Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) adalah pendekatan pembelajaran matematika yang menggunakan konteks nyata untuk membantu siswa memahami konsep matematika secara bertahap melalui proses matematisasi horizontal dan vertikal. Pendekatan ini berfokus pada proses penemuan kembali konsep oleh siswa sendiri dengan bimbingan guru dan memanfaatkan kontribusi siswa dalam pembelajaran.
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
Makalah rme revisi
1. 0
MAKALAH
REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Praktikum Pembelajaran Matematika
Dosen pengampu: Dr. Jaelani, M.Pd
Disusun oleh : Kelompok 5
Lihar Raudina Izzati
Saepul Watan
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
2. 1
1. Pendahuluan
Pembelajaran matematika yang akhir-akhir ini sedang marak dibicarakan
adalah Realistic Mathematics Education (RME) atau Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR). RME diketahui sebagai pendekatan yang telah berhasil di
Belanda. Gagasan pendekatan pembelajaran matematika dengan realistik ini
tidak hanya populer di Negeri Belanda saja, banyak negara maju telah
menggunakan pendekatan baru yaitu pendekatan realistik. Matematika realistik
banyak ditentukan oleh pandangan Freudenthal tentang matematika. Dua
pandangan penting beliau adalah “mathematics must be connected to reality and
mathematics as human activity”. Pertama, matematika harus dekat terhadap
siswa dan harus relevan dengan situasi kehidupan sehari-hari. Kedua, ia
menekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia, sehingga siswa harus
di beri kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas semua topik dalam
matematika.
2. Pengertian Realistic Mathematic Education (RME)
Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat membiasakan siswa
terampil dalam menghubungkan konsep matematika dengan masalah nyata yaitu
pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) atau dalam Bahasa
Indonesia disebut Pendekatan Pendidikan Matematik Realistik (PMR).
Berbicara tentang pendidikan matematika realistik, tidak terlepas dari tokoh
utama pencetus istilah ini yaitu Prof. Hans Freudenthal seorang matematikawan
Belanda yang berhasil menerapkan pedekatan ini di Negaranya. Pendekatan ini
dikembangkan dengan berlandaskan pada filosofi matematika sebagai aktivitas
manusia (mathematics is human activity). Menurut Freudenthal, matematika
bukan merupakan suatu subjek yang siap saji untuk siswa, melainkan suatu
pelajaran yang dinamis yang dipelajari dengan cara mengerjakannya. Dengan
kata lain kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru
kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep
matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata.
Dunia nyata menurut Blum & Niss (1991: 2) adalah segala sesuatu di
luar matematika, seperti mata pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan
3. 2
sehari-hari dan lingkungan sekitar kita. Sedangkan menurut Panhuizen (2001: 3)
kata “realistic” sering disalah artikan sebagai “real world” yaitu dunia nyata.
Penggunaan kata “realistic” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich
realiseren” yang berati untuk dibayangkan atau “to imagine”. Penggunaan kata
“realistic” tersebut tidak sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan
dunia nyata (real world) tetapi lebih mengacu pada fokus Pendidikan
Matematika Realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi
yang bisa dibayangkan (imaginable) oleh siswa.
Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (Wijaya, 2012: 32), konteks dalam
pendekatan realistik dapat dipandang secara sempit maupun luas. Konteks dalam
arti sempit merujuk pada suatu situasi yang spesifik yaitu tergantung dari
konteks pembicaraan. Sedangkan dalam arti yang luas, konteks merujuk pada
fenomena kehidupan sehari-hari, cerita rekaan atau fantasi, atau bisa juga
masalah matematika secara langsung. Konteks dalam pendekatan realistik
ditujukan untuk membangun atau menemukan kembali suatu konsep matematika
melalui proses matematisasi. Secara sederhana, proses matematisasi dapat
diartikan sebagai proses mematematikakan suatu konteks, yaitu proses
menerjemahkan suatu konteks menjadi konsep matematika. Proses matematisasi
akan terjadi jika konteks bisa dibayangkan oleh siswa serta memungkinkan
siswa untuk memahami dan bekerja dalam konteks tersebut dengan
menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki.
Frudenthal (Gravemeijer, 1994: 82) menyatakan bahwa matematisasi
berhubungan dengan proses peningkatan dan pengembangan gagasan
matematika secara bertahap, yang disebut level-raising. Suatu aktivitas pada
suatu tahap akan menjadi objek analisis pada tahap selanjutnya; suatu kegiatan
operasional pada suatu level akan berkembang jadi bidang kajian pada level
yang lebih tinggi. Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam pembelajaran
matematika, Traffers (Panhuizen, 2003: 12) menyebutkan dua jenis
matematisasi, yaitu matematisasi horizontal dan vertikal dengan penjelasan
sebagai berikut “Horizontal mathematization involves going from the world of
life into the world of symbols, while vertical mathematization means moving
within the world of symbols”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa
4. 3
matematisasi horizontal meliputi proses transformasi masalah nyata/sehari-hari
ke dalam bentuk simbol, sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses
yang terjadi dalam lingkup dunia matematika itu sendiri.
Untuk menekankan bahwa proses lebih penting daripada hasil, lebih
lanjut De lange (Wijaya, 2012: 42) memaparkan kedua matematisasi tersebut,
yaitu :
a. Matematisasi horizontal
Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal
kontekstual dari dunia nyata. Dalam matematika horizontal, siswa mencoba
menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata dengan cara mereka sendiri, dan
menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri. Contoh kegiatannya adalah
mengidentifikasi matematika dalam suatu konteks umum, perumusan,
visualisasi dan memformulasikan masalah dalam cara-cara yang berbeda,
mencari hubungan dan keteraturan antar konsep, dan mentransformasikan
masalah nyata kedalam model matematika.
b. Matematisasi vertikal
Matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep matematika.
Dalam matematisasi vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung tanpa
bantuan konteks. Contoh kegiatannya adalah menuangkan gagasan dalam
suatu rumus, pembuktian keteraturan, penyesuaian dan pengembangan model
matematika, menggunakan model yang bervariasi, memadukan dan
mengkombinasikan model matematika, merumuskan suatu konsep
matematika yang baru dan generalisasi
Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi diatas, Traffers
(Fruedenthal, 2002: 132) mengkalsifikasikan 4 pendekatan pemebelajaran
matematika, yaitu mekanistik, empiristik, strukturalis, dan realistik. Perbedaan
keempat pendekatan dalam pendidikan matematika ditekankan pada sejauh
mana pendekatan tersebut memuat atau menggunakan kedua komponen
matematisasi tersebut. Tabel 1 di bawah ini menunjukan perbedaan dari keempat
pendekatan pembelajaran matematika, menurut Traffers (Fruedendhal, 2002:
5. 4
133). Tanda “+” menandakan lebih menekankan komponen dan tanda “-“ kurang
menekankan komponen.
Tabel 1 : Matematisasi Pendekatan Pembelajaran Matematika
Pendekatan
Matematisasi
Horizontal
Matematisasi
Vertikal
Mekanistik - -
Empiristik + -
Strukturalis - +
Realistik + +
Dari tabel tersebut, jelas bahwa Pendekatan Matematika Realistik dapat
memberikan perhatian yang seimbang antara matematiisasi horizontal dan
matematisasi vertikal serta disampaikan secara terpadu kepada siswa. Dari
beberapa penjelasan teori di atas, maka disimpulkan bahwa Pendekatan Realistic
Mathmatic Education (RME) adalah sebuah pendekatan pembelajaran
matematika yang mentransformasi masalah nayata/sehari-hari ke dalam bentuk
simbol (matematisasi horizontal) dan melakukan proses penyelesaian dalam
lingkup dunia matematika itu sendiri (matematisasi vertikal) secara bersamaan
dalam proses pembelajaran.
3. Prinsip Realistic Mathematic Education (RME)
Menurut Graveimmeijer (1994: 90) ada tiga prinsip dalam mendesain
pembelajaran matematika realistik, yaitu
a. Guided reinvention dan progressive mathematizing
Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan
matematisasi secara progresif. Melalui topik-topik yang disajikan, siswa
harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama membangun
dan menemukan kembali tentang ide-ide dan konsep-konsep matematika.
Maksud dari mengalami proses yang sama dalam hal ini adalah masing-
masing siswa diberi kesempatan yang sama merasakan situasi dan jenis
masalah konseptual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi.
Dilanjutkan dengan matematisasi prosedur pemecahan masalah yang sama,
6. 5
serta perancangan rute belajar yang sedemikian rupa, sehingga siswa
menemukan sendiri konsep-konsep atau hasil. Prinsip ini sejalan dengan
paham konststruktivis yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat
diajarkan atau ditransfer oleh guru, tetapi hanya dapat dikonstruksi oleh
siswa itu sendiri.
b. Didactikal phenomenology
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam hal ini
fenomena pembelajaran menekankan pentingnya masalah untuk
memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Topik-topik ini
dipilih dengan pertimbangan: (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus
diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) kecocokan aplikasi yang harus
dipelajari oleh siswa tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru, tetapi
siswa harus berusaha menemukannya dari masalah kontekstual tersebut.
Secara historis, matematika berkembang dari penyelesaian masalah
praktis, karenanya beralasan jika diharapkan dapat ditemukan masalah yang
memunculkan proses tersebut dalam penerapan pada saat sekarang ini.
Selanjutnya, kita dapat membayangkan bahwa matematika formal berasal
dari generalisasi dan formalisasi prosedur penyelesaian masalah untuk situasi
yang dapat menimbulkan prosedur penyelesaian yang dapat dijadikan dasar
untuk matematisasi vertikal.
c. Self developed models
Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Prinsip ini
berfungsi menjembatani jurang antara pengetahuan informal dengan
matematika formal. Siswa mengembangkan model sendiri sewaktu
memecahkan soal-soal kontekstual. Sebagai konsekuensi dari kebebasan
yang diberikan kepada siswa untuk memecahkan masalah, sangat mungkin
muncul berbagai model hasil pemikiran siswa, yang mungkinmasih mirip
atau jelas terlihat dengan masalah kontekstual. Melalui proses generalisasi
dan formalisasi, model tersebut diarahkan untuk menuju model matematika
formal. Pada awalnya siswa membangun model dari situasi nyata (soal
kontekstual), setelah terjadi interaksi dan diskusi kelas, siswa menyusun
model untuk menyelesaikan soal hingga mendapatkan pengetahuan formal
7. 6
matematika. Model yang dikembangkan siswa tersebut diharapkan akan
berubah dan mengarah kepada bentuk yang lebih baik, akan efesien menuju
arah pengetahuan formal, hingga diharapkan terjadiurutan pembelajaran
seperti “situasi nyata” => “model dari situasi itu” => “model kearah formal”
=> “pengetahuan formal”.
4. Karakteristik Realistic Mathematic Education (RME)
Sebagai operasionalisasi dari ketiga prinsip utama diatas, Traffers (1987:
255) merumuskan 5 karakteristik RME, yaitu: 1) penggunaan konteks yang
“nyata” bagi para siswa, 2) penggunaan model-model untuk membantu siswa
mencapai pemahaman yang lebih tinggi, 3) pemanfaatan hasil konstuksi siswa,
4) interaktivitas alami dalam proses pembelajaran antara siswa dengan guru dan
siswa dengan siswa, dan 5) keterkaitan dengan berbagai unit/topik matematika.
Selanjutnya Wijaya (2012: 21) menguraikan kelima karakteristik
tersebut, adalah sebagai berikut.
a. Penggunaan konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal
pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa maslah dunia nyata
samun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi
lain selama hal tersebut bermakna dan dapat dibayangkan dalam pikiran
siswa.
b. Penggunaan model untuk matematisasi progresif
Dalam PMR, model digunakan dalam melakukan matematisasi secara
progresif. Penggunaan model sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan
dan matematika tingkat kongkrit menuju pengetahuan dan matematika
formal.
c. Pemanfaatan hasil konstuksi siswa
Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan
berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkontruksian
berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi
yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa bukan
8. 7
dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangan diperhatikan
dan dihargai.
d. Interaktivitas
Interaksi antara siswa dan guru merupakan hal yang sangat penting
dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan,
pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk
mencapai pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan
matematika informal yang ditemukan sendiri oleh siswa.
Pada karakteristik ini, menurut Ismail (2007: 9) memungkinkan
adanya umpan balik dalam pembelajaran matematika yang dilakukan oleh
guru dengan memunculkan berbagai pertanyaan yang bisa merespon dan
menimbulkan rasa keingintahuan siswa mengenai materi yang sudah
dipelajari, sehingga siswa terbimbing untuk bertanya dan melakukan diskusi
dengan teman sekelasnya. Berikut adalah ilustrasinya.
1) Setelah mempelajari Operasi Hitung Bentuk Aljabar. Adakah materi
yang belum kalian pahami? Catatlah materi yang belum kalian pahami,
lalu tanyakan kepada temanmu yang lebih tahu atau kepada gurumu.
2) Dapatkah kalian membuat contoh operasi hitung bentuk aljabar yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari? diskusikan dengan teman-
temanmu.
e. Keterkaitan
Berbagai struktur dan pemahaman konsep matematika saling
berkaitan, sehingga keterkaitan atau pengintegrasian antartopik atau materi
pelajaran perlu dieksplorasi guna mendukung pembelajaran bermakna. Oleh
karena itu, dalam PMR pengintegrasian unit-unit pelajaran matematika
merupakan hal yang penting. Dengan pengintegrasian itu akan memudahkan
siswa dalam memecahkan masalah. Di samping itu, dengan pengintegrasian
ini dalam pembelajaran waktu pelajaran akan menjadi lebih efesien.
5. Langkah-langkah Realistic Mathematic Education (RME)
Prinsip utama PMR dijabarkan menjadi karakteristik-karakteristik PMR,
selanjutnya, karakteristik PMR dijabarkan menjadi langkah-langkah operasional
9. 8
dalam pembelajaran. Berdasarkan pengertian, prinsip utama dan karakteristik
PMR, Narto (2014: 58) dalam tesisnya merancang langkah-langkah (kegiatan)
inti dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:
1) Pendahuluan
Guru memberi petunjuk/arahan seperlunya mengenai proses
pembelajaran yang akan dilakukan siswa dan memberi motivasi serta
mengingatkan materi prasyarat yang harus dimiliki siswa.
2) Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan meminta siswa
untuk memahami masalah tersebut. Jika bagian-bagian tertentu yang kurang
atau belum dipahami sebagian siswa, maka siswa yang memahami bagian itu
diminta menjelaskannya kepada kawannya yang belum paham. Jika siswa
yang belum paham tadi merasa tidak puas, guru menjelaskan lebih lanjut
dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau saran-saran. Petunjuk
dalam hal ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk
memahami masalah (soal), seperti: “apa yang kamu ketahui dari soal
tersebut?”, “apa yang ditanyakan?”, bagaimana strategi atau cara yang
digunakan untuk menyelesaikan soal tersebut?”. Pada tahap ini, karakteristik
PMR yang muncul adalah mengunakan masalah kontekstual dan interaksi.
3) Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara individual diminta menyelesaikan masalah kontekstual
pada Buku siswa atau LKS dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan
jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa
untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan-
pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian
soal tersebut. Misalnya: “Bagaimana kamu tahu itu?”, “bagaimana
caranya?”, “mengapa kamu berpikir seperti itu?”, dan lain-lain. Pada tahap
ini siswa dibimbing untuk menemukan kembali konsep atau prinsip
matematika melalui masalah kontekstual yang diberikan. Selain itu, pada
tahap ini siswa juga diarahkan untuk membentuk dan menggunakan
model/cara sendiri guna memudahkan memnyelesaikan masalah (soal). Guru
diharapkan tidak perlu memberi tahu penyelesaian soal atau masalah
10. 9
tersebut, sebelum siswa memperoleh penyelesaian sendiri. Pada langkah ini,
karakteristik PMR yang muncul adalah menggunakan model dan interaksi.
4) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban
mereka dalam kelompok kecil. Setelah itu, hasil dari diskusi tersebut
dibandingkan pada diskusi kelompok yang dipimpin oleh guru. Tahap ini
dapat digunakan untuk melatih keberanian siswa mengemukakan pendapat,
meskipun berbeda dengan teman lain atau bahkan dengan gurunya.
Karakteristik PMR yang muncul pada tahap ini adalah penggunaan ide atau
kontruksi siswa dan interaksi antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa,
dan antara siswa dengan sumber belajar.
5) Menyimpulkan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan,
guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep atau
definisi, teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan
masalah kontekstual yang baru diselesaikan. Karakteristik PMR yang
muncul pada langkah ini adalah penggunaan ide atau kontribusi siswa dan
interaksi.
6) Penutup
Guru menutup pertemuan dengan menegaskan kembali hal-hal
penting yang berkaitan dengan materi pembelajaran, dan memberikan tugas
untuk dikerjakan dirumah (PR). PR ini tujuannya untuk melatih dan
memantapkan pemahaman siswa tentang materi pelajaran yang telah
dipelajari.
5. Kelebihan dan Kelemahan Realistic Mathematic Education (RME)
Pendekatan realistik dalam pembelajaran matematika memiliki kelebihan
dan kelemahan. Berikut ini akan dijelaskan kelebihan pendekatan realistik
menurut Suherman (2003: 143). Kelebihan pendekatan realistik adalah sebagai
berikut.
a. Dapat membuat matematika menjadi lebih menarik, relevan, dan bermakna,
tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak
11. 10
b. Mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa
c. Menekankan belajar matematika pada “learning by doing”
d. Memfasilitasi penyelesaian masalah matematika
e. Menggunakan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika.
Sementara itu, Suwarsono (Zuida, 2016: 40) mengungkapkan kelemahan
pendekatan realistik, antara lain:
a. Upaya untuk mengimplementasikan pendekatan realistik membutuhkan
pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal tentang guru, siswa,
dan peranan masalah kontekstual yang tidak mudah dipraktikan.
b. Pencarian soal-soal yang kontekstual tidak selalu mudah untuk setiap topik
matematika yang dipelajari siswa.
c. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk
menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan.
d. Proses penelitian kemampuan berpikir siswa melalui soal-soal kontekstual,
proses matematisasi horizontal dan vertikal juga bukan merupakan sesuatu
yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti
dengan cermat.
e. Membutuhkan waktu yang cukup banyak.
Meskipun demikian, ada beberapa upaya untuk meminimalisasikan
kelemahan-kelemahan pembelajaran dengan pendekatan realistik, diantaranya
adalah:
a. Guru perlu mempersiapkan pembelajaran yang akan dilakukan secara lebih
terencana.
b. Guru mengoptimalkan kemampuan awal siswa sehingga siswa memiliki
kemampuan awal yang memadai untuk terlibat aktif dalam pembelajaran.
c. Guru memberikan motivasi dan memberi bimbingan kepada siswa jika
diperlukan.
d. Guru memantau cara-cara yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan
permasalahan kontekstual yang diberikan, agar proses dan mekanisme
berfikir siswa dapat dapat diikuti dengan cermat, sehingga jika ada siswa
yang mengalami kesulitan guru dapat memberikan bantuan.
12. 11
6. Implementasi/Contoh Penerapan Realistic Mathematic Education (RME)
a. Penjumlahan
Eka mempunyai 3 boneka di rumahnya. Ketika ulang tahun, Eka
mendapatkan hadiah sebanyak 4 boneka lagi. Berapakah boneka yang
dimiliki Eka sekarang?
Gambar 1 : Boneka
Sumber : Kemendikbud (As’ari, 2016: 11)
Penyelesaian :
Kita bisa menggunakan garis bilangan di bawah ini untuk memaknai
penjumlahan 3 ditambah 4. Karena Mia memilik 3 boneka, maka dari titik
asal (0) bergerak 3 satuan ke kanan. Kemudian, karena mendapatkan 4
boneka lagi, berarti terus bergerak 4 satuan ke kanan. Sehingga hasil akhirnya
adalah 7.
Gambar 2 : Pejumlahan 3 + 4 pada garis bilangan
Jadi boneka yang dimiliki Mia sekarang adalah 7 boneka
b. Pengurangan
Nia mempunyai 6 pasang sepatu di rumahnya. Karena sedang senang hati,
Nia memberikan 2 pasang sepatunya kepada sepupunya. Berapakah pasang
sepatu yang dimiliki Nia sekarang?
13. 12
Gambar 3 : Sepatu
Sumber : Kemendikbud (As’ari, 2016: 12)
Penyelesaian :
Bentuk dari soal tersebut adalah 6 − 2 = ...
Awalnya Nia memiliki 6 pasang sepatu, maka bergerak dari titik nol ke kanan
6 satuan. Karena dikurang 2 pasang sepatu, berarti panah berbalik arah ke kiri
2 satuan. Sehingga hasil akhirnya adalah 4.
Gambar 4 : Pengurangan 6 – 2 pada garis bilangan
Perhatikan bahwa 6 − 2 sama dengan penjumlahan 6 + (−2). Panah ke kiri
menunjukkan arah pengurangan oleh bilangan positif atau penjumlahan
dengan bilangan negatif (−). Jadi, banyak sepatu yang dimiliki Nia sekarang
adalah 6 − 2 = 4 pasang.
c. Perbandingan
Agung bersepeda di lintasan yang berbeda-beda. Terkadang melintasi jalan
yang naik, terkadang melintasi jalan yang menurun dan ada kalanya dia
melintasi jalan yang datar. Agung berhenti tiga kali untuk mencatat waktu
dan jarak yang telah ditempuhnya setelah melewati tiga lintasan.
Pemberhentian ke-1: 8 kilometer; 20 menit
Pemberhentian ke-2: 12 kilometer; 24 menit
Pemberhentian ke-3: 24 kilometer; 40 menit
Pada lintasan yang manakah Agung mengendarai sepeda dengan cepat dan
pada lintasan yang manakah Agung mengendarai sepeda dengan lambat?
14. 13
Gambar 5 : Bersepeda
Sumber : Kemendikbud (As’ari, 2016: 16)
Penyelesaian:
Kita harus menentukan kecepatan rata-rata Agung pada setiap lintasan.
Lintasan pertama, Agung menempuh 8 kilometer dalam waktu 20 menit.
Berarti Agung mengendarai sepeda dengan kecepatan
5
2
20
8
km/menit.
Lintasan kedua, Agung menempuh 12 kilometer dalam waktu 24 menit.
Berarti Agung mengendarai sepeda dengan kecepatan
2
1
24
12
km/menit.
Lintasan ketiga, Agung menempuh 24 kilometer dalam waktu 40 menit.
Berarti Agung mengendarai sepeda dengan kecepatan
5
3
40
24
km/menit.
Karena
5
3
2
1
5
2
, maka dapat disimpulkan bahwa Agung mengendarai
sepeda paling cepat saat berada di lintasan ketiga dan mengendarai sepeda
paling lambat saat berada di lintasan pertama.
d. Aritmatika Sosial
Pak Dedi membeli sepeda motor Supra X bekas dengan harga Rp
4.000.000,00. Dalam waktu satu minggu motor tersebut dijual kembali
dengan harga Rp 4.200.000,00. Tentukan persentase keuntungan Pak Dedi!
15. 14
Gambar : Sepeda motor Supra X
Sumber: http://1.bp.blogspot.com/-5opGpl0DKKU/UsbQmvXewBI/AAA
AAAAAJnA/JsYmYefJfw4/s1600/Honda+Supra+X+100+-+2.jpg
Penyelesaian:
Sebelum menentukan persentase keuntungan, kita menentukan keuntungan
(U) yang diperoleh Pak Dedi lebih dulu.
Untung (U) = Harga Jual (HJ) – Harga Beli (HB)
= 4.200.000 − 4.000.000
= 200.000
Presentasi Untung =
HB
U
x 100%
=
000.000.4
000.200
x 100%
= 5%
Jadi, persentase keuntungan yang diperoleh Pak Dedi adalah 5%.
e. Sudut
Tentukan ukuran sudut yang dibentuk oleh jarum jam dan jarum menit ketika
menunjukkan pukul 02.00.
Gambar: Sudut yang terbentuk ketika pukul 02.00
Sumber : Kemendikbud (As’ari, 2016: 134)
16. 15
Penyelesaian:
Dengan memperhatikan Gambar tersebut, kita dapat melihat bahwa pada
pukul 02.00, jarum jam menunjuk ke arah bilangan 2 dan jarum menit
menunjuk ke arah bilangan 12, sehingga sudut yang terbentuk adalah
6
1
putaran penuh.
6
1
x 360 = 60°
Jadi sudut yang terbentuk oleh jarum jam dan jarum menit ketika pukul 02.00
adalah 60°.
7. Kesimpulan
Penggunaan istilah “realistic” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda
“zich realiseren” yang berarti untuk dibayangkan. Menurut Van den Heuvel-
Panhuizen, penggunaan kata “realistic” tersebut tidak sekedar menunjukan suatu
koneksi dengan dunia nyata, tetapi lebih mengacu pada fokus pendekatan
realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa
dibayangkan oleh siswa. Dunia nyata yang dimaksud disini adalah segala sesuatu
yang ada diluar matematika seperti mata pelajaran lain atau kehidupan sehari-hari
dan lingkungan sekitar kita. Pendekatan matematika realistik memiliki beberapa
karakteristik, yaitu menggunakan konteks, menggunakan model, menggunakan
kontribusi siswa, interaktivitas dan keterkaitan antar topik. Kelima karakteristik
tersebut tidak terlepas dari tiga prinsip utama yang ada pada pendekatan realistik
diantaranya guided reinvention (penemuan terbimbing), didactical
phenomenhology (fenomena didaktik), dan self developed model (model yang
dibangun sendiri). Seperti halnya pendekatan lain, pendekatan realistik juga
memliki kelebihan dan kekurangan. Namun walaupun begitu, mudah-mudahan
ini tidak mengurangi esensi dari pendekatan itu sendiri, karena bagaimanapun
suatu pendekatan merupakan cara yang dilakukan oleh guru dengan melibatkan
siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
17. 16
DAFTAR PUSTAKA
Abdur Rahman As’ari, Dkk. (2016). Matematika Untuk SMP/MTs Kelas VII
Semester 1 Edisi Revisi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
As’ari, Dkk. (2016). Matematika Untuk SMP/MTs Kelas VII Semester 2 Edisi
Revisi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Blum, W., & Niss, M (1991). Applied Mathematical Problem Solving, Modelling,
Applications, And Links To Other Subject-State, Trends And Issues In
Mathematical Intruction. Educational Studies In Mathematics, Vol 22.
Pp.37-68.
Fruedenthal, H. (2002) Revisting Mathematics Education. New York: Kluwer
Academic Publisher
Graveimeijer, K. P. E. (1994). Developing Realistik Mathematics Education.
Untrect: Cd-Β Press
Ismail. (2007). Pembaharuan Dalam Pembelajaran Matematika. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Narto (2014). Pengaruh Jenis Media Dan Gaya Belajar Peserta Didik Terhadap
Prestasi Belajar, Kemapuan Koneksi Matematis, Dan Minat Belajar
Matematika Siswa Kelas Viii Smp Materi Geometri Ruang. Tesis
Universitas Negeri Yogyakata. Yogyakarta: Diglib Uny
Suherman, Erman Dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: Jica Upi.
Treffers, A.: 1987, Three Dimensions. A Model Of Goal And Theory Description
In Mathematics Instruction – The Wiskobas Project, Reidel Publishing
Company, Dordrecht, The Netherlands.
Van Den Heuvel-Panhuizen, (2001). Realistic Mathematics Education: Work In
Progress. In T. Breiteig And G. Brekke (Eds.), Theory Into Practice In
Mathematics Education. Kristiansand, Norway: Faculty Of
Mathematics And Sciences.
, (2003). The Didactical Use Of Models In Realistic Mathematics
Education: An Example From A Longitudinal Trajectory On
18. 17
Percentage. Educational Studies In Mathematics Pp. 9–35netherlands:
Kluwer Academic Publishers.
Wijaya, Ariyadi. (2012). Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif
Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Zuida Ratih Hedrastuti (2016). Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Matematika Dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Yang Berorientasi Pada Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan
Koneksi Matematis, Dan Rasa Percaya Diri Siswa Smp Kelas Vii
Semester Genap. Tesis Universitas Negeri Yogyakata. Yogyakarta:
Digilib Uny