh Partai Golkar.
Dengan sikap abstain itu, posisi pemerintah bukannya independen, melainkan jelas-jelas
berpihak. Karena keberpihakan itulah pemerintah patut dituduh berpolitik dalam menyikapi
persoalan Golkar. Padahal, sudah ditegaskan sejak awal bahwa sekelompok politisi yang
mengklaim status mereka sebagai penyelenggara Musyawarah Nasional (Munas) Partai
Golkar di Ancol, Jakarta, itu adalah ilegal.
Pihak berwajib, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (Polri), sudah memiliki
sejumlah bukti berikut tersangka yang mempertegas dan membuktikan bahwa Munas di
Ancol itu ilegal. Karena ilegal, mereka tidak layak untuk disikapi, apalagi diakui sebagai
partai politik yang menggunakan simbol-simbol Partai Golkar. Akan tetapi, karena politik
keberpihakan, pemerintah memaksakan diri untuk mengakui sekelompok politisi ilegal di
tubuh Partai Golkar itu.
40
Inilah sumber persoalannya. Artinya, sumber persoalan internal Partai Golkar adalah
pemerintah sendiri. Pemerintah berpolitik guna memecah belah Golkar. Kalau pemerintah
ingin menghargai dan mengukuhkan kembali eksistensi Partai Golkar, tidak sulit untuk
menyelesaikan persoalannya. Dilandasi posisinya yang independen, pemerintah cukup
menggunakan wewenang dan kompetensi yang melekat pada Menteri Hukum dan HAM
untuk mengakui para pihak legal di tubuh Partai Golkar.
Sesederhana itu. Tapi, mekanisme dan proses yang demikian sederhana itu, dengan sengaja,
tidak dijalankan. Menteri Hukum dan HAM justru memilih mekanisme dan proses yang
rumit, karena serta-merta mengakui dan mengesahkan produk Munas Ancol yang ilegal itu.
Setelah pertarungan legal melalui proses hukum yang panjang, keberpihakan pemerintah
pada Munas Ancol dinyatakan salah oleh Mahkamah Agung (MA).
Pada 20 Oktober 2015, MA telah memerintahkan Menkumham untuk mencabut surat
keputusan (SK) Menkumham tentang pengesahan kepengurusan Partai Golkar produk Munas
Ancol itu. Lagi-lagi karena pemerintah berpolitik untuk melemahkan posisi Golkar, waktu 90
hari untuk membatalkan SK pengesahan itu tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya oleh
Menkumham. Padahal, sebagai tindak lanjut dari keputusan MA itu, Ketua Umum Partai
Golkar Aburizal Bakrie (ARB) telah meminta Menkumham segera menerbitkan SK
kepengurusan.
Namun, Menkumham tidak segera menerbitkan SK kepengurusan itu. Alasannya,
Kementerian Hukum dan HAM masih mengkaji persoalan Golkar. ARB sebenarnya pernah
meminta SK kepengurusan pada akhir 2014, namun ditolak Kemenkumham karena masih
berkonflik.
Alasan Menteri Hukum dan HAM jelas dibuat-buat. Kalau permintaan penyelenggara Munas
Ancol bisa direspons dengan cepat tanpa pengkajian terlebih dahulu, mengapa perintah MA
tidak dilaksanakan dengan segera? Beda penyikapan ini sudah menjadi bukti bahwa
pemerintah memang sedang merekayasa persoalan agar posisi Golkar terus melemah akibat
persoalan internal yang berkepanjangan.
Fakta Hukum
Rekayasa mengeskalasi persoalan itu menemukan momentumnya. Bukannya merespons
permintaan ARB, Menkumham malah melaksanakan perintah MA untuk membatalkan SK
Menkumham tentang pengesahan produk Munas Ancol. Menkumham mencabut SK
dimaksud pada 30 Desember 2015.
Pencabutan SK dimaksud tentu saja tidak bisa dipisahkan dari dokumen legal tentang
kepengurusan Partai Golkar oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) produk Munas Riau, tahun
2009. Dokumen itu menyebutkan bahwa masa kepengurusan Munas Riau berakhir pada 31
Desember 2015. Dari kronologi itu, modus pemerintah terbaca dengan jelas.
41
Munas Ancol tidak diakui sementara permintaan ARB pun tidak pernah direspons. Akhirnya,
muncullah persepsi bahwa Partai Golkar ilegal karena tidak ada dewan pengurus yang diakui
pemerintah. Dengan terbentuknya persepsi seperti itu, eskalasi persoalan internal di tubuh
Partai Golkar pun tak terhindarkan. Eskalasi itu setidaknya sudah tercermin dari perang kata-
kata antara pihak Munas Ancol versus Munas Bali.
Jelas bukan mengada-ada jika DPP Partai Golkar pimpinan ARB mempertanyakan penolakan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk mengesahkan kepengurusan Partai
Golkar hasil Munas Bali. Apalagi, Pengadilan Negeri Jakarta Utara sudah memutuskan
bahwa penyelenggaraan Munas Bali itu sah secara hukum. Seharusnya, tidak ada alasan bagi
pemerintah untuk tidak mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali yang
dipimpin ARB.
Dengan menolak mengesahkan hasil Munas Bali, sama artinya pemerintah sengaja
mempersulit legalitas kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali 2014-2019. Karena
legalitas kepengurusan terus dibiarkan bermasalah oleh pemerintah, kader Golkar berhak
untuk curiga bahwa pemerintah ingin menghancurkan partai berlambang pohon beringin ini
dengan cara memelihara konflik internal. Segenap kader Golkar di seluruh penjuru negeri
pasti akan melakukan perlawanan jika diperlakukan seperti itu.
Konsekuensi logis dari perlawanan kader Golkar adalah kegaduhan di panggung politik.
Jangan salahkan mereka, karena pemerintahlah yang menyulut kegaduhan itu. Sebelum
kegaduhan itu terjadi, pemerintah harus berhenti memusuhi Partai Golkar. Tidak ada yang
perlu ditakutkan dari partai ini. Sudah berulang kali ditegaskan bahwa Partai Golkar akan
selalu mengawal dan mengamankan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden
Jusuf Kalla sejalan dengan periode kepemimpinan mereka hingga 2019.
Dalam konteks itu, Golkar hanya akan bersifat kritis yang tujuannya mengingatkan, bukan
menjatuhkan. Sudah terbukti bahwa dalam beberapa persoalan, Partai Golkar membantu
presiden dengan sumbangan pikiran yang sangat bermakna. Konstruksi persoalan internal
Partai Golkar sudah sangat jelas. Bahkan kejelasan itu sudah diperkuat melalui proses
hukum.
Pemerintah hanya perlu bersikap realistis terhadap fakta bahwa Munas Ancol itu ilegal.
Karena ilegal, tentu saja pemerintah tak perlu membuang waktu dan energi untuk
menanggapi mereka. Mengesahkan kepengurusan Partai Golkar produk Munas Bali adalah
kebijaksanaan pemerintah yang sangat masuk akal, karena fakta hukum sudah menguatkan
hal itu. Pemerintah akan mempermalukan dirinya sendiri jika terus mengingkari fakta itu.
BAMBANG SOESATYO
Bendahara Umum Partai Golkar 2014-2019
42
Konflik Tak Bertepi: Arab Saudi vs Iran
06-01-2016
Pepatah dalam politik di Indonesia yang berbunyi ”tidak ada musuh abadi”, sepertinya tidak
berlaku untuk pemimpin negara yang sedang menjalani konflik regional di Timur Tengah.
Konflik antara Arab Saudi dan Iran semakin menguat setelah Kerajaan Arab Saudi
mengeksekusi mati aktivis anti-pemerintah yang juga adalah tokoh agama Islam Syiah
terkemuka Nimr al-Nimr bersama dengan 47 orang lain. Mereka dianggap sebagai teroris
karena melakukan kritik terhadap Kerajaan secara terus-menerus. Kejadian itu kemudian
diikuti protes oleh Pemerintah Iran, terjadi penyerangan Kedutaan Besar Arab Saudi di Iran.
Selanjutnya terjadi pemutusan hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran. Pemutusan
itu juga diikuti sekutu Arab Saudi yang lain, seperti Bahrain dan Sudan. Sementara itu, Uni
Emirat Arab memilih untuk menurunkan status hubungan diplomatik dari kedutaan besar
menjadi kuasa hukum dan ekonomi.
Terlalu dini untuk menganalisis dan memprediksi faktor-faktor apa yang mendorong konflik
ini memuncak, karena konflik ini tidak hanya berbau sektarian tetapi juga memiliki dampak
geopolitik. Kita tidak tahu apakah pemutusan hubungan diplomatik ini adalah puncak dari
konflik atau akan ada puncak-puncak konflik lainnya yang lebih mengkhawatirkan.
Apa yang kita ketahui bahwa pemutusan hubungan diplomatik di antara kedua negara ini,
khususnya oleh Kerajaan Arab Saudi, adalah sebuah langkah politik baru untuk melengkapi
tekanan ekonomi yang dilancarkan Kerajaan Arab Saudi terhadap Iran secara tidak langsung
melalui harga minyak yang rendah. Artikel saya minggu lalu menyebutkan bahwa rendahnya
harga minyak dunia telah membuat anggaran belanja negara-negara di Timur Tengah yang
sangat menggantungkan diri dengan minyak menjadi defisit.
Masalahnya, masing-masing negara, khususnya Iran dan Arab Saudi, memiliki stamina yang
berbeda dalam menghadapi harga minyak yang rendah tersebut. Penasihat minyak untuk
Kerajaan Arab Saudi, Mohammad al-Sabban (The Guardian, 2015) mengatakan bahwa
negara itu dapat bertahan selama 8 tahun dengan harga minyak yang paling rendah
sekalipun.
Sementara bagi Iran, harga minyak yang rendah membuat pemulihan ekonomi negara itu
tersendat setelah dihapusnya sanksi ekonomi. Iran setidaknya membutuhkan harga minyak
USD100 per barel agar dapat mengejar dan memulihkan ekonominya.
43
Para pengamat minyak di dunia mempercayai bahwa rendahnya harga minyak ini lebih kental
kandungan politik daripada faktor ekonominya. Faktor politik itu terutama terkait dengan
persaingan tiada henti antarkoalisi Arab Saudi menghadapi Iran. Bibit-bibit konflik yang
terjadi di antara dua negara tersebut mulai bersemai subur ketika Amerika Serikat dan
sekutunya melakukan invasi ke Irak tahun 2003. Invasi itu secara tidak langsung membuat
stabilitas di Timur Tengah yang ringkih menjadi semakin rapuh.
Pergantian kekuasaan di Irak kemudian dianggap sebagai meluasnya pengaruh Iran karena
rezim yang berkuasa condong ke Syiah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran massal di seluruh
Timur Tengah. Musim Semi Arab (Arab Springs) melanda negara-negara Timur Tengah dan
melahirkan perubahan-perubahan tatanan politik yang tidak dapat diperkirakan siapa pun
termasuk oleh Amerika Serikat.
Ketidakpercayaan dan saling curiga lebih tepat disebut sebagi penyebab tak berkesudahan
dari kedua negara ini.Mereka saling mencurigai masing-masing melakukan ekspansi
kekuatan dan terlibat dalam upaya perebutan pengaruh di kawasan. Kita lihat konflik di
Yaman atau Suriah. Hal ini diperparah dengan mengaitkan identitas keagamaan Sunni dan
Syiah sebagai faktor yang mengonsolidasikan kekuatan arus bawah di masing-masing negara,
termasuk di Indonesia.
Di antara para analis, sebetulnya juga masih ada perdebatan tentang apakah identitas Syiah
dan Sunni tersebut sebagai pemicu persaingan dua kekuatan besar di Timur Tengah, atau
lebih karena kepentingan ekonomi-politik dua negara itu untuk memperluas wilayah dan
pengaruh. Ambil contoh 43 terpidana yang digolongkan sebagai ”teroris” oleh Kerajaan Arab
Saudi adalah termasuk juga mereka yang berasal dari jaringan Al-Qaeda yang beraliran
Sunni. Mereka bertanggung jawab atas pengeboman yang terjadi di Arab Saudi sepanjang
2003- 2006 (Euronews, 2016).
Menurut sumber resmi Pemerintah Arab Saudi, Nimr al-Nimr dan tiga terpidana yang
beraliran Syiah juga melakukan penembakan terhadap petugas kepolisian pada 2012. Apabila
kita percaya pada informasi itu, Kerajaan Arab Saudi memang tidak menargetkan secara
khusus apakah mereka Syiah atau Sunni. Kategori yang dipakai adalah siapa yang melawan
Kerajaan akan dikategorikan sebagai teroris. Oleh sebab itu, sulit untuk menentukan satu
faktor lebih menentukan daripada faktor lain dalam menganalisis dinamika yang cukup aktif
di Timur Tengah. Pada saat ini, ada faktor krisis ekonomi dunia yang membuat negara-negara
dunia lebih menyukai dialog daripada perang untuk menyelesaikan masalah.
Dari sisi hegemoni, kepemimpinan Barack Obama di Amerika Serikat terbilang tidak terlalu
agresif di Timur Tengah. Cina tidak terlibat langsung. Sementara itu, Suriah dan Yaman
masih menjadi medan perebutan kekuatan bersenjata. Iran masih melanjutkan perundingan
nuklir dengan negara 5P+1. Rusia dikabarkan menyokong Suriah dan Iran.
Sementara itu, kepemimpinan yang moderat di Iran dan faktor-faktor lain antarnegara
kawasan dapat secara langsung atau tidak langsung menyumbang pasang-surutnya konflik di
44
Timur Tengah, khususnya antara Arab Saudi dan Iran. Yang perlu kita lakukan terkait dengan
krisis di Timur Tengah, yang paling prioritas menurut saya, adalah menjaga jangan sampai
sentimen konflik menyuburkan potensi konflik yang ada di dalam negeri.
Informasi-informasi yang sepotong mengenai konflik ini bisa menjadi bahan bakar bagi
pihak-pihak tertentu yang menginginkan ketidakstabilan terjadi juga di sini. Di sisi lain, kita
justru dapat menggunakan konflik yang terjadi di Timur Tengah sebagai bahan pembelajaran
untuk saling memperkuat solidaritas di antara perbedaan-perbedaan, khususnya dalam
keyakinan beragama.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
@dinnawisnu
45
Saatnya Lebih Banyak “Orangnya Jokowi”
Jadi Menteri
07-01-2016
Banyak yang mengatakan bahwa 2016 adalah momentum bagi pemerintahan Presiden
Jokowi. Momentum bagi penguatan ekonomi, politik, hukum dan pertahanan serta
momentum bagi pemenuhan janji-janji kampanye 2014 lalu.
Nampaknya banyak orang sudah menantikan momentum perbaikan dari semua kegaduhan
yang terjadi di 2014 dan 2015. Ya, kata “kegaduhan” memang kerap menghiasi hari-hari
politik di tahun tersebut. Kegaduhan yang dipercaya banyak orang sebagai hal penghambat
program kerja pemerintahan Jokowi.
Pada November 2015 lalu lembaga survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini
Publik Indonesia) menyebutkan hasil survei nasional yang cukup menggelitik bahwa salah
satu pihak penghambat program kerja Jokowi adalah justru para menteri Jokowi sendiri.
Kabinet dalam Pemerintahan Jokowi
Menurut Andrew Heywood (2014), semua pemerintahan memiliki sebuah kabinet dalam
beragam bentuk. Kabinet memungkinkan pemerintahan untuk menggambarkan sebuah wajah
kolektif kepada majelis dan publik. Tanpa kabinet, pemerintahan akan terlihat sebagai sebuah
alat pribadi yang dimiliki oleh individual tunggal.
Bila mengacu pada pendapat yang diutarakan Heywood, maka nampak wajar bila kita
melihat komposisi Kabinet Kerja. Para menteri pengisi kabinet yang pernah satu kali
dirombak presiden ini merupakan representasi banyak pihak. Inilah para pihak yang
diharapkan secara bersama-sama membantu Jokowi menyelesaikan pemerintahan dengan
baik paling tidak pada periode pertama pemerintahan.
Saat Jokowi pada Oktober 2014 melantik para menteri, kita harus maklum bahwa Jokowi
sebagai “orang baru” dalam kancah politik nasional tentu harus terbuka dan menerima
berbagai masukan dari banyak pihak untuk memulai periode pemerintahannya. Hal ini juga
termasuk dalam memilih menteri-menteri Kabinet Kerja. Jokowi saat itu pasti sangat
akomodatif dalam menerima berbagai masukan. Bila ada yang mengatakan bahwa Kabinet
Kerja adalah kabinet kualitas 3 (KW 3) tentu tidak bisa sepenuhnya disalahkan orang yang
berpendapat demikian, karena memang mungkin kabinet yang baru dibentuk itu merupakan
46
representasi toleransi dan kebijakan akomodatif Jokowi terhadap segala masukan dari
berbagai pihak.
Namun, nampaknya masyarakat banyak melakukan penilaian terhadap kinerja kabinet yang
dibarengi dengan meningkatnya kepercayaan diri Presiden. Oleh karena itu, kendati para
menteri, saya percaya, sudah bekerja maksimal tetap saja wacana perombakan kabinet
kembali mengemuka di permukaan hingga saat ini. Banyak pihak malah mulai
mempergunjingkan, hingga nama beberapa kementerian yang akan dirombak.
Sejarah Hanya Mencatat Prestasi Presiden
Banyak hal yang menyebabkan masyarakat berspekulasi terhadap kemungkinan Jokowi akan
kembali merombak kabinetnya. Dua hal yang populer adalah Kabinet Kerja yang tidak
kompak dan terhambatnya program kerja Jokowi. Dari dua hal yang diungkapkan tadi adalah
alasan kedua yang mendesak untuk segera diperbaiki.
Kabinet Kerja harus dipecut untuk mendukung program kerja Jokowi. Hal ini lebih
disebabkan rakyat sangat menunggu terealisasinya janji kampanye Jokowi. Selain itu, sejarah
hanya mencatat prestasi Presiden, hasil baik atau buruk. Sejarah tidak pernah mencatat
kinerja menteri sebagai keberhasilan atau kegagalan sebuah rezim.
Untuk memastikan hasil yang baik itu, sangat wajar bila Presiden kemudian merombak
kabinet dan mengganti dengan orang-orang terdekatnya atau “orangnya Jokowi”. Orang-
orang loyal yang dianggap Presiden akan membantu dirinya bekerja dan meraih hasil lebih
baik tanpa sering membuat kontroversi yang mendebarkan.
Mengapa demikian? Pada 2015 lalu Jokowi mungkin tercatat sebagai Presiden yang paling
repot dalam mengurus kabinetnya yang kerap membuat gaduh. Bahkan, kegaduhan itu nyaris
saja mengganjal program pemerintah di parlemen. Hampir semua sektor mulai dari asap,
energi, perhubungan, BUMN, kualitas PNS, UKM, industri hingga hukum dan lainnya
berkontribusi terhadap kegaduhan itu.
Presiden telah berulang kali meminta menteri-menteri dalam kabinetnya kompak dan fokus
untuk memenuhi program kerja sesuai target masing-masing. Namun, nampaknya secara
kasatmata belum banyak program kerja yang dapat memuaskan masyarakat. Wajar saja bila
masyarakat mencitrakan bahwa ada menteri-menteri Jokowi yang masih memiliki agenda
sendiri-sendiri termasuk (mungkin) agenda partai politik atau golongannya.
Harus dimaklumi juga bila banyak orang yang berpendapat bahwa Kabinet Kerja dicitrakan
tidak mengerti visi-misi Presiden, setidaknya demikian menurut hasil sigi lembaga survei
KedaiKOPI. Oleh karena itu, saya rasa rakyat juga akan memahami bila kelak Presiden
melakukan perombakan kabinet dengan menambah lebih banyak “orangnya Jokowi” yang
mengisi posisi menteri.
47
Presiden Jokowi memiliki jurus politik yang ampuh dalam mewujudkan cita-citanya sebagai
Presiden. Hingga saat ini dengan keahliannya, walau masih perlu ada pembenahan, Jokowi
mampu membuat pemerintahannya menjadi lebih kuat.
HENDRI SATRIO
Pemerhati dan Praktisi Komunikasi Politik; Dosen Universitas Paramadina
@satriohendri
48
Konflik Iran-Saudi dan Kompleksitas Masa
Depan Islam
08-01-2016
Dunia Islam di Timur Tengah kembali memanas. Pascaeksekusi mati ulama Syiah, Syekh
Nimr al-Nimr oleh Pemerintah Saudi (2/1), rakyat dan pemerintah Iran meradang.
Hanya beberapa saat setelah eksekusi al-Nimr, Kantor Kedutaan Besar dan Konsulat Saudi di
Teheran diserang ratusan pemuda Iran yang marah. Kantor kedubes dan konsulat diobrak-
abrik. Rezim Arab Saudi yang merasa tidak bersalah (karena asumsinya, menghukum al-
Nimr sebagai teroris dan pemberontak) pun bereaksi keras. Puncaknya, Minggu (3/1) malam
Saudi pun mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran.
Keputusan Saudi ini kemudian diikuti negara-negara Arab sekutunya. Sudan, Kuwait, Qatar,
dan Oman mengikuti jejak Saudi memutuskan hubungan dengan Iran. Uni Emirat Arab
(UEA)–mitra dagang terbesar Iran di Timur Tengah–meski tidak memutuskan hubungan
diplomatik, menurunkan tingkat hubungan diplomatiknya dengan Iran. Akankah Bahrain,
Mesir, dan Turki juga akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran?
Bagi dunia Islam, krisis Iran dan Saudi akan sangat besar pengaruhnya bagi masa depan
Islam. Ini karena Iran selama ini dianggap sebagai representasi Syiah. Sedangkan Saudi,
konon, dianggap sebagai representasi Sunni–dua mazhab terbesar dalam dunia Islam. Meski
masih muncul perdebatan, apakah Wahabi–aliran yang diikuti Kerajaan Saudi ini Sunni atau
bukan, tapi dalam krisis politik kali ini, niscaya Saudi akan menyebut dirinya Sunni agar
mendapat banyak dukungan dari negara-negara Islam yang mayoritas Sunni.
***
Krisis Iran dan Saudi ini dilihat dari konteks global sangat mungkin akan membesar. Soalnya
kita tahu, di belakang Saudi ada Amerika Serikat dan di belakang Iran ada Rusia dan Cina.
Meski Amerika, Rusia, dan Cina tidak langsung terlibat dalam konflik ini, tapi tiga negara
tersebut niscaya akan mengelompok untuk mendukung ”mitra-mitra” terdekatnya guna
memperluas pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.
Secara tradisional, pengelompokan itu sudah diketahui. AS ke Arab Saudi, sedangkan Rusia
dan Cina ke Iran. Thomas Erdbrinkjan dalam artikelnya di New York Times (3/1) menyatakan
posisi AS sebetulnya dilematis. Hubungan Teheran dan Washington sebetulnya mulai cair
setelah Iran mengikuti kehendak Barat untuk menghentikan pabrik pengayaan uraniumnya
49
(yang ditengarai sebagai upaya Iran membangun senjata nuklir). Jerman misalnya sudah
mulai melakukan penjajakan kerja sama ekonomi dengan Iran. Begitu juga Inggris dan
Prancis. Obama juga mengecam hukuman mati al-Nimr karena tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip hak asasi manusia (HAM).
Di pihak lain, sejak Barat menghentikan embargo ekonominya terhadap Iran, Juli 2014,
pasca-keberhasilan perundingan nuklir Iran-Barat, Arab Saudi merasa ”ditinggalkan”
AS. Sementara AS, sejak ditemukan sumber minyak serpih (shale oil/shale gas) di
wilayahnya yang jumlahnya cukup besar untuk menghilangkan ketergantungan dari suplai
minyak Saudi, mulai melebarkan pengaruhnya di Timur Tengah tanpa menimbang-nimbang
kemauan Riyad. AS tidak hanya ”merangkul” Saudi, negeri penghasil minyak terbesar di
Timur Tengah (10 juta barel per hari), tapi juga Iran dan Irak yang kini dikuasai rezim Syiah.
Bagi AS, mendekati Iran sangat strategis karena tiga hal. Pertama, mengurangi ancaman
terhadap Israel. Kedua, memperlemah hubungan Iran dan Rusia sebab aliansi Rusia-Iran akan
makin memperlemah pengaruh AS di Timur Tengah. Ketiga, kedekatan AS terhadap Iran dan
Irak bisa memperlemah Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) yang sekarang menjadi
”monster” di kawasan Timur Tengah. Tapi, benarkah AS anti-ISIS? Donald Trump
menyatakan bahwa ISIS sebetulnya ”made in” USA.
Kebijakan Presiden Bush untuk menghancurkan rezim Saddam di Irak yang dituduh
menyimpan senjata pembunuh massal berakibat fatal. Pasca-kejatuhan Saddam, Irak yang
sekuler, justru berubah menjadi negeri ”demokrasi” Syiah. Kaum Sunni Irak yang jumlahnya
20% dari populasi dan mantan petinggi militer Saddam yang tak puas dengan kebijakan AS
bersatu dan kemudian membentuk (Islamic State of Irak (ISI)) di bawah kepemimpinan Abu
Bakar Al-Baghdadi, seorang mantan perwira tinggi militer Irak pro-Saddam. Dengan
banyaknya militer pro-Saddam yang bergabung ke ISI inilah, kemudian mereka mampu
menaklukkan Ramadi, Mosul, dan Falujah, tiga kota terbesar di Irak setelah Baghdad.
Kehadiran ISIS juga menarik kaum Sunni di Suriah, negeri berpenduduk 22 jutaan dengan
mayoritas Sunni, tapi dipimpin rezim Syiah Allawit. Gelombang demokratisasi yang melanda
Suriah (Arab Spring) kemudian memunculkan faksi-faksi pemberontak Sunni di Suriah. Dari
faksi-faksi tersebut, beberapa di antaranya bergabung dengan ISI sehingga terbentuklah
Islamic State of Irak and Syria (ISIS).
Krisis politik di Suriah kemudian menjadi problematis. Arab Saudi dan AS misalnya
menghendaki Presiden Suriah Bashar Al-Assad mundur. Sementara Iran, Rusia, dan Cina
mendukung Assad. Di pihak lain, ISIS menghendaki Assad turun. Ini dilematis. Ketika Rusia
mengumumkan keterlibatannya untuk menghancurkan ISIS di Suriah, AS, Inggris, dan
Prancis tidak percaya sebab sangat mungkin jet-jet tempur Rusia tidak fokus menghancurkan
ISIS, tapi justru menghancurkan pasukan oposisi Suriah yang ingin menjatuhkan Assad.
Bagaimana strategi AS sendiri di Suriah? Ini pun dilematis. Jika AS menghancurkan ISIS di
Suriah, berarti tujuan pendongkelan Assad tidak tercapai. Tapi, jika AS mendukung Saudi
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015

More Related Content

What's hot

02 mengakhiri polemikmasajabatanpimpinankpk-jilidii
02 mengakhiri polemikmasajabatanpimpinankpk-jilidii02 mengakhiri polemikmasajabatanpimpinankpk-jilidii
02 mengakhiri polemikmasajabatanpimpinankpk-jilidii
hudahfz
 
Perkap No8 Ham Bahasa Signed
Perkap No8 Ham Bahasa SignedPerkap No8 Ham Bahasa Signed
Perkap No8 Ham Bahasa Signed
People Power
 
Rekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr riRekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr ri
ppibelanda
 
Laporan Panitia Angket DPR RI dalam Rapur 14 Februari 2018
Laporan Panitia Angket DPR RI dalam Rapur 14 Februari 2018Laporan Panitia Angket DPR RI dalam Rapur 14 Februari 2018
Laporan Panitia Angket DPR RI dalam Rapur 14 Februari 2018
Sari Kusuma Dewi
 
Jannah 6411413047 tugas paper
Jannah 6411413047 tugas paperJannah 6411413047 tugas paper
Jannah 6411413047 tugas paper
natal kristiono
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015
ekho109
 
Perkap nomor 14 th 2011 ttg kode etik profesi
Perkap nomor 14 th 2011 ttg kode etik profesiPerkap nomor 14 th 2011 ttg kode etik profesi
Perkap nomor 14 th 2011 ttg kode etik profesi
Fitria Anggraeni
 
Digital surya 25 oktober 2013
Digital surya 25 oktober 2013Digital surya 25 oktober 2013
Digital surya 25 oktober 2013
Portal Surya
 
Uu no 3 tahun 2006
Uu no 3 tahun 2006Uu no 3 tahun 2006
Uu no 3 tahun 2006
khairu_zikri
 
UU No 3 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Te...
UU No 3 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Te...UU No 3 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Te...
UU No 3 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Te...
Hendie Cahya Maladewa
 

What's hot (19)

Laporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPI
Laporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPILaporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPI
Laporan Assesment Sistem Rekrutmen Jaksa - Kerjasama KHN dan MaPPI
 
02 mengakhiri polemikmasajabatanpimpinankpk-jilidii
02 mengakhiri polemikmasajabatanpimpinankpk-jilidii02 mengakhiri polemikmasajabatanpimpinankpk-jilidii
02 mengakhiri polemikmasajabatanpimpinankpk-jilidii
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015
 
Gender & hukum islam di indonesia
Gender & hukum islam di indonesiaGender & hukum islam di indonesia
Gender & hukum islam di indonesia
 
Peraturan kapolri nomor 7 tahun 2006 tentang kode etik profesi polri
Peraturan kapolri nomor 7 tahun 2006 tentang kode etik profesi polriPeraturan kapolri nomor 7 tahun 2006 tentang kode etik profesi polri
Peraturan kapolri nomor 7 tahun 2006 tentang kode etik profesi polri
 
Ppt kwn
Ppt kwnPpt kwn
Ppt kwn
 
Perkap No8 Ham Bahasa Signed
Perkap No8 Ham Bahasa SignedPerkap No8 Ham Bahasa Signed
Perkap No8 Ham Bahasa Signed
 
Rekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr riRekomendasi pertanyaan dpr ri
Rekomendasi pertanyaan dpr ri
 
Laporan Panitia Angket DPR RI dalam Rapur 14 Februari 2018
Laporan Panitia Angket DPR RI dalam Rapur 14 Februari 2018Laporan Panitia Angket DPR RI dalam Rapur 14 Februari 2018
Laporan Panitia Angket DPR RI dalam Rapur 14 Februari 2018
 
Jannah 6411413047 tugas paper
Jannah 6411413047 tugas paperJannah 6411413047 tugas paper
Jannah 6411413047 tugas paper
 
Pendidikan anti korupsi - Kasus-kasus mega korupsi di Indonesia dan Mengenal ...
Pendidikan anti korupsi - Kasus-kasus mega korupsi di Indonesia dan Mengenal ...Pendidikan anti korupsi - Kasus-kasus mega korupsi di Indonesia dan Mengenal ...
Pendidikan anti korupsi - Kasus-kasus mega korupsi di Indonesia dan Mengenal ...
 
Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015Opini hukum politik 22 mei 2015
Opini hukum politik 22 mei 2015
 
Perkap nomor 14 th 2011 ttg kode etik profesi
Perkap nomor 14 th 2011 ttg kode etik profesiPerkap nomor 14 th 2011 ttg kode etik profesi
Perkap nomor 14 th 2011 ttg kode etik profesi
 
Perka Polri No.14 Thn.2012 ttg Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Perka Polri No.14 Thn.2012 ttg Manajemen Penyidikan Tindak PidanaPerka Polri No.14 Thn.2012 ttg Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Perka Polri No.14 Thn.2012 ttg Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
 
Digital surya 25 oktober 2013
Digital surya 25 oktober 2013Digital surya 25 oktober 2013
Digital surya 25 oktober 2013
 
Uu no 3 tahun 2006
Uu no 3 tahun 2006Uu no 3 tahun 2006
Uu no 3 tahun 2006
 
Halaman 11 sambungan
Halaman 11 sambunganHalaman 11 sambungan
Halaman 11 sambungan
 
UU No 3 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Te...
UU No 3 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Te...UU No 3 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Te...
UU No 3 Tahun 2009 (Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Te...
 
23 berita utama
23 berita utama23 berita utama
23 berita utama
 

Similar to (Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015

Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Herlambang Bagus
 
PPKN perlindungan dan penegakan hukum Razaan Ardy Khadaffi.docx
PPKN perlindungan dan penegakan hukum Razaan Ardy Khadaffi.docxPPKN perlindungan dan penegakan hukum Razaan Ardy Khadaffi.docx
PPKN perlindungan dan penegakan hukum Razaan Ardy Khadaffi.docx
SiapaIni3
 
Bagaimana Hukum Di Indonesia
Bagaimana Hukum Di  IndonesiaBagaimana Hukum Di  Indonesia
Bagaimana Hukum Di Indonesia
jengkoling
 

Similar to (Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015 (11)

PKN.pptx
PKN.pptxPKN.pptx
PKN.pptx
 
Surat Penyidik KPK untuk Presiden RI Joko Widodo
Surat Penyidik KPK untuk Presiden RI Joko WidodoSurat Penyidik KPK untuk Presiden RI Joko Widodo
Surat Penyidik KPK untuk Presiden RI Joko Widodo
 
PPT PKN Tentang KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi
PPT PKN Tentang KPK atau Komisi Pemberantasan KorupsiPPT PKN Tentang KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi
PPT PKN Tentang KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi
 
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
Analisa Korupsi Ketua MK (Akil Mochtar)
 
PPKN perlindungan dan penegakan hukum Razaan Ardy Khadaffi.docx
PPKN perlindungan dan penegakan hukum Razaan Ardy Khadaffi.docxPPKN perlindungan dan penegakan hukum Razaan Ardy Khadaffi.docx
PPKN perlindungan dan penegakan hukum Razaan Ardy Khadaffi.docx
 
Pelantikan pimpinan kpk di istana negara
Pelantikan pimpinan kpk di istana negaraPelantikan pimpinan kpk di istana negara
Pelantikan pimpinan kpk di istana negara
 
Rilis Calon Kapolri - LBH Jakarta
Rilis Calon Kapolri - LBH JakartaRilis Calon Kapolri - LBH Jakarta
Rilis Calon Kapolri - LBH Jakarta
 
Korups
KorupsKorups
Korups
 
Studi kasus hukum tata negara
Studi kasus hukum tata negaraStudi kasus hukum tata negara
Studi kasus hukum tata negara
 
Bagaimana Hukum Di Indonesia
Bagaimana Hukum Di  IndonesiaBagaimana Hukum Di  Indonesia
Bagaimana Hukum Di Indonesia
 
Surat Pegawai Direktorat Penyelidikan KPK Terkait Pelantikan ASN
Surat Pegawai Direktorat Penyelidikan KPK Terkait Pelantikan ASNSurat Pegawai Direktorat Penyelidikan KPK Terkait Pelantikan ASN
Surat Pegawai Direktorat Penyelidikan KPK Terkait Pelantikan ASN
 

(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015

  • 1. 1 DAFTAR ISI PIMPINAN KPK JILID IV Romli Atmasasmita 4 AMBANG BATAS SENGKETA PILKADA Saldi Isra 8 DRAMA MKD DAN POLITIK PERWAKILAN Ahmad Qisa’i 12 POLA ACAK KOMUNIKASI POLITIK Gun Gun Heryanto 15 DRAMA POLITIK YANG MENJEMUKAN Anna Luthfie 18 TETAP BERHARAP PADA KPK Amzulian Rifai 21 MIMPI DEMOKRASI GUS DUR Syaiful Arif 24 JOKOWI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI Oce Madril 27 RUU PEMILU BERDASAR VONIS MK Moh Mahfud MD 30 ETIKA DAN HUKUM Janedjri M Gaffar 33 HUKUM DI TAHUN 2016 Margarito Kamis 36 GOLKAR DAN KEZALIMAN PEMERINTAH Bambang Soesatyo 39 KONFLIK TAK BERTEPI: ARAB SAUDI VS IRAN Dinna Wisnu 42 SAATNYA LEBIH BANYAK “ORANGNYA JOKOWI” JADI MENTERI Hendri Satrio 45 KONFLIK IRAN-ARAB SAUDI DAN KOMPLEKSITAS MASA DEPAN ISLAM M Bambang Pranowo 48
  • 2. 2 KPK DI TENGAH PESIMISME PUBLIK Jamal Wiwoho 52 DILEMA HUKUM PILKADA Moh Mahfud MD 55 KONFLIK KLASIK: WAHABISME VS SYIISME Faisal Ismail 58 RASA KEADILAN PUTUSAN HAKIM Marwan Mas 61 KHITAH RESHUFFLE Anna Luthfie 64 PERMUFAKATAN JAHAT Romli Atmasasmita 67 PAPUA DAN RESOLUSI TAHUN BARU KEMLU Tantowi Yahya 71 INDUSTRI HUKUM Moh Mahfud MD 75 HAM POLISI, SIAPA PEDULI? Reza Indragiri Amriel 78 KONSER ISIS DI SARINAH THAMRIN Prayitno Ramelan 81 ISIS, PERANG PROXY, DAN INDONESIA Mahfudz Siddiq 85 POLITIK PEMBERANTASAN KORUPSI Margarito Kamis 89 (MIMPI) MENGHIDUPKAN LAGI GBHN W Riawan Tjandra 92 GBHN, PDIP, DAN AMENDEMEN UUD 1945 Bambang Sadono 96 MENATA ULANG PARTAI POLITIK Adi Prayitno 99 LAWAN TERORISME ITU DENGAN PENCEGAHAN Marwan Mas 102 REVISI UU ANTITERORISME Romli Atmasasmita 105
  • 3. 3 PELAYAN PUBLIK YANG SULIT MELAYANI Amzulian Rifai 109 POLITISI MUDA, KORUPSI, DAN PEMBIAYAAN PARPOL Ahmad Qisa’i 113 REPOSISI GOLKAR YANG “TERLAMBAT” Ari Junaedi 116 TERORIS DAN PERLAWANAN BANDAR NARKOBA Bambang Soesatyo 119 HAM BOLEH DILANGGAR Moh Mahfud MD 122 MENAKAR ISU “SMS ANCAMAN” Hery Firmansyah 125 PARTAI GOLKAR PASCA-KONSENSUS M Alfan Alfian 128 MENANTI SOLUSI DI SURIAH Dinna Wisnu 131 GOLKAR, PAN, DAN ARAH BARU OPOSISI Andi Faisal Bakti 134 EFEKTIVITAS JUBIR PRESIDEN Gun Gun Heryanto 137 KINERJA KEPOLISIAN DALAM KASUS KOPI MAUT Mudzakkir 140 TAK BOLEH TOLERANSI ANCAMAN TERORISME Bambang Soesatyo 143 KETIKA KONSTITUSI DIABAIKAN NEGARA Feri Amsari 147 SUDAH KUBILANG, KPK BERANI Moh Mahfud MD 151 FATAMORGANA PENGUATAN KPK Aradila Caesar Ifmaini Idris 154 PERINTAH PRESIDEN SELESAIKAN KASUS NOVEL BASWEDAN Romli Atmasasmita 157 RENCANA PEMBUBARAN DPD RI Hendri Zainuddin 161
  • 4. 4 Pimpinan KPK Jilid IV 21-12-2015 Sejak awal penulis telah tidak sepakat atas hasil kinerja Panitia Seleksi (Pansel) KPK jilid IV dengan formasi calon pimpinan (capim) KPK yang tidak berlatar belakang hukum, ekonomi, keuangan, dan perbankan serta lebih tidak sepakat lagi dengan tidak adanya unsur pimpinan penuntut umum non-jaksa. Namun seleksi dilanjutkan dengan konsekuensi sebagaimana penulis perkirakan bahwa akan terdapat pimpinan KPK jilid IV yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam Pasal 29 huruf d jo Pasal 21 (4) jo Pasal 21 ayat (5) UU KPK 2002. Diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) dan ayat (3) UU KPK 2002. Jika diteliti kembali bunyi pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut dan dihubungkan satu sama lain, terbentuk suatu konfigurasi pola kepemimpinan KPK yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat (Pasal 43 ayat 3 UU Tipikor 1999). Unsur pemerintah yang bergerak dalam pemberantasan korupsi adalah Polri dan kejaksaan. Keterlibatan unsur pimpinan dengan latar belakang non-hukum bersifat limitatif dan bersifat komplementer terhadap unsur pimpinan KPK berlatar belakang hukum. Hal ini sesuai dengan mandat kepada pimpinan KPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 UU KPK 2002 tentang tugas KPK dan wewenang KPK sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 7 s.d. Pasal 14 UU KPK 2002. Intinya di sana membedakan tugas dan wewenang pro justisia (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan) dan non-pro justisia (pencegahan dan monitoring penyelenggaraan negara) serta latar belakang non-hukum dibatasi hanya untuk keahlian di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan. Logika latar belakang keilmuan ini disebabkan relevan dengan modus operandi tindak pidana korupsi yang selalu berkaitan dengan pengetahuan akuntansi dan perbankan. *** Penulis tidak ingin membebankan kekeliruan kepada siapa pun untuk menghormati jerih payah Pansel KPK jilid IV yang telah diberi kepercayaan oleh pemerintah, melainkan mari kita prediksi kemungkinan yang akan terjadi dari aspek hukum dan bagaimana solusi sementara yang perlu dilakukan. Kemungkinan kinerja KPK jilid IV akan tersendat-sendat karena kekuatan hukum kelima pimpinan KPK terletak hanya di pundak Basaria Panjaitan dan Alex Marwata yang berlatar
  • 5. 5 belakang hukum dan berpengalaman dalam praktik hukum. Mestinya kita sadar di dalam UU KPK 2002 telah ditegaskan bahwa pimpinan KPK adalah ”penyidik dan penuntut umum dan sekaligus penanggung jawab tertinggi KPK ” dan wajib bekerja ”secara kolektif, yaitu bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan KPK ”. Masalah pengambilan keputusan untuk mulai melakukan penyelidikan sampai pada peningkatan status kasus tipikor ke penyidikan dan penuntutan sangat ditentukan oleh hasil olah laporan pengaduan masyarakat (dumas) dari sisi aspek hukum pidana, khususnya Undang-Undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999. Lebih dalam lagi, kelima pimpinan KPK harus memahami secara detail UU RI Nomor 31 Tahun 1999 dan turunannya UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pemahaman kedua undang-undang a quo tidak terbatas pada pemahaman normatif setiap pasal-pasal di dalam kedua undang-undang a quo, melainkan juga harus dipahami latar belakang aspek filosofi, sosiologi, dan yuridis serta komparatif keberadaan UU KPK dan kedua undang-undang tersebut di dalam tataran praktis penanganan perkara tipikor sejak penyelidikan sampai dengan penuntutan. Selain itu pemahaman teori atau doktrin hukum pidana serta yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam perkara tipikor dan TPPU merupakan prasyarat utama bagi kelima pimpinan KPK agar penanganan perkara tipikor yang sulit pembuktiannya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Latar belakang pendidikan ilmu hukum selain non-ilmu hukum penting untuk menghadapi upaya hukum tersangka/terdakwa sesuai KUHAP, termasuk objek praperadilan yang telah diperluas oleh yurisprudensi dan putusan MK RI. *** Kebijakan pimpinan KPK yang menyerahkan sepenuhnya proses penanganan perkara tipikor kepada penyidik dan penuntut sekalipun berasal dari Polri dan kejaksaan merupakan tindakan yang tidak bijak dan tidak patut. Langkah itu bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal UU KPK sebagaimana telah diuraikan di atas. Khusus penetapan pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut dan penanggung jawab tertinggi dalam pemberantasan korupsi yang harus diartikan bahwa tanggung jawab sepenuhnya berada pada kelima pimpinan KPK, bukan pada penyidik dan penuntut KPK. Tidak mungkin dan seharusnya tidak terjadi penyidik dan penuntut KPK lebih berpengalaman dari pimpinan KPK itu sendiri dan keadaan ini dapat menimbulkan moral hazard dalam proses penanganan kasus tipikor. Memang benar integritas dan akuntabilitas penyidik dan penuntut KPK tidak dapat diragukan setelah melalui tes integritas. Namun control assessment yang bersifat pro justisia terhadap kinerja penyidikan dan penuntutan justru harus dilakukan oleh atasan yang memang memiliki keahlian paripurna melebihi keahlian penyidik dan penuntut KPK serta sekaligus menegakkan prinsip checks and balances. Kelemahan control assessment dari kelima pimpinan KPK dapat mengakibatkan terjadi korban-korban penetapan tersangka yang keliru
  • 6. 6 secara hukum sehingga rentan terhadap pelanggaran hak asasi tersangka/terdakwa yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum sekaligus hak konstitusional yang bersangkutan. Ketentuan bahwa KPK tidak boleh menerbitkan SP3 merupakan sinyal merah bagi kelima pimpinan KPK dalam hal penetapan tersangka. Sekali terjadi kekeliruan–tanpa bukti permulaan yang cukup sekalipun hasil penyadapan–, kekeliruan tersebut tidak dapat diperbaiki-dianulir. Jika hal tersebut terjadi, terjadi pula korban-korban yang tidak berdosa yang tidak perlu seperti pemblokiran rekening yang bersangkutan/istri dan anak-anaknya maupun pencekalan dan penyitaan harta kekayaannya tanpa dasar hukum yang kuat dan tidak jelas. *** Hal-hal sebagaimana telah diuraikan penulis bukan isapan jempol belaka, melainkan fakta dari hasil pengamatan penulis terhadap kinerja KPK selama 2009 sampai dengan 2014, termasuk hasil analisis Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP) di mana penulis sebagai direktur LPIKP. Kontrol eksternal terutama dari ICW dan koalisi LSM anti-korupsi masih jauh dari harapan penulis dari sisi akuntabilitas dan integritas sebagai lembaga non-partisan dalam pemberantasan korupsi yang diharapkan dapat membantu kinerja KPK dengan kontrol yang ketat dan memberikan masukan introspeksi atas kinerja KPK. Alih-alih memberikan kontribusi hukum yang bermanfaat, sebaliknya LSM Koalisi Antikorupsi hanya fokus pada keberhasilan–output–secara kuantitatif, tetapi tidak memberikan dampak outcome secara kualitatif mengenai ketaatan pimpinan KPK terhadap asas-asas hukum pidana pada umumnya, khususnya asas legalitas termasuk asas non-retroaktif. Keberadaan KPK untuk melengkapi kepolisian dan kejaksaan terbukti tidak juga dapat menaikkan peringkat Indonesia dalam forum internasional pemberantasan korupsi. IPK Indonesia, tahun 2014, hanya mencapai 34/100 dan peringkat 107/175, masih jauh di bawah Singapura (IPK 84/100, peringkat 7/175), Malaysia (IPK 52/100, peringkat 50/175), dan Filipina (IPK 38/100, peringkat 85/175). Dari sisi penyelamatan kerugian keuangan negara yang diketahui LPIKP dari laporan tahunan KPK, ternyata selama 2009-2014 KPK hanya berhasil menyelamatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp722.687.955.078, sedangkan kejaksaan Rp6.637.161.971.801 (Laporan Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara Tahun 2009-2014). Solusi pertama yang harus dipertimbangkan adalah merevisi UU KPK 2002, yaitu strategi KPK mengutamakan pencegahan dan penindakan KPK hanya terbatas pada kasus korupsi tertentu dengan memberikan perhatian pada ketentuan Pasal 11 UU KPK 2002 yang diperluas. Selain itu strategi pencegahan juga harus memperkuat pemerintah membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN bekerja sama dengan inspektorat
  • 7. 7 jenderal K dan SPI lembaga-lembaga negara serta pengawasan secara intensif oleh deputi pencegahan KPK. Solusi kedua, untuk mencegah upaya hukum tersangka korupsi, KPK perlu bekerja sama dengan Kejaksaan Agung untuk melimpahkan tahap penuntutan perkara tipikor kepada kejaksaan. Solusi ketiga, perlu perluasan pengertian penyelenggara negara sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN sehingga dapat menjangkau direksi dan pegawai BUMN/BUMD, termasuk anak perusahaannya. Solusi keempat, penguatan peningkatan kinerja KPK dengan mendayagunakan fungsi trigger mechanism diperkuat oleh fungsi koordinasi dan supervisi (korsup) yang selama ini dalam praktik tidak efektif memperkuat strategi pencegahan KPK dan memperluas fungsi tersebut meliputi terhadap penyelenggaraan sistem birokrasi di K/L. Solusi kesatu sampai keempat merupakan alternatif solusi ketika kelima pimpinan KPK jilid IV harus melaksanakan UU KPK 2002—kecuali UU KPK hasil revisi melakukan perubahan orientasi KPK jilid IV sebagaimana perkembangan terkini di Korea Selatan. KPK Korea Selatan dibubarkan dan dialihkan ke Ombudsman dan fungsi penuntutan ke Kejaksaan Agung. ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Unpad dan Guru Besar Unpas
  • 8. 8 Ambang Batas Sengketa Pilkada 23-12-2015 Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Serentak Tahun 2015 memasuki tahap- tahap akhir. Setelah pemungutan suara yang berlangsung aman pada 9 Desember 2015, rekapitulasi perhitungan dan penetapan calon terpilih pun telah selesai dilakukan. Kini pasangan calon yang tidak menerima penetapan calon terpilih sedang berupaya mengubah nasib melalui proses penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi. Melacak tenggat waktu yang disediakan, permohonan sengketa hasil diajukan paling lambat dalam waktu 3x24 jam sejak Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan perolehan suara hasil pemilihan. Berbeda dengan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah sebelumnya, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (UU No 8/2015) memberikan ambang batas bagi pasangan calon untuk dapat mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada penyelenggaraan pemilihan sebelumnya semua pasangan calon yang tidak menerima hasil penetapan calon terpilih dapat mengajukan sengketa ke MK. Saat ini dengan UU No. 8/2015 tidak semua pasangan calon dapat mengajukan sengketa hasil ke Medan Merdeka Barat. Berdasarkan ketentuan UU No 8/2015, pasangan calon yang diperkenankan untuk mengajukan permohonan ke MK hanya dengan selisih tertentu. Dalam Pasal 158 ayat (1) UU 8/2015 dinyatakan bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dapat mengajukan permohonan dengan selisih peraih suara terbesar paling banyak 2%. Batas suara tersebut bila jumlah penduduk di provinsi bersangkutan sama atau di bawah 2 juta. Dalam hal jumlah penduduk 2-6 juta, batas pengajuan sengketa 1 1/2%. Penduduk provinsi dalam kisaran 6-12 juta, ambang batasnya 1%. Terakhir, jumlah penduduk lebih besar dari 1 juta, ambang batas 1 1/2%. Tidak hanya diatur dalam UU No 8/2015, sebagai institusi yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah, secara formal, pembatasan tersebut juga dituangkan dalam hukum acara MK. Pengaturan tersebut dapat dibaca dalam Peraturan MK No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (PMK No. 1/2015). Dengan ada PMK No. 1/2015 tersebut, posisi ambang batas pengajuan sengketa semakin
  • 9. 9 kuat. Artinya, merujuk penetapan pasangan calon terpilih hasil pemilihan serentak, dapat dipastikan permohonan sengketa hasil ke MK menjadi sangat terbatas. Pertanyaan mendasar yang sangat menggelitik: bagaimana jika terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, masif, dan sistematis (TSM) dalam proses pemilihan, sementara selisih suara berada di luar ambang batas? Apakah dengan begitu ambang batas tersebut harus dipertahankan sehingga pasangan calon yang terindikasi kuat meraih suara terbesar karena pelanggaran yang bersifat TSM dibiarkan melenggang menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah? Jikalau demikian, apakah ambang batas tidak mengukuhkan demokrasi prosedural? Dasar Pemikiran Jika ditelusuri pengalaman penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sedikit ke belakang, ruang menggunakan jalur ke MK tak sepenuhnya murni digunakan pasangan calon untuk mengoreksi kesalahan penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon. Sejumlah fakta menunjukkan, sebagian pasangan yang kalah dalam proses pemilihan seperti berupaya memakai jalur ke MK menjadi jalan pintas untuk mengoreksi suara rakyat. Contoh yang paling menonjol, meski bentangan fakta menunjukkan terjadi selisih suara sangat mencolok, pasangan calon yang kalah tetap memilih jalan mengajukan sengketa ke MK. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, perbedaan suara tak mungkin dibuktikan sebagai akibat dari kesalahan perhitungan. Pilihan menggunakan jalur MK menjadi seperti berubah menjadi modus baru ketika muncul alasan multitafsir mengajukan sengketa yaitu terjadi pelanggaran yang bersifat TSM. Dengan alasan tersebut, penyelesaian sengketa ke MK tak ubahnya seperti keranjang sampah ketidaksiapan pelaku politik kontestasi pengisian jabatan kepala daerah menerima pilihan rakyat. Meskipun sebagiannya terkesan coba-coba, pilihan ke MK tetap dilakukan karena sebagiannya juga berupaya memanfaatkan kemungkinan ”perilaku liar” hakim MK. Paling tidak, pengalaman yang menimpa Akil Mochtar menjadi bukti pemanfaatan tersebut. Tanpa pembatasan, MK berubah menjadi tumpukan perkara penyelesaian sengketa penyelesaian pemilihan kepala daerah. Pada salah satu sisi, disebabkan jumlah hakim yang terbatas (yaitu sembilan orang) dan di sisi lain jumlah permohonan sengketa yang menumpuk, MK harus lebih konsentrasi menyelesaikan sengketa pemilihan kepala daerah. Akibatnya, MK memiliki waktu yang terbatas untuk menyelesaikan wewenang konstitusional terutama pengujian undang-undang (judicial review) terhadap undang-undang dasar sebagaimana diatur Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Apalagi, sebelum dilakukan secara serentak, agenda pilkada hampir dilaksanakan sepanjang
  • 10. 10 tahun. Dengan penyelenggaraan demikian, sepanjang tahun pula MK harus membagi perhatian dengan kewajiban menyelesaikan permohonan sengketa pilkada. Karena itu, saya pernah mengemukakan, sekiranya dilakukan tanpa pengaturan yang lebih ketat pihak-pihak yang dapat mengajukan sengketa pilkada, MK potensial kehilangan fokus melaksanakan wewenang dalam UUD 1945 terutama judicial review. Padahal, sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, judicial review merupakan mahkota MK. Demokrasi Substansial Sejak semula, saya termasuk yang mendorong ada pembatasan persentase tertentu untuk dapat mengajukan permohonan sengketa ke MK. Kendati demikian, pembatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk menghilangkan kesempatan bagi pasangan calon yang merasa dicurangi secara total memilih jalur ke MK. Artinya, ambang batas masih dapat diterobos melalui mekanisme pemeriksaan pendahuluan (dismissal process) sepanjang pemohon mampu menunjukkan bukti-bukti yang sangat kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM. Bila dalam proses awal bukti-bukti tidak kuat, ambang batas diperlakukan secara ketat. Dalam batas penalaran yang wajar, dengan ada pemeriksaan pendahuluan, ruang menghidupkan terobosan yang telah dilakukan MK dalam memeriksa permohonan yang mengindikasikan ada pelanggaran yang bersifat TSM tetap bisa dipertahankan. Misalnya, dalam Putusan No. 57/PHPU.D-VI/2008 MK menyatakan bahwa konstitusi dan Undang- Undang MK yang menempatkan MK sebagai pengawal konstitusi sehingga berwenang memutus perkara pelanggaran atas prinsip-prinsip pemilu dan pilkada. Selain itu, MK juga pernah memutuskan bahwa dalam mengawal konstitusi, MK tak dapat membiarkan dirinya dipasung oleh keadilan prosedural (procedural justice) semata-mata, melainkan juga harus mewujudkan keadilan substansial. Banyak kalangan percaya, ketika PMK No. 1/2015 membuka tahapan pemeriksaan pendahuluan, MK sebetulnya tidak hendak mematikan peluang pasangan calon yang tidak memenuhi ambang batas. Artinya, dengan ada pemeriksaan pendahuluan, semua permohonan yang masuk ke MK akan dinilai terlebih dahulu pada tahapan ini. Sepanjang pemohon dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM dan bukti- bukti tersebut mampu memberikan keyakinan pada hakim, ambang batas jangan dijadikan sebagai instrumen untuk membunuh upaya pencarian keadilan substantif. Bagaimana pun, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh diisi oleh mereka yang meraih dukungan dengan cara yang curang. Dalam konteks itu, peranti ambang batas tidak boleh dijadikan sebagai tameng guna melindungi pelanggaran yang nyata-nyata memenuhi unsur TSM.
  • 11. 11 SALDI ISRA Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
  • 12. 12 Drama MKD dan Politik Perwakilan 23-12-2015 Kasus sidang Mahkamah Kehormatan Dewan terhadap anggota DPR RI Setya Novanto seharusnya memberikan pembelajaran penting bagi transformasi demokrasi di Indonesia, terutama untuk memperkuat sistem politik perwakilan. Akhirnya Setya Novanto hanya mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR RI tanpa disertai sanksi konkret dari MKD menunjukkan tontonan drama politik telanjang nan memuakkan. Apalagi, pengunduran diri yang diajukan Setya Novanto bukanlah pengunduran diri dari keanggotaan DPR RI. Tulisan ini tidak hendak menghakimi Setya Novanto, tetapi untuk menjadi refleksi terhadap politik perwakilan saat ini. Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (3), peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik. Artinya, yang boleh mengikuti pemilihan umum legislatif dan nanti yang memiliki kursi di DPR/DPRD adalah partai politik, bukan individu politisi. Individu politisi hanya menduduki kursi di lembaga legislatif karena kemurahan hati partai politik semata, bukan karena dukungan suara yang diperolehnya. Inilah yang tersurat di dalam UUD 1945. Penegasan soal kepesertaan pemilu legislatif ini termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 7 tentang Peserta Pemilu. Untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik. Namun, di undang-undang yang sama di pasal yang berbeda, Pasal 154, disebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara. Di sini tersurat ada pembelokan dari mandat Undang-Undang Dasar 1945 tentang peserta pemilu. Bila pasal tersebut dibaca (bagian yang ditulis miring), individu boleh dan sah mengikuti pemilu legislatif selama dia menjadi anggota partai dan menjadi calon anggota legislatif. Bila namanya dicoblos dengan sah, suara yang diberikan oleh pemilih juga sah sebagai suara individu. Suara tersebut juga berkontribusi pada pencapaian suara partai tempat si politisi bergabung. Inilah salah satu penyebab terjadi drama MKD terkait Setya Novanto. Dalam pemilu legislatif pada 2014, Setya Novanto mendapatkan suara individu yang lebih besar dari suara partainya di daerah pemilihan NTT-2. Sebagai individu, Setya Novanto mendapatkan 85.818
  • 13. 13 suara sah, jauh melampaui yang diraih partainya dengan 23.911 untuk rekapitulasi suara Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Timur II (Dapil NTT II). Momentum Perbaikan Sistem Pemilu Bila mengacu pada UUD 1945, sistem pemilihan umum legislatif yang berlaku seharusnya adalah sistem daftar partai (party list) di mana hanya partai politiklah yang boleh ikut pemilu legislatif. Pemilih hanya akan memilih salah satu partai di dalam lembar suara pemilu legislatif supaya suaranya sah. Nama-nama calon anggota DPR/DPRD tidak perlu ada di dalam lembar suara karena mereka adalah individu politisi yang bernaung di dalam sebuah partai politik, bukan partai politik. Ini berlaku bagi pemilihan anggota DPR dan DPRD, bukan DPD. Untuk menarik pemilih, nama- nama mereka hanya dikenalkan oleh partai peserta pemilu kepada para pemilih tanpa harus tertulis di dalam lembar kertas suara. Dengan begitu, pemilih hanya akan fokus pada partai politik peserta pemilu, bukan pada individu daftar calon anggota legislatif yang ditawarkan oleh masing-masing partai politik peserta pemilu. Bila ini dilakukan, pelaksanaan pemilu legislatif akan sesuai mandat UUD 1945. Berdasarkan aturan yang berlaku, keberhasilan Setya Novanto memperoleh suara lebih banyak dari partainya telah mengubah konstelasi dan posisi partai politik terhadap Novanto. Kemenangan Partai Golkar di daerah pemilihan NTT-2 adalah kontribusi besar Novanto, yang tanpanya, Partai Golkar belum tentu bisa memenanginya. Dengan begitu, para petinggi Partai Golkar tidak berani untuk melakukan recall kepada Novanto ketika kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden di MKD bergulir. Hal yang sama juga seharusnya menjadi pertimbangan Partai Golkar ketika tiga anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dari Fraksi Partai Golkar hadir dalam acara konferensi pers oleh Menko Polhukam Luhut B Panjaitan ketika proses di MKD sedang bergulir. Menko Polhukam Luhut menjadi salah satu calon saksi yang akan dipanggil di dalam sidang tersebut. Bila partai politik memang benar-benar berkuasa terhadap kursi-kursi yang diduduki oleh para politisi partai di parlemen, tentu ihwal yang terkait kepantasan dan etika politik yang terindikasi dilanggar oleh anggota dewan tersebut akan menjadi dasar bagi dewan pimpinan partai politik untuk memberikan teguran atau bahkan sanksi disiplin partai. Karena, apa pun yang dilakukan para individu anggota dewan tersebut tidak bisa lepas dari statusnya sebagai kader partai politik dan karena ada dampaknya, baik positif maupun negatif. Drama MKD dan pengesahan RUU Kodifikasi Undang-Undang Pemilu sebagai salah satu RUU yang akan dibahas di dalam Program Legislasi Nasional 2016 harus menjadi momentum untuk memperbaiki keadaan ini. Pembenahan terhadap aturan yang ada, terutama
  • 14. 14 terkait peserta pemilu sebagaimana dimandatkan UUD 1945, akan bisa memperkuat posisi partai politik dalam upayanya mendisiplinkan anggotanya yang duduk di dewan perwakilan supaya tetap sesuai dengan visi-misi dan program partai. Penegasan aturan ini juga akan memberikan ruang yang luas bagi pemilih untuk menuntut kinerja partai politik yang lebih baik atau menghukumnya di dalam pemilihan umum. Dengan demikian, proses penguatan politik perwakilan sebagai bagian dari transformasi demokrasi di Indonesia bisa terjadi, selangkah demi selangkah. AHMAD QISA’I Manajer Program di Kemitraan dan Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina
  • 15. 15 Pola Acak Komunikasi Politik 28-12-2015 Salah satu penanda proses politik yang riuh rendah sepanjang 2015 adalah pola acak dalam komunikasi politik. Politisi yang bertarung tak selalu ajek dalam posisi politiknya, melainkan berubah-ubah seiring konteks kepentingan politik yang mereka miliki. Karena itu, kita melihat meski di atas kertas ada polarisasi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP), sejatinya dalam praktik politik sangat cair, dinamis, dan mengedepankan politik konsensus. Beragam peristiwa politik yang hadir sepanjang tahun ini menjadi bukti peran signifikan komunikasi politik dalam mengatasi kebuntuan hubungan. Hubungan Semu Realitas politik menggambarkan bahwa hubungan kekuasaan belum atau mungkin tak lagi dipandu oleh pilihan ideologis. Dalam keacakan beragam peristiwa politik, proses komunikasi politiknya lebih dominan mengarah ke lobi dan transaksi. Di panggung politik kekinian, Jokowi-JK pun berkutat dengan beragam tekanan yang harus diselesaikan lewat komunikasi antarpribadi dan lobi yang intens. Pertama, pola hubungan DPR dengan pemerintah yang mengalami dialektika relasional. Awal tahun ini, kita mencatat tesis Juanz Linz dalam tulisannya, The Failure of Presidential Democracy: Comparative Perspectives (1994), bahwa sistem presidensial memunculkan pola hubungan yang tidak harmonis akibat minimnya konsultasi dua lembaga, tidak sepenuhnya tepat. Linz percaya akan ada dual legitimacy karena eksekutif dan legislatif yang merasa pilihan rakyat sama-sama merasa berhak menentukan arah kebijakan nasional sehingga memunculkan ancaman disintegrasi, terutama saat dua lembaga ini berbeda orientasinya. Dalam perspektif Linz, sistem pemerintahan Indonesia bisa dikategorikan sebagai presidensialisme dengan sistem multipartai yang terfragmentasi kuat (a highly fragmented multiparty system) dan ini dipandang sebagai kombinasi rumit yang diprediksi mengalami kebuntuan politik. Di awal perjalanan Jokowi-JK dan saat terjadi perebutan kekuasaan alat kelengkapan dewan yang dipicu oleh perubahan UU MD3, tesis kebuntuan politik hampir nyata adanya. Terutama, saat mengemukanya istilah pemerintahan yang terbelah. Hanya, situasi ini tak berlangsung lama, ketika muncul inisiatif dari politisi untuk mengambil pola lama yang dikembangkan hampir semua presiden pasca-Reformasi yakni model konsensus di tengah
  • 16. 16 pola acak yang terjadi. Jokowi mengakomodasi tekanan partai penyokong utama kekuasaan yakni PDIP dengan melakukan reshuffle pertama di beberapa pos dan mendepak beberapa orang yang tidak terlalu kuat back up politiknya untuk memuluskan langkah konsensus. Tak berhenti di situ, komunikasi dua tahap pun dijalankan Jokowi dengan hampir semua kekuatan nyata di DPR lewat pengendalian orang-orang kunci yang bisa mengubah konfigurasi kekuatan di DPR. Jokowi membangun kerja public relations politik dan persuasif memasukkan PAN ke dalam gerbong partai-partai pendukung kekuasaan. Gayung bersambut, PAN pun menerima dan mendeklarasikan secara simbolik dukungannya kepada pemerintah di Istana. Tapi, “tak ada makan siang yang gratis!” Keberlanjutan dukungan PAN pun akan sangat dipengaruhi konsesi politik dari pihak Jokowi. Akankah reshuffle kabinet kedua berlangsung segera untuk mengakomodasi PAN dalam kekuasaan? Perubahan peta sepanjang 2015 pun sangat dipengaruhi oleh konflik internal yang dialami partai-partai di luar kekuasaan misalnya yang terjadi di Partai Golkar dan PPP. Hingga sekarang dua partai tersebut belum mencapai rekonsiliasi yang utuh. Variabel ini pun menjadi bacaan penting untuk melihat pola acak yang terjadi di jagat politik nasional. Sangat mungkin, awal 2016 akan ada kejutan perubahan kongsi politik di antara partai-partai setelah melalui fase turbulensi tahun ini. Tentu, memiliki efek domino pada pola hubungan kuasa antara Jokowi-JK dan eksekutif yang dipimpinnya dengan legislatif yang saat ini berada di titik nadir akibat kisruh persoalan etika dan pertarungan politik di MKD yang meniscayakan Ketua DPR Setya Novanto mengundurkan diri. Kedua, pola acak juga terjadi dalam penyelenggaraan demokrasi elektoral di daerah. Pilkada serentak di 265 daerah dari 269 yang direncanakan memperlihatkan koalisi partai politik di level nasional tidak berimbas pada peta kekuatan di daerah-daerah. Tak ada koalisi permanen, yang ada kongsi politik pragmatis. Tak ada KIH dan KMP di pilkada, pun demikian tak ada basis ideologi maupun kongsi berdasarkan platform partai, yang ada adalah pendekatan struktur peluang. Basis struktur peluang itu selalu tiga variabel dominan yakni probabilitas perolehan suara dari paket yang didorong, biaya pertarungan (cost of entry) yang akan ditanggung siapa, dan skema keuntungan kekuasaan (benefit of office). Realitas tersebut meneguhkan bahwa di satu sisi keacakan pola membuat hubungan- hubungan politik tidak buntu, tetapi juga di sisi lain berpotensi kuatnya pragmatisme berbasis politik transaksional. Hubungan untuk tidak saling menegasikan, melainkan saling merangkul dan mengakomodasi bisa juga semakin meneguhkan hubungan semu, palsu, artifisial, dan saling menelikung! Mengelola Hubungan
  • 17. 17 Beragam pertarungan yang mengemuka sepanjang 2015 dikhawatirkan berimbas pada rakyat di tengah the clash of the titans. Misalnya, makin mulusnya revisi UU KPK yang tidak bermotif penguatan, melainkan pelemahan. Diusungnya para komisioner KPK oleh politisi Senayan yang tidak terlalu memuaskan publik sehingga melemahkan dukungan arus bawah pada institusi ini. Tetap diakomodasinya dana aspirasi, anggaran gedung baru DPR, dan lain- lain hasil negosiasi untuk memuluskan pengesahan APBN 2016. Pun demikian dengan reshuffle kabinet. Sejatinya, alasan terjadi perombakan adalah perbaikan kinerja dan performa kabinet. Karena itu, standar yang digunakan seharusnya indeks performa kinerja para menteri yang harus dipantau oleh Jokowi selaku pemilik hak prerogatif. Keliru jika perombakan sekadar memuaskan para pemburu kekuasaan, terutama untuk memberi kursi pada para “pedagang” yang datang kemudian. Tak salah jika pemerintah berupaya mencari titik keseimbangan politik dengan mengelola hubungan. Tetapi, sejarah membuktikan koalisi besar partai politik dalam kekuasaan pun belum menjamin tak ada gangguan dari mereka yang diberi jatah di pemerintahan. Banyak partai yang berjalan dengan rasionalitas dan kepentingannya sendiri-sendiri sehingga tak merasa punya tanggung jawab moral dan organisasional untuk loyal serta berkhidmat pada rakyat melalui kejelasan posisi politiknya. Kekuasaan memang selalu memberi pilihan dilematis antara mengelola keseimbangan politik berbasis zona nyaman elite dan mengelola hubungan dengan poros utama kerja untuk rakyat. Akar kekuasaan bagaimanapun bersumber dari mandat rakyat. Karena itu, jangan sampai mengelola hubungan di tengah keacakan pola hubungan membuat penguasa abai pada ikrarnya yakni bekerja untuk rakyat! DR GUN GUN HERYANTO Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
  • 18. 18 Drama Politik yang Menjemukan 29-12-2015 Ketika Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR sedang bersiap menyiapkan putusan bagi Setya Novanto atas laporan pelanggaran etik anggota Dewan yang dilaporkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said, Presiden Joko Widodo sedang bercengkerama dengan para pelawak dan komik, para komedian jenakata (stand-up comedy). Entah kebetulan atau tidak, banyak pemerhati politik melihat, ini cara Jokowi menyatakan sikap. Ada yang lebih lucu dari drama MKD di Senayan yaitu lawakan para komik. Drama politik lainnya juga terlihat sebelumnya tentang sosok Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli. Sesaat setelah dilantik, Rizal begitu agresif mengkritik langkah pemerintah. Sebut saja soal pembangunan megaproyek listrik 35.000 megawatt (MW) yang disebutnya tidak realistis dan diturunkan menjadi 16.000 MW. Persoalan proyek prestisius Jokowi tersebut sampai membuat Rizal Ramli menantang JK untuk berdebat di hadapan publik terkait proyek ini. Publik pun menduga-duga, apa tidak salah pilih Jokowi menunjuk Rizal masuk dalam kabinetnya dan membawa kegaduhan di internal pemerintahan. Sejumlah analis pun menduga ini bagian dari strategi Jokowi untuk mengimbangi pengaruh Jusuf Kalla. Diakui atau tidak, Kalla menjadi kekuatan politik tersendiri dalam pemerintahan ini. Pengalaman di rezim SBY di mana Kalla seakan lebih dominan dari presiden tentu menjadi kekhawatiran sendiri bagi Jokowi dan tentu saja bagi PDIP sebagai partai politik pengusung utamanya. Tidak heran jika kemudian pernyataan anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, yang mengatakan kegaduhan satu tahun kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla lebih banyak terletak pada Kalla yang menjadi sumbernya. Pernyataan Masinton ini pun dibantah juru bicara wakil presiden, Husain Abdullah, yang mengatakan tuduhan yang dilemparkan politikus PDIP tersebut justru membuat kegaduhan baru yang tidak perlu. Di penghujung 2015 ini publik masih saja disuguhi drama politik. Sepanjang 2015 itulah yang dominan terjadi. Panggung politik masih dipenuhi drama-drama politik yang lebih banyak pada domain elite. Dimulai dengan terbentuknya DPR 2014-2019 yang terbelah dengan hadirnya Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintah dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang berada di luar pemerintahan. Dua kekuatan ini saling berhadapan dalam sejumlah kasus, sebut saja soal pemilihan pimpinan DPR dan MPR, mekanisme pilkada, pemilihan kapolri, dan pemilihan jaksa agung. Dalam sejarah, pengangkatan jaksa agung dari unsur partai politik baru kali ini terjadi.
  • 19. 19 Kegaduhan tidak berhenti di sini, polemik pemilihan kapolri merembet pada ketegangan hubungan Polri dan KPK terkait penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan yang kemudian dinilai tidak sah di praperadilan. Ketegangan ini berujung pada dinonaktifkannya dua komisioner dan satu orang penyidik KPK karena menjadi tersangka kasus hukum yang diyakini oleh sebagian besar kalangan sebagai upaya kriminalisasi terhadap keduanya. Terakhir, kegaduhan dari legislatif adalah terkait revisi UU KPK yang membelah sikap, antara pendukung revisi dan penolak revisi. Kegaduhan dari Senayan semakin lengkap dengan terseretnya tiga legislator dalam kasus korupsi dan gratifikasi. Setidaknya sudah tiga orang anggota DPR yang terjerat oleh KPK yakni Adriansyah (PDIP), Patrice Rio Capella (NasDem), dan Dewie Yasin Limpo (Hanura). Ujungnya, kasus Setya Novanto di MKD semakin merontokkan citra DPR di mata publik. Apalagi jika melihat rekam jejak kinerja legislatif yang jauh dari harapan rakyat. Lihat saja sepanjang 2015 ini hanya ada 3 UU yang diselesaikan dari 40 rancangan UU prioritas 2015. Menjemukan Lalu, apakah drama-drama politik yang disuguhkan ke publik ini berdampak baik pada citra pemerintah di hadapan publik? Sejumlah lembaga survei menyebut terjadi penurunan apresiasi publik pada kinerja pemerintah. Survei yang dilakukan Indo Barometer misalnya pada satu tahun pemerintahan Oktober lalu memperlihatkan bahwa sebanyak 47,3% responden mengaku kurang puas terhadap kinerja Jokowi-JK, sementara yang cukup puas sekitar 44,8%. Hal yang sama juga disebutkan oleh survei LSI yang mencatat, mereka yang puas di bidang ekonomi hanya 29,79%, hukum 47,22%, politik 43,75%, sosial 48,39%, dan keamanan 53,85%. Kepuasan publik di sektor ekonomi tercatat paling rendah. Pengurangan subsidi bahan bakar oleh pemerintah juga diakui menjadi pemicu turunnya apresiasi publik pada kinerja pemerintah. Ini menjadi potret bahwa drama-drama politik yang disuguhkan ke publik tidak serta-merta membuat apresiasi di mata publik. Hal ini boleh jadi menguatkan sinyalemen bahwa drama politik kaum elite menjemukan bagi publik. Meminjam pendekatan sosiolog Erving Goffman yang mendalami teori dramaturgi yang menyebutkan bahwa interaksi sosial itu layaknya pertunjukan teater di mana manusia adalah aktor utamanya, baik sebagai pemeran utama maupun penonton saja. Dalam pertunjukan teater tersebut, manusia akan mengembangkan perilaku yang berbeda agar pertunjukannya bisa dinikmati penonton. Selama ini publik sudah banyak disuguhi panggung depan kaum elite. Boleh jadi publik sudah banyak tahu soal panggung belakangnya. Empat tahun sisa periode pemerintahan mestinya harus disuguhkan kepada publik tentang cerita drama politik yang membumi,
  • 20. 20 merakyat, dan bermanfaat bagi kemaslahatan publik. ANNA LUTHFIE Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo)
  • 21. 21 Tetap Berharap pada KPK 30-12-2015 Rutin saja apabila setiap tahun dilakukan evaluasi terhadap tahun lalu (2015) dan ekspektasi terhadap tahun mendatang (2016) bagi berbagai bidang. Hukum tetap menjadi perhatian karena berbagai implikasi bagi bidang-bidang lain. Geliat ekonomi, investasi, pariwisata, semuanya sangat terkait erat dengan bidang hukum. Kekuatan utama yang dimiliki oleh negara-negara yang telah sangat sejahtera seperti negara-negara Skandinavia (Swedia, Norwegia, Finlandia, dan Denmark) adalah leading-nya bidang hukum. Hukum sebagai panglima bukan hanya basa-basi, sekadar ungkapan tertulis yang jauh dari kenyataan. Selain penegakan hukum yang kuat, negara-negara Skandinavia sangat terkenal dengan rendahnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Korupsi sungguh rendah di negeri ini sehingga mendekati angka nol. Zero KKN bukan hanya slogan, tetapi benar-benar praktik nyata keseharian. Kelemahan utama Indonesia justru pada dua hal itu, lemahnya penegakan hukum dan parahnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Saking membudayanya KKN, kebanyakan orang sudah mati rasa soal ini. Banyak yang tidak memiliki nurani lagi, tanpa alarm, dan seakan mati rasa atas perbuatan yang masuk kategori KKN atau bukan. Pendek kata, seakan sah saja semua perbuatan bertujuan memperkaya diri sendiri atau kelompoknya tanpa terusik dengan berbagai ketentuan hukum. Itu sebabnya, publik sangat ingin penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di negeri ini berjalan dengan baik. Atas dasar itu juga, atensi publik tinggi terhadap proses seleksi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KKN). Namun, apakah komisioner KPK jilid IV sekarang ini sudah sesuai ekspektasi publik? Tes oleh DPR Pemerintah sepertinya telah membakukan sistem seleksi anggota lembaga-lembaga negara seperti KPK, Komisi Yudisial, dan Ombudsman. Proses seleksi melalui Kementerian Sekretariat Negara menggunakan panitia seleksi yang kompeten di bidangnya. Semua anggota Pansel KPK 2015 adalah perempuan. Mungkin melalui cara ini diyakini pansel akan lebih sulit untuk diintervensi. Proses panjang seleksi itu menghasilkan sepuluh nama yang disampaikan kepada Komisi III
  • 22. 22 DPR RI. Parlemen yang berhak memilih lima dari sepuluh nama sebagai komisioner KPK lima tahun ke depan. Memang publik telanjur memiliki ekspektasi tinggi terhadap kandidat seperti Busro Muqoddas dan Johan Budi. Publik yang sudah telanjur mengunci dua nama ini sebagai sosok yang ideal, baik, pas sebagai komisioner KPK dikejutkan dengan apa yang diputuskan oleh DPR RI. Ternyata dua nama harapan publik ini justru tidak diloloskan oleh DPR RI. Macam-macam komentar publik muncul di berbagai media. Media sosial juga memuat berbagai bentuk kekecewaan masyarakat atas gagalnya dua nama tersebut. Intinya, kecewa dengan apa yang telah diputuskan DPR terhadap lima nama yang dinyatakan lulus sebagai komisioner KPK 2016-2021. Walau publik kecewa dengan hasil yang ada, secara yuridis tidak ada yang dilanggar oleh Komisi III DPR RI. Mereka memang diberi kewenangan untuk memilih “secara bebas” dari calon yang diajukan. Artinya, Komisi III memiliki kebebasan penuh untuk memilih atau tidak memilih dari alternatif yang ada. Profil Para Komisioner Memang undang-undang tidak mengharuskan seorang komisioner KPK berlatar belakang sarjana hukum. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mensyaratkan komisioner KPK antara lain berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan. Namun, tentu ada alasan juga mengapa undang-undang mengutamakan mereka yang berlatar belakang sarjana hukum. KPK sangat kental dengan nuansa penegakan hukum dengan berbagai implikasi. Lazimnya, sosok yang terbiasa dengan “hiruk-pikuk” penegakan hukum lebih cocok berada di KPK. Dengan pertimbangan sendiri, Komisi III DPR RI telah memilih lima orang unsur pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Laode Muhamad Syarif, dan Saut Situmorang. Secara yuridis semata, tidak ada yang salah dengan pilihan anggota DPR RI ini karena memang dalam kewenangan mereka. Harapan pada KPK Sejak berdiri KPK, harapan kepada lembaga ini semakin menguat. Pada 2015 saja publik telah menyaksikan beberapa tindakan tegas KPK, termasuk terhadap pejabat daerah yang mungkin sejak lama tidak terjangkau oleh aparat hukum di daerah. Semua unsur pimpinan DPRD Kabupaten Musi Banyuasin (Sumatera Selatan) dan Bupati Pahri Azhari beserta istrinya telah ditahan KPK. Malah sebelumnya sekretaris jenderal partai NasDem tinggal menunggu vonis. Ada beberapa harapan besar kepada KPK pada 2016 ini. Pertama, kemampuan lembaga ini menuntaskan berbagai kasus besar yang belum sempat dibawa ke pengadilan oleh komisioner
  • 23. 23 periode lalu. Publik masih menunggu di antaranya kelanjutan kasus BLBI dan EKTP yang cukup menghebohkan dan mengundang ekspektasi publik yang tinggi atas penuntasannya. Selain itu, publik juga sangat berharap KPK mampu membersihkan lembaga-lembaga hukum dari praktik KKN. Sungguh pun masih saja sebagian menyatakan bahwa yang korup itu hanya beberapa oknum hukum, bukan lembaganya. Namun, tetap saja kepercayaan publik terhadap lembaga hukum tergolong rendah. Mestinya KPK memiliki nyali melakukan penindakan terhadap para koruptor yang terus bergentayangan dan mungkin berseragam aparat hukum. Harapan publik lainnya terhadap KPK adalah peningkatan kemampuan melakukan penindakan. Bagi publik justru kekhasan KPK adalah langkah penindakannya yang menonjol ketimbang langkah pencegahan. Biarlah soal pencegahan menjadi prioritas lembaga-lembaga lain saja. Korupsi di Indonesia memang sudah sangat keterlaluan. Langkah-langkah penindakan yang tegas dan keras selama ini belum menimbulkan efek jera. Buktinya, praktik KKN masih saja merata. Sepertinya tidak ada kata “jera” dalam kamus para pelaku KKN tersebut. Atas alasan-alasan itulah, mengapa publik sangat mendambakan sosok anggota KPK yang berani, profesional, dan lepas dari tekanan pihak mana pun. Kini lima orang komisioner KPK yang baru telah dilantik oleh Presiden. Kita tidak pada posisi dapat membatalkan proses yang sudah dilalui ini. Sekecewa apa pun publik, tapi yang pasti tidak ada pelanggaran yuridis oleh DPR RI dalam proses seleksi itu karena memang kewenangan memilih itu ada pada mereka. Terlalu dini jika meragukan lima komisioner KPK yang baru. Saya meyakini apabila pengawasan publik ketat bersama media yang profesional dan fokus terhadap pemberantasan korupsi, lima komisioner KPK itu pada posisi harus bekerja secara profesional. Mereka harus legawa menerima kritik publik yang menjelma dalam berbagai rupa. Dalam soal pemberantasan korupsi ini, pada 2015 dan di masa-masa mendatang harapan publik tetap tinggi kepada KPK. PROF AMZULIAN RIFAI PhD Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
  • 24. 24 Mimpi Demokrasi Gus Dur 30-12-2015 Telah enam tahun, sejak wafat pada 30 Desember 2009, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita. Di Haul Ke-6 ini, perlu kiranya kita menengok kembali mimpi beliau akan republik ini terutama dalam konteks demokratisasi. Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah pejuang demokrasi. Tidak hanya dalam pembelaan atas minoritas beragama dan ideologi, tetapi juga emansipasi atas ketertindasan mayoritas rakyat. Meminjam Carol C Gould, kontur demokrasi Gus Dur berada di titik seimbang antara demokrasi politik dan demokrasi sosial. Inilah yang ia maksud dengan demokratisasi politik menuju struktur masyarakat berkeadilan. Artinya, terwujudnya kebebasan dan partisipasi politik menjadi syarat bagi terpenuhinya hajat hidup rakyat. Maka tak heran jika Gus Dur menempatkan tiga nilai; syura (demokrasi), ‘adalah (keadilan), dan musawah (persamaan) sebagai pandangan dunia (Weltanschauung) Islam. Ini berarti Islam adalah agama demokratik yang menyerukan keadilan sosial dan persamaan hak warga negara di hadapan hukum. Semua pemikiran dan perjuangannya bersumber dari pandangan- dunia ini. Dalam konteks ini terdapat tiga poin besar gagasan demokrasi Gus Dur. Pertama, demokrasi harus ditegakkan melalui kedaulatan hukum. Inilah yang membuatnya selaku ketua Pokja Forum Demokrasi (Fordem) menggagas perlunya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan banding konstitusi. Ide ini sudah ia lontarkan pada 1992, jauh sebelum MK berdiri (Wahid, 1992: 5). Sebagaimana fungsi MK sekarang, Gus Dur saat itu menegaskan perlunya pendampingan atas rakyat dalam menghadapi undang-undang (UU) yang mencederai keadilan dan prinsip UUD 1945. Dalam kaca mata Jurgen Habermas, pandangan seperti ini menandai mimpi akan tegaknya negara hukum, di mana konstitusi menjadi “engsel” penyambung keterpisahan negara dan dunia kehidupan (Lebenswelt). Artinya, dengan mengajukan judicial review atas UU kontra rakyat melalui MK, masyarakat politik Indonesia sedang menuju penguatan negara hukum demokratik. Kedua, sebagai sistem politik, demokrasi merupakan “wasit ideologi” yang adil. Ia tidak hanya memberikan jalan bagi “Islam formalis” untuk berkontestasi dalam pemilu, namun juga memberikan rasa aman bagi kaum sekuler dan moderat karena semua ideologi harus disaring melalui pemilu. Kemenangan sebuah ideologi tidak ditentukan melalui revolusi, melainkan kemampuannya memenangkan hati rakyat (Wahid, 1987:3).
  • 25. 25 Ketiga, karena fokus pada pengembangan struktur politik berkeadilan, pandangan Islam demokratik Gus Dur terbebas dari sekularisasi dan integrasi (penyatuan agama dan negara). Dalam hal ini, pemikirannya lebih dekat dengan tradisi republikanisme daripada liberalisme. Meskipun tak sepakat dengan pendirian negara Islam di Indonesia (dan sepakat jika didirikan di Timur Tengah), solusinya bukanlah sekularisasi, melainkan perwujudan hakikat politik Islam melalui demokrasi. Pada titik ini, Gus Dur menekankan hakikat politik Islam yang bersumber dari tiga nilai Weltanschauung Islam di atas, dalam perjuangan Islam dan politiknya. Maka itu, Gus Dur tak memerlukan negara Islam karena bahkan atas negara-bangsa (nation- state) sendiri, hakikat politik itu harus diperjuangkan. Artinya, yang terpenting dari politik Islam adalah mewujudkan hakikat politik, bukan formalisasi hukum Islam melalui negara. Ini selaras dengan pandangan republikan yang menempatkan kebaikan bersama (res publica) sebagai hakikat politik yang harus diwujudkan melalui demokrasi partisipatoris. Dalam konteks ini kita melihat bahwa Gus Dur memang setuju dengan pemisahan agama dari negara, tetapi menolak perceraian Islam dari politik. Hanya, meskipun tak sepakat dengan negara Islam, Gus Dur tetap mengamini penegakan syariah dalam naungan NKRI. Penegakan itu dilakukan melalui; (1) penerapan partikel hukum Islam (waris, nikah, wakaf, dan haji) dalam kerangka hukum nasional; (2) menjadikan syariah sebagai etika sosial di masyarakat (Wahid, 1982: 6). Maka itu, perjuangan Islam demokratiknya merupakan penegakan etika sosial Islam yang mengarah pada pemenuhan hak-hak dasar manusia. Relevansi Pemikiran Lalu, apa relevansi gagasan Gus Dur ini? Tentu ia bermimpi bahwa politik kita tak lagi terjebak dalam “demokrasi seolah-olah” sebagaimana dialaminya di masa Orde Baru. Sebuah praktik manipulatif, di mana demokrasi hanya ditandai oleh keberadaan lembaga-lembaga negara, namun raib sebagai kualitas kehidupan politik. Faktanya, Gus Dur sudah mewujudkan mimpinya itu, melalui pemenuhan hak sipil dan politik rakyat ketika menjabat presiden ke-4 RI. Penegakan supremasi sipil, pengembalian TNI ke barak, penghapusan Bakorstanas, Litsus, serta Departemen Penerangan adalah upayanya agar masyarakat sipil menikmati kebebasan berserikat dan berpendapat dalam demokrasi tak seolah-olah. Hanya, mimpinya akan struktur masyarakat berkeadilan belum juga menjadi ujung dari praktik demokrasi. Hal ini terjadi karena kita mengalami pergeseran kesemuan demokrasi, dari “kesemuan institusional”, menuju “kesemuan prosedural”. Artinya, ketika kita telah menikmati institusi dan prosedur politik demokratis, kita masuk dalam jebakan “kesemuan prosedural” karena tujuan demokrasi dibajak oleh para pengguna prosedur tersebut. Dalam konteks ini, kita perlu menjadikan definisi demokrasi Gus Dur sebagai batasan utama demokrasi. Artinya, sejauh struktur masyarakat berkeadilan belum terbentuk, sejauh itu pula demokrasi belum ditegakkan, meskipun segenap prosedurnya telah dilaksanakan. Pada titik
  • 26. 26 inilah umat Islam perlu bersatu untuk mewujudkan tujuan utama demokrasi. Hanya, menurut Gus Dur, selama kaum muslim belum beranjak dari “relativisme kelompok” menuju perjuangan kemanusiaan universal, selama itu pula agama lebih menjadi hambatan daripada pendorong demokratisasi. Diperlukan kesadaran untuk mendudukkan Islam “satu meja” dengan demokrasi demi pemuliaan harkat manusia yang telah ditegaskan Alquran yang suci (17:70). SYAIFUL ARIF Dosen Mata Kuliah Pemikiran Gus Dur, Pascasarjana STAINU Jakarta
  • 27. 27 Jokowi dan Pemberantasan Korupsi 31-12-2015 Tahun 2015 adalah tahun yang berat bagi pemberantasan korupsi. Tahun yang membuat publik khawatir akan masa depan agenda pemberantasan korupsi; semakin gencar atau tutup buku. Beragam serangan yang sporadis dan sistematis untuk mengerdilkan sepak terjang KPK dan pemberantasan korupsi terus dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan eksisnya agenda pemberantasan korupsi. Mulai dari kriminalisasi terhadap pimpinan dan staf KPK serta pegiat-pegiat antikorupsi, sampai pada ancaman membubarkan KPK atau paling tidak melemahkan institusi tersebut melalui revisi undang-undang. Ironinya, hal ini terjadi di tahun awal pemerintahan yang katanya menjunjung tinggi gagasan anti-korupsi. Pemerintah terlihat gagap dalam melindungi agenda pemberantasan korupsi. Padahal, publik masih belum lupa janji politik Presiden Jokowi yang akan berpihak pada pemberantasan korupsi. Arah Kebijakan Hingga saat ini belum terlihat jelas arah kebijakan anti-korupsi yang diusung Presiden Jokowi. Belum ada hal baru, apalagi yang mampu berefek kejut. Inisiatif kebijakan anti- korupsi sangat minim. Sejauh ini Presiden hanya menerbitkan satu kebijakan yang terkait langsung dengan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Yaitu Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2015. Inpres ini berisi perintah kepada kementerian/lembaga pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat program-program yang mendukung pencegahan korupsi, terutama di bidang pengadaan barang dan jasa. Namun, patut dicatat bahwa inpres ini adalah kebijakan yang seolah sudah menjadi tradisi di setiap rezim pemerintahan. Seakan sudah menjadi rutinitas. Setiap tahun pemerintah menerbitkan inpres khusus tersebut. Tradisi ini merupakan inisiatif Presiden SBY. Kala itu SBY menerbitkan Inpres Nomor 5 tahun 2004 tentang Upaya Percepatan Pemberantasan Korupsi. Kemudian, dilanjutkan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang dan Menengah. Lalu setiap tahun, SBY menerbitkan inpres yang berisi program aksi anti-korupsi di pemerintahan.
  • 28. 28 Inpres yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi adalah melanjutkan tradisi yang sudah dimulai oleh SBY. Isinya hampir sama. Tidak ada hal baru. Namun, patut dicatat bahwa telah banyak kritik atas efektivitas program-program anti-korupsi itu. Program yang dijalankan masih terasa sangat formalistis demi memenuhi kewajiban administrasi. Masih banyak aspek substansi persoalan yang tidak disentuh. Akibatnya, korupsi masih tumbuh subur di birokrasi. Bahkan, pengalaman telah membuktikan bahwa ada banyak instruksi presiden yang diabaikan oleh jajaran birokrasi di kementerian dan pemerintah daerah. Tantangan bagi Presiden Jokowi adalah menunjukkan orisinalitas gagasannya dalam hal pemberantasan korupsi. Publik memilih Jokowi pada pemilihan presiden tahun lalu karena berharap Jokowi akan mengusung gagasan orisinal yang berbeda dan lebih ampuh dari rezim pemerintahan sebelumnya. Inilah yang ditunggu publik. Namun jujur harus diakui, Jokowi belum bisa memenuhi janjinya. Tahun 2015 berlalu tanpa ada inisiatif kebijakan anti-korupsi yang ampuh. Presiden Jokowi terlihat masih belum serius mengurusi soal pemberantasan korupsi atau terkesan menghindar. Boleh jadi karena dua alasan. Pertama, karena Presiden disibukkan dengan persoalan ekonomi yang melilit dan gaduh politik yang tak kunjung berhenti. Atau kedua, karena ketidakberanian Presiden untuk masuk dalam zona perang melawan korupsi sebab boleh jadi akan berhadapan dengan kongsi politiknya sendiri. Komitmen dan Bernyali Perang melawan korupsi harus dipimpin oleh panglima perang yang tegas dan bernyali. Dibutuhkan komitmen kuat, kebijakan dan aksi nyata serta nyali untuk mengeksekusinya. Oleh karena, korupsi berkaitan erat dengan kekuatan politik dan jaringan kekuasaan. Komitmen dan kebijakan akan sulit dijalankan jika Presiden tidak berani menerobos hambatan politis. John St. Quah dalam bukunya Curbing Corruption in Asia (2006) mencatat, keberanian presiden menjadi faktor penentu keberhasilan pemberantasan korupsi. Meneliti pemberantasan korupsi di Asia (Mongolia, India, Filipina, Singapura, Hong Kong, dan Korea Selatan), Quah menyimpulkan bahwa gagalnya pemberantasan korupsi di beberapa negara di Asia, seperti Filipina, disebabkan lemahnya keberanian presiden untuk menindak pejabat dan elite politik yang berada dalam lingkaran kekuasaannya. Pendapat Quah ini diamini oleh Robert Klitgaard (2008) yang menempatkan keberanian mengeksekusi program pemberantasan korupsi sebagai kunci sukses memberantas korupsi. Undang-undang anti-korupsi dan badan khusus anti-korupsi tidaklah cukup menjamin efektivitas pemberantasan korupsi. Quah mencontohkan kegagalan pemberantasan korupsi pada masa pemerintahan Presiden
  • 29. 29 Corazon Aquino di Filipina. Walaupun Filipina pada waktu itu memiliki seperangkat UU dan badan anti-korupsi, upaya pemberantasan korupsi tidak efektif karena absennya komitmen politik dan keberanian untuk menghukum orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaannya. Persoalan yang sama dengan pengalaman Filipina juga dihadapi Indonesia. Salah satu hambatan utama upaya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini adalah lemahnya dukungan politik dan keberanian Presiden. Setidaknya terlihat dari kegaduhan penegakan hukum di tahun 2015. Hal inilah yang membuat koruptor kian bebas dalam melakukan serangan balik terhadap agenda pemberantasan korupsi. Absennya sikap tegas Presiden bisa dengan mudah membunuh setiap upaya penegakan hukum anti-korupsi. Presiden Jokowi harus sadar bahwa sebagai kepala negara dan pemerintahan, kekuasaannya sangatlah besar. Kepercayaan rakyat pada Presiden juga masih tinggi. Hal itu mestinya dimanfaatkan untuk mewujudkan gagasannya agar terciptanya pemerintahan yang bersih dari korupsi. Tugas itu jangan didelegasikan kepada pihak lain. Harus dipimpin langsung oleh Presiden. Sebab, tanpa dukungan dan nyali Presiden, maka kembali kita hanya akan diperdengarkan senandung sunyi nan sedih, elegi pemberantasan korupsi di tahun-tahun mendatang. OCE MADRIL Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
  • 30. 30 RUU Pemilu Berdasar Vonis MK 02-01-2016 Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) Tahun 2019, baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden/wapres (pilpres), sangatlah penting untuk dimulai pada 2016 ini. Ada sekurang-kurangnya dua alasan untuk melakukan itu. Pertama, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2008, pileg kita sejak 2009 menggunakan sistem proporsional dengan penetapan caleg terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak. Persoalannya, apakah sistem pileg kita perlu kembali ke sistem proporsional dengan penetapan caleg terpilih berdasar nomor urut ataukah berdasar urutan suara terbanyak? Apakah betul MK mewajibkan penggunaan sistem proporsional berdasar urutan suara terbanyak? Kedua, berdasarkan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, Pileg dan Pilpres 2019 harus dilaksanakan secara serentak pada hari yang sama. Persoalannya, bagaimana mekanisme pencalonan dan persyaratan pengajuan pasangan capres/cawapres? Persoalan sistem pileg memang perlu dievaluasi kembali karena cara penetapan caleg terpilih dengan urutan suara tersebut pada Pemilu 2009 dan 2014 ternyata menimbulkan banyak masalah serius. Di lapangan banyak terjadi kecurangan-kecurangan. Suara-suara calon yang tak terpilih banyak ditawarkan dan dijual melalui petugas di tingkat bawah. Banyak juga terjadi saling bantai antarcalon dalam satu partai yang sama, bahkan kader-kader ideologis parpol yang sudah lama mengabdi kepada parpol dengan serius harus terlempar karena kalah dengan figur-figur tamu yang lebih populer dan banyak uang. Melihat pengalaman buruk itu, banyak yang kemudian mempersoalkan sistem penentuan caleg terpilih dengan urutan suara terbanyak. Apakah jika kembali ke sistem nomor urut bertentangan dengan putusan MK? Banyak yang salah memahami vonis MK, mengira bahwa MK mewajibkan penggunaan sistem urutan suara terbanyak. Itu jelas salah. MK tidak pernah mewajibkan pemberlakuan sistem urutan suara terbanyak karena dua hal. Pertama, kalau soal sistem pemilu, apakah akan menggunakan sistem distrik atau sistem proporsional, sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, semua itu adalah konstitusional. Di seluruh dunia, sistem apa pun yang ditetapkan UU dari pilihan sistem yang tersedia adalah konstitusional.
  • 31. 31 Kedua, yang memberlakukan sistem dengan urutan suara terbanyak adalah DPR dan pemerintah sendiri melalui UU No. 10 Tahun 2008 yang kemudian diuji ke MK. Melalui putusan No. 22-24/PUU-VI/2008, MK hanya mencoret ambang batas 30% dari bilangan pemilih pembagi (BPP) sebagai ambang dimulainya penetapan dengan urutan suara terbanyak. Tepatnya, Pasal 214 Butir c.d.e UU No. 10 Tahun 2008 menetapkan bahwa caleg terpilih ditetapkan berdasar urutan suara terbanyak di antara para caleg yang mendapat dukungan suara minimal 30% dari BPP. MK hanya mencoret (membatalkan) ketentuan atau syarat ”di antara para caleg yang mendapat dukungan suara minimal 30% dari BPP” karena hal itu tidak adil terhadap para caleg maupun terhadap para pemilih. Kalau misalnya di suatu daerah pemilihan (dapil) Supardjo yang terdaftar di nomor urut 1 mendapat dukungan 2.500 suara, sedangkan Sulastri mendapat dukungan 8.900 suara dan BPP di dapil tersebut 30.000, maka dengan ambang BPP 30% caleg terpilih adalah Supardjo. Sebab meskipun Sulastri mendapat suara terbanyak, raihannya tidak mencapai 30% dari BPP, yakni sebesar 9.000 suara. Itu tidak adil bagi caleg maupun bagi pemilih. MK bukan mewajibkan berlakunya sistem urutan suara terbanyak, melainkan mencoret syarat ambang pemberlakuannya, yakni 30% dari BPP. Jadi jika sistem itu akan diubah lagi menjadi sistem proporsional tertutup atau berdasarkan nomor urut, itu pun konstitusional. Sistem apa pun, sistem nomor urut atau sistem urutan suara terbanyak, bahkan sistem distrik sekalipun adalah sama-sama konstitusional sepanjang ditentukan lembaga legislatif. Adapun mengenai pencalonan pasangan presiden/wapres yang harus dipilih secara serentak bersama dengan calon-calon anggota legislatif, hal itu juga harus segera dibahas mekanisme dan syarat-syaratnya. MK sendiri dalam putusannya tidak menegaskan bahwa semua parpol peserta pemilu langsung mengajukan pasangan capres/cawapres, melainkan hanya menyebut pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak. Syarat-syarat parpol yang boleh mengajukan pasangan capres/cawapres itu masih menimbulkan beragam tafsir. Banyak yang mengatakan, semua parpol yang memenuhi syarat untuk ikut pemilu langsung memenuhi syarat pula untuk mengajukan pasangan capres/cawapres. Tapi ada pula pendapat, pasangan capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol yang sudah pernah ikut pemilu dan mempunyai kursi di DPR berdasar hasil Pemilu 2014. Yang lain mengatakan bahwa pasangan capres/cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang mempunyai kursi di DPR hasil Pemilu 2014 dengan threshold 20%. Ada juga yang mengusulkan, parpol yang boleh mengajukan pasangan capres/cawapres adalah parpol yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 2019, tetapi sudah berbadan hukum sebagai parpol sekurang-kurangnya 5 tahun. Jadi sangat penting RUU Pemilu 2019 sudah diselesaikan pada 2016. Pentingnya agar kalau ada yang akan menguji konstitusionalitasnya ke MK, minimal untuk masalah-masalah yang
  • 32. 32 penting sudah bisa dilakukan sejak 2017 dan diputus sebelum pendaftaran caleg dan pasangan capres/cawapres pada sekitar November 2018. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 33. 33 Etika dan Hukum 04-01-2016 Salah satu fenomena menarik di tahun 2015 yang baru saja kita tinggalkan adalah menguatnya perhatian dan tuntutan publik terhadap standar dan penegakan etika pejabat publik. Kesadaran tentang pentingnya etika dan penegakannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesungguhnya telah ada sejak reformasi bergulir. Hal itu setidaknya dapat dilihat dari pembentukan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bernegara. Selainitu, sejak reformasi juga telah banyak dibentuk undang-undang yang mewajibkan adanya standar etika bagi profesi atau jabatan publik tertentu. Bahkan, dari sisi institusi juga telah terbentuk dan bekerja berbagai lembaga pengawas dan penegak etika, antara lain Komisi Yudisial, Dewan Etik Hakim Konstitusi, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada 2015 perhatian terhadap etika semakin kuat karena terjadinya beberapa kasus pelanggaran kepatutan oleh pejabat publik yang menjadi sorotan masyarakat. Kasus-kasus itu tidak selalu dilihat dalam perspektif hukum, namun juga disorot sebagai pelanggaran etika dan kepatutan sehingga dapat saja terjadi suatu tindakan tidak termasuk dalam kategori tindakan pelanggaran hukum, namun telah melanggar etika. Semakin kuatnya etika sebagai pedoman sikap dan perilaku juga ditunjukkan oleh dua pejabat publik setingkat direktur jenderal, yaitu Dirjen Pajak dan Dirjen Perhubungan Darat, yang mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban etik karena merasa gagal mengemban tugas yang diemban. Namun, masih ada sebagian pejabat dan kalangan yang melakukan upaya pembelaan justru dengan menggunakan alasan hukum. Doktrin supremasi hukum dijadikan sebagai dasar untuk menolak tanggung jawab etik yang harus dijalankan. Hukum ditempatkan sebagai satu-satunya institusi sosial yang menentukan ada-tidaknya kesalahan serta satu-satunya dasar pertanggungjawaban dan penjatuhan sanksi. Hal ini seolah menimbulkan pertentangan antara etika dan hukum. Bahkan, pada saat terdapat putusan yang bertentangan dapat menggerus legitimasi etik dari ketentuan hukum yang akan semakin memperkecil ketidakpercayaan publik kepada hukum. Antara Etika dan Hukum Etika dan hukum tidak mungkin saling bertentangan. Prinsip ini dapat dilacak secara genealogis dari sisi filsafat. Keduanya merupakan pedoman perilaku manusia sekaligus
  • 34. 34 instrumen sosial untuk mewujudkan tertib kehidupan bermasyarakat yang lahir dari pemikiran dasar tentang manusia dan kemanusiaan. Sebagai pedoman perilaku, etika bersumber dari ajaran-ajaran tentang kebenaran dan standar perilaku manusia yang benar. Dari sinilah lahir etika yang merupakan filsafat perilaku manusia. Sebagai cabang dari filsafat, tentu saja isi dari filsafat perilaku bersifat sangat abstrak dan subjektif. Untuk menjadikan pedoman perilaku, etika dapat dijadikan sebagai instrumen kontrol dalam membentuk kehidupan tertib sosial. Etika diturunkan menjadi norma hukum yang dipositifkan dalam peraturan perundang-undangan. Penormaan dan pemositifan dilakukan dengan tujuan dapat terumuskan kaidah yang penegakannya dapat dilakukan secara objektif sehingga dapat menjadi ukuran oleh semua orang. Mengingat hukum diturunkan dari etika, maka dapat dipastikan bahwa semua pelanggaran hukum adalah pelanggaran etika. Sebaliknya, karena tidak semua kategori perilaku yang benar dapat diformulasikan dalam unsur perilaku yang objektif, tidak semua pelanggaran etika adalah pelanggaran hukum. Etika lebih melihat pada motif, kehati-hatian, dan kepatutan yang sudah seharusnya menjadi pertimbangan pilihan tindakan, apalagi bagi pejabat publik. Keberadaan hukum tidak menghilangkan fungsi etika sebagai pedoman perilaku dan instrumen kontrol sosial. Bahkan dalam perkembangannya etika semakin dibutuhkan untuk meringankan kerja hukum, yaitu untuk mencegah dan sebagai deteksi dini adanya potensi pelanggaran hukum. Dari perspektif ini, penegakan etika, khususnya untuk profesi atau jabatan publik, tidak lagi dapat ditinggalkan sebagai urusan internal profesi atau jabatan publik tertentu. Tanpa adanya pelembagaan penegakan etika, hubungan dan tindakan profesi dan jabatan yang semakin kompleks tidak mungkin dapat dikontrol dari sisi etik. Pelembagaan Penegakan Etika Karena itu, kita membutuhkan peningkatan pelembagaan penegakan etika untuk mendukung penegakan hukum. Setidaknya ada empat bentuk pelembagaan penegakan etika yang diperlukan. Pertama, walaupun etika bersifat abstrak dan subjektif dalam bentuk kategori perilaku yang dianggap benar, namun saat ini diperlukan penormaan etika dalam bentuk kode perilaku yang memungkinkan menjadi acuan bagi pelaku maupun institusi penegak etika. Tentu saja penormaan ini berbeda dengan norma hukum yang bersifat formal dan tertutup. Kode perilaku disusun dalam bentuk prinsip atau nilai yang harus dipedomani disertai dengan uraian perilaku yang harus dilakukan sebagai wujud dari prinsip atau nilai itu. Pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku tidak ditentukan semata-mata oleh apakah suatu tindakan memenuhi unsur perilaku yang ditentukan, tetapi oleh penilaian wajar apakah suatu tindakan sesuai atau merugikan dan bertentangan dengan prinsip atau nilai yang ditentukan. Kedua, sifat abstrak dan subjektif dari etika dan kode perilaku memberikan peran besar
  • 35. 35 terhadap siapa pun yang bertugas sebagai anggota lembaga penegak etika. Anggota lembaga penegak etika berbeda dengan penegak hukum yang spesifik harus memiliki latar belakang pendidikan hukum. Anggota lembaga penegak etika dapat berasal dari latar belakang pendidikan apa pun, asal memiliki legitimasi etik yang tinggi. Legitimasi ini tidak hanya dibuktikan dengan putusan formal tidak pernah melakukan pelanggaran etik dan pelanggaran hukum, tetapi dari keseluruhan perjalanan hidup yang diakui oleh masyarakat. Ketiga, agar dapat memilih figur yang benar-benar memiliki legitimasi etik tinggi dan tidak mudah diintervensi, lembaga penegak etika harus dibentuk sejak awal sebelum suatu dugaan pelanggaran etika terjadi. Artinya, lembaga ini bersifat tetap. Keanggotaan tidak boleh ditutup hanya dari internal suatu profesi atau jabatan tertentu karena dapat terpeleset menjadi lembaga melindungi rekan sejawat. Keanggotaan hanya dari internal juga mengingkari pandangan bahwa anggota lembaga penegak etika harus memiliki legitimasi etik yang tinggi terlepas dari latar belakang pendidikan dan profesi. Keempat, keberadaan lembaga penegak etika hanya akan efektif apabila putusannya dipatuhi. Karena itu, putusan lembaga penegak etika harus bersifat final dan mengikat. Putusan lembaga penegak etika bukan merupakan putusan tata usaha negara yang dapat diajukan upaya hukum. Putusan lembaga penegak etika juga berbeda dengan putusan pengadilan karena hanya dapat menjatuhkan sanksi maksimal pemberhentian. Dengan sendirinya terhadap suatu tindakan yang telah diputus oleh lembaga penegak etika, tetap dapat diproses secara hukum. Bahkan ketika putusan hukum menyatakan tidak bersalah, tidak mengganggu putusan lembaga penegak etika karena, sekali lagi, pelanggaran etika tidak sama dengan pelanggaran hukum. JANEDJRI M GAFFAR Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
  • 36. 36 Hukum di Tahun 2016 05-01-2016 Tahun 2015 berlalu sudah, dan fajar pagi pada Jumat lalu, mengawali tahun 2016, menggantikan tahun 2015 yang telah berlalu itu. Ada yang sungguh-sungguh berlalu, dan ada pula yang, seperti telah menjadi hukum besi tata negara, masih memerlukan sentuhan lanjutan, entah lembut atau kasar, pemerintah. Itu bukan lantaran, terdapat serangkaian soal pada tahun 2015 yang belum tuntas diurusi pemerintah, tetapi begitulah pakem tata negara mutakhir. Pemerintahlah satu-satunya organ pemegang otoritas penegakan hukum. Bagaimana otoritas itu digunakan, itulah soalnya. Itu menjadi soal, karena sejarah pemerintahan dunia menorehkan kenyataan, setidaknya menurut pengakuan elegan Woodrow Wilson, presiden Amerika Serikat pada Perang Dunia I, bahwa ia tidak cukup mandiri mengambil keputusan. Selalu ada kelompok kecil, tentu dominan, yang tak bisa diabaikan pengaruhnya, untuk tak mengatakan kemauannya. Prinsip Menegakkan hukum, tentu dalam langgam demokrasi, tidak sama nilainya dengan melaksanakan hukum. Menegakkan hukum, karena makna intrinsiknya berakar dalam sejarah sebuah bangsa, bernilai hukum dilaksanakan atas dasar nilai-nilai intrinsiknya. Dasar intrinsik, tentu filosofis, memunculkan tuntutan agar hukum dilaksanakan oleh orang baik, dengan cara yang baik pula. Orang baik itu, dalam konteks ini, tidak lain adalah mereka yang tidak mengada-ada, yang tidak memiliki kebencian atau sayang dalam melaksanakan hukum. Memayungkan nilai intrinsik filosofis itu dalam medan hukum, disebabkan cara itu dianggap akan menghasilkan tatanan hukum, yang di dalamnya nilai-nilai kultural kesamaan antarsesama manusia, sebagai makhluk mulia, menemukan makna alamiah sejatinya. Untuk memuliakan harkat dan martabat setiap orang itulah, hukum diperlukan, dan itu pulalah sebabnya kemanusiaan setiap orang terusik kala hukum dipakai menjadi alat penghisap keuntungan, apa pun bentuk keuntungan itu. Hukum, dalam aksioma itu, tidak bisa, dan juga tidak pernah sah untuk digunakan sebagai sarana menghina, juga merendahkan martabat setiap orang, siapa pun orang itu, dan apa pun beratnya pelanggaran hukum yang dibuatnya. Hukumlah seseorang, karena hukum memerintahkan pengenaan hukuman itu, dan bebaskan
  • 37. 37 siapa pun orang itu, betapa pun dia tak disukai di tengah masyarakat. Itulah aksiomanya. Aksioma itu, di dalamnya tertanam mimpi untuk tak lagi memberi napas terhadap tindak- tanduk tiranis. Mengagungkan manusia, karena mereka adalah manusia, adalah intisari aksioma itu, dan itulah intisari otonomi manusia, pangkal intisari demokrasi, yang dalam tampilan praktisnya dikerangkakan ke dalam hukum. Karena itulah, maka memahami hukum, akan dianggap sekadar mengerti kulit hukum, bila yang dipahami itu hanyalah teks, bukan nilai intrinsiknya. Mengandalkan interpretasi atas teks hukum, jujur, tidak salah, tetapi sungguh terlampau jauh dari yang seharusnya. Merangkaikan setiap teks dengan asal-usulnya, sembari menempatkan demokrasi di jantung asal-usul lahirnya teks itu, memang bukan perkara keharusan takwil, tetapi tanpa itu, interpretasi laksana membaringkan badan di bibir lautan, dan berenang menjadi sesuatu yang mustahil. Berhukum bukanlah berteks ria, melainkan mencari, menemukan dan mendemonstrasikan nilai intrinsiknya. Harapan Mengurusi Partai Golkar dan PPP sejak awal 2015 hingga tahun itu pergi, begitu juga dengan urusan pencalonan kepala Kepolisian Republik Indonesia, sungguh, sebagaimana syair sebuah lagu Koes Plus, terlalu indah untuk dilupakan, dan terlalu sedih untuk dikenang. Sama dengan kedua kasus itu, hukum pergantian Kabareskrim, Pak Budi Waseso, jenderal bintang tiga, yang tegas itu, jujur, terasa menyayat prinsip negara hukum demokratis. Sedih, pilu dan pahit semua itu, betapa pun hebatnya, tidak bisa menghanguskan kenyataan adanya gelombang gairah pemerintah mengurus pembangunan infrastruktur, moneter, serta penciptaan lingkungan ekonomi yang memiliki daya tarik, dan kehidupan desa, termasuk pertanian. Sayangnya, kala perlakuan pemerintah terhadap PT Freeport Indonesia, tentu di pengujung 2015 yang menghebohkan itu, melintasi medan renungan, gelombang gairah itu tak cukup ampuh menghilangkan rasa pilu. Demokrasi yang mengharu biru, nyatanya tak cukup bertenaga melahirkan hukum yang berdedikasi pada keadilan. Haru biru demokrasi, tidak di sini, tidak juga di sana, dalam banyak hal, turut menghasilkan hukum yang melembagakan mimpi-mimpi, acap kotor, di dalamnya. Hukum, sekalipun dalam konteks itu, menjadi alat paling universal, masuk akal, logis, dalam memproduksi hak, wewenang, termasuk cara mengalokasikan atau mendistribusikan hak dan wewenang itu, kepada mereka yang jatuh hati padanya. Atur siapa yang diberi hak, maka hak itu memiliki kualifikasi spesifik, dan terbatas jangkauannya. Hanya orang atau kelompok yang dinyatakan dalam hukum itu saja yang memiliki kapasitas sebagai orang atau kelompok yang berhak atau yang berwenang. Hukum dan wewenang, begitulah cara pandang hukum universal adanya dalam hukum. Bikinlah hukumnya, dan aturlah apa yang hendak diatur, tentukan siapa pemegang wewenang, maka semua soal hukum dari tindakan yang akan dan telah diambil pun jadi bersih.
  • 38. 38 Rencana pemerintah memungut dari warga negara pengguna premium dan solar, demi, katanya, ketahanan energi nasional, mungkin tak dirangsang dengan cara pandang itu. Tetapi hukum, tak mungkin tak diandalkan untuk tujuan itu. Hukum yang akan diciptakan, kelak akan menjadi dasar pembentukan sebuah organ, entah apa namanya, yang memegang wewenang pengelolaan dana, katanya ketahanan energi itu. Siapa yang meragukan validitas pungutan dan wewenang pembentukan badan itu, pergilah ke pengadilan, mengujinya. Beres. Wajah hukum, kata para filosof, tidak lain adalah wajah peradaban, dan wajah peradaban tidak lain adalah wajah pengagungan nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Betapa pun sulitnya, karena aparatur hukum masih itu dan itu saja, tetapi marilah berharap semoga tahun 2016 menjadi tahun hukum berwajah peradaban Indonesia. Hukum berwajah peradaban tidak lain adalah hukum yang berperikeadilan dan berperikemanusiaan. Hukum jenis ini, menuntut pemahaman yang utuh terhadap ketuhanan yang maha esa, yang terpatri dalam Pancasila. Perikeadilan dan perikemanusiaan, tak mungkin tak menjadi jantung keadilan sosial, yang dengannya, kesatuan politik dan administrasi negara tercinta ini merebak indah dan menemukan elannya. Pancasila, tak mungkin membenarkan hukum menjadi alat pemukul warga yang berbeda haluan mimpinya di tahun 2016 ini. Semoga! MARGARITO KAMIS Doktor Tata Negara dan Dosen FH. Univ. Khairun Ternate
  • 39. 39 Golkar dan Kezaliman Pemerintah 05-01-2016 Cara pemerintah menyikapi persoalan Partai Golongan Karya (Golkar) sungguh tidak bijaksana dan zalim. Sikap itu sama sekali tidak bermuatan prinsip gentlemanship. Tampak jelas bahwa pemerintah justru berpolitik dalam menyikapi persoalan legalitas kepengurusan Partai Golkar. Politik keberpihakan pada sekelompok politisi yang jelas-jelas ilegal dalam struktur Partai Golkar. Tahun 2016 mungkin tidak beda dengan 2015 yang sarat gaduh. Sebab, masih di awal tahun saja, pemerintah kembali menyulut gaduh. Alih-alih memadamkan bara konflik di tubuh Partai Golkar, pemerintah justru membiarkan dan memperuncing pertikaian itu. Bukannya menyelesaikan masalah dengan penuh kebijaksanaan, pemerintah justru meninggalkan gelanggang persoalan dengan sikap yang sangat-sangat tidak bertanggung jawab. Padahal, sebagai regulator, pemerintah berwenang dan punya kompetensi untuk menyelesaikan persoalan. Akan tetapi, dengan penuh kesadaran dan terencana, pemerintah memang tidak ingin menggunakan wewenang dan kompetensi itu. Kepada publik, pemerintah ingin menunjukkan posisinya yang independen alias tidak memihak. Sayang, dengan bersikap abstain seperti itu, pemerintah sebenarnya sedang mempertontonkan perilaku konyol. Sebab, dengan mudah, publik pun bisa menerjemahkan sikap abstain itu sebagai kegiatan pemerintah merekayasa sekaligus mengeskalasi persoalan internal di tubuh Partai Golkar. Dengan sikap abstain itu, posisi pemerintah bukannya independen, melainkan jelas-jelas berpihak. Karena keberpihakan itulah pemerintah patut dituduh berpolitik dalam menyikapi persoalan Golkar. Padahal, sudah ditegaskan sejak awal bahwa sekelompok politisi yang mengklaim status mereka sebagai penyelenggara Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Ancol, Jakarta, itu adalah ilegal. Pihak berwajib, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (Polri), sudah memiliki sejumlah bukti berikut tersangka yang mempertegas dan membuktikan bahwa Munas di Ancol itu ilegal. Karena ilegal, mereka tidak layak untuk disikapi, apalagi diakui sebagai partai politik yang menggunakan simbol-simbol Partai Golkar. Akan tetapi, karena politik keberpihakan, pemerintah memaksakan diri untuk mengakui sekelompok politisi ilegal di tubuh Partai Golkar itu.
  • 40. 40 Inilah sumber persoalannya. Artinya, sumber persoalan internal Partai Golkar adalah pemerintah sendiri. Pemerintah berpolitik guna memecah belah Golkar. Kalau pemerintah ingin menghargai dan mengukuhkan kembali eksistensi Partai Golkar, tidak sulit untuk menyelesaikan persoalannya. Dilandasi posisinya yang independen, pemerintah cukup menggunakan wewenang dan kompetensi yang melekat pada Menteri Hukum dan HAM untuk mengakui para pihak legal di tubuh Partai Golkar. Sesederhana itu. Tapi, mekanisme dan proses yang demikian sederhana itu, dengan sengaja, tidak dijalankan. Menteri Hukum dan HAM justru memilih mekanisme dan proses yang rumit, karena serta-merta mengakui dan mengesahkan produk Munas Ancol yang ilegal itu. Setelah pertarungan legal melalui proses hukum yang panjang, keberpihakan pemerintah pada Munas Ancol dinyatakan salah oleh Mahkamah Agung (MA). Pada 20 Oktober 2015, MA telah memerintahkan Menkumham untuk mencabut surat keputusan (SK) Menkumham tentang pengesahan kepengurusan Partai Golkar produk Munas Ancol itu. Lagi-lagi karena pemerintah berpolitik untuk melemahkan posisi Golkar, waktu 90 hari untuk membatalkan SK pengesahan itu tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya oleh Menkumham. Padahal, sebagai tindak lanjut dari keputusan MA itu, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) telah meminta Menkumham segera menerbitkan SK kepengurusan. Namun, Menkumham tidak segera menerbitkan SK kepengurusan itu. Alasannya, Kementerian Hukum dan HAM masih mengkaji persoalan Golkar. ARB sebenarnya pernah meminta SK kepengurusan pada akhir 2014, namun ditolak Kemenkumham karena masih berkonflik. Alasan Menteri Hukum dan HAM jelas dibuat-buat. Kalau permintaan penyelenggara Munas Ancol bisa direspons dengan cepat tanpa pengkajian terlebih dahulu, mengapa perintah MA tidak dilaksanakan dengan segera? Beda penyikapan ini sudah menjadi bukti bahwa pemerintah memang sedang merekayasa persoalan agar posisi Golkar terus melemah akibat persoalan internal yang berkepanjangan. Fakta Hukum Rekayasa mengeskalasi persoalan itu menemukan momentumnya. Bukannya merespons permintaan ARB, Menkumham malah melaksanakan perintah MA untuk membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan produk Munas Ancol. Menkumham mencabut SK dimaksud pada 30 Desember 2015. Pencabutan SK dimaksud tentu saja tidak bisa dipisahkan dari dokumen legal tentang kepengurusan Partai Golkar oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) produk Munas Riau, tahun 2009. Dokumen itu menyebutkan bahwa masa kepengurusan Munas Riau berakhir pada 31 Desember 2015. Dari kronologi itu, modus pemerintah terbaca dengan jelas.
  • 41. 41 Munas Ancol tidak diakui sementara permintaan ARB pun tidak pernah direspons. Akhirnya, muncullah persepsi bahwa Partai Golkar ilegal karena tidak ada dewan pengurus yang diakui pemerintah. Dengan terbentuknya persepsi seperti itu, eskalasi persoalan internal di tubuh Partai Golkar pun tak terhindarkan. Eskalasi itu setidaknya sudah tercermin dari perang kata- kata antara pihak Munas Ancol versus Munas Bali. Jelas bukan mengada-ada jika DPP Partai Golkar pimpinan ARB mempertanyakan penolakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali. Apalagi, Pengadilan Negeri Jakarta Utara sudah memutuskan bahwa penyelenggaraan Munas Bali itu sah secara hukum. Seharusnya, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali yang dipimpin ARB. Dengan menolak mengesahkan hasil Munas Bali, sama artinya pemerintah sengaja mempersulit legalitas kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali 2014-2019. Karena legalitas kepengurusan terus dibiarkan bermasalah oleh pemerintah, kader Golkar berhak untuk curiga bahwa pemerintah ingin menghancurkan partai berlambang pohon beringin ini dengan cara memelihara konflik internal. Segenap kader Golkar di seluruh penjuru negeri pasti akan melakukan perlawanan jika diperlakukan seperti itu. Konsekuensi logis dari perlawanan kader Golkar adalah kegaduhan di panggung politik. Jangan salahkan mereka, karena pemerintahlah yang menyulut kegaduhan itu. Sebelum kegaduhan itu terjadi, pemerintah harus berhenti memusuhi Partai Golkar. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari partai ini. Sudah berulang kali ditegaskan bahwa Partai Golkar akan selalu mengawal dan mengamankan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla sejalan dengan periode kepemimpinan mereka hingga 2019. Dalam konteks itu, Golkar hanya akan bersifat kritis yang tujuannya mengingatkan, bukan menjatuhkan. Sudah terbukti bahwa dalam beberapa persoalan, Partai Golkar membantu presiden dengan sumbangan pikiran yang sangat bermakna. Konstruksi persoalan internal Partai Golkar sudah sangat jelas. Bahkan kejelasan itu sudah diperkuat melalui proses hukum. Pemerintah hanya perlu bersikap realistis terhadap fakta bahwa Munas Ancol itu ilegal. Karena ilegal, tentu saja pemerintah tak perlu membuang waktu dan energi untuk menanggapi mereka. Mengesahkan kepengurusan Partai Golkar produk Munas Bali adalah kebijaksanaan pemerintah yang sangat masuk akal, karena fakta hukum sudah menguatkan hal itu. Pemerintah akan mempermalukan dirinya sendiri jika terus mengingkari fakta itu. BAMBANG SOESATYO Bendahara Umum Partai Golkar 2014-2019
  • 42. 42 Konflik Tak Bertepi: Arab Saudi vs Iran 06-01-2016 Pepatah dalam politik di Indonesia yang berbunyi ”tidak ada musuh abadi”, sepertinya tidak berlaku untuk pemimpin negara yang sedang menjalani konflik regional di Timur Tengah. Konflik antara Arab Saudi dan Iran semakin menguat setelah Kerajaan Arab Saudi mengeksekusi mati aktivis anti-pemerintah yang juga adalah tokoh agama Islam Syiah terkemuka Nimr al-Nimr bersama dengan 47 orang lain. Mereka dianggap sebagai teroris karena melakukan kritik terhadap Kerajaan secara terus-menerus. Kejadian itu kemudian diikuti protes oleh Pemerintah Iran, terjadi penyerangan Kedutaan Besar Arab Saudi di Iran. Selanjutnya terjadi pemutusan hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran. Pemutusan itu juga diikuti sekutu Arab Saudi yang lain, seperti Bahrain dan Sudan. Sementara itu, Uni Emirat Arab memilih untuk menurunkan status hubungan diplomatik dari kedutaan besar menjadi kuasa hukum dan ekonomi. Terlalu dini untuk menganalisis dan memprediksi faktor-faktor apa yang mendorong konflik ini memuncak, karena konflik ini tidak hanya berbau sektarian tetapi juga memiliki dampak geopolitik. Kita tidak tahu apakah pemutusan hubungan diplomatik ini adalah puncak dari konflik atau akan ada puncak-puncak konflik lainnya yang lebih mengkhawatirkan. Apa yang kita ketahui bahwa pemutusan hubungan diplomatik di antara kedua negara ini, khususnya oleh Kerajaan Arab Saudi, adalah sebuah langkah politik baru untuk melengkapi tekanan ekonomi yang dilancarkan Kerajaan Arab Saudi terhadap Iran secara tidak langsung melalui harga minyak yang rendah. Artikel saya minggu lalu menyebutkan bahwa rendahnya harga minyak dunia telah membuat anggaran belanja negara-negara di Timur Tengah yang sangat menggantungkan diri dengan minyak menjadi defisit. Masalahnya, masing-masing negara, khususnya Iran dan Arab Saudi, memiliki stamina yang berbeda dalam menghadapi harga minyak yang rendah tersebut. Penasihat minyak untuk Kerajaan Arab Saudi, Mohammad al-Sabban (The Guardian, 2015) mengatakan bahwa negara itu dapat bertahan selama 8 tahun dengan harga minyak yang paling rendah sekalipun. Sementara bagi Iran, harga minyak yang rendah membuat pemulihan ekonomi negara itu tersendat setelah dihapusnya sanksi ekonomi. Iran setidaknya membutuhkan harga minyak USD100 per barel agar dapat mengejar dan memulihkan ekonominya.
  • 43. 43 Para pengamat minyak di dunia mempercayai bahwa rendahnya harga minyak ini lebih kental kandungan politik daripada faktor ekonominya. Faktor politik itu terutama terkait dengan persaingan tiada henti antarkoalisi Arab Saudi menghadapi Iran. Bibit-bibit konflik yang terjadi di antara dua negara tersebut mulai bersemai subur ketika Amerika Serikat dan sekutunya melakukan invasi ke Irak tahun 2003. Invasi itu secara tidak langsung membuat stabilitas di Timur Tengah yang ringkih menjadi semakin rapuh. Pergantian kekuasaan di Irak kemudian dianggap sebagai meluasnya pengaruh Iran karena rezim yang berkuasa condong ke Syiah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran massal di seluruh Timur Tengah. Musim Semi Arab (Arab Springs) melanda negara-negara Timur Tengah dan melahirkan perubahan-perubahan tatanan politik yang tidak dapat diperkirakan siapa pun termasuk oleh Amerika Serikat. Ketidakpercayaan dan saling curiga lebih tepat disebut sebagi penyebab tak berkesudahan dari kedua negara ini.Mereka saling mencurigai masing-masing melakukan ekspansi kekuatan dan terlibat dalam upaya perebutan pengaruh di kawasan. Kita lihat konflik di Yaman atau Suriah. Hal ini diperparah dengan mengaitkan identitas keagamaan Sunni dan Syiah sebagai faktor yang mengonsolidasikan kekuatan arus bawah di masing-masing negara, termasuk di Indonesia. Di antara para analis, sebetulnya juga masih ada perdebatan tentang apakah identitas Syiah dan Sunni tersebut sebagai pemicu persaingan dua kekuatan besar di Timur Tengah, atau lebih karena kepentingan ekonomi-politik dua negara itu untuk memperluas wilayah dan pengaruh. Ambil contoh 43 terpidana yang digolongkan sebagai ”teroris” oleh Kerajaan Arab Saudi adalah termasuk juga mereka yang berasal dari jaringan Al-Qaeda yang beraliran Sunni. Mereka bertanggung jawab atas pengeboman yang terjadi di Arab Saudi sepanjang 2003- 2006 (Euronews, 2016). Menurut sumber resmi Pemerintah Arab Saudi, Nimr al-Nimr dan tiga terpidana yang beraliran Syiah juga melakukan penembakan terhadap petugas kepolisian pada 2012. Apabila kita percaya pada informasi itu, Kerajaan Arab Saudi memang tidak menargetkan secara khusus apakah mereka Syiah atau Sunni. Kategori yang dipakai adalah siapa yang melawan Kerajaan akan dikategorikan sebagai teroris. Oleh sebab itu, sulit untuk menentukan satu faktor lebih menentukan daripada faktor lain dalam menganalisis dinamika yang cukup aktif di Timur Tengah. Pada saat ini, ada faktor krisis ekonomi dunia yang membuat negara-negara dunia lebih menyukai dialog daripada perang untuk menyelesaikan masalah. Dari sisi hegemoni, kepemimpinan Barack Obama di Amerika Serikat terbilang tidak terlalu agresif di Timur Tengah. Cina tidak terlibat langsung. Sementara itu, Suriah dan Yaman masih menjadi medan perebutan kekuatan bersenjata. Iran masih melanjutkan perundingan nuklir dengan negara 5P+1. Rusia dikabarkan menyokong Suriah dan Iran. Sementara itu, kepemimpinan yang moderat di Iran dan faktor-faktor lain antarnegara kawasan dapat secara langsung atau tidak langsung menyumbang pasang-surutnya konflik di
  • 44. 44 Timur Tengah, khususnya antara Arab Saudi dan Iran. Yang perlu kita lakukan terkait dengan krisis di Timur Tengah, yang paling prioritas menurut saya, adalah menjaga jangan sampai sentimen konflik menyuburkan potensi konflik yang ada di dalam negeri. Informasi-informasi yang sepotong mengenai konflik ini bisa menjadi bahan bakar bagi pihak-pihak tertentu yang menginginkan ketidakstabilan terjadi juga di sini. Di sisi lain, kita justru dapat menggunakan konflik yang terjadi di Timur Tengah sebagai bahan pembelajaran untuk saling memperkuat solidaritas di antara perbedaan-perbedaan, khususnya dalam keyakinan beragama. DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
  • 45. 45 Saatnya Lebih Banyak “Orangnya Jokowi” Jadi Menteri 07-01-2016 Banyak yang mengatakan bahwa 2016 adalah momentum bagi pemerintahan Presiden Jokowi. Momentum bagi penguatan ekonomi, politik, hukum dan pertahanan serta momentum bagi pemenuhan janji-janji kampanye 2014 lalu. Nampaknya banyak orang sudah menantikan momentum perbaikan dari semua kegaduhan yang terjadi di 2014 dan 2015. Ya, kata “kegaduhan” memang kerap menghiasi hari-hari politik di tahun tersebut. Kegaduhan yang dipercaya banyak orang sebagai hal penghambat program kerja pemerintahan Jokowi. Pada November 2015 lalu lembaga survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) menyebutkan hasil survei nasional yang cukup menggelitik bahwa salah satu pihak penghambat program kerja Jokowi adalah justru para menteri Jokowi sendiri. Kabinet dalam Pemerintahan Jokowi Menurut Andrew Heywood (2014), semua pemerintahan memiliki sebuah kabinet dalam beragam bentuk. Kabinet memungkinkan pemerintahan untuk menggambarkan sebuah wajah kolektif kepada majelis dan publik. Tanpa kabinet, pemerintahan akan terlihat sebagai sebuah alat pribadi yang dimiliki oleh individual tunggal. Bila mengacu pada pendapat yang diutarakan Heywood, maka nampak wajar bila kita melihat komposisi Kabinet Kerja. Para menteri pengisi kabinet yang pernah satu kali dirombak presiden ini merupakan representasi banyak pihak. Inilah para pihak yang diharapkan secara bersama-sama membantu Jokowi menyelesaikan pemerintahan dengan baik paling tidak pada periode pertama pemerintahan. Saat Jokowi pada Oktober 2014 melantik para menteri, kita harus maklum bahwa Jokowi sebagai “orang baru” dalam kancah politik nasional tentu harus terbuka dan menerima berbagai masukan dari banyak pihak untuk memulai periode pemerintahannya. Hal ini juga termasuk dalam memilih menteri-menteri Kabinet Kerja. Jokowi saat itu pasti sangat akomodatif dalam menerima berbagai masukan. Bila ada yang mengatakan bahwa Kabinet Kerja adalah kabinet kualitas 3 (KW 3) tentu tidak bisa sepenuhnya disalahkan orang yang berpendapat demikian, karena memang mungkin kabinet yang baru dibentuk itu merupakan
  • 46. 46 representasi toleransi dan kebijakan akomodatif Jokowi terhadap segala masukan dari berbagai pihak. Namun, nampaknya masyarakat banyak melakukan penilaian terhadap kinerja kabinet yang dibarengi dengan meningkatnya kepercayaan diri Presiden. Oleh karena itu, kendati para menteri, saya percaya, sudah bekerja maksimal tetap saja wacana perombakan kabinet kembali mengemuka di permukaan hingga saat ini. Banyak pihak malah mulai mempergunjingkan, hingga nama beberapa kementerian yang akan dirombak. Sejarah Hanya Mencatat Prestasi Presiden Banyak hal yang menyebabkan masyarakat berspekulasi terhadap kemungkinan Jokowi akan kembali merombak kabinetnya. Dua hal yang populer adalah Kabinet Kerja yang tidak kompak dan terhambatnya program kerja Jokowi. Dari dua hal yang diungkapkan tadi adalah alasan kedua yang mendesak untuk segera diperbaiki. Kabinet Kerja harus dipecut untuk mendukung program kerja Jokowi. Hal ini lebih disebabkan rakyat sangat menunggu terealisasinya janji kampanye Jokowi. Selain itu, sejarah hanya mencatat prestasi Presiden, hasil baik atau buruk. Sejarah tidak pernah mencatat kinerja menteri sebagai keberhasilan atau kegagalan sebuah rezim. Untuk memastikan hasil yang baik itu, sangat wajar bila Presiden kemudian merombak kabinet dan mengganti dengan orang-orang terdekatnya atau “orangnya Jokowi”. Orang- orang loyal yang dianggap Presiden akan membantu dirinya bekerja dan meraih hasil lebih baik tanpa sering membuat kontroversi yang mendebarkan. Mengapa demikian? Pada 2015 lalu Jokowi mungkin tercatat sebagai Presiden yang paling repot dalam mengurus kabinetnya yang kerap membuat gaduh. Bahkan, kegaduhan itu nyaris saja mengganjal program pemerintah di parlemen. Hampir semua sektor mulai dari asap, energi, perhubungan, BUMN, kualitas PNS, UKM, industri hingga hukum dan lainnya berkontribusi terhadap kegaduhan itu. Presiden telah berulang kali meminta menteri-menteri dalam kabinetnya kompak dan fokus untuk memenuhi program kerja sesuai target masing-masing. Namun, nampaknya secara kasatmata belum banyak program kerja yang dapat memuaskan masyarakat. Wajar saja bila masyarakat mencitrakan bahwa ada menteri-menteri Jokowi yang masih memiliki agenda sendiri-sendiri termasuk (mungkin) agenda partai politik atau golongannya. Harus dimaklumi juga bila banyak orang yang berpendapat bahwa Kabinet Kerja dicitrakan tidak mengerti visi-misi Presiden, setidaknya demikian menurut hasil sigi lembaga survei KedaiKOPI. Oleh karena itu, saya rasa rakyat juga akan memahami bila kelak Presiden melakukan perombakan kabinet dengan menambah lebih banyak “orangnya Jokowi” yang mengisi posisi menteri.
  • 47. 47 Presiden Jokowi memiliki jurus politik yang ampuh dalam mewujudkan cita-citanya sebagai Presiden. Hingga saat ini dengan keahliannya, walau masih perlu ada pembenahan, Jokowi mampu membuat pemerintahannya menjadi lebih kuat. HENDRI SATRIO Pemerhati dan Praktisi Komunikasi Politik; Dosen Universitas Paramadina @satriohendri
  • 48. 48 Konflik Iran-Saudi dan Kompleksitas Masa Depan Islam 08-01-2016 Dunia Islam di Timur Tengah kembali memanas. Pascaeksekusi mati ulama Syiah, Syekh Nimr al-Nimr oleh Pemerintah Saudi (2/1), rakyat dan pemerintah Iran meradang. Hanya beberapa saat setelah eksekusi al-Nimr, Kantor Kedutaan Besar dan Konsulat Saudi di Teheran diserang ratusan pemuda Iran yang marah. Kantor kedubes dan konsulat diobrak- abrik. Rezim Arab Saudi yang merasa tidak bersalah (karena asumsinya, menghukum al- Nimr sebagai teroris dan pemberontak) pun bereaksi keras. Puncaknya, Minggu (3/1) malam Saudi pun mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran. Keputusan Saudi ini kemudian diikuti negara-negara Arab sekutunya. Sudan, Kuwait, Qatar, dan Oman mengikuti jejak Saudi memutuskan hubungan dengan Iran. Uni Emirat Arab (UEA)–mitra dagang terbesar Iran di Timur Tengah–meski tidak memutuskan hubungan diplomatik, menurunkan tingkat hubungan diplomatiknya dengan Iran. Akankah Bahrain, Mesir, dan Turki juga akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran? Bagi dunia Islam, krisis Iran dan Saudi akan sangat besar pengaruhnya bagi masa depan Islam. Ini karena Iran selama ini dianggap sebagai representasi Syiah. Sedangkan Saudi, konon, dianggap sebagai representasi Sunni–dua mazhab terbesar dalam dunia Islam. Meski masih muncul perdebatan, apakah Wahabi–aliran yang diikuti Kerajaan Saudi ini Sunni atau bukan, tapi dalam krisis politik kali ini, niscaya Saudi akan menyebut dirinya Sunni agar mendapat banyak dukungan dari negara-negara Islam yang mayoritas Sunni. *** Krisis Iran dan Saudi ini dilihat dari konteks global sangat mungkin akan membesar. Soalnya kita tahu, di belakang Saudi ada Amerika Serikat dan di belakang Iran ada Rusia dan Cina. Meski Amerika, Rusia, dan Cina tidak langsung terlibat dalam konflik ini, tapi tiga negara tersebut niscaya akan mengelompok untuk mendukung ”mitra-mitra” terdekatnya guna memperluas pengaruhnya di kawasan Timur Tengah. Secara tradisional, pengelompokan itu sudah diketahui. AS ke Arab Saudi, sedangkan Rusia dan Cina ke Iran. Thomas Erdbrinkjan dalam artikelnya di New York Times (3/1) menyatakan posisi AS sebetulnya dilematis. Hubungan Teheran dan Washington sebetulnya mulai cair setelah Iran mengikuti kehendak Barat untuk menghentikan pabrik pengayaan uraniumnya
  • 49. 49 (yang ditengarai sebagai upaya Iran membangun senjata nuklir). Jerman misalnya sudah mulai melakukan penjajakan kerja sama ekonomi dengan Iran. Begitu juga Inggris dan Prancis. Obama juga mengecam hukuman mati al-Nimr karena tidak sesuai dengan prinsip- prinsip hak asasi manusia (HAM). Di pihak lain, sejak Barat menghentikan embargo ekonominya terhadap Iran, Juli 2014, pasca-keberhasilan perundingan nuklir Iran-Barat, Arab Saudi merasa ”ditinggalkan” AS. Sementara AS, sejak ditemukan sumber minyak serpih (shale oil/shale gas) di wilayahnya yang jumlahnya cukup besar untuk menghilangkan ketergantungan dari suplai minyak Saudi, mulai melebarkan pengaruhnya di Timur Tengah tanpa menimbang-nimbang kemauan Riyad. AS tidak hanya ”merangkul” Saudi, negeri penghasil minyak terbesar di Timur Tengah (10 juta barel per hari), tapi juga Iran dan Irak yang kini dikuasai rezim Syiah. Bagi AS, mendekati Iran sangat strategis karena tiga hal. Pertama, mengurangi ancaman terhadap Israel. Kedua, memperlemah hubungan Iran dan Rusia sebab aliansi Rusia-Iran akan makin memperlemah pengaruh AS di Timur Tengah. Ketiga, kedekatan AS terhadap Iran dan Irak bisa memperlemah Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) yang sekarang menjadi ”monster” di kawasan Timur Tengah. Tapi, benarkah AS anti-ISIS? Donald Trump menyatakan bahwa ISIS sebetulnya ”made in” USA. Kebijakan Presiden Bush untuk menghancurkan rezim Saddam di Irak yang dituduh menyimpan senjata pembunuh massal berakibat fatal. Pasca-kejatuhan Saddam, Irak yang sekuler, justru berubah menjadi negeri ”demokrasi” Syiah. Kaum Sunni Irak yang jumlahnya 20% dari populasi dan mantan petinggi militer Saddam yang tak puas dengan kebijakan AS bersatu dan kemudian membentuk (Islamic State of Irak (ISI)) di bawah kepemimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi, seorang mantan perwira tinggi militer Irak pro-Saddam. Dengan banyaknya militer pro-Saddam yang bergabung ke ISI inilah, kemudian mereka mampu menaklukkan Ramadi, Mosul, dan Falujah, tiga kota terbesar di Irak setelah Baghdad. Kehadiran ISIS juga menarik kaum Sunni di Suriah, negeri berpenduduk 22 jutaan dengan mayoritas Sunni, tapi dipimpin rezim Syiah Allawit. Gelombang demokratisasi yang melanda Suriah (Arab Spring) kemudian memunculkan faksi-faksi pemberontak Sunni di Suriah. Dari faksi-faksi tersebut, beberapa di antaranya bergabung dengan ISI sehingga terbentuklah Islamic State of Irak and Syria (ISIS). Krisis politik di Suriah kemudian menjadi problematis. Arab Saudi dan AS misalnya menghendaki Presiden Suriah Bashar Al-Assad mundur. Sementara Iran, Rusia, dan Cina mendukung Assad. Di pihak lain, ISIS menghendaki Assad turun. Ini dilematis. Ketika Rusia mengumumkan keterlibatannya untuk menghancurkan ISIS di Suriah, AS, Inggris, dan Prancis tidak percaya sebab sangat mungkin jet-jet tempur Rusia tidak fokus menghancurkan ISIS, tapi justru menghancurkan pasukan oposisi Suriah yang ingin menjatuhkan Assad. Bagaimana strategi AS sendiri di Suriah? Ini pun dilematis. Jika AS menghancurkan ISIS di Suriah, berarti tujuan pendongkelan Assad tidak tercapai. Tapi, jika AS mendukung Saudi