1. Dimensi dan Hubungannya Dengan Pembelajaran Matematika
(Refleksi Kuliah Prof. Dr. Marsisigit, M.A Pertemuan ke-1)
Oleh : Ardi Nuryadi (19709251052)
Dalam hidup selalu ada awal sebagai batu pijakan untuk ke langkah selanjutnya dalam
dimensi filsafat awal adalah potensi fatal atau vital, fatal adalah takdir dan terpilih sedangkan
vital adalah ikhtiar dan memilih. Dimana fatal dan vital merupakan objek yang saling
bertolak belakang sebagaimana antara langit dan bumi. Kemudian dari dimensi fatal ataupun
vital untuk selanjutnya proses kehidupan selalu ada dua dimensi yang saling bertolak
belakang yaitu dimensi yang berada dibawah atau dimensi realita dan juga dimensi yang
berada diatas yaitu dimensi ideal. Dimana realita dapat ditunjukan secara empiris
sedangkang dimensi ideal ditunjukan dengan logika, dimensi realita didapat dari aposteriori
yang artinya didasarkan atau diperoleh dari pengalaman sedangkan dimensi ideal didapat dari
apriori yaitu didasarkan pada penalaran, tanpa melakukan pengamatan serta tanpa perlu
mengalamainya (Ernest, 1991:4). Sehingga terdapat kesenjangan mendasar secara filosofi
mengenai dimensi realita dan dimensi ideal dan diperlukan suatu penghubung yang mampu
menjembatani kedua dimensi tersebut untuk mencapai keutuhan dan keseimbangan serta
untuk mengkonstruksi suatu pengetahuan secara cermat, hati-hati dan tepat.
Kemudian ditinjau dari cara berpikir pada dimensi realita lebih kepada sintetik yaitu .
kebenaran dapat diketahui hanya dengan mengetahui sesuatu dari dunia nyata yang diwakili
sehingga kebenaran dari sintetik yaitu dengan meninjau bahwa persepsi yang didapat
menggambarkan dunia nyata secara tepat sedangkan pada dimensi ideal cara berpikir lebih
kepada analitik yaitu kebenaran dapat diketahui cukup dengan mengetahui arti dari istilah-
istilah yang mewakilinya sehingga untuk menjamin kebenarannya adalah dengan
kekonsistenannya (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2017). Berdasarkan cara berpikir
tersebut manurut Marsigit (nn) terdapat perbedaan hakekat antara matematika dan
matematika sekolah dimana Matematika Murni adalah Analitik apriori, sedangkan
Matematika Sekolah bersifat Sintetik aposteriori.
Akan tetapi disini hanya akan dibahas mengenai matematika sekolah berdasarkan
teori-teori diatas dimana didalam pendidikan terutama dalam pembelajaran matematika hal
itu digambarkan oleh Bruner dengan teori enactive, iconic dan symbolic, kemudian RME
dengan kontekstual, model of, model for dan matematika formalnya, selain itu Treffers juga
membagi proses matematisasi menjadi matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.
2. Kemudian Isoda dan Katagiri juga membagi matematika atas content, method dan attitude.
Dari beberapa teori tersebut dapat ditarik garis yang dapat membedakan belajar matematika
dari dua dimensi yang berbeda seperti gambar dibawah.
Gambar 1. Teori pembelajaran dan dimensinya
Dari hal diatas didapat bahwa dalam pembelajaran terlebih dalam belajar matematika
itu tidak instan dan tidak bisa tiba-tiba dihadapkan pada konsep yang hanya berada di intuisi
tetapi perlu memulainya dari substansi dan perlu dipertimbangkan juga berada pada dimensi
mana objek yang akan dikenai matematika, misal pada fase SD dan SMP maka perlu
membelajarkan dengan menghubungkan realita dan lebih menekankan pada berfikir sintetik
akan tetapi hal itu tidak dapat diterapkan selamanya karena pada fase SMA merupakan
peralihan antara dimensi realita dan dimensi ideal sehingga perlu menjembatani antara
substansi menuju instuisi, empiris menuju logika, konteks menuju struktur dan lain
sebagainya sehingga ketika pada perguruan tinggi sudah secara penuh berbicara pada objek
struktur dan tidak lagi berbicara pada dunia realita.
Dari beberapa teori diatas mengenai adanya dua dimensi yang terpisah dalam
pembelajaran matematika maka akan dibahas lebih spesifik bagaimana Treffers membedakan
proses matematisasi menjadi dua bagian yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi
vertikal. Kedua proses matematisasi tersebut jika di telaah matematisasi horizontal
merupakan bagian dari realita karena berbicara pada masalah kontekstual dan tanpa
abstraksi, yang mana untuk memahaminya perlu menggambarkan dunia nyata sedangkan
matematisasi vertikal merupakan bagian dari ideal karena sudah berbicara pada dunia
3. simbol hingga mendapatkan ataupun menggunakan matematika formal yang merupakan
objek abstrak yang mana untuk memahami maksudnya cukup memahami apa makna dari
perwakilannya. Kemudian dampak adanya matematisasi vertikal dan horizontal muncul
beberapa aliran yaitu aliran yang hanya memandang matematika sebagai matematisasi
horizontal yaitu pandangan empiristik, kemudian aliran yang memandang matematika hanya
sebagai matematisasi vertikal yaitu aliran strukturalis, aliran yang memandang matematika
tidak ada matematisasi horizontal ataupun vertikal yaitu aliran mekanistik dan aliran yang
memandang matematika secara keseluruhan yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi
vertikal yaitu aliran realistic (Fruedenthal, 2006). Dari beberapa aliran tersebut yng menjadi
perhatian adalah bagaimana upaya realistik menjembatani antara dunia realita dan dunia ideal
karena berdasarkan tinjauan diatas bahwasanya dua dimensi tersebut bagaikan bumi dan
langit yang memerlukan upaya yang besar untuk menghubungkan keduanya. Berikut
gambaran dari proses matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.
Gambar 2. Proses Matematisasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membedakan proses matematisasi
horizontal dan vertikal adalah perlunya mempertimbangkan objek yang dikenai matematika
Contohnya pada materi penjumlahan siswa diminta untuk menghitung hasil penjumlahan dari
“lima tambah tiga” jika siswa menghitungnya dengan membayangkan penjumlahan lima
kelereng dan tiga kelereng untuk ditambahkan satu sama lain maka itu merupakan bagian dari
matematika horizontal sedangkan jika siswa melakukan penjumlahan dengan aritmatika 5 + 3
Bahasa Matematika Algoritma
Analisa
Pemecahan
Soal-soal Kontekstual
Matematisasi
Horizontal
Matematisasi Vertikal
4. maka itu merupakan bagian dari matematika vertikal, akan tetapi untuk tingkatan yang lain
penjumlahan aritmatika tersebut dapat menjadi bagian dari matematika horizontal sehingga
untuk membedakan bagian dari matematika horizontal dan matematika vertikal tergantung
kepada tingkatan pengetahuan seseorang.
Dari beberapa bahasan diatas dalam pembelajaran matematika salah satu yang perlu
dipertimbangkan adalah guru perlu memahami berada pada dimensi mana siswa yang akan di
ajarkan matematika sehingga cara mengajarkan dan apa yang diajarkan tepat untuk siswa
sesuai dengan tahapan berfikirnya, karena peran guru bukan memberi sesuatu yang instan
akan tetapi lebih menanamkan kepada hal yang bisa berlaku untuk jangka panjang, bermakna
dan dapat digunakan berulang-ulang sehingga siswa 'diberdayakan' dalam belajar bukan
hanya sebagai penerima, sebagaimana makna dari kalimat dibawah ini.
'Jika kamu memberi seseorang ikan maka kamu akan memberi makan dia hari ini, tetapi jika
kamu mengajari seseorang memancing maka kamu memberikan dia makan seumur hidup'
Kaur dan Hoe (2017)
Referensi
Berinderjeet, K., & Hoe, L. N. (Eds.). (2017). Empowering Mathematics Learners: Yearbook
2017, Association Of Mathematics Educators. World Scientific.
Ernest, P., Skovsmose, O., Van Bendegem, J. P., Bicudo, M., Miarka, R., Kvasz, L., &
Moeller, R. (1991). The philosophy of mathematics education.
Marsigit. (nn) Apakah matematika mencerminkan realitas.
https://www.academia.edu/18386290/Apakah_Matematika_Mencerminkan_Realitas
Diakses : 14 Februari 2020.
nn. (2017). The Analytic/Synthetic Distinction. https://plato.stanford.edu/entries/analytic-
synthetic/
Treffers, A. (1987). Three dimensions: A model of goal and theory. Description in
mathematics instruction—The Wiskobas Project, 247.